RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [15]



15
Teach Me
==========

GABRIELLE(POV)
Aku tengah menutup lokerku ketika ada wajah mungil muncul di baliknya, membuatku nyaris melonjak kaget, tapi dengan cepat mampu menjaga ekspresiku.
“Hai, namaku Rory,” katanya, tersenyum lebar, mengulurkan tangannya.
Dahiku mengerut kebingungan sambil memerhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Si Rory ini sedikit lebih pendek dariku. Dia punya wajah seperti anak kecil, manis, dengan pipi bulat seperti bayi. Matanya bulat berwarna emas dengan bulu mata panjang. Kulitnya pucat dengan bintik-bintik kecil di sekitar leher dan tangannya. Rambutnya pendek, lurus, jatuh dengan sempurna ke dahi dan pipinya. Tubuhnya kecil, ramping, bahunya juga begitu. Dia mengenakkan kaos, cardigan dan jeans—jenis keturunan nerd.
Apa maunya? Pikirku sambil menjabat tangannya.
“Wow,” desahnya, kedua pipinya merona, menatapku tanpa mengedip.
Kerutan di dahiku semakin dalam, dan semakin dalam lagi karena di belakangnya aku menyadari ada tiga orang yang ikut mengintip dengan penasaran, sambil cengar-cengir tak jelas.
Melepas jabatannya—karena sepertinya dia terlalu lama memegang tanganku—dengan paksa, aku memperbaiki letak ranselku, memiringkan kepalaku sedikit dan menunggu untuk tahu apa maunya.
Dia sepertinya menyadari bahwa aku tak akan memulai pembicaraan. Anak pintar. Sekarang, cepatlah kau katakan apa yang ingin kau katakan supaya aku bisa makan siang ke atap tanpa harus bertemu Wyalt—atau Fanesca.
“Euh… uh… sebenarnya…” gumamnya tak jelas. Wajahnya semakin lama semakin merah padam. Teman-temannya menggigit bibir, menyilangkan jari mereka sambil komat-kamit.
“Akuingintahuapakaupunyawaktukarenaakuinginmengajakmunontonbioskop”
Mataku mengedip. “Maaf? Bisa kau ulangi?”
Kali ini, dia gemetaran, menggigit bibirnya. Kasihan, teman-temannya mungkin saja memaksanya untuk bicara padaku—si bisu. Jangankan dia, guru saja ogah mengajakku bicara.
“A-aku… aku mau tahu apa… apa kau ada waktu siang ini untuk nonton bioskop… karena.. uh… aku punya satu tiket kosong…” gumamnya, melirikku dari balik rambutnya yang panjang, lalu menunduk memandangi kakinya.
Oh, pikirku, nyaris melongo. Kenapa tiba-tiba ada orang asing yang mengajakku nonton?
“Maaf, aku ada latihan hari ini,” kataku mengingat Cody yang janji mengajariku kick boxing.
Bahunya mencelos. Teman-temannya ikut lesu di belakang. Ada apa ini sebenarnya?
“Oh… urm… ok,” gumamnya lagi, menelan ludah, mengaitkan tangannya ke ujung-ujung bajunya. “… tapi… um… boleh aku minta… nomor teleponmu?” tanyanya penuh harap.
Alisku menaik, menoleh pada teman-temannya, yang mengangguk dan memberikan tatapan penuh permohonan padaku, membuatku menghela napas, mengambil ponselku. Kami bertukar nomor telepon. Wajahnya kembali bersinar seperti lampu natal.
“Thanks, Gabrielle! Tunggu pesanku!”
Dia melambai bersemangat sepanjang koridor. Aku nyaris naik ke atas tangga, tapi gagal karena Wyalt merangkulku.
“Gabrielle!” Wyalt menjerit dekat telingaku. “Kau harus mendengarkan lagu terbaruku.”
“Tidak.”
Dia terdiam sejenak. “Kenapa?”
“Sedang tak ingin.” Jawabanku yang dingin membuatnya mengerutkan dahi. Rangkulan tangannya dibahuku terlepas, membuatku segera menyingkir, menjauh darinya. Tidak beruntung, dia menarik tanganku, memaksaku naik ke atas atap, dan aku terjebak nyaris selama makan siang mendengarkan lagunya sambil makan siang.
Begitu bel berdering, aku cepat-cepat membereskan peralatanku, secepatnya ingin kabur dari Wyalt.
“Gabrielle,” kata Wyalt, menghentikanku di depan pintu. Dahinya mengerut cemas padaku. “Uh… apa aku berbuat salah padamu?” tanyanya ragu.
Aku tak menjawab. Salah? Entahlah. Aku tak merasa dia salah apa-apa. Bukan salahnya Fanesca suka padanya—atau sebaliknya.
“Erm, aku minta maaf jika aku berbuat salah padamu. Kau tahu aku kan? Aku bisa saja bicara hal yang membuatmu sakit hati,” dia menggigit bibir bawahnya lagi.
Menghela napas, aku berkata, “Kau tak salah apapun.”
Wyalt tampak belum percaya. “Aku akan memperbaiki kesalahanku, kau tinggal bilang saja.”
“Wyalt—”
“Kau tahu… erm, walau kau tak bicara, aku merasa kita bisa jadi sahabat baik,” gumamnya. “Aku tak terbiasa dicuekin. Aku lebih baik bersamamu daripada bersama Rayne. Rayne—kau tak perlu tahu, tapi dia mulai menyebalkan. Pangeran apanya? Dia lebih cocok jadi Hitler. Kemarin dia bilang kalau permainanku buruk sekali, padahal dia tak pernah mendengarkannya. Tahu apa dia soal musik? Dia kan cuma tahu isi buku dan… dan.. oh, sudah saatnya masuk kelas.”
Wajahnya merona merah, cepat-cepat mengambil peralatannya agar aku tak bisa melihat tingkahnya yang malu karena terlalu banyak bicara. Meski Wyalt dan Rayne punya sikap yang sama: cool dan sedikit bicara, Wyalt lebih sering terbata-bata saat bicara. Karena, tidak seperti Rayne yang punya otak di mulutnya dan tahu apa yang dia katakan, Wyalt lebih sering mengucapkan apa yang ada di hatinya daripada yang ada di kepalanya.
Kurasa, aku sudah membuat Wyalt kebingungan dengan tingkahku yang tiba-tiba tak bersahabat. Tentu saja dia tak tahu. Aku tak pernah mengatakan apa keinginanku, dan itu bukan salahnya—lagi.
Dia berhasil membereskan peralatannya, menoleh padaku dengan wajah sedih, membuatku jadi merasa bersalah. Menghela napas, aku tahu kalau aku tak bisa membencinya ataupun marah padanya. “Sori, Wyalt,” kataku pelan, “Aku tak marah padamu. Aku hanya… yah, jadi diri sendiri.”
Entah dari mana kudapat alasan itu, tapi setidaknya Wyalt tampak bahagia mendengarnya karena matanya kembali bersinar. Hebat, orang kedua yang kubahagiakan hari ini. Kami bersama-sama melewati koridor, menuju kelas kami masing-masing, sampai Wyalt bicara lagi.
“Uh… kau tahu, sebanarnya, aku dan Fanesca…”
Aku menegang dan tanpa sadar membuka mulut, “Aku tahu, aku dan Rayne melihat kalian ciuman waktu itu.”
Aku tak perlu melihat wajah Wyalt yang memerah karena aku tahu.  Tangannya terangkat ke lehernya dengan gelisah, mengangguk kaku. “Aku merasa kami tak cocok,” gumamnya. Dahiku mengerut. “Aku tak tahu apa yang dia lihat dariku.”
“Kalau kau penasaran, kenapa kau tak tanya saja dia?”
“Mana mungkin,” gumamnya lagi. “Aku… yah… aku tak tahu harus melakukan apa. Oh, God! Gab, dia itu gadis pertama yang bilang suka padaku! Apa yang harus kulakukan padanya? Setiap kali dekat dengannya, jantungku seakan hendak meledak. Aku bahkan tak tahu harus bilang apa. Sekarang, dia akan berpikir ulang apa aku orang yang pantas atau tidak. Entah kenapa aku merasa lebih baik kami kembali seperti dulu. Tapi, dengan keadaan yang seperti ini, apa kami bisa kembali seperti dulu? Bagaimana kalau nanti kami putus? Gab, aku harus bagaimana?”
“Kau tanya aku, aku tanya siapa?”
Kali ini dia mengerang, frustasi pada perasaannya sendiri. Kuharap, dia tak akan menjadikan aku korbannya, karena aku sendiri juga belum bisa memperbaiki perasaanku, bagaimana caranya aku memberitahunya?
Aku menghabiskan waktuku dengan mendengarkan pelajaran. Rayne tidak mendengarkan sama sekali dan malah membaca novel. Hmph, anak sejenius dia tak pernah merasa pelajaran itu begitu penting. Jam pelajaran pun berakhir, membuat seluruh siswa bersorak girang, membereskan peralatan dan bergabung dengan yang lain.
Ponselku berdering, ada pesan masuk dari Cody yang bilang kalau dia sudah ada di depan gerbang. Senyumanku mengambang begitu saja.
“Siapa itu?” Rayne mengerutkan dahi.
Aku tak menjawabnya dan memilih melambai padanya, melewati lapangan sekolah. Kulihat Fanesca dan Wyalt bergabung bersamanya.
“Gabrielle!” Rory melambai dari arah mobilnya, bersama dengan teman-temannya. “Sampai jumpa besok!” Dan teman-temannya mengikik pada anggukanku. Aku memandangi mereka dengan keheranan, tidak melihat jalanku sampai aku menabrak sesuatu, nyaris terjatuh kalau saja aku tak dipegangi.
“Hati-hati, Gabrielle.”
Cody menunduk melihatku, melepas pegangannya pada pinggangku untuk membuatku berdiri dengan mantap. Senyumanku melebar melihatnya, nyaris melonjak kegirangan. Dia mengenakkan baju berwarna kuning pucat, celana robek-robek, boots kulit dengan rantai menggantung di bawahnya, syal hitam lebar menggantung di leher dan mantel berwarna merah maron. Rambut coklat gelapnya tampak berantakan dan liar, memberikan aura yang sexy sekali.
“Sori,” gumamku. Shit, dia pasti berpikir aku terlalu lemah untuk diajari.
Cody mengangguk kecil, dengan gerakan menyuruhku untuk masuk ke dalam mobilnya yang berwarna hijau. Aku tak tahu apa merknya, tapi bila kalian penasaran, ada lambang banteng di bagian depannya.
Interior di dalamnya amat mewah. Kursi terbuat dari kulit berwarna coklat, empuk dan berkilat. Peralatan elektronik, lengkap dengan GPS, televisi dan teknologi layar sentuh. Cody membiarkanku mengacak-acak isi mobilnya selama perjalanan, mencoba sana-sini, kadang-kadang menggeleng begitu aku salah memencet satu tombol, sebelum akhirnya pintu atap mobil terbuka, membuatku terkesan.
“Wow,” gumamku.
Cody tertawa kecil, membuatku mengerutkan dahi. Dia menggeleng. “Aku juga dulu sepertimu, Gabrielle.” Dia melirikku sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah depan. “Ayahku punya bengkel sendiri. Setiap hari selalu ada mobil mahal yang datang. Kadang, dia mengijinkanku naik bersamanya. Mungkin itu sebabnya aku punya obsesi untuk mengoleksi mobil. Mungkin, itu sebabnya pula aku bisa naik mobil saat seusiamu.”
“Sungguh?”
Cody mengangguk. “Ayahku mengandung prinsip kalau umur tak jadi halangan dalam setiap hal yang baru. Dia sudah mengajariku naik mobil sejak aku berusia 12 tahun. Biasanya, kami ke jalanan kosong. Aku baru bisa naik motor saat masuk SMA, karena kakiku sedikit lebih pendek dari Remi.” Bibirnya menipis, seolah mengingat kejadian lalu, dan pada akhirnya tersenyum. “Aku juga sempat belajar naik helikopter, tapi karena Remi dan aku sangat sibuk, sertifikat terbangku belum juga keluar.”
Mataku membulat lebar. “Remi bisa naik helikopter?”
Pria itu mendengus. “Ya. Bisa dibilang kalau aku bisa memegang heli karena ada Remi.”
Aku tak mengerti. “Kenapa?”
“Karena dia punya kehidupan yang beruntung.”
Aku semakin tak mengerti dan tak sempat bertanya karena Cody sudah memarkirkan mobilnya ke salah satu bangunan berlantai dua yang lebar. Bangunan itu tampak seperti gudang tua dengan beberapa retakan di sana-sini. Catnya sudah sedikit pudar, dari berwarna biru menjadi hijau dan coklat.
“Ayo,” Cody turun, membawa tas olahraga berat ke bahunya.
Aku mengikutinya masuk ke pintu besi karatan. Bau lapuk dan karat tercium begitu kami melewati pintu depan. Ada seorang wanita dan dua orang pria berdiri di dekat meja. Cody hanya mengangguk pada mereka yang memandangi kami dengan keheranan.
Wajah mereka membuatku ngeri, jadi aku cepat-cepat mengikuti Cody, memegang lengan mantelnya. Begitu melewati mereka, kami masuk lebih dalam, melewati lorong gelap, mendengar suara-suara dari dalam. Lima puluh meter di depan, aku lega melihat ada lampu menyala. Di sebelah kanan, ada pintu terbuka, memperlihatkan ring lebar dimana sudah ada dua orang di atasnya. Tepat saat itu, aku melihat mereka saling tinju, membuatku meringis.
Kami melewati pintu-pintu yang lain untuk masuk ke salah satu pintu di ujung. Cody mendorongnya, mengijinkanku masuk lebih dahulu.
Ruangan ini, tak jauh bedanya dengan ruang ganti di sekolah, kecuali—tentu saja—isinya bukan siswa, melainkan pria-pria berotot. Cody menutup pintu dengan suara mengerikan yang bergaung, membuat perhatian tertuju pada kami.
“Cody!” salah satu dari mereka menyapanya, lalu yang lain ikut menyapa. Cara menyapa orang dewasa sangat keren. Mereka hanya perlu mengangguk, tersenyum kecil, atau hanya perlu menepuk bahu Cody, tanpa banyak bicara.
“Kenapa kau bawa anak kecil ke sini?” salah satu dari mereka bertanya, menggosok-gosok rambutnya. Aku bisa melihat tato yang menyembul di tangannya.
Menelan ludah dengan panik, aku bersembunyi di belakang Cody, menjadikan dia tameng.
“Dia cute!” salah satu dari mereka tertawa.
Cody meletakkan tasnya. “Jangan ganggu muridku, apalagi menakut-nakutinya.”
“Murid? Wow!”
“Sejak kapan kau jadi pelatih?”
Man, boleh anakku berlatih denganmu? Dia sudah lama naksir padamu!”
“Itu sih cari kesempatan. Anakmu kan gay.”
Aku meringis mendengar mereka tertawa. Cody memutar bola matanya, tidak memedulikan mereka. Cody melepas mantelnya, syal dan yang lain sebagainya, kemudian menggantinya dengan seragamnya. Aku cuma duduk dengan canggung, melirik was-was pada teman-teman Cody yang keluar masuk ruang ganti, ada yang babak belur.
Mungkin, ini bukan ide yang bagus.
Cody hanya mengenakan kaos putih, celana training, dengan perban di kedua tangannya. Dia menyuruhku meninggalkan mantel dan syal untuk mengikutinya ke ruang latihan. Alasannya, di tempat itu cukup hangat.
Selama menuju ke sana, aku tahu kalau Cody bukan orang sembarangan. Pantas saja Remi takut padanya. Dia punya teman-teman yang ukurannya dua kali ukuran tubuhnya. Yang mengherankan, tak satupun dari mereka yang tampak melecehkannya, justru sebaliknya, mereka cukup hormat padanya.
“Oke,” kata Cody, menoleh padaku. Kami sampai di ruang latihan yang tak jauh bedanya dengan apa yang terlihat di gym. Bedanya, tempat ini bersatu dengan ring, yang berdiri megah di ruang tengah. Sudah ada dua orang baru di atas sana, begitu pula penonton yang ukurannya tak jauh beda dengan yang bertanding. Dua karung tinju tergantung di bagian lain, dengan dua karung tinju mini lain. Di sana, ada orang yang ikut meninju. Di sisi lain, ada orang latihan.
Semuanya laki-laki.
Dengan kata lain, tempat ini benar-benar ladangnya testosteron.
“Sebelumnya, aku ingin tahu kemampuanmu sampai mana,” Cody berdiri di dekat salah satu karung pasir. “Coba kau tinju ini. Sekeras-kerasnya, dengan kekuatanmu.”
Aku mengangguk, berdiri di depan karung itu, lalu meninjunya dengan kekuatan penuh—
“Ow!!” aku meringis, memegang tanganku. Nyeri segera merayap dari buku-buku jari ke lenganku, membuat bahuku ikut-ikutan sakit.
Cody tersenyum kecil. “Tepat seperti itulah sakitnya meninju lawanmu nanti. Ini pasir, bukan kapas. Dan tinjumu akan menghadapi tulang, bukan pasir.”
Aku mengangguk kaku. Kenapa dia tak bilang kalau rasanya sakit?
“Ok, kurasa kau sudah cukup belajar untuk ini jadi kau tak akan memaksaku untuk langsung meninju orang sebelum kau siap,” Cody tersenyum lagi. Sekarang, aku mengerti maksudnya. “Pertama, kita harus meningkatkan kemampuan tubuhmu. Jujur, lenganmu terlalu kecil dan lemah. Kita harus memantapkannya dulu. Setiap hari, kau harus push up, sit up dan scot jump sebanyak 50 kali.”
Aku melotot ngeri. “Apa?”
Dia pura-pura tak mendengar dan kembali melanjutkan. “Kau juga tak boleh naik bus, baik pergi dan pulang sekolah. Aku ingin kau ke sana dengan berlari.”
Kali ini, mulutku yang terbuka lebar. “Tapi, aku bisa telat.”
Dengan enteng pria itu mengangkat bahu. “Itu urusanmu, Gabrielle. Bila kau benar-benar ingin diajari olehku, lakukan apa yang kukatakan. Dalam dua minggu, kau akan melihat perubahannya. Kau yakin sanggup melakukannya?”
Satu-satunya alasanku datang kemari adalah agar aku bisa membela diri. Jadi, aku mengangguk.
Cody tersenyum puas. “Ok, sekarang—”
“Hey, Cody!”
Kami menoleh ke samping. Seseorang bertubuh besar berdiri di ring, mengenakan seragam yang tak jauh beda dengan Cody. Pria itu tersenyum, melambai padanya. “Keberatan bila melawanku?”
“Aku sedang sibuk—”
“Aw, Cody berubah jadi pengecut!”
Cody mengerutkan dahinya, tidak mengacuhkan mereka. “Seperti yang sudah kubilang tadi—”
“Apa kau tak malu pada murid barumu? Dia akan berpikir kalau pelatihnya takut!” pria yang sama mengejeknya, dan tiba-tiba saja, semua orang tertawa.
Aku melirik Cody yang masih tenang, tidak terpengaruh sedikitpun. “Lebih baik kau mulai—”
“Hey, Nak! Dari pada dengannya, lebih baik kau diajar olehku!”
“Cody sudah lama tak masuk lapangan, dia tak akan mengajarimu apa-apa!”
Aku meringis, jengkel dengan mereka. Apalagi, Cody tak membalas mereka.
“Aah, membosankan. Apa itu yang disebut sebagai preman jalanan?”
Dan tiba-tiba saja ada bala bantuan dari yang lain. “Kalau aku jadi kau, aku akan menjaga mulutku, Bill.”
“Dia belum merasakan tinju kiri Cody, jadi dia tak tahu.”
“Tinju kiri apa? Dia tak pernah memakainya.”
“Kau belum merasakannya, makanya tak tahu.”
“Bill, cari lawan lain saja.”
Lagi-lagi, aku melirik Cody dan aku tertegun. Wajah Cody tampak datar, tak ada ekspresinya sama sekali. Tapi, aku ketakutan, membuatku mundur dua langkah.
Ini tak biasa.
“Cody, ayo tanding denganku. Kau membuatku lumutan!” si Bill masih saja mengeluh.
Cody berjalan ke arahnya. Penonton bersorak melihat Cody naik ke ring. Aku ikut menonton, tapi di belakang. Hanya saja, salah satu dari pria besar itu mendorongku ke garis depan.
“Murid harus melihat bagaimana pelatihnya bertanding,” katanya, nyengir lebar.
Teman di sebelahnya mengedip. “Anak kecil harusnya tak melihat adegan kekerasan, tapi aku akan membuat pengecualian untukmu, asal kau tak melakukannya di rumah.”
“Cody pasti mematahkan hidung Bill.”
“Bukan hanya patah, kurasa. Coba lihat Cody, Bill benar-benar dalam bahaya.”
“Salahnya sendiri membuat Bos kita marah.”
Pertandingan dimulai. Bill menyerang terlebih dahulu, meninju ke arah Cody, yang menghindar dengan cepat. Tinju, tinju, tinju, tinju. Bill terus menyerang dan selama itu pula, Cody menghindar dengan gesit. Tangannya terkepal di depan wajahnya, menghalangi tinju Bill dengan lengannya.
Penonton sudah bersorak menyemangati lawannya sendiri.
“Kenapa Cody tak menyerang?” kataku heran.
Pria yang sama rupanya mendengarku, lalu menjawab dengan suara penuh kebanggaan. “Itu teknik Cody. Dia jago menghindar. Pertahanannya sangat kuat. Dan saat lawan lengah, dia hanya perlu satu tinju untuk menyelesaikan semuanya.”
“Tinju kiri?”
“Ya.”
“Seberapa keras tinju kiri Cody?”
“Cukup untuk merontokkan empat gigi orang dewasa, jika dia sepenuh hati.”
Aku merinding mendengarnya. Itu artinya, Cody sangat kuat. Dan sekali lagi, aku merasa bangga padanya. Cody orang yang tepat untukku.
Bill berhasil meninju pipi Cody. Sekali, dua kali. Aku meringis melihat dia mundur, menggertakkan gigi. Lalu, dengan kecepatan kilat luar biasa, Cody mengangkat tangannya, meninju Bill tepat di wajahnya.
Crack.
“Oooow,” Penonton meringis. Bill terjatuh, memegang hidungnya yang berdarah.
Satu tinju.
Dia hanya perlu satu tinju saja untuk membuat Bill jatuh. Dan pria itu jauh lebih besar dari Cody.
Cody menurunkan tinjunya, melihat Bill yang sibuk membersihkan darahnya yang tak berhenti, kemudian melihatku. “Dan, seperti itulah caramu menjatuhkan lawan.”
Aku menelan ludah.
Remi tak bohong. Dia mengerikan.
***
JEREMIAH(POV)
Daphne tampak lebih pucat dari terakhir kali aku melihatnya. Wanita itu mengenakan gaun terusan nyaman bercorak polkadot dan sepatu pink. Rambutnya diikat ke belakang, menggantung dengan lembut di beberapa tempat lain.
Dia benar-benar cantik.
“Apa kau sudah mendapat hasilnya?” Dia bertanya, meminum susu coklat hangat karena aku melarangnya minum kopi.
Pertanyaannya membuatku mengingat kiriman hasil DNA yang masuk ke ruang kerjaku kemarin, membuatku nyaris mengerang jengkel. Aku mengangguk kaku.
Dia hamil anakku. Seratus persen dariku. Aku akan jadi ayah. Sekarang, aku benar-benar tak bisa kabur lagi. Aku sudah tiga kali menguji coba hasilnya, ke tiga rumah sakit yang berbeda, dan hasilnya tetap sama.
Daphne menatapku. “Kau ketakutan,” ungkapnya, mengagetkanku.
Aku menelan ludah. Rasanya, tak masuk akal kalau aku akan jadi ayah di usia semuda ini. “Bukan ketakutan. Aku hanya belum siap.”
Daphne menggenggam cangkirnya erat-erat, berusaha menghentikan jemarinya yang gemetar. Sayangnya, aku sudah melihatnya. Sama sepertiku, dia juga ketakutan.
“Jeremiah,” katanya setelah diam beberapa saat. “Sekarang belum terlambat untuk—”
“Tidak, Daphne, pikiranku tak akan berubah,” kataku, tegas.
Demi Tuhan, dia pikir aku sekejam itu? Aku playboy. Aku mengerikan. Aku tak terlalu banyak menyukai orang. Tapi, aku bukan orang yang tak punya hati. Dia mengandung anakku. Aku tak akan menyakiti mereka. Mereka darahku. Mau atau tak mau sekalipun, aku harus bertanggung-jawab dengan apa yang kulakukan dan aku tak akan membiarkan Daphne menanggungnya sendirian.
Daphne menggigit bibir bawahnya, masih ketakutan. Ini aneh sekali, dia biasanya orang yang kuat. Apa ini kesalahanku?
Melihatnya rapuh seperti itu membuatku merasa bersalah dan sedih. Daphne adalah satu-satunya wanita yang paling menarik perhatianku. Dia satu-satunya orang yang berhasil membuatku tak tertarik pada siapapun saat aku bersamanya. Dia percaya diri. Dia cantik. Dan dia cerdas.
Tubuhku bergerak sendiri untuk duduk di sampingnya, mengambil cangkirnya dan meletakkannya ke meja. “Daph,” kataku lembut, “apa keputusanku begitu sulit untukmu?”
Wanita itu menahan air matanya, sebelum akhirnya dia menggeleng dan tersenyum. “Aku senang, Jeremiah. Aku bahagia kau mau menerima mereka.”
“Tapi, kau ketakutan,” kataku memegang tangannya.
Dia masih tetap keras kepala memasang senyum itu. Andai saja aku punya kemampuan seperti vampire sialan itu, tentunya aku bisa membaca apa yang ada dalam kepalanya.
“Daph,” aku mencoba lagi, “kau menyimpan sesuatu. Ada apa? Kau bisa cerita padaku.”
Dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. Wajahnya terangkat, tersenyum padaku. Kali ini, senyuman yang sesungguhnya. Wajahnya tampak lebih bersinar, lembut dan indah. Kehangatan yang dia berikan berhasil membuat hatiku tenang, menggelembung seperti balon.
“Aku tak ingin berharap banyak darimu, Jeremiah,” katanya lembut. “Kau sudah memberi hal yang lebih dari cukup.”
Dahiku mengerut kebingungan. Aku tahu ada sesuatu yang terjadi padanya. Tapi, apa? Lalu aku sadar satu hal yang membuat tenggorokanku tercekat.
“Kau menginginkan pernikahan,” bisikku pada akhirnya.
Daphne tak merespon, hanya menatapku dalam-dalam.
Dia menginginkan pernikahan.
Pernikahan. Pernikahan. Pernikahan. Pernikahan. Pernikahan. Pernikahan. Pernikahan
Otakku seakan berputar dua ratus kali dalam sedetik.
“Dan kau belum siap,” bisiknya, menarik tangannya dari genggamanku. Aku terlalu terpaku untuk bergerak atau merespon.
Kabar ini membuat otakku tak bisa berpikir.
“Bukankah kau bilang kau tak ingin menikah denganku?” kataku dengan suara yang tak lebih dari sekadar bisikan.
Kali ini, Daphne yang menggenggam tanganku. Lagi-lagi, dia tersenyum kecil. “Aku selalu bermimpi, suatu hari nanti aku mengenakan gaun pernikahan, berdiri di gereja dengan calon suamiku. Dengan orang yang mencintaiku. Satu-satunya orang yang hanya melihatku. Lalu, kami akan membangun keluarga bersama. Dengan anak-anak. Punya rumah kecil berwarna putih dekat dengan pantai.”
Perkataannya membuat jantungku tertusuk. “Apa menurutmu aku tak pantas untukmu?” bisikku tak percaya. Dengan tingkahku yang luar biasa dan gelar yang kusandang sebagai playboy, kurasa aku bisa mengerti.
Lalu, kenapa aku merasa sakit?
Kulihat wanita itu menelan ludah, mempererat genggamannya. Matanya tak lepas dari mataku saat dia menjawab dengan pelan, “Bukan karena itu, Jeremiah.”
“Lalu?” Aku tak mengerti. Kalau bukan karena itu, lalu apa?
“Meski kau seperti ini, kau hanya percaya bahwa pernikahan hanya sekali, seumur hidup,” katanya, tersenyum padaku. “Kau hanya punya satu tulang rusuk. Dan itu bukan aku.”
Aku menelan ludah. “Daph, bukan berarti—”
“Dengarkan aku, Jeremiah,” katanya lagi, memegang pipiku. Satu sentuhan yang berhasil membuatku tenang. “Aku serius mengenai tidak ada pernikahan untuk kita. Aku tak ingin kau terjebak padaku. Aku ingin kau bersama dengan orang yang kau cintai. Satu-satunya orang yang pantas untukmu, dan orang itu bukan aku.”
“Daph, bagaimana aku tahu kalau aku tak mencobanya denganmu?”
“Jeremiah, aku tak ingin kau mencobanya. Aku ingin kau—”
“Kalau begitu ajari aku,” kataku. “Jika kau ingin aku menikah dengan orang yang kucintai, kenapa kau tak mengajariku untuk jatuh cinta padamu? Kau bisa mengajariku kan? Kita bisa memulai semuanya dari awal. Kita bisa menikah. Kita bisa jadi keluarga. Aku akan berusaha menjadi ayah yang baik. Aku bisa menjadikanmu tulang rusuk itu.”
Daphne menahan napas, menutup matanya, lalu berbisik, “Andai saja, aku bisa melakukannya. Tapi aku tak bisa melakukannya.”
“Apa kau punya pacar?”
Daphne terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
Aku mendengar ada sesuatu yang patah di paru-paruku. Aku bisa mendengarnya.
“Oh,” gumamku.
Kami kembali diam dalam kecanggungan luar biasa.
“Apa kau mencintainya?” bisikku pada akhirnya.
Dia kembali mengangguk. “Sangat.”
Satu anggukan saja sudah membuatku sakit, apalagi mendengar suaranya yang begitu memuja pria itu. Bila ada mesin yang bisa melihat kondisi jantungku saat ini, mereka tak akan bisa menyelamatkannya, karena benda malang itu sudah retak, berlubang.
Aku patah hati dari mantan kekasihku, yang akan jadi ibu dari anakku.
***
FRAN(POV)
Aku meregangkan tubuhku. Pinggangku terasa kaku, begitu pula bahu dan lenganku. Tiga jam menyelesaikan pekerjaanku benar-benar membuatku jengkel.
Aku melihat ponselku yang tergeletak di meja. Benda itu hanya menyala saat ada panggilan dari kantor. Sudah seminggu Jeremiah tidak meneleponku atau memberi pesan. Aku tak bertemu dengannya sejak kami berkumpul waktu itu, dimana dia memaksaku mendapatkan nomor telepon para wanita itu. Berkat itu pula, ponselku berdering karena pesan para wanita itu.
Mungkin, Jeremiah sudah bosan untuk menjodohkanku, pikirku.
Kali ini, pandanganku teralih pada pintu kerjaku. Dia juga tak pernah datang lagi ke kantor. Bahkan, dia tak berbicara dengan Gabrielle. Gabrielle juga mulai aneh dengan sikap yang pulang dalam keadaan bau keringat dan mulai hobi minum susu serta makan daging.
Pintu kerjaku terbuka. Jantungku berdetak cepat, tapi kecewa begitu saja karena mahasiswaku datang untuk konsultasi dan bukannya Jeremiah.
Apa-apaan ini? Kenapa aku menunggunya? Aku tak berharap dia yang datang.
“Profesor?”
Aku melonjak kaget, melihat jurnal di depanku. Konsentrasi, Fran. Konsentrasi! Aku berusaha membaca jurnal itu. Setelah lima belas menit, aku menyerah karena tak ada satupun kata yang masuk ke dalam otakku.
Pikiranku terganggu karena Jeremiah.
“Tinggalkan saja di sini, besok akan kukembalikan,” kataku.
Pada akhirnya, aku tak melakukan apa-apa. Menyandarkan tubuhku, aku memandang ponselku dengan ragu. Menggigit bibir bawahku, aku mengotak-atiknya, menatap nomor ponsel Jeremiah seakan benda itu bersalah.
Kalau aku meneleponnya, apa yang harus kukatakan?
Tentu saja, tanya kabarnya!
Tak penting sekali sih meneleponnya cuma untuk tanya kabar! Setelah tanya kabar, apa lagi yang harus kulakukan? Sudah pasti, aku tak akan mengatakan apapun kan?
Kau khawatir padanya, jadi wajar saja kalau kau menanyakan kabarnya.
Dia akan berpikir kalau aku mengganggu karena terlalu ikut campur urusan pribadinya kan? Bagaimana kalau dia ada di kantor? Sedang rapat? Atau lebih parah, sedang kencan?
Bagaimana kalau dia mati di rumahnya?
Pikiran itu membuatku ngeri, menelan ludah, dan semakin memelototi ponselku, nyaris meremukannya.
Telepon. Tidak. Telepon. Tidak. Telepon. Tidak. Telepon. Tidak. Telepon. Tidak.
“…drrrrrrrttt… drrrrrrrttt….. drrrrrrrrrttt… drrrrrrrrrrrrrrt…”
“Aargh!” aku berteriak kaget, memegang dadaku. Jantungku seakan terhenti dalam sekejap. Ponselku bergetar di tanganku.
Jeremiah Calling…
Kekhawatiranku sirna dalam sekejap. “Halo?”
“Fran, datang ke café kemarin jam 4 sore. Sudah ya.” Klik.
Seperti biasa, dia hanya meneleponku untuk memerintahkan sesuatu. Aku melihat arloji yang menunjukkan jam tiga lewat. Perasaanku jauh lebih ringan begitu tahu bahwa dia baik-baik saja. Mengambil ponsel, kunci mobil, mantel dan tas kantorku, aku keluar dari kantor. Kolegaku menyapaku.
“Prof Fran, sepertinya kau terlihat bahagia. Mau kemana?”
Aku tersenyum. “Aku mau bertemu seseorang,” kataku menuju tangga.
“Bagus itu. Semoga kencanmu berhasil ya, Prof Fran!”
Aku tersenyum penuh terima kasih begitu menuruni anak tangga dan nyaris melompat-lompat kegirangan, sampai pada langkah ke sepuluh aku mencerna apa yang baru saja dia katakan.
Senyumku hilang dalam sekejap.
Kencan?
***
Medan, Minggu, 12 Januari 2014

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.