Debaran Empat Puluh
Bye Bye
11.25
Aku duduk di
kursi taman. Menunggu dalam diam dan menghela napas. Masih jam sebelas lewat
dua puluh lima. Aku datang terlalu cepat. Nero berjanji datang pukul dua belas
siang tepat. Untuk makan siang bersama. Untuk membicarakan kembali hubungan
kami.
Bibirku
tersenyum sendiri. Uh. Apa sih yang kupikirkan? Tiap kali mengingat Nero aku
selalu tersenyum sendiri seperti orang gila.
Nero selalu bisa
membuatku bahagia. Tentu dia juga pernah membuatku kesal. Itu tak perlu
ditanya. Tapi kami tak pernah sampai harus berantem. Nero tahu bagaimana
menghadapiku. Dia tahu bagaimana harus bersikap padaku. Dia tahu bagaiamana
cara membuat hatiku luluh. Dia tahu bagaimana mendaptkan kembali hatiku setelah
aku memutuskan untuk melepasnya.
Lalu aku sadar
bahwa aku sebenarnya merindukan Nero. Aku ingin dia ada di sini. Saat ini juga.
Tersenyum padaku. Lalu mengatakan bahwa dia akan bersamaku selamanya.
Tapi jam sudah
menunjukan pukul 12.35. Nero terlambat.
Kali ini, dengan
cemas aku melihat sekitarku. Melihat keberadaan Nero. Tapi dia tak ada.
Nero... kau ada
dimana?
***The Flower
Boy Next Door***
14.15
Nero sedang
berjuang untuk hidup.
Dan Dokter
Nathan sedang berusaha melakukannya.
Dibantu oleh
empat orang dokter ahli bedah dan syaraf, mereka melakukan operasi besar yang
tak mampu ditunda lagi. Nero kritis. Dan pendarahan nyaris merebut nyawanya.
Dokter Nathan
mengalihkan pandangannya dari monitor EKG yang berbunyi pip dengan pelan.
Kemudian pada Nero.
Wajah Nero
semakin pucat. Pintu ruang operasi terbuka. Stok darah kembali datang. Didorong
oleh seorang perawat. Sudah nyaris tiga jam mereka ada di sini dan kondisi Nero
semakin lama semakin lemah.
***The Flower
Boy Next Door***
15.45
Matt merasakan
sebuah remasan di bahunya yang membuatnya sadar. Jacob telah duduk di
sampingnya. Menatapnya tanpa berkedip tapi tidak mengatakan apa-apa. Tapi Matt
setidaknya tidak lagi sendirian.
Nero sejak tadi
masih ada di dalam ruang operasi. Dia dipindahkan dari IGD ketika kondisinya
kritis untuk melakukan operasi besar yang membuat jantung Matt mencelos. Matt
bahkan tak ingat lagi bagaimana dia berhasil menandatangani seluruh berkas dari
rumah sakit dengan tangan gemetar. Dan semakin ketakutan melihat perawat dan
dokter berulang kali masuk keluar masuk ke dalam ruang operasi, dari satu orang
menjadi dua orang, lalu jadi tiga orang. Membawa stok darah sekaligus pula
berlumuran darah. Apa yang sebenarnya terjadi pada Nero? Kenapa ada begitu banyak
orang yang ada di dalam sana?
Sudah beberapa
jam dan mereka belum bisa memberitahunya bagaimana keadaan Nero selain: “Kami
sedang berusaha semaksimal mungkin.“
Semaksimal apa?
Matt ingin menjerit. Dia frustasi oleh rasa ketakutan, kepanikan, dan rasa ngeri,
karena tak mampu berada di samping Nero padahal jarak mereka begitu dekat.
“Matt, aku harus
mengatakan ini padamu.” Jacob akhirnya bicara setelah dia diam cukup lama.
Matt tidak
mengatakan apapun. Dengan gelisah dia mencengkram lututnya, dengan tangan masih
berlumuran darah dan sudah mulai menghitam.
Jacob memutuskan
untuk berbicara. “Polisi sudah menangkap Deborah. Dia akan segera diadili.”
Rahang Matt
mengeras. “Aku tak ingin bertemu dengannya. Jika kau tetap memaksaku aku
sendiri yang akan membunuhnya dengan tanganku.”
Jacob menggeleng
kecil. “Kau tak perlu bertemu dengannya. Aku akan mengurusnya. Yang ingin
kukatakan adalah bahwa wanita itu punya kelainan.”
“Tentu saja!”
Matt meraung. Dia gila. “Dia psikopat! Menurutmu apa lagi kata yang pantas untuk
wanita gila itu sampai dia rela menyebrangi benua hanya untuk membunuh seluruh
anggota keluargaku?”
“Matt—”
“Dua tahun
setelah aku menikah dia membunuh keluargaku! Dan polisi bilang itu kecelakaan
karena tak menemukan bukti yang cukup untuk menjeratnya. Tak lama kemudian
Theressa. Membuat Nero dihantui mimpi buruk setiap malam karena melihat
kematian Ibunya sendiri. Lalu ada Jennifer juga yang harus terkena imbalanya
padahal dia tak pantas menanggung kematian dan dia nyaris membunuh Ageha juga!
Sekarang... Nero...”
“Matt,” Jacob
memegang bahunya. “Aku mengerti. Aku tahu perasaanmu. Aku ini temanmu sejak
kecil. Kau pikir aku ke sini untuk apa? Menertawakanmu?” katanya lembut.
Matt terhenyak
lagi ke kursi.
“Aku juga marah
padanya. Sama sepertimu. Kau tenang saja. Aku akan mengurusnya. Dan kali ini
akan kupastikan dia tak akan pernah lagi menyentuhmu dan keluargamu. Aku
bersumpah.”
Matt membenamkan
wajahnya ke kedua tangannya dan menangis. Kenapa semuanya harus seperti ini?
Kenapa ketika dia baru saja mencicipi apa itu kehidupan dia harus harus
merasakan kematian lagi?
Dad, maafkan dia...
Sekarang
bagaimana caranya aku mampu memaafkannya Nero?
***The Flower
Boy Next Door***
16.00
Nero kenapa kau
lama sekali?
Aku menggigit
bibir. Menatap telapak tanganku yang pucat. Sebutir salju turun. Meleleh
manjadi butiran air.
Kepalaku
mengadah.
Salju.
Ini pertama
kalinya aku melihat salju turun dari langit. Mereka tampak seperti hujan dalam
butiran kapas yang indah. Membasahi jalan dan membentuk gumpalan.
Aku tersenyum kecil
melihat anak kecil yang tampak antusias dengan salju yang turun. Para pasangan
yang berjalan sambil bergandengan tangan sekarang makin memperdekat jarak
mereka. Saling memeluk satu sama lain dan tampak mesra.
Sementara aku
masih sendirian.
Aku tahu bahwa
Nero terlambat. Lalu kenapa aku masih menunggunya?
***The Flower
Boy Next Door***
18.57
Dokter Nathan
berhasil menyelesaikan proses jahitan paling akhir pada operasi kali ini.
Mereka nyaris
saja menghela napas lega. Nyaris. Karena tepat saat itu EKG menunjukan sesuatu
yang membuat Dokter Nathan ketakutan.
Piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Garis monitor
telah datar.
Jantung Nero
tiba-tiba berhenti berdetak.
“Siapkan defibrillator,”
perintah Dokter Nathan.
Perawat segera
membawa alat kejut jantung berbentuk setrikaan ke dekatnya. Yang lain segera
mengoleskan gel bening ke dada Nero.
“200 joule. All clear?” tanya Dokter
Nathan.
“Clear!” Mereka menjawab serentak, melepas
pegangan dari tubuh Nero maupun tempat tidurnya.
Dokter Nathan
meletakan defibrilator ke dada Nero. Tubuh Nero menegang. Tersentak ke atas
oleh tegangan listik.
Tapi monitor EKG
masih datar.
Dokter Nathan
kembali melanjutkan tindakan resusitasi.
“360 joule. All clear?”
“Clear!!”
Mereka melihat
dengan gugup pada EKG saat Dokter Nathan kembali meletakan alat kejut jantung
itu ke dada Nero. Tempat tidur bergetar hebat.
Mereka menunggu
sambil menahan napas. Tapi garis masih datar.
Dokter Nathan
menelan ludah. Tidak. Dia tak akan menyerah.
“420 joule—”
Salah satu
Dokter memotongnya. “Are you insine?”
“420 joule!” bentak Nathan.
Mereka mundur.
“420 joule. All clear?”
“Clear!”
Tim paramedis
sekarang melihat dengan ngeri bagaimana Nathan meletakan lagi benda itu ke dada
Nero. Untuk yang ketiga kalinya tubuh Nero terangkat. Tersentak oleh kekuatan
listrik yang dahsyat.
Mereka memandang
monitor EKG tanpa suara.
Piiiiiiiiiiiiiiiiii
Tapi garis
monitor tak bergerak.
Dokter Nathan
menutup mata.
“Waktu kematian?”
“19.03”
Dia gagal
menyelamatkan Nero.
***The Flower
Boy Next Door***
20.08
Tak datang...
Air mataku bergulir.
Harapan yang tadi sempat membengkak terkikis sedikit demi sedikit.
Nero tak akan
pernah datang. Karena dia tak ingin bersamaku.
Kuhapus air
mataku. Dengan susah payah kupaksa kakiku bangkit.
Nero membawa
hatiku pergi. Tapi dia tak bersedia memberi hatinya padaku.
Dan aku kecewa
karena itu.
Cinta pertamaku
mengucapkan selamat tinggal padaku. Cinta pertama yang awalnya manis lembut dan
hangat berakhir dengan pahit dingin dan penuh kekecewaan.
Dan aku
melangkah pergi tanpa berbalik.
***The Flower
Boy Next Door***
5 tahun kemudian
Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta
“Kau tak perlu
mengantarku.” Devon menggaruk-garuk kepalanya dengan gelisah begitu aku sampai
di bandara.
“Mana mungkin.
Ini akan jadi terakhir kalinya aku melihat tampangmu yang menyebalkan itu.”
Devon memutar
bola matanya. “Pantas saja kau masih jomblo sampai sekarang. Jika kau masih
remaja, sikapmu itu akan dibilang manis dan enerjik. Tak ada yang mau
mengambilmu jadi isteri kalau kau bersikap seperti itu terus saat kau menginjak
usia dua puluhan.”
“Sialan kau.”
Aku mengijak kakinya dengan sebal.
Devon meringis.
Mengelus-elus kakinya. “Cewek kasar!”
“Kalau aku tak
menikah kan ada kau,” ledekku.
“Siapa yang mau
menikah denganmu?” balas Devon jengkel. “Aku pasti kehilangan kewarasanku jika
aku sampai menikah denganmu.”
Aku tertawa
kecil. “Sekarang aku bisa mengerti kenapa Audrey putus denganmu dan memilih
Zoe.”
Devon memutar
bola matanya dan kembali berdiri tegak. “Sori, aku bukan tipe cemburuan melihat
mantan pacar bersanding dengan teman sendiri.”
“Asal kau tahu
saja kami belum menikah.” Tiba-tiba terdengar suara Zoe.
Aku segera
tersenyum melihat Audrey yang digandengnya. Audrey segera menyambutku. Kami
cepika-cepiki sambil terkikik geli.
“Kenapa kalian
datang?” Devon menaikan alis.
“Tentu saja kami
harus datang. Sahabat kami tiba-tiba saja mendapat beasiswa kedokteran ke
London. Siapa yang bakal menyangka bahwa si preman Devon bisa mengalahkan
ribuan orang di ujian bulan lalu?” balas Zoe.
Lagi-lagi Devon
memutar bola matanya. “Itu bukan sesuatu yang membanggakan.”
“Kau sangat
membanggakan,” kata Audrey.
Devon tersenyum
hangat padanya. “Terimakasih,” katanya sungguh-sungguh. “Tapi aku tak akan
tergoda.”
Audrey tertawa. “Mana
Vion?”
“Kalian
mengundangnya?” kata Devon tak percaya.
“Aku yang mengundangnya,”
kataku cepat.
Devon
memelototiku. “Dasar Nenek Lampir!”
“Demi Tuhan,
Devon, sampai kapan kau akan terus membencinya?” Aku bertanya keheranan. “Dia
tak seburuk itu tahu.”
“Aku tak
membencinya. Aku hanya tak menyukainya.”
“Sama saja,”
ujarku.
Kemudian Kak
Vion muncul dengan seragam kemiliteran TNI yang menarik perhatian. Tubuhnya
sekarang lebih tinggi lebih tegap dengan dada bidang dan otot-otot lengan yang
mantap. Sepatunya berbunyi ketika dia melangkah. Wajahnya yang terbakar sinar
matahari tersenyum hangat seperti biasa.
“Hey, sori aku telat.
Baru kabur dari latihan,” katanya memelukku sekilas. Alisnya menaik melihat
Audrey yang menggandeng lengan Zoe. “Tampaknya aku terlambat mendapatkan berita
terkini.”
“Mau bagaimana
lagi kalau kau tinggal di hutan belantara.” Devon bergumam sadis.
Kak Vion
tertawa. “Sudah lama aku tak mendengar gerutuanmu itu, Devon. Kau tak berubah
ya? Sayang sekali kau segera ke London. Aku akan merindukan keritikanmu.”
“Selagi aku
masih di sini kau bisa menikmati setiap katanya.” Devon menambahkan.
Kak Vion
lagi-lagi terbahak. “Kami juga. Sudah lama kami tidak berkumpul seperti ini dan
rasanya sangat menyegarkan walau hanya sementara.”
Tapi aku
benar-benar tak menyangka bahwa Devon bisa mendapat beasiswa. Dia bahkan menyelesaikan
pendidikannya dalan waktu 3 tahun. Rekor luar biasa. Devon begitu
bersungguh-sungguh ingin jadi Dokter untuk Mamanya.
Pengumuman
panggilan untuk keberangkatan Devon membahana.
“Time to fly,” gumam Devon.
Kak Vion
memeluknya lebih dulu. Devon kulihat tersenyum kecil di balik punggung Kak Vion
dan menepuk punggung Kak Vion dengan bersahabat.
Lalu dia memeluk
Audrey yang sekarang berkaca-kaca.
“Hey... don’t cry,” bisik Devon menghapus
air matanya.
“I‘m sorry,” isak Audrey.
Devon
memeluknya. “It‘s okay. You have Zoe now.
He’ll protect you well than me like a predator.”
Devon nyengir
lebar pada Zoe yang balas nyengir padanya. Audrey tertawa kecil, memukul dada
Devon.
Devon melepasnya
dan ganti memeluk Zoe.
“Promise me, you‘d always love her and give her
happiness,”
kata Devon.
“I promise,” kata Zoe.
Devon tersenyum
lebar saat melepas pelukannya. Matanya lebih bersinar memandang Audrey. Dia
memang pernah mencintai Audrey bahkan masih.
Aku bisa melihatnya. Tapi Devon berbahagia dengan keputusan Audrey yang memilih
Zoe ketimbang dirinya.
Devon adalah
orang yang gentle, seperti yang
selalu dikatakan Nero padaku. Ketika Devon melangkah mendekatiku, aku langsung
memeluknya. Selama ini Devonlah yang ada di sampingku. Dia menjadi teman
curhatku. Sahabat terbaikku. Menghiburku tiap kali aku bersedih. Di sampingku
saat aku membutuhkan. Dan aku pasti akan sangat merindukannya.
“Aku belum pergi
dan kau sudah merindukanku?” candanya. Aku tertawa kecil dan melepas pelukanku.
“Niken berbahagialah. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan.”
Aku mengangguk
kecil.
Devon tersenyum.
Mengecup dahiku dengan sayang lalu menarik kopernya.
“Bye,” katanya melambai.
Kami balas
melambai padanya. Aku masih tinggal lebih lama untuk melihat pesawat Devon
lepas landas. Memandangi langit biru yang cerah dan penuh awan sebagai
penghiasnya dengan bentuk-bentuk yang sangat cantik.
Nero, the sky looks beautiful today. Your bestfriend
is also flying under this beauty blue sky. What about you?
Do you see what I see today?
***The Flower
Boy Next Door***
Arc de Triomphe, Prancis
Dengan earphone
terpasang di telinga, pria itu mendengarkan salah satu lagu romantis.
Moi je
n’étais rien
Mais voilà qu’aujourd’hui
Je suis le gardien
Du sommeil de ses nuits
Je l’aime à mourir
(Me I was nothing
But today
I am the keeper
Of her nights' sleep
I love her to death)
Mais voilà qu’aujourd’hui
Je suis le gardien
Du sommeil de ses nuits
Je l’aime à mourir
(Me I was nothing
But today
I am the keeper
Of her nights' sleep
I love her to death)
Rambutnya yang
hitam halus diterbangkan angin. Dia mengadah. Menghadapkan wajahnya langit biru
yang indah. Bibirnya tersenyum tak kala dia merasakan angin sepai-sepoi yang
membelai lembut wajahnya.
Vous pouvez
détruire
Tout ce qu’il vous plaira
Elle n’aura qu’à ouvrir
L’espace de ses bras
Pour tout reconstruire
Pour tout reconstruire
Tout ce qu’il vous plaira
Elle n’aura qu’à ouvrir
L’espace de ses bras
Pour tout reconstruire
Pour tout reconstruire
Je l’aime à mourir
(You can destroy
Anything you'd like
She will only need to open
Her arms
To rebuild everything
To rebuild everything
Anything you'd like
She will only need to open
Her arms
To rebuild everything
To rebuild everything
I love her
to death)
“—o”
Elle a gommé
les chiffres
Des horloges du quartier
Elle a fait de ma vie
Des cocottes en papier
Des éclats de rires
Des horloges du quartier
Elle a fait de ma vie
Des cocottes en papier
Des éclats de rires
(She erased the numbers
From the area's clocks
She transformed my life into
Paper hens
Bursts of laughter)
From the area's clocks
She transformed my life into
Paper hens
Bursts of laughter)
Kali ini dia
membuka matanya. Mata coklat terang yang indah menatap langsung ke langit.
Melihat pilar dari Arc de Triompe yang menjulang tinggi di belakangnya.
Tumitnya menghentak pelan seiring dengan alunan musiknya.
Elle a bâti des ponts
Entre nous et le ciel
Et nous les traversons
A chaque fois qu’elle
Ne veut pas dormir
Ne veut pas dormir
Entre nous et le ciel
Et nous les traversons
A chaque fois qu’elle
Ne veut pas dormir
Ne veut pas dormir
Je l’aime à mourir
(She built bridges
Between us and the sky
And we cross them
Everytime she
Doesn't want to sleep
Doesn't want to sleep
Between us and the sky
And we cross them
Everytime she
Doesn't want to sleep
Doesn't want to sleep
I love her
to death)
“—!!”
Rasanya dia
mendengar ada suara di dekatnya.
Elle a dû
faire toutes les guerres
Pour être si forte aujourd’hui
Elle a dû faire toutes les guerres
De la vie, et l’amour aussi
Pour être si forte aujourd’hui
Elle a dû faire toutes les guerres
De la vie, et l’amour aussi
(She must have been part of every war
To be so strong today
She must have been part of every war
Life's and love's also)
To be so strong today
She must have been part of every war
Life's and love's also)
“Damn you Man! How many time I should call your
name?”
Kali ini dia
mendengar suara teriakan yang begitu jelas. Berdenging dengan luar biasa ke
gendang telinganya ketika salah satu earphonenya
ditarik dengan paksa keluar dari telinganya.
Elle vit de son mieux
Son rêve d’opaline
Elle danse au milieu
des forêts qu’elle dessine
Son rêve d’opaline
Elle danse au milieu
des forêts qu’elle dessine
Je l’aime à mourir
(She lives as well as she can
Her opalin dream
She dances in the middle
Of the forests she draws
Her opalin dream
She dances in the middle
Of the forests she draws
I love her
to death)
“Jack!” Dia meraung. “It hurts!”
“It hurts my ass,” Jack mengejek sambil
memutar bola matanya. “What are you doing
here?”
“What the hell do you think I am doing?”
Jack menaikan
alis. “Ok forget it.” Lalu memilih
duduk di sampingnya. “I always knew when
I can‘t find you I just have to come here.”
Dia tersenyum.
“Every single time you come to France you always
coming here just for sitting. Are you insine? Eiffel is better than Arc de
Triomphe.”
“I know but I love being here. This place called my
name.”
Elle porte
des rubans
qu’elle laisse s’envoler
Elle me chante souvent
que j’ai tort d’essayer
De les retenir
De les retenir
qu’elle laisse s’envoler
Elle me chante souvent
que j’ai tort d’essayer
De les retenir
De les retenir
Je l’aime à mourir
(She wears ribbons
That she let's fly away
She often sings to me
That I am wrong to try
To hold them back
To hold them back
That she let's fly away
She often sings to me
That I am wrong to try
To hold them back
To hold them back
I love her
to death)
Jack menaikan
alis. “Ok. You‘re weird now. Hey what
happened with your brown hair?”
Dia tersenyum. “I don‘t want to look same with him anymore.”
“Same? With who?”
“Him.” Dia menjawab dan mengadah melihat
langit. “I‘m his resemble.”
Jack juga ikut
melihat langit. Mengerutkan dahi. “I don’t
know you have twins. Is he died?”
Tapi dia tak
menjawab dan kembali menutup mata, menikmati angin dan lagu yang mendayu-dayu
di telinganya.
Pour monter dans sa grotte
Cachée sous les toits
Je dois clouer des notes
A mes sabots de bois
Cachée sous les toits
Je dois clouer des notes
A mes sabots de bois
Je l’aime à mourir
Je dois juste m’asseoir
Je ne dois pas parler
Je ne dois rien vouloir
Je dois juste essayer
De lui appartenir
De lui appartenir
Je ne dois pas parler
Je ne dois rien vouloir
Je dois juste essayer
De lui appartenir
De lui appartenir
Je l’aime à mourir
(To come up to her cave
Hidden beneath the roofs
I have to nail notes
To my wooden clogs
Hidden beneath the roofs
I have to nail notes
To my wooden clogs
I love her
to death
I must
only sit
I must not talk
I must not want anything
I must only try
To belong to her
To belong to her
I must not talk
I must not want anything
I must only try
To belong to her
To belong to her
I love her
to death)
Has there ever been anyone who thought so much of me
in the past?
Sebuah jalan
cerita cinta mungkin dimulai dari sebuah pertemuan singkat yang dilalui dengan
kenangan manis tapi tidak selamanya berakhir dengan happy ending.
Ini hanya salah
satu dari kisah itu.
***The Flower
Boy Next Door***
TAMAT
Medan, 05 Juli
2013
1 komentar:
hah? jadi? apa temen"nya ga tau kalau Nero mati?
dan nero kembar juga ya?
endingnya bikin cengo
suka sih karena semua ga harus happy ending
cuma ga adil aja bagi Nero
ternyata mantan bisa begitu mengerikan
Posting Komentar