RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 05 Juli 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Sembilan)



Debaran Tiga Puluh Sembilan
Wait

“Merry Christmas! Wake up, Sleepy Boy! It’s Christmas! Christmas! Time to take your gift!”
Nero menggerung, mencoba menutup kepalanya dengan selimut saat Matt membuka gorden dan membuka jendela lebar-lebar. Udara dingin di luar masuk ke dalam kamarnya. Matt merinding sejenak dan menutup kembali jendelanya, melirik Nero yang masih saja tidur.
Matt segera melompat ke samping Nero, menggelitik Nero.
“Good morning!”
“Ow ow ow. Hahahaha! No! Stop! I’m sleepy!” Nero menggeliat sebal di bawah selimut. “No! Get away! Shoo!”
“Shoo!” Matt meniru, melempar selimut Nero ke lantai. Nero menggerung lagi, memberikan punggungnya pada Matt saat dia mengambil bantal terdekat untuk dipeluk. “Come on, Son. It’s Christmas!”
“Christmas my ass,” gumam Nero dalam tidurnya.
“It’s Christmas! Look! Snow! And, oh, Christmas’s song! We wish you Merry Christmas We wish you Merry Christmas We wish you Merrry Christmas and Happy New Year!” Matt bernyanyi di samping Nero.
“New Year’s still six days more,” gumam Nero, menutup telinganya dengan bantal.
Matt memutar bola matanya. “Come on, Sherlock. How could you think in your sleep?”
“Cause I’m genius,” gumam Nero lagi di bawah bantal.
“Jingle bells jingle bells jingle all the way!” Matt bernyanyi lagi, mengguncang-guncangkan bahu Nero dengan tak sabar. “Oh what fun—”
“It’s not fun!” Nero melempar bantal dengan jengkel, mendelik marah pada Matt. Matt nyengir lebar, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Nero memutar bola mata dan memeluk Matt, nyaris saja tertidur kembali saat bilang, “Merry Christmas.”
“Come on, wake up, Boy,” kata Matt.
“Still early,” gumam Nero.
“That’s the point. We could take a walk and chatting. I’ll do whatever you want me to.”
Nero langsung membuka lebar matanya, duduk tegak. “Promise?”
“Promise.” Matt mengangguk pasti.
“Anything? Everything?”
Matt menaikan alis. “Ok,” katanya. “Anything. Everything.”
“I love you,” Nero mengecup pipi Matt dan melompat dari atas tempat tidur, “I’ll be ready for fifteen minutes!”
Matt mengerjap. “Wow. That’s fast. Did I just dig my own hole? Anything and everything? I must be out of my mind.” Matt geleng-geleng kepala. “What’d I do when he wished for Paris or Eiffel?”
Mendesah, Matt bersiul-siul keluar dari kamar Nero. Kakinya melangkah turun dari tangga, menuju ruang tengah di mana pohon Natal putih sudah berdiri di sana, berdiri tegak dengan kado-kado berwarna-warni tersusun di bagian bawahnya. Di dekat pohon natal ada perapian, tempat dimana kaos-kaos kaki tergantung di bagian atas. Perapian masih menyala dengan bara api yang berderak lembut.
Matt memilih duduk di salah satu sofa, menyandarkan punggungnya sambil melipat kaki. Dia kembali bersiul sambil bergumam rendah. Jacob keluar dari kamarnya, mengenakan mantel bepergian. Matt dapat melihat dia berpakaian formal di balik mantelnya. Tidak seperti para pria pada umumnya, Jacob tak suka pakai syal, dia lebih baik memakai turtle neck untuk menutupi lehernya, atau mantel dengan kerah tinggi.
“Pagi, Jacob,” sapa Matt sambil tersenyum.
“Jam berapa kau datang?”
Matt melirik jam tangan. “Lima belas menit lalu.”
Jacob mengangguk kecil, lalu mendekati meja. “Mau minum teh?” katanya sambil mengangkat teko.
Matt menggeleng. “Jacob, please, berhenti bertingkah sebagai pelayanku saat kita tak ada di kantor.”
“Matt, please,” Jacob meniru sambil menghela napas. “Kenyataannya aku memang pelayanmu. Ayahmu menyekolahkanku dan kau berbaik hati berteman denganku, membelikanku rumah, memberiku pekerjaan, mengangkat derajatku. Ini bukan masalah besar.”
“Jacob, please,” kata Matt lagi, tampak jengkel. “Itulah gunanya teman.”
Jacob mendesah, menatap Matt dengan pandangan prihatin, “Itulah sebabnya para kolegamu sering tak nyaman denganmu. Kau bergaul dengan para tikus.”
“Tsk tsk tsk,” Matt mengangkat telunjuknya sambil menggoyang-goyangkan telunjuk. “Kau terlalu tampan, pintar, dan menyenangkan untuk seekor tikus. Dan aku sangat pintar untuk memilih mana yang tikus dan mana kolega yang benar.”
Jacob memutar bola matanya. “Jadi, kau dan Nero mau kemana?”
“Jalan-jalan. Kau mengikuti dari belakang, seperti biasa. Tidak terlihat.”
Yes, My Lord.” Jacob tersenyum kecil, membuat Matt tertawa.
“Jadi,” Matt berdeham, “apa kau sudah mendapat kabar dari Deborah?”
Jacob mengangkat bahu saat menuangkan kopi ke cangkirnya, lalu meletakkan dua sendok gula ke dalam dan mengaduknya. “Aku mendapat informasi kalau ada beberapa orang yang melihat wanita itu. Aku sedang berusaha mencari tahu.”
“Aku tak ingin dia dekat-dekat Nero lagi.”
Jacob mengangguk penuh pengertian. “Aku sedang berusaha. Kali ini aku tak akan membiarkannya lolos.” Matt mengangguk lagi dan kembali bersiul. Jacob mengambil cangkirnya dan minum kopi. Paginya cukup menyenangkan hari ini.
Nero turun tak lama kemudian, mengenakkan kemeja hijau pucat nyaman yang dipadu dengan jaket tebal, dan mantel putih. Syal abu-abunya terlilit dengan penuh gaya di leher dengan ujung-ujungnya masuk ke dalam mantelnya. Dia mengenakan jeans biru nyaman dengan sepatu boot hitam.
“Anakkmu harus berhenti tampil tampan, Matt,” kata Jacob dari sudut bibirnya.
Matt menaikan alis. “Memangnya kenapa?”
“Kau tahu benar maksudku apa,” balas Jacob.
Matt nyengir lebar dan mengedip polos. Tentu saja dia tahu kenapa. Nero selalu tampil menarik perhatian. Bukan karena pakaiannya tapi karena auranya. Dia selalu tersenyum, santai, kasual, menyenangkan dan menebarkan aura penuh persahabatan ke sekitarnya, menjadikan magnet tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya. Well, setidaknya itulah aura Nero setelah dia mendapatkan sedikit pengalihan perhatian dari Psikiater.
“Let’s go!” Nero menarik tangan Matt begitu dia mampu mencapai. Matt tertawa dan bangkit, mengalungkan tangannya pada Nero. “Where’re we going to?”
“Everywhere you want to.”
Nero memutar bola matanya. Jacob meletakkan cangkir kopinya dan mengikuti dari belakang. Begitu dia cukup dengan jarak aman, dia berbaur dengan orang-orang di sekitarnya lalu tidak terlihat, seperti yang diminta Matt.
Matt dan Nero berjalan di samping rumah-rumah yang menjulang tinggi di Paris, mengobrol tentang banyak hal. Matt bertanya bagaimana malamnya kemarin dan Nero mengjawab sambil mengangkat bahunya bahwa semuanya baik-baik saja, walau ada sedikilit kilatan kesal pada matanya karena Matt lebih memikirkan koleganya pada hari Natal ketimbang bersamanya.
Tersenyum kecil, Matt membelikan Nero burger dan mereka duduk di pinggir jalan, dekat taman yang menghadap ke danau. Matt meletakkan kopi panasnya ke samping, menyandarkan tubuh ke sandaran bangku, memerhatikan sekitarnya dengan tidak terlalu berminat. Di pagi hari seperti ini tidak banyak orang. Di hari Natal begini, para manusia sepertinya lebih suka berdiam diri di rumah bersama keluarga. Matt berniat membawa Nero makan malam nanti untuk menebus kejadian kemarin.
Nero tidak banyak bicara selain hanya makan burgernya dengan perlahan dan penuh sopan santun.
“Kenapa hari ini kau tak mengenakan kuplukmu?” Matt bertanya keheranan.
“Gatal.” Nero menjawab santai. “Benang topi itu menyelip di rambutku.”
Matt tersenyum. “Tapi salju bisa membuat kepalamu kedinginan.”
Nero mengangkat kedua bahunya dengan santai. “Aku kan bawa jaket bertudung.”
Matt mendesah, meneguk kopinya lagi. “Sudah berapa lama kita tak sesantai ini?”
Nero menatapnya, “Mungkin empat bulan? Sejak kita keluar dari USA? Atau mungkin dua bulan sejak kita liburan dari Kanada? Oh, atau mungkin sebulan sebelum kita sampai kemari dari London?”
Tawa Matt menyembur. “Nero, sarkastik tak cocok untukmu. Aku minta maaf karena aku sudah membuatmu berpindah tempat lebih sering daripada seharusnya. Tapi kau tahu ini karena apa kan?”
Nero menjadi tak tertarik lagi makan. Dia menurunkan burgernya. “Uh… apa kau belum memaafkannya?”
Untuk sejenak Matt mengerjap. Mereka tak bermaksud membicarakan orang yang ada di dalam kepala Matt kan? Matt nyaris saja meninju dirinya sendiri karena mengungkit-ungkit masalah ini pada saat Natal, dimana seharusnya Nero berbahagia dan bukannya terusik oleh wanita gila seperti Deborah.
“Siapa?” Untunglah Matt mampu membuat suaranya terdengar tenang.
“Deborah.”
Shit! Tangan Matt mencengkram erat gelas kopinya. “Nero, wanita siluman itu—”
“Uh!” Nero memotong.
“Nero, dia tak cocok dibicarakan di saat seperti ini. Sekarang Natal. Kita lupakan dia. Aku minta maaf karena aku yang membuka topik ini.”
“Sejujurnya aku senang Dad membahasnya.”
Matt menatap Nero dengan tak percaya. “Nero, apa kau tahu yang kau bicarakan?”
“Ya aku tahu. Aku tahu semuanya tentang Deborah ini, Dad. Percayalah padaku.” Nero beringsut menjauh, menatap Matt. Matt tak ingin membicarakan ini dengan Nero. Hidupnya sudah cukup buruk tanpa mengingat Deborah, apalagi membicarakannya. “Aku tahu kemampuannya sebagai anak seorang CIA. Aku juga tahu kalau dia bisa menyamar, menghilang, lalu muncul tiba-tiba seperti ninja. Dan aku tahu obsesinya untuk bersamamu. Aku bukan orang yang bodoh untuk tidak mengenal hal itu dengan baik. Dia membunuh nyaris seluruh anggota keluargamu, keluargaku.”
Matt mengerang jengkel, “Aku tak ingin membahasnya!”
“Dad, maafkan dia.”
Butuh satu menit penuh bagi Matt untuk bisa mencerna perkataan Nero. Maafkan dia? Memaafkan Deborah? Yang benar saja! Deborah sudah menghabisi seluruh keluarganya. Dia bahkan belum akan puas jika tidak mendapatkan Nero mati. Dan sekarang Nero menginginkannya untuk dimaafkan? DIMAAFKAN? Dia tak salah dengar kan?
“Apa?” Matt akhirnya berkata dengan suara keheranan, bingung, terkejut dan terlalu terpesona dengan apa yang dikatakan Nero.
“Dad,” Nero mendesah, meletakkan burgernya ke samping tempat duduknya, kemudian memegang tangan Matt. “Aku tahu dengan pasti sesakit apa kehilangan seluruh anggota keluarga. Aku dan kau sama. Kita sama-sama merasakannya. Kita sama-sama melaluinya. Tapi kita tak bisa selamanya terjebak dalam keadaan seperti ini terus. Kita tak mungkin selamanya terjepit oleh perasaan ingin membalas dendam.”
“Nero—”
“Ada yang bilang padaku bahwa memaafkan mungkin tidak mengubah segalanya, tidak membuat kita lupa, tapi akan membuat kita merasa lebih baik,” kata Nero lagi, menggenggam erat tangan Matt. “Aku berusaha mengerti, Dad. Itu sebabnya aku bersedia mengikuti apa kata Psikiaterku walau rasanya tak masuk akal. Itu sebabnya aku memilih untuk memaafkan Deborah atas segala hal yang dia lakukan. Aku berusaha melihatnya dari sudut pandang Deborah.”
“Nero, kau tak masuk akal,” Matt berusaha melepaskan pegangan tangan Nero tapi genggaman tangan Nero begitu erat sehingga sulit baginya untuk menepisnya. “Dengarkan aku, Nak, dan dengarkan aku baik-baik. Wanita ini gila,” katanya, lalu menjilat bibirnya. “Wanita ini bukan hanya membunuh anggota keluarga yang kupunya. Aku nyaris menikah dengannya, Nero. Nyaris. Kau tahu kenapa aku memilih meninggalkannya?”
Nero mengangguk penuh pengertian. “Aku tahu. Dia menggugurkan saudaraku dengan alasan dia masih terlalu muda untuk menikah denganmu.”
Lagi-lagi Matt mengerjap. “Darimana kau tahu?”
“Jacob bukan cuma pelayan dan sahabatmu, Dad. Dia juga Ayah Baptisku.”
Matt mengutuki Jacob dan segala hal yang dia katakan pada Nero. “Apa lagi yang dia katakan padamu? Dasar penghianat!” gerutu Matt.
“Dad,” Suara Nero kembali mengalihkan perhatian Matt. “Maafkan dia.”
“Mungkin kau bisa memaafkannya, Nero. Tapi aku tak bisa. Dia mencoba membunuhmu! Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi!”
Nero menutup mata, mungkin mengira dia kerasa kepala. Matt sejujurnya ingin melakukannya. Tapi dia tak bisa. Sialan. Deborah tidak akan mendapatkan maafnya. Sebelum wanita itu mendapatkan hal yang pantas dia terima, Matt tak akan memaafkannya.
“Kalau begitu,” suara Nero tercekat, “maafkan dia untuk hadiah Natalku.”
Matt menganga. “Apa?”
“Kau janji akan memberikan apapun untukku, sekarang buktikan. Maafkan dia.”
Matt mengerjap. Tidak mungkin. Nero tidak mungkin memintanya untuk melakukan itu kan? Matt akan memberikan apapun untuknya. Tapi ini yang paling sulit. Matt tak percaya bahwa Nero akan memintanya melakukan hal yang tersulit dalam hidupnya: memaafkan Deborah.
Demi Tuhan, rasanya lebih sulit daripada mati membeku saat ini juga.
Matt terdiam. Nero serius. Dia ingin Matt memaafkan Deborah. Mata Nero menatapnya lurus-lurus, begitu jernih seperti dirinya, seakan Matt mampu melihat dirinya sendiri di lensa mata Nero.
“Nero,” kata Matt, “kau bisa minta hal lain. Kenapa harus itu? Kenapa tak minta mobil atau rumah atau istana jika perlu?”
“Aku tak butuh itu. Aku sudah cukup dengan apa yang kau beri padaku.”
“Lalu kenapa tak minta kembali ke Indonesia?”
Matt melihat kilatan kecewa di mata Nero dan itu membuat Matt ingin menampar dirinya sendiri. Dia tak bermaksud mengatakan itu.
Nero menutup mata dan menarik napas. Ketika dia membuka kembali matanya, sinar kecewa itu sudah hilang, terganti menjadi tatapan menyejukkan. “Dad, jika kau mampu memaafkan Deborah, hidup tanpa kemarahan dan keinginan untuk balas dendam padanya, juga mampu memaafkannya atas segala hal yang terjadi—atas apa nanti yang mungkin akan terjadi padaku bagiku— tak masalah untuk tidak kembali.”
Matt menggigit bibirnya. “Apa kau tahu yang kau katakan?”
“Niken akan mengerti. Dia tak pernah menghakimiku.” Nero tersenyum lemah. “Dad, dengarkan aku. Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentangmu. Kau harus melihat bahwa sebenarnya kau bukan marah pada Deborah. Kau marah pada dirimu sendiri.”
Matt menahan napas. Nero bisa membacanya. Nero tahu apa yang dia rasakan. Benar, dia marah pada Deborah. Benar, selama ini dia ingin Deborah menghilang dari kehidupannya. Benar, dia ingin Deborah merasakan apa yang dia rasakan. Lalu dia sadar bukan itu yang sebenarnya yang terjadi.
Semua ini terjadi karena dia. Karena Matt. Karena Matt mengenalnya. Karena Matt melakukan hal yang buruk pada Deborah. Karena Matt menarik seluruh keluarganya dalam masalahnya. Karena Matt yang menyebabkan keluarganya mati.
“Kau,” kata Matt menyapu rambut Nero, “seperti Ibumu. Kenapa kau harus begitu mirip dengannya?”
“Aku mungkin memang punya wajahmu, Dad, tapi sifatku sifatnya Mother.”
Matt tertawa lemah kemudian memeluk Nero. Dan dia merasakan kekuatan mengalir padanya. Disadurkan oleh Nero ketika Nero menepuk punggungnya sehingga Matt tahu dia bisa melakukannya.
“Akan kulakukan. Aku akan memaafkannya.”
“Sungguh?”
Matt mengangguk. “Meski itu sulit aku akan berusaha.”
Thank you,” kata Nero dan Matt merasa Nero pasti tersenyum.
Seharusnya aku yang berterima kasih, Nero, batin Matt. Kau membuatku sadar bahwa segala hal yang terjadi bukanlah kesalahan siapa-siapa. Ini hanya permainan emosi yang menyangkut nyawa manusia.
Nero melepas pelukannya. Tersenyum puas. “Jam berapa sekarang?”
Matt menggeser mantel di tangannya. “Jam 11. Bagaimana kalau kita jalan dan makan siang?”
Nero mengangguk. “Sebenarnya aku punya kejutan buat Dad.”
“Oh ya?” Matt menaikan alis. “Apa itu?”
Nero memutar bola matanya. “Jika aku bilang bukan kejutan namanya.”
Matt tertawa. Ini aneh. Matt merasa lebih ringan. Lebih hidup. Lebih damai. Selama ini Matt ketakutan mengawasi sekitar dengan paranoid dan dipenuhi kemarahan. Tapi sekarang tidak.
Dia memang belum bisa melupakannya. Tapi dia akan berusaha memaafkan Deborah. Demi Nero.
Melihat Nero melakukan itu untuknya membuat Matt terharu. Nero memang hartanya yang paling berharga.
“Jadi kapan kita mengambil kejutan itu?” Matt bertanya penasaran. Tak sabar. Kejutan apa sih yang disiapkan Nero untuknya?
“Kejutannya tak di sini.” Nero mengambil burgernya dan berdiri. Matt juga ikut berdiri dan mengambil kopinya. Mereka berjalan berdampingan melewati rumput taman yang dipenuhi salju. Matahari sudah mengintip dari balik awan meski udaranya masih dingin. Setidaknya sudah lebih hangat.
“Lalu dimana?”
“Aku tak akan mengatakannya. Itu kan kejutan,” kata Nero meletakkan sisa burgernya ke tong sampah. Matt juga melakukan hal yang sama pada kopinya.
“Lalu bagaimana cara kita ke sana?”
Nero menatapnya dan tersenyum geli. “Tentu saja pakai mobil, Dad.”
“Aaah masuk akal.” Matt mengangguk kecil mengikuti Nero melewati jalan yang mulai dilewati oleh pejalan kaki meski tidak terlalu banyak. “Tapi, Nero,” kata Matt lagi. “Kita tadi tidak bawa mobil.”
“Dad, jika kau tak tahu, ada yang namanya taksi di negeri ini.”
Matt tertawa. “Dan siapa yang akan membayar?”
“Aku. Tentu saja, Dad!” kata Nero jengkel.
“Tsk tsk tsk. Aku tak bawa uang receh.” Matt menghela napas. “Tunggu di sini, aku ambil uang dulu di ATM. Dimana aku bisa menemukan ATM di sini?”
Baik Nero dan Matt menoleh ke sana kemari. Akhirnya Nero menunjuk. “Itu,” katanya menunjuk salah satu kotak kecil yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari tempat mereka.
“Tunggu di sini.” Matt berkata.
“Ok,” Nero mengangguk.
Matt menyebrang jalan yang kosong dan berlari menuju ATM. Dia memasukkan kartunya, memencet Pin, dan memasukkan jumlah uang yang dia butuhkan. Dia menoleh ke arah Nero yang menunggu.
Anaknya itu tampak tampan dan begitu mencolok, membuat pejalan kaki menoleh padanya.
Tersenyum, Matt mengambil uangnya dan memasukkan uangnya ke dalam dompet. Dia melangkah meninggalkan kotak ATM, memerhatikan Nero, yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya. Nero tersenyum padanya dan Matt balas tersenyum padanya.
Lalu sesuatu terjadi begitu cepat saat sebuah mobil berdecit dengan kecepatan maksimal lalu tergelincir keluar dari jalan dan masuk ke badan jalan. Tepat menuju belakang Nero. Tepat di tempat Nero berdiri.
Nero menoleh ke belakang. Dan—
BRAK
“NERO!”
Matt dengan ngeri melihat putranya mati di depan matanya.
Tubuh di Nero ditabrak oleh sebuah mobil sedan, yang membuatnya berguling naik ke atas atap, lalu jatuh ke jalan dengan tubuh berlumuran darah. Lima meter di tempat Nero tadi berdiri.
Waktu yang begitu cepat. Namun Matt melihat pemandangan itu dalam gerakan lambat yang langsung menghentikan detak jantungnya, napasnya, udara di sekitarnya, bahkan suara di tempatnya.
Nero tak bergerak.
Tidak mungkin. Matt tak memercayai penglihatannya.
Nero... tak mungkin....
“Nero!!”
Matt berlari mendatangi Nero dan seketika itu pula seluruh bumi kembali bergerak. Teriakan panik dan histeris bermunculan dengan adanya suara gumaman. Decitan mobil terdengar di sana sini begitu Matt menerjang jalan tanpa menghiraukan sekitarnya. Kepanikan menjalar di setiap tetes darahnya. Dan dia tak peduli dengan dirinya asalkan Nero baik-baik saja. Asalkan Nero hidup.
Matt berhasil mencapai Nero dan berlutut di samping putranya. “Nero... Nero...”
Suara Matt bergetar melihat Nero tidak bergerak tapi matanya masih terbuka hanya saja tidak memandang kemana-mana.
“Nero... Nak... Nero.” Matt menepuk-nepuk pipinya. Tangan Matt gemetar. “Tidak boleh. Kau tak boleh mati.”
“Apa yang terjadi?”
“Kecelakaan?”
“Telepon ambulan. Mana ambulan?”
“Ambulan akan datang.”
Matt tak mendengarkan mereka. Dia tak peduli dirinya menjadi perhatian atau dikerumuni. Dia hanya ingin memastikan bahwa Nero baik-baik saja. Dia menarik Nero ke pangkuannya dengan hati-hati. Nero tidak meresponnya. Tapi Matt masih bisa merasakan hembusan napasnya yang tersendat-sendat dalam usahanya menarik napas.
“Nero... kau tak boleh mati. Kau dengar aku? Kau tak boleh mati. Aku tak akan mengijinkanmu.” Matt bergumam, ketakutan.
Nero terbatuk kecil dan darah mengalir keluar dari mulutnya, membasahi syalnya, mengalir turun ke atas salju.
Matt semakin ketakutan. Nero berdarah. Tak mungkin. Tak boleh.
“Nero... Nero...”
Air mata bergulir ke pipinya. “Kumohon padamu bertahanlah... Nero...” isaknya. “Jangan tinggalkan aku. Kumohon jangan tinggalkan aku.”
“Matt!” Seseorang berbicara di sampingnya. “Matt, kita harus membawa Nero ke rumah sakit.”
Matt menoleh kesekeliling, ke pagar manusia yang menonton dan tak melakukan apa-apa. Lalu akhirnya melihat Jacob.
“Jacob...”
“Aku sudah menghentikan taksi. Ayo, bawa dia. Pelan pelan. Hati hati pada lehernya. Kita harus memindahkannya pelan-pelan.” Jacob mengambil tangan Nero.
Matt mengangguk dalam diam saat mendengar suara tawa yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Hahaha. Akhirnya! Mati kau sekarang!”
Suara itu suara iblis. Si dewa kematian. Yang muncul dalam wujud wanita berambut emas bernama Deborah. Dan Wanita itu keluar dari mobil sedan yang menabrak Nero. Matt seakan tak bernyawa.
“Deborah..”. desah Matt tak percaya. “Jadi... jadi yang menabrak Nero...”
“Aku,” kata wanita itu tampak puas. Dia menatap Nero dalam pelukan Matt yang tak berdaya. Wanita itu tersenyum puas. “Sekarang tak ada lagi halangan.”
“Apa maksudmu?” Matt menahan napas.
Wajah Deborah melunak, memberikan tatapan penuh cinta padanya. “Sekarang kita bisa bersatu, Matt. Kita tak punya lagi penganggu seperti Nero. Aku bisa memberikanmu anak sebanyak yang kau mau. Tidak ada lagi bayang-bayang Theressa. Wanita itu tak akan lagi masuk ke dalam kehidupanmu. Aku sudah menghapus semua ikatanmu terhadapnya. Kita bisa berbahagia sekarang membentuk keluarga. Aku yakin...”
Wanita ini gila. Matt tahu betul itu. Nero sudah melalukan kesalahan besar dengan memaafkannya. Matt sudah melakukan kesalahan besar karena mencoba memaafkannya. Matt memeluk Nero dengan tangan gemetar, mengangkatnya dengan mudah. “Dimana taksinya, Jacob?”
“Di sana.” Jacob menunjuk ke belakang.
“Matt! Kau mau pergi kemana?” Deborah menjerit.
Matt tidak mendengarkan dan memilih berlari menuju taksi yang berhenti di tengah jalan dan dikerumuni oleh orang-orang yang ingin tahu.
“Matt kau tak boleh pergi! Aku ada di sini! Harusnya kau memilihku! Aku sudah membantumu! Aku sudah menghapus ikatan pada setiap orang yang mencoba mengambilmu dariku! Kau milikku Matt!” Deborak berteriak lagi. Suaranya mendekat di belakang Matt membuat Matt ingin menerjangnya dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Saat ini juga.
Dad, maafkan dia...
Matt berusaha tak mendengarkan iblis yang berbisik padanya. Nero butuh ke rumah sakit. Dia berjalan maju. Supir taksi membuka pintu. Dia menunduk. Memasukan Nero terlebih dahulu dengan hati-hati.
“Matt, tak seorang pun boleh memilikimu, kecuali aku! Tidak wanita jalang itu dan tidak pula wanita simpananmu!” Deborah menjerit lagi berjalan menuju Matt. Wajahnya begitu murka.
Matt berhenti bergerak. Dahinya berdenyut berbahaya.
“Begitu, Matt,” kata Deborah saat Matt akhirnya menyadari keberadaannya. Suaranya melunak penuh cinta. “Benar. Akulah kebahagiaanmu. Datanglah kemari, tinggalkan Nero dan sambut aku. Aku akan membahagiakanmu selamanya.”
Matt menoleh perlahan dan berteriak pada Jacob. “Jacob, hubungi Nathan dan katakan kalau Nero akan tiba di rumah sakit!”
“Matt...” Deborah menatap Matt dengan shock. “Matt, aku ada di sini. Kau tak boleh mengacuhkan aku. Matt!!”
Matt menatap Deborah dengan benci dan kemarahan. “Apa kau puas sekarang?”
“Matt...” Deborah mendesah tak percaya. “Aku melakukannya untukmu.”
“Menurutmu begitu?” Matt menggeram. “Aku menyesal mengenalmu. Aku menyesal menjalin hubungan denganmu. Aku menyesal karena pernah mencintaimu.”
“Matt!” Deborah murka. “Semua yang kulakukan ini untukmu! Aku melakukannya agar segala hal yang mengikatmu hilang! Kita bisa membangunnya kembali bersama-sama!”
“Enyah dari hidupku! Enyah dari pandanganku!” Matt merasakan rahangnya mengeras. “Aku tak ingin melihatmu lagi. Pergi dari hidupku. Jika kau berani muncul aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri! Jika putraku mati seperti yang kau lakukan pada calon putriku aku akan membunuhmu! Camkan itu Deborah! Kau bukan dan tak akan pernah menjadi bagian dari hidupku!”
Matt masuk ke dalam taksi, membanting pintu taksi. Deborah menggedor jendelanya.
“Matt! Kau tak boleh melakukan ini padaku! Aku melakukannya untukmu. Apa kau tak mengerti? Matt jangan pergi! Kembali!!! Matt!! Matt!!!”
Tapi Matt bahkan tak menoleh atau meresponnya saat taksi meluncur turun dengan kecepatan mengerikan menuju rumah sakit.
“Nero...” Matt terisak saat Nero kembali terbatuk dan berdarah lagi. “Nero... bertahanlah. Aku mohon padamu. Nero... kau mendengarku kan?”
Nero merintih. Entah itu karena dia mendengar suara Matt atau karena menahan kesakitan.
“Nero. Maafkan aku, Nero. Aku tak bisa menjagamu. Harusnya aku yang ada di posisimu. Nero... Nero...”
Darah keluar lagi dari mulut putranya. Lebih banyak dari yang pertama. Berwarna merah kental yang meluncur turun menodai pakaiannya. Matt membeku.
Dan ketakutan.
Pendarahan. Matt bisa menduganya. Ada organ dalam Nero yang terluka. Kemungkinan besar ada juga tulang yang patah.
Beberapa menit lalu Nero masih tersenyum padanya. Sepuluh menit lalu Nero memintanya untuk memaafkannya. Dan sekarang inilah yang dilakukan wanita itu pada Nero.
“Kenapa lama sekali?” Matt meraung pada si supir taksi. “Cepat sedikit! Anakku sekarat!”
Ada suara dari dasar tenggorokan Nero. Suaranya tersedat. Tapi yang pasti dia mulai kesulitan bernapas.
“Nero...” Matt panik sekarang. “Nero, bertahanlah. Nak! Aku tak suka candaanmu ini! Apa kau ingin membuatku terkena serangan jantung?”
Butiran air kata kembali turun. Menggenangi mata Matt lalu jatuh ke pipi Nero. Yang sedang berusaha untuk hidup. Yang sedang berjuang sekuat tenaga untuk menarik napas. Yang sedang tak bisa bergerak sambil menahan kesakitan di tubuhnya.
Tapi Matt bisa merasakan semuanya.
“Nero... Nero!!”
Sinar di mata Nero meredup.
“Tidak...” gumam Matt ketakutan, menepuk pipi Nero. “No... no.... please... Nero...”
We‘re here.
Taksi berhenti di depan rumah sakit mewah berwarna putih besar. Di depan pintu masuk dekat UGD sudah berdiri Nathan dengan staf rumah sakit. Matt belum lega. Nero tidak lagi terbatuk. Tapi dia juga tak merespon.
“Nathan!” Suara Matt gemetar.
Nathan tidak mengatakan apa-apa. Dengan cepat dua orang tim paramedis segera beraksi. Mereka masuk ke dalam mobil. Mengambil Nero dari pelukannya. Membawa Nero dengan cepat hati-hati bahkan tanpa menggerakan otot Nero sesentipun dan meletakannya ke brankar.
Tim yang lain segera bertindak cepat. Mereka memakaikan tabung oksigen pada Nero. Yang lainnya menghitung tekanan darahnya. Sementara sisa yang lain menancapkan infus dan persediaan darah.
“Nathan,” kata Matt saat Nathan dan timnya mendorong brankar menuju ruang Instalasi Gawat Darurat.
“Matt, berdoalah,” kata Nathan begitu mereka tiba di depan pintu.
“Selamatkan dia. Selamat Nero. Aku mohon padamu.”
Nathan menatapnya dengan prihatin. “Aku akan berusaha semampuku. Tapi aku bukan Tuhan.”
Dan dengan begitu Nathan masuk ke dalam ruangan. Mendorong pintu dengan kedua tangannya. Matt hanya mampu melihat pintu mengayun tertutup di belakang punggung Nathan.
“Nero...” Matt melihat kedua tangannya yang berlumuran darah. Darah Nero. Putranya. Darah dagingnya. Yang dengan sekuat tenaga berusaha dia lindungi selama ini tapi tak berhasil.
Jika terjadi sesuatu pada Nero Matt tak akan mampu memaafkan diri sendiri.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.