17
Love?
==========
FRAN(POV)
Jemari Jeremiah mencengkram lenganku. Tidak terlalu
keras tapi jelas membuatku jengkel. Bila saja tak ada teman-teman Gabrielle di
sini sudah pasti aku akan menendangnya keluar.
Dia menyeretku dengan paksa ke dapur. Keluar dari
pandangan penuh tanda tanya dari anak-anak itu.
Kecuali Gabrielle.
Tentu saja. Dia pasti bisa menduga apa yang terjadi
meski dia memilih untuk diam.
“Lepaskan aku,” kataku jengkel, menyibakkan tanganku
sampai terlepas dari genggamannya.
“Fran,” katanya menghela napas, “kita harus bicara.”
“Tentang apa?”
“Fran, aku minta maaf karena sudah membuatmu
tersinggung.”
“Aku tak tersinggung. Kau sudah menunjukkan batasan
yang jelas padaku mengenai pertemanan kita ini. Jadi, kau tak perlu menjelaskan
apapun.”
“Fran—”
“Sekarang bila kau tak keberatan, aku ingin membuat
makan malam. Jika kau tak keberatan, silakan angkat kaki dari tempat ini.”
“Fran—”
“Dan bila kau masih bersikeras masuk ke dalam rumahku
maka aku akan menelepon polisi karena kau sudah masuk ke wilayah pribadi orang
tanpa ijin.”
“Demi Setan, Fran, berhenti memotong ucapanku!”
Suaranya menaik, membuatku melonjak kaget.
Jeremiah berdiri tepat di hadapanku, menjulang tinggi
dengan aura murka yang membuatku menciut. Rahangnya terkatup sementara matanya
menyipit.
Aku dilanda ketakutan melihatnya seperti itu.
Dan tak percaya.
Aku tahu Jeremiah tak menyukaiku. Aku tahu dia
membenciku. Aku tahu aku bukan orang yang berarti untuknya seperti Cody ataupun
Aroz. Aku juga tahu kalau dia memaksa menjadi temanku karena dia kasihan
padaku.
Tapi dia tak pernah membentakku.
“Damn,”
gumamnya lalu menarik napas dalam-dalam.
Aku hanya melihatnya dalam diam. Memegangi tepian
meja untuk membuatku bertahan dan tak jatuh karena sekarang kakiku gemetar.
“Fran,” katanya kemudian.
Aku menelan ludah dengan panik.
Tangannya terangkat. Oh God, dia akan memukulku! Menutup kedua mataku dengan ngeri, aku
menunggu tangan Jeremiah menyentuh wajahku.
Bukannya tamparan aku malah merasakan sentuhan lembut
dari tangan besar Jeremiah.
“Kau ketakutan,” gumamnya.
Aku tak mengatakan apa-apa karena aku tak yakin
apakah diriku sanggup bicara.
“Maafkan aku, Fran. Aku tak seharusnya membentakmu
seperti itu.” Dia menarik napas lagi membuat hembusannya menyentuh lembut
pipiku. “Aku juga minta maaf karena
telah bersikap kasar padamu. Perkataanku waktu itu benar-benar bodoh.
Kenyataannya keberadaanmu sangat besar bagiku.”
Mataku membulat kaget. “Sungguh?”
Dia mengangguk. “Aku ini bodoh,” katanya membasahi
bibirnya—gerakan yang entah kenapa menurutku seksi—“aku bukan orang yang
gampang memercayai seseorang karena tidak semua orang akan memperlakukan
kepercayaan kita dengan benar. Cody adalah orang yang mengenalku. Luar dalam.
Dia tak pernah menghakimiku atau menuntutku jadi orang lain. Sedangkan Aroz...
Aroz ada saat aku terpuruk bila Cody tak ada di sisiku. Tapi kau...” dia
berhenti. “Aku belum tahu posisimu di mana.”
Aku menatapnya dengan tak percaya. Dari perkataannya
ada satu hal yang kutangkap.
“Bagimu aku hanya pengganti Cody dan Aroz?” Kataku
lagi. Kemarahanku bangkit lagi.
Matanya membulat kaget. “Fran, bukan seperti itu!”
“Bukan seperti itu? Bukan seperti itu katamu?” Suaraku menaik menyingkirkan
tangannya dari pipiku.
“Fran—”
“Dengarkan aku, Jeremiah. Bila kau ingin membuatku
tahu posisiku ada dimana, kau sudah membuatnya jelas. Sangat sangat jelas. Aku hanya pengganti. Aku tak sama seperti
Cody. Aku hanya orang yang kau kenal dan kau kasihan padaku karena aku tak bisa
berkomunikasi dengan orang lain. Karena aku tak
punya teman.”
“Fran—”
“Aku baik-baik saja selama kau tak ada. Aku baik-baik
saja selama ini walau aku tak punya teman. Aku baik-baik saja meski kehidupanku
membosankan. Aku baik-baik saja selama ini sampai kau membuka pintu
persahabatan untukku. Namun, pada akhirnya, kau melemparku keluar.”
“Fran, aku belum selesai bicara—”
“Aku yang belum selesai bicara Jeremiah!”
“Dengarkan aku dulu, Fran—”
“Tidak. Kau yang harus mendengarkan aku sampai selesai.” Aku memotongnya
lagi. Terlalu marah untuk peduli apa yang ingin dia katakan. Yang aku tahu
sikapnya membuatku sakit hati. Aku pengganti Cody dan Aroz. Aku tak istimewa. “Aku
hanya ingin jadi temanmu! Apa itu sulit?”
“BAHKAN NYAWA PUN AKAN KUBERIKAN UNTUKMU!”
Napasku seakan tertahan di paru-paru. Mulutku yang
hendak membantah lagi terdiam dalam sekejap. Mataku mengerjap beberapa kali.
Apa aku mendengar apa yang ingin kudengar? Apa aku
tak salah dengar? Apa ini kenyataan?
Tapi seperti orang bodoh hal yang kubilang justru, “Apa?”
“Kau mendengarku dengan baik.”
“Aku... aku tak mendengarnya... apa kau baru saja...”
“Daddy,” suara Gabrielle membuat kami melonjak. “Kami
akan makan di luar saja.”
“Jangan. Aku sudah mau pergi. Papamu butuh waktu
sendirian.” Jeremiah memotong. Dia lalu melirikku dengan gelisah. “Uh... aku
tak akan datang lagi bila itu maumu.”
Aku hanya mampu melihat Jeremiah berlalu pergi begitu
saja. Sesuatu dalam diriku mengatakan kalau aku sudah melakukan tindakan yang
bodoh.
“Papa,” Gabrielle memegang tanganku. Aku menunduk
melihatnya, “bila kau tak mengejarnya kau akan kehilangan satu-satunya temanmu
untuk selamanya.”
Dan kalimat itulah yang menyadarkanku.
Aku akan kehilangan satu-satunya temanku.
Satu-satunya orang yang menawarkan dirinya untuk menjadi temanku. Satu-satunya
orang yang mampu membuat diriku keluar dari kebosanan rutinitas.
Aku akan
kehilangan Jeremiah.
Tanpa kutahu kakiku melangkah sendiri mengejar
Jeremiah keluar. Dia nyaris masuk ke dalam mobil sampai aku menghentikannya
dengan cara yang tak kuduga.
Dengan memeluknya.
“Fran?”
What the hell?
Pikiranku menjerit karena rasa malu dan tubuhku merespon cepat dengan melepas
pelukanku. Aku tak pernah lepas kendali sebelumnya dan aku tak tahu apa yang
harus kulakukan jika sudah seperti ini.
“Uh...”
Dia menunduk. “Apa?”
“Uh... aku... kurasa...” karena rasanya lebih mudah
bagiku untuk melihat sepatuku daripada melihatnya untuk bicara maka aku
melanjutkan, “kurasa aku terlalu berlebihan. Maksudku, kau benar soal... euh...
Cody adalah sahabat baikmu... aku terlalu egois menginginkanmu hanya untukku...”
“Apa?”
“Bukan menginginkan seperti itu, karena kau manusia
bukan barang, jadi aku tak boleh mengatakan kalau kau adalah milikku. Maksudku
bukan seperti itu—hanya sebagai sahabat. Oh, aku juga tak boleh melakukan hal
itu. Kau orang yang bebas. Kau berhak memilih orang yang tepat untuk jadi
temanmu. Aku... kurasa...”
“Fran,” Jeremiah menghentikan ocehanku yang tak jelas
dalam sekejap hanya dengan suaranya, “kau ingin mengatakan apa sebenarnya?”
“Aku ingin jadi orang yang penting dalam hidupmu.”
Oh God! Apa
yang kukatakan? Lagi-lagi pikiranku menjerit frustasi dan perasaanku
membalas dengan sorakan antusias.
“Ok,” kata Jeremiah pada akhirnya.
Aku mengerjap. “Huh?”
“Tanpa aku mau kau sudah jadi orang yang penting
dalam hidupku, Fran. Kau mengambil salah satu peran di sini.” Dia menunjuk dada kirinya—tempat dimana jantungnya berada. “Kuharap
kau tak akan mengkhianati kepercayaanku suatu hari nanti. Perkataanku tadi
sungguh-sungguh. Aku akan memberikan nyawaku bagi orang yang penting dalam
hidupku.”
Rasanya aku ingin menangis. Aku tak salah dengar. Dia
bersungguh-sungguh. Hanya dengan melihat matanya saja aku tahu dia jujur.
“Jadi, kita berbaikan sekarang?” tanyanya lagi,
menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Jujur saja, rasanya tak menyenangkan
bertengkar denganmu.”
Aku hanya mampu mengangguk. Sebenarnya, aku ingin
memeluknya lagi, tapi untunglah aku bisa menahan diri, meski godaannya berat
sekali. “Uh… ya, asalkan tak ada kencan lagi.”
Dia mengerang jengkel. “Ayolah, Fran, kalau kau tak
berkencan, kau tak akan dapat pacar.”
“Jeremiah, aku baik-baik saja tanpa pacar,” kataku
keras kepala.
“Sekarang kau bisa bilang begitu, tapi bagaimana dua
puluh tahun lagi saat aku mati?”
Aku terbelalak, memukul lengannya. “Kau tak boleh
bilang begitu! Kau tak akan mati semuda itu.”
“Walau aku tak mati, aku tak mungkin selamanya berada
bersamamu. Lihat saja Cody, dia sudah bersama Keyna sekarang dan pasti akan
sibuk membangun keluarganya sendiri. Tentu, kami akan bertemu lagi, tapi
prioritas utamanya akan berubah. Begitu pula denganku, aku juga pasti akan
membangun keluarga sendiri, dan kau juga harus melakukan hal yang sama. Kau tak
mungkin tertinggal di belakang kan?”
Untuk yang kesekian kalinya dalam satu jam ini aku
sadar dengan posisiku. Jeremiah tak mungkin ada di sampingku. Dia benar. Pada
suatu hari nanti dia akan membangun keluarganya sendiri. Bersama seorang
wanita.
Bukan aku.
Tunggu sebentar! Kenapa aku membayangkan diriku
sendiri bersama Jeremiah? Harusnya, aku membayangkan diriku bersama seorang
wanita dan berbahagia bila Jeremiah menikah dengan wanita juga. Tapi, kenapa
aku yang sedih mendengar kabar itu?
Kau
menyukainya…
“Fran, kau baik-baik saja?”
“Tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak. Ini tak mungkin,”
kataku cepat, menutup kedua telingaku.
Kau
menyukainya…
Aku tak menyukainya. Aku tidak tidak tidak tidak
tidak tidak tidak mungkin menyukainya.
Kau
menyukainya. Akui saja!
Keluar dari kepalaku! Aku tak menyukai Jeremiah
seperti itu!
Kau menyukainya…
sangat… sangat…
“TIDAK! KELUAR KAU SEKARANG JUGA!” teriakku jengkel.
“Ok, sepertinya kau butuh waktu sendiri,” kata
Jeremiah.
Aku mengerjap, terbengong melihatnya masuk ke mobil
dengan jengkel lalu kabur begitu saja.
Hatiku mencelos.
Kau menyukainya,
suara sialan itu bernyanyi kembali di kepalaku.
AAAARRRRRGH!
Aku tak mungkin menyukai Jeremiah!
***
AROZ(POV)
Karangan bunga mawar merah besar lagi-lagi bertengger
manis di depan pintu tokoku, lengkap dengan kartunya yang berwarna pink. Setiap
pagi, sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk menerima mawar, tapi perbedaannya,
kali ini ukuran karangan mawarnya lebih besar.
Menghela napas, aku mengambil karangan itu sebelum
membuka pintu tokoku, lalu memerhatikannya dengan seksama. Bunga-bunga yang
sangat bagus, cantik dan juga wangi.
Aku harus mengakui bahwa hatiku tersentuh karena
sikap keras kepala James. Walau aku sudah menolaknya tiap kali, bahkan selalu
bersikap dingin padanya, dia masih bertahan mengejarku. Aku tak tahu apa yang
dia cari dariku dan aku tak mau mengerti.
Tapi, kali ini, aku merasa ada sebuah perbedaan.
Aku merasa tembok pertahananku runtuh perlahan-lahan
karenanya.
Would you have dinner with me, please? –J
“Beri dia kesempatan,” suara Cody perlahan-lahan
masuk ke dalam otakku. Aneh memang karena mantan kekasihku sendiri yang
menyuruhku untuk move on. “Dunia ini
bukan hanya diisi olehku, Aroz. Kau akan melihat bahwa kau berhak mendapat yang
terbaik. Kali ini, kebahagiaanmu menunggu di depan pintu tokomu setiap hari.
Kau hanya perlu menyambutnya.”
Aku tahu dia benar, tapi aku belum berani melangkah.
Cody adalah satu-satunya orang yang selalu berdiri di
depanku. Dia mengajari segala hal. Mungkin, dia tak sejenius yang dipikirkan
orang, tapi dia adalah duniaku. Dulu, aku juga adalah dunianya.
Dia orang pertama yang tidak melihatku berbeda. Dia
tak memerlakukanku seperti orang lain—bahkan orang tuaku juga tak bisa
menandinginya. Dia mengajariku basket, sepak bola, baseball, bahkan meninju
orang—meski aku sangat buruk. Dia akan maju ke depan untuk menghadapi orang
tuaku bila aku ingin hiking, camping,
lompat tebing, naik motor, bahkan olah raga ekstrim lain. Dia akan memegang
tanganku dalam gelap, memberikan jaketnya bila hujan, menangkapku ketika jatuh,
berkata jujur bila makananku tak enak, dan akan marah besar bila dia tak suka
aku terlalu memaksakan kehendak.
Aku ingat saat pertengkaran kami yang paling besar,
dia tak mau bicara selama seminggu padaku. Itu pertama kalinya aku tak menuruti
perkataannya dan aku menyesal sekali karena dia jadi terluka karenanya.
“Aku tak
melarangmu naik motor. Aku tak melarangmu ngebut! Aku melarangmu balapan dengan
mereka! Apa kau tahu taruhan dengan mereka akan membahayakan nyawamu? Mereka
tak pernah jujur! Mereka selalu curang! Aku tak peduli apa harga dirimu terluka
atau tidak! Yang kupentingkan adalah nyawamu! Aku tak ingin kau ikut, jadi
jangan coba-coba ikut! Bila kau ikut, maka kita berakhir! Camkan kata-kataku!”
Andai saja tak ada Jeremiah, mungkin hubungan kami
sudah berakhir saat itu.
Bibirku tersenyum kecil. Aku tak menyesal dengan apa
yang terjadi antara aku dan Cody. Dia sudah berbahagia dan aku juga ikut
berbahagia untuknya.
Cody orang yang baik dan dia pantas mendapatkannya.
“Halo, Aroz?” suara James terdengar di ponselku.
Aku bersandar di meja kerjaku, memandangi mawar yang
saat ini sudah ada dalam pot dan masih tampak segar. “Aku mendapat kartumu.”
Dia menunggu dalam diam, aku bisa merasakan kepanikan melandanya. “Bagaimana
kalau hari ini jam delapan?”
Terdengar grasak-grusuk di seberang dan suara “thud”
dan “Ow, shit!”
Aku tertawa kecil. “Kau baik-baik saja?”
Dia terengah ketika menjawab, “Oh, ya, hanya—ow, man—lupakan saja. Aku akan
menjemputmu jam delapan, ok? Sphagetti
cocok untukmu?”
“Aku orang Italy.”
“Oh, erm… ok. Aku akan menjemputmu saja. Jujur saja
aku belum merancang hal ini. Kau membuatku terkejut.”
“Aku bisa mendengarnya.”
Kami terdiam lagi beberapa saat. Tarikan napasnya di
telepon membuatku yakin dia masih ada di seberang.
“Aroz…”
“Hmm?”
“Terimakasih kau sudah memberiku kesempatan.”
“Kuharap kau tak menyia-nyiakannya.”
“Jangan khawatir, aku akan membuatmu terkesan.”
Sisa hariku kuhabiskan untuk berkonsentrasi penuh
pada pekerjaanku. Aku tak ingin terlalu antusias terhadap kencan kali ini. Aku
sudah lama tak berkencan, bahkan nyaris sudah tujuh tahun, aku tak tahu apakah
aku masih mengingat bagaimana caranya.
Begitu aku selesai, kepanikan melandaku. Bagaimana
kalau di kencan kali ini, James merasa kalau aku orang yang membosankan? Kesan
pertama sangat penting kan? Apakah aku ingin membuatnya terkesan? Aku harus
pakai apa?
Pada akhirnya, aku baru bersiap lima belas menit
menjelang jam delapan. Memakai kaos sederhana berwarna kuning dengan celana
biru dan boot ringan. Mantel biruku terkancing rapi. Syal coklat rajutan
terlilit manis di leher dan tergantung sampai ke pinggang. Aku masih memakai
topi kupluk begitu pintu rumahku diketuk.
James berdiri di depan pintu, tampil tampan dan
kasual. Untunglah dia tak berpakaian formal, kalau tidak aku pasti salah
kostum. Baju merahnya terkancing sampai dada, ditutupi dengan mantel hitam
berat, celana jeans dan sepatu mengilap. Rambut pirangnya disisir atraktif,
membuatnya tampak lebih tampan.
Jantungku berdetak melihatnya. Dia tampil memesona
dengan caranya.
“Hai,” sapanya, tersenyum.
“Hai,” balasku, kemudian menutup pintu.
Aku mulai tak yakin dengan kencan kali ini. Kedua
tanganku sudah basah karena keringat. Aku tak bisa melakukan ini. Dia terlalu
tampan untuk orang semembosankan sepertiku.
“Aku tak membawa mobilku,” katanya, “kau tak
keberatan bila kita jalan kaki ke restoran kan?”
“Untuk orang yang ingin membuatku terkesan, kau jelas
tak berusaha secara maksimal,” kataku.
Anehnya, dia malah tertawa kecil. “Jika naik mobil,
kita akan cepat sampai, tak ada waktu bermesraan.”
Kali ini, aku yang tertawa. “Kau benar-benar
memanfaatkan kesempatan.”
Kami berjalan di sepanjang trotoar, melewati beberapa
orang yang berjalan dengan terburu-buru. Bus-bus besar lewat dan berhenti di
persimpangan. Aku dan James mengobrol hal-hal yang ringan. Dia tidak seperti
yang ada dalam dugaanku. Dia orang yang lucu, humoris, dan menyenangkan. Dia
juga sangat santai dan menarik perhatian hanya dengan penampilannya saja.
Kenapa dia tertarik pada orang sepertiku juga menjadi
pertanyaan yang besar. Dia bisa mendapatkan siapa saja yang dia mau, tapi
kenapa aku yang dia pilih? Aku tak menarik perhatian. Aku—seperti yang biasa
dikatakan oleh kedua orang tuaku—adalah boneka rusak yang terjerat dalam masa
lalu. Aku tak ingin dia mendapatkan orang sepertiku.
“Oh, kita sudah sampai,” katanya.
Aku tercengang melihat dimana tempat kami makan.
Tempat ini hanya café biasa, tidak terlalu istimewa. Dahiku mengerut
melihatnya, tapi dia memilih tersenyum padaku dan membukakan pintu untukku.
“Kuharap kau tak keberatan makan di tempat seperti
ini,” katanya.
Aku menggeleng. Tempat yang manapun sama saja
menurutku.
“Meski café ini biasa saja, makanan di sini sangat
enak,” katanya lagi begitu kami duduk di dekat salah satu tumbuhan menjalar di
dalam ruangan. Seorang pelayan wanita memberikan kami menu dan hanya
berkonsentrasi pada James seorang. Kenapa aku tak kaget? Oh, ya, benar, soalnya
Cody juga sering mengalami hal yang sama tiap kali kami kencan.
“Sori, aku gay,” kata James begitu wanita itu
menyerahkan nomor ponselnya.
Pelayan itu tampak kaget, melirik kami berdua, lalu
mendengus jijik dan pergi begitu saja.
“Kau tak seharusnya berkata begitu,” kataku.
“Memangnya kenapa? Aku tak tertarik padanya. Aku
gay,” katanya, mengangkat kedua bahunya.
“Di dunia ini tak semua orang menerima gay,” kataku.
“Aku bangga menjadi diriku sendiri. Kenapa harus
membohongi diri sendiri hanya untuk membuat orang lain bahagia?” katanya lagi.
Aku tertegun lagi hanya dengan perkataannya. Dia benar.
Pelayan lain datang, kali ini lebih ramah dari
sebelumnya. “Maafkan temanku. Dia sedang stress karena pacarnya mencampakkannya
dan sekarang dia patah hati karena ada dua pria tampan bersama.”
“Bila dia berhenti bersikap seperti itu, aku yakin
para pria akan antri untuk mendapatkannya,” James berkata tak peduli, menarik
makanannya.
Kami makan dengan santai. James benar. Makanan di
sini enak sekali. Sekian lama aku tinggal di tempat ini dan aku tak pernah tahu
ada restoran seenak ini dua ratus meter dari tempatku. Aku memang terlalu
terkunci dalam duniaku sendiri.
Selesai makan malam, dia mengajakku berjalan-jalan di
taman sambil makan crape dan minum kopi. Obrolan kami tak pernah berakhir. Aku
mengetahui kalau dia seorang konsultan di salah satu perusahaan swasta,
memegang bagian marketing. Dari caranya bercerita, aku tahu kalau dia menyukai
pekerjaannya. Dia tak harus selalu berada di kantor, itu sebabnya dia bisa
selalu berkunjung ke tokoku.
“Apa hal memalukan yang pernah kau alami?” aku bertanya.
James meringis. “Aku terlambat datang ke kantor dan
tak memakai celana, padahal aku ada rapat besar, ditambah lagi, mantan pacarku
menulis LOSER di dahiku.”
Aku tertawa. Astaga, itu sangat memalukan.
“Kau sangat suka menertawakanku ya,” James geleng-geleng
kepala. “Apa hal yang tak kau suka.”
“Marmut. Kau?”
“Kucing. Aku alergi kucing. Berapa mantan pacar yang
kau punya?”
“Satu.”
Matanya membulat kaget. “Sungguh? Siapa?”
“Sekarang pertanyaanku. Berapa mantan pacarmu?”
“Lima? Oh, tidak, tunggu, biar kuingat dulu,” dia
mengangkat tangannya, “Tiga. Ya, cuma tiga.”
“Apa yang terjadi dengan yang dua lagi?”
“Oh, mereka bukan pacar. Siapa mantanmu? Aku yakin
dia pasti sangat spesial.”
“Cody.”
Begitu namanya keluar dari bibirku, James mengerjap.
“Cody?” katanya tak percaya. “Maksudmu, Cody
Handerson?”
Aku mengangguk.
“Kenapa kalian putus?” dia bertanya hati-hati.
Aku menghela napas, melihat langit yang berawan dan
tanpa bulan. “Karena hubungan kami terlarang.”
James mengerutkan dahi. “Apa Cody menyakitimu?”
Aku tertawa kecil. “Dia satu-satunya orang yang tak
akan pernah menyakiti orang lain,” kataku. “Cody selalu mementingkan orang lain
terlebih dahulu. Dia tak egois. Dia orang yang menyenangkan dan percaya diri.
Setiap kali aku bersamanya, tak pernah sekalipun dia egois. Dia memerhatikanku
melebihi dirinya sendiri. Dia bahkan lebih memilihku dibandingkan
kebahagiaannya sendiri. Bila aku memintanya datang tengah malam, dia akan
datang. Bila aku sakit, dia akan menungguiku di jendela kamarku semalaman. Dia…
dia hal yang terbaik yang pernah diberikan padaku.”
Bukan yang terbaik. Dia sempurna.
Bila bersamanya, aku tak merasa kekurangan apapun.
Tapi, keadaan sudah berubah. Itu sudah jadi masa
lalu.
Yang aku punya saat ini hanya kenangan.
“Kau masih mencintainya,” kata James.
Aku menoleh.
James memandangi wajahku dengan raut wajah datar
tanpa ekspresi. Aku belum pernah melihat ekspresi itu sebelumnya.
“James…”
“Pantas saja kau menangis saat itu,” katanya.
“Saat ini, kami sudah jadi masa lalu.”
“Tapi, kau masih berharap padanya.”
Aku tak ingin mengakuinya, meski itu benar. Walau aku
tak bisa mendapatkan Cody sebagai kekasih, aku ingin bersamanya sebagai teman.
Kugenggam cangkir kopiku erat-erat, menggigit bibir
bawahku dengan gugup. “Aku sangat menyedihkan, ya kan?”
James tersenyum kecil, menggenggam tanganku. “Kau
hanya jatuh cinta padanya.”
Tenggorokanku tercekat, melihat betapa eratnya
caranya memegang tanganku. Cody satu-satunya orang yang pernah memegang
tanganku dengan cara yang sama karena aku tahu rasanya. Energi yang dia
tularkan padaku sama rasanya saat Cody memberikannya padaku.
Untuk pertama kalinya, dadaku yang hampa berdegup
kembali.
“Lebih baik kita pulang, kau harus bangun pagi kan?
Jangan sampai kau terlambat membuka toko,” katanya.
James tidak melepas pegangannya padaku, jadi aku
berjalan di sampingnya dalam jarak yang dekat sekali. Wangi parfumnya begitu
nyaman, manis.
“Ah, salju,” katanya tiba-tiba, melihat ke langit.
Butiran-butiran kapas putih jatuh dari langit yang
gelap. Salju pertama di bulan November.
“Ideku tak buruk juga mengajakmu kencan jalan kaki
kan? Jalan kaki sambil bergandengan tangan di bawah salju terdengar cukup
romantis untukmu?” tanyanya, menunduk melihatku.
Aku tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.
“Sangat romantis,” kataku setuju.
“Harusnya aku membawakan topi untukmu,” katanya,
menyingkirkan salju di atas kepalaku.
“Atau untukmu juga,” kataku.
James nyengir lebar mengusap wajahku dengan
jemarinya. “Kau lebih cocok tersenyum, Aroz.”
Aku merasakan wajahku memanas. “Uh… thanks.”
Dia tertawa lagi. “Kau juga manis kalau malu-malu
begitu.”
Kali ini aku meninju tangannya. “Hei, aku laki-laki.”
“Aku tahu itu, kalau tidak aku tak akan mengajakmu
kencan. Aku kan gay,” katanya.
Beberapa orang yang lewat melirik kami. James memilih
tak peduli. Dengan entengnya dia memeluk pinggangku.
“James…”
“Sori, Aroz, aku tahu kalau kau merasa tak aman.
Tapi, tak semua orang akan menerima kita apa adanya, aku hanya ingin kau
percaya padaku. Kau begitu penting, aku tak akan menyakitimu.”
Aku bukan orang yang percaya diri. Aku tahu hal itu
sejak SMP. Cody dan Jeremiah adalah orang yang berhasil memunculkan sifat itu.
Bila bersama mereka, aku bisa bertingkah apa saja dan mereka tak akan
menertawakanku. Tapi, begitu mereka tak ada lagi, sifat itu muncul. Aku takut
dengan pandangan orang di sekitarku. Bila orang tuaku saja tak bisa menerimaku
yang merupakan darah daging mereka, bagaimana orang lain bisa melakukan hal
yang sama?
Tapi ini James. Dia memintaku seperti Cody memintaku
untuk percaya padanya.
“Beri dia
kesempatan…”
Aku akan memberikannya kesempatan. Aku ingin sekali
lagi memercayakan hatiku pada seseorang, dan kuharap, dia orang yang tepat.
“Aku hanya ingin bahagia,” gumamku, menyandarkan
kepalaku pada dadanya.
Detak jantungnya terdengar di balik kaosnya, berirama
seperti nyanyian dan menghangatkan.
Aku tak peduli apa yang dikatakan orang. Aku tak
peduli apa pendapat mereka melihatku berpelukan dengan seorang pria. Mereka
bebas mengatakan apapun yang mereka inginkan. Yang terpenting saat ini adalah
aku bersama dengan seseorang yang tak malu saat bersamaku. Orang yang ingin
bersamaku. Orang yang ingin membahagiakanku. Orang yang menerimaku.
Bibirku tersenyum kecil. Aku menghargai kesempatan
ini sampai tiba saatnya James memilih untuk keluar dari hidupku—entah itu
kapan.
***
Sukhumvit, Minggu,
26 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar