21
You’re not Me
==========
FRAN(POV)
Tidurku nyaman sekali, memeluk guling yang berada di
sisiku. Tidak biasanya gulingku terasa hangat seperti ini. Juga lembut.
Bergerak. Dan bernapas…
Aku membuka mata secara perlahan dan kebingungan,
pelan-pelan mengangkat kepalaku untuk melihat wajah seseorang dan berteriak
keras-keras, menendang sesuatu yang kupeluk—yang ternyata manusia. Sedetik
setelah aku bergerak, menendang liar, kepalaku berdenyut parah. Mengerang,
kupegang kepalaku seiring dengan suara geraman.
“Uh… jika tiap kali kau menendangku saat aku tidur
denganmu, maka kau tak boleh lagi tidur bersamaku.”
Aku mengenal suara itu.
Jeremiah berdiri di samping tempat tidur, menguap
sambil menggaruk-garuk kepalanya. Terdengar rintihan yang keluar dari mulutku
begitu melihat sinar matahari yang masuk dari jendela.
“Kau tiduran saja. Semalam entah berapa banyak kau
minum. Kepalamu pasti sakit,” katanya. “Akan kuambilkan obat sakit kepala.”
Pria itu meninggalkanku sendirian, mengerang menahan
kepalaku. Baru kali ini aku merasakan sakit kepala sehebat ini. Apakah karena
kemarin aku minum? Aku tak bisa mengingat apapun kecuali saat River yang
memberikan gelas demi gelas padaku. Aku bahkan tak ingat lagi apa yang
sebenarnya kami bicarakan. Apa yang sudah kukatakan!
Oh, God,
kenapa aku tak bisa mengingatnya? Bagaimana kalau aku mengatakan hal yang
tidak-tidak?
Tiba-tiba saja perutku seakan penuh, sesuatu entah
apa naik ke tenggorokanku. Aku segera turun, berlari menuju kamar mandi sambil
menahan kesakitan di kepalaku dan muntah di toilet. Cairan kuning keluar dari
mulutku. Entah berapa lama aku muntah, sampai aku tak tahu lagi rasanya karena
semua badanku terasa sakit sekali, sampai suara Jeremiah menyadarkanku.
“Aku akan membunuh River karena ini,” katanya,
menepuk-nepuk punggungku.
Tenggorokanku terasa kering, kasar dan sakit sekali
ketika aku selesai dan Jeremiah menyuruhku sikat gigi agar aku bisa minum obat
dan istirahat sebentar.
“Apa yang sebenarnya dia berikan padamu?” katanya,
masih jengkel, mengambil gelas dari tanganku, lalu merebahkan tubuhku ke
bantal.
“Vodka,” suaraku pun terdengar asing sekali.
Jeremiah mengumpat, sebagiannya malah aku tak tahu
apa artinya. “Kau harusnya tak minum. Lepas dari pengamatan dan kau sudah
seperti ini.” Rahangnya mengeras begitu menarik selimut ke tubuhku, dan dia
duduk di sampingku.
“Aku tak mau minum lagi,” gumamku serius. Jika karena
alcohol membuatku seperti ini, maka aku tak mau minum lagi.
Jeremiah mengangguk setuju. “Aku akan mengantar
Gabrielle dulu. Kau tidur dan jangan lakukan apapun.” Dia meletakkan ponsel ke
meja. “Telepon aku jika ada apa-apa.”
Aku mengangguk, terlalu lemah untuk menjawab. Begitu
menutup mata, samar-samar aku merasakan sentuhan lembut di dahiku yang
membuatku tersenyum kecil. Tapi begitu membuka mata, tak ada seorang pun.
***
GABRIELLE(POV)
“Ingat, telepon aku kalau urusanmu sudah selesai,”
Jeremiah memperingatkan entah untuk yang keberapa kalinya hari ini.
Sesuai perjanjian, siang ini aku akan bertemu dengan
orang tua Oliver untuk makan siang bersama mereka. Aku mengangguk pada
Jeremiah. Pria itu hanya mengenakan piyama saat mengantarku karena dia harus
kembali pada Fran sesegera mungkin setelah membeli makanan.
Aku melambai pada mobil Jeremiah dan segera masuk ke
restoran keluarga.
Restoran itu belum penuh. Beberapa meja hanya diisi
oleh orang-orang muda. Karena hari ini hari libur, mungkin lebih banyak yang
memilih tidur sampai siang, seperti Fran. Mataku menelusuri ruangan, melihat
apakah Oliver sudah datang atau tidak, tapi aku tak menemukan siapapun yang
kukenal.
Aku datang terlalu cepat.
Karena tak mungkin aku pergi begitu saja, aku memilih
untuk berjalan lebih ke dalam, melewati beberapa meja putih yang lebih panjang
dan lebar. Sofa-sofa empuk juga diletakkan di dinding. Dan saat itulah aku
melihatnya.
Seorang gadis mungil berambut merah panjang ikal
duduk di tempat paling sudut bersama dengan sepasang orang tua. Wajahnya
cantik, berkulit pucat dan mungil. Dia mengenakan topi merah manis yang
memperindah wajahnya. Tapi matanyalah yang membuatku tertegun. Mata itu berwarna
biru, sama sepertiku. Tapi mata itu tak memandang kemana-mana.
Air mataku nyaris menangis melihat orang yang selama
delapan tahun ini kucoba kucari.
“Shiren…” desahku tak percaya.
Gadis itu menoleh ke arahku, begitu juga dengan dua
orang di sebelahnya. Tidak seperti keduanya yang fokus melihatku, gadis itu
seakan menembus memandangku. Dan saat itu pula aku tahu alasan kenapa dia
seperti itu.
Dia tak bisa melihatku.
Dia buta.
“Oliver?” gadis itu bertanya, senyumnya mengambang.
Mataku membulat kaget. Tidak mungkin.
“Aku di sini.” Suara Oliver terdengar di belakang.
“Oh, kau sudah datang, Gabrielle?”
Senyuman Shiren menghilang. Dia tampak bingung
sekaligus juga kaget. Aku tahu kenapa, karena aku juga merasakan hal yang sama.
“Oh, jadi ini Gabrielle?” wanita di samping Shiren
bangkit. “Halo, namaku Rose. Oliver sering sekali cerita tentangmu pada kami.
Ini suamiku Pierre dan adik Oliver, Shiren.”
Aku tak bisa bergerak. Aku tak tahu harus bilang apa.
Aku saat ini bertemu dengan Shiren! Dan dia sudah menjadi anggota keluarga
Oliver.
“Dia tak banyak bicara,” kata Oliver begitu aku tak
mengucapkan apapun. “Namanya Gabrielle Cattermole. Gabrielle, aku pernah cerita
soal adikku kan? Dia cantik kan?”
Aku tak bisa bicara dan memilih mengangguk.
“Kenapa kita tak duduk saja dan bercerita soal
sekolah kalian?” Pierre tersenyum ramah, menarik kursi untuk isterinya sehingga
aku dan Oliver bisa duduk di seberang mereka. Aku berhadapan langsung dengan
Shiren, memerhatikan wajahnya.
Sudah delapan tahun dan dia sudah bertambah dewasa.
Aku tak menyangka kalau aku bisa mengingat kembali wajahnya. Padahal aku sudah
putus asa. Padahal aku sudah merasa bahwa aku sendirian. Padahal kupikir dia
sudah mati.
Ternyata tidak.
“Gabrielle?” Oliver menyadarkanku.
Aku menoleh padanya, nyaris tak bisa melihatnya
karena mataku kabur sekali.
“Kau menangis.” Dia terkaget. “Ada apa? Apa ada yang
sakit?”
Aku tak bisa berpura-pura lagi. Selama ini aku
mencoba untuk kuat. Untukku. Untuk kami berdua. Ternyata itu tak cukup. Usahaku
selama ini membuahkan hasil.
“McKenley,” kataku terisak.
“Apa?”
“Namaku Gabrielle McKenley. Fran mengadopsiku
baru-baru ini.”
Rose memekik kaget. Pierre menahan napas. Oliver
menganga tak percaya. Aku tahu dari ekspresi mereka bahwa mereka juga tahu apa
yang terjadi.
“Tidak mungkin,” gumam Oliver.
Dia menatap Shiren, yang sama sepertiku, yang matanya
berkaca-kaca. Salah satu tangan kecilnya menaik, mencoba menyentuhku.
“Gabrielle?” katanya pelan. “Benarkah itu kau?”
Aku mengangguk, tapi karena dia tak bisa melihatnya,
maka aku menjawab, “Ya…”
Air mata Shiren jatuh. Aku memegang tangannya, yang
menggenggam tanganku dengan erat. Dia berdiri, kali ini mengangkat tangan yang
satunya. Kedua tangannya menyentuh wajahku, mencoba mengingat kembali wajahku
hanya dari telapak tangannya.
Shiren yang sepertinya menyadari bahwa aku tak
berbohong kembali menangis. “Kakak.”
Air mataku tak bisa terhenti lagi. Kata yang selama
ini hilang dari hidupku, kini muncul kembali.
***
OLIVER(POV)
Hanya ada satu kata yang muncul dalam otakku:
MUSTAHIL!
Dari sekian banyak manusia yang ada di muka Bumi ini,
kenapa harus Gabrielle yang menjadi saudara kandungnya Shiren? Kemana dia
selama ini? Shiren sudah mencari-carinya selama lebih dari delapan tahun. Gadis
kecil itu sudah menyerah dan menelan kepahitan saat mengetahui bahwa
keluarganya tewas dalam gempa bumi delapan tahun lalu. Harapannya sudah lama
padam. Dan saat harapan itu hilang dalam kegelapan bersamaan dengan matanya,
muncul sinar putih menyinari kegelapan itu.
Orang itu Gabrielle.
Aku tak bisa berkata-kata, hanya bisa memandangi
mereka dari jauh.
Ayah dan Ibu memutuskan untuk menjauh, menarikku
bersama mereka. Memberi mereka berdua waktu untuk bicara dan reuni keluarga.
“Sekarang bagaimana?” Ibu bertanya, menggigit bibir
dengan cemas. Matanya berkaca-kaca. “Aku tak tega memisahkan mereka berdua.
Tapi kita tak bisa menyatukan mereka.”
Ayah menghela napas. “Aku juga tak tahu harus
melakukan apa, Sayang. Sama sepertimu, aku juga merasakan hal yang sama. Selama
ini Shiren sudah mencari Gabrielle, dan mimpinya menjadi kenyataan. Bila kita
bilang kalau kita harus kembali, tentu saja hal itu akan menghancurkan
hatinya.”
“Kalian bisa tinggal di sini,” kata Oliver.
“Oliver, masalahnya tak segampang itu. Peternakan
kita butuh seseorang untuk mengawasi. Kakekmu sudah tua. Dia tak bisa melakukan
semuanya sendirian.”
“Kita juga tak bisa mengadopsi Gabrielle karena dia
sudah diadopsi.”
Hal ini membuatku pucat pasi. Aku tak pernah berharap
kalau Gabrielle akan jadi adikku. Enak saja! Aku naksir padanya!
“Andai saja dia belum diadopsi, tentunya masalahnya
tak akan serumit ini,” kata Ibu.
“Siapa yang tak ingin mengadopsi Gabrielle?” Ayahku
menaikan alis. “Lihat saja wajahnya. Dia punya wajah malaikat. Setiap orang tua
pasti jatuh hati padanya. Apalagi sikapnya juga manis.”
Itu karena kalian belum tahu aslinya, batinku dalam
hati. Tapi, yang dibicarakan mereka berdua memang benar. Gabrielle memang
tampan. Anak itu malah semakin tampan saja. Dia jauh lebih tinggi dan berotot
dari kali terakhir kami bertemu. Mungkin, hormone remajanya sedang berkembang.
“Mungkin kita bisa membicarakan hal ini pada Fran,
Papanya Gabrielle,” kataku, memandang kedua orang tuaku. “Aku yakin Fran juga
merasakan hal yang sama. Kalian bisa mengatur waktu untuk mempertemukan mereka
berdua dalam kurun waktu tertentu, ya kan?”
Kedua orang tuaku saling pandang.
“Itu ide yang baik sekali, Gabrielle. Shiren home schooling. Dia bisa menginap di
rumah Gabrielle sesekali dan Gabrielle juga bisa menginap di rumah kita saat
liburan.” Ibuku menggenggam tangan Ayahku yang mengangguk setuju.
“Kau punya nomor telepon Papanya? Aku ingin sekali
bertemu dengannya, selagi kami masih di sini, Oliver.”
“Aku tak punya. Tapi kita bisa tanya Gabrielle.”
Mereka mengangguk lagi, menunggu selama lima menit
sambil memandangi Gabrielle dan Shiren yang tertawa di seberang taman. Aku
harus mengakui bahwa aku terpesona melihat tawa bahagia Gabrielle. Tawa itu tak
dibuat-buat. Begitu lepas dan bahagia.
Untuk pertama kalinya aku bisa melihat wajah
kejujuran Gabrielle, yang lepas dan damai.
Walau adiknya tak bisa melihatnya, Gabrielle tidak
begitu keberatan. Dia menerima adiknya—apa adanya. Anak itu bahkan menangis
bahagia. Aku yakin bahwa rasa cintanya pada Shiren begitu besar. Siapa sih yang
tak bisa jatuh cinta pada sosok mungil seperi Shiren? Meski tak bisa melihat,
Shiren selalu bisa mencerahkan orang-orang di sekitarnya.
“Gabrielle,” Ibuku menegur mereka, melingkarkan
tangannya ke bahu Shiren, “aku dan suamiku ingin sekali bicara pada Papamu,
Fran.”
Gabrielle menegang. “Fran? Untuk apa?”
“Melihat kalian, kami ingin membicarakan apakah
Papamu setuju untuk mempertemukan kalian secara intens,” jelas Ibu.
Gabrielle mengerutkan dahi. “Kenapa? Shiren sudah
pasti ikut denganku… kan?”
Ini akan sulit. Dia tak mengerti soal peraturan
pemerintah mengenai adopsi.
“Shiren tak bisa ikut denganmu, Gabrielle. Dia puteri
kecil kami,” kata Ibuku lagi.
“Dia bukan puterimu. Dia adikku!”
“Gabrielle,” Shiren menggenggam tangannya, “tarik
napas.”
Dia tak menarik napas, malah rahangnya semakin keras,
memberikan pandangan penuh kebencian pada kedua orang tuaku sekarang. Ini tak
bagus sama sekali.
“Gabrielle, secara legal, Shiren sudah menjadi puteri
kami,” Ibu menjelaskan dengan nada lembut. “Kami tak mungkin meninggalkannya sendirian
di sini.”
“Tapi kalian bisa mengembalikannya ke panti asuhan
kan?”
Mulutku ternganga. “Kami mana mungkin mengembalikan
Shiren ke panti asuhan.”
“Kenapa tidak?” tantangnya, berdiri menghadapiku.
“Karena kami menyayanginya.” Apa dia tak mengerti?
Aku menyayangi Shiren seperti adik
kandungku sendiri. Meski dia seperti itu,
aku tetap menyayanginya.
“Itu hanya alasan yang bisa kau katakan saat kau
belum bosan padanya. Sampai kapan kalian akan tahan mengurus orang buta?”
Aku terkejut. “Jaga mulutmu!”
“Kau berani bilang begitu karena kau tidak
menjaganya. Kau tinggal di asrama. Bagaimana mungkin aku bisa memercayakan
adikku pada orang yang tak kukenal?”
“Gabrielle, dia sudah jadi puteriku selama delapan
tahun,” kata Ayah. “Dan hal itu tak akan pernah berubah sampai kapanpun. Aku
tak akan membuangnya hanya karena kekurangannya.”
“Gabrielle, ada apa denganmu?” Shiren mencengkram
lengannya. “Kau tak pernah seperti ini sebelumnya.”
“Aku hanya tak ingin kau merasakan apa yang
kurasakan, Shiren!” Gabrielle berteriak.
“Merasakan apa?” Shiren kebingungan. “Mereka orang
yang baik. Mereka sudah jadi orang tua dan kakakku selama delapan tahun. Mereka
keluargaku. Apa kau tak bisa melihat itu? Sekarang, yang buta itu kau atau
aku?”
“Shiren, kau tak mengerti apa-apa. Aku hanya ingin
melindungimu. Satu-satunya tempatmu hanya bersamaku,” kata Gabrielle.
“Tidak, Gabrielle. Tempatku bersama mereka. Mereka
keluargaku saat ini. Mereka Ayah, Ibu dan Kakakku!”
Perkataan Shiren tampaknya mengenai titik yang tepat,
karena saat itu pula Gabrielle seperti menyadari sesuatu. Ekspresi kembali
datar, tak berekspresi. Tapi di mata birunya, aku bisa melihat semuanya:
terluka, sedih, kecewa, marah dan terpukul.
“Aku pulang,” katanya, menyentakkan tangannya dari
genggaman Shiren.
“Gabrielle, Gabrielle mau kemana? Aku belum selesai
bicara.” Shiren berusaha menjangkaunya dan Gabrielle mengelak cepat.
Aku mengejar Gabrielle dari belakang.
“Gabrielle, tunggu! Kau tak harus bersikap seperti
ini pada Shiren. Apa kau tahu seberapa inginnya dia bertemu denganmu? Setiap
hari dia selalu berdoa untukmu. Apa kau tahu itu?”
Dia tak mendengarkan, malah langkahnya semakin cepat.
Aku nyaris ngos-ngosan mengejarnya dari belakang. Damn, orang yang sedang marah
memang punya energi ekstra.
“Gabrielle—”
“Jangan ikuti aku! Pergi sana!”
“Gabrielle, dengarkan aku—”
“Kenapa aku harus mendengarkanmu?” dia berbalik
cepat, membuatku berhenti mendadak. “Kau bukan aku, yang tak punya orang tua
bahkan mendengar saat-saat kematiannya. Kau bukan aku yang berada di panti asuhan.
Kau juga bukan aku yang tinggal bersama dengan nyaris seratus anak dalam satu
rumah, berbagi selimut untuk lima orang, tidur di lantai tiap malam, berebut
makan agar makanannya tak dimakan anak lain, dan harus bersaing dengan anak
lain untuk membuat para orang tua itu melihat kami agar kami diadopsi oleh
mereka. Kau bukan aku yang seakan berada dalam mall anak-anak, dimana para
orang tua itu bisa memilih dengan bebas seakan kami ini barang belanjaan yang
bisa dibawa pulang saat mereka senang dan dikembalikan lagi saat mereka bosan.
Kau bukan aku, yang dikembalikan ke panti asuhan selama lebih dari dua belas
kali hanya karena mereka tak bisa menerimaku yang tak bisa bergaul dan
ketakutan tiap kali ada gempa. Kau bukan aku yang hanya dipandang sebelah mata,
dioper kesana-kemari seperti bola, lalu dilempar ke tong sampah. Kau bukan aku
yang baru saja ditolak oleh adiknya sendiri karena dia punya keluarga bahagia
sehingga dilupakan begitu saja.
Jadi kenapa, KENAPA, OLIVER, AKU HARUS
MENDENGARKANMU? KAU TAK MENGALAMI APA YANG KUALAMI! KAU TAK MERASAKAN APA YANG
KURASAKAN!
Kau punya keluarga bahagia, hidup bersama orang tua
lengkap, malah punya seorang kakek yang menunggu kepulanganmu tiap liburan. Kau
punya rumah, tempat kau pulang. Teman-teman yang selalu mendukungmu. Sebuah
sekolah kelas atas yang di dalamnya penuh dengan orang-orang terhormat. Hidupmu
SEMPURNA.
Kita ini Langit dan Bumi! Kenapa aku harus
mendengarkanmu? KENAPA?”
Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Benarkah, yang dia
katakan itu? Benarkah, dia sudah mengalami itu semua? Benarkah, selama ini, dia
ditolak oleh para orang tua yang mengadopsinya untuk dikembalikan lagi?
Bernarkah—
“Kau bukan aku, Oliver, yang tiap malam, tiap detik
dalam hidupku, merasa khawatir bahwa Fran akan bosan padaku. Aku selalu
bertanya-tanya, kapan hari dimana dia akan mengembalikanku. Aku selalu
ketakutan tiap malam, bila dia akan jadi salah satu dari para mantan orang tua
adopsiku yang akan datang ke kamarku tengah malam untuk memukulku. Tiap pagi,
aku akan selalu gugup padanya untuk meyakinkan diri bahwa dia akan menyambutku
seperti anaknya sendiri. Kau tak tahu rasanya berusaha menyayanginya tapi juga
ragu padanya karena dia akan menghancurkan harapanku dengan mudahnya.
Aku yang merasakannya, Oliver. Bukan kau.”
Aku menelan ludah.
“Dan kau ingin aku mendengar apa darimu? Kata-kata
manis? Seluruh harapan palsu? Aku sudah mendengar semuanya dalam hidupku,
Oliver, jadi satupun kata-katamu tak akan ada artinya bagiku karena buktinya,
kau tak ada bedanya dengan yang lain. Begitu pula dengan Shiren.”
“Gabrielle…”
“Kau… dan Shiren… kalian semua sama.”
Lalu dengan satu dorongan terakhirnya, aku tahu bahwa
Gabrielle tak ingin melihatku lagi untuk selamanya.
Aku hanya bisa melihatnya berbalik, melangkah pergi
dari kehidupanku.
Jantungku seakan terobek tiap kali dia melangkah
semakin jauh.
Aku baru saja kehilangan cinta pertamaku.
***
AROZ(POV)
Aku sedang memanggang kue di dapur, begitu ada tangan
yang kokoh memelukku dari belakang. Bibirku tersenyum begitu mengetahui siapa
itu yang memelukku.
“James…” kataku, “aku sedang bekerja.”
“Bagaimana mungkin kau bisa bekerja padahal baru
kemarin ada pesta besar?” gumamnya, menghela napas. “Kau sedang liburan, Aroz.
Aku berharap bangun di pagi hari melihat pacarku di samping tempat tidur, bersamaku dan bukannya di dapur, sedang
membuat kue.”
Kali ini, aku memutar bola mata. “Aku memang sedang
liburan, tapi persediaan kue di tokoku sedang menipis.”
“Suruh saja pelangganmu itu beli di toko kue lain.”
“Aku bisa bangkrut.”
“Tak masalah. Kau bisa tinggal bersamaku, aku tak
keberatan.”
Sejak aku berpacaran dengan James, James jauh lebih
menempel dari biasanya. Dia malah jauh lebih parah dari Jeremiah yang sering
menempel pada Cody. Dulu, dia akan rajin memberi mawar hanya untuk mengajakku
makan malam sekali saja, kali ini dia malah memberikan hadiah-hadiah yang mahal
tiap kali ada kesempatan. Bila bukan karena tugas di luar negeri atau terlalu
jauh dari rumahku, dia pasti akan selalu mampir kemari. Pria itu bahkan sudah
memiliki kediaman di kota tempatku tinggal.
“Bukannya aku tak mau, tapi aku juga punya karyawan
yang pastinya masih ingin bekerja.”
James bergumam tak jelas, mencium belakang leherku.
Ciumannya menaikan bulu di tengkukku. Wajahku memerah dalam sekejap. Aku bisa
merasakan James tersenyum di belakang sana ketika menciumku sekali lagi.
“Kupikir ini dapur, bukannya kamar tidur.”
Suara halus yang sangat kukenal itu membuatku
melonjak kaget. Wajahku semakin merah padam melihat Gabrielle berdiri di pintu
dapur, bersandar dan alisnya menaik.
James masih belum melepas pelukannya. “Apa yang kau
lakukan di sini? Harusnya kau sekolah.”
“Tak ada sekolah di hari Sabtu,” balas Gabrielle,
memutar bola matanya.
“Lalu apa yang kau lakukan di sini?”
Karena tak ada gunanya bagiku untuk berkutat
melepaskan diri karena pelukan James erat sekali dan ukurannya jauh lebih besar
dariku, maka aku menyerah.
“Makan kue,” jawabnya seolah hal itu sudah jelas
sekali.
“Toko kuenya ada di depan sana, bukan di dapur,” kata
James lagi.
“Tapi produksinya ada di dapur.”
“Kau hanya ingin gratisan kan?”
“Aku kan tak bilang tak akan bayar.”
James sudah pasti tak menang menghadapi Gabrielle
yang pintar.
“James,” kataku dengan nada yang aku tahu pasti
membuatnya menurut.
Dia menghela napas lagi, memberikan pipiku ciuman
kecil dan melepas pelukannya. “Aku mandi dulu. Dan kau, anak kecil, jangan
coba-coba menghabiskan kuenya. Aku juga mau.”
Aku hanya geleng-geleng kepala, memandangi punggung
James sewaktu melewati Gabrielle. Barulah aku lihat ekspresi di wajah
Gabrielle.
Dia tampak tegang sekali.
“Gabrielle, kau baik-baik saja?” kataku.
Dia memandangku. Wajah tak berekspresi seperti Cody
sehingga sulit dibaca, tapi matanya berkata lain. Dia benar-benar mirip Cody.
“Aku lapar,” katanya. Suaranya bergetar.
Hanya ada satu makanan yang membuat orang merasa
lebih baik: cokelat.
“Aku akan membawanya. Kau naiklah ke rumahku.”
Dia mengangguk.
Pertama kali Gabrielle datang ke rumahku, aku tahu
dia juga sedang tegang. Meski dia tak mengatakan apapun saat itu, aku bisa
merasakan kesedihan, kemarahan dan rasa kecewanya.
Kali ini juga begitu.
Kenapa dia datang ke tempatku, aku sendiri
bertanya-tanya.
Aku meletakkan empat potong kue coklat beraneka
bentuk dan dua kue kering ke atas nampan, serta dua cangkir mochachino dan
membawanya ke rumah.
Gabrielle ada di ruang tengah, menatap layar televisi
karena aku yakin dia sama sekali tak melihat apapun itu yang ada di depannya.
Setelah meletakkan nampan, Gabrielle langsung mengambil kuenya dan makan tanpa
bicara.
Aku hanya meneguk minumanku, menunggunya untuk
bicara. Aku tahu betul perasaan Gabrielle saat ini. Dia hanya tak ingin
sendirian, tapi juga tak membutuhkan orang untuk membuatnya bicara.
“Aku akan kembali nanti,” bisik James ke telingaku
dari belakang kursi. “Kau temani saja dia.” Setelah memberikan kecupan ke
dahiku, dia mengedip menyemangati dan keluar dari rumah.
Aku juga tak berminat meninggalkan Gabrielle. Anak
itu seperti dalam masa paling sulit dalam hidupnya. Dia seakan sedang berusaha
bangkit kembali setelah jatuh ke jurang yang dalam, merangkak dengan tubuh
luka-luka dan kelelahan.
Gabrielle menghabiskan semua kuenya seorang diri. Aku
tak terkejut. Anak itu penggemar makanan manis. Dia bisa terkena diabetes bila
mengikuti gaya hidup seperti itu terus.
Kemudian, dia bergerak setelah diam-diaman seperti
patung selama lima belas menit. Kemampuan cokelat sepertinya mengalami
kemunduran, karena bukannya merasa lebih baik, keadaan Gabrielle malah lebih
buruk.
Gabrielle, secara tiba-tiba memelukku, dan menangis.
Aku tak tahu mengapa, tapi aku bisa merasakan
kesedihannya sampai-sampai mataku berkaca-kaca sendiri. Caranya memelukku
seakan hidupnya tergantung padaku, seolah menyalurkanku apa yang terjadi. Dia
mengalami hari yang buruk. Buruk sekali.
Dia mengalami kesakitan yang begitu dalam.
Dan aku hanya bisa memeluknya erat-erat, tidak
melepasnya dan ikut menangis bersamanya.
***
Selasa, Medan,
22 April 2014
3 komentar:
puitisi sekali ini
nonton film online
nonton film gratis
download film gratis
download film HD
download film bluray
nonton film box office
download film box office
keren novelnya, btw bakal terbit book edition nya ga ya ??
Coin Casino Review 2021
Coin Casino is powered by 인카지노 Microgaming software which allows you to play games at the same time, with septcasino a total of 메리트카지노 40-50 active online casino games. Learn more!
Posting Komentar