16
You Said “Friends”
==========
FRAN(POV)
Jeremiah tengah menungguku di depan café tempat kami
biasanya ngobrol. Di kedua tangannya ada dua cangkir kopi, yang dia berikan
satu padaku, sebelum akhirnya merangkul bahuku dan menarikku keluar sebelum aku
mengucapkan apa-apa.
“Erm,” kataku, merasa sedikit gugup melihat
tangannya.
“Kau harus menemaniku ke suatu tempat. Tak jauh dari
sini,” tanpa banyak bicara, dia membawaku melewati trotoar, melewati para
pejalan kaki.
“Kita mau kemana?” kataku, meneguk kopiku.
“Kau akan tahu nanti,” katanya nyengir lebar.
Wajahku memanas melihatnya betapa cemerlangnya
senyumannya. Matanya lebih bercahaya dan lebih hidup daripada sebelumnya. Bukan
hanya itu saja, dia tampak—
“Fran, kau kenapa?”
Suara Jeremiah membuatku mengerjap. Dengan cepat aku
menggeleng dan meminum kopiku agar aku tak harus menjawab pertanyaannya. Ada
apa denganku? Kenapa aku memandanginya seperti itu? Aku tak pernah melakukan
hal itu sebelumnya.
“Oh, ini dia. Ayo.”
Lagi-lagi dia menarikku masuk ke salah satu toko. Aku
hanya menurut tanpa banyak bicara, meminum kopiku dengan susah payah hanya
untuk membuatku sibuk dengan sesuatu tanpa harus merasa gugup dengan
keberadaannya.
“Mr Huges!” seseorang menyapanya.
“Jeremiah, Cole. Jeremiah.”
Pria itu memperbaiki, menjabat pria pendek mengenakan kacamata yang baru keluar
dari salah satu pintu. “Kalau kau memanggilku Huges lagi, aku akan meninjumu.”
Yang mengherankan, pria kecil itu tertawa kecil. “Kau
tak berubah.” Lalu dia melirikku.
“Ini Fran Cattermole, profesor di kampus Cody. Fran,
ini Ivan Cole. Dia pemilik tempat ini.”
Kami berjabat tangan. Cole tersenyum kecil, melirik
Jeremiah.
“Berubah selera, Jeremiah? Kupikir, kau tak akan
pernah berselingkuh dengan Cody,” katanya.
Dia tertawa, tampak bangga. “Jangan khawatir. Aku sehidup
semati dengan Cody. Aku setia padanya.”
Cole mendengus. “Sombong seperti biasa,” gumamnya dan
Jeremiah tertawa lagi. “Lalu, ada yang bisa kubantu?”
“Yep. Aku ingin rancangan pernikahan.”
Aku terkejut, terbatuk-batuk parah begitu menyesap
kopiku. Dahi Jeremiah mengerut padaku, menepuk-nepuk punggungku tapi tak
mengucapkan apa-apa. Cole juga tak terlalu memerhatikanku karena dia segera
mengalihkan pandangannya pada Jeremiah.
“Jadi, kau akan menikah?” Cole nyengir lebar. “Siapa
wanita sial yang bersedia sehidup semati denganmu? Aku yakin dia tak melihat
para mantanmu antri menunggu kalian cerai.”
Aku tak mendengar tawa Jeremiah. Berita pernikahan
ini terlalu mengejutkan.
Jeremiah akan menikah. Dia akan menikah!
Oh my god! Apa yang kupikirkan? Tentu saja dia akan
menikah.
Tapi, dengan siapa?
“… bukan aku, tapi Cody,” sayup-sayup terdengar suara
Jeremiah, membuatku mengerjap lagi dan kembali menatapnya.
“Cody?” bisikku.
Jeremiah mengangguk padaku.
“Cody?” Cole tampak terkejut. “Dengan siapa? Aroz?”
Kali ini mulutku yang ternganga, “Aroz?”
Jeremiah mengibas-ngibaskan tangannya. “Mereka sudah
putus. Kau hidup di zaman berapa sih? Dia menikah dengan wanita, kali ini.”
“Oh,” Cole mengangguk. “Well, sayang sekali. Kupikir mereka akan menikah. Chemistry mereka sejak SMP sangat luar
biasa. Jadi, akhirnya bos gay kita jadi hetero juga.”
Apa? Cody? Gay?
Berita ini terlalu luar biasa. Otakku nyaris tak bisa
menampung semuanya.
“Anggap saja begitu. Nah, aku ingin kau merancang
pernikahannya. Kau satu-satunya EO terbaik yang kukenal. Boleh aku dapat
potongan harga?”
Cole tertawa kecil. “Dasar milyarder pelit,”
gumamnya, kemudian menyuruh kami untuk mengikutinya masuk ke dalam ruangan
kecil. Jeremiah menarik bangku untukku, menyuruhku duduk duluan, lalu dia duduk
di sampingku.
Cole menaikkan alisnya, membuka beberapa album
koleksinya. Dia berdeham, “Memangnya, Cody ingin punya konsep apa?”
“Cody bilang kalau Keyna hanya ingin pesta taman sederhana,
tapi dengan konsep fairy tale. Dia
ingin putih mendominasi beserta dengan warna perak dan biru langit.”
Cole manggut-manggut. “Kurasa, aku bisa mengerti.
Bagaimana kalau…”
Aku mendengarkan mereka bicara mengenai konsep,
pemilihan tempat yang cocok, makanan dan minuman yang pas. Jeremiah mengikut
sertakan aku dalam pemilihan, karena—seperti katanya—aku punya selera makanan
dan minuman yang bagus.
“Ini warna yang bagus,” gumamku, melihat warna aqua
lembut yang ada di salah satu gambar.
Cole berdiri di sampingku, mengangguk setuju. “Biar
kutebak, kau suka danau.”
Aku mengangguk. “Ini warna yang menenangkan.”
“Kau bisa meletakkannya ke dalam pernikahanmu nanti,”
katanya, melirik Jeremiah yang berdiri di ujung lain, berbicara pada salah satu
staf Cole. “Jeremiah juga suka warna aqua, hanya saja lebih biru.”
“Oh,” gumamku.
“Berapa lama kalian saling kenal?”
“Erm, belum terlalu lama. Mungkin empat bulan.”
Cole mengangguk lagi, menggosok dagunya, melirikku
dari atas sampai ke bawah. Aku berdeham, merasa tak nyaman melihat caranya
memandangku, apalagi dia tersenyum seperti Gabrielle. “Kau orang pertama,”
gumamnya, lalu berbalik pada Jeremiah, tidak menjelaskan apapun lagi.
Orang pertama? Orang pertama apa?
***
JEREMIAH(POV)
Aku mencintainya, menyayanginya sepenuh hati, segenap
jiwa dan ragaku. Dan karena alasan itu juga, makanya aku bersedia untuk mencoba
memaafkan Keyna.
Andai saja Cody tidak memohon, ngambek, dan sakit, aku
tak akan setuju mengenai pernikahan ini. Dia berhak mendapatkan yang lebih
baik! Kenapa harus bersama gadis seperti Keyna yang membuatnya sengsara? Cinta
memang aneh.
Wajah Cody yang gembira begitu aku bilang aku setuju
dengan pernikahannya, aku jadi lupa dengan kemarahanku dan lupa memberitahu
masalah penting.
Aku harus memberitahu Cody mengenai Daphne.
Sialnya, aku tak mungkin memberitahunya sekarang. Dia
sedang bahagia. Aku tak ingin dia stress memikirkan masalahku. Aku bisa
membayangkan wajahnya yang penuh horor begitu aku menyampaikan kalau aku akan
jadi ayah, lalu lupa mengenai kebahagiaannya. Dia itu lebih mementingkan orang
lain daripada dirinya sendiri.
Nanti saja.
Aku akan punya kesempatan lain untuk menyampaikannya.
Aku tak perlu buru-buru.
“Jeremiah,” Mataku segera beralih dari cangkir kopi
menuju wajah Fran. Menuju matanya. Man,
matanya benar-benar hijau. “Kau
baik-baik saja?”
Aku mengangguk. “Yep. Oh, ya, bagaimana dengan
Gabrielle?”
“Dia sehat. Akhir-akhir ini dia terlalu banyak makan
daging dan susu,” Fran tampak tak percaya dengan perkataanku, tapi memilih tak
bertanya. Bagus, dia masih mengerti kalau aku dan dia masih punya jarak.
Yep, jarak kami memang selebar jurang, menganga
dengan adanya api dari bawah.
Ha, aku belum bersedia melewati jurang itu untuknya.
“Dia remaja. Dia butuh daging dan susu. Apa kau tak
lihat seberapa pendek dan kurusnya dia?”
“Akhir-akhir ini dia juga tak banyak bicara dan tidur
lebih awal.”
Dahiku mengerut. “Apa dia pernah terlambat pulang?”
“Tidak.”
“Apa dia pernah kabur tengah malam?”
“Tidak.”
“Apa ada laporan kejahatan dari sekolahnya?”
“Tidak.”
“Apa nilai-nilainya turun?”
“Tidak.”
“Lalu, apa masalahnya?” kali ini aku menggeleng,
tertawa kecil.
Dia menggigit bibir. “Aku hanya merasa kalau… kalau
hubungan kami kembali seperti dulu.”
“Fran, dia remaja,”
kataku lagi. “Ini saat-saat dimana dia ingin membuktikan dirinya. Kau tahu
seberapa takutnya aku melihatnya terlalu nempel padamu? Memelukmu? Dia seperti
anak kecil berusia lima tahun di mataku daripada anak remaja. Sekarang aku
salah. Dia remaja, masa transisinya memang agak sedikit terlambat, tapi dia
baik-baik saja. Itu hal biasa.”
“Kau mengatakan itu seolah kau punya anak.”
Aku memutar bola mata, menyandarkan punggungku. “Aku
jadi penjaga bayi, bahkan masih.” Dia beruntung hanya menghadapi satu orang
remaja. Aku menghadapi empat orang remaja dan dua diantaranya nakalnya minta
ampun.
Aku ingat saat dimana aku dipanggil Kepala Sekolah
karena Michael dan Raphael menakut-nakuti guru dengan cara bicara mereka yang
sinkron itu. Atau saat dimana mereka berdua menghancurkan laboratorium Eleanor.
Atau saat mereka mencoret-coret desain baju Cassandra. Atau saat mereka
memasukkan tikus ke kamar mandi Jamine. Atau saat mereka menukar tugas Ezekiel.
Atau—ya ampun, daftar kenakalan mereka lebih panjang dari aku dan Cody.
Hanya saja, mereka tetaplah anak-anak.
Kedua orang tuaku mengadopsi mereka karena ibu mereka
tak menginginkan mereka dan membuang mereka. Mereka masih berusia tiga tahun,
nyaris mati kedinginan di bawah pohon palm di awal musim dingin. Ibuku
tersayang yang tak sengaja lewat melihat mereka, membawanya ke dalam mobil,
membersihkan mereka, memberi mereka makan, perlindungan, dan juga keluarga.
Selama dua bulan Michael dan Raphael kesulitan
beradaptasi. Mereka tak mengenal kami, dan mereka kesulitan bicara karena masih
terlalu kecil. Jadi, Ayahku tersayang,
memberi titah agar aku mengurus mereka. Awalnya, aku keberatan. Aku masih ingin
main dan punya masalahku sendiri. Cody mulai bertingkah menjauhiku karena dia
bilang kalau dia gay, belum lagi banyaknya murid-murid tak tahu diri yang
menyerang Cody. Belum lagi nilai-nilaiku yang anjlok.
Tapi, pada akhirnya, aku berhasil. Aku sarkastik, dan
mereka selalu tertawa tiap kali aku bicara. Cody kadang memukul kepalaku bila
aku mengajarkan kata-kata kurang ajar pada mereka. Hei, salahkan Ayahku yang
menyuruhku mengurus mereka, jangan aku. Aku tak meminta mengurus mereka.
Mereka berdua menjadi lebih dekat denganku daripada
yang lainnya dan lebih manja. Catat: MANJA SEKALI.
“Apa yang kau pikirkan?” kata Fran. Aku kembali ke
alam nyata. “Kau tersenyum sendiri.”
Sekarang, aku baru sadar kalau aku tersenyum.
Menggeleng kecil dan mengusap rambutku, aku melihat keluar jendela, “Hanya
mengingat masa lalu.”
“Sesuatu seperti apa?”
“Aku tak mau mengatakan apapun.”
“Kenapa?”
“Aku tak mengenalmu.”
“Apa maksudmu?”
Oh sial. Begitu kalimat itu keluar, aku tahu kalau
aku sudah mengatakan hal yang salah. Fran terlihat kesal di seberang meja,
meletakkan cangkir tehnya sambil berderak.
“Erm, aku merasa kalau hubungan kita belum harus
bicara dari hati ke hati. Aku belum merasa kalau aku bisa mengatakan segala
sesuatu dengan bebas padamu.”
“Bukankah kita ‘teman’?”
“Kita memang teman, tapi bukan teman yang seperti
itu.”
“Memangnya, ada berapa jenis ‘teman’ yang kau maksud,
Jeremiah?”
Aku mengerinyit mendengarnya memanggilku ‘Jeremiah’
dengan sinis. “Fran, kita berteman, tapi tidak seperti yang kau pikirkan. Kita
belum sahabat. Aku belum bisa—”
“Dan pada siapa kau akan memberitahukannya? Cody?”
Aku mengangguk. “Dan Aroz.”
“Selain itu?”
Aku terdiam. Selain itu? Well, tak ada. Aku punya banyak teman. Aku orang yang sosialis.
Tapi untuk masuk ke dalam kehidupan pribadiku? Aku tak segampang itu memercayai
orang.
Fran tiba-tiba berdiri, menatapku dengan jengkel. Aku
ikut berdiri.
“Fran, kau mau kemana?” kataku memegang lengannya.
Dia menyingkirkan tanganku dengan kasar. “Apa
pedulimu?”
“Fran—”
“Kau temanku,
bukan sahabatku. Aku tak harus
melaporkan apapun padamu kan?”
Itu sangat menyakitkan. Sungguh.
“Fran!” aku mengejarnya keluar dari café, tak peduli
dengan pandangan orang di dalam sana. Persetan dengan kalian. Aku berhasil
mengejarnya sebelum dia masuk ke dalam mobil, menutup pintu mobilnya sebelum
dia masuk. “Fran, jangan seperti anak kecil!”
Dai berbalik. “Anak
kecil? Anak kecil, katamu?”
desisnya berbahaya. “Kaulah yang seperti anak kecil, Jeremiah! Kau masuk ke
dalam kehidupanku! Aku menceritakan semuanya padamu! Aku mengijinkanmu menemui
kedua orang tuaku! Aku menerimamu masuk ke dalam rumahku meski aku tak pernah
mengundangku! Aku mengiyakan setiap perkataanmu yang ingin jadi temanku. Aku
menerapkannya, Jeremiah. Aku mencoba bersabar mengikuti setiap perkataanmu yang
ingin membantuku. Tapi, begitu aku mencoba masuk ke dalam kehidupanmu, kau
mendorongku menjauh. Kau mengunciku dari hidupmu. Kau tak ingin aku mengenalmu.
Kenapa aku harus repot-repot menerima persahabatan darimu, jika hanya aku yang
ingin jadi sahabatmu? Bagaimana bisa persahabatan ini berjalan, bila hanya aku
yang bergerak? Katakan padaku, Jeremiah, apakah aku pantas diperlakukan seperti
ini olehmu? Rasanya, kau tak ada bedanya dengan kolegaku. Mereka juga teman.”
Mulutku terbuka lebar. Wow, ini pertama kalinya dia
mengucapkan sesuatu yang membuatku tak bisa bicara.
“Fran—”
Dia menyingkirkanku. “Jangan mengatakan apapun,
Jeremiah. Aku tak mau tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Aku hanya temanmu.”
“Fran—”
“Menyingkir!”
Ekspresi Fran membuatku mundur seketika,
membiarkannya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Kemarahannya berhasil
membuatku panik. Dia tak pernah marah sebelumnya. Tak pernah seseram ini. Dan
sialnya aku tak tahu harus melakukan apa.
“Fran, biar kujelaskan,” aku menggedor jendela, tapi
dia malah menghidupkan mesin mobilnya dan pergi menjauh. Dia bahkan tak
berhenti meski aku mengejarnya. “Fran! Fran!”
Dan dia pergi.
Aku terengah, nyaris berteriak jengkel.
Aku melihat lagi ekspresi itu. Kecewa. Hal yang sama
yang pernah kulakukan pada Cody. Bukan hanya itu saja, aku juga bisa melihat
kemarahan dan kesedihan. Dia nyaris menangis.
“Aaaaargh!” teriakku jengkel, mengacak-acak rambutku.
Tarik napas dalam-dalam, Jeremiah. Tarik
napas dalam-dalam.
“Jangan
mengatakan apapun, Jeremiah. Aku tak mau tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Aku
hanya temanmu.”
Dadaku seakan tertusuk. Napasku seakan tersedot
begitu saja. Aku mengenal rasa ini. Perasaan ini sama seperti saat Daphne
meminta putus di bulan ketiga hubungan kami, juga saat dia bilang kalau dia
sudah bersama pria lain, atau saat melihat mata Cody yang kecewa, atau saat
dimana dia memintaku tidak menghalangi kepergiannya dari rumah, atau saat
dimana aku melihat Cody terkapar di rumah sakit, atau saat Aroz yang nyaris
stress karena penolakan orang tuanya.
“Rasanya sakit,” gumamku mencengkram dadaku, tepat ke
jantungku yang sekaan berhenti berdetak.
Rasa sakit yang sama.
Mungkin, aku salah. Tak ada satu teman pun yang
membuatku sesakit ini.
Perasaan ini lebih dari teman.
Dan aku benci merasakan hal ini untuk Fran, karena
aku belum terlalu lama mengenalnya.
“…Kau masuk ke
dalam kehidupanku!...”
Shit.
Aku lengah.
Fran sudah masuk ke dalam kehidupanku.
Keberadaannya akan mengikatku sampai mati.
***
GABRIELLE(POV)
Kejutan. Fran pulang ke rumah dengan membanting
pintu. Auranya tidak menyenangkan. Wajahnya menyeramkan: dahi mengerut, mata
nyaris tak bergerak, rahang mengeras, bibir nyaris tipis dan tangan terkepal.
Dia tak melihat atau menyapaku, melainkan naik begitu saja ke kamar sambil
membanting pintu kamarnya. Tak lama kemudian, aku mendengar dia berteriak
jengkel dan suara barang di lempar. Harinya pastilah buruk sekali.
Aku hanya mampu berdoa dia tak menghancurkan
laptopnya, karena dia pasti akan menyesal, dan semoga saja aku tak perlu
repot-repot mendekati pintu kamarnya.
Hanya ada satu orang yang mampu membuatnya seperti
itu. Coba kutebak. Jeremiah? Ha, siapa lagi kalau bukan dia? Mereka bertengkar
karena apa lagi kali ini? Aku tak akan kaget bila mereka bertengkar karena
harga barang tertentu.
Memutar bola mataku, aku kembali fokus pada PR-ku.
Dua jam berkonsetrasi, Fran keluar dari kamar, mengenakan piyama. Lagi-lagi,
dia tak melihatku. Masuk ke dapur mengambil susu dan minum langsung dari
tempatnya, dia naik lagi ke kamar, membawa sekantong keripik kentang. Lima
menit kemudian, suara televisi dari kamarnya menyala keras-keras.
Sudah pasti aku tak akan mau masuk ke dalam sana.
Setelah PR-ku selesai, aku membereskan buku-bukuku dan naik ke kamar, menutup
pintu tanpa suara. Melihat ponselku, ada pesan dari Rory, Oliver, Rayne,
Wyalt—dan Fanesca.
Aku langsung terduduk, membuka pesannya lebih dulu.
Gabby! Kemana saja kau selama ini? Kenapa
kau tak pernah ngobrol lagi denganku?
Aku menggigit bibir. Yep, aku memang menghindari
Fanesca. Urusanku dengan Wyalt sudah selesai, tapi dengan Fanesca belum. Aku
masih belum bisa melupakan adegan dimana dia mencium Wyalt.
Ponselku berkedip, ada pesan masuk dari Rory.
Merebahkan punggungku dengan nyaman di tumpukan bantal, kubuka pesannya. Sejak
kuberikan nomorku padanya, dia tak berhenti memberi pesan. Dia anak yang lucu,
energik, agak sedikit gila, tapi menyenangkan dan ceritanya tak akan pernah
habis. Aku hanya mengangguk atau tersenyum tiap kali dia bicara. Apalagi dengan
aksennya yang unik. Dalam satu jam, kuhabiskan waktu mengirim pesan dengannya
sampai pesan dari Oliver menggangguku.
Hey, Gab. Minggu depan orang tuaku datang
beserta adikku. Mereka mengundangmu makan siang bersama. Kau akan datang kan?
Oliver pernah cerita kalau dia punya adik angkat yang
buta dan dari caranya bercerita, aku tahu kalau dia sangat menyayanginya.
Kubalas kalau aku setuju ikut dengannya sekaligus mengucapkan selamat malam.
Menarik selimutku, mematikan lampu, kupaksa mataku untuk tidur karena besok aku
harus lari. Aku butuh tenaga.
***
“Papa, aku berangkat,” kataku dari depan. Fran
membalas “Ya” dengan cepat, lalu kembali marah-marah pada Jeremiah di telepon.
Sudah tiga hari ini Fran moodnya jelek. Entah apa
yang dilakukan Jeremiah, tapi kali ini Fran bersikeras kalau dia belum bersedia
memaafkan Jeremiah. Mengancingkan jaketku, aku mulai berlari menuju sekolah.
Cody benar-benar pelatih paling kejam. Saat dia
bilang kalau aku harus berlari ke sekolah, aku sangsi apa aku bisa
melakukannya. Di hari pertama, aku nyaris mati karena sesak napas, keringatan dan
berantakan. Tiga hari berikutnya, otot-otot tubuhku menegang dan sulit
diangkat. Tapi sekarang tidak lagi. Tubuhku yang terbiasa mulai tidak merasakan
apapun, malah terasa lebih ringan. Aku juga mulai makan seperti orang gila—itu
kata Wyalt. Aku tak peduli, yang aku tahu, aku butuh energi untuk memenuhi
permintaan Cody.
Aku sampai ke sekolah dalam waktu tiga puluh tujuh
menit, berkeringat seperti biasa dan dilirik dengan pandangan aneh oleh nyaris
separuh sekolah. Aku sudah terbiasa melihat mereka seperti itu, jadi aku tak
peduli.
Masuk ke dalam ruang ganti olah raga, aku mandi dan
berganti pakaian, lalu mengambil buku-bukuku. Rayne merangkulku begitu aku
selesai membereskan peralatanku.
“Kita harus mulai memikirkan proyek tahun baru,”
katanya, menyingkirkan beberapa orang yang menghalangi jalannya. “Aku punya ide
yang bagus untuk tugas kali ini.”
Bahuku terangkat tak peduli. Dia selalu punya ide,
percuma membantahnya. Aku hanya mengikuti apa maunya, lalu mempelajari apa yang
dia akan buat. Kami masuk ke kelas, duduk di tempat paling belakang. Seperti
biasa, Rayne tak peduli. Dia membuka tabletnya, lalu membaca berita. Aku
berusaha berkonsentrasi, meski membosankan.
Sisa hariku berlalu dengan membosankan sampai bel
pelajaran terakhir berdering.
“Kita harus mengerjakan proyeknya di rumahmu,” kata
Rayne, menyelempangkan ranselnya.
“Kenapa tidak di tempatmu?” Biasanya, kami
mengerjakan proyek di rumahnya.
Dia mendesah, memijit tulang hidungnya dengan lelah.
“Hari ini orang tuaku di rumah,” katanya dan tidak memberi penjelasan apapun.
Selama ini, aku juga belum pernah bertemu orang tua Rayne di rumahnya yang
seperti istana.
“Uh, oke. Ini alamatku,” kataku mencatatkan alamatku
ke selembar kertas. Dia menatap kertas itu, lalu padaku dengan dahi mengerut.
“Gab, kita akan pergi bersama. Kenapa kau memberiku
alamatmu?” Dia kebingungan.
“Aku dilarang naik bus,” kataku, memakai jaketku
kembali. “Bye, Rayne.”
Dia masih membuka mulutnya ketika aku memotong dan
berlari pulang. Bila Rayne naik bus, itu artinya dia akan sampai sekitar dua
puluh menit lagi. Aku memacu kakiku untuk berlari sekuat tenaga. Tubuhku
berkeringat, basah dan kaosku menempel di punggung. Begitu aku sampai, bukan
hanya Rayne yang menunggu di depan pintu rumahku, tapi juga Fanesca, Wyalt dan
Rory.
“Aku tak mengajak mereka,” kata Rayne.
“Tak adil. Kalau Rayne bisa ke rumahmu, kenapa aku
tidak?” Wyalt protes, membawa-bawa keranjang bambu, yang selama ini
dibawa-bawanya selama seminggu: robot bayi.
Fanesca melipat tangannya, melirik Rory dengan
jengkel. “Kami tidak mengajaknya. Dia sendiri yang mengikuti kami.”
“Hei, aku juga teman Gabrielle!” Rory membela diri.
Aku memutar bola mata, membuka pintu.
“Kenapa kau berlari dari sekolah ke rumah, Gab?” kata
Rayne, melepas sepatunya. Wyalt ber-wuah sambil menoleh ke sana kemari. Rory
molonjak kegirangan, lalu masuk ke ruang depan.
“Oh, my GOD!
TV-nya besar sekali!”
“Bukan apa-apa,” aku menjawab pertanyaan Rayne, lalu
masuk ke dapur, membuka kulkas, mengeluarkan minuman, cake, mengambil keripik kentang, lalu kembali ke ruang tengah. “Aku
mandi dulu. Kalian jangan mengotori rumahku. Papaku sangat pembersih.”
“Akan kupesan pizza!” Rory berteriak kegirangan,
melonjak-lonjak dari tempatnya, menjatuhkan robot bayi Wyalt, yang kemudian
menangis keras-keras.
“Aaaargh! Lihat apa yang kau lakukan padanya!” Wyalt
mengerang jengkel. “Aku mendiamkannya selama dua jam tahu!”
Meninggalkan pertengkaran mereka yang
dilatarbelakangi dengan tangisan bayi, aku naik ke kamar, mandi, mengenakan
kaos nyaman dan celana pendek, lalu kembali ke bawah.
“Kami ingin lihat kamarmu!” Wyalt berseru. Fanesca
ada di dapur, mendiamkan bayi Wyalt.
“Kami ke sini mau belajar,” Rayne memutar bola
matanya.
“Ayolah guys, itu tugas buat tahun
depan. Januari! Ini masih November!” Rory merengut. “Tak bisakah kita
bersantai?”
“Jika seluruh umat manusia
bersantai sepertimu, maka akan banyak sekali orang bodoh di dunia ini,” balas
Rayne, membuka tasnya.
Rory melipat tangannya. “Hei, Bung,
aku ini orang nyantai yang cerdas. Satu tambah satu sama dengan nol.”
“Biar kuberi tahu padamu satu hal,
Idiot, saat semua orang sudah pergi ke Pluto, kau masih memikirkan penjumlahan,
dan kau sebut dirimu cerdas? Satu tambah satu sama dengan dua,” Rayne memutar
bola matanya.
“Rayne, kau tak boleh sembarangan mengartikan
perkataanku. Satu tambah satu sama dengan nol. Ada satu pembunuh yang membunuh
satu pembunuh, karena keduanya sama-sama pembunuh, mereka berdua mati saling
bunuh.”
Mulut Rayne terbuka lebar, untuk membalas Rory yang
menatapnya dengan polos. Akhirnya, Rayne malah mengatakan, “Idiot tetap saja
Idiot.” Lalu mengalihkan pandangannya padaku. “Kita harus menyelesaikan PR kita
sebelum aku gila menghadapi mereka.”
Fanesca muncul dari dapur, mengecak pinggang. “Rayne,
Rory benar. Kita harus senang-senang! PR itu kan bisa tahun depan!”
“Siapa yang setuju untuk bersantai?” Wyalt berteriak,
mengangkat tangannya. Rory mengangkat kedua tangannya, begitu pula dengan
Fanesca.
“Empat lawan dua. Kalian kalah!” Rory kegirangan.
“Rory, meski kau mengangkat kedua tanganmu, hasilnya
tetap satu,” Rayne memutar bola matanya.
“Aku tak peduli, yang pasti kita main!” Rory tidak
mengacuhkan Rayne dan berteriak nyaring begitu bel berdering. “PIZZA DATANG!”
dan berlari untuk membuka pintu.
“Oh God!”
Rayne memijit dahinya. “Kenapa kau bisa berteman dengannya? Bagaimana caranya
kau bisa bertahan dengan teriakannya?”
“Kami berkomunikasi dengan pesan, dan pesan tidak
bersuara,” kataku.
Rory kembali membawa sekotak pizza, meletakkannya ke
atas meja. Ok, rasanya lumayan asik. Kami makan, ngobrol, menonton seperti anak
biasa. Aku malah merasa hidupku menjadi normal, meski aku belum terlalu banyak
bicara.
Menjelang sore, mobil Fran datang. Aku hendak membuka
pintu ketika mendengar teriakan lain.
“Fran, kita harus bicara!” itu suara Jeremiah.
“Aku tak ingin bicara denganmu! Pergi dari rumahku
sebelum aku memanggil polisi!”
“Kau tak akan melakukannya!”
“Apa kau menantangku?”
Fran membuka pintu, masuk ke dalam rumah dan
terkejut. “Erm… Gabrielle?”
Jeremiah masuk tak lama kemudian, hendak membuka
mulut, tapi begitu melihat kami yang melihat mereka dengan bengong, dia juga
ikut-ikutan terkejut.
“Kami teman-temannya Gabrielle,” Wyalt bicara lebih
dulu, melompat berdiri dari tempatnya.
“Aku mengenal kalian semua, kecuali kau,” Jeremiah
berdeham, mengejutkan Fran.
“Kau kenal mereka?” Fran menyipit curiga, hendak
marah-marah lagi, andai saja mereka tak sendiri.
“Oh, ya, ingat pesta waktu itu? Itu Rayne, Fanesca
dan Wyalt. Kecuali dia,” Jeremiah menunjuk Rory. “Dia menu baru.”
Rory berdiri. “Namaku Rory.”
“Hai, Rory.” Jeremiah mengangguk. “Aku Jeremiah dan
ini Fran.”
“Aku bisa memperkenalkan diriku sendiri,” desis Fran
berbahaya. Lalu memberikan senyuman terbaiknya pada mereka. “Kalian
bersenang-senanglah, sementara aku mengusir—”
“Oh, tidak, tidak, tidak,” Jeremiah memegang tangan
Fran yang hendak mendorongnya keluar. Memberikan senyuman playboynya, dia
berkata pada teman-temanku dengan nada manis, “Kalian tunggu di sini sementara
kami memasakkan sesuatu untuk makan malam, ya kan, Fran?”
Fran menggertakan gigi. “Tentu,” katanya dengan susah
payah.
Oh, boy…
***
Medan, Selasa,
21 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar