Debaran Tiga Puluh Sembilan
Wait
“Merry Christmas! Wake up, Sleepy Boy! It’s
Christmas! Christmas! Time to take your gift!”
Nero menggerung,
mencoba menutup kepalanya dengan selimut saat Matt membuka gorden dan membuka
jendela lebar-lebar. Udara dingin di luar masuk ke dalam kamarnya. Matt
merinding sejenak dan menutup kembali jendelanya, melirik Nero yang masih saja
tidur.
Matt segera
melompat ke samping Nero, menggelitik Nero.
“Good morning!”
“Ow ow ow. Hahahaha! No! Stop! I’m sleepy!” Nero menggeliat
sebal di bawah selimut. “No! Get away!
Shoo!”
“Shoo!” Matt meniru, melempar selimut Nero ke
lantai. Nero menggerung lagi, memberikan punggungnya pada Matt saat dia
mengambil bantal terdekat untuk dipeluk. “Come
on, Son. It’s Christmas!”
“Christmas my ass,” gumam Nero
dalam tidurnya.
“It’s Christmas! Look! Snow! And, oh, Christmas’s
song! We wish you Merry Christmas We wish you Merry Christmas We wish you
Merrry Christmas and Happy New Year!” Matt bernyanyi di samping Nero.
“New Year’s still six days more,” gumam Nero,
menutup telinganya dengan bantal.
Matt memutar
bola matanya. “Come on, Sherlock. How
could you think in your sleep?”
“Cause I’m genius,” gumam Nero lagi
di bawah bantal.
“Jingle bells jingle bells jingle all the way!” Matt bernyanyi
lagi, mengguncang-guncangkan bahu Nero dengan tak sabar. “Oh what fun—”
“It’s not fun!” Nero melempar bantal dengan
jengkel, mendelik marah pada Matt. Matt nyengir lebar, merentangkan kedua
tangannya lebar-lebar. Nero memutar bola mata dan memeluk Matt, nyaris saja
tertidur kembali saat bilang, “Merry
Christmas.”
“Come on, wake up, Boy,” kata Matt.
“Still early,” gumam Nero.
“That’s the point. We could take a walk and
chatting. I’ll do whatever you want me to.”
Nero langsung
membuka lebar matanya, duduk tegak. “Promise?”
“Promise.” Matt mengangguk pasti.
“Anything? Everything?”
Matt menaikan
alis. “Ok,” katanya. “Anything. Everything.”
“I love you,” Nero mengecup pipi Matt dan melompat
dari atas tempat tidur, “I’ll be ready
for fifteen minutes!”
Matt mengerjap. “Wow. That’s fast. Did I just dig my own
hole? Anything and everything? I must be out of my mind.” Matt
geleng-geleng kepala. “What’d I do when
he wished for Paris or Eiffel?”
Mendesah, Matt
bersiul-siul keluar dari kamar Nero. Kakinya melangkah turun dari tangga,
menuju ruang tengah di mana pohon Natal putih sudah berdiri di sana, berdiri
tegak dengan kado-kado berwarna-warni tersusun di bagian bawahnya. Di dekat
pohon natal ada perapian, tempat dimana kaos-kaos kaki tergantung di bagian
atas. Perapian masih menyala dengan bara api yang berderak lembut.
Matt memilih
duduk di salah satu sofa, menyandarkan punggungnya sambil melipat kaki. Dia
kembali bersiul sambil bergumam rendah. Jacob keluar dari kamarnya, mengenakan
mantel bepergian. Matt dapat melihat dia berpakaian formal di balik mantelnya.
Tidak seperti para pria pada umumnya, Jacob tak suka pakai syal, dia lebih baik
memakai turtle neck untuk menutupi lehernya, atau mantel dengan kerah tinggi.
“Pagi, Jacob,”
sapa Matt sambil tersenyum.
“Jam berapa kau
datang?”
Matt melirik jam
tangan. “Lima belas menit lalu.”
Jacob mengangguk
kecil, lalu mendekati meja. “Mau minum teh?” katanya sambil mengangkat teko.
Matt menggeleng.
“Jacob, please, berhenti bertingkah
sebagai pelayanku saat kita tak ada di kantor.”
“Matt, please,” Jacob meniru sambil menghela
napas. “Kenyataannya aku memang pelayanmu. Ayahmu menyekolahkanku dan kau
berbaik hati berteman denganku, membelikanku rumah, memberiku pekerjaan, mengangkat
derajatku. Ini bukan masalah besar.”
“Jacob, please,” kata Matt lagi, tampak jengkel.
“Itulah gunanya teman.”
Jacob mendesah,
menatap Matt dengan pandangan prihatin, “Itulah sebabnya para kolegamu sering
tak nyaman denganmu. Kau bergaul dengan para tikus.”
“Tsk tsk tsk,”
Matt mengangkat telunjuknya sambil menggoyang-goyangkan telunjuk. “Kau terlalu
tampan, pintar, dan menyenangkan untuk seekor tikus. Dan aku sangat pintar
untuk memilih mana yang tikus dan mana kolega yang benar.”
Jacob memutar
bola matanya. “Jadi, kau dan Nero mau kemana?”
“Jalan-jalan.
Kau mengikuti dari belakang, seperti biasa. Tidak
terlihat.”
“Yes, My Lord.” Jacob tersenyum kecil,
membuat Matt tertawa.
“Jadi,” Matt
berdeham, “apa kau sudah mendapat kabar dari Deborah?”
Jacob mengangkat
bahu saat menuangkan kopi ke cangkirnya, lalu meletakkan dua sendok gula ke
dalam dan mengaduknya. “Aku mendapat informasi kalau ada beberapa orang yang
melihat wanita itu. Aku sedang berusaha mencari tahu.”
“Aku tak ingin
dia dekat-dekat Nero lagi.”
Jacob mengangguk
penuh pengertian. “Aku sedang berusaha. Kali ini aku tak akan membiarkannya
lolos.” Matt mengangguk lagi dan kembali bersiul. Jacob mengambil cangkirnya
dan minum kopi. Paginya cukup menyenangkan hari ini.
Nero turun tak
lama kemudian, mengenakkan kemeja hijau pucat nyaman yang dipadu dengan jaket
tebal, dan mantel putih. Syal abu-abunya terlilit dengan penuh gaya di leher
dengan ujung-ujungnya masuk ke dalam mantelnya. Dia mengenakan jeans biru
nyaman dengan sepatu boot hitam.
“Anakkmu harus
berhenti tampil tampan, Matt,” kata Jacob dari sudut bibirnya.
Matt menaikan
alis. “Memangnya kenapa?”
“Kau tahu benar
maksudku apa,” balas Jacob.
Matt nyengir
lebar dan mengedip polos. Tentu saja dia tahu kenapa. Nero selalu tampil
menarik perhatian. Bukan karena pakaiannya tapi karena auranya. Dia selalu
tersenyum, santai, kasual, menyenangkan dan menebarkan aura penuh persahabatan
ke sekitarnya, menjadikan magnet tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya.
Well, setidaknya itulah aura Nero setelah dia mendapatkan sedikit pengalihan
perhatian dari Psikiater.
“Let’s go!” Nero menarik tangan Matt begitu dia
mampu mencapai. Matt tertawa dan bangkit, mengalungkan tangannya pada Nero. “Where’re we going to?”
“Everywhere you want to.”
Nero memutar
bola matanya. Jacob meletakkan cangkir kopinya dan mengikuti dari belakang.
Begitu dia cukup dengan jarak aman, dia berbaur dengan orang-orang di
sekitarnya lalu tidak terlihat, seperti yang diminta Matt.
Matt dan Nero
berjalan di samping rumah-rumah yang menjulang tinggi di Paris, mengobrol
tentang banyak hal. Matt bertanya bagaimana malamnya kemarin dan Nero mengjawab
sambil mengangkat bahunya bahwa semuanya baik-baik saja, walau ada sedikilit
kilatan kesal pada matanya karena Matt lebih memikirkan koleganya pada hari
Natal ketimbang bersamanya.
Tersenyum kecil,
Matt membelikan Nero burger dan mereka duduk di pinggir jalan, dekat taman yang
menghadap ke danau. Matt meletakkan kopi panasnya ke samping, menyandarkan
tubuh ke sandaran bangku, memerhatikan sekitarnya dengan tidak terlalu
berminat. Di pagi hari seperti ini tidak banyak orang. Di hari Natal begini,
para manusia sepertinya lebih suka berdiam diri di rumah bersama keluarga. Matt
berniat membawa Nero makan malam nanti untuk menebus kejadian kemarin.
Nero tidak
banyak bicara selain hanya makan burgernya dengan perlahan dan penuh sopan
santun.
“Kenapa hari ini
kau tak mengenakan kuplukmu?” Matt bertanya keheranan.
“Gatal.” Nero
menjawab santai. “Benang topi itu menyelip di rambutku.”
Matt tersenyum. “Tapi
salju bisa membuat kepalamu kedinginan.”
Nero mengangkat
kedua bahunya dengan santai. “Aku kan bawa jaket bertudung.”
Matt mendesah,
meneguk kopinya lagi. “Sudah berapa lama kita tak sesantai ini?”
Nero menatapnya,
“Mungkin empat bulan? Sejak kita keluar dari USA? Atau mungkin dua bulan sejak
kita liburan dari Kanada? Oh, atau mungkin sebulan sebelum kita sampai kemari
dari London?”
Tawa Matt
menyembur. “Nero, sarkastik tak cocok untukmu. Aku minta maaf karena aku sudah
membuatmu berpindah tempat lebih sering daripada seharusnya. Tapi kau tahu ini
karena apa kan?”
Nero menjadi tak
tertarik lagi makan. Dia menurunkan burgernya. “Uh… apa kau belum
memaafkannya?”
Untuk sejenak
Matt mengerjap. Mereka tak bermaksud membicarakan orang yang ada di dalam
kepala Matt kan? Matt nyaris saja meninju dirinya sendiri karena
mengungkit-ungkit masalah ini pada saat Natal, dimana seharusnya Nero
berbahagia dan bukannya terusik oleh wanita gila seperti Deborah.
“Siapa?”
Untunglah Matt mampu membuat suaranya terdengar tenang.
“Deborah.”
Shit! Tangan Matt mencengkram erat gelas
kopinya. “Nero, wanita siluman itu—”
“Uh!” Nero
memotong.
“Nero, dia tak
cocok dibicarakan di saat seperti ini. Sekarang Natal. Kita lupakan dia. Aku
minta maaf karena aku yang membuka topik ini.”
“Sejujurnya aku
senang Dad membahasnya.”
Matt menatap
Nero dengan tak percaya. “Nero, apa kau tahu yang kau bicarakan?”
“Ya aku tahu.
Aku tahu semuanya tentang Deborah ini, Dad. Percayalah padaku.” Nero beringsut
menjauh, menatap Matt. Matt tak ingin membicarakan ini dengan Nero. Hidupnya
sudah cukup buruk tanpa mengingat Deborah, apalagi membicarakannya. “Aku tahu
kemampuannya sebagai anak seorang CIA. Aku juga tahu kalau dia bisa menyamar,
menghilang, lalu muncul tiba-tiba seperti ninja. Dan aku tahu obsesinya untuk
bersamamu. Aku bukan orang yang bodoh untuk tidak mengenal hal itu dengan baik.
Dia membunuh nyaris seluruh anggota keluargamu, keluargaku.”
Matt mengerang
jengkel, “Aku tak ingin membahasnya!”
“Dad, maafkan
dia.”
Butuh satu menit
penuh bagi Matt untuk bisa mencerna perkataan Nero. Maafkan dia? Memaafkan
Deborah? Yang benar saja! Deborah sudah menghabisi seluruh keluarganya. Dia
bahkan belum akan puas jika tidak mendapatkan Nero mati. Dan sekarang Nero
menginginkannya untuk dimaafkan? DIMAAFKAN? Dia tak salah dengar kan?
“Apa?” Matt
akhirnya berkata dengan suara keheranan, bingung, terkejut dan terlalu
terpesona dengan apa yang dikatakan Nero.
“Dad,” Nero
mendesah, meletakkan burgernya ke samping tempat duduknya, kemudian memegang
tangan Matt. “Aku tahu dengan pasti sesakit apa kehilangan seluruh anggota
keluarga. Aku dan kau sama. Kita sama-sama merasakannya. Kita sama-sama
melaluinya. Tapi kita tak bisa selamanya terjebak dalam keadaan seperti ini
terus. Kita tak mungkin selamanya terjepit oleh perasaan ingin membalas
dendam.”
“Nero—”
“Ada yang bilang
padaku bahwa memaafkan mungkin tidak mengubah segalanya, tidak membuat kita
lupa, tapi akan membuat kita merasa lebih baik,” kata Nero lagi, menggenggam
erat tangan Matt. “Aku berusaha mengerti, Dad. Itu sebabnya aku bersedia
mengikuti apa kata Psikiaterku walau rasanya tak masuk akal. Itu sebabnya aku
memilih untuk memaafkan Deborah atas segala hal yang dia lakukan. Aku berusaha
melihatnya dari sudut pandang Deborah.”
“Nero, kau tak
masuk akal,” Matt berusaha melepaskan pegangan tangan Nero tapi genggaman
tangan Nero begitu erat sehingga sulit baginya untuk menepisnya. “Dengarkan
aku, Nak, dan dengarkan aku baik-baik. Wanita ini gila,” katanya, lalu menjilat
bibirnya. “Wanita ini bukan hanya membunuh anggota keluarga yang kupunya. Aku
nyaris menikah dengannya, Nero. Nyaris. Kau tahu kenapa aku memilih
meninggalkannya?”
Nero mengangguk
penuh pengertian. “Aku tahu. Dia menggugurkan saudaraku dengan alasan dia masih
terlalu muda untuk menikah denganmu.”
Lagi-lagi Matt
mengerjap. “Darimana kau tahu?”
“Jacob bukan
cuma pelayan dan sahabatmu, Dad. Dia juga Ayah Baptisku.”
Matt mengutuki
Jacob dan segala hal yang dia katakan pada Nero. “Apa lagi yang dia katakan
padamu? Dasar penghianat!” gerutu Matt.
“Dad,” Suara
Nero kembali mengalihkan perhatian Matt. “Maafkan dia.”
“Mungkin kau
bisa memaafkannya, Nero. Tapi aku tak bisa. Dia mencoba membunuhmu! Aku tak
akan membiarkan hal itu terjadi!”
Nero menutup
mata, mungkin mengira dia kerasa kepala. Matt sejujurnya ingin melakukannya.
Tapi dia tak bisa. Sialan. Deborah tidak akan mendapatkan maafnya. Sebelum
wanita itu mendapatkan hal yang pantas dia terima, Matt tak akan memaafkannya.
“Kalau begitu,”
suara Nero tercekat, “maafkan dia untuk hadiah Natalku.”
Matt menganga.
“Apa?”
“Kau janji akan
memberikan apapun untukku, sekarang buktikan. Maafkan dia.”
Matt mengerjap.
Tidak mungkin. Nero tidak mungkin memintanya untuk melakukan itu kan? Matt akan
memberikan apapun untuknya. Tapi ini yang paling sulit. Matt tak percaya bahwa
Nero akan memintanya melakukan hal yang tersulit dalam hidupnya: memaafkan
Deborah.
Demi Tuhan,
rasanya lebih sulit daripada mati membeku saat ini juga.
Matt terdiam.
Nero serius. Dia ingin Matt memaafkan Deborah. Mata Nero menatapnya lurus-lurus,
begitu jernih seperti dirinya, seakan Matt mampu melihat dirinya sendiri di
lensa mata Nero.
“Nero,” kata
Matt, “kau bisa minta hal lain. Kenapa harus itu? Kenapa tak minta mobil atau
rumah atau istana jika perlu?”
“Aku tak butuh
itu. Aku sudah cukup dengan apa yang kau beri padaku.”
“Lalu kenapa tak
minta kembali ke Indonesia?”
Matt melihat
kilatan kecewa di mata Nero dan itu membuat Matt ingin menampar dirinya
sendiri. Dia tak bermaksud mengatakan itu.
Nero menutup
mata dan menarik napas. Ketika dia membuka kembali matanya, sinar kecewa itu
sudah hilang, terganti menjadi tatapan menyejukkan. “Dad, jika kau mampu
memaafkan Deborah, hidup tanpa kemarahan dan keinginan untuk balas dendam
padanya, juga mampu memaafkannya atas segala hal yang terjadi—atas apa nanti yang mungkin akan terjadi
padaku bagiku— tak masalah untuk tidak kembali.”
Matt menggigit
bibirnya. “Apa kau tahu yang kau katakan?”
“Niken akan
mengerti. Dia tak pernah menghakimiku.” Nero tersenyum lemah. “Dad, dengarkan
aku. Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentangmu. Kau harus melihat bahwa sebenarnya kau bukan marah pada
Deborah. Kau marah pada dirimu sendiri.”
Matt menahan
napas. Nero bisa membacanya. Nero tahu apa yang dia rasakan. Benar, dia marah
pada Deborah. Benar, selama ini dia ingin Deborah menghilang dari kehidupannya.
Benar, dia ingin Deborah merasakan apa yang dia rasakan. Lalu dia sadar bukan
itu yang sebenarnya yang terjadi.
Semua ini
terjadi karena dia. Karena Matt. Karena Matt mengenalnya. Karena Matt melakukan
hal yang buruk pada Deborah. Karena Matt menarik seluruh keluarganya dalam
masalahnya. Karena Matt yang menyebabkan keluarganya mati.
“Kau,” kata Matt
menyapu rambut Nero, “seperti Ibumu. Kenapa kau harus begitu mirip dengannya?”
“Aku mungkin
memang punya wajahmu, Dad, tapi sifatku sifatnya Mother.”
Matt tertawa
lemah kemudian memeluk Nero. Dan dia merasakan kekuatan mengalir padanya. Disadurkan
oleh Nero ketika Nero menepuk punggungnya sehingga Matt tahu dia bisa
melakukannya.
“Akan kulakukan.
Aku akan memaafkannya.”
“Sungguh?”
Matt mengangguk.
“Meski itu sulit aku akan berusaha.”
“Thank you,” kata Nero dan Matt merasa
Nero pasti tersenyum.
Seharusnya aku
yang berterima kasih, Nero, batin Matt. Kau membuatku sadar bahwa segala hal
yang terjadi bukanlah kesalahan siapa-siapa. Ini hanya permainan emosi yang
menyangkut nyawa manusia.
Nero melepas
pelukannya. Tersenyum puas. “Jam berapa sekarang?”
Matt menggeser
mantel di tangannya. “Jam 11. Bagaimana kalau kita jalan dan makan siang?”
Nero mengangguk.
“Sebenarnya aku punya kejutan buat Dad.”
“Oh ya?” Matt
menaikan alis. “Apa itu?”
Nero memutar
bola matanya. “Jika aku bilang bukan kejutan namanya.”
Matt tertawa.
Ini aneh. Matt merasa lebih ringan. Lebih hidup. Lebih damai. Selama ini Matt
ketakutan mengawasi sekitar dengan paranoid dan dipenuhi kemarahan. Tapi
sekarang tidak.
Dia memang belum
bisa melupakannya. Tapi dia akan berusaha memaafkan Deborah. Demi Nero.
Melihat Nero
melakukan itu untuknya membuat Matt terharu. Nero memang hartanya yang paling
berharga.
“Jadi kapan kita
mengambil kejutan itu?” Matt bertanya penasaran. Tak sabar. Kejutan apa sih
yang disiapkan Nero untuknya?
“Kejutannya tak
di sini.” Nero mengambil burgernya dan berdiri. Matt juga ikut berdiri dan
mengambil kopinya. Mereka berjalan berdampingan melewati rumput taman yang
dipenuhi salju. Matahari sudah mengintip dari balik awan meski udaranya masih
dingin. Setidaknya sudah lebih hangat.
“Lalu dimana?”
“Aku tak akan
mengatakannya. Itu kan kejutan,” kata Nero meletakkan sisa burgernya ke tong
sampah. Matt juga melakukan hal yang sama pada kopinya.
“Lalu bagaimana
cara kita ke sana?”
Nero menatapnya
dan tersenyum geli. “Tentu saja pakai mobil, Dad.”
“Aaah masuk
akal.” Matt mengangguk kecil mengikuti Nero melewati jalan yang mulai dilewati
oleh pejalan kaki meski tidak terlalu banyak. “Tapi, Nero,” kata Matt lagi. “Kita
tadi tidak bawa mobil.”
“Dad, jika kau
tak tahu, ada yang namanya taksi di negeri ini.”
Matt tertawa. “Dan
siapa yang akan membayar?”
“Aku. Tentu saja,
Dad!” kata Nero jengkel.
“Tsk tsk tsk.
Aku tak bawa uang receh.” Matt menghela napas. “Tunggu di sini, aku ambil uang
dulu di ATM. Dimana aku bisa menemukan ATM di sini?”
Baik Nero dan
Matt menoleh ke sana kemari. Akhirnya Nero menunjuk. “Itu,” katanya menunjuk
salah satu kotak kecil yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari tempat
mereka.
“Tunggu di sini.”
Matt berkata.
“Ok,” Nero
mengangguk.
Matt menyebrang
jalan yang kosong dan berlari menuju ATM. Dia memasukkan kartunya, memencet Pin,
dan memasukkan jumlah uang yang dia butuhkan. Dia menoleh ke arah Nero yang
menunggu.
Anaknya itu
tampak tampan dan begitu mencolok, membuat pejalan kaki menoleh padanya.
Tersenyum, Matt
mengambil uangnya dan memasukkan uangnya ke dalam dompet. Dia melangkah
meninggalkan kotak ATM, memerhatikan Nero, yang memasukkan kedua tangannya ke
dalam saku mantelnya. Nero tersenyum padanya dan Matt balas tersenyum padanya.
Lalu sesuatu
terjadi begitu cepat saat sebuah mobil berdecit dengan kecepatan maksimal lalu
tergelincir keluar dari jalan dan masuk ke badan jalan. Tepat menuju belakang
Nero. Tepat di tempat Nero berdiri.
Nero menoleh ke
belakang. Dan—
BRAK
“NERO!”
Matt dengan
ngeri melihat putranya mati di depan matanya.
Tubuh di Nero
ditabrak oleh sebuah mobil sedan, yang membuatnya berguling naik ke atas atap,
lalu jatuh ke jalan dengan tubuh berlumuran darah. Lima meter di tempat Nero
tadi berdiri.
Waktu yang
begitu cepat. Namun Matt melihat pemandangan itu dalam gerakan lambat yang
langsung menghentikan detak jantungnya, napasnya, udara di sekitarnya, bahkan
suara di tempatnya.
Nero tak
bergerak.
Tidak mungkin. Matt tak memercayai
penglihatannya.
Nero... tak mungkin....
“Nero!!”
Matt berlari
mendatangi Nero dan seketika itu pula seluruh bumi kembali bergerak. Teriakan
panik dan histeris bermunculan dengan adanya suara gumaman. Decitan mobil
terdengar di sana sini begitu Matt menerjang jalan tanpa menghiraukan
sekitarnya. Kepanikan menjalar di setiap tetes darahnya. Dan dia tak peduli
dengan dirinya asalkan Nero baik-baik saja. Asalkan Nero hidup.
Matt berhasil
mencapai Nero dan berlutut di samping putranya. “Nero... Nero...”
Suara Matt
bergetar melihat Nero tidak bergerak tapi matanya masih terbuka hanya saja
tidak memandang kemana-mana.
“Nero... Nak...
Nero.” Matt menepuk-nepuk pipinya. Tangan Matt gemetar. “Tidak boleh. Kau tak
boleh mati.”
“Apa yang
terjadi?”
“Kecelakaan?”
“Telepon
ambulan. Mana ambulan?”
“Ambulan akan
datang.”
Matt tak
mendengarkan mereka. Dia tak peduli dirinya menjadi perhatian atau dikerumuni.
Dia hanya ingin memastikan bahwa Nero baik-baik saja. Dia menarik Nero ke
pangkuannya dengan hati-hati. Nero tidak meresponnya. Tapi Matt masih bisa
merasakan hembusan napasnya yang tersendat-sendat dalam usahanya menarik napas.
“Nero... kau tak
boleh mati. Kau dengar aku? Kau tak boleh mati. Aku tak akan mengijinkanmu.”
Matt bergumam, ketakutan.
Nero terbatuk
kecil dan darah mengalir keluar dari mulutnya, membasahi syalnya, mengalir
turun ke atas salju.
Matt semakin
ketakutan. Nero berdarah. Tak mungkin. Tak boleh.
“Nero... Nero...”
Air mata
bergulir ke pipinya. “Kumohon padamu bertahanlah... Nero...” isaknya. “Jangan
tinggalkan aku. Kumohon jangan tinggalkan aku.”
“Matt!”
Seseorang berbicara di sampingnya. “Matt, kita harus membawa Nero ke rumah
sakit.”
Matt menoleh kesekeliling,
ke pagar manusia yang menonton dan tak melakukan apa-apa. Lalu akhirnya melihat
Jacob.
“Jacob...”
“Aku sudah
menghentikan taksi. Ayo, bawa dia. Pelan pelan. Hati hati pada lehernya. Kita
harus memindahkannya pelan-pelan.” Jacob mengambil tangan Nero.
Matt mengangguk
dalam diam saat mendengar suara tawa yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Hahaha.
Akhirnya! Mati kau sekarang!”
Suara itu suara
iblis. Si dewa kematian. Yang muncul dalam wujud wanita berambut emas bernama
Deborah. Dan Wanita itu keluar dari mobil sedan yang menabrak Nero. Matt seakan
tak bernyawa.
“Deborah..”.
desah Matt tak percaya. “Jadi... jadi yang menabrak Nero...”
“Aku,” kata
wanita itu tampak puas. Dia menatap Nero dalam pelukan Matt yang tak berdaya.
Wanita itu tersenyum puas. “Sekarang tak ada lagi halangan.”
“Apa maksudmu?”
Matt menahan napas.
Wajah Deborah
melunak, memberikan tatapan penuh cinta padanya. “Sekarang kita bisa bersatu,
Matt. Kita tak punya lagi penganggu seperti Nero. Aku bisa memberikanmu anak
sebanyak yang kau mau. Tidak ada lagi bayang-bayang Theressa. Wanita itu tak
akan lagi masuk ke dalam kehidupanmu. Aku sudah menghapus semua ikatanmu
terhadapnya. Kita bisa berbahagia sekarang membentuk keluarga. Aku yakin...”
Wanita ini gila.
Matt tahu betul itu. Nero sudah melalukan kesalahan besar dengan memaafkannya.
Matt sudah melakukan kesalahan besar karena mencoba memaafkannya. Matt memeluk
Nero dengan tangan gemetar, mengangkatnya dengan mudah. “Dimana taksinya,
Jacob?”
“Di sana.” Jacob
menunjuk ke belakang.
“Matt! Kau mau
pergi kemana?” Deborah menjerit.
Matt tidak
mendengarkan dan memilih berlari menuju taksi yang berhenti di tengah jalan dan
dikerumuni oleh orang-orang yang ingin tahu.
“Matt kau tak
boleh pergi! Aku ada di sini! Harusnya kau memilihku! Aku sudah membantumu! Aku
sudah menghapus ikatan pada setiap orang yang mencoba mengambilmu dariku! Kau milikku
Matt!” Deborak berteriak lagi. Suaranya mendekat di belakang Matt membuat Matt
ingin menerjangnya dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Saat ini juga.
Dad, maafkan dia...
Matt berusaha
tak mendengarkan iblis yang berbisik padanya. Nero butuh ke rumah sakit. Dia
berjalan maju. Supir taksi membuka pintu. Dia menunduk. Memasukan Nero terlebih
dahulu dengan hati-hati.
“Matt, tak
seorang pun boleh memilikimu, kecuali aku! Tidak wanita jalang itu dan tidak
pula wanita simpananmu!” Deborah menjerit lagi berjalan menuju Matt. Wajahnya
begitu murka.
Matt berhenti
bergerak. Dahinya berdenyut berbahaya.
“Begitu, Matt,”
kata Deborah saat Matt akhirnya menyadari keberadaannya. Suaranya melunak penuh
cinta. “Benar. Akulah kebahagiaanmu. Datanglah kemari, tinggalkan Nero dan
sambut aku. Aku akan membahagiakanmu selamanya.”
Matt menoleh
perlahan dan berteriak pada Jacob. “Jacob, hubungi Nathan dan katakan kalau
Nero akan tiba di rumah sakit!”
“Matt...”
Deborah menatap Matt dengan shock. “Matt, aku ada di sini. Kau tak boleh
mengacuhkan aku. Matt!!”
Matt menatap
Deborah dengan benci dan kemarahan. “Apa kau puas sekarang?”
“Matt...”
Deborah mendesah tak percaya. “Aku melakukannya untukmu.”
“Menurutmu
begitu?” Matt menggeram. “Aku menyesal mengenalmu. Aku menyesal menjalin
hubungan denganmu. Aku menyesal karena pernah mencintaimu.”
“Matt!” Deborah
murka. “Semua yang kulakukan ini untukmu! Aku melakukannya agar segala hal yang
mengikatmu hilang! Kita bisa membangunnya kembali bersama-sama!”
“Enyah dari
hidupku! Enyah dari pandanganku!” Matt merasakan rahangnya mengeras. “Aku tak
ingin melihatmu lagi. Pergi dari hidupku. Jika kau berani muncul aku akan
membunuhmu dengan tanganku sendiri! Jika putraku mati seperti yang kau lakukan
pada calon putriku aku akan membunuhmu! Camkan itu Deborah! Kau bukan dan tak
akan pernah menjadi bagian dari hidupku!”
Matt masuk ke
dalam taksi, membanting pintu taksi. Deborah menggedor jendelanya.
“Matt! Kau tak
boleh melakukan ini padaku! Aku melakukannya untukmu. Apa kau tak mengerti?
Matt jangan pergi! Kembali!!! Matt!! Matt!!!”
Tapi Matt bahkan
tak menoleh atau meresponnya saat taksi meluncur turun dengan kecepatan
mengerikan menuju rumah sakit.
“Nero...” Matt
terisak saat Nero kembali terbatuk dan berdarah lagi. “Nero... bertahanlah. Aku
mohon padamu. Nero... kau mendengarku kan?”
Nero merintih.
Entah itu karena dia mendengar suara Matt atau karena menahan kesakitan.
“Nero. Maafkan
aku, Nero. Aku tak bisa menjagamu. Harusnya aku yang ada di posisimu. Nero...
Nero...”
Darah keluar
lagi dari mulut putranya. Lebih banyak dari yang pertama. Berwarna merah kental
yang meluncur turun menodai pakaiannya. Matt membeku.
Dan ketakutan.
Pendarahan. Matt
bisa menduganya. Ada organ dalam Nero yang terluka. Kemungkinan besar ada juga
tulang yang patah.
Beberapa menit
lalu Nero masih tersenyum padanya. Sepuluh menit lalu Nero memintanya untuk
memaafkannya. Dan sekarang inilah yang dilakukan wanita itu pada Nero.
“Kenapa lama
sekali?” Matt meraung pada si supir taksi. “Cepat sedikit! Anakku sekarat!”
Ada suara dari
dasar tenggorokan Nero. Suaranya tersedat. Tapi yang pasti dia mulai kesulitan
bernapas.
“Nero...” Matt
panik sekarang. “Nero, bertahanlah. Nak! Aku tak suka candaanmu ini! Apa kau
ingin membuatku terkena serangan jantung?”
Butiran air kata
kembali turun. Menggenangi mata Matt lalu jatuh ke pipi Nero. Yang sedang
berusaha untuk hidup. Yang sedang berjuang sekuat tenaga untuk menarik napas.
Yang sedang tak bisa bergerak sambil menahan kesakitan di tubuhnya.
Tapi Matt bisa
merasakan semuanya.
“Nero... Nero!!”
Sinar di mata
Nero meredup.
“Tidak...” gumam
Matt ketakutan, menepuk pipi Nero. “No...
no.... please... Nero...”
“We‘re here.”
Taksi berhenti
di depan rumah sakit mewah berwarna putih besar. Di depan pintu masuk dekat UGD
sudah berdiri Nathan dengan staf rumah sakit. Matt belum lega. Nero tidak lagi
terbatuk. Tapi dia juga tak merespon.
“Nathan!” Suara
Matt gemetar.
Nathan tidak
mengatakan apa-apa. Dengan cepat dua orang tim paramedis segera beraksi. Mereka
masuk ke dalam mobil. Mengambil Nero dari pelukannya. Membawa Nero dengan cepat
hati-hati bahkan tanpa menggerakan otot Nero sesentipun dan meletakannya ke
brankar.
Tim yang lain
segera bertindak cepat. Mereka memakaikan tabung oksigen pada Nero. Yang
lainnya menghitung tekanan darahnya. Sementara sisa yang lain menancapkan infus
dan persediaan darah.
“Nathan,” kata
Matt saat Nathan dan timnya mendorong brankar menuju ruang Instalasi Gawat
Darurat.
“Matt, berdoalah,”
kata Nathan begitu mereka tiba di depan pintu.
“Selamatkan dia.
Selamat Nero. Aku mohon padamu.”
Nathan
menatapnya dengan prihatin. “Aku akan berusaha semampuku. Tapi aku bukan Tuhan.”
Dan dengan
begitu Nathan masuk ke dalam ruangan. Mendorong pintu dengan kedua tangannya.
Matt hanya mampu melihat pintu mengayun tertutup di belakang punggung Nathan.
“Nero...” Matt
melihat kedua tangannya yang berlumuran darah. Darah Nero. Putranya. Darah
dagingnya. Yang dengan sekuat tenaga berusaha dia lindungi selama ini tapi tak
berhasil.
Jika terjadi
sesuatu pada Nero Matt tak akan mampu memaafkan diri sendiri.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar