08.
The Ex
KEYNA(POV)
Cody menjemputku
tepat jam 7, mengendarai bugattinya yang berhasil menarik perhatian para
tetangga begitu dia keluar dari mobil, apalagi begitu melihat penampilannya
yang luar biasa bergaya malam ini.
Cody mengenakan
kemeja rapi berwarna merah dengan kedua lengannya digulung sampai siku. Dasi
berwarna putih tergantung lurus menutupi garis tengah kemejanya. Dia mengenakan
leg jeans berwarna gelap dipadu dengan
boots kulit bergaya yang mantap
dibagian tumit, sehingga, ketika dia melangkah, kakinya jadi tampak lebih
kokoh. Apa yang terbaik dari itu? Kacamata. Yep. Cody mengenakan kacamata hitam
yang kontras sekali dengan warna kulit pucatnya.
Damn. He‘s gorgeous!
Bibir Cody
tersenyum begitu melihatku. “Sore Key. Sudah siap berangkat?“
Kepalaku
mengangguk kaku dengan susah payah, bertanya-tanya apa tak sebaiknya kami
membatalkan konser malam ini, dan lebih baik di rumah saja semalaman sambil
memeluknya. Ya ampun, Cody pasti akan langsung menolak dan pergi begitu saja.
“Kalau begitu,
kau ingin aku menggendongmu ke mobil?“ tanyanya.
Aku mengerjap
dan segera sadar apa maksud perkataannya barusan. Cody tersenyum menggoda dan
aku sadar bahwa dia sedang bercanda. Aku terlalu lama mengaguminya sampai lupa
bahwa aku harus naik ke mobilnya.
Cody membukakan
pintu padaku begitu aku melangkah masuk ke dalam.
“Thank you.“
“You‘re welcome, Beauty.“
Benarkah dia
memanggilku “beauty“? Aku tak salah dengar kan? Aku merasa melayang. Belum
pernah ada yang memujiku “beauty“. Mereka selalu menyebutku “sexy“. Bukannya
aku protes, tapi cara Cody memilih kata dan intonasi suara, membuatku merasa
bahwa aku tampil cantik untuknya, dan hal itu membuatku lebih percaya diri di
sampingnya.
Cody segera
duduk di sebelahku, memakai seat beltnya
dan tersenyum manis ketika berkata, “Gaun yang bagus.“
Wajahku merona,
aku yakin itu. Tapi aku tak ingin jadi satu-satunya orang yang dibanjiri
kata-kata pujian. “Malam ini kau tampil tampan dan elegan Cody.“
“Aku harus
menandingi pacarku dalam hal berpakaian jika tak ingin dia kabur dariku.“ Cody
menjelaskan dengan nada kasual, tapi kalimatnya barusan seperti gendang yang
ditabuh bersamaan di telingaku dan berespon terhadap jantungku.
Dia melakukannya
untukku? Cody ingin tampil seimbang dengan gaya berpakaianku yang mengenakan
gaun, tampil berani dan seksi, juga glamor, sehingga dia layak berdiri di
sampingku. Aku tersentuh sekali.
Mungkinkah hal ini ada kaitannya dengan Janson? Tentunya dia memiliki rasa
untukku bila berbuat sedemikian jauh kan? Aku harus mencari tahu. Tapi aku
harus hati-hati melakukannya. Aku tak ingin tampak seperti wanita stalker.
“Kita akan ke
konser mana?” tanyaku menoleh padanya dengan penuh ketertarikan. Cody memang
mengajakku nonton konser jazz tapi dia tak mengatakan apapun soal konser siapa.
Cody tak
mengalihkan pandangan saat menjawab. “Bukan konser besar. Hanya konser para
jazzer muda. Tapi temanku akan ikut berpartisipasi di sana.”
“Temanmu?”
ulangku keheranan. “Siapa?”
“Thomson.”
“Thomson Black?”
Aku mengulang tak percaya, menutup mulutku dengan kedua tanganku. Cody
mengangguk kecil dan aku menjerit tertahan. “Dia temanmu?”
“Mhm. Kenapa?”
“Aku penggemar
beratnya! Oh ya ampun aku tak percaya ini. Tak tahukah kau bahwa dia punya
suara yang luar biasa? Semua lagunya benar-benar menyentuh hati. Loving in Death, Beautiful Flower, Let Me
Fallin in Love, Having Your Soul, Deep Inside—“ Aku berhenti melihat Cody
yang menatapku. Wajahku memerah lagi. “Sori.”
Cody tertawa
renyah. “Kau benar-benar penggemar berat Thomson. Dia pasti akan senang bertemu
denganmu.”
Mataku membulat
lagi. “Aku bisa bertemu dengannya?”
Kedua bahu Cody
mengangkat santai. “Kenapa tidak? Mungkin kita bisa minta tanda tangan dan foto
bareng untukmu?”
“Aaw, Cody,” aku
berkata, terharu sekali. “Makasih banget.”
“Bukan masalah
besar, Key.”
Kami
menghabiskan waktu kami sepanjang jalan dengan mengobrol. Cody memberitahuku
bahwa Thomson mungkin tak akan membawa banyak lagu karena dia hanya tamu
pendukung untuk para jazzer baru. Aku bilang itu tak apa karena hanya menonton
jazz saja, dengan Cody di sampingku, sudah luar biasa cukup.
Begitu kami
sampai, Cody membukakan pintu untukku. Aku turun dengan anggun, menumpukkan
tanganku pada tangannya, setelah itu menggandeng tangannya untuk masuk ke
gedung pertunjukkan yang berdiri kokoh, berwarna orange, yang sudah dipenuhi dengan lampu-lampu sorot.
JAZZER IN SHOW
Aku tersenyum
lebar begitu kami bersama-sama masuk dengan para penonton lain. Cody
menyerahkan tiket pada mereka—yang berwarna perak—khusus untuk VVIP. Wow, Cody
bahkan mendapatkan tiket VVIP. Tiket itu menuntun kami ke barisan depan dan
tepat duduk di kursi berlengan empuk yang menghadap ke atas panggung.
Tempat yang
sangat eksklusif sekali.
“Aku sudah tak
sabar,” bisikku pada Cody.
Cody mengangguk
kecil, tersenyum menenangkan. “Aku tahu.”
“Tak tahukah kau
kalau kau benar-benar perhatian?”
Dia memiringkan
kepalanya sedikit, tanda tak mengerti. Lalu dia lambat-lambat mengatakan, “Bukankah
itu sudah jadi kewajiban para pria?”
“Aku tak pernah
diperhatikan sampai seperti ini sebelumnya,” kataku.
Cody tersenyum
lagi. “Kuharap kau menikmatinya.”
“Memang dan harus.”
Sambil
menggandeng tangannya, aku meletakkan kepala ke bahunya, menunggu mulainya
konser dan menikmati kenyamanan di bahu Cody.
Aku mendengar
Cody menghela napas. “Kau tahu,” katanya pelan, “ini kencan pertama kita.”
Aku mengerjap, menengadah,
menatap matanya. Benar juga. Selama ini kami hanya makan dan tak pernah
benar-benar kencan. Ini kencan pertama yang berhasil dibuat Cody, membuatku
merasa bahwa ini bukan kencan, karena asal bersamanya segala hal yang kami
lakukan berdua adalah kencan.
Tersenyum
kembali, Cody mengecup dahiku, “Kuharap kita bisa seperti ini terus.”
Harapan itu
seperti janji yang tak akan pernah terhapus.
Lampu-lampu
dipadamkan. Gaung suara manusia segera berhenti. Di tengah panggung sekarang
berdiri para jazzer, memainkan musik pertama mereka. Alunan lembut musik, lirik-lirik
romantis dari suara-suara luar biasa yang melodis, berhasil membuatku
terhanyut—dengan Cody di sampingku. Aku menggandengnya dan kadang dia mencium
kepalaku. Terasa sangat sempurna.
Andai waktu bisa
berhenti. Aku tak keberatan begini terus selamanya.
Hanya saja Bumi
kan berputar dan Tuhan tak mungkin mau mendengarkan doa omong kosongku karena
ada banyak sekali manusia yang berharap hari esok cepat datang.
Jadi dua jam
kemudian—yang rasanya seakan satu menit bagiku—konser pun berakhir. Para
penonton berdiri, memberikan applause
riuh rendah. Kami juga melakukan hal yang sama. Mereka yang memberikan bunga
mulai mendatangi backstage, termasuk
aku dan Cody.
Tapi, tidak
seperti tamu yang lain kami berdua lolos dengan mudah dari para security karena Thomson sendiri yang
langsung meminta kami ikut dengannya.
“Konser yang
bagus,” kata Cody begitu kami duduk di ruang rias Thomson.
Thomson, si pria
Afrika-Amerika, dengan kulit gelap, mata yang bersinar, dan kepala botak,
tampil tampan dalam balutan kasual: kemeja dan rompi peraknya. Dia tertawa
renyah dan tampak menyenangkan.
“Terimakasih,
Cody. Tapi aku tahu kau bukan pecinta jazz, kau seorang rocker.”
“Well, wanita cantik di sini bilang kalau
kau bernyanyi sangat bagus dan memujimu terus-terusan, jadi aku pikir tak ada
salahnya melihat seberapa bagusnya dirimu,” balas Cody.
Mata Thomson
tampak geli dengan komentar Cody. “Cody aku selalu suka candaanmu. Tapi siapa
wanita cantik ini? Pacarmu?”
“Yep. Namanya
Keyna.”
Jantungku
langsung berhenti berdetak. Ini pertama kalinya Cody memperkenalkanku sebagai
pacar kepada seseorang. Dan aku harus mengakui bahwa rasanya amat berbeda. Aku
seakan melayang. Jauh. Jauh dan jauuuuuuuh sekali.
“Halo, Keyna,”
Thomson mengambil tanganku dan mengecupnya dengan ringan. “Cody jarang sekali
membawa wanita di sampingnya atau mungkin harus kubilang belum pernah sama
sekali. Dan begitu dia melakukannya, dia langsung membawa yang terbaik.”
“Aku yakin Cody
punya banyak wanita di belakangku tapi, kebetulan saja aku yang beruntung,”
ujarku dan Thomson tertawa.
“Aku suka
padanya, Cody. Kalian berdua mirip.”
Cody memutar
bola mata. “Dia penggemarmu. Keberatan bila kau memberinya tanda tangan?”
“Jangankan tanda
tangan, hati dan jiwaku pun akan kuberi untuknya.” Thomson terbahak lagi. Tapi
aku tahu dia tak serius karena Cody juga tertawa.
Thomson
mengambil selembar kertas dan menandatanginya untukku, lengkap dengan pesan
pula. Kami bertiga pun berfoto bareng dan mengobrol selama tiga puluh menit
sampai kemudian terdengar ketukan pintu.
“Masuk,” kata
Thomson.
Pintu mengayun
terbuka. Kami melihat seorang pria tinggi berpakaian formal dan luar biasa
tampan masuk ke dalam, digandeng dengan seorang wanita cantik mengenakan gaun
elegan panjang dan sepatu tinggi mengilap.
Mereka adalah
pasangan pengantin baru yang membuat heboh publik karena pernikahan mereka yang
tiba-tiba: Edgar Carter dan Bellinda Carter.
Oh my gosh!
“Edgar!” Thomson
berdiri dari kursinya melangkah menyambutnya. “Sungguh kehormatan besar melihat
aktor yang sedang sibuk bulan madu tiba-tiba muncul. Kalian tak seharusnya
repot-repot begitu. Benarkan, Bellinda?”
Bellinda tertawa
merdu. “Kau ini bicara apa? Jarang sekali kau mengadakan konser seperti ini.
Tentu saja kami harus datang. Well,
siapa gadis cantik ini? Pacarmu?” Bellinda menyodok perutnya. “Kenapa kau tak
pernah bilang kalau kau sudah punya pacar secantik ini?”
Thomson tertawa.
“Maunya. Tapi sayang wanita cantik ini milik Cody.”
“Cody?” Edgar
mengulang kebingungan.
Thomson menunjuk
ke tempat Cody yang duduk di dekat meja rias. “Cody.”
Cody berdiri, tersenyum
kaku. “Hai, Edgar.”
Bellinda
mendekati Cody. “Jadi kau Cody?” katanya terkejut. “Edgar banyak cerita
tentangmu. Dia bilang kau teman baiknya. Sudah lama aku ingin bertemu denganmu.
Hai. Namaku Bellinda.” Wanita anggun feminim itu mengulurkan tangannya pada
Cody.
“Cody Handerson,”
kata Cody pelan. Nada suaranya aku menyadari tidak bersemangat seperti
sebelumnya.
“Kenapa kau tak
datang ke pernikahan kami?” Bellinda menggandeng tangan Edgar. “Padahal aku
ingin kau ikut berbahagia bersama kami. Aku pikir Edgar bakal memilihmu jadi
pengiringnya.”
“Benar. Aku juga
tak melihatmu,” kata Thomson pada Cody. “Memangnya kau kemana?”
Cody tersenyum
kecil. “Aku tidak enak badan.” Dia menatap Edgar memberikan tatapan memelas. “Kau
tak marah kan?”
Edgar menahan
napas. “Tidak. Tidak apa-apa.”
Bellinda
tersenyum lagi. “Tapi kau sangat beruntung mendapatkan wanita seperti Keyna.
Kalian pacaran?”
Cody mengangguk
kecil. “Namanya Keyna. Kurasa kami harus pulang sekarang.”
“Sekarang?”
Thomson mengerang. “Kita kan jarang bertemu. Paling tidak kita bisa minum
sampai puas.”
“Aku—”
Aku memotong
perkataan Cody menggandeng tangannya. “Tentu saja. Kenapa tidak?”
Thomson tampak
girang. “Yes! Akan kubooking restoran
yang bagus. Kalian bisa kan menunggu sejenak di luar sementara aku berganti
pakaian?”
“Tentu saja,”
kata Bellinda riang. Dia melangkah ke dekat suaminya memberikan tatapan penuh
cinta padanya. “Yuk, Sayang?”
Edgar menatap
Cody lalu tersenyum pada isterinya. “Yuk.”
Aku juga ikut
menggandeng Cody ketika kami berjalan berdua melewati lorong. Pandanganku tak
lepas dari suasana romantis yang diberikan Edgar dan Bellinda. Pasangan suami
isteri itu memang sedang dimabuk cinta.
“Mereka serasi
sekali ya kan?” Aku bertanya pada Cody.
“Mhm.”
“Menurutmu, kita
bisa jadi seperti mereka?”
“Tidak.”
Suara Cody
terdengar berbeda. Lebih keras dan kaku dari biasanya. Aku menoleh padanya.
Langkah kami berdua jadi lebih lambat daripada Edgar dan Bellinda.
“Kenapa?”
Cody tengah
memandang ke arah Edgar dan Bellinda dengan tatapan yang aku tak mengerti
maknanya, pelan sekali dia akhirnya melihatku sehingga akhirnya tersenyum kecil
walau raut wajah itu belum sirna sepenuhnya.
“Kita adalah
kita, Key. Aku tak ingin menjadi orang lain.”
“Aku mengerti,”
kataku, tersenyum lembut.
Raut wajah
sebelumnya hilang, kembali saat dia memberikan kecupan pada dahiku.
“Kenapa kau tak
pernah mau mencium bibirku? Masih menyukai mantanmu?” tanyaku dengan nada
kasual, sekuat tenaga mengusir penasaran dan cemburu yang membengkak di dadaku.
Cody memegang
lembut jemariku. “Aku bukan tipe pria yang suka menunjukkan caraku berciuman di
publik. Lagipula, aku yakin pertanyaan kedua kau pasti tahu,” jawabannya.
Kepalaku
bersandar di lengannya. Kaki kami melangkah pelan. Lebih lambat daripada
kura-kura pesakitan. Tapi aku tak peduli. Aku menikmati malam ini.
“Kuharap kau
bisa cepat mencintaiku dan melupakan mantanmu,” kataku pelan penuh harap.
“Aku sedang
berusaha, Key.”
Dan aku merasa
tak membutuhkan jawaban lain selain itu.
***
EDGAR(POV)
Entah mengapa
ingin sekali rasanya aku meninju sesuatu, merusak barang terdekat, atau
menghancurkan seluruh isi ruangan, saat melihat Cody bersama dengan seorang
wanita cantik yang mengaku sebagai pacarnya. Andai saja aku bisa melakukannya.
Tapi aku tak
bisa.
Dan kemarahan di
dadaku sudah menggumpal, memanas, membakar dengan membabi-buta, sehingga aku
nyaris tak bisa menahan diri untuk segera meraup Cody dari gandengan wanita
sialan itu, mencekiknya sampai mati, dan kabur dengan Cody ke negeri antah
barantah, atau tinggal di Amazon dan hidup berbahagia dengannya.
Nyaris.
Tapi aku malah
menemukan diriku berdiri di sisi mobilku, bersama isteriku, nyaris tak
merasakan apapun terhadap setiap ucapan ataupun sentuhannya, menunggu Thomson.
Setiap perkataannya kujawab seperti angin lalu seakan aku sedang shooting. Segala hal yang kukerjakan seakan
terjadi secara otomatis, seperti robot.
Duniaku beralih
kepada Cody.
Dan aku
merindukannya setengah mati.
Nyaris selama
satu bulan aku tak bertemu dengannya sejak makan malam itu. Dia tak mau bertemu
denganku, bahkan aku dilarang masuk
ke apartemennya. Telepon tak diangkat. Pesan tak dibalas. Dan aku nyaris gila
karena itu semua. Aku membutuhkan Cody untuk membantuku melewati hari-hari
neraka pernikahanku. Tapi dia tak mau.
Dan aku bisa
mengerti.
Hatiku remuk
hancur melihat bagaimana terlukanya dia begitu mengatakan bahwa aku akan
menikah. Suaranya yang bergetar menahan amarah dan kesedihan di suaranya masih
terngiang di telingaku. Masih terpatri dengan sangat jelas bagaimana matanya
yang indah menahan air mata. Mata itu tak pernah kecewa sebelumnya, dan aku
berhasil melukainya begitu dalam sampai aku tak bisa memaafkan diri sendiri.
Kini melihatnya
lagi, Cody jauh lebih kurus. Tak yang menyadarinya tapi aku tahu dengan sangat
baik. Matanya tampak lelah. Hanya saja wajahnya masih sama seperti dulu: cute. Penampilannya hari ini lebih
berani—dengan gaya yang tak mungkin pernah kupikirkan selama ini. Cody biasanya
tampil sederhana. Mungkin Cody ingin terlihat berimbang dengan gaun Keyna, yang
seksi dengan belahan punggung dan dada yang melebar, menunjukkan lekukan
tubuhnya dalam balutan sutra ungu yang lembut dan mengilap.
Sesuatu yang
namanya “cemburu“ meninjuku tepat di ulu hati.
Cody tak pernah
melakukan hal itu sebelumnya padaku. Cody selalu tampil praktis. Kenapa dia repot-repot
mau melakukannya pada orang lain? Lagipula dari mana dia berkenalan dengan
wanita seperti Keyna? Bagaimana bisa mereka pacaran? Kapan? Bukankah Cody
seorang gay?
Pertanyaan-pertanyaan
itu muncul begitu saja. Tertahan di bibirku. Hanya saja ada satu pertanyaan
yang membuatku tak tak tahan.
Apa Cody sudah melupakanku?
Aku tak rela.
Sial. Jika itu
sampai terjadi memangnya apa yang bisa kuperbuat? Aku bukan lagi Edgar Carter
yang dulu. Aku Edgar Carter yang sudah menikah, memiliki isteri cantik, penuh
perhatian dan mencintaiku. Edgar Carter yang mencintai keluarganya
sampai-sampai melakukan apa saja yang diperintah tanpa bantahan, termasuk
masalah pernikahan. Edgar Carter pengecut yang takut mengakui pada keluarga
sendiri bahwa dirinya gay dan takut dikucilkan, dikutuk, dan dibenci oleh
seluruh dunia. Edgar Carter yang saat ini juga tak bisa bergerak walau
menemukan orang yang dicintai tengah memeluk wanita lain.
Semua ini karena
Cody. Karena dia memasuki duniaku. Dan sekarang aku bertingkah seperti anak
kecil dengan menyalahkannya.
Pria itu, Cody
Handerson, adalah satu-satunya makhluk di dunia ini yang berhasil mengubahku
menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Selama ini hidupku berjalan liar tapi
datar-datar saja. Aku terbiasa bersenang-senang dengan minum bir, mabuk sampai
tak bisa bangkit keesokan harinya dan akan sakit kepala selama seminggu. Rokok
tak pernah lepas dari saku dan aku biasanya menghabiskan 50 batang rokok
sehari. Aku seorang playboy sejati
yang dengan senang hati berganti wanita jika aku sudah bosan. Tak pernah
sekalipun aku memikirkan tentang masa depan, keluarga, ataupun orang lain.
Persetan dengan itu semua.
Duniaku berubah
begitu mengenal Cody.
Cody punya
kepribadian sederhana yang unik. Dia tak banyak bicara serius dengan
pekerjaannya, tidak banyak bergaul, dan, yang mengherankan, dia punya banyak
kenalan dimana-mana. Lalu aku sadar kesederhanaannya itu yang menjadi daya
tariknya.
Jika tak
berhasil mengalihkan perhatian stafnya yang terlalu lelah karena bekerja, dia
akan keluar ruangan dan kembali tak lama kemudian membawa es krim dan coklat.
Bayangkan, siapa yang bakal memikirkan hal itu sebelumnya! Tapi jelas hal itu
berhasil menarik kembali semangat para staf yang dengan riang gembira mengambil
bingkisannya lalu larut kembali dalam pekerjaan. Dalam rapat yang biasanya
selalu “panas“ karena adu argumen sehingga kau tak tahu siapa yang berbicara
dengan siapa, Cody akan memukul meja sekali. Suara itu biasanya berhasil
membuat suasana sunyi dalam sekejap dan dia mengambil alih rapat. Bila stafnya
sudah kelelahan dan tertidur akibat bekerja di deadline terakhir, hanya Cody yang bangun memberikan selimut pada
masing-masing mereka bahkan masih sempat memeriksa ulang film walau hal itu
membuatnya tak tidur semalaman.
Apa yang dia
lakukan sangat nyata. Itu pula yang membuatnya disukai para stafnya. Selera
humornya juga sangat bagus. Dan pengetahuannya luas. Mungkin itu sebabnya aku
tak bisa lari dari arus itu dan belajar mengenalnya.
Lalu aku
terkejut menemukan diriku tak merokok lagi karena Cody selalu terbatuk parah
tiap kali aku merokok di dekatnya. Sebatang pun tidak. Aku mulai menghindari
alkohol karena Cody tak kuat minum alkohol dan harus ada seseorang yang sadar
untuk mengantarnya pulang tanpa kecelakaan. Yang paling parah aku kehilangan
minatku pada wanita. Agak aneh memang karena aku pecinta wanita. Hanya saja,
jika bersama Cody, berjam-jam bermain game,
duduk mengobrol, bahkan hanya diam, menonton TV, berkomentar tentang payahnya
siaran TV hari ini, dan tidak melakukan apapun serasa cukup sepadan. Menurutku
itu pantas. Aku jarang sekali menemukan seseorang yang cocok untuk bertukar
pikiran, tidak menyalahkanku dengan segala hal yang kulakukan, dan menilai
diriku dari sudut pandang yang berbeda. Dia bahkan mengajariku bagaimana
melihat keluargaku dari sudut pandangnya yang membuatku mengerti bahwa
keluargaku mencintaiku.
Dan kurasa aku
tahu aku jatuh cinta padanya.
Well, aku tahu Cody gay dua bulan
setelah bekerja sama dengannya dan memang ada rasa takut berdekatan dengannya.
Tapi sama seperti staffnya yang tahu bahwa Cody adalah gay. Tak ada satupun
yang menghindarinya karena Cody adalah Cody.
Apalagi Cody tak pernah menggoda. Dia bersikap netral layaknya teman pria
biasanya. Malah lebih sopan.
Hal yang
membuatku marah adalah saat tahu bahwa dia memiliki seseorang selain aku—Juno
si Acessoris Designer. Meski mereka
putus karena aku hal itu tak menghapus kemarahan yang menjadi-jadi mengetahui
bahwa Cody memiliki orang lain di belakangku dan dia sama sekali tak mengatakan
apapun. Setan sialan merasuki pikiranku mengetahui apa yang mereka lakukan saat
aku tak ada. Apa yang dilakukan Juno pada Cody selama ini. Dan hal itu
membuatku menghindarinya. Aku marah. Aku ingin menghindarinya.
Sialnya aku
kalah. Aku menghindarinya tapi malah aku sendiri yang marah-marah.
Aku memang
pecundang bodoh. Jika Cody memang memiliki kekasih apa urusannya denganku? Kami
tak pernah membicarakan masalah pribadi sebelumnya.
Dengan pemikiran
seperti itu, aku mencoba menjumpai Cody sekali lagi. Aku akan meminta maaf
padanya. Aku akan mencoba berbicara padanya. Kami bisa mengulangnya dari awal.
Tepatnya itulah
yang kami lakukan. Well, walau aku
agak salah paham pada Jeremiah. Dan jika aku mau jujur, aku sungguh tak
menyukai Jeremiah walau dia teman akrab Cody dan lebih parah daripadaku.
Apalagi selalu ada nada sindiran sarkastik, bahkan kata-kata vulgar yang
ditujukan padaku tiap kali aku ada 10 meter di dekatnya.
Bersama Cody
adalah hal yang terbaik. Sampai aku merusaknya.
Kini aku sedang
melihatnya bergandengan dengan Keyna. Rahangku mengatup dengan kesal.
“Mereka serasi sekali
ya kan?” Bellinda bertanya di dekatku.
Aku tak menjawab
tapi mengangguk dengan susah payah.
“Menurutmu
mereka akan bertahan berapa lama?”
“Entahlah.” Aku
berusaha tak menggeram. Tanganku mengepal. Tak bisakah wanita ini diam
sebentar? Aku sedang berusaha menahan rasa frustasiku untuk menarik Cody dalam
pelukanku. Aku merindukannya dan bahkan menyentuhnya saja aku tak bisa. Tidak.
Jangankan itu. Dia bahkan menolak memberi kontak mata denganku.
Bellinda
menghela napas, menyandarkan kepalanya ke lenganku. “Rasanya nyaman sekali. Aku
mengerti kenapa Keyna melakukannya.”
Aku menoleh
menatapnya lalu pada Keyna bergantian. Wanita memang selalu bermanja pada pria.
Aku mengerti hal itu. Tapi itu adalah tempatku.
Dulu akulah yang akan ada di tempat itu. Dengan menyandarkan kepalaku ke bahu
Cody tiap kali kami menonton di kursi malas, mengobrol hal-hal yang tak jelas.
“Kalian lama
sekali,” kata Bellinda, tersenyum saat mereka sudah sampai di hadapan kami.
Keyna melirik
Cody yang menghindar melihat wajahku dan malah memelototi mobil ford di
belakang kami.
“Cody tak suka
berciuman di publik,” jawab Keyna.
Napasku terasa
terhenti.
“Keyna, kau tak
harus mengatakan itu,” Cody memutar bola matanya.
Bellinda dan
Keyna terkikik. Keyna dengan manja semakin mempererat gandengannya pada lengan
Cody sehingga aku yakin jika dia melakukannya terus-terusan dua jam lagi,
lengan itu bisa putus. Aku tahu dengan baik seberapa lembutnya lengan Cody.
“Kapan kalian
berkenalan?” tanyaku sebisa mungkin terdengar biasa saja. Tapi bukan Cody
namanya jika dia tak bisa membaca maksud ucapanku barusan.
“Belum lama,”
kata Cody singkat.
“Seberapa lama?”
tanyaku tak sabar.
“Belum ada
sebulan.” Cody bergumam lagi-lagi menghindari mataku.
“Tepatnya di
malam pernikahan kalian.” Keyna menjawab cepat. Aku dan Bellinda melotot tapi
Bellinda lebih ke arah bahagia dan aku kaget.
“Kalian bertemu
di malam pernikahan kami?” Bellinda mengulang. “Wow, aku tak menyangka bahwa
hari pernikahan kami justru jadi momen paling bersejarah dalam pertemuan
kalian.”
Aku tak
menyangka malam pernikahanku adalah malam dimana Cody memutuskan mencari
penggantiku dan pengganti itu adalah seorang wanita, pikirku masam.
“Dan,” sambung
Keyna, tersenyum pada Cody, “keesokan harinya dia melamarku.”
“Apa?” Aku
terkaget.
“Key,” Cody
memperingatkannya.
“Kenapa? Aku tak
boleh mengatakannya? Bukankah itu kenyataan?”
“Memang. Tapi—”
“Apakah itu
artinya kalian akan segera bertunangan?” Bellinda memotong bertanya dengan
penasaran.
“Kami belum
terlalu mengenal.” Cody menjawab tersenyum kecil. “Jadi kami akan pelan-pelan
dulu menjalani hubungan kami.”
“Tapi kau
melamarnya. Kau pasti sangat menyukainya kan? Love at the first sight?” Bellinda tak mendengarkan dan terus
bertanya. Aku tak ingin menghentikannya. Walau kesal dan marah aku juga ingin
tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cody bukan tipe orang yang melamar orang lain
yang baru dikenalnya dalam satu hari. Dia bukan tipe seperti itu.
Cody meringis. “Ya.
Kurasa ya.”
Omong kosong.
Aku bisa melihat kebohongannya. Cody bukan tipe orang yang setengah-setengah
menjalin hubungan. Aku kenal dia dengan sangat baik.
Dia masih
mencintaiku.
Dan aku bahagia
atas hal itu.
Masalahnya, jika
dia bersikeras melamar Keyna, itu artinya mereka pasti akan menikah cepat atau
lambat. Apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai Cody memberikan lamaran? Aku
tak bisa memerkirakannya.
“Hey, sori
menunggu lama!” Thomson akhirnya muncul. Cody segera menghela napas lega. Dia
tak ingin berlama-lama lagi denganku.
“Kita akan minum
dimana?” Cody bertanya dengan segera.
“Di Leotzh. Aku
sudah pesan satu kamar untuk kita agar bisa bersenang-senang tanpa terganggu
dengan fans.”
“Kalau begitu
aku dan Keyna harus mengambil mobil dulu.”
“Ok. Kami akan
menunggumu di depan Leotzh ya?”
Cody mengangguk
tersenyum kecil dan bersama Keyna melangkah pergi.
Dia bahkan tak
mau repot-repot untuk mengajakku bicara.
***
CODY(POV)
Sesampainya di
parkiran Leotzh, aku menemukan diriku tak bisa turun dari mobil. Aku sama
sekali tak ingin bertemu dengan Edgar. Tak pernah terpikir secuilpun dalam
pikiranku bahwa kami akan bertemu kembali di konser Thomson.
Yang ingin
kulakukan saat ini cuma kabur dari tempat ini, secepatnya mengungsi ke tempat
sunyi, lalu membenamkan kepalaku ke atas setir. Instropeksi diri.
Sialnya aku tak
bisa.
Keyna begitu
bersemangat untuk mengobrol dengan Thomson dan Edgar, aku tak mungkin
mengecewakannya.
“Kau baik-baik
saja?”
Dengan cepat aku
mengangguk dan tersenyum. Ya ampun. Aku yakin senyumanku pasti jelek sekali.
Remi sering “menceramahi“ku bila aku memaksa diri tersenyum padahal tidak ingin
karena katanya sangat jelek sekali. Mirip orang sakit gigi.
Tapi Keyna baru
mengenalku, jadi dengan mudah termakan kebohongan putihku.
“Kalau begitu,
ayo kita keluar. Aku sudah lapar. Kau?”
“Tadi aku lapar.
Tapi sekarang aku ingin muntah.”
“Aku juga lapar,”
kataku. Hebat. Sekarang aku berbohong dengan begitu mudah. Keyna segera keluar
dari mobil jadi aku mau tak mau terpaksa harus melepas sabuk pengamanku dan
keluar dari kenyamanan mobilku.
Welcome, Nightmare.
Edgar menatapku
begitu dia turun. Isterinya menggandeng mesra di sampingnya dan aku segera
mengalihkan pandangan. Shit. Mereka
mesra sekali. Aku tak tahan melihatnya.
“Cody,” sentuhan
lembut tangan Keyna membuat perhatianku teralih. Aku menunduk, tersenyum
padanya. Fokus Cody. FOKUS. Kau hanya cukup menatap Keyna, mendengarkan setiap
perkataannya, dan berada di dekatnya, maka semua akan baik-baik saja.
Ya, aku bisa
melakukannya!
“Wajahmu pucat
sekali,” kata Keyna.
Suaraku kembali
tenang saat menjawab, “Aku kelaparan.”
Keyna tertawa. “Sungguh?
Kalau begitu tunggu apa lagi? Aku tak mau membuat pacarku kelaparan.” Dengan
penuh semangat Keyna menarik tanganku, sehingga mau tak mau aku tertawa kecil.
Keyna—aku menyadari—adalah seorang wanita sederhana yang terpaksa berubah
menjadi glamour karena pekerjaannya sebagai desainer. Ada sosok Keyna asli yang
berusaha keluar tiap kali bersamaku dan aku senang bila bisa bersikap biasa
padaku. Aku tak ingin memaksanya berubah. Keynalah yang berhak untuk memutuskan
apa yang terbaik baginya.
Kami masuk, di
belakang Thomson. Thomson mengatakan bahwa dia sudah memesan tempat dan pelayan
segera membimbing kami pada sebuah pintu berwarna orange yang jaraknya tak
jauh—dengan kikikkan di belakang punggung kami. Siapa yang tak mengikik melihat
seorang aktor terkenal dan penyanyi terkenal datang bersama?
Ruangan yang
kami masuki luas dengan meja bundar yang dilengkapi dengan taplak putih.
Kursi-kursi berwarna krem mengelilingi meja, cukup untuk kami. Pemandangan
malam di luar juga tampak indah dengan hamparan rumput yang luas dan taman yang
indah. Di dinding dihiasi dengan lukisan-lukisan elegan. Dan sinar temaram dari
lampu-lampu berwarna keemasan memperomantis suasana.
Great. Sekarang aku merasa akulah yang
sedang berkencan.
“Kita pesan apa?”
Thomson bertanya setelah dia duduk membuka menu. Salah satu alisnya menaik.
Tatapan matanya penuh perhitungan. “Hmmm aku mau no 4 dan 15. Anggurnya jangan
lupa. Kalian?”
“No 3 dan 8
tanpa kecap, please,” kata Bellinda.
Keyna menatapku.
Matanya seakan mengatakan aku ingin pesan apa. Aku tersenyum menunjuk menu.
“Aah,” katanya
tanpa suara.
“Kenapa kalian
bisik-bisik?” Thomson menatap kami dengan curiga walau seringai candanya masih
di sana. “Tolong berhenti bersikap mesra, aku satu-satunya jomblo di sini.”
Edgar
membalasnya. “Hmph! Aku tak percaya. Seumur hidup aku belum pernah melihatmu
jomblo.”
Aku tak mampu
mengusir senyuman kecil yang mengungkapkan bahwa aku setuju dengan Edgar.
“Lihat? Cody
saja setuju,” kata Edgar lagi.
“Cody,” Thomson
mengerang jengkel. “Berpihaklah padaku.”
“Tolong jangan
bawa-bawa aku ke dalam pembicaraan tak penting kalian,” kataku menunjukkan pada
si pelayan nomor menu yang ingin kumakan.
“Jadikan dua,”
kata Edgar tiba-tiba. Perkataannya barusan membuatku memandangnya. “Aku juga
ingin makan itu,” jelasnya. Matanya tak lepas dariku.
Caranya
memandangku masih sama seperti dulu. Kami terbiasa memakan makanan yang sama.
Tidak peduli di tempat mahal dan murah.
“Aku juga mau,”
kata Keyna yang ada di sampingku yang menjadikannya alasan jitu untuk
memutuskan kontak mata dengan Edgar. “Apa rasanya enak?”
Aku mendengar
suaraku terdengar asing saat menjawab, “Enak.”
“Minumannya,
Sir?” Si pelayan bertanya.
“Urm...”
“Cody, kau tak
bisa minum terlalu banyak,” Edgar memperingatkan.
Rahangku
terkatup begitu memaksakan diri untuk melihatnya. “Kurasa segelas anggur tak
masalah,” kataku dingin.
Thomson tertawa.
“Ya ampun ada apa dengan kalian berdua? Apa kalian jadi musuh bubuyutan
sekarang? Cody, jangan bilang kau cemburu karena Edgar sekarang lebih perhatian
pada isterinya.”
Bellinda tertawa
mendengarnya.
Sejujurnya itu
bukan lelucon. Itu kenyataan.
“Kau tahu,
Bellinda, selama ini Edgar menahan diri untuk mabuk bila bersama Cody. Soalnya
Cody mudah mabuk jika minum lebih dari lima gelas.” Thomson berbicara lagi.
“Sekarang aku
bisa mengerti kenapa kalian disebut Duo Musketters,” kata Belinda.
Keyna
menyambung. “Kalian pasti akrab sekali. Edgar benar-benar perhatian padamu.”
Lalu tanpa
diduga kata-kataku meluncur keluar dari mulutku begitu saja dengan sangat
lancar. “Kan ada kau yang menggantikannya.”
Ruangan langsung
sunyi senyap. Tunggu. Tadi aku bilang apa?
Aku menatap
Keyna yang wajahnya merona, lalu pada Thomson yang tertawa kagum dan pada
Bellinda yang terkikik geli. Aku tak berani melihat Edgar karena tatapannya
membakarku dalam sekejap. Dia pasti marah sekali.
“Sial Cody. Aku
tak menyangka bahwa kau seorang perayu ulung dan sangat romantis!” Thomson
terbahak.
“Keyna, kau
beruntung sekali!” Bellinda begitu girang.
“Kau membuat
Keyna bertekuk-lutut padamu, Cody. Lihat itu wajahnya memerah, ya kan, Ed?”
Thomson menyikut Edgar.
Aku tak berani
melihat Edgar.
“Tentu saja.”
Edgar berkata. “Kau pasti senang ya, Key?”
“Jangan cemburu,
Sayang,” Bellinda merangkulnya, mencium pipinya, “Cody sudah punya Keyna dan
kau punya aku.”
Aku tak tahan
lagi.
“Permisi.” Aku
berdiri dengan tiba-tiba, mengagetkan Keyna.
“Mau kemana,
Cody?”
“Toilet.”
Sebelum aku bisa
memperkirakan tindakanku lagi, aku sudah melangkah keluar dari ruang makan dan
berlari cepat menuju kamar mandi. Menggertakan gigi dengan susah payah, aku
masuk ke salah satu bilik, membanting pintu, duduk dan menutup mulutku.
Air mataku jatuh
begitu saja.
Aku sudah
berusaha. Demi Tuhan, aku sudah berjanji tak akan menangisinya lagi. Kupikir
tak akan ada lagi air mata untuknya. Kupikir air mataku sudah mengering
untuknya. Kupikir aku bisa berlapang dada. Kupikir aku akan baik-baik saja.
Kupikir aku akan bisa mencari penggantinya dengan mudah. Tapi begitu melihatnya
muncul lagi bersama dengan isterinya--bagaimana mereka berbicara, bagaimana
mereka berinteraksi, bagaimana mereka saling memandang--aku tahu aku tak sekuat
itu. Pertahananku roboh dan aku kalah.
Kutekan tanganku
ke mulutku untuk menghindari suaraku yang keluar bahkan menggigit bibirku
kuat-kuat. Aku tak ingin ada orang yang mendengarku. Aku bisa mengatasi ini
seorang diri. Aku akan baik-baik saja setelah keluar dari sini.
Ponselku
berdering dan aku buru-buru mengangkatnya tapi tidak berani bicara.
“Cody, kau ada
dimana? Aku datang ke rumahmu tapi rumahmu kosong.” Suara Remi terdengar di
seberang.
Ini justru lebih
parah dari yang kuduga. Remi akan tahu hanya dari perubahan suaraku saja.
Bagaimana ini?
“Cody, kau
mendengarku kan? Kenapa kau tak menjawabku?”
Aku memaksakan
diri untuk tenang, menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan berdeham untuk
menjernihkan suaraku. Aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja.
“Cody? Cody? Apa
kau baik-baik saja?”
“Mhm,” kataku.
“Cody... geez,” Remi menggerutu lalu menghela
napas lega. “Jangan menakutiku seperti itu.”
Aku menarik
napas dan bergumam. “Hmmmm.”
“Aku ada di
rumahmu. Kau akan pulang sebentar lagi kan?”
“Mhm.”
“Jam berapa?”
Jam berapa? Aku
juga tak tahu! “Hmmmm.”
“Ok ok, aku
ngerti. Kau pasti sedang bekerja ya? Caramu menjawabku tak bervariasi. Tapi,
hey aku akan datang lusa ke rumahmu dan berencana menginap, jadi, please, siapkan makanan yang enak
untukku ya?”
“Mhm.”
“Bye Cody. Love you, Sob.”
“Mhm.”
Remi memutuskan
telepon. Well, kadang dia lebih idiot
daripada yang teridiot. Dengan mudah aku lolos dari pertanyaan Remi—yang aku
yakini tak akan berakhir. Dan bila aku mengungkit-ungkit masalah Edgar, penjelasannya
akan jadi lebih ruwet.
Aku menarik
napas beberapa kali. Menghapus air mataku. Tampangku tak boleh terlihat
menyedihkan karena Keyna akan khawatir dan yang lainnya akan bertanya kenapa
aku kembali terlalu lama.
Dengan susah
payah aku bangkit, meyakinkan diri bahwa aku siap, dan hatiku mencelos begitu
membuka pintu dan melihat Edgar berdiri di balik pintu.
“Kita harus
bicara,” katanya dengan intonasi suara yang penuh tekanan.
“Tak ada yang
harus dibicarakan,” gumamku dan keluar dari bilik setelah menyingkirkannya.
Edgar memegang
lenganku. “Please, Cody.”
Gigiku
gemertakan. Satu sentuhannya berhasil membuatku tak mampu melangkah. Aku
menyentakkan tanganku sehingga terlepas darinya. “Pemilihan tempatmu sungguh
bagus,” kataku dingin.
“Cody—”
“Ed, kau sudah
menikah,” kataku tenang, jelas dan tak mungkin baginya untuk tidak mendengarku.
“Kau punya isteri yang baik. Cintailah dia.”
Edgar menatapku
dalam beberapa detik. Dia tidak merespon selain memberikan ekspresi datar. Satu
hal yang kuketahui dengan pasti, dia berusaha menutupi perasaannya walau aku
bisa membaca dengan jelas bahwa dia sama sepertiku. Kami tersakiti.
Hanya saja
Edgarlah yang terlebih dahulu membuangku. Dia tak pernah membicarakan masalah
pernikahannya padaku dan mengambil langkahnya sendiri. Bila dia mengatakannya
terlebih dahulu, hubungan kami tak akan jadi seperti ini. Kami akan baik-baik
saja.
Aku bukan tipe
orang yang memaksa orang lain untuk tinggal di sampingku. Aku tak akan pernah
menyalahkannya bila dia lebih memilih orang tuanya daripada aku. Aku akan
mengerti. Aku akan berusaha mengerti. Aku tak pernah menyalahkannya. Tapi dia
rupanya tidak mempercayaiku. Dia berpikir bahwa aku akan memaksanya memilih
antara aku dan orang tuanya. Aku tak akan sekejam itu. Aku mungkin akan marah.
Tapi aku tak akan pernah menyalahkannya.
Begitupula
sekarang.
Hanya saja aku
butuh waktu.
Aku tak ingin
bertemu dengannya saat ini. Aku tak ingin membicarakan apapun atau mendengar
bantahan dan alasan untuk membela dirinya. Aku sudah melihat hal yang lebih
dari cukup.
Bellinda wanita
yang baik. Dan mereka berdua cocok. Mereka berdua sudah menikah.
Habis perkara.
“Cody,” kata
Edgar pelan melangkah mendekat sehingga dia berdiri di depanku dalam jarak tiga
puluh senti. “Jangan membenciku.”
Suaraku
tercekat. “Aku tak membencimu.”
“Aku tahu,”
gumamnya. Jemarinya menyeka mataku. “Kau menangis untukku.”
Aku
menyingkirkan tangannya. “Kau harus melihat dimana kau berada. Kau harus
berhati-hati terhadap status, karir, dan citramu.”
Edgar menggeleng
lelah. “Entah kenapa itu menjadi tak penting lagi.”
“Kalau begitu,
setidaknya kau harus memikirkan keluargamu,” kataku dan penjelasan itu
tampaknya menyadarkan Edgar.
“Kau benar.”
Edgar mengangguk kaku.
“Sudah saatnya
aku pergi dari sini.” Aku berbalik melangkah cepat-cepat menuju pintu.
“Kenapa aku bisa
bertemu denganmu?” kata Edgar tiba-tiba.
Aku menatapnya
dengan tak percaya.
“Mengapa... aku
merasa bahwa aku tak menyesal...”
“Terhadap apa?”
Edgar tersenyum
kecil. “Terhadap semua hal yang kita lakukan bersama.”
Tanganku
mengeras pada pegangan pintu. “Mana aku tahu.”
Lalu dengan begitu
aku membuka pintu dan keluar secepat kilat. Aku takut jika mendengar Edgar
bertanya terus-terusan, dia akan mengatakan semuanya pada isterinya. Tentang semuanya. Tentang kami. Dan bila hal itu terjadi maka seluruh dunia akan
membuangnya.
Aku tak bisa
membiarkan hal itu terjadi padanya.
Cukup aku saja
yang merasakannya.
***
Medan Kamis 13
Juni 2013
2 komentar:
Saya baca ini cerita di ffn judulnya I love you, boy.
tapi main castnya bukan ini udah diganti.
apa itu kamu?
atau mungkin dia remake dan udah izin ke kamu.
tapi dia gak jelasin di disclaimernya.
Dear, @richa Selvie Joseph
Terima kasih sudah memberitahu saya
Saya tidak pernah memberi ijin penciplakan cerita saya pada orang
tolong kasih linknya please
saya akan minta pertanggung-jawaban dari penulisnya
atau kamu bisa tegur juga boleh
Posting Komentar