RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [20]



20
Happy Wedding, Cody!
==========

FRAN(POV)
Resepsi pernikahan Cody berlangsung meriah. Makanan dan minuman yang dihidangkan sangat istimewa dan enak sekali—tentu saja, Aroz bersusah payah melakukannya sesempurna mungkin. Ruangannya pun tak kalah—sederhana, tapi mewah. Cody sampai menganga takjub dibuatnya. Selera Jeremiah dalam merancang pesta pernikahan Cody patut diacungi jempol karena tak ada satu pun cela dalam acaranya.
“Remi, thanks,” gumam Cody, memeluk sahabatnya erat-erat.
Jeremiah balas memeluknya. “Tak masalah, Cody. Kau tahu aku rela mati demimu.”
Cody nyaris meneteskan air mata sebelum akhirnya dia bisa menahan diri dan melepas pelukannya. Senyuman Cody mengambang selama acara dan matanya berkilat bahagia. Belum pernah aku lihat dia sebahagia sesukacita itu sebelumnya.
“Fran,” Jeremiah mendatangiku di salah satu meja setelah dia selesai berdansa secara bergilir dengan wanita cantik di acara ini: Ibunya, Ibu Cody, Ibu Keyna, Cassandra, Jamine dan si Pengantin sendiri. “Kenapa kau tak berdansa?”
Berdansa? Aku? “Aku tak bisa.” Bahkan saat prom saja aku tak pernah pergi dengan seseorang. Bagaimana bisa aku berdansa?
“Ayolah. Berdansa itu tak sulit. Kau cuma perlu menggerakkan tubuhmu ke kiri dan ke kanan.”
“Aku akan tampak seperti pohon ditiup angin.”
Dia malah tertawa kecil, membuat jantungku kembali berdetak tak nyaman. Kenapa, oh, kenapa harus Jeremiah?
“Aku yakin kau tak seburuh itu,” katanya, menegak gelas minumanku. “Ayo,” lalu dia menarik tanganku.
Satu sentuhannya berhasil membuat tubuhku menggelenyar dengan gairah. Really, Fran? Bad Fran! Bad Fran!
“Lebih baik aku mencari Gabrielle. Dari tadi aku—”
Jeremiah mempererat pegangannya sewaktu aku hendak kabur. “Kau tak perlu takut, Fran. Dia ada di lantai dansa.”
Pandanganku beralih pada telunjuk Jeremiah. Benar saja, Gabrielle sedang berdansa—dengan sangat kaku sekali—bersama Jamine dan Cassandra.
Jeremiah nyengir lebar ketika aku tahu bahwa aku tak mungkin bisa menolaknya. “Ayo, sekarang kau tak punya alasan lain kan?”
Sekarang, aku hanya bisa pasrah ditarik Jeremiah ke lantai dansa. Begitu sampai, aku hanya bisa berdiri seperti patung sementara Jeremiah sudah menggerakan tubuhnya, berdansa dengan santai. Musiknya tidak terlalu lembut karena musik itu sudah berlalu sejak dansa pertama Keyna dan Cody. Sebaliknya, kali ini adalah musik keras bernada ceria—yang membuat kaum tua menyingkir ke samping.
Meringis, aku baru sadar kalau termasuk yang tua.
“Fran, jangan kaku begitu,” Jeremiah berteriak. Mudah bagimu untuk ngomong begitu. “Sini, kutunjukkan caranya.” Dia memegang kedua bahuku, menggerakkannya ke kiri dan kanan, lalu depan dan belakang sesuai dengan dentuman musik. “Kau jangan tegang. Santai saja.”
Andai aku bisa melakukannya. Apa dia tak menyadari kalau aku seperti boneka tinju? Kiri-kanan-depan-belakang? Aku tak pernah menari! Bagaimana aku bisa menari jika aku tak pernah melakukannya?
Kurasa, ekspresiku penuh dengan rasa horor, karena tepat lima detik membantuku menarik, Jeremiah tersenyum, lalu meledak tertawa. Keras-keras. Suaranya menarik perhatian dari seluruh tamu. Aku hanya bisa melongo melihatnya menarik napas, berdiri kaku seperti patung, sebelum akhirnya merah padam.
“K-kau lucu… pft… ekspresimu itu. Hahahaha.” Pria itu tertawa lagi. “Kau seperti dipaksa menelan siput dalam jumlah besar.”
Melihatnya tertawa, mau tak mau, aku ikut tertawa juga. Setiap kali dia tertawa, suaranya mengeluarkan sesuatu yang membuat bulu tengkukku berdiri dengan sendirinya. Bukan karena hal yang buruk, tapi kebahagiaan.
Bahagia karena akulah yang membuatnya tertawa.
“Oh, musiknya ganti,” katanya.
Benar saja, lagunya berganti menjadi lebih lembut, tapi juga tidak terlalu mellow.
Para pedansa sekarang malah menarik pasangan mereka atau mendekati pasangan mereka. Dahiku mengerut dalam melihat jarak tubuh-tubuh berpasangan saling menempel satu sama lain, memeluk pasangannya dengan lebih erat.
Suasanya berubah jadi jauh romantis.
What the hell? Aku bisa melihat Aroz yang tak lepas memandangi mata James sementara mereka berdansa dan hanyut dalam dunia mereka sendiri. Keyna dan Cody—yang tadinya ada di pinggir—kini ada di tengah lantai dansa, tidak bergerak dari sana, tapi jelas mereka berdansa dengan gerakan lambat dan penuh cinta. Di sisi lain, Cassandra mencium Bob, pacarnya selama 5 tahun ini. Dan di meja makan, para orang tua saling berpegangan tangan, seolah menikmati lagu ini.
Saat itulah aku mendengar liriknya.

When I see your face (face, face)
There’s not a thing that I would change
‘Cause you’re amazing (amazing)
Just the way you are
And when you smile (smile, smile…)
The whole world stops and stares for a while.
‘Cause girl you’re amazing (amazing)
Just the way you are (are)
Yeah.

Oh, Dewa Zeus!
Aku menatap Jeremiah, yang tersenyum padaku.
“Shall we?” katanya mengulurkan tangannya.
Mataku nyaris keluar dan mulutku terbuka dan menutup seperti ikan kekurangan air. “Apa?
Sebelum aku bisa bereaksi, pria itu sudah mendekat, melingkarkan tangannya ke pinggangku. Jarak kami hanya sekitar sapuan napas. Aku bisa merasakan tubuhku menegang dengan sendirinya.
“Je… Jer—”
“Rileks, Fran,” katanya, menggiringku ke pinggir, nyari saja membuatku terjerembab karena kebingungan. Untunglah, dia memegangiku. Kepalaku mengadah, tepat bertatapan langsung dengan bibir Jeremiah. Menelan ludah dengan panik, aku mengingat saat dimana aku mencium Jeremiah waktu itu, dan menahan napas, setidaknya sampai lirik lagu sialan itu menohokku.

Her lips, her lips
I could kiss them all day if she’d let me.

Brengsek!
“Uh…” Jeremiah mengalihkan perhatianku, menarikku ke sisi lain. Aku mengikuti langkah Jeremiah pelan-pelan yang menghindari pedansa lain—yang tampaknya terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. “Kurasa lagu ini tak cocok untuk…”
Jeremiah memutar bola mata. “Tak ada yang salah dengan lagunya, Fran. Aku dan Cody sering berdansa seperti ini.”
“Sungguh?”
“Ya. Dulu.” Pria itu tertawa kecil. “Kami punya permainan seru jika berdansa berdua. Mau coba?”
Aku memilih setuju karena aku butuh pengalih perhatian. Kedekatanku dengan Jeremiah membuatku tak nyaman. Tapi, aku belum ingin menjauh darinya. Masalah ini sulit sekali.
“Uh, ok.”
“Ok. Begini permainannya.” Ada senyuman culas di bibirnya, membuatku menelan ludah. “Selama tiga puluh detik, kita akan saling pandang. Tak boleh mengedip, tak boleh curang. Siapa yang kalah, harus jadi budak satu hari, tanpa bantahan.” Aku langsung menyesal.
Oh my God! Kenapa aku harus mengiyakan permainan ini tanpa bertanya terlebih dahulu? Aku baru saja menggali liang kuburku sendiri! Bagaimana mungkin aku bisa tahan menatap matanya yang—
“Siap? Mulai!”
Sebelum aku bersiap, Jeremiah sudah memulai permainannya. Mataku segera menatap mata coklatnya yang gelap, nyaris berwarna hitam. Tak lama aku menyadari bahwa bulu matanya yang pendek tapi lebat, garis dan lipatan matanya yang tipis, juga sinar di matanya yang berkilat. Aku juga bisa melihat bagaimana jatuhnya rambut-rambutnya ke dahinya.
Napasku seakan tertahan di tenggorokan, begitu melihat senyuman Jeremiah dan juga hangat tubuhnya karena jarak kami sekarang sangat dekat sekali, nyaris bersentuhan. Genggaman tangannya di pinggangku semakin erat.
Ini sama sekali tak bagus.
“Kau tahu, kau bisa menyerah dan jadi budakku selama satu hati,” katanya, masih mengenakkan senyuman itu.
Dasar pria jahat. “Jangan harap.”
“Oh, Fran,” desahnya. Napasnya menyapu wajahku. Baunya mint. Segar sekali. “Satu-satunya orang yang bisa mengalahkanku hanya Ezekiel dan Cody.”
“Kau berdansa seperti ini pada adikmu?”
“Memangnya kenapa? Kami, para Huges, terkenal karena kegilaan kami.”
“Dan kau bangga akan itu?”
Lagi-lagi dia tersenyum menyebalkan. Tapi, oh, kenapa dia masih saja tampan? Kenapa dia tak berwajah jelek seperti Einstein sehingga aku bisa muak melihatnya? Hidup sungguh tak adil.
“Tentu saja,” katanya penuh percaya diri, menarikku ke depan sehingga tubuh kami sekarang bersentuhan.
Tubuhku merespon dengan cepat, begitu pula dengan jantungku. Aku menahan emosi yang meluap di dadaku dan nyaris kukeluarkan dalam rintihan kecil. Wajahku memanas dalam sekejap. Tapi, begitu melihat senyuman menyebalkan Jeremiah, gigiku gemertakan. Dia sengaja melakukannya!
“Kau curang!” desisku jengkel.
“Oh, sayang, aku tak melanggar peraturan,” katanya, membela diri. Kami berputa lagi dengan tiba-tiba, membuatku memegang pinggiran jasnya sampai kusut.
“Jeremiah—”
“Dalam pertandingan ini, asal tak melanggar peraturan, semuanya sah,” katanya bangga.
Pria ini benar-benar masalah. Tapi kenapa aku begitu bodoh menyukainya?
Aku sedang mengutuki diri sendiri sambil menatap galak pada Jeremiah dan tak ingin kalah dari permainan ini, meski mata mataku mengering, begitu tubuh Jeremiah condong ke depan seperti kehilangan kendali, tepat ke depanku.
Dalam seketika, aku melihat mata Jeremiah yang tadi jaraknya sekitar dua puluh senti, kini jadi dua senti, membulat kaget tepat di depan mataku, lalu mengedip sekali. hidung kami saling bersentuhan dan saat itu pula, aku sadar bahwa bibirnya menempel tepat dengan bibirku.
Rasanya tak sama saat aku menciumnya sewaktu tidur. Dan aku ragu Jeremiah mengingatnya atau tidak karena dia tak pernah mengungkit-ungkitnya. Tapi ini….?
Waktu seakan terhenti. Sensasi aneh menyengatku dari bibir menuju seluruh tubuhku, mengalir dalam tiap tetesan nadi darahku, dan menghidupkan setiap sel-sel dalam tubuhku sampai membuat otakku kaku. Macet. Tidak berfungsi.
Katakan ini cuma ilusi…
“Ups, sori, Dad. Aku tak melihatmu ada di sana.”
Sebuah suara membuat Jeremiah menegakkan tubuhnya, meninggalkan bibirku, lalu menoleh ke belakang.
“Gabrielle,” Jeremiah mengerang jengkel pada Gabrielle yang memasang tampang polos—atau pura-pura polos—nya pada Jeremiah. “Kau membuatku kalah taruhan!”
“Mau bagaimana lagi, Dad? Aku haus dan banyak orang di sini,” katanya, masih memberikan ekspresi itu, meski aku bisa melihat bibirnya tersenyum kecil. “Aku tak melanggar peraturan kan?”
You little Devil—”
“RIVER!”
Perhatian Jeremiah teralih lagi. Untunglah, karena Gabrielle sudah menunjukkan senyuman jahat monalisanya. Para tamu menoleh ke depan pintu. Cassandra berteriak dari lantai dansa, kemudian berlari, meninggalkan Bob untuk melompat ke pelukan River setelah dia menabrak satu meja tamu.
“Seperti biasa, dia terlambat dan cari sensasi.”
Aku mendengar Jeremiah menggerutu sebelum akhirnya melangkah mengikuti keluarganya yang sekarang mengerumuni River.
“Aku tak suka padanya,” kata Gabrielle, memberikan pandangan benci pada River.
“Gabrielle, tidak lagi,” kataku menghela napas.
Kakiku melangkah keluar dari lantai dansa menuju meja minuman. Bibirku masih terasa aneh dan aku butuh minum—bukan karena haus, tapi untuk menghilangkan perasaan anehku. Gabrielle mengekor di belakang, memberikan pandangan Aku-Tahu-Segalanya sebelum akhirnya menghilang karena aku mengambil shampagne di tangannya, memelototinya dan dia pun merengut lalu mengambil limun.
“Apa yang kau lakukan tadi—”
“Tak perlu mengucapkan terimakasih.”
Mulutku ternganga, menatap Gabrielle dengan tak percaya. “Gabrielle—”
Dia mengibas-ngibaskan tangannya. “Habiskan masa hukuman Jeremiah sebagai budak menjadi kekasih satu harimu, Papa.”
“Gabrielle—”
“Kencan seharian juga tak masalah. Dia tak mungkin  menolak.”
“Gabrielle, aku keberatan bila kau memasukkan ide-ide aneh pada hukuman Jeremiah.”
Yang menyebalkan, Gabrielle malah memberikan senyuman monalisanya.
“Tapi, Papa sepertinya tak keberatan saat aku mendorongnya sehingga kalian berciuman.”
Kali ini aku kalah telak. Tak bisa bicara.
Dengan senyuman kemenangan, Gabrielle mengedip padaku, lalu melangkah ke arah Kyler, yang mengerang jengkel padanya.
Anakku berubah jadi iblis kecil!
Menghabiskan minumanku dalam sekali teguk, aku tahu yang dikatakan benar.
Aku tak keberatan dengan bantuannya.
***
JEREMIAH(POV)
Aku seorang pecundang.
Bukannya bersama Fran untuk menjelaskan ciuman itu dan minta maaf padanya karena lengah, aku malah kabur dan bergabung bersama dengan keluargaku.
Menggertakan gigi, aku kesal, nyaris saja menggunduli Gabrielle karena sengaja melakukan hal itu, kalau saja dia bukan anak kecil. Untunglah har ini pernikahan Cody, jadi aku tak punya hak untuk menghancurkan kebahagiaannya hanya karena sebuah ciuman.
Ciuman pertamaku dengan seorang pria.
Uh, para dewa di langit, jika kau mendengarku, kenapa kau harus membiarkanku lengah saat itu? Kenapa? Bahkan dengan Cody saja aku tak pernah berciuman. Tapi kenapa harus Fran?
Deg.
Jantung sialan. Berhenti merespon.
Mengepalkan tangan, kupukul dada kiriku perlahan. Aku bukannya merasa jijik mencium Fran. Malah, ketika bibirnya tadi menyentuh bibirku, aku merasakan sensasi aneh yang berhasil mengentikan napas dan jantungku seketika.
Deg.
Jantung brengsek! Makiku dalam hati. Tiap kali ada masalah sulit yang menyangkut perasaan, aku paling tak berdaya menghadapinya. Mungkin orang-orang melihatku seperti orang yang tak punya hati dan Cody yang sangat berperasaan tapi semua salah besar.
Aku orang yang paling emosional. Satu kesalahan kecil yang melukai hatiku akan membuatnya terluka selamanya. Cody yang jadi peganganku selama ini. Dia otakku. Dia yang selalu berpikir logis. Meski kadang kala pikirannya mengacaukan hatinya.
Kali ini hatikulah yang mengacaukan pikiranku.
Dan semua ini karena Fran.
Fran…
Satu nama yang dulu kubenci dengan kesungguhan hati karena ketenangannya yang kaku seperti patung dan formal laksana duta kerajaan Inggris. Tapi juga satu nama yang berhasil masuk kedalam hidupku dalam seketika.
Dia hanya anak kecil yang baru melihat dunia dan ingin mencicipi bagaimana rasanya. Dan aku bersedia mengenalkan dunia padanya.
Aku menyayangi Fran. Ketika mengenalnya lebih jauh, aku sadar dia tak seburuk dugaanku selama ini. Tapi, rasa sayang ini berbeda dengan rasa sayangku pada Cody.
Bila bersama Cody, aku tak akan takut meninggalkannya sendirian di hutan belantara sekalipun karena aku tahu dia akan pulang hidup-hidup. Tapi, bila Fran? Aku ingin menjaganya mengawasinya agar baik-baik saja dan tak diganggu lagi oleh Chris.
Rasa sayang ini juga berbeda dengan Aroz yang aku tak perlu takut mengajarinya yang tidak-tidak karena ada Cody yang akan memperbaikinya. Kalau dengan Fran, aku berusaha berhati-hati dan sering gagal total. Aku hanya ingin membantunya, tapi dia selalu menolakku.
Terlepas dari segala sikap tak percaya dirinya, aku tak ingin mencampuri hubungan persahabatan kami dengan keadaan membingungkan bernama romantisme.
Karena aku tahu hal itu akan membuatku sakit kepala.
Dan mengenai ciuman tadi pun—meski sebenarnya kesalahan ini ada pada si iblis kecil berwajah malaikat—aku merasa bahwa ada satu bagian kecil dari otakku yang mengatakan bahwa aku tak perlu minta maaf atau menjelaskan apapun karena… karena aku tak merasa menyesal.
Sebenarnya, apa yang terjadi padaku?
“… jatuh cinta.”
Perhatianku teralih pada suara di dekat telingaku. River tengah mendesah, melihat Fran yang mengobrol dengan Janson.
“Huh?”
“Kurasa, aku jatuh cinta padanya.”
Omong kosong. “Sejak kapan kau tak pernah jatuh cinta dengan sesuatu yang kakinya dua?”
Dia meninjuku, tidak terlalu keras, tapi tetap saja membuatku meringis. Setelah nyengir lebar, dia membalas. “Sejak kapan kau tak pernah jatuh cinta dengan sesuatu yang berdada?”
“Vulgar sekali, River,” kataku memutar bola mata.
Ayahku, Lucian Huges, mendekati River. Ekspresinya tak bisa ditebak. Meski aku senang dia tak terlalu memusingkan kepulangan River yang tiba-tiba, aku yakin dia akan membalas River suatu hari nanti. Keluarga kami memang agak gila.
“Jadi,” Ayahku bicara, “kau benar-benar tak akan pergi lagi dan memilih mengambil tanggung jawab sekarang?”
River mengangguk, tersenyum kecil.
“Apa yang membuatmu berubah pikiran?” Sama sepertiku, Ayahku juga agak curiga. Kami sama-sama tahu kalau River sangat pintar.
“Sederhana,” katanya, mendesah lagi melihat ke arah Fran. “Beberapa hal yang akan membuatku betah di sini.”
Ayah menaikan alis, melihat arah pandang River. Mulutnya mengerucut. “Apa dia salah satunya?”
“Yep.”
“Oh, tidak tidak tidak,” kataku cepat. “Kita punya perjanjian bahwa kau tak boleh mengincar temanku.”
“Xavier, aku sedang jatuh cinta.”
“Dan kau mengatakan hal yang sama pada dua pria satu malammu,” ucapku memotar bola mata.
“Ayah, katakan sesuatu,” Dia mengadu pada Ayah, seperti anak kecil.
Ayahku menggeleng, mengangkat kedua tangannya. “Jangan libatkan aku. Kalian sudah cukup besar untuk berdiskusi sendiri tanpa aku ikut campur urusan kalian, meksi yang dikatakan Xavier benar.”
“Ayah—”
“Ok, aku kabur dari masalah ini. Aku menunggumu datang ke kantorku besok untuk bekerja, River.  Jangan terlambat.”
Pria itu meninggalkanku menghadapi River seorang diri.
“Bila kau tak merestui, Adikku Sayang,” kata River mengalungkan tangannya ke bahuku. “Maka aku akan membuatmu melakukannya.”
“River—”
“Jika kami saling jatuh cinta maka kau tak punya hak melarang.”
“Kau gila.”
“Kita, para Huges, memang gila.”
Mau tak mau, aku tertawa kecil, “Jangan buat dia patah hati.”
“Aku tak berani melakukannya. Tinju Cody sangat mengerikan.” Kemudian dia melepas pelukannya, berjalan ke arah Fran. “Doakan aku,” katanya, mengedip nakal.
Geleng-geleng kepala, aku membiarkan River melakukan hal yang dia suka. Sisa hariku kuhabiskan waktu bersama dengan Cody karena dia akan bulan mau selama dua minggu dan sudah pasti aku tak boleh mengganggunya dengan laporan tak penting. Aku akan kehilangan sahabatku selama dua minggu.
Menjelang pukul sembilan, Gabrielle mendatangiku, menarik-narik tanganku untuk mengikutinya. Dia tak bicara, tapi ada kerutan jengkel di dahinya. Aku mengikutinya sambil bertanya-tanya, melewati para tamu yang sekarang sudah sedikit karena sebagian sudah pulang, dan terkaget melihat Fran tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Mother—Fran, kau menga—”
“Jeeeeeeer,” katanya tak jelas, “kau dari mana saja? Kau ketinggalan pesta!”
Aku mengedip kaget. “Fran, kau baik-baik saja?”
Dia tertawa kecil, geleng-geleng kepala. “Tsk tsk tsk,” katanya, menepuk bahuku dengan bersahabat. “Aku baik-baik saja. Aku sedang berbahagia!” Merentangkan tangannya ke udara, dia berteriak “Wooohooo!”
“Dia mabuk,” kata Gabrielle, menurunkan tangan Fran. “River memberinya banyak minum.”
“River?” kataku tak percaya. Si brengsek itu, sudah kuduga dia tak bisa diharapkan.
Fran terkikik geli. “River? River, nama yang lucu.” Lalu dia mengedip, melihat sekitar. “Ada yang menikah?”
Gabrielle mendesah dan aku geleng-geleng kepala.
“Mana River?” kataku pada Gabrielle.
Gabrielle berusaha menutup mulut Fran yang sekarang bernyanyi keras-keras. Aku akan menganggap hal ini lucu suatu hari nanti, tapi tak sekarang. Pesta pernikahan Cody tak boleh kacau hanya karena satu orang mabuk.
“Tenang saja. Aku sudah mengatasinya,” kata Gabrielle, tersenyum licik.
Aku tak ingin bertanya lebih jauh. “Fran, lebih baik aku mengantarmu pulang.” Tanganku segera memegang bahunya dan Gabrielle memegang tangannya di sisi yang satunya.
“Kenapa? Kita kan masih berpesta. Kita pesta. Pesta. Pesta.” Kali ini dia melompat seperti anak kecil. Man, aku tak bisa lagi menahan tawaku. Ini benar-benar lucu. Seorang Fran yang biasanya kaku seperti patung kalah oleh alcohol dan bertingkah seperti anak berusia tiga tahun. “Kenapa kau tertawa? Gab, pukul dia. Dia menertawakanku!”
Gabrielle memutar bola matanya. Tak mengacuhkan Fran sama sekali. “Kita pulang ke rumahmu kan, Dad? Kau tak mungkin meninggalkanku dengan Papa sendirian. Bagaimana kalau dia nanti lompat dari jendela?”
Perkataan Gabrielle ada benarnya. “Ok.”
“Cody! HAPPY WEDDIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING!”
Fran berteriak dari pintu keluar. Suaranya mengalahkan suara musik. Cody yang mendengarnya hanya tertawa dan melambai.
“Memalukan,” gumam Gabrielle, menyerah menenangkan Fran dan berjalan terlebih dahulu ke mobil.
Kali ini, aku terpaksa memegang pinggang Fran, berusaha untuk membuatnya berjalan ke depan karena dia terus-terusan berontak untuk berjalan sendiri. “Fran, kau sama sekali tak bisa berjalan lurus!” kataku frustasi. God, dia lebih parah dari Cody jika mabuk.
“Aku bisa!” katanya keras kepala, mendorong tubuhku. Aku melepaskannya, dan dia berdiri tegak selama sedetik sebelum akhirnya terhuyung ke belakang. “Aku bisa, Jer. Aku bisa!” dia masih berusaha melepaskan diri ketika aku memeganginya lagi.
“Ok, tapi jangan menangis kalau kau jatuh,” gerutuku. Dia mengangguk, tersenyum lebar. Menghela napas, aku melepasnya lagi. Dia berjalan selangkah, nyaris jatuh tapi kakinya berhasil menahan tubuhnya untuk berdiri tegak. Aku mengawasinya dari samping, menjaganya untuk tak jatuh.
Dia berjalan lagi, terhuyung lagi. Gerakannya persis seperti orang yang berjalan di atas tali. Tangan terentang dan kedua kaki gemetar. “Ha! Lihat? Aku bisa jalan sendiri kan?” katanya penuh kebanggaan.
Aku tertawa kecil, mengangguk kecil. “Ya, Fran. Kau membanggakan.” Sedetik kemudian, pria itu terjengkang jatuh karena menabrak batu kecil. “Pft! Sekarang tak lagi.”
Fran cemberut seperti anak kecil, membuatku semakin tertawa. Dia memang bayi. “Tolong aku?” katanya, mengulurkan kedua tangannya.
Menghela napas lagi, aku memilih untuk berjongkok di sampingnya, dan menggendongnya saja. Dengan segera dia mengalungkan tangannya ke leherku, menenggelamkan kepalanya ke bahuku. Lebih baik menggendongnya ke mobil daripada mengawasinya berjalan sendirian ke mobil sambil menabrak sekitar.
“Hmmm,” gumam Fran. “Baumu enak.”
“Kalau kau ingat hal ini besok, aku akan menertawakanmu tahu,” kataku menuju mobil kami.
Gabrielle sudah menunggu di depan mobilku. Aku akan menyuruh Hitcher membawa mobil Fran nanti. Setelah memasukkan Fran ke dalam mobil, Gabrielle segera masuk ke bagian belakang. Untunglah Fran tidak menggila di dalam mobil. Pria itu hanya ber-humm menyayikan lagu yang tak jelas dan dia hanya sendiri yang tahu setidaknya selama lima menit pertama dan sisanya menotol-notolkan telunjuknya pada lenganku.
“Fran, hentikan itu,” kataku, memegang tangannya. Apa dia tak capek selama dua puluh menit menotol-notol tanganku dengan penuh konsentrasi?
“Tanganmu keras sekali,” katanya. “Kenapa tanganmu keras dan tanganku tidak?”
“Karena aku sering berolah raga dan kau tidak,” kataku, membelokan mobil untuk masuk ke pekarangan.
Setelah mobil berhenti, Gabrielle segera melompat dan berlari masuk terlebih dahulu ke dalam, lagi-lagi meninggalkanku sendirian bersama Fran. Anak itu, akan kubalas dia suatu hari nanti.
“Fran, kau bisa berdiri?” kataku, membuka pintu mobil.
Fran mengangguk, tapi kedua matanya tak lagi terbuka. Dia kelelahan. Geleng-geleng kepala, aku menggendongnya masuk ke dalam. Pria itu bergumam tak jelas, tapi napasnya teratur dan aku tahu kalau dia sudah tidur nyenyak.
“Gabrielle, buka pintunya,” kataku di depan pintu kamar tamu.
“Tak mau. Bawa dia ke kamarmu saja. Aku tak tahan dengan bau Papa!”
Percuma berdebat dengan Gabrielle. Dia tak akan mendengarnya. Kalah, aku membawa Fran ke tempat tidur. Kubantu melepas sepatu, sabuk, dasi, jas dan dua kancing bajunya untuk membuatnya bisa tidur nyenyak. Setelah menarik selimutnya, aku berpikir akan tidur di sofa. Aku mengganti pakaianku ke kamar mandi dan hendak merebahkan tubuh ke sofa sampai mendengar suara Fran.
“Jeeeer…” katanya.
“Apa, Fran?” kataku menoleh padanya.
Dia menepuk-nepuk tempat kosong di tempat tidurnya. “Sini. Sini. Sini.”
“Kau pikir aku apa? Binatang peliharaan?”
Dia merengut lagi. “Jeeeeeer…” katanya, masih menepuk-nepuk sisi tempat tidurnya.
Pria itu tak akan berhenti memanggilku kalau aku tak menurut, jadi aku masuk ke dalam selimut dan merebahkan tubuhku. Yang membuatku tercengang, Fran beringsut mendekat, memeluk pinggangku dengan erat dan meletakkan kepalanya ke dadaku.
“Ok…” kataku menelan ludah. Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa kering. “Kau membuatku takut sekarang, Fran.”
Tapi pria itu tak membalas dan malah memelukku semakin erat.
“Fran…” kataku setelah terdiam beberapa menit.
Jujur saja, sejak tadi aku hanya tidur dengan kaku, menunggu Fran yang mungkin akan beringsut menjauh. Tapi dugaanku tampaknya salah karena pria itu merasa nyaman tidur di sampingku dengan cara seperti ini karena dia sama sekali tak bergerak.
Kurasa, aku akan tidur dalam posisi ini sampai pagi.
Bukannya aku protes, tapi... posisi ini terlalu nyaman untukku. Aku tak mau ketagihan. Apalagi wangi shampoo Fran sangat menenangkan, aku tak tahu jenis apa, tapi samar-samar aku mencium bau timun.
Menghirup aromanya dalam-dalam, kupaksakan diri untuk menutup mata. Tak berapa lama, aku tidur dengan nyaman. Kali ini, aku benar-benar seperti berada di rumah.
***
Medan, Kamis, 20  Maret 2014


1 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.