RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [19]



19
River
==========
GABRIELLE(POV)
Aku paling benci bicara, apalagi mengulangi kalimatku sebanyak dua kali.
Kali ini, aku diambang batas.
Dan kekerasan pun muncul.
Oh my God!” Fanesca berteriak, menutup mulutnya setelah aku meninju seseorang sampai menabrak loker.
Untuk pertama kalinya setelah lima minggu belajar tinju dari Cody, akhirnya aku menghadiahkan tinju pertamaku pada Robin. Kalian sudah lupa Robin? Baiklah, biar kuingatkan kembali. Dia adalah orang yang nyaris melakukan pelecehan seksual padaku dan kali ini, akhirnya aku bisa membalaskan dendamku padanya.
Pemuda itu memegang mulutnya yang berdarah, tampak terkejut karena aku memberikan pertahanan. Teman-teman seperjuangannya berada di sekitarnya, menganga tak percaya bahwa anak sekecilku bisa meninju pemuda sepertinya sampai berdarah.
“Jangan ganggu temanku,” ulangku, menyipitkan mata. Tinju kananku mengepal di sisi tubuhku. Berbeda dengan Cody yang punya tinju kiri, aku punya andalan tinju kanan dan tendangan kiri.
“Bren—”
Rayne berdiri di sampingku beserta dengan Wyalt.
“Jangan coba-coba,” kata Rayne menghadapi teman-teman Robin yang hendak maju untuk membantu temannya yang tak berguna.
Tapi mereka tak mendengar. Dengan adanya penonton di sekitar, tentu saja para preman sekolah ini tak ingin kalah dihadapi oleh tiga orang anak SMP dan yang satunya aku—si bisu. Harga diri mereka tak akan membiarkan hal itu.
“Minggir, Rayne. Kami tak punya urusan denganmu. Kami punya urusan dengan homo yang satu itu.” Malcolm menggertakan gigi, melirik Rory di belakang punggungku.
Rory memegang lenganku, berusaha menyembunyikan dirinya di belakang punggungku dan Fanesca. Tubuhnya gemetar ketakutan. Kau tahu, alasan kenapa mereka mengerjai Rory hanya karena dia sedikit feminim dan gay. YEP. GAY.
Rory menyatakan kalau dia gay pada kami seminggu lalu dan dua hari lalu dia bilang kalau dia naksir padaku. Tentu saja, aku menolaknya karena aku masih menyukai Fanesca.
“Tentu saja itu jadi urusanku,” kata Rayne, melipat tangannya, sama sekali tak takut. “Kau menyentuh teman Gabrielle. Teman Gabrielle, temanku juga.”
“Aku tak menyangka kau membela homo itu, Rayne,” desis Robin, mendelik jengkel padaku. “Mereka berdua itu pantas membusuk di neraka.”
“Dan kau merasa pantas membuat keadaan mereka di neraka begitu?” balas Wyalt, menyipitkan matanya. “Kalau mereka gay, kau pantas memukuli mereka? Kalau mereka gay, kau pantas mengejek, melecehkan dan meludahi mereka? Kalau mereka gay, memangnya kau pantas mencabut nyawa mereka? Memangnya kau siapa? Orang suci?”
“Mereka menjijikan!” balas teman Malcolm yang lain.
Kali ini, aku yang mendengus. “Orang-orang seperti kalianlah yang menjijikan.”
Perkataanku sepertinya membawa dampak tersendiri karena, tepat saat itu, Robin langsung menerjang, menyingkirkan Rayne yang langsung terjungkal ke lantai, begitu pula dengan Wyalt. Aku bersiap menghadapinya, tangan terkepal. Kali ini, aku tak lagi main-main. Dengan kekuatan penuh, aku meninju rahang Robin saat dia mencapai jangkauan.
Crack!
Ups, aku mendengar ada yang patah. Robin menjerit kesakitan, memegang hidungnya yang berdarah luar biasa. Keterkejutan membuncah saat itu pula, berikut dengan jeritan para siswa.
“Apa-apaan ini? Minggir!”
Aku menoleh pada salah satu guru yang lewat. Pria itu menganga melihat Robin, lalu padaku.
“Kalian berdua, ke kantor kepala sekolah sekarang juga!”
***
JEREMIAH(POV)
Pesta pernikahan Cody dimulai jam sebelas siang, lalu kenapa aku mendapat telepon jam sepuluh dari seseorang yang mengaku sebagai Kepala Sekolah anakku?
“Tuan Jeremiah Huges?” suara di telepon bertanya.
“Ya,” kataku, memperbaiki rambutku.
“Anda diminta datang ke kantor kepala sekolah perihal tingkah laku anak bapak.”
Anak yang mana? “Uh… siapa?” Satu-satunya alasan aku dipanggil ke kantor Kepala Sekolah bila Raphael dan Michael mencoba mencari perhatian.
“Anak Bapak, Gabrielle Cattermole-Huges?”
Gabrielle Cattermole-Huges? HUGES? Sejak kapan Gabrielle memakai nama Huges? Memangnya aku sudah menikah dengan Fran?
“Uh, ok, saya akan segera ke sana,” gumamku dan mematikan telepon.
Satu-satunya alasan kenapa Gabrielle memilihku untuk dipanggil ke kantor kepala sekolah cuma satu: dia tak ingin dimarahi Fran. Sayangnya, dia salah sasaran. Fran tak mungkin marah padanya. Pria itu mungkin hanya menghela napas, kemudian melupakannya—sama sekali tak memarahi Gabrielle. Tapi, aku? Bibirku tersenyum kecil, sudah pasti aku akan cerewet sekali.
“Kau mau kemana?” River bertanya, mengerutkan dahi melihatku turun. “Masih ada satu jam lagi sebelum acara pernikahan Cody kan?”
“Aku mau bertemu kepala sekolah.”
Dahi River mengerut, berkutat dengan dasinya. “Adik-adik berbuat masalah?”
“Anak Fran berbuat masalah.”
Kerutan di dahinya semakin dalam. “Dan apa urusannya denganmu?”
“Dia memintaku menemui kepala sekolah.”
“Kau? Kenapa harus kau dan bukannya Fran?”
“River, terlalu banyak pertanyaan.” Aku menghela napas, mengambil mantel dan kunci mobil kemudian keluar. Langkah kaki River terdengar. “Kau juga mau ikut?”
Dia tersenyum lebar. “Aku ingin bertemu dengan anak Fran. Menurutmu, Fran ada di sana?”
Aku memutar bola mata sambil masuk ke dalam mobil. River juga ikut masuk, memakai sabuknya. Senyumannya semakin lebar. Siapa yang menyangka kalau River menaruh perhatian besar pada Fran? Bukannya aku skeptis pada River, tapi Fran bukan gay.
Selama lima menit di dalam mobil menuju sekolah Gabrielle, River bicara lagi.
“Bukankah lebih baik bila aku saja yang datang ke sekolah?” katanya. Dahiku mengerut. “Kau akan jadi pendamping Cody, kau tak mungkin terlambat dalam urusan seperti ini kan? Biar aku saja yang mengurus anak Fran. Siapa itu namanya?”
“Gabrielle.”
“Ya, dia. Namanya saja sudah seindah surga.”
Sekarang, aku mengerti kenapa Cody sering memutar bola matanya jika aku sudah mulai bertingkah seperti seorang pujangga. “Ok.” Alasan River masuk akal. “Tapi kau harus datang tepat waktu. Kurasa Fran juga akan menjemput Gabrielle.”
Senyuman River semakin lebar. Aku tahu arti senyuman itu.
“Jangan coba-coba menggodanya atau aku akan menggundulmu,” ancamku.
“Oh, ayolah, Xavier,” rengeknya. “Aku tak pernah berkencan sejak delapan tahun lalu. Ini saatnya aku mencari seseorang yang pas bagiku seumur hidup.”
“Dan menurutmu Fran orang yang pantas?” kataku tak percaya.
“Kau tak lihat dia? Dia sempurna!” River berkata antusias. “Dia punya wajah yang manis, senyum yang menawan, kepribadiannya juga baik. Aku jarang sekali menemukan ada orang sepertinya. Belum lagi dia jago masak dan tahu apa itu arti kesehatan. Dan matanya.” River mendesah penuh cinta. “Apa kau tak lihat mata hijaunya itu? Aku seakan tersedot ke dalam. Dia punya mata yang indah.”
Kalau aku bisa muntah, maka aku akan muntah sekarang. Tapi, yang dikatakan River memang benar. Semuanya benar. Terutama bagian mata. Jika dipikir-pikir, Fran memang punya mata yang indah. Selain Cody, aku tak pernah menganggap mata orang bagus sebelumnya, jadi River ada benarnya.
“Tapi Fran bukan gay.”
“Apa kau tak tahu bahwa dalam diri seluruh pria ada biji kecil untuk menjadi gay?”
Dimana rasanya aku mendengar pernyataan yang sama ya? Dahiku mengerut, apalagi ternyata River belum selesai.
“Dan kau lihat tubuhnya? Untuk ukuran seorang pria berusia 35 tahun, dia sangat segar bugar. Dia punya kulit yang merona. Aku tak sabar untuk melihat seperti apa tubuh dibalik pakaiannya—”
“OH MY GOD, RIVER!” aku menjerit jengkel, menginjak rem dalam-dalam. “Apa kau tahu apa yang barusan kau katakan?”
Bukannya merasa bersalah, si brengsek itu malah tersenyum puas. “Tentu saja aku tahu. Kita sedang membicarakan calon pacarku.”
“Aku tak ingin membicarakan hal itu, oke? Apa kau tak bisa menyimpan pikiran kotormu itu untuk sementara? Kau sedang membicarakan temanku—oh, sahabatku! Dan dia bukan gay! Kalau kau coba-coba—”
“Sahabat?” River memotong, mengerjap kebingungan. “Satu-satunya sahabat yang kau anggap hanya Cody—dan Aroz, itu pun karena dia bersamamu selama bertahun-tahun. Tapi Fran?”
Aku tak ingin membicarakan hal itu lagi. Aku telah menerima Fran sebagai sahabatku tanpa pertanyaan. Keputusanku tak bisa diganggu-gugat. Menjalankan kembali mesin mobilku, kami meluncur menuju sekolah Gabrielle.
“Gabrielle juga satu sekolah dengan adik-adik kita?” River bertanya keheranan begitu mobil berhenti di depan sekolah.
“Darimana kau tahu?”
“Hey, kau bukan satu-satunya tempatku berkomunikasi,” kata River, melepas sabuknya. “Aku juga sangat menyangangi mereka tahu—terutama Ezekiel. Andai saja dia bukan adikku—”
“RIVER!”
“Ok, ok, kurasa Middle East membuatku sedikit gila,” gumamnya, dan keluar. Dia melambai padaku, tersenyum kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam sekolah.
Dia memang jadi gila semenjak pulang dari petualangannya. Aku tak tahu apa yang dia lakukan selama ini. Yang pasti, apapun yang dia lakukan, kepribadiannya sedikit berubah.
Dulu, River anak yang penurut dan tidak banyak bicara. Baginya, buku adalah dunianya. Dia merupakan anak kebanggaan keluarga.
Sekarang? Dia seperti harimau yang baru keluar dari sirkus.
Aku tak ingin memikirkan River saat ini, ada sahabatku yang harus kutemani di atas altar.
Senyumanku mengembang lagi. Setelah sekian lama, akhirnya Cody mendapat kebahagiaan dan aku ikut berbahagia karenanya.
Saatnya menemani Cody.
***
RIVER(POV)
-akhirnya!!!!-
 Gabrielle McKenley-Cattermole seperti Ayahnya. Aku sedikit terkejut mengetahui kabar bahwa mereka tak punya hubungan darah padahal mereka seperti pinang dibelah dua, kecuali matanya.
Bila Fran memiliki mata hijau jernih yang membuatku tergila-gila, Gabrielle punya mata biru sedalam lautan yang penuh misteri, membuatku penasaran. Belum lagi, tingkah kedua orang ini amat berbeda. Sekali lihat saja, aku tahu bahwa Gabrielle anak yang percaya diri dan tidak banyak bicara.
“Gabrielle meninju kakak kelasnya,” Kepala Sekolah menunjuk pemuda yang memegangi tisu berdarah, bernama Robin. Aku duduk bersama dengan orang tua Robin yang mendelik jengkel pada Gabrielle. “Tanpa alasan yang jelas, bukan begitu, Gabrielle?”
Salah satu mata Gabrielle menyipit. Dia tak menyukai hal itu sama sekali. “Hanya orang bodoh yang meninju orang tanpa alasan,” ucapnya dan—demi Athena—suara anak ini indah sekali.
Aku tersenyum pada Kepala Sekolah. “Anda belum menanyainya alasan dia memukul Robin?”
“Memangnya butuh alasan memukul orang?” Ibu Robin, Nyonya Drama, menyalak.
Suaminya, yang sepertinya masih agak waras, memegang bahunya, menyuruhnya duduk tanpa suara, membuat wanita itu duduk dengan rahang mengatup.
“Kami sulit membuat Gabrielle bicara.” Sang Kepala Sekolah menatap Gabrielle dengan kecewa. “Nyaris setengah jam kami memintanya untuk menjelaskan alasannya.”
“Mungkin, dia ingin para orang tuanya mendengar?” kataku, melirik Gabrielle, yang balas melirikku dengan mata menyipit curiga. Sejauh ini, anak ini tidak bertanya siapa aku dan kenapa aku ada di sini dan bukannya Xavier. Agak mencurigakan. Aku akan mencaritahunya sendiri nanti.
“Gabrielle,” Kepala Sekolah menatapnya, “Kau ingin memberikan alasan?”
Anak berambut merah itu menghela napas sebelum akhirnya mengeluarkan suaranya yang seperti nyanyian. “Dia mengatai Rory hanya karena dia gay.”
“Dan kau memukulnya karena itu?” Kepala Sekolah kembali bertanya.
“Tidak, tentu saja.”
“Lalu, kenapa kau memukulnya?”
“Aku harus berbuat apa jika dia tak berhenti mengatai Rory selama seminggu, bahkan memasukkannya dengan paksa ke loker, memasukkan kepalanya ke toilet, dan memukulinya?”
“Aku tidak melakukannya!” Robin berdiri.
Gabrielle seolah tak mendengarkan karena dia melanjutkan, “Dia bahkan dibantu oleh teman-temannya dari klub sepak bola.”
“Apa kau punya bukti?” Kepala Sekolah menaikan alis.
Aku memerhatikan tangan Gabrielle terkepal, rahangnya mengeras tapi ekspresinya tak ada. Dimana aku pernah melihat ekspresi marah seperti ini sebelumnya? Rasanya aku mengenal ekspresi ini.
“Tidak,” kata Gabrielle, akhirnya.
Robin kembali duduk, senyuman kemenangan berada di wajahnya.
Kepala Sekolah mendesah. “Gabrielle, kau anak yang baik. Tak ada catatan yang buruk mengenai tingkah lakumu, begitu pula dengan nilai-nilaimu, meski ada beberap guru mengeluh dengan siap diammu. Tapi aku harus menghukummu karena meninju Robin.”
“Apa Anda juga akan menghukum Robin?” Gabrielle menatapnya.
“Maaf?”
“Robin sudah mengatai Rory gay. Apa Anda tak tahu kalau pemerintah sudah melarang keras tindakan pelecehan dari berbagai bentuk? Jika Anda tak tahu, biar aku beritahu bahwa bukan hanya Robin yang mengatai Rory, tapi juga separuh anggota sekolah. Bila hal itu tak dihentikan, maka saya yakin akan banyak anak gay lain yang akan menderita.”
Ibu Robin kembali bicara. “Bukan salah anakku bila anak itu gay. Seluruh gay harusnya dibuang saja ke neraka.”
Aku tertawa kecil, memegang tangan Gabrielle yang sepertinya hendak mengamuk. “Anda menyakiti hatiku, Nyonya-yang-aku-tak-tahu-namanya. Soalnya, aku gay.”
Kali ini wanita itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, begitu pula dengan rasa jijiknya. “Pantas saja anak itu membela gay, ayahnya juga seorang gay ternyata,” desisnya.
“Dan Anda seorang homophobic yang harusnya ikut bersamaku ke neraka karena mengajarkan kebencian,” ucapku dengan nada tenang.
Suaminya kembali memegang bahunya, bergumam, “duduk” pada isterinya.
Kepala Sekolah mendesah, memijit dahinya. “Aku akan menghukum kalian berdua. Seperti yang sudah dikatakan Gabrielle, tindakan pelecehan tak diijinkan di sekolah dan peraturannya sudah sangat jelas, termasuk ejekan.” Dia kembali melanjutkan ketika Ibu Robin hendak membantah. “Tak ada larangan di sekolah ini mengenai gay, transgender atau bahkan cosplayer, dan bila ada orang-orang yang menghina keberadaan mereka, maka kami harus menghukumnya dengan tegas agar kejadian ini tak terulang lagi.”
“Tapi—”
“Jika Anda tidak puas, silakan mengirim anak Anda ke sekolah agama,” Kepala Sekolah berkata tegas. Aku nyaris terkekeh mendengarnya. Ternyata, pria gendut ini lumayan juga. “Robin, kau mendapat detensi membersihkan kamar mandi selama seminggu penuh karena perbuatanmu. Salah satu guru akan mengawasimu dan jika kau melakukan tindakan ini lagi, aku akan mencabut ijinmu bermain sepak bola, begitu pula dengan beasiswamu.”
“Tidak adil!” Robin menjerit frustasi.
Kepala Sekolah tampak tak peduli dan melanjutkan pada Gabrielle. “Aku juga harus menghukummu, Gabrielle. Kau memang membela temanmu dan aku bangga padamu, tapi tindakan kekerasan sangat dilarang di sekolah ini. Skor selama tiga hari dan pikirkanlah tindakanmu ini.”
Gabrielle mengangguk tanpa bicara.
Ibu Robin berdiri, mendelik jengkel, jijik dan penuh amarah pada Gabrielle sebelum akhirnya bangkit berdiri bersama anaknya yang sama jengkelnya dengannya. Gabrielle masih duduk, menunggu Kepala Sekolah untuk menyuruhnya keluar.
Sementar aku menunggu salah satu dari kami bicara.
Lalu akhirnya Ayah Robin bicara, “Lama tak bertemu, River,” katanya, lalu menghela napas.
“Halo, juga Austin,” kataku, mengedipkan mataku padanya.
Dia tertawa kecil. “Maafkan anakku. Dia punya sifat ibunya.” Lalu dia menatap Kepala Sekolah, tersenyum penuh terimakasih, “Terimakasih karena kau memberinya hukuman yang pantas, Rick.”
Rick mengibas-ngibaskan tangannya. “Bukan masalah besar untuk teman lama. Kapan kau pulang, River? Terakhir kita bertemu, kau ada di Afrika, dan kapan itu ya? Dua tahun lalu?”
“Kalian saling mengenal?” suara Gabrielle terdengar, menoleh pada kami dengan kebingungan.
Rick tersenyum kecil. “Kami teman lama. Satu kampus—atau menurutku begitu.”
Austin tertawa kecil, menatapku. “Aku tak tahu kalau kau punya anak sebesar ini.”
Bahuku terangkat santai. “Dia bukan anakku, tapi aku berharap dia jadi anakku. Aku suka Ayahnya.”
Apa?” Gabrielle terkejut lagi.
“Ah, River,” Rick geleng-geleng kepala. “Kau belum berubah. Pria tak hanya Ayahnya.”
Austin juga ikut tertawa. “Jangan sampai ada mantan-mantan gaymu yang datang.”
Terdengar ketukan pintu. Rick menyuruhnya masuk dan Fran muncul di sana. Senyumku langsung melebar begitu melihatnya—mengacuhkan suara dehaman Rick dan Austin.
Dan, man, haruskah aku bilang kalau penampilannya hari ini membuatku nyaris saja hendak membawanya lari untuk kunikahi? Pria itu mengenakan jas yang pas dengan tubuhnya, memperjelas bentuk pinggangnya yang ramping dan kakinya yang panjang. Rambutnya juga disisir rapi, agak berantakan karena ditiup angin. Kacamatanya berkilat bersih.
Dia sempurna!
Fran tampak salah tingkah begitu seluruh mata menatapnya.
“Eh, Kepala Sekolah, boleh aku membawa Gabrielle pulang lebih dahulu?”
Aku memotong perkataannya. “Hari ini ada pernikahan Cody. Kau tak keberatan kan?”
Rick mengangguk. “Silakan. Gabrielle?”
Gabrielle berdiri tanpa suara, mengambil tangan Fran dan membawanya keluar terlebih dahulu.
“River,” kata Austin, membuatku berbalik, “dia boleh juga.”
Aku tertawa, memberikan salut dan keluar dari kantor Rick. Aku tak berada jauh dari jangkauan Fran dan Gabrielle. Kedua orang itu berbicara—atau Fran yang berbicara.
“Aku membawa stelanmu, jadi kau bisa ganti nanti di ruang ganti Cody,” kata Fran. “Kita harus membayar stelan itu karena aku tak ingin Jeremiah membelikan kita segala sesuatu. Omong-omong, Gabrielle, kenapa kau berada di kantor Kepala Sekolah? Kau tak berbuat masalah kan?”
Gabrielle menggeleng, tersenyum kecil.
“Fran,” kataku, menyejajarkan langkahku. “Boleh aku ikut mobilmu?”
“Tidak,” jawab Gabrielle.
Aku tak menyangka kalau dia menolakku padahal akulah yang membantunya.
“Aku tak bawa mobil.” Aku tak mengacuhkan Gabrielle dan memberikan wajah penuh permohonanku pada Fran.
“Tidak,” kata Gabrielle lagi.
“Xavier meninggalkanku di depan sekolah tadi,” kataku.
“Kenapa dia meninggalkanmu di depan sekolah?” Fran bertanya keheranan.
Aku memerhatikan pegangan di tangan Gabrielle mengeras. Gabrielle takut aku memberitahu Fran kalau dia baru saja meninju seseorang.
Senyumanku tersungging pada Gabrielle, meski aku menjawab pertanyaan Fran, “Aku datang karena harus menolong seseorang di sini.”
“Siapa?” Fran bertanya keheranan.
Tinju Gabrielle terkepal lagi. O-oh.
“Papa,” Gabrielle menarik tangannya kuat-kuat, sehingga perhatian Fran padaku, “kita akan terlambat.”
Aku tak akan meninggalkan kalian begitu saja. “Jadi, aku bisa menumpang kan?”
“Tidak,” kata Gabrielle.
Fran menghela napas. “Gabrielle, dia tak punya mobil dan kita punya mobil. Dia bisa menumpang bersama kita.”
“Dia bisa naik taksi.”
“Tapi, Gabrielle, buat apa dia naik taksi bila ada mobil kita? Tujuan kita juga sama.”
“Aku tak suka padanya!”
Ok, dia tak menyukaiku. Semua itu sudah tergambar jelas. Tak perlu dipublikasikan ke seluruh dunia.
“Gabrielle—”
Gabrielle melepas pegangannya dan berjalan terlebih dahulu dengan langkah terhentak. Dia juga tak lupa memberikan lirikan berbahaya penuh dendam padaku.
Sekarang aku yakin dia membenciku. Apa masalahnya, aku tak tahu.
“Sori,” kata Fran. “Gabrielle biasanya tak seperti itu.”
“Dia masih anak-anak, aku bisa mengerti.”
“Dia bertingkah seperti anak berusia lima tahun padahal dia empat belas tahun.”
Aku tertawa kecil. “Jangan khawatir, dia akan dewasa dengan cepat nanti.”
Fran mengangguk. Kami mendekati mobil Fran. Gabrielle sudah menunggu di depan mobil, memegang ponselnya.
“Erm, aku minta maaf karena kemarin memukulmu tanpa alasan,” katanya gugup. “Aku tak menyangka kalau… erm, kau Kakaknya Jeremiah.”
“Tak masalah. Aku mengerti. Kau bukan orang pertama yang berkata seperti itu. Aku justru yang harus minta maaf karena sudah membuatmu ketakutan.”
“Itu bukan masalah. Aku memang tak berguna dalam urusan membela diri.”
“Jangan khawatir, aku bisa menjagamu seumur hidupku.”
Yang mengherankan, wajahnya memerah karena itu. “Erm… ok,” dia berdeham.
Ah… Xavier… kurasa perkirakaanku benar mengenai satu hal…
Ada biji kecil untuk menjadi gay dalam diri setiap pria.
Dan Fran bukan terkecuali.
Kami saling pandang beberapa detik, sampai Gabrielle merusak aura pink itu dengan suara teriakannya.
“AKU BENCI PADAMU!” katanya dan melempar ponselnya, kemudian menendang ban mobil Fran.
Fran menganga. “Gabrielle, hentikan itu!”
Dan aku hanya bisa tertawa melihat Gabrielle diomeli, tidak, dinasehati Fran dengan nada keibuan sepanjangan perjalanan menuju pernikahan Cody.
***
FRAN(POV)
Gabrielle tak bicara sepanjang perjalanan, begitu pula selama acara pemberkatan. River tak muncul di gereja dan memutuskan untuk datang ke acara resepsi saja karena menurut pendapatnya dia lebih baik tak muncul di sana.
Meski selama ini dia tak banyak bicara, tapi wajahnya tak pernah mengerut.
“Gabrielle,” kataku, mengikuti lautan manusia keluar dari gereja agar para wanita bisa memperebutkan kembang pernikahan Keyna.
Gabrielle mengerutkan dahinya, berjalan terlebih dahulu dalam sesaknya manusia, sebelum akhirnya dia gemetaran, kemudian memegang tanganku. Mukanya cemberut karena dia tampak kesal harus bergantung padaku.
“Aku tak tahu alasan kenapa kau tak menyukai River, tapi—”
“Aku tak mau dia menggantikan Remi,” ucapnya pelan, mengerinyit begitu bahunya disenggol.
Kulingkarkan tanganku ke bahunya untuk melindunginya dari manusia. Gabrielle masih belum nyaman berhubungan dengan kerumunan. “Tak ada yang bisa menggantikan Jeremiah, Gabrielle. Jeremiah tetap Jeremiah dan River tetaplah River.”
“Tapi tetap saja…” dia mendesah, kali ini menggertakan gigi.
“Lebih baik kita keluar dan cari tempat yang lebih sunyi, kau nyaris mengalami panick attack.”
Gabrielle memilih tak membantah dan mengikutiku. Kami melewati lautan manusia, menuruni anak tangga perlahan dan berjalan di belakang kerumunan dan gaun-gaun indah, sebelum akhirnya kami mendengar jeritan nyaring dari para wanita.
Aku menoleh penasaran, terkejut melihat ada sesuatu yang terbang ke arahku dan menangkapnya tepat sebelum jatuh ke lantai, sampai aku sadar benda apa yang kupegang.
Buket Bunga pengantin Keyna.
Buket Bunga yang katanya mengandung kutukan, bila yang memegang benda itu tak menikah dalam setahun, maka orang yang mendapatkannya tak akan pernah menikah seumur hidup—alias, sendirian sampai lapuk.
Bunga pembawa bencana.
Dan aku menangkapnya.
Tawa Gabrielle menyembur keluar dan saat itu pula aku mendengar kembali suara-suara di sekitarku.
“Demi Tuhan, Fran! Kenapa kau ada di situ?” terdengar suara Jeremiah entah darimana.
Sebelum aku sadar apa yang terjadi, seorang wanita datang ke arahku, menarik-narik gaunnya yang indah dengan pandangan galak, lalu mengambil bunga di tanganku.
“Ini buat para lady, Mister.” Dia berkata galak, sebelum akhirnya berlalu.
Gabrielle semakin terbahak, memegang perutnya sambil terbungkuk-bungkuk. Setidaknya, ada satu orang yang menganggap ini lucu.
Melihatnya tertawa, aku juga ikut tertawa.
Akhirnya, kami berdua malah tertawa seperti orang gila di depan gereja.
“Papa, kau harus lihat wajahmu,” Gabrielle terengah. “Lucu sekali.”
“Hei, wajahmu juga tak kalah lucunya,” balasku.
Dan kami malah tertawa kembali.
Aku hanya berharap, bahwa bunga itu tak membawa bencana buruk.
Semoga kutukan itu cuma mitos.
Semoga.
***
Medan, Rabu, 12 Maret 2014

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.