18
Test Cinta
==========
FRAN(POV)
Aku tidak jatuh
cinta padanya!
Entah sudah berapa kali aku mengulangi kalimat yang
sama terus-terusan selama beberapa hari ini. Kepalaku sampai berdenyut luar
biasa, dan sama sekali tak membantu karena aku tak bisa tidur karenanya dan
hanya wajah Jeremiah yang muncul di kepalaku tiap malam.
Mengoreksi tugas-tugas mahasiswaku dengan asal,
akhirnya aku bisa menghela napas lega. Aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi.
“Fran!” Jeremiah memanggilku dari balik pintu.
Seperti biasa, dia sama sekali tak perlu mengetuk pintu. “Kau sudah selesai?”
Jantungku kembali berdenyut melihat wajahnya. Ayolah,
jantung, jangan seperti ini. Berdeham, aku mencoba menenangkan diri dan
menjawab, “Ya. Kenapa?”
“Apa kau sudah beli baju untuk pernikahan Cody lusa?”
Aku mengerjap. “Huh?”
“Sudah kuduga,” gumamnya memutar bola mata. Dia
masuk, mengecak pinggang sambil geleng-geleng. “Pernikahan Cody. Ingat? Kau tak
mungkin datang dengan memakai stelan jas lamamu kan? Ini pesta pernikahan
pertamamu. Kau harus tampil maksimal. Siapa tahu ada wanita cantik di sana yang
tiba-tiba saja menjadi kekasihmu.”
“Jeremiah, berapa kali aku harus bilang kalau aku
sama sekali tidak tertarik untuk berkencan?” Kenapa pria ini sama sekali tak
mau mendengarkanku? Pikirku memijit dahiku.
“Dan berapa kali aku harus bilang kalau aku tak akan
medengarkan perkataanmu itu?” balasnya. “Ayo, aku sudah membuat janji dengan
seseorang. Gabrielle juga akan ikut. Aku sudah menyuruh Hitcher menjemputnya.”
“Kita kemana?”
“Nanti juga kau tahu.”
Aku menghela napas. Tak ada gunanya bagiku melawan
Jeremiah. Dia selalu menyusun rencananya sendiri tanpa bertanya padaku. Dia
membawaku ke salah satu toko pakaian, yang dilihat dari depannya saja sudah
kelihatan kalau tempat ini hanya untuk orang kaya.
“Uh…” Aku tercengang melihat bangunan perak itu dari
luar, tak yakin apakah aku harus masuk atau tidak.
“Ayo,” katanya masuk terlebih dahulu.
Begitu masuk, suhu hangat dari dalam ruangan
membuatku melepas mantel. Lemar-lemari kaca diisi dengan stelan-stelan mahal
berbagai warna dengan elegan, bermotif sederhana tapi juga berkesan glamor dan
formal. Manekin-manekin mengenakan pakaian mahal dengan berbagai model berdiri
di beberapa tempat. Figura-fugira model juga tak kalah keren. Pencahayaan dan
penataan ruangan di tempat ini benar-benar sempurna.
Tiba-tiba, terdengar suara wanita, “JEJE!” dan
melompat, memeluk Jeremiah erat-erat.
“Cass,” Jeremiah memutar bola matanya, “Jangan
seperti anak kecil.”
Wanita itu mencium pipi Jeremiah. “Walau aku seperti
anak kecil, kau tetap akan mencintaiku kan? Kalau tidak, kau tak mungkin mau
datang kemari lagi. Kau gampang ditebak, Jeje. Kau tak bisa hidup tanpaku.”
Siapa wanita ini? Sembarangan saja main peluk dan
cium Jeremiah. Apa wanita ini mantan pacarnya? Kekasihnya yang baru lagi?
Aargh, memangnya apa urusanku?
Lagi-lagi, Jeremiah memutar bola matanya. “Fran,
perkenalkan, ini Cassandra. Cass, ini Fran, Papanya Gabrielle.”
Wanita itu menjerit lagi. “Papanya Gabrielle? Pantas
saja Gabrielle tampan begitu, Papanya tampan sekali sih. Ayo sini, sini, akan
kupilihkan jas yang cocok untukmu. Oh my
God, kau benar-benar tampan.” Dia menggandeng tanganku dan menarikku masuk
ke dalam.
Jeremiah geleng-geleng kepala, tersenyum kecil.
Gabrielle keluar dari ruang ganti, mengenakan jas
berwarna krem yang merampingkan tubuhnya dan memperjelas tubuhnya. Senyumannya
melebar begitu melihatku. “Papa, lihat?”
Cassandra terkikik, melepas rangkulan pada tanganku,
kemudian melangkah ke arah Gabrielle. “Aaw,” Cassandra menepuk-nepuk pipi
Gabrielle. “Kau tampan sekali, Adik Kecil. Aku ingin sekali kau mencoba jas
yang lain, tapi yang ini benar-benar pas untukmu. Coba sini kulihat apa ada hal
yang kurang untuk kuperbaiki.”
Wanita itu menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit
untuk melihat garis-garis jahitan yang menurutnya penting, lalu menyuruh
Gabrielle mengganti pakaiannya. Setelah selesai dengan Gabrielle, dia
mendatangiku, memberikan beberapa potongan jas dan menyuruhku mencobanya ke
kamar ganti.
“Uh, bukankah ini terlalu banyak?”
“Tsk tsk tsk,” dia geleng-geleng kepala, mendorongku
untuk masuk ke kamar ganti, “Tak ada yang terlalu banyak untuk mendapat pakaian
yang bagus.”
Menghela napas lelah, aku menurut dan masuk ke dalam.
Jeremiah meninggalkanku sendirian menghadapi Cassandra—yang sangat cerewet
sekali soal pakaian. Aku berulang kali terpaksa keluar masuk kamar ganti hanya
karena dia tak puas soal panjang lengan bajuku, warnanya, atau garis modelnya,
motifnya, bahkan ukurannya. Gabrielle sampai terbahak melihatku. Aku senang,
setidaknya dia menganggap hal ini lucu.
“Jika yang ini pun dia tak puas, aku akan keluar dari
tempat ini,” pikirku jengkel, memakai satu stelan lain yang diberikan Cassandra
padaku.
Aku keluar dari ruang ganti, dan menahan napasku
begitu melihat sosok Jeremiah di depanku. Dia tampak berbeda dengan stelan yang
dia pakai, berwarna biru gelap dan dengan motif sederhana, tapi juga maskulin.
Di dalamnya dia mengenakan kemeja dengan warna yang lebih pucat. Ada pin di
bagian kerah bajunya, yang memberi efek mewah.
Tenggorokanku mengering melihatnya. God, dia tampan sekali.
“Aku yakin masterpiece
memang cocok untukmu,” Cassandra bertepuk tangan kegirangan.
Jeremiah tersenyum kecil. “Aku memang tampan, jadi
pakai apapun cocok.”
Cassandra mendengus. “Kau beruntung karena kau
Kakakku, kalau tidak aku sudah pasti meninju wajah sombongmu itu.”
Mataku mengerjap. Kakak?
“Oh, please,
kau mencintaiku,” Jeremiah memutar bola matanya. Lalu, dia melihatku. “Fran,
kau tampil keren.”
Lalu beralihlah perhatian Cassandra, yang lalu
menjerit kecil dan berlari ke arahku. “Dan inilah yang cocok untukmu, Fran. Coba sini kulihat.” Dia memutariku, memeriksa
bagian punggungku, lalu menunduk melihat bagian yang paling kecil, kemudian mengangguk
setuju. “Ok, ini sudah pas. Bagaimana menurutmu, Jeje?”
Jeremiah mengangguk setuju. “Para wanita akan ada di
bawah kakinya.”
“Andai saja kau lebih muda delapan tahun, aku pasti
akan langsung mengejarmu,” Cassandra geleng-geleng kepala.
“Please,
kau tak pernah melihat pria lain sejak kau pacaran dengan Bob lima tahun lalu,”
Jeremiah memutar bola mata. Cassandra terkikik geli, memukul tangan Jeremiah.
“Kau benar-benar menyelidiki kami ya,” katanya.
“Itu tugas seorang Kakak,” balas Jeremiah. “Sekarang,
lakukan pekerjaanmu dan hitung semuanya.”
“Aku tak akan memberi harga yang mahal untukmu, Jeje.
Kau sudah menjadi icon toko kami.”
Wanita itu melompat-lompat keluar dari ruangan.
“Adikmu wanita yang lucu,” kataku. Kata lucu
sepertinya terlalu bagus untuk wanita itu. Tapi, rasanya kasar sekali bila aku
menyebutnya “aneh”.
“Dia menyebalkan,” katanya, mengangkat kedua bahunya.
Aku tersenyum mendengarnya berkata begitu pada adiknya sendiri.
“Dad,” Gabrielle mengangkat teleponnya. “Aku ambil
foto ya?”
Senyuman Jeremiah melebar. “Ok. Sini, Fran.” Dia
menarikku ke sampingnya.
Gabrielle mengambil beberapa foto, dan di bagian
akhir dia berkomentar, “Kalian seperti hendak menikah.”
Untung Jeremiah tak mendengarnya.
***
Aku tak mungkin
jatuh cinta padanya! Pikiranku dengan mantap mengulang hal itu dan hatiku
protes. Tanganku dengan asal memasukkan bungkusan sayur ke troli. Seperti
biasa, hari ini aku belanja mingguan. Aku juga harus membeli keperluan Jeremiah
karena—seperti yang sudah dikatakan Jeremiah—hari ini dia tak sempat. Pria itu
bahkan memberikan kartu kreditnya padaku.
Pesanan Jeremiah adalah bir. Sayangnya, aku tak akan
membelikannya alcohol. Gabrielle sering menginap di rumahnya. Dia pikir aku
akan membiarkannya begitu saja memberi contoh buruk bagi Gabrielle? Bagaimana
kalau Gabrielle salah minum? Bukannya meminum jus, dia malah meminum bir?
Apa kau jatuh cinta? Coba tes dulu yuk!
Perhatianku teralih melihat ada salah satu majalah
yang rasanya mencerminkan perasaanku saat ini. Hatiku bimbang. Beli. Tidak. Beli.
Tidak. Beli. Tidak. Beli. Tidak. Beli. Tidak.
Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.
Sialnya, aku malah membelinya dan saat ini memelototi
benda itu di dalam mobilku. Barang belanjaanku sudah aman di belakang.
“Akan kubuktikan bahwa aku tidak jatuh cinta,” kataku
yakin, membuka majalah itu ke halaman yang ditunjuk. Mungkin, kalian menurutku
gila karena konsultasi pada majalah anak perempuan. Tapi saat ini aku sudah
kehabisan harapan. Setiap malam aku tak bisa tidur karena memikirkan ini, jadi
aku lebih memilih untuk menyelesaikan semuanya.
“Pertanyaan pertama,” aku membaca.
Apakah ada
seseorang yang saat ini sangat dekat denganmu?
“Ada.”
Apakah
menurutmu, dia sangat menarik? Baik dari tingkah atau penampilannya?
Hmmm, Jeremiah punya keduanya. Jadi, dia memiliki
kepribadian yang lucu, humoris, down to
earth dan easy going. Penampilan?
Tak perlu ditanya lagi. Aku tak pernah melihat kapan Jeremiah tampil
berantakan. Bahkan saat tidur mengenakkan piyama saja dia masih menarik.
Dari dalam
dirinya, hal kecil apa yang kau perhatikan darinya?
Bibirnya. Dia mudah sekali tersenyum. Dan matanya.
Matanya selalu jujur.
Apakah kau pernah kagum padanya?
“Sangat. Setiap hari.”
Bila
bersamanya, apakah jantungmu berdegup kencang, gugup, bahkan merasa kalau
penampilanmu kurang menarik?
“Kenapa majalah ini bisa tahu?”
Tiap kali dia
memintamu melakukan sesuatu, apakah kau bersedia melakukannya tanpa berpikir
panjang, meski hal itu sama sekali tak masuk akal?
Aku mengingat saat dimana Jeremiah bersikeras
menyuruhku berkencan dan saat dia menyuruhku ke sana kemari. Aku memang menurut
tanpa penolakan.
Bila dia
bersama seseorang, apakah kamu merasa cemburu?
Aku memang jengkel melihat para wanita yang
mengerumuninya. Tapi, itu bukan cemburu kan? Itu tak mungkin cemburu. Itu hanya
rasa kesal biasa.
Apakah setiap
saat kamu terbayang wajahnya? Tak bisa tidur karena mengingatnya?
Oh, God! Ya!
Teriakkan satu
nama yang terlintas di kepalamu saat ini juga!
“JEREMIAH!”
Dan kalimat terakhir di majalah itu membuatku
tertegun.
Selamat, kamu
jatuh cinta padanya! Saatnya menyatakan cintamu!
“Ini tak mungkin!” Kulempar majalah itu ke kursi
sebelahku dengan berang. Majalah itu mencemari otakku. Aku tak mungkin jatuh
cinta padanya. Aku tak mungkin jatuh cinta pada Jeremiah!
“Ok, tenang, Fran,” gumamku. Suaraku bergetar,
tenggorokanku kering, telapak tanganku basah, dahiku berkeringat dan jantungku
berdegup kencang.
Kenapa aku membaca majalah sialan itu? Harusnya, aku
tak melakukannya. Sekarang, aku tak mungkin bisa melihat Jeremiah dengan cara
yang sama lagi.
Aku jatuh cinta padanya.
Aku jatuh cinta pada Jeremiah.
Oh, God. Dia kan laki-laki! Aku tak mungkin jatuh
cinta pada laki-laki! Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada laki-laki?
Apa aku tak normal? Apa aku sebegitu kesepiannya sampai jatuh cinta pada
Jeremiah? Apa aku tak normal?
Jelas aku tak normal! Aku GAY!
Sekarang aku panik.
Bagaimana ini? Bila Jeremiah tahu aku gay, dia pasti
jijik padaku. Apalagi, aku jatuh cinta padanya! Ini mengerikan. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
“Tenang, Fran. TENANG!”
Aku menarik napas dalam-dalam, membuangnya, menarik
kembali, lalu membuang kembali.
Beberapa menit setelah menenangkan diri, akhirnya aku
bisa menerima berita yang tiba-tiba ini. Aku jatuh cinta pada Jeremiah. Aku
gay. Dan aku tak mungkin menyatakan perasaanku padanya. Bagaimana kalau nanti
dia memukulku? Atau, paling parah, tidak berteman denganku lagi?
Rasanya, aku belum sanggup bila Jeremiah memutuskan
untuk meninggalkanku. Kurasa, inilah alasan kenapa aku tidak terima menjadi
orang asing baginya, karena aku jatuh cinta padanya.
Hidupku benar-benar kacau.
Berusaha untuk menjernihkan pikiranku, aku menghela
napas sekali lagi, lalu menghidupkan mesin mobil untuk berangkat menuju rumah
Jeremiah. Aku tahu Jeremiah sibuk mengurus pernikahan Cody karena besok adalah
hari yang sangat penting bagi sahabatnya, jadi aku sama sekali tak ingin
mengganggunya.
Aku turun dari mobil, membawa barang belanjaan yang
dibutuhkan, susah payah mengambil kunci rumah Jeremiah dari sakuku. Jeremiah
memberiku kunci rumahnya kemarin. Dia bilang dia biasa memberikan kunci
rumahnya pada orang yang dia percaya. Aku merasa bangga mendengarnya.
Yang mengherankan, pintu rumah Jeremiah tidak
terkunci.
Perlahan-lahan, aku membuka pintu. Aku yakin sekali
kalau Jeremiah bilang kalau dia akan datang terlambat. Aku masuk ke dalam,
mengerutkan dahi. Rumah ini sunyi. Aku melangkah perlahan, berusaha sebisa
mungkin untuk tidak membuat suara.
“Shit.
Kenapa tak ada makanan di sini?”
Terdengar suara berat dari dapur, beserta dengan
jatuhnya panci dan suara dentingan piring. Aku nyaris menjatuhkan belanjaanku.
Jantungku kembali berdetak tak karuan.
Maling! Ada maling di rumah Jeremiah!
Kakiku gemetaran. Aku tak mungkin melawan maling
sendirian. Meletakkan belanjaanku hati-hati ke lantai, aku berjalan
pelan-pelan, berjingkat-jingkat degan ujung jariku menuju dapur. Aku mengambil
salah satu piala panjang bening yang cukup keras di kedua tanganku.
Di dapur, tepatnya di depan kulkas yang terbuka,
berjongkok seorang pria. Dia memiliki tubuh yang besar, sebesar Jeremiah.
Bajunya kotor berantakan, penuh dengan lumpur. Rambutnya keriting panjang,
berwarna gelap. Aku bisa melihat kedua tangannya yang coklat dan keras.
Pria itu tidak mendengarkanku mengendap-endap di
belakangnya karena dia begitu sibuk mengeluarkan isi kulkas. Di meja sudah
terutumpuk daging, roti lapis, buah, susu dan madu. Tapi, semua itu nyaris
habis.
Berani benar pria ini mencuri di rumah Jeremiah. Aku
tak akan membiarkannya.
Mengangkat piala itu di atas kepalaku, aku memukul
pria itu sekuat-kuatnya.
“Ow!” dia menjerit, menoleh padaku sambil memegang
kepalanya. Mataku membulat kaget
melihatnya sama sekali tak pingsan. Malah, dengan enteng dia menggosok-gosok
kepalanya. “Siapa kau?”
“Kau yang siapa? Masuk ke rumah orang tanpa ijin!
Dasar kau maling!” Aku mengangkat kembali piala di tanganku, dan matanya
membulat kaget.
“Tunggu sebentar! Ow, ow, ow, jangan pukul—ow!” Dia
menjerit kesakitan, mengangkat kedua tangannya di atas kepalanya sementara aku
memukulinya dengan piala yang sama sekali tak berguna. “Ow! Rasanya sakit
sekali tahu! Jangan—ow, shit!” Pria
besar itu menyibakkan tangannya, menyingkirkan piala di tanganku ke ujung
ruangan.
Aku ternganga dan berusaha kabur, tapi dia
menangkapku dari belakang, menjerat leherku.
“Setelah memukuliku, seenaknya saja kau mau kabur
begitu saja,” bisiknya di telingaku. Kedua tanganku tertahan di punggungku.
“Lepaskan aku! Akan kuhubungi polisi, dasar kau
maling!”
“Heh, maling? Siapa yang maling?” dia tertawa kecil.
“Kau yang maling. Masuk ke rumah orang tanpa ijin. Kau pikir kau siapa?”
“Kau yang masuk ke rumah ini tanpa ijin!” gigiku
gemertakan. Cengkramannya erat sekali di pergelangan tanganku, dan sama sekali
tak membantu begitu aku merasakan bau tubuhnya yang menyengat seakan dia tak
mandi berhari-hari dan janggutnya menggelitik belakang leherku.
“Aku mengenal orang yang tinggal di rumah ini!”
“Jeremiah tak pernah membawa orang aneh sepertimu!
Dan aku yakin sekali kalau kau cuma mengarang alasan saja!”
“Kau kenal Jeremiah?” Dia terkaget. “Aku Kakaknya!”
Aku mendengus. “Yeah? Dan aku adiknya.”
“Aku tak merasa punya adik yang sepertimu,” katanya,
tertawa kecil. Aku sama sekali tak menemukan apa yang lucu dari perkataanku.
“Aku akan melepasmu, tapi jangan macam-macam. Kita bisa membicarakan masalah
ini seperti orang berpendidikan, bukannya tarzan di hutan, oke?”
Aku tak menjawab. Tapi dia jelas-jelas melepas
pegangannya dan mundur dengan cepat ke belakang. Aku mengambil jarak sejauh mungkin
darinya. Jika dia menyerangku lagi, aku tahu apa yang akan kulempar padanya:
satu set peralatan kopi. Kita lihat apakah dia mampu bertahan dengan itu.
“Aku tahu apa yang kau rencanakan, Tuan,” katanya
seakan membaca pikiranku, mengangkat kedua tangannya. “Menyerah? Ok? Aku tak
akan melawanmu. Aku juga tahu kau tak percaya padaku, tapi masalah ini akan
selesai bila kau menghubungi Jeremiah.”
Aku tak menjawab. Bagaimana kalau dia berbohong?
Bagaimana saat aku berbalik nanti, dia malah menyerangku?
“Ok, ok,” dia menyerah karena aku diam terlalu lama.
“Aku sendiri yang akan meneleponnya,” katanya, lalu bergumam, “manusia zaman
sekarang.”
Aku menunggu dia menelepon, mengawasinya dengan
seksama. Pria ini tinggi sekali, meski belum setinggi Jeremiah. Dia punya
bentuk tubuh seperti Jeremiah. Dadanya bidang, bahunya lebar, tangannya besar,
jemarinya kotor berlumpur dan kulitnya coklat. Para wanita suka sekali dengan
warna kulit seperti itu. Yang mengherankan, seluruh tubuhnya tertutupi oleh
janggut dan rambut. Jadi aku tak tahu seperti apa tampangnya. Tapi, dia punya
mata Jeremiah.
“Xavier,” katanya ceria pada orang di telepon, “coba
tebak aku ada dimana?” dia mendesah. “Tidak, tidak, tidak, aku tak minta uang
lagi. Hei, aku dalam masalah sekarang, bisakah—adikku sayang, maafkan aku
membuatmu susah, tapi masalahnya tidak—dengar,
ada orang aneh yang tadi memukuliku dan mengataiku maling. Hei, tidak lucu!”
dia tertawa kecil. “Siapa namamu?” katanya padaku.
“Fran…”
“Namanya Fran. Oh, jadi dia Fran yang itu. He’s
cute,” aku ternganga lagi begitu dia mengedip padaku. “Ok, ok, aku tak akan
menyentuhnya—aku cuma kelaparan. Apa? Oh,
please jangan bilang keluarga Huges yang terhormat, aku masih jet lag.” Dia menutup teleponnya.
“Puas?”
Aku masih keras kepala dan curiga. “Kau belum tentu
menelepon Jeremiah.”
Pria itu geleng-geleng. “Fran, namaku River,”
katanya, melipat tangannya. Dia melirikku dari atas sampai ke bawah, lalu
tersenyum lagi. “Aku harus mengakui kalau Xavier punya teman-teman yang
sempurna. Pertama Cody, lalu Aroz, sekarang kau. Sayangnya, teman-temannya
selalu off limit.”
Aku mengedip kebingungan dan nyaris tertawa kecil
mendegar suara bunyi perutnya.
“Sori, aku kelaparan,” gumamnya. “Kau keberatan jika
aku menghabiskan isi kulkasnya?” Dia tak mendengarkan jawabanku karena dia
kembali berbalik dan kembali sibuk dengan isi kulkas. Aku segera berlari ke
dekat pintu, mengawasinya dari jauh. Aku tak akan membiarkannya kabur begitu
saja.
River bergerak ke sana kemari, membuka, memotong,
mengoles entah apa. Dia sangat ahli dengan dapur sehingga dalam lima belas
menit, uap mengepul yang nikmat mengudara ke hidungku. Begitu dia selesai, dia
meletakkan dua piring ke meja makan.
“Aku tak ingin makan sendiri,” katanya. Lagi-lagi,
dia tak menungguku untuk menjawab karena pria itu sudah makan duluan. Pelan-pelan,
aku duduk di kursi dan ikut makan bersamanya.
Aku mengerang. “Ini lezat sekali.”
“Why thank you,”
dia tertawa kecil, menyeka mulutnya dengan punggung tangan. “Aku jarang sekali
bisa makan yang seperti ini.”
Aku penasaran. “Memangnya, selama ini kau ada di
mana?”
“Aku melihat dunia. Dunia lebih luas dari
perkiraanku,” jawabnya. Bibirnya tersenyum di balik janggutnya. “Aku tak tahu
kalau Jeremiah dekat dengan seseorang sekarang. Jarang sekali dia membawa orang
ke dalam rumahnya.”
“Uh, aku hanya sedang membawakan belanjaan yang dia
pesan.”
River mengerjap. “Kupikir itu tugas Cody.”
“Cody akan menikah besok,” kataku.
“Ya, aku tahu dan dia membuatmu melakukan pekerjaan
Cody,” River geleng-geleng kepala. “Dia harus berhenti bertingkah seperti
anak-anak. Apa pekerjaanmu?”
“Aku Dosen,” jawabku.
“Aku pengangguran.” Dia tertawa lagi. “Semoga aku
bisa mendapat pekerjaan di sini. Aku sudah terlalu lama berkelana. Sudah
saatnya mengambil alih pekerjaan Xavier.”
Kami makan dalam diam. Aku ingin bertanya apa yang
sebenarnya terjadi, tapi aku masih belum mengenalnya, jadi aku tak berani
bertanya. Setelah selesai makan, pria itu membantuku membawa belanjaan. Dia
mengerang jengkel karena aku tak memberitahunya kalau aku bawa makanan.
Salahnya sendiri bertingkah mencurigakan.
River tengah memakan apel yang keempat saat Jeremiah
masuk ke dalam rumah.
“Xavier!” River menyongsong Jeremiah, membuka lebar
tangannya.
Sayangnya, tinjulah yang menghantamnya. “Brengsek!
Berani benar kau datang ke rumahku setelah kau kabur sepuluh tahun dan
menyerahkan urusan perusahaan padaku!”
Xavier merengut. “Aku masih terlalu muda untuk
terjerat pada perusahaan!” katanya menggosok-gosok pipinya. Tinju Jeremiah sama
sekali tak berpengaruh padanya.
Jeremiah tak mendengarkan. “Kau juga menghabiskan uangku!
Untuk apa seluruh uang yang kukirim padamu? Kemana kau habiskan semua uang itu?
Jangan bilang kau menghabiskannya pada para gay di sana! Dan lagi, ada apa
dengan tampangmu? Kenapa kau berjanggut begitu? Aku kan sudah bilang kalau kau
harus memotong janggutmu! Aku tak suka ada manusia berjanggut di rumahku!
Selain itu, apa yang kau lakukan pada pintu rumahku? Kapan aku setuju kalau kau
boleh membongkar pintu rumahku?”
River menghela napas. “Aku capek, Xavier. Mau tidur.
Kamar Cody masih tersedia kan?”
“Kau tak boleh tidur di kamar Cody bila kau belum
mandi dan cukuran. Demi Neptunus di Sponge
Bob Squarepants, River, kau seperti teroris!”
River terbahak. “Dan demi Neptunus di Sponge Bob Squarepants juga, Xavier,
kalau aku akan segera memotong janggut dan rambutku, karena Cody tak mungkin
mengijinkanku masuk ke pernikahannya dalam keadaan begini.”
Jeremiah mendengus. “Jadi, kau datang kemari hanya
untuk datang ke pernikahan Cody?”
“Salah satunya, setelah aku patah hati karena dia
lebih memilih wanita,” kata River, memegang jantungnya dan dengan gaya orang
patah hati dia menghela napas, “tapi, ada alasan lain.”
Jeremiah memutar bola mata. “Jangan bilang kau butuh
uang lagi.”
“Oh, tidak, tidak,” River geleng-geleng kepala. “Aku
akan tinggal di sini.”
Jeremiah mengerjap. “Huh?”
“Sudah saatnya kau bersantai kan?” River nyengir
lebar. “Aku dengar kau sedang sangat sibuk mengurus tesismu? Aku tak sabar
ingin melihat penelitian apa yang kau buat.”
“Kau akan tinggal?”
“Ya.”
“Tidak akan kemana-mana lagi?”
“Ya.”
“Dan mengurus masalah di sini?”
“Aw, kuharap kau tidak membuat bangkrut keluarga
kita.”
“AKHIRNYA!” Jeremiah menjerit kesenangan, lalu
memeluk River erat-erat. “Selamat datang kembali, River. Akhirnya, kau berguna
juga!”
“Please,
aku sangat berguna,” River memutar bola matanya.
“Ok, sekarang lepaskan aku karena baumu menular
padaku,” Jeremiah buru-buru melepas pelukannya, lalu menendang River ke kamar
Cody. River hanya tertawa padanya.
Aku tersenyum kecil melihat interaksi mereka berdua.
Mereka jelas bersaudara. Tingkah mereka berdua sama persis.
“Jadi, kau memukulnya?” Jeremiah geleng-geleng
kepala. “Bagus. Kurasa dia akan jera masuk ke kediamanku tanpa ijin. Aku bangga
padamu, Fran.”
Rasanya, aku tak bernapas melihat senyuman Jeremiah. Sadarlah, Fran!
“Kau beli apa?” Jeremiah mengeluarkan belanjaan yang
masih belum dikeluarkan River.
Pada akhirnya, Jeremiahlah yang membantuku
membereskan makanan. Dia protes karena aku tak membeli bir. Tapi begitu aku memberi
alasan “Gabrielle” dia menutup mulutnya dengan susah payah. Kami bicara hal
yang ringan. Aku mendengarkannya membicarakan keluarganya. Sedikit banyak, aku
tahu siapa saja adik-adik Jeremiah. Bukan itu saja, aku juga tahu kesukaan
Jeremiah hanya dari belanjaan yang kupunya karena dia bergumam tak jelas bila
aku tak membeli sesuatu—entah dia sadar atau tidak.
Sedikit banyak, aku mendengar dia bergumam “Es krim”
sekitar delapan kali, “Susu Vanilla” enam kali dan, seperti biasa, berry dari berbagai jenis.
“Xavier! Aku bisa pakai bajumu kan?”
Rahangku jatuh, begitu pula dengan jeruk di tanganku
begitu melihat River yang datang ke dapur.
Pria itu berdiri di dapur hanya mengenakan selembar
handuk menggantung di pinggangnya. Rambutnya sudah digunting asal, pendek dan
berantakan, begitu pula dengan janggutnya. Yang berdiri di depanku saat ini
bukan lagi pria maling bertampang seperti beruang kutub, tapi seorang model
yang layak berdiri di catwalk.
River Huges memiliki wajah yang tampan sempurna.
Rahangnya mantap dan keras. Rambut
hitamnya basah berantakan, menetes-neteskan air di pipi, leher dan dadanya. Dia
memiliki struktur wajah Jeremiah. Hanya saja, dia tampak lebih dewasa, tenang,
dan bijak. Matanya menatap dengan sempurna. Hidungnya bengkok dan kulitnya coklat
sempurna, lengkap dengan otot di sana-sini.
Dengan gaya, pria itu menyisir rambut basahnya dengan
tangannya, membuat otot-ototnya bergerak menggoda. Mataku bersusah payah
menoleh ke arah lain.
Aku terlalu memerhatikannya. God, kurasa aku memang gay.
“River, jangan berkeliaran di rumahku dalam keadaan
telanjang,” Jeremiah menghela napas.
“Aku memakai handuk, jadi bukan telanjang namanya,”
balas River, aku bisa mendengar ada senyuman di balik kalimatnya barusan.
“Whatever.
Rumahku. Peraturanku. Kau tak boleh berkeliaran di rumahku
dalam keadaan telanjang karena ada anak kecil di rumah ini. Aku tak mau dia
mencontohmu.”
“Aku tak tahu kalau kau punya anak.”
“Bukan aku, tapi Fran.”
Tatapan River seakan menembusku. Uh, dan sama sekali
tak membantu kalau dia tak segera memakai pakaian. “Kau punya anak?”
“Dia jauh lebih tua dari yang kau bayangkan.”
“Dua puluh delapan?”
“Pikir lagi. Tiga puluh lima.”
“No way,”
River terkaget. “Fran, kau benar-benar cute.”
Jeremiah berdeham. “River, aku melarangmu untuk
menggodanya. Kau ingat peraturannya kan?”
River merengek. “Xavier, tak bisakah kita ubah
peraturan itu? Kau selalu punya teman pria yang cute, kenapa kau tak mengijinkanku jadi pacar mereka?”
Aku mengerjap.
Jeremiah dengan baik hati menerangkan. “Dia gay. Kau
tak perlu mendengarkannya. Aku sudah sering mendengarnya membuat orang patah
hati.” Dia kembali melihat River. “Masuk ke kamar dan pakai bajumu. Aku tak
peduli kau pakai yang mana.”
Sebelum berbalik, River tersenyum menggoda. “Fran,
kau bersedia kencan denganku?”
Tapi Jeremiah menendangnya keluar dari dapur.
Sekarang… sekarang aku tak tahu lagi apa yang harus
kulakukan.
Aku gay. Aku jatuh cinta pada Jeremiah. Dan River,
Kakak Jeremiah yang gay, tertarik padaku.
Besok apa lagi?
***
Medan, Minggu,
02 Februari 2014
1 komentar:
Terharu T_T
Posting Komentar