RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [18]



18
Test Cinta
==========
FRAN(POV)
Aku tidak jatuh cinta padanya!
Entah sudah berapa kali aku mengulangi kalimat yang sama terus-terusan selama beberapa hari ini. Kepalaku sampai berdenyut luar biasa, dan sama sekali tak membantu karena aku tak bisa tidur karenanya dan hanya wajah Jeremiah yang muncul di kepalaku tiap malam.
Mengoreksi tugas-tugas mahasiswaku dengan asal, akhirnya aku bisa menghela napas lega. Aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi.
“Fran!” Jeremiah memanggilku dari balik pintu. Seperti biasa, dia sama sekali tak perlu mengetuk pintu. “Kau sudah selesai?”
Jantungku kembali berdenyut melihat wajahnya. Ayolah, jantung, jangan seperti ini. Berdeham, aku mencoba menenangkan diri dan menjawab, “Ya. Kenapa?”
“Apa kau sudah beli baju untuk pernikahan Cody lusa?”
Aku mengerjap. “Huh?”
“Sudah kuduga,” gumamnya memutar bola mata. Dia masuk, mengecak pinggang sambil geleng-geleng. “Pernikahan Cody. Ingat? Kau tak mungkin datang dengan memakai stelan jas lamamu kan? Ini pesta pernikahan pertamamu. Kau harus tampil maksimal. Siapa tahu ada wanita cantik di sana yang tiba-tiba saja menjadi kekasihmu.”
“Jeremiah, berapa kali aku harus bilang kalau aku sama sekali tidak tertarik untuk berkencan?” Kenapa pria ini sama sekali tak mau mendengarkanku? Pikirku memijit dahiku.
“Dan berapa kali aku harus bilang kalau aku tak akan medengarkan perkataanmu itu?” balasnya. “Ayo, aku sudah membuat janji dengan seseorang. Gabrielle juga akan ikut. Aku sudah menyuruh Hitcher menjemputnya.”
“Kita kemana?”
“Nanti juga kau tahu.”
Aku menghela napas. Tak ada gunanya bagiku melawan Jeremiah. Dia selalu menyusun rencananya sendiri tanpa bertanya padaku. Dia membawaku ke salah satu toko pakaian, yang dilihat dari depannya saja sudah kelihatan kalau tempat ini hanya untuk orang kaya.
“Uh…” Aku tercengang melihat bangunan perak itu dari luar, tak yakin apakah aku harus masuk atau tidak.
“Ayo,” katanya masuk terlebih dahulu.
Begitu masuk, suhu hangat dari dalam ruangan membuatku melepas mantel. Lemar-lemari kaca diisi dengan stelan-stelan mahal berbagai warna dengan elegan, bermotif sederhana tapi juga berkesan glamor dan formal. Manekin-manekin mengenakan pakaian mahal dengan berbagai model berdiri di beberapa tempat. Figura-fugira model juga tak kalah keren. Pencahayaan dan penataan ruangan di tempat ini benar-benar sempurna.
Tiba-tiba, terdengar suara wanita, “JEJE!” dan melompat, memeluk Jeremiah erat-erat.
“Cass,” Jeremiah memutar bola matanya, “Jangan seperti anak kecil.”
Wanita itu mencium pipi Jeremiah. “Walau aku seperti anak kecil, kau tetap akan mencintaiku kan? Kalau tidak, kau tak mungkin mau datang kemari lagi. Kau gampang ditebak, Jeje. Kau tak bisa hidup tanpaku.”
Siapa wanita ini? Sembarangan saja main peluk dan cium Jeremiah. Apa wanita ini mantan pacarnya? Kekasihnya yang baru lagi? Aargh, memangnya apa urusanku?
Lagi-lagi, Jeremiah memutar bola matanya. “Fran, perkenalkan, ini Cassandra. Cass, ini Fran, Papanya Gabrielle.”
Wanita itu menjerit lagi. “Papanya Gabrielle? Pantas saja Gabrielle tampan begitu, Papanya tampan sekali sih. Ayo sini, sini, akan kupilihkan jas yang cocok untukmu. Oh my God, kau benar-benar tampan.” Dia menggandeng tanganku dan menarikku masuk ke dalam.
Jeremiah geleng-geleng kepala, tersenyum kecil.
Gabrielle keluar dari ruang ganti, mengenakan jas berwarna krem yang merampingkan tubuhnya dan memperjelas tubuhnya. Senyumannya melebar begitu melihatku. “Papa, lihat?”
Cassandra terkikik, melepas rangkulan pada tanganku, kemudian melangkah ke arah Gabrielle. “Aaw,” Cassandra menepuk-nepuk pipi Gabrielle. “Kau tampan sekali, Adik Kecil. Aku ingin sekali kau mencoba jas yang lain, tapi yang ini benar-benar pas untukmu. Coba sini kulihat apa ada hal yang kurang untuk kuperbaiki.”
Wanita itu menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk melihat garis-garis jahitan yang menurutnya penting, lalu menyuruh Gabrielle mengganti pakaiannya. Setelah selesai dengan Gabrielle, dia mendatangiku, memberikan beberapa potongan jas dan menyuruhku mencobanya ke kamar ganti.
“Uh, bukankah ini terlalu banyak?”
“Tsk tsk tsk,” dia geleng-geleng kepala, mendorongku untuk masuk ke kamar ganti, “Tak ada yang terlalu banyak untuk mendapat pakaian yang bagus.”
Menghela napas lelah, aku menurut dan masuk ke dalam. Jeremiah meninggalkanku sendirian menghadapi Cassandra—yang sangat cerewet sekali soal pakaian. Aku berulang kali terpaksa keluar masuk kamar ganti hanya karena dia tak puas soal panjang lengan bajuku, warnanya, atau garis modelnya, motifnya, bahkan ukurannya. Gabrielle sampai terbahak melihatku. Aku senang, setidaknya dia menganggap hal ini lucu.
“Jika yang ini pun dia tak puas, aku akan keluar dari tempat ini,” pikirku jengkel, memakai satu stelan lain yang diberikan Cassandra padaku.
Aku keluar dari ruang ganti, dan menahan napasku begitu melihat sosok Jeremiah di depanku. Dia tampak berbeda dengan stelan yang dia pakai, berwarna biru gelap dan dengan motif sederhana, tapi juga maskulin. Di dalamnya dia mengenakan kemeja dengan warna yang lebih pucat. Ada pin di bagian kerah bajunya, yang memberi efek mewah.
Tenggorokanku mengering melihatnya. God, dia tampan sekali.
“Aku yakin masterpiece memang cocok untukmu,” Cassandra bertepuk tangan kegirangan.
Jeremiah tersenyum kecil. “Aku memang tampan, jadi pakai apapun cocok.”
Cassandra mendengus. “Kau beruntung karena kau Kakakku, kalau tidak aku sudah pasti meninju wajah sombongmu itu.”
Mataku mengerjap. Kakak?
“Oh, please, kau mencintaiku,” Jeremiah memutar bola matanya. Lalu, dia melihatku. “Fran, kau tampil keren.”
Lalu beralihlah perhatian Cassandra, yang lalu menjerit kecil dan berlari ke arahku. “Dan inilah yang cocok untukmu, Fran. Coba sini kulihat.” Dia memutariku, memeriksa bagian punggungku, lalu menunduk melihat bagian yang paling kecil, kemudian mengangguk setuju. “Ok, ini sudah pas. Bagaimana menurutmu, Jeje?”
Jeremiah mengangguk setuju. “Para wanita akan ada di bawah kakinya.”
“Andai saja kau lebih muda delapan tahun, aku pasti akan langsung mengejarmu,” Cassandra geleng-geleng kepala.
Please, kau tak pernah melihat pria lain sejak kau pacaran dengan Bob lima tahun lalu,” Jeremiah memutar bola mata. Cassandra terkikik geli, memukul tangan Jeremiah.
“Kau benar-benar menyelidiki kami ya,” katanya.
“Itu tugas seorang Kakak,” balas Jeremiah. “Sekarang, lakukan pekerjaanmu dan hitung semuanya.”
“Aku tak akan memberi harga yang mahal untukmu, Jeje. Kau sudah menjadi icon toko kami.” Wanita itu melompat-lompat keluar dari ruangan.
“Adikmu wanita yang lucu,” kataku. Kata lucu sepertinya terlalu bagus untuk wanita itu. Tapi, rasanya kasar sekali bila aku menyebutnya “aneh”.
“Dia menyebalkan,” katanya, mengangkat kedua bahunya. Aku tersenyum mendengarnya berkata begitu pada adiknya sendiri.
“Dad,” Gabrielle mengangkat teleponnya. “Aku ambil foto ya?”
Senyuman Jeremiah melebar. “Ok. Sini, Fran.” Dia menarikku ke sampingnya.
Gabrielle mengambil beberapa foto, dan di bagian akhir dia berkomentar, “Kalian seperti hendak menikah.”
Untung Jeremiah tak mendengarnya.
***
Aku tak mungkin jatuh cinta padanya! Pikiranku dengan mantap mengulang hal itu dan hatiku protes. Tanganku dengan asal memasukkan bungkusan sayur ke troli. Seperti biasa, hari ini aku belanja mingguan. Aku juga harus membeli keperluan Jeremiah karena—seperti yang sudah dikatakan Jeremiah—hari ini dia tak sempat. Pria itu bahkan memberikan kartu kreditnya padaku.
Pesanan Jeremiah adalah bir. Sayangnya, aku tak akan membelikannya alcohol. Gabrielle sering menginap di rumahnya. Dia pikir aku akan membiarkannya begitu saja memberi contoh buruk bagi Gabrielle? Bagaimana kalau Gabrielle salah minum? Bukannya meminum jus, dia malah meminum bir?
Apa kau jatuh cinta? Coba tes dulu yuk!
Perhatianku teralih melihat ada salah satu majalah yang rasanya mencerminkan perasaanku saat ini. Hatiku bimbang. Beli. Tidak. Beli. Tidak. Beli. Tidak. Beli. Tidak. Beli. Tidak.
Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.
Sialnya, aku malah membelinya dan saat ini memelototi benda itu di dalam mobilku. Barang belanjaanku sudah aman di belakang.
“Akan kubuktikan bahwa aku tidak jatuh cinta,” kataku yakin, membuka majalah itu ke halaman yang ditunjuk. Mungkin, kalian menurutku gila karena konsultasi pada majalah anak perempuan. Tapi saat ini aku sudah kehabisan harapan. Setiap malam aku tak bisa tidur karena memikirkan ini, jadi aku lebih memilih untuk menyelesaikan semuanya.
“Pertanyaan pertama,” aku membaca.
Apakah ada seseorang yang saat ini sangat dekat denganmu?
“Ada.”
Apakah menurutmu, dia sangat menarik? Baik dari tingkah atau penampilannya?
Hmmm, Jeremiah punya keduanya. Jadi, dia memiliki kepribadian yang lucu, humoris, down to earth dan easy going. Penampilan? Tak perlu ditanya lagi. Aku tak pernah melihat kapan Jeremiah tampil berantakan. Bahkan saat tidur mengenakkan piyama saja dia masih menarik.
Dari dalam dirinya, hal kecil apa yang kau perhatikan darinya?
Bibirnya. Dia mudah sekali tersenyum. Dan matanya. Matanya selalu jujur.
Apakah kau pernah kagum padanya?
“Sangat. Setiap hari.”
Bila bersamanya, apakah jantungmu berdegup kencang, gugup, bahkan merasa kalau penampilanmu kurang menarik?
“Kenapa majalah ini bisa tahu?”
Tiap kali dia memintamu melakukan sesuatu, apakah kau bersedia melakukannya tanpa berpikir panjang, meski hal itu sama sekali tak masuk akal?
Aku mengingat saat dimana Jeremiah bersikeras menyuruhku berkencan dan saat dia menyuruhku ke sana kemari. Aku memang menurut tanpa penolakan.
Bila dia bersama seseorang, apakah kamu merasa cemburu?
Aku memang jengkel melihat para wanita yang mengerumuninya. Tapi, itu bukan cemburu kan? Itu tak mungkin cemburu. Itu hanya rasa kesal biasa.
Apakah setiap saat kamu terbayang wajahnya? Tak bisa tidur karena mengingatnya?
Oh, God! Ya!
Teriakkan satu nama yang terlintas di kepalamu saat ini juga!
“JEREMIAH!”
Dan kalimat terakhir di majalah itu membuatku tertegun.
Selamat, kamu jatuh cinta padanya! Saatnya menyatakan cintamu!
“Ini tak mungkin!” Kulempar majalah itu ke kursi sebelahku dengan berang. Majalah itu mencemari otakku. Aku tak mungkin jatuh cinta padanya. Aku tak mungkin jatuh cinta pada Jeremiah!
“Ok, tenang, Fran,” gumamku. Suaraku bergetar, tenggorokanku kering, telapak tanganku basah, dahiku berkeringat dan jantungku berdegup kencang.
Kenapa aku membaca majalah sialan itu? Harusnya, aku tak melakukannya. Sekarang, aku tak mungkin bisa melihat Jeremiah dengan cara yang sama lagi.
Aku jatuh cinta padanya.
Aku jatuh cinta pada Jeremiah.
Oh, God. Dia kan laki-laki! Aku tak mungkin jatuh cinta pada laki-laki! Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada laki-laki? Apa aku tak normal? Apa aku sebegitu kesepiannya sampai jatuh cinta pada Jeremiah? Apa aku tak normal?
Jelas aku tak normal! Aku GAY!
Sekarang aku panik.
Bagaimana ini? Bila Jeremiah tahu aku gay, dia pasti jijik padaku. Apalagi, aku jatuh cinta padanya! Ini mengerikan. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?
“Tenang, Fran. TENANG!”
Aku menarik napas dalam-dalam, membuangnya, menarik kembali, lalu membuang kembali.
Beberapa menit setelah menenangkan diri, akhirnya aku bisa menerima berita yang tiba-tiba ini. Aku jatuh cinta pada Jeremiah. Aku gay. Dan aku tak mungkin menyatakan perasaanku padanya. Bagaimana kalau nanti dia memukulku? Atau, paling parah, tidak berteman denganku lagi?
Rasanya, aku belum sanggup bila Jeremiah memutuskan untuk meninggalkanku. Kurasa, inilah alasan kenapa aku tidak terima menjadi orang asing baginya, karena aku jatuh cinta padanya.
Hidupku benar-benar kacau.
Berusaha untuk menjernihkan pikiranku, aku menghela napas sekali lagi, lalu menghidupkan mesin mobil untuk berangkat menuju rumah Jeremiah. Aku tahu Jeremiah sibuk mengurus pernikahan Cody karena besok adalah hari yang sangat penting bagi sahabatnya, jadi aku sama sekali tak ingin mengganggunya.
Aku turun dari mobil, membawa barang belanjaan yang dibutuhkan, susah payah mengambil kunci rumah Jeremiah dari sakuku. Jeremiah memberiku kunci rumahnya kemarin. Dia bilang dia biasa memberikan kunci rumahnya pada orang yang dia percaya. Aku merasa bangga mendengarnya.
Yang mengherankan, pintu rumah Jeremiah tidak terkunci.
Perlahan-lahan, aku membuka pintu. Aku yakin sekali kalau Jeremiah bilang kalau dia akan datang terlambat. Aku masuk ke dalam, mengerutkan dahi. Rumah ini sunyi. Aku melangkah perlahan, berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat suara.
Shit. Kenapa tak ada makanan di sini?”
Terdengar suara berat dari dapur, beserta dengan jatuhnya panci dan suara dentingan piring. Aku nyaris menjatuhkan belanjaanku. Jantungku kembali berdetak tak karuan.
Maling! Ada maling di rumah Jeremiah!
Kakiku gemetaran. Aku tak mungkin melawan maling sendirian. Meletakkan belanjaanku hati-hati ke lantai, aku berjalan pelan-pelan, berjingkat-jingkat degan ujung jariku menuju dapur. Aku mengambil salah satu piala panjang bening yang cukup keras di kedua tanganku.
Di dapur, tepatnya di depan kulkas yang terbuka, berjongkok seorang pria. Dia memiliki tubuh yang besar, sebesar Jeremiah. Bajunya kotor berantakan, penuh dengan lumpur. Rambutnya keriting panjang, berwarna gelap. Aku bisa melihat kedua tangannya yang coklat dan keras.
Pria itu tidak mendengarkanku mengendap-endap di belakangnya karena dia begitu sibuk mengeluarkan isi kulkas. Di meja sudah terutumpuk daging, roti lapis, buah, susu dan madu. Tapi, semua itu nyaris habis.
Berani benar pria ini mencuri di rumah Jeremiah. Aku tak akan membiarkannya.
Mengangkat piala itu di atas kepalaku, aku memukul pria itu sekuat-kuatnya.
“Ow!” dia menjerit, menoleh padaku sambil memegang kepalanya.  Mataku membulat kaget melihatnya sama sekali tak pingsan. Malah, dengan enteng dia menggosok-gosok kepalanya. “Siapa kau?”
“Kau yang siapa? Masuk ke rumah orang tanpa ijin! Dasar kau maling!” Aku mengangkat kembali piala di tanganku, dan matanya membulat kaget.
“Tunggu sebentar! Ow, ow, ow, jangan pukul—ow!” Dia menjerit kesakitan, mengangkat kedua tangannya di atas kepalanya sementara aku memukulinya dengan piala yang sama sekali tak berguna. “Ow! Rasanya sakit sekali tahu! Jangan—ow, shit!” Pria besar itu menyibakkan tangannya, menyingkirkan piala di tanganku ke ujung ruangan.
Aku ternganga dan berusaha kabur, tapi dia menangkapku dari belakang, menjerat leherku.
“Setelah memukuliku, seenaknya saja kau mau kabur begitu saja,” bisiknya di telingaku. Kedua tanganku tertahan di punggungku.
“Lepaskan aku! Akan kuhubungi polisi, dasar kau maling!”
“Heh, maling? Siapa yang maling?” dia tertawa kecil. “Kau yang maling. Masuk ke rumah orang tanpa ijin. Kau pikir kau siapa?”
“Kau yang masuk ke rumah ini tanpa ijin!” gigiku gemertakan. Cengkramannya erat sekali di pergelangan tanganku, dan sama sekali tak membantu begitu aku merasakan bau tubuhnya yang menyengat seakan dia tak mandi berhari-hari dan janggutnya menggelitik belakang leherku.
“Aku mengenal orang yang tinggal di rumah ini!”
“Jeremiah tak pernah membawa orang aneh sepertimu! Dan aku yakin sekali kalau kau cuma mengarang alasan saja!”
“Kau kenal Jeremiah?” Dia terkaget. “Aku Kakaknya!”
Aku mendengus. “Yeah? Dan aku adiknya.”
“Aku tak merasa punya adik yang sepertimu,” katanya, tertawa kecil. Aku sama sekali tak menemukan apa yang lucu dari perkataanku. “Aku akan melepasmu, tapi jangan macam-macam. Kita bisa membicarakan masalah ini seperti orang berpendidikan, bukannya tarzan di hutan, oke?”
Aku tak menjawab. Tapi dia jelas-jelas melepas pegangannya dan mundur dengan cepat ke belakang. Aku mengambil jarak sejauh mungkin darinya. Jika dia menyerangku lagi, aku tahu apa yang akan kulempar padanya: satu set peralatan kopi. Kita lihat apakah dia mampu bertahan dengan itu.
“Aku tahu apa yang kau rencanakan, Tuan,” katanya seakan membaca pikiranku, mengangkat kedua tangannya. “Menyerah? Ok? Aku tak akan melawanmu. Aku juga tahu kau tak percaya padaku, tapi masalah ini akan selesai bila kau menghubungi Jeremiah.”
Aku tak menjawab. Bagaimana kalau dia berbohong? Bagaimana saat aku berbalik nanti, dia malah menyerangku?
“Ok, ok,” dia menyerah karena aku diam terlalu lama. “Aku sendiri yang akan meneleponnya,” katanya, lalu bergumam, “manusia zaman sekarang.”
Aku menunggu dia menelepon, mengawasinya dengan seksama. Pria ini tinggi sekali, meski belum setinggi Jeremiah. Dia punya bentuk tubuh seperti Jeremiah. Dadanya bidang, bahunya lebar, tangannya besar, jemarinya kotor berlumpur dan kulitnya coklat. Para wanita suka sekali dengan warna kulit seperti itu. Yang mengherankan, seluruh tubuhnya tertutupi oleh janggut dan rambut. Jadi aku tak tahu seperti apa tampangnya. Tapi, dia punya mata Jeremiah.
“Xavier,” katanya ceria pada orang di telepon, “coba tebak aku ada dimana?” dia mendesah. “Tidak, tidak, tidak, aku tak minta uang lagi. Hei, aku dalam masalah sekarang, bisakah—adikku sayang, maafkan aku membuatmu susah, tapi masalahnya tidak—dengar, ada orang aneh yang tadi memukuliku dan mengataiku maling. Hei, tidak lucu!” dia tertawa kecil. “Siapa namamu?” katanya padaku.
“Fran…”
“Namanya Fran. Oh, jadi dia Fran yang itu. He’s cute,” aku ternganga lagi begitu dia mengedip padaku. “Ok, ok, aku tak akan menyentuhnya—aku cuma kelaparan. Apa? Oh, please jangan bilang keluarga Huges yang terhormat, aku masih jet lag.” Dia menutup teleponnya. “Puas?”
Aku masih keras kepala dan curiga. “Kau belum tentu menelepon Jeremiah.”
Pria itu geleng-geleng. “Fran, namaku River,” katanya, melipat tangannya. Dia melirikku dari atas sampai ke bawah, lalu tersenyum lagi. “Aku harus mengakui kalau Xavier punya teman-teman yang sempurna. Pertama Cody, lalu Aroz, sekarang kau. Sayangnya, teman-temannya selalu off limit.”
Aku mengedip kebingungan dan nyaris tertawa kecil mendegar suara bunyi perutnya.
“Sori, aku kelaparan,” gumamnya. “Kau keberatan jika aku menghabiskan isi kulkasnya?” Dia tak mendengarkan jawabanku karena dia kembali berbalik dan kembali sibuk dengan isi kulkas. Aku segera berlari ke dekat pintu, mengawasinya dari jauh. Aku tak akan membiarkannya kabur begitu saja.
River bergerak ke sana kemari, membuka, memotong, mengoles entah apa. Dia sangat ahli dengan dapur sehingga dalam lima belas menit, uap mengepul yang nikmat mengudara ke hidungku. Begitu dia selesai, dia meletakkan dua piring ke meja makan.
“Aku tak ingin makan sendiri,” katanya. Lagi-lagi, dia tak menungguku untuk menjawab karena pria itu sudah makan duluan. Pelan-pelan, aku duduk di kursi dan ikut makan bersamanya.
Aku mengerang. “Ini lezat sekali.”
Why thank you,” dia tertawa kecil, menyeka mulutnya dengan punggung tangan. “Aku jarang sekali bisa makan yang seperti ini.”
Aku penasaran. “Memangnya, selama ini kau ada di mana?”
“Aku melihat dunia. Dunia lebih luas dari perkiraanku,” jawabnya. Bibirnya tersenyum di balik janggutnya. “Aku tak tahu kalau Jeremiah dekat dengan seseorang sekarang. Jarang sekali dia membawa orang ke dalam rumahnya.”
“Uh, aku hanya sedang membawakan belanjaan yang dia pesan.”
River mengerjap. “Kupikir itu tugas Cody.”
“Cody akan menikah besok,” kataku.
“Ya, aku tahu dan dia membuatmu melakukan pekerjaan Cody,” River geleng-geleng kepala. “Dia harus berhenti bertingkah seperti anak-anak. Apa pekerjaanmu?”
“Aku Dosen,” jawabku.
“Aku pengangguran.” Dia tertawa lagi. “Semoga aku bisa mendapat pekerjaan di sini. Aku sudah terlalu lama berkelana. Sudah saatnya mengambil alih pekerjaan Xavier.”
Kami makan dalam diam. Aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku masih belum mengenalnya, jadi aku tak berani bertanya. Setelah selesai makan, pria itu membantuku membawa belanjaan. Dia mengerang jengkel karena aku tak memberitahunya kalau aku bawa makanan. Salahnya sendiri bertingkah mencurigakan.
River tengah memakan apel yang keempat saat Jeremiah masuk ke dalam rumah.
“Xavier!” River menyongsong Jeremiah, membuka lebar tangannya.
Sayangnya, tinjulah yang menghantamnya. “Brengsek! Berani benar kau datang ke rumahku setelah kau kabur sepuluh tahun dan menyerahkan urusan perusahaan padaku!”
Xavier merengut. “Aku masih terlalu muda untuk terjerat pada perusahaan!” katanya menggosok-gosok pipinya. Tinju Jeremiah sama sekali tak berpengaruh padanya.
Jeremiah tak mendengarkan. “Kau juga menghabiskan uangku! Untuk apa seluruh uang yang kukirim padamu? Kemana kau habiskan semua uang itu? Jangan bilang kau menghabiskannya pada para gay di sana! Dan lagi, ada apa dengan tampangmu? Kenapa kau berjanggut begitu? Aku kan sudah bilang kalau kau harus memotong janggutmu! Aku tak suka ada manusia berjanggut di rumahku! Selain itu, apa yang kau lakukan pada pintu rumahku? Kapan aku setuju kalau kau boleh membongkar pintu rumahku?”
River menghela napas. “Aku capek, Xavier. Mau tidur. Kamar Cody masih tersedia kan?”
“Kau tak boleh tidur di kamar Cody bila kau belum mandi dan cukuran. Demi Neptunus di Sponge Bob Squarepants, River, kau seperti teroris!”
River terbahak. “Dan demi Neptunus di Sponge Bob Squarepants juga, Xavier, kalau aku akan segera memotong janggut dan rambutku, karena Cody tak mungkin mengijinkanku masuk ke pernikahannya dalam keadaan begini.”
Jeremiah mendengus. “Jadi, kau datang kemari hanya untuk datang ke pernikahan Cody?”
“Salah satunya, setelah aku patah hati karena dia lebih memilih wanita,” kata River, memegang jantungnya dan dengan gaya orang patah hati dia menghela napas, “tapi, ada alasan lain.”
Jeremiah memutar bola mata. “Jangan bilang kau butuh uang lagi.”
“Oh, tidak, tidak,” River geleng-geleng kepala. “Aku akan tinggal di sini.”
Jeremiah mengerjap. “Huh?”
“Sudah saatnya kau bersantai kan?” River nyengir lebar. “Aku dengar kau sedang sangat sibuk mengurus tesismu? Aku tak sabar ingin melihat penelitian apa yang kau buat.”
“Kau akan tinggal?”
“Ya.”
“Tidak akan kemana-mana lagi?”
“Ya.”
“Dan mengurus masalah di sini?”
“Aw, kuharap kau tidak membuat bangkrut keluarga kita.”
“AKHIRNYA!” Jeremiah menjerit kesenangan, lalu memeluk River erat-erat. “Selamat datang kembali, River. Akhirnya, kau berguna juga!”
Please, aku sangat berguna,” River memutar bola matanya.
“Ok, sekarang lepaskan aku karena baumu menular padaku,” Jeremiah buru-buru melepas pelukannya, lalu menendang River ke kamar Cody. River hanya tertawa padanya.
Aku tersenyum kecil melihat interaksi mereka berdua. Mereka jelas bersaudara. Tingkah mereka berdua sama persis.
“Jadi, kau memukulnya?” Jeremiah geleng-geleng kepala. “Bagus. Kurasa dia akan jera masuk ke kediamanku tanpa ijin. Aku bangga padamu, Fran.”
Rasanya, aku tak bernapas melihat senyuman Jeremiah. Sadarlah, Fran!
“Kau beli apa?” Jeremiah mengeluarkan belanjaan yang masih belum dikeluarkan River.
Pada akhirnya, Jeremiahlah yang membantuku membereskan makanan. Dia protes karena aku tak membeli bir. Tapi begitu aku memberi alasan “Gabrielle” dia menutup mulutnya dengan susah payah. Kami bicara hal yang ringan. Aku mendengarkannya membicarakan keluarganya. Sedikit banyak, aku tahu siapa saja adik-adik Jeremiah. Bukan itu saja, aku juga tahu kesukaan Jeremiah hanya dari belanjaan yang kupunya karena dia bergumam tak jelas bila aku tak membeli sesuatu—entah dia sadar atau tidak.
Sedikit banyak, aku mendengar dia bergumam “Es krim” sekitar delapan kali, “Susu Vanilla” enam kali dan, seperti biasa, berry dari berbagai jenis.
“Xavier! Aku bisa pakai bajumu kan?”
Rahangku jatuh, begitu pula dengan jeruk di tanganku begitu melihat River yang datang ke dapur.
Pria itu berdiri di dapur hanya mengenakan selembar handuk menggantung di pinggangnya. Rambutnya sudah digunting asal, pendek dan berantakan, begitu pula dengan janggutnya. Yang berdiri di depanku saat ini bukan lagi pria maling bertampang seperti beruang kutub, tapi seorang model yang layak berdiri di catwalk.
River Huges memiliki wajah yang tampan sempurna. Rahangnya mantap dan keras.  Rambut hitamnya basah berantakan, menetes-neteskan air di pipi, leher dan dadanya. Dia memiliki struktur wajah Jeremiah. Hanya saja, dia tampak lebih dewasa, tenang, dan bijak. Matanya menatap dengan sempurna. Hidungnya bengkok dan kulitnya coklat sempurna, lengkap dengan otot di sana-sini.
Dengan gaya, pria itu menyisir rambut basahnya dengan tangannya, membuat otot-ototnya bergerak menggoda. Mataku bersusah payah menoleh ke arah lain.
Aku terlalu memerhatikannya. God, kurasa aku memang gay.
“River, jangan berkeliaran di rumahku dalam keadaan telanjang,” Jeremiah menghela napas.
“Aku memakai handuk, jadi bukan telanjang namanya,” balas River, aku bisa mendengar ada senyuman di balik kalimatnya barusan.
Whatever. Rumahku. Peraturanku. Kau tak boleh berkeliaran di rumahku dalam keadaan telanjang karena ada anak kecil di rumah ini. Aku tak mau dia mencontohmu.”
“Aku tak tahu kalau kau punya anak.”
“Bukan aku, tapi Fran.”
Tatapan River seakan menembusku. Uh, dan sama sekali tak membantu kalau dia tak segera memakai pakaian. “Kau punya anak?”
“Dia jauh lebih tua dari yang kau bayangkan.”
“Dua puluh delapan?”
“Pikir lagi. Tiga puluh lima.”
No way,” River terkaget. “Fran, kau benar-benar cute.”
Jeremiah berdeham. “River, aku melarangmu untuk menggodanya. Kau ingat peraturannya kan?”
River merengek. “Xavier, tak bisakah kita ubah peraturan itu? Kau selalu punya teman pria yang cute, kenapa kau tak mengijinkanku jadi pacar mereka?”
Aku mengerjap.
Jeremiah dengan baik hati menerangkan. “Dia gay. Kau tak perlu mendengarkannya. Aku sudah sering mendengarnya membuat orang patah hati.” Dia kembali melihat River. “Masuk ke kamar dan pakai bajumu. Aku tak peduli kau pakai yang mana.”
Sebelum berbalik, River tersenyum menggoda. “Fran, kau bersedia kencan denganku?”
Tapi Jeremiah menendangnya keluar dari dapur.
Sekarang… sekarang aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Aku gay. Aku jatuh cinta pada Jeremiah. Dan River, Kakak Jeremiah yang gay, tertarik padaku.
Besok apa lagi?
***
Medan, Minggu, 02 Februari 2014

1 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.