01
Help
Me
==========
JEREMIAH(POV)
Apa yang paling
membahagiakan selain bangun di atas tempat tidur bersama dengan seorang wanita
cantik setelah malam sebelumnya menikmati sex panas?
Bertemu Cody.
Itu jawabannya.
Maka, setelah
aku bangun, mandi, memakai pakaianku, aku memilih keluar dari hotel,
meninggalkan wanita yang menemaniku kemarin malam, dan tak berbalik lagi.
Lagipula aku dan dia sama-sama tahu bahwa hubungan kami hanya berlangsung
semalam.
Turun dari lift,
aku berjalan dan melompat naik ke jaguarku—satu-satunya benda yang kucintai
sepenuh hati, dimana aku menyerahkan jiwa, raga, dan uang untuk memolesnya agar
selalu tampil seksi—kemudian segera meluncur pulang untuk berganti pakaian.
Rumahku
berbentuk pondok yang disatukan, dengan lantai kayu mengilap. Awalnya tempat
ini hanyalah bangunan tua berhantu—oke, singkirkan yang ini—yang kotor dan tak
terawat. Dengan sedikit biaya, akhirnya aku memiliki rumah sederhana dari luar
dan mewah dari dalam.
Di dalam,
terdapat dua kamar besar yang memiliki kamar mandi. Satu kamarku, satu kamar
Cody—namanya kamar tamu (abaikan yang ini)—yang masing-masing menghadap ke
pemandangan danau biru dan pegunungan indah di jendelanya.
Benar sekali.
Aku cukup kaya untuk memiliki sebuah danau pribadi dan hutanku sendiri—dengan
aku sendiri yang tinggal di tempat ini—meski belum bisa disamai dengan Cody
yang punya 5 mobil mewah dengan pajak yang selangit dan satu pent house satu lantai untuk dirinya
sendiri.
Terkejut? Kami
berdua mirip dalam hal-hal tertentu: tak suka privasi diganggu, masalah
pekerjaan harus dipisahkan dengan masalah pribadi dan perasaan, habiskan uang
untuk hal-hal yang berguna dan menyenangkan diri sendiri meski harganya mahal,
dan hajarlah orang yang tidak memperlakukan wanita dengan baik—bagian yang ini cuma
melingkupi bagian kekerasan, meski Cody memaksaku untuk lebih melibatkan
perasaan.
Mengingat Cody
membuatku bersemangat.
Karena dia
bilang dia harus menemani pacarnya keluar kota, aku harus menahan diri untuk
tidak menghubunginya. Kau tahu kan kenapa? Siapa yang akan tanggung jawab bila
aku tiba-tiba menelepon saat mereka sedang bermesraan? Aku tak bisa merusaknya.
Aku teman yang amat baik.
Setelah
mengganti pakaianku, aku keluar lagi dari rumah dan naik ke Hummerku. Mobil ini
sangat cocok untuk segala medan. Jaguar hanya kugunakan bila aku ingin pamer
pada kolega, yang kata mereka teman kerjaku, dan saat berkencan dengan wanita.
Sambil memasang
musik, aku menghabiskan waktu berkendara menuju kampus—tempat dimana para
cendikiawan belajar. Begitu sampai di parkiran, aku melihat Fran. Pria itu
turun dari ford hijau yang sepertinya
baru dia beli karena ford sebelumnya
sering mogok. Aku mengabaikannya begitu aku turun. Aku tak mau repot-repot
mengenalnya di sini. Sisa hariku akan menjadi lebih buruk bila berbicara atau
menegurnya.
Tapi, begitu aku
melihat mobil Mercy milik Cody, aku langsung tersenyum dan mendatanginya.
“Cody!”
Cody turun dari
mobilnya. Wajahnya tampak tidak menyenangkan saat dia melihatku. Sebelum aku
bisa mencerna apa yang terjadi, sepersekian detik kemudian, aku merasakan sakit
yang luar biasa.
Cody menendang
kelaminku.
“Ow!!” Bendaku
yang berharga! Satu-satunya bagian tubuhku yang kuagung-agungkan dan Cody baru
saja menendangnya dengan sepatu boot
jenis militer dengan tumit sekeras baja!
“Apa-apaan sih?”
kataku dengan susah payah, nyaris terjatuh di parkiran, memegangi benda yang
tadi dianiaya Cody. Kakiku gemetar menahan rasa sakit, yang mungkin nyaris
membunuhku bila lebih lama lagi.
“Itu bayaran
karena kau memberiku flashdisk yang
tidak-tidak, Remi, jadi rasakan!” Cody berkata berbahaya. Kemudian dia mendesis
jengkel dan meninggalkanku begitu saja walau aku sudah memanggil-manggilnya.
“Cody! Cody!”
Aku putus asa
memanggilnya. Dia hanya sedang marah. Bila Cody marah, dia akan sangat mengerikan
dan bisa membuat seluruh dikatator di dunia menangis bombay. Aku malah
penasaran kenapa dia tak memberiku tinju kiri.
“Jeremiah,”
sebuah suara membuatku menengadah, mendapati Fran memegang lenganku. “Kau tak
apa-apa?”
Kusingkirkan
tangannya. Aku tak ingin dianggap mengenalnya di sini.
“Jeremiah,”
katanya dengan khawatir dan kembali memegang lenganku. Aku mendesah, capek
mengusirnya, tapi dia tak mau pergi.
“Apa sih? Aku
tak apa-apa,” gerutuku. Yang sudah pasti kebohongan besar.
“Cody
menendangmu keras sekali. Apa kau berbuat kesalahan padanya?”
“Aku tak berbuat
apapun padanya. Tapi, ya, dia memang marah padaku. Dan itu menjadi masalahku
nanti.” Setelah yakin aku tak apa-apa, aku berdiri tegak, masih nyeri di situ, tapi aku tak apa-apa. Fran masih
menatapku dengan tak yakin. Mata hijaunya terlihat cemas.
“Aku tak apa-apa
ok?” kataku jengkel.
“Jangan
bertengkar dengan Cody.”
“Aku tak
bertengkar dengannya,” kataku sebal. “Aku tak berbuat apapun padanya. Dia hanya
marah padaku dan kemarahannya akan hilang saat aku bertemu dengannya lagi
nanti.”
Tapi rupanya
Cody masih marah meski kami bertemu lagi siang harinya. Dan karena aku tak
ingin dia menendang benda berhargaku lagi, aku memilih jauh-jauh darinya untuk
sementara.
Tapi tetap saja
aku merindukannya dan tak bisa membencinya.
Damn!
***
FRAN(POV)
Aku tak tahu apa
yang terjadi antara Cody dan Jeremiah, tapi yang pasti, Cody amat marah pada Jeremiah sampai-sampai Cody tak mau
membicarakan hal mengenai Jeremiah dan dengan terang-terangan tak ingin menceritakannya
padaku. Meskipun begitu, dia memberikanku bungkusan kue yang katanya dia bawa
dari luar kota. Satu untukku, satu untuk Jeremiah. Dengan kata lain dia
memintaku memberi bungkusan yang satunya untuk Jeremiah dan tak peduli aku
mendengarnya atau tidak.
“Untukmu,”
kataku pada Jeremiah.
“Aku tak mau.”
“Ini dari Cody.”
“Dia bisa
memberikannya secara langsung padaku.”
“Terserah padamu
mau mengambilnya atau tidak. Tapi yang pasti Cody tak akan memberinya langsung
padamu karena dia masih marah pada apapun itu yang kau lakukan padanya.”
“Aku tak
melakukan apapun, oke? Berapa kali aku harus mengulangnya?” Dengan jengkel
Jeremiah mengambil bungkusan itu dan dengan kesal keluar dari ruanganku. Dia
sama sekali tak peduli berhadapan dengan siapa. Padahal aku profesor di sini.
Selesai mengurus
seluruh pekerjaanku, aku pulang dan melihat Gabrielle menonton animasi Ice Age. Dia sudah tak marah lagi sejak
Jeremiah membawa kami pulang dan sudah kembali ke dirinya yang lama.
“Kau sudah
makan?”
Gabrielle
menoleh, memiringkan kepalanya sedikit, lalu mengangguk dan kembali menonton.
“Aku bawa cake dari Cody.” Kuletakkan bungkusan
itu ke atas meja dan dengan bersemangat Gabrielle membuka isinya. Ada begitu
banyak cake di dalam. Cody sepertinya baru merampok toko cake untuk mendapatkan
seluruh kue-kue itu.
Gabrielle
mengambil salah satu dan memakannya dengan lahap dan tak peduli pada apa yang
disuguhkan televisi.
“Kau mau teh?
Akan kubuat untukmu. “
Gabrielle
mengangguk dan aku bangkit dari tempatku, melangkah ke dapur dan membuatkan teh
melati untuk kami berdua. Gabrielle menyukai teh itu, karena sejak pertama kali
datang kemari, Gabrielle tak pernah mau minum teh lain selain teh beraroma
melati, dan dia akan menarik-narik lengan bajuku sambil menunjuk-nunjuk
bungkusan merk teh tiap kali teh itu habis.
Teh itu beraroma
nikmat di hidung, wangi dan menyegarkan begitu kuseduh, dan kubawa dua cangkir
ke ruang tengah. Gabrielle menatapku ketika aku masuk dengan tangan memegang cake baru.
“Sepertinya kau
suka dengan cake,” kataku meletakkan
nampan.
“Aku suka
manis,” katanya.
“Oh.” Aku
mengangguk mengerti. Hubungan ayah dan anak di antara kami memang berjalan
seperti siput—lebih lambat dari itu sih—tapi kami berdua cukup menikmatinya
karena aku tak ingin memaksa Gabrielle. Dia berhak untuk membuka diri bila dia
mau. Dia hanya belum terbiasa dengan perhatian yang kuberikan. Gabrielle sudah
banyak ditolak oleh para orang tua angkat yang mengembalikannya ke panti asuhan
hanya karena dia tak mau bicara. Aku tak ingin melakukan hal itu pada
Gabrielle. Yang kuperlukan saat ini hanya kesabaran.
“Apa kau sudah
membereskan pakaianmu untuk besok?” Kusandarkan tubuhku sambil memegang
cangkirku. Mataku menonton adegan dimana si Mamonth tengah mengajari si balita
berjalan.
Gabrielle
menggeleng.
“Kau harus
membereskannya. Besok pagi-pagi sekali kita harus berangkat dan kereta tak akan
menunggu bila kita terlambat.”
Dia cemberut
meski begitu mengangguk singkat. Aku tersenyum, mengacak rambutnya. Kami
kembali nonton sambil memakan cake
dan minum teh.
Besok adalah
libur nasional, yang ditambah dengan libur akhir pekan selama dua hari, dan aku
tak masuk selama dua hari berikutnya. Itu artinya aku punya lima hari libur dan
Gabrielle tiga hari libur. Aku mengajaknya untuk mengunjungi makam kedua orang
tuaku yang berada di negara bagian lain. Mendengar hal ini, Gabrielle sangat
bergairah. Dia belum pernah keluar dari kota ini jadi sudah pasti dia senang
sekali. Melihatnya senang membuatku ikut senang.
Keesokan harinya
kami sudah bersiap. Gabrielle turun mengenakan jaket dan sepatu boot. Di punggungnya ada ransel berat.
Sedangkan aku mengenakkan mantel coklat dan kemeja ungu.
“Kau harusnya
membawa syalmu. Dingin sekali diluar. Ini sudah musim gugur.”
Gabrielle
menggeleng.
Menghela napas
kalah, kami keluar rumah. Gabrielle segera masuk ke dalam taksi sementara aku
mengunci pintu, setelah itu masuk ke dalam taksi. Kami melalui perjalanan di
dalam taksi menuju stasiun kereta api bawah tanah tanpa mengucapkan apapun.
Dialah yang paling bersemangat keluar dari dalam taksi, menarik-narik tanganku
agar cepat ke stasiun.
Aku cuma tertawa
kecil. Gabrielle terlihat cute. Dia
tak seperti anak laki-laki seusianya—yang berusia 14 tahun dan akan bertingkah
karena punya ego paling besar—dan malah seperti anak kecil. Aku tak keberatan.
Aku suka dia bertingkah seperti itu karena aku selalu sibuk dan tak memberikan
waktu untuknya.
Sekarang adalah
saat yang tepat. Aku akan menikmati tiap detiknya.
Kami masuk ke
dalam stasiun. Aku membeli tiket untuk dua orang. Lalu kami menunggu antrean
untuk masuk ke bagian gerbong tempat kami masuk. Gabrielle menempel di
sampingku, matanya bersinar dan pipinya bersemu merah karena begitu
bersemangat.
“Cute...”
Aku menoleh,
melihat beberapa anak perempuan mengikik di sebelah kami. Mata mereka berbinar
melihat Gabrielle. Aaw, ternyata putraku memiliki magnet tersendiri. Aku tak
pernah tahu kehidupan sosial Gabrielle karena dia memang tak pernah
membicarakannya selain anggukan. Lagipula aku hanya bertanya “Bagaimana
sekolahmu?” Dan dia akan mengacungkan jempol. Hebatnya komunikasi kami.
Kereta api yang
kami tuju masuk gerbong. Penumpang yang menaikinya keluar. Gabrielle memegang
lenganku dan mundur ke belakang untuk menghindari lautan manusia yang keluar
dari antrean, begitu pula dengan yang hendak masuk ke dalam.
Dia menatapku
dengan dahi mengerut ragu. Semangat dan rasa percaya dirinya hilang begitu
melihat ada banyak orang di depannya.
“Tak apa-apa,”
kataku tersenyum menenangkan. Dia tidak percaya, tapi memilih memegang erat
tanganku. Saat ini Gabrielle justru tampak seperti anak kecil tersesat dan aku
merasa kasihan padanya.
Kerumuman mulai
berkurang beberapa menit kemudian. Aku melangkah dan Gabrielle mengekor di
belakang. Kami melewati banyak gerbong dan pintu untuk masuk ke tempat kami.
Gabrielle menggandeng tanganku, takut tertinggal dan takut tersesat.
Kami akhirnya
sampai ke kompartemen pilihan kami, membuka pintu dan ternyata ada seorang anak
laki-laki di dalam. Anak laki-laki itu menoleh pada kami ketika dia mengangkat
kopernya ke atas kepalanya untuk disimpan, dan menjatuhkannya sampai menimpa
kakinya.
“Ow!” Anak itu
menjerit, melompat-lompat memegangi kakinya.
“Kau tak
apa-apa?” Aku bertanya padanya, mendatanginya, dan membantunya, menyingkirkan
kopernya. Anak laki-laki itu mengangguk, meski masih meringis. Dia melirik
Gabrielle—yang memilih berdiri di luar—kemudian bangkit berdiri untuk mengambil
kopernya. “Mari kubantu.”
“Terimakasih,”
gumamnya.
Kami berdua
bersama-sama mengangkat kopernya ke atas. Koper itu berat sekali. Pantas saja
anak itu kesakitan, meski aku sedikit terheran mengetahui bahwa dia mampu
mengangkat koper itu ke atas sendirian tadi.
“Terimakasih
sudah menolongku,” katanya lagi dan kali ini aku bisa melihat dengan jelas
wajahnya. Dia tampan sekali dengan mata abu-abu jernih nyaris seperti mata
kucing, dengan tatapan tajam. Hidungnya sedikit bengkok. Rahangnya mantap
mempertampan wajahnya. Rambutnya pirang gelap dan terlihat berantakan. Tubuh
anak itu tinggi, dengan bahu bidang, dan dada membusung, bahkan aku tak heran
bila dia lebih tua dari Gabrielle.
“Bukan masalah
besar.”
“Namaku Oliver.
Oliver Evans.” Dia mengulurkan tangannya padaku.
“Fran
Cattermole,” aku menjabat tangannya. “Itu putraku, Gabrielle.” Aku menunjuk
Gabrielle yang masih tak mau masuk.
Oliver tersenyum
padanya, mengulurkan tangannya pada Gabrielle. “Hai.”
Mata Gabrielle
menyipit, memandangnya selama beberapa detik dari atas sampai ke bawah seakan
memerhatikan Oliver dengan teliti apakah dia penjahat atau tidak, tapi pada
akhirnya malah mengangkat bahu dan melangkah masuk, tak memedulikan tangan
Oliver sama sekali.
Oh, astaga.
“Gabrielle,” kataku memperingatkannya. Tapi Gabrielle duduk di kursi yang dekat
dengan jendela memeluk ranselnya. Dia sama sekali tak berniat untuk
mendengarkan ucapanku.
“Tak apa-apa, Mr
Cattermole,” kata Oliver dengan nada menenangkan. Dia tersenyum pada Gabrielle
yang dengan terang-terangan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Tingkahnya mengingatkanku pada seseorang. Jeremiah.
Siapa lagi?
“Jadi, kau
mahasiswa?” Aku bertanya selagi aku menutup pintu dan Oliver duduk di seberang
Gabrielle.
“Aku siswa.
Usiaku masih 16 tahun. Selama ini aku tinggal di asrama dan karena ada libur
selama seminggu aku memilih pulang.”
Aku mengangguk
setuju dan duduk di samping Gabrielle setelah menaikkan tasku. Gabrielle
bersikeras memeluk ranselnya entah untuk apa.
“Pasti berat
sekali tinggal di asrama.”
“Awalnya Oliver
mengangkat kedua bahunya. Aku sudah terbiasa jadi bukan hal yang besar.
Lagipula sekolahku cukup menyenangkan. Aku menikmati hariku.”
“Kau sekolah
dimana?”
“St Gregory High
School.”
“Itu sekolah
yang populer di wilayah ini. Kau pastilah hebat.”
“Tidak juga.”
Aku tahu Oliver
cuma merendah. Aku bisa melihat bahwa dia lebih dari “sekadar” tapi juga lebih.
Dia punya aura yang menggantung di sekitarnya dan tak mungkin ada seorangpun
yang tak menyadari hal itu. Lagipula, dengan tampang seperti itu, aku yakin dia
populer. Ah tidak. Ada begitu banyak orang seperti Oliver di sekolah itu. Dia
cuma salah satunya.
“Jadi, Gabrielle
kau bersekolah dimana?” Oliver menatap Gabrielle.
Gabrielle hanya
memberinya ekspresi datar, lalu mengalihkan pandangan keluar. Oliver menatapku
dan aku memberi tatapan minta maaf, yang dibalasnya dengan anggukan penuh
pengertian.
Kereta kami
bergerak perlahan-lahan meninggalkan stasiun terowongan bawah tanah lalu
akhirnya menembus pemandangan dengan cahaya menyilaukan dari matahari pagi.
Aku akan pulang.
***
OLIVER(POV)
Gabrielle
Cattermole punya wajah tampan luar biasa. Matanya biru indah, yang dihias
dengan gairah karena keluar dari terowongan, dan jendela menyuguhkan
pemandangan kota. Rambutnya berwarna merah, yang akan berwarna kuning berpendar
di bawah matahari. Dia punya kulit pucat yang membuatnya seakan menghilang. Dan
aku merasakan ketertarikan luar biasa padanya saat aku melihatnya di depan
pintu kompartemen. Meski hanya melihatnya sekilas, napasku seakan tertahan di
paru-paru dan koper sialan itu pun tak mampu menyakitiku begitu melihat bahwa
Gabrielle benar-benar nyata.
Maksudku, dimana
aku bisa bertemu ada manusia sesempurna dia?
Ayahnya, Fran,
juga tak kalah tampan. Pria itu punya rambut yang sama merahnya dengan
Gabrielle, meski sedikit lebih gelap, dengan mata hijau cerdas. Dia mewariskan
nyaris seluruh hal yang ada padanya untuk Gabrielle, kecuali matanya. Wajahnya
muda sekali. Siapa yang menyangka kalau pria itu punya anak sebesar Gabrielle?
Mereka justru terlihat seperti Kakak dan Adik daripada Ayah dan Anak.
“Kau mau?” Aku
menyodorkan sandwich yang tadi kubeli
di stasiun pada Gabrielle. Sudah dua jam kami melakukan perjalanan dan dia dari
tadi tak makan atau minum apapun selain melihat keluar jendela. Tiap kali aku
mengajaknya berbicara, dia akan menatapku tanpa ekspresi, lalu menoleh ke
jendela lagi. Bila Fran yang bertanya, dia hanya akan menggeleng, mengangguk,
atau mengangkat bahu, tanpa mengucapkan apapun. Yang mengherankan, Fran tetap
mengerti. Mereka punya hubungan yang aneh.
Meski begitu,
aku belum menyerah. Aku melihat Gabrielle menoleh lagi ke jendela tak
menggubris sandwichku. Aku merasa ada
bogem besar meninju dadaku tiap kali dia melakukannya—meski aku tahu hanya itu
tanggapan yang diberikannya. Fran mendesah saat aku mengulurkan sandwich itu padanya.
“Terimakasih,
Oliver.” Dia menerima sandwichku,
memberinya pada Gabrielle yang memilih untuk menggeleng. “Kau belum sarapan.
Makanlah sedikit.”
Gabrielle
menggeleng lebih keras sehingga Fran menyerah.
Aku melirik
Gabrielle. Kenapa anak itu sama sekali tak mau bicara? Apa dia bisu? Itu
mungkin saja. Lalu kenapa dia tak menggunakan bahasa isyarat? Apakah dia takut
diejek? Well, aku bukan orang yang
suka membeda-bedakan orang lain karena aku punya adik yang buta, tapi tetap
saja mengherankan bila melihat Gabrielle hanya menjawab dengan anggukan atau
gelengan.
Tiba-tiba saja
terjadi guncangan keras. Gabrielle melepas ranselnya dan memeluk Fran yang
dengan penuh perlindungan memeluknya. Aku menggertakan gigi, memegangi palang
besi agar tak terlempar jatuh dengan sekuat tenaga. Terdengar teriakan di
sana-sini. Kepanikan menjadi-jadi saat ada bunyi ledakan dan decitan gerbong
yang tarik-menarik di atas besi, membuat bara api di rel. Jeritan histeris
menjadi-jadi. Semuanya panik saat melihat ada api di bagian moncong kereta api.
Setelah lima
menit penuh teriakan dan dorongan. Aku akhirnya bisa bangkit dari tempatku
dengan kaki gemetar dan melihat ke jendela apa yang terjadi.
Aku melihat ada
rangkaian truk pengangkat barang di depan sana. Tiga gerbong belakang keluar
jalur dan sekarang jatuh terbalik di rerumputan. Ngeri dengan apa yang terjadi
pada penumpang di sana, aku melihat lagi ke depan dan menyadari bahwa kereta
api kami baru saja menabrak truk bodoh yang melewati lampu peringatan.
Aku menelan
ludah.
“Kita harus
keluar dari sini,” kataku dengan suara gemetar. “Secepatnya.”
Fran mengangguk,
masih memeluk Gabrielle, yang melindungi kepalanya dengan kedua tangannya
seolah dia takut kejatuhan benda. Tubuhnya gemetar.
“Apa dia
baik-baik saja?” Aku bertanya khawatir.
“Aku akan
mengurusnya. Maukah kau membawa barang kami keluar untuk sementara?”
Aku tak ingin
meninggalkan Gabrielle. Tapi aku tahu aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya
orang yang baru bertemu dengannya sehingga, mau tak mau, aku mengangguk,
menurunkan koperku dan tas Fran, lalu membawa kedua benda itu keluar dari
kereta.
Orang-orang
berlarian panik, berusaha menyelamatkan diri sendiri. Banyak dari antara mereka
yang terluka parah dan memar. Yang lain berusaha menolong orang-orang yang
gerbong keretanya tadi terlempar. Teriakan pedih tangisan dan entah apa lagi
terdengar di sana-sini.
Tapi aku masih
menguatirkan Gabrielle. Aku menunggu dengan panik. Kondisi Gabrielle membuatku
takut. Aku tak tahu mengapa tapi aku peduli padanya dan kurasa aku akan mati
jika terjadi apa-apa padanya.
Kesabaranku
semakin lama semakin tipis tiap kali detik berlalu. Menggigit bibir bawahku
dengan cemas, aku menekan keinginan bodoh untuk menyusul ke dalam kereta lagi.
Tapi aku tak mungkin meninggalkan barang-barang. Setelah lima menit berlalu,
sirine polisi ambulan dan pemadam kebakaran datang tepat saat ada ledakan lagi.
Shit! Kemana mereka?
Aku nyaris gila,
tapi untunglah aku melihat Fran di kerumunan. Dia merangkul Gabrielle—yang
memeluk ranselnya dengan kepala menunduk sehingga aku tak bisa melihat
wajahnya. Tapi tangannya masih gemetar.
“Maaf membuatmu
menunggu, Oliver,” kata Fran.
“Tidak apa-apa,”
kataku cepat. “Apa dia—”
“Rupanya bala
bantuan sudah datang,” gumam Fran melihat banyaknya mobil patroli dan ambulan
yang datang. “Lebih baik kita menyingkir. Apa kau terluka, Oliver?”
“Tidak. Aku cuma
memar sedikit tapi tak apa-apa.”
Fran tersenyum
getir. “Kalau begitu, lebih baik kita mengambil tempat untuk Gabrielle.”
Aku tak
membantah. Kami membawa barang kami menyingkir dari huru-hara yang
menjadi-jadi. Polisi dan petugas kesehatan berusaha bergerak secepat mungkin untuk
menyelamatkan orang yang tergencet di gerbong. Uh, aku tak mau memikirkannya.
Pada akhirnya
kami memilih duduk di pinggir jalanan kosong yang sekarang sudah diparkiri oleh
mobil polisi, dua ratus meter dari tempat kejadian.
“Kalian tak
apa-apa? Apa yang terjadi?” Salah seorang polisi mendatangi kami.
“Kami tak
apa-apa,” kataku cepat, menoleh pada Gabrielle. Aku menguatirkannya. “Truk
bodoh menabrak kereta kami.”
“Atau
sebaliknya,” kata si polisi dan dia bersama-sama yang lain berbondong-bondong
menuju lokasi.
“Gabrielle,”
Fran menyapu rambutnya dengan lembut. Dia menengadah dan sekali lagi aku
merasakan sesuatu yang menyakitkan melihat wajahnya yang pucat. “Semua sudah
tak apa-apa.”
“Remi.”
Aku mengerjap
begitu pula dengan Fran. Aku mengerjap bukan karena kaget dengan nama yang
sepertinya membuat Fran tak bisa bicara, tapi aku kaget betapa merdunya suara
anak ini.
“Gabrielle,
Jeremiah berada berpuluh-puluh mil dari tempat kita.” Fran menenangkannya.
Gabrielle
menunduk, menggigit bibir bawahnya. Dia lalu bangkit tiba-tiba, membawa tasnya.
“Mau kemana,
Gabrielle?” Fran terkaget, ikut berdiri. Aku juga melakukan hal yang sama.
Gabrielle berjalan cepat menuju salah satu polisi dan menarik-narik lengan
salah satu polisi.
“Tidak sekarang,
Nak.”
Gabrielle masih
keras kepala menarik lengan bajunya meski si polisi menolaknya. Fran berlari ke
arahnya dan aku ternganga melihat aksi berani Gabrielle.
Akhirnya si
polisi, yang merasa terganggu karena tak ditinggalkan Gabrielle, menoleh dan
menggerutu, “Apa?”
“Sir, boleh
pinjam ponselmu?”
Si polisi
mengerjap.
“Gabrielle!”
Fran melotot marah padanya. “Maaf, Sir. Aku—”
“Ini.” Tanpa
diduga, si polisi memberikan ponsel padanya. “Kuberi waktu satu menit.”
Gabrielle
mengambil ponsel itu meski Fran melarangnya. Dengan jemarinya yang gemetar dia
menekan tombol, menelan ludah.
“Kau mau
menelepon kemana?” Fran bertanya penasaran. “Kau tak mungkin menelepon Jeremiah
untuk datang kan? Dia tak mungkin datang—”
Terlambat.
Begitu Fran hendak menasehatinya, suara lembut Gabrielle terdengar lagi.
“Remi, kami
mengalami kecelakaan kereta api.”
***
JEREMIAH(POV)
Darahku membeku
mendengar suara Gabrielle yang gemetar di seberang sana.
“Apa?”
Aku berdiri
kaget, tak peduli bahwa aku sedang rapat saat ini. “Kecelakaan kereta api?
Kapan? Sekarang? Itu berarti beritanya akan muncul sebentar lagi.”
Mengabaikan
pandangan ingin tahu para anggota rapat, aku menghidupan televisi kemudian
melihat komputer kerjaku. Benar saja. Sudah ada beritanya. Salah satu korban
masih sempat mengabadikan kejadian itu.
“Aku akan segera
ke sana. Kau tunggu di sana.”
“Presidir!”
Salah anggota rapat berdiri begitu aku mengambil mantel dan melangkah menuju
pintu. “Kita sedang rapat!”
“Putraku sedang
mengalami kecelakaan kereta api, aku tak mungkin rapat! Rapat dilanjutkan lain
kali!” Dengan jengkel aku keluar, membanting pintu dan berita mengenai
kecelakaan kereta terdengar di sana-sini.
Aku ketakutan.
Gabrielle. Apa
dia baik-baik saja? Shit. Aku
membenci anak itu dan sebal dengan tingkahnya. Tapi begitu mendengar suaranya
yang ketakutan di telepon aku jadi panik.
Membawa Hummerku
aku menginjak gas dalam-dalam dan tak peduli soal polisi.
Gabrielle lebih
penting.
***
GABRIELLE(POV)
“Dia tak mungkin
datang,” Fran berulang kali mengatakan itu walau sudah satu jam kami menunggu
dalam diam. “Kau tak mungkin menyuruhnya kemari, Gabrielle,” katanya lagi,
meski kami juga sama-sama tahu sudah terlambat untuk mengatakan itu. “Jaraknya
jauh sekali, Gabrielle.”
Aku tak peduli.
Remi bilang dia akan datang. Remi janji
akan datang. Dia pasti akan datang. Dia memintaku untuk menunggu.
“Gabrielle, kita
harus ikut polisi itu untuk ke stasiun berikutnya.”
Aku tak mau. Aku
mau menunggu di sini. Jeremiah akan datang. Aku tak mau dia tak menemukanku.
Aku memeluk
tasku menahan gemetar dan kedinginan di sekitar tubuhku. Fran mendesah karena
aku tak mengatakan apapun dan melingkarkan tangannya di bahuku.
“Gabrielle, kita
tak bisa menunggunya terus. Kita tak tahu kapan Jeremiah datang.”
Aku tak peduli.
Aku akan terus menunggu. Aku sudah biasa menunggu. Aku tak peduli bila kalian
meninggalkanku. Aku akan baik-baik saja. Jeremiah akan datang. Dia akan datang.
Fran mendesah
lelah. “Gabrielle—”
“Sir, kurasa
kita tak bisa memaksanya.”
Aku melirik
Oliver. Untuk pertama kalinya aku menyadari keberadaannya. Aku tak suka
padanya. Dia seperti orang lain, yang menatapku dengan ekspresi dan kilatan
seperti itu seakan aku berharga, lalu akhirnya memunggungiku dan meninggalkanku
begitu saja.
Oliver tersenyum
kecil padaku dan aku mengalihkan pandangan ke depan—ke pemandangan mengerikan
kereta api yang sekarang menjadi makanannya para jurnalis, wartawan, dan
presenter.
“Baiklah. Kita
akan menunggu satu jam lagi. Jika dia tak muncul kita harus ke stasiun.”
Aku tak peduli.
Seabad pun aku akan menunggu di sini.
***
OLIVER(POV)
Walau Fran
bilang begitu, Gabrielle sepertinya tak peduli. Dia duduk dengan posisi sama
selama satu jam berikutnya tanpa bergerak. Dia tak menggubris apapun. Siapa
sebenarnya yang bercanda di sini? Tak mungkin bisa mencapai lokasi ini dalam dua
jam. Paling cepat juga tiga jam. Tapi Gabrielle tampaknya tak peduli.
Siapa sih si
Jeremiah ini sampai-sampai membuat Gabrielle lebih peduli padanya dari pada
Fran? Fran terpaksa menelan kekalahannya lagi, karena Gabrielle tak juga
beranjak walau satu jam sudah lewat. Bahkan, walau dia disuruh menunggu di
tempat ini sampai mati pun, aku curiga Gabrielle akan melakukannya.
“Kau tak bodoh
kan?” Aku bergumam padanya dan dia mendelik jengkel padaku. “Jeremiah tak
mungkin bisa datang. Kau cuma membuang waktumu. Bila dia sampai dalam waktu
singkat, itu artinya dia pembalap yang berkendara di jalanan.”
Tepat saat itu
sebuah mobil berdecit kencang, sampai membuat aspal menghitam akibat bannya
menggesek dengan keras karena rem mendadak. Sebuah mobil Hummer besar baru saja
berhenti dan seorang pria berpakaian kantoran muncul, lalu berteriak,
“GABRIELLE!” dengan panik, sampai membuat polisi yamg diujung kereta juga ikut
menoleh.
“Remi,” gumam
Gabrielle. Dia berdiri, melempar tasnya, dan berlari, memeluk Jeremiah sambil
mengalungkan tangannya ke pinggang Jeremiah.
Aku cuma mampu
menganga. Pria itu pastilah pembalap sekelas Michael Schumacher jika dia sampai
di sini dengan waktu secepat kereta api.
Fran segera
mendatanginya. “Jeremiah... aku tak menyangka...”
“Kenapa bukan
kau yang menghubungiku?” Pria itu berteriak marah padanya, memeluk Gabrielle
yang tampak lebih kecil karena ukuran hulknya. Fran tergagap sehingga dia
melanjutkan, “Apa kau tak tahu seberapa takutnya aku jika terjadi apa-apa
padanya? Kupikir aku bisa saja terkena serangan jantung di tengah jalan begitu
mendengar bahwa kalian ada di kereta sialan yang terbalik! Kau mau membuatku
cepat mati? Kalau kau tak bisa mengatasinya sendiri kenapa tak bilang saja
padaku? Kau bisa menjaga dia atau tidak sih?”
Fran tertunduk.
Wajahnya pucat. “I’m sorry.”
“Jangan cuma
minta maaf tapi kau harus berjanji agar kejadian ini tak terulang! Kau tak
sadar kalau Gabrielle terluka? Kepalanya juga memar tahu!”
Fran tersentak,
begitu pula denganku. “Memar?” Kami berdua berkata berbarengan.
Jeremiah
melirikku dengan tampang tak suka. “Siapa itu?”
“Dia Oliver
Evans. Kami tadi di kompartemen yang sama.” Fran menjelaskan.
Jeremiah
mendengus. “Hmph. Lagi-lagi orang asing yang kau pungut di tengah jalan. Aku
tak mau dia dekat-dekat Gabrielle.”
Fran
menggertakan gigi. “Aku Ayahnya Gabrielle, Jeremiah.”
“Jika kau
berpikir begitu, sayang sekali, aku juga Ayahnya.”
Aku mengerjap
begitu pula dengan Fran.
“Apa maksudmu?”
Fran bertanya kebingungan.
“Itu nanti saja.
Yang lebih penting adalah membawa Gabrielle ke rumah sakit.” Tidak memedulikan
pelototan Fran, Jeremiah membimbingnya ke dalam mobil, membantunya naik.
“Dimana tas kalian? Oh, yang ini?”
“Oliver juga
ikut.” Fran melipat tangan. “Aku tak bisa meninggalkan dia di sini. Dia sudah
membantu kami berulang kali.”
Jeremiah
menaikan alis. “Seperti apa?”
“Please, Jeremiah,” Fran mendesah. “Dia
masih anak-anak.”
Jeremiah
menatapku, lalu melirik Fran yang memelas. “Ok. Tapi anak ini tak boleh
mendekati Gabrielle.” Lalu dia mengangkat koper tas Gabrielle dan tas Fran
dengan mudah seolah benda itu bukan apa-apa baginya, dan melemparkannya ke
bagasi belakang.
“Dia memang
seperti itu,” kata Fran padaku. “Tapi dia bukan orang jahat.”
“Apa kalian
pacaran?”
Fran mengerjap
lagi, kemudian wajahnya merah padam saat mencerna kata-kataku barusan.
“A-a-apa?”
Crap. Aku tak bisa menjaga mulutku.
“Tidak. Bukan apa-apa.”
Dengan
tergesa-gesa aku naik ke bagian depan mobil. Jeremiah mendengus padaku.
Gabrielle berada di belakang Jeremiah, memeluk Jeremiah lehernya dari belakang,
yang membuat Jeremiah tersenyum padanya.
Aku jengkel
melihat keakraban mereka.
“Apa yang kau
lihat, Anak Muda? Lihat ke arah lain!” Dia menyentil dahiku kemudian menoleh
pada Fran yang baru masuk. “Dan kenapa kau lama sekali? Kau kan tak membawa
apapun. Dan kenapa wajahmu merah seperti itu? Sakit? Oh, shit. Dan kau juga memar!”
Fran mengerjap
lagi. “Dimana?”
“Dimana? Astaga!
Di dahimu! Kau juga memar, Anak Muda. Tampaknya kita harus mampir ke tempat
teman lama.”
Aku dan Fran
sama-sama memegang dahi kami dan sama-sama mengeluh merasakan nyeri dan
benjolan di sana. Dan aku juga baru menyadari bahwa bahu dan telapak tanganku
juga sakit.
Terlepas
daripada sadisnya Jeremiah, dia punya mata yang jeli.
Dan aku masih
penasaran dengan satu hal: apakah Jeremiah dan Fran pacaran? Aku tak berani
bilang “sepasang kekasih“ karena mereka berdua lelaki.
Tapi, aku
melirik Fran dari spion, yang menatap bagian belakang kepala Jeremiah dan aku
yakin bahwa Fran naksir Jeremiah.
Tidak. Bukan.
Aku melihat
kilatan di matanya.
Fran mencintai Jeremiah.
***
Medan, 26 Juli 2013
6 komentar:
Akhirnya post jugaaaaa~
Aku ngungsi dari watty ke sini ka #ngok
Aku samasekali ga keberatan dah remixfran. Mereka cocok ko kkk~
Kalo mereka di barengin aku selalu kebayang fran emaknya remi bapanya =_= dan memang bgtu kan? XD
Dan.. O-o... Ada 'calon' di sini *lirik Oliver-Gabrielle* bahahaha.
Serius yaa. Remi itu keren aaaa~
Semangat Kak! Updatenya jangan lelama yaa :3
-Iriantum-
Yampuuuuunnn~~
JEREMIAAAAAHHH~~
You're so awesome *bleeding
Kakak, ini sumpah ya. Si Remi ini selalu mempesona minta ambruk. Trus kenapa deh itu sama si Oliver? Ada apa sama dia sampe si Remi nggak suka gitu? Nggak mungkin kan dia tau si Oliver kesemsem sama Elle, hahaa
Gabriele kepanjangan, singkatin aja :D
Okeh2, ditunggu deh lanjutan daddy Remi sama Mommy Fran :D
Mereka yg nggak suka cerita sejenis ini tuh, mereka yg punya pola pikir sok idealis, tapi gagal. Hidup nih simpel, nggak suka ya jangan baca.
Yeah.. Baru mampir lagi di mari setelah sekian lama :D
Hhah.. Tulisanmu mah udh gak usah dikomentarin. Udh jelas gitu rapinya. Ckck -_-"
Jadi ya, bingung sndiri mau komentar apa. Blm nemu sesuatu yg perlu dikomentarin dr cerita ini.
Berharap ajh mudh"an imajinasimu makin berkeliaran tak tentu arah di dalam kepalamu, biar bs cpet" dituangin lewat tulisan. Yg kemudian saya nikmatin di waktu senggang :D
Terlepas daripada sadisnya Jeremiah, dia punya mata yang jeli.
#hiyaaa mkin suka sm Remi :*
frans malu2 mau, gabrielle so cool, oliver hmm pnsaran dia bakal jd tkoh yg kyk apa. hehehe
semangat kakak, crita nya d lnjut y kak. di tggu pkok nya :D
Salam kenal author :D
Aaaaa suka bgt sama karya2mu author
Apalagi yg ni, pasangan satu ni bikin penasaran
cocok baget deh si pap rem sama mam fran
Penasaran juga nih sama oliver....
Apa si remi nih udah mulai suka sama fran??
Ditunggu loh author, kelanjutannya^^
yey.. ada kisah si Jeremy juga akhirnya
wah.. si mas playboy abal"
hehhehee
dia baik dibalik semua kelakuan ajaib dan liarnya
duh ni cerita bikin panas dingin
mungkin karena kebanyakan baca beginian tiap liat cowok ganteng bareng jadi senyum" curiga. hahaha
Posting Komentar