RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [14]



14
Aware
==========

FRAN(POV)
Jeremiah bersin-bersin sepanjang malam, menggigil di balik berlapis-lapis selimut yang melapisi tubuhnya seperti gumpalan salju besar. Aku memberikannya teh jahe hangat, sedikit khawatir dengan keadaannya, apalagi wajahnya mulai memerah.
Sejak pulang dari “kencan” dengan Cody dua malam lalu, kondisi Jeremiah jadi seperti ini. Oh, ya, aku belum bilang kalau mereka pulang dalam keadaan basah kuyup? Kenapa aku tak kaget sama sekali dengan tingkah anak-anak mereka?
“Aku harus menyelesaikan proyekku,” kata Cody, menyelipkan tas punggungnya, melihat Jeremiah dengan alis menaik. Berbeda dengan Jeremiah, Cody malah segar-bugar.
Jeremiah membalasnya dengan meliriknya dengan benci, membuat Cody memutar bola mata.
“Aku sudah menyiapkan makanan di kulkas. Kau tinggal memanaskannya,” kata Cody, tidak memedulikan sikap Jeremiah. “Ingatkan aku bila kau sudah tak sanggup menanganinya, Fran, biar nanti aku sendiri yang akan menyeretnya ke apartemenku.”
“Hei, kau sendiri yang—hatchi—menendangku—ha… hatchi—ke air terjun!”
Cody menatapnya dengan geli, tersenyum kecil. “Yeah, dan siapa yang menendangku setelah itu?” balasnya, membuat Jeremiah cemberut seperti anak kecil. Karena tak ada balasan, Cody kembali menatapku. “Aku benar-benar berterima kasih karena kau mau merawatnya sementara. Sebenarnya, itu tak perlu kau lakukan.”
“Oh, aku tak keberatan,” kataku cepat.
Cody memberitahuku kalau Jeremiah sakit beberapa jam lalu di kampus dan aku segera melesat kemari dan menawarkan diri untuk merawatnya. Aku tak bisa berlama-lama di rumah karena Gabrielle sendiri sedikit aneh. Dia jadi lebih pemarah dari biasanya dan menendang benda-benda terdekatnya tiap kali aku bertanya apa yang terjadi padanya. Karena alasan itu pula, aku merasa perlu membawa Gabrielle untuk menenangkan diri.
“Cody, kau tak mungkin bekerja jam segini kan? Ini sudah jam sembilan!” Jeremiah bersin lagi, membersihkan hidungnya yang merah dengan tisu.
Cody mengacak rambutnya. “Aku tiba-tiba mendapat insiprasi. Sayang sekali bila aku membuang ideku,” katanya menenangkan Jeremiah. “Aku akan pulang sebelum jam dua belas dan tidur dengan tenang. Kau tak perlu khawatir, Remi. Kau sudah melakukan hal yang luar biasa selama ini. Kau jaga saja kesehatanmu.”
Jeremiah mendesah, tapi tak membantah perkatannya.
Memberikan senyuman dan anggukan penuh terima kasih, Cody berlalu ke depan rumah. Kami mendengar mesin mobilnya yang menjauh tak lama kemudian.
“Dia pasti bekerja sampai pagi,” kata Jeremiah, meneguk tehnya. Dia benar-benar mengenal Cody dengan sangat baik.
“Kau bisa meneleponnya nanti,” kataku.
Pria itu menggeleng. “Pekerjaannya akan membantunya menghilangkan stress terhadap Keyna.”
Aku mengangguk penuh pengertian.
Kami menghabiskan waktu kami dalam diam. Aku lebih sering memandangi perapian yang apinya berderik dan nyaris padam. Gabrielle sudah tidur setelah menyelesaikan PR-nya dengan ekspresi nyaris membunuh. Cody sudah bicara dengannya tadi dan kurasa, belum ada hal yang mampu mengalihkan perhatian Gabrielle saat ini.
“Oh, ya, aku nyaris lupa!” Jeremiah menepuk dahinya. “Aku sudah merancang kencan lagi untukmu.”
Aku mengerang jengkel. “Jeremiah, aku sudah bilang kalau aku—”
“Oh, tidak, tidak, tidak,” katanya, mengayunkan jarinya padaku. “Aku sudah bilang kalau aku tak akan membiarkanmu jadi jomblo seumur hidup dan aku akan membuktikan perkataanku. Yang kemarin itu benar-benar bencana dan aku sudah mencarikan sosok yang pas untukmu. Gadis ini sudah kutelusuri latar belakangnya. Dia sama sepertimu, belum pernah kencan, polos, cerdas, baik hati dan lemah lembut. Kau akan menyukainya.”
Bagaimana caranya aku harus mengatakan pada pria ini bahwa aku baik-baik saja tanpa pacar? Mengingat kencanku dengan Marcee saja membuatku menggigil. Aku masih bisa merasakan bagaimana mantan pacarnya meninjuku. Aku tak ingin merasakan hal yang sama lagi.
“Fran, percaya padaku. Kali ini, gadis ini pasti akan membuatmu jatuh cinta. Dia masih muda!”
Seakan itu akan membuat prinsipku luntur begitu rupa.
Tapi, begitu melihat wajah bercahaya Jeremiah dan juga matanya yang bersemangat, aku yakin kalau aku baru saja menarik nerakaku untuk mendekat.
“Ok,” kataku menyerah, dan pria itu melonjak seperti anak kecil.
Lagi-lagi, aku merasakan sesuatu yang menghangatkan di dadaku melihat Jeremiah tertawa.
***
“Aku suka warna kuning karena warna kuning sangat mencerahkan dan juga memberikan efek gembira. Aku selalu merasa gembira melihat warna kuning. Matahari pagi juga warna kuning kan? Dan dia memberikan kegembiraan ke seluruh dunia hanya dengan sinarnya. Bagaimana denganmu? Ah, jangan bilang, coba aku tebak. Hmm, kau suka warna biru? Tidak? Hijau? Ungu? Merah? Hitam? Wow, kau sangat sulit ditebak ya? Sepertinya aku akan sangat menyukaimu. Aku suka main tebak-tebakan.”
Gadis itu—entah siapa namanya—dari tadi bicara terus sejak dia memperkenalkan diri. Aku bahkan hanya mengucapkan “Hai” dan dia sudah meluncurkan jurus pamungkas luar biasa padaku: bicara tanpa henti sampai kepalaku sakit.
“Eh…”
“Tunggu, tunggu, tunggu, jangan jawab dulu, aku pasti langsung tahu apa kesukaanmu!” dia memegang dahinya, lalu menjentikkan jarinya. “Aku tahu, aku tahu! Kau pasti suka warna abu-abu, ya kan? Ya kan? Tebakanku benar kan?”
Aku belum mengucapkan apapun sampai dia berkata yang lain.
“Yes! Aku tahu kau pasti suka abu-abu! Tebakanku benar! Ah, aku memang punya kemampuan menebak luar biasa!” dia melonjak-lonjak.
Sebenarnya, aku suka warna aqua, pikirku dalam hati, tapi percuma saja mengatakannya pada gadis itu.
Lalu, suatu hal yang luar biasa terjadi, seorang wanita lain yang aku kenali sebagai Cindy mendatangi meja kami. Mulutku terbuka lebar, takjub melihatnya, apalagi semakin takjub saat dia tersenyum padaku dan dengan sangat santai duduk di pangkuanku.
What the
“Sayang, apa yang kau lakukan di sini?” kata Cindy, menyusuri rahangku dengan jarinya. Bau tubuhnya menguar di hidungku. Aku melihat si gadis parkit, yang menganga melihat kami. “Siapa gadis malang itu? Korban barumu lagi?”
Aku mengerjap, tak tahu harus bilang apa.
Gadis kencanku berdiri dengan cepat, mengambil tas tangannya dan tanpa mengucapkan apa-apa memilih untuk meninggalkan kami.
Aku masih menatap semua ini dengan kebingungan sampai Cindy bangkit dari pangkuanku dan menamparku keras-keras. “Itu balasan karena membuat Jeremiah putus denganku,” desisnya, kemudian wanita itu pergi, melenggang seksi setelah memberikan injakan pada kakiku.
Aku meringis, memegang pipiku yang nyeri dan kakiku yang berdenyut. Begitu aku sadar apa yang terjadi, aku melihat pengunjung kafe sekarang melirikku dengan kasihan, sementara yang lain tertawa geli.
Tidak ingin mempermalukan diriku lebih lama lagi, aku memutuskan untuk segera angkat kaki dari tempat itu dan masuk ke mobilku.
Hari ini, aku benar-benar sial.
Dan ini semua berkat Jeremiah.
Kenapa sejak dia masuk ke dalam hidupku, keadaanku malah tambah kacau?
Tok tok tok.
Aku menoleh ke jendela mobilku, melihat seorang wanita di luar. Dahiku mengerut, kemudian menurunkan kaca jendela.
“Mr Cattermole,” kata wanita itu, tersenyum padaku, “ternyata itu benar Anda. Saya sempat ragu apakah harus menyapa Anda atau tidak.”
Aku terkejut melihat wanita pemilik panti asuhan tempat Gabrielle dulu tinggal kini ada di hadapanku. “Ms Khan,” kataku, tersenyum secara otomatis. “Senang sekali melihat Anda.”
“Apa Anda sedang terburu-buru?” tanyanya padaku.
“Urm, tidak.”
“Mau minum teh?”
Aku melirik café di depanku. “Boleh, tapi di tempat lain saja.” Aku tak ingin mereka menertawakanku lagi karena membawa wanita ketiga masuk ke dalam café.
Wanita itu tersenyum padaku. “Tentu saja. Saya tahu tempat dimana Anda bisa memakan omlet kesukaan Anda.”
Wajahku memerah karena beberapa kali bertemu dengannya, aku tak sengaja bilang kalau aku suka omlet. “Tentu,” kataku, membukakan pintu di sampingku. “Silakan masuk?”
Wanita itu memutar di mobilku dan masuk.
Kami berdua ngobrol sepanjang perjalanan dan baru kali ini aku merasa bahwa aku tak takut ditipu, ditampar, atau dikejar-kejar pacar dari para wanita yang dijodohkan Jeremiah padaku.
***
JEREMIAH(POV)
Meski sakit, aku tetap berkerja di rumah. Kau tak tahu seperti apa keluarga Huges dalam mengolah bisnis mereka dan aku tak ingin menjadi salah satu orang yang mengacaukan bisnis mereka—meski aku tergoda melakukannya—cukup River saja yang melakukannya.
Hei, aku masih sayang pada adik-adikku yang harus sekolah. Eleanor malah bilang kalau dia ingin sekolah sampai bergelar profesor dan punya sekolah sendiri. Cassandra ingin punya kastil sendiri. Ezekiel ingin punya pesawat sendiri. Michael ingin punya planet sendiri dan Raphael ingin buat roket sendiri yang akan membawa Michael terbang ke planetnya. Sementara Jamine ingin jadi arsitek.
Lihat? Dengan begitu banyak kebutuhan, kami tentu butuh uang banyak, terutama bagian impian tak masuk akal Michael.
Dan, sekarang, ada gangguan dari River yang minta uang.
“River,” kataku lelah, melihat wajahnya di depan layar komputerku. “Kau harus berhenti menghabiskan uang itu, dan apa yang terjadi pada wajahmu? You look like shit, bro!
Nyaris selama tiga tahun tak melihat wajahnya, aku menganga melihat kondisi River. Di depanku sekarang tak lagi tampak manusia normal. Wajah River ditutupi oleh janggut yang tebal, mengeriting dengan luar biasa sampai lehernya. Rambutnya juga tak kalah kacaunya, liar ke sana-kemari. Aku hanya mampu mengenali matanya untuk meyakinkan diri bahwa itu River, karena matanya selalu menghangatkan.
“Ini, Saudaraku, adalah tren yang sekarang ada di Palestina,” katanya, menyisir janggut “Santa Claus”nya dengan kebanggaan. Aku curiga dia sengaja melakukannya untuk membuat orang tuaku histeris. “Dan apa yang terjadi denganmu? You look like shit!
Aku memutar bola mata. “Aku cuma kencan dengan Cody.”
Dia terbahak-bahak. “Kenapa setiap kali kalian kencan, hanya kau yang terkapar?”
“Mana aku tahu,” kataku.
“Apa kau sudah minum obat?”
“Yeah, Fran sudah memasakkan sup untukku.”
Alis tebalnya naik sebelah, menghilang di balik rambut awut-awutannya. Ya ampun, dia persis seperti Hagrid. “Fran?”
Tanganku mengayun. “Kau tak mengenalnya.”
“Aku yakinkan kau, Xavier, aku pasti tahu.” Dia tertawa lagi. “Aku butuh uang, Xavier. Kupikir, uang yang kau berikan waktu itu akan membuatku bertahan tahun depan, tapi ternyata ada sedikit masalah.”
“Apa sih yang kau lakukan di sana?”
“Kau tak perlu tahu urusan orang dewasa,” dia mengedip jenaka.
“Yeah, orang dewasa yang tak bisa menghasilkan uang sendiri.” Aku terbatuk, mengambil tisu sebelum membuka aplikasi lain untuk mengirimkan uang padanya. “Berapa?”
Dia mendesah. “Aku berterima kasih, Xavier,” katanya, tersenyum tulus. Dia mengirimkan jumlah uang yang dia butuhkan dan juga rekening yang harus kutuju. Aku sedikit kaget melihat jumlah nol yang dia butuhkan, tapi aku tak bertanya banyak.
Aku memercayai River. Dia tak akan melakukan hal yang berbahaya dengan uang itu.
Kami mengobrol lagi selama sepuluh menit, sampai kemudian dia bilang kalau dia harus melakukan sesuatu, dan offline.
Aku terbatuk lagi, mataku mulai kabur. Kurasa aku tak sanggup lagi menyelesaikan tugas dan PR dari kampus. Menyingkirkan laptop dan pekerjaanku ke samping tempat tidurku, kutarik selimut untuk menutupi tubuhku.
Ponselku berdering, aku membiarkannya. Kepalaku sudah berdenyut-denyut sekarang. Siapapun nanti yang membutuhkanku akan kuhubungi nanti. Mereka bisa meninggalkan pesan di teleponku jika begitu penting.
Mataku mulai tertutup, menikmati kehangatan selimutku, sampai aku tak mendengar suara pesan di telepon lagi.
“Jeremiah, ini Daphne… bisakah kita bertemu? Aku tak tahu apakah pantas memberitahumu hal ini tapi aku sakit dan aku takut… Jeremiah, telepon aku segera bila kau mendapat pesanku.”
***
GABREIELLE(POV)
Jeremiah tidur sepanjang siang, bergelung dalam selimut. Nathan, Dokter pribadinya yang kutelepon karena panas Jeremiah tak juga turun, mengatakan kalau dia hanya demam biasa. Bila dia minum obat, makan teratur dan istirahat yang cukup, dia akan kembali pulih.
Aku ikut tidur di samping Jeremiah, memegang tangan besarnya yang panas.
Melihatnya tidur dan tak berdaya seperti ini membuatku kasihan padanya. Biasanya dia sangat kuat dan tertawa, juga berisik. Sekarang, dia seperti pasien yang menuju kematian.
“Gabrielle,” suara Cody membangunkanku. Pria itu tengah tersenyum padaku, membawa mangkuk besar yang beruap. “Fran menyuruhmu turun untuk makan malam.”
“Aku masih mau di sini,” gumamku, menggosok mataku.
“Kau bisa terkena demam bila terlalu lama di samping Remi,” katanya, meletakkan nampan makanannya, lalu beralih pada Jeremiah. “Remi, bangun. Aku bawa makan malam.”
“Dia masih tidur,” kataku.
Jeremiah bergerak perlahan, membuka matanya, tapi hanya sampai situ.
Cody tersenyum padaku. “Dia hanya demam biasa.” Sambil memberi alasan itu, dia membantu Jeremiah duduk. “Sekarang, cepatlah turun dan makan malam. Aku akan mengurus Remi.”
“Ya, turun dan makan sana,” Jeremiah ikut-ikutan dengan suara serak.
Aku merengut, turun dengan lambat-lambat. Aku masih ingin di sini.
“Buka mulutmu,” Cody memerintah Jeremiah, bahkan sebelum Jeremiah bergerak, Cody sudah membuka mulutnya, mengerutkan dahi, lalu mengangguk. Dia meletakkan meja dan nampan makanan ke depan Jeremiah.
Aku turun dan keluar dari kamar Jeremiah, tidak menutup pintunya agar aku bisa mengintip apa mereka sudah selesai makan atau belum.
Cody menyingkirkan selimut Jeremiah, memberinya ruang untuk makan. Tapi Jeremiah, seperti anak bayi besar, membuka mulutnya lebar-lebar. Aku meyakinkan diri bahwa Cody pastilah memutar bola matanya, karena dia sama sekali tak membantah saat menyuap makanan ke mulutnya.
“Kau tahu, kau harus segera cari orang yang rela menghabiskan waktunya bersama orang sepertimu,” kata Cody, menusuk-nusuk mangkuk.
Pria sakit itu membela. “Satu-satunya orang yang rela menghabiskan waktunya untukku cuma kau.”
“Maksudku, sampai kau tua.”
“Tapi, kau akan bersamaku sampai aku tua, ya kan?”
“Yang akan jadi teman satu rumahmu, bersamamu seumur hidup.”
“Kita bisa tinggal bersama sampai seumur hidupku bila itu maumu.”
Tangan Cody melayang ke kepalanya.
“Ow! Cody, aku sedang sakit,” Jeremiah meringis, mengusap-usap belakang kepalanya.
“Fisikmu mungkin sakit, tapi kepalamu tidak,” balas Cody. Jeremiah nyengir lebar, membuka mulutnya lagi. “Apa yang akan terjadi padamu bila tak ada aku?”
Mengunyah makanannya, Jeremiah membalas, “Aku akan mati stress.”
Cody mendesah. “Kau harus berhenti bergantung padaku, Remi.”
“Oh, tidak, tidak, tidak. Jangan harap aku akan berhenti melakukannya. Kau tahu betul aku tak bisa hidup tanpamu.” Mata Jeremiah mengedip-ngedip manja pada Cody.
Cody mendengus. “Kau tahu betul kalau tampangmu itu tak akan berpengaruh padaku.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau aku melamarmu dengan memberikan bulan padamu. Aku bisa melakukannya,” Remi membuka mulutnya, menggerutu begitu Cody menyuapkan sup yang masih panas ke mulutnya.
“Meski kau memberi Bumi ke telapak kakiku sekalipun, aku tak akan tergoda, apalagi kau memberiku bulan yang tandus seperti itu,” balas Cody.
Jeremiah tertawa. “Kau tahu, aku mencintaimu sampai mati.”
Cody geleng-geleng kepala, bergumam, “I know.”
Persahabatan mereka berdua membuatku iri. Begitu aku berbalik, aku melihat Fran, berdiri di sampingku, melihat ke balik pintu. Entah berapa lama dia sudah berdiri di sampingku, tapi melihat dari ekspresi wajahnya, aku yakin dia cukup lama melihat.
Fran tampak kecewa karena hanya Cody yang mampu membuat Jeremiah terlihat lebih baik. Dia sudah berusaha membuat Jeremiah untuk makan dan minum obat, tapi pria itu hanya tidur sepanjang hari. Hanya Cody yang mampu membuatnya tertawa dan terjaga.
Mungkin, jika Cody tak menganggap Jeremiah sahabatanya, aku tak akan terkejut mendengar kabar pernikahan mereka suatu hari nanti.
“Papa,” kataku pelan, membuatnya mengerjap dan sadar apa yang dia lakukan. Wajahnya merona, tampak malu karena aku memergokinya. Kugenggam tangannya dan aku menariknya turun menuju dapur, meninggalkan dua sahabat itu mengobrol.
“Aku sudah masak seafood,” gumam Fran, memberikan piring padaku.
Duduk dengan tenang di kursiku, kami makan dalam diam. Fran tampak berpikir terlalu keras, memutar-mutar makanannya.
“Kau menyukainya, kan?” kataku tiba-tiba, memecah kesunyian.
Garpu di tangannya jatuh. Wajahnya merah padam. “Erm, apa?”
Kuputuskan untuk langsung saja. Aku muak melihat perasaannya. Dia harus sadar apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia mulai belajar menyukai Jeremiah. Tidak, malah lebih parah. Dia jatuh cinta pada pria itu.
“Aku tak akan mengulanginya,” kataku, menyodok makananku. “Entah kau sadar atau tidak, Papa, tapi kau memasak makanan favoritnya tiap kali kita ada di sini.”
Dia mengerjap, dengan gugup membantah. “Aku suka seafood, Gabrielle.”
“Kau mulai menyetok selai strawberry di rumah, padahal kau suka kacang.”
“Aku cuma ingin mengganti rasa.”
“Kau membeli pakaian baru yang lebih besar, bahkan sikat gigi dan handuk cadangan.”
“Gabrielle—”
“Ada buku-buku karangannya di rumah, padahal kau tak suka novel cinta.”
Well, aku—”
Aku tak akan berhenti sebelum dia sadar apa yang dia katakan. “Ada stok es krim rasa strawberry dan blueberry di rumah. Tiba-tiba saja kau lebih tertarik bereksperimen membuat kue daripada memasak biasa. Sekarang, semua makananmu terasa lebih manis daripada asin. Dan kau mulai membersihkan gudang sambil memberikan perlengkapan yang semuanya tak cocok diletakkan untuk kamar tamu tapi seperti kamar pribadi. Tiap sejam sekali kau akan melihat ponselmu hanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Aku bisa memberikan sejuta alasan lain dan aku tak akan berhenti sampai kau sadar apa yang sebenarnya kau hadapi sekarang.”
Fran menatapku selama beberapa detik, seperti orang yang baru saja mendengar kabar buruk.
Jantungku berdetak tak karuan, hanya saja ekspresiku masih datar. Aku tak bermaksud membuatnya sadar, tapi aku tak tahan melihatnya berjalan di dalam kegelapan. Dia tidak mengenal apa yang terjadi pada dirinya karena dia belum pernah mengalaminya, dan dia justru mengalaminya pada Jeremiah.
Dari sekian banyak orang, dia malah memilih Jeremiah—seseorang yang mengenalkan dunia padanya.
“Itu kalimat terpanjang yang pernah kudengar, Gabrielle,” kata Fran pada akhirnya, mengambil kembali garpunya dan memenuhi mulutnya dengan makanan untuk membuatnya tak bicara padaku.
Dia takut, pikirku melihat tangannya yang gemetar. Dia takut pada perasaannya sendiri.
Kami menyelesaikan makanan kami dengan kecanggungan luar biasa.
“Kerjakan PR-mu, aku akan membereskannya sendiri,” gumam Fran, menyusun piring.
Mengangguk kecil, aku bangkit dari kursiku dan memutar ke arahnya. Dia terkejut, tapi tidak melihat mataku.
“Papa,” kataku pelan, memegang tangannya. “Aku mendukungmu.”
Pria itu menghela napas, mengecup dahiku. “Terima kasih, Gabrielle.”
Ketika dia membalikkan badan, pembicaraan kami berakhir. Dengan cepat aku kembali ke kamar tamu Jeremiah—kamarnya Cody, lebih tepatnya—dan melihat Cody sudah duduk di tempat tidur dengan tangan terlipat.
Dahiku mengerut.
“Kau seharusnya tak mengatakan itu, Gabrielle,” kata Cody, menghela napas.
Dia mendengar semuanya, pikirku getir.
Dia memberikan gerakan agar aku duduk di sampingnya dan aku melakukannya dengan segera. Cody mengusap wajahnya, menghela napas, bergumam tak jelas yang terdengar seperti “Kepalaku sakit” dan menatapku.
“Dengar, Gabrielle, aku tahu bahwa kita sama-sama tahu apa yang terjadi pada Fran,” kata Cody tenang. Meski matanya lelah dan tubuhnya tampak jauh lebih kurus, aku masih bisa melihat kebijaksanaan terpancar keluar dari dirinya. “Tapi, alangkah lebih baik bila kita tak ikut campur.”
“Kenapa?” kataku, menatap kakiku.
Cody mendesah lagi. “Kau tahu kenapa, Gabrielle.”
Aku menggigit bibir. “Karena mereka laki-laki? Kupikir, homoseksual tidak mendapat perlakuan separah abad 18. Ini zaman modern.”
“Bukan. Bukan karena itu,” Cody menggeleng. “Ini karena Remi. Dia bukan gay, Gabrielle.”
“Kau tak tahu itu, Cody.”
“Aku tahu sahabatku, Gabrielle. Aku mengenalnya selama hidupku,” Cody menatapku dalam-dalam. “Kau tahu apa yang kukhawatirkan?” Karena aku tak menjawab, Cody menjawabnya sendiri. “Remi akan menyakiti Fran, Gabrielle.”
Aku menelan ludah.
“Ini bukan pertama kalinya ada gay yang jatuh cinta padanya. Aku mengenal beberapa yang jatuh cinta padanya dengan serius. Tapi, seperti yang sudah kukatakan padamu berulang kali, Remi bukan gay. Sikapnya tak akan berubah terhapada para gay ataupun pada orang yang menyukainya, dan itu jauh lebih menyakitkan. Bagaimana bila suatu hari nanti, saat Fran sadar kalau dia mencintai Remi, Remi memilih untuk menikah dengan orang lain? Itu akan menghancurkan Fran, Gab. Bahkan, sekarang saja aku sudah melihat Fran perlahan-lahan jatuh hanya karena kebiasaan Remi yang punya banyak pacar. Aku peduli pada Fran. Tapi, aku juga tahu seburuk apa sahabatku.”
“Tak adil.”
Cody mendesah, memegang bahuku. “Gabrielle, tinggalkan Fran sendiri. Biarkan dia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia akan sadar, cepat atau lambat, kalau Remi bukan orang yang tepat untuknya.”
“Tapi, Fran—”
“Jangan melindunginya, Gabrielle, karena dia tak akan belajar apa-apa bila dia tak merasakannya.”
Tanganku terkepal. “Kenapa kau santai sekali? Apa kau tak takut bahwa mungkin saja Jeremiah bisa jatuh cinta pada Fran?”
“Terkejut mungkin iya, tapi takut? Tidak.” Cody menggeleng. “Kau tahu kenapa kami tak terpisahkan?”
Dahiku mengerut, tapi menggeleng.
“Kami tak menghakimi, Gabrielle. Kami juga tak mengekang. Remi tak pernah marah atau melarangku bila aku bilang kalau aku ingin lompat dari lantai dua, tapi dia akan meletakkan bantalan di bawah untuk menghindari kemungkinan terburuk. Aku tak akan pernah menghakiminya dan melihatnya sebagai orang berbeda karena punya begitu banyak wanita dalam hidupnya, meski aku tak akan pernah berhenti mengingatkannya untuk segera memilih satu orang baginya.”
Kurasa aku mengerti.
“Perasaan itu tumbuh perlahan-lahan. Dia belajar untuk mengenal seseorang. Bila kau memberi pupuk pada perasaan Fran yang belum pasti pada Remi, dia akan takut untuk bertindak dan tak akan pernah belajar mengenai kesalahannya. Ketika dia yakin kalau dia hanya menganggap Remi sahabat, kau malah memasukkan prinsip kalau dia jatuh cinta pada Remi. Itu akan mengacaukan semuanya.”
Aku menatap Cody yang tersenyum kecil.
“Ok,” kataku pelan.
Cody benar. Hanya Fran dan Jeremiah yang bisa menyelesaikan perasaan mereka, bukan dirinya.
“Dan, kau juga,” kata Cody, setelah diam beberapa saat. Aku mengerjap kebingungan. “Patah hati itu tak enak, ya kan?”
Panas yang rasanya tidak berasal dari luar meluncur masuk ke pipiku. Senyuman Cody semakin lebar, apalagi dia menunjukkan ponselku yang ada gambar Fanesca. Dengan cepat kuambil ponselku kembali.
Bagaimana caranya dia mengetahui passwordku?
Cody mengedip jenaka. “Kau masih muda, Gabrielle. Ada banyak orang yang akan rela memperebutkanmu.”
Mendengus, aku membalasnya. “Yeah, ada banyak Keyna di luar sana.”
Kehangatan di mata Cody menguap cepat. Aku langsung menyesal mengatakannya.
Begitu aku takut kalau Cody bakal marah, yang terjadi malah dia mengusap pelan rambutku. Sentuhannya membuatku tenang dan damai. Cody benar-benar memberi efek yang menyejukkan.
“Kau anak yang baik, Gabrielle,” kata Cody, tersenyum lagi. “Dan kami menyayangimu. Jangan lupakan itu.”
Aku mengangguk, lalu ingat satu hal. “Kapan kau ajari aku kick boxing?”
Dia tertawa kecil. “Besok.”
***
AROZ(POV)
Satu-satunya orang yang kutahu merencanakan hal ini sudah pasti Jeremiah. Pria besar itu nyengir lebar, diapit oleh Cody dan Fran di kiri dan kanannya. Tanganku terlipat, alis menaik penuh tanda tanya. Gabrielle memutar bola matanya.
Dua jam lalu dia meneleponku, mengatakan kalau mereka harus berkumpul.
“Reuni Jomblo!” Jeremiah memekik kegirangan.
“Dewasa sekali,” gumam Cody, sementara aku berkomentar, “Original sekali.”
Kami saling pandang, lalu tertawa bersama.
Jeremiah geleng-geleng kepala. Senyumannya belum juga sirna. “Ayolah, ini pasti akan seru. Cody patah hati, Fran jomblo lapuk, aku single, Gabrielle bertepuk sebelah tangan dan kau dalam masa penolakan.”
“Hei!” kami membantah berbarengan, membuat pria itu tertawa.
“Aku ingin kalian bersenang-senang, terutama kau, Fran,” kata Jeremiah.
“Aku?” Fran melongo, mengerutkan dahi.
Dia mengangguk. “Aku sudah menjodohkanmu pada beberapa gadis dan tak ada satupun yang tertambat hatimu. Sekarang, aku ingin kau mencari gadismu sendiri.”
Fran menatapnya dengan ngeri. Pria malang, Jeremiah benar-benar menyiksanya pelan-pelan.
“Tak ada bantahan!” Jeremiah menutup kedua telinganya begitu Fran hendak membantah. “Nah, sekarang, aku ingin menaikan rasa percaya dirimu. Kau lihat wanita-wanita di sana?”
Dia menunjuk kerumunan para wanita yang melihat papan iklan bioskop.
“Coba minta salah satu nomor telepon mereka, lalu kembali kemari.”
Sekarang, Fran benar-benar pucat. “Bagaimana caranya?”
“Ah, gampang,” Jeremiah menyibakkan tangannya, lalu mengalihkan padangan pada Cody, yang meliriknya penuh curiga. Dia melirik Cody dari atas sampai ke bawah, tersenyum kecil penuh goda, berdeham, lalu beringsut mendekati Cody. “Hai, Sayang, sendirian?”
Rahang Fran dan Gabrielle terbuka lebar. Bila aku tak mengenal Jeremiah, tentunya aku akan melemparkan gelasku padanya.
Tidak biasanya, Cody meladeni Jeremiah.  Pria itu balas tersenyum menggoda, memerhatikan kuku-kuku jarinya seperti seorang lady, lalu menyusuri dada Jeremiah sambil menjawab, “Sendirian saja, sampai kekasihku kembali dari membeli popcorn.” Suaranya penuh bujuk rayu, dengan mata mengedip-ngedip anggun.
“Sayang sekali kau ditinggal sendirian. Keberatan bila aku mengisi waktu?” ucap Jeremiah lagi, menempelkan tangannya ke bahu Cody.
“Dan bagaimana cara kau melakukannya?” Cody membalas, mendekatkan wajah padanya.
“Dengan nomor telepon yang siap kau hubungi,” balas Jeremiah dengan pasti.
Aku tak tahan lagi. Tawaku menyembur keluar sementara Cody dan Jeremiah saling bertukar nomor telepon dari ponsel yang tak terlihat. Sekarang, semua orang melihat ke arah kami dengan curiga, tapi dua orang itu tampak tak peduli. Kulihat Gabrielle ikut tertawa sementara Fran mendesis.
“Jangan ajari anakku hal seperti itu!”
“Ayolah, Fran, itu tadi lucu,” kataku, di antara tawaku. Ya ampun, aku sudah lama tak tertawa. Begitu aku mencicipi kembali rasa itu, aku seakan kembali dari mimpi buruk yang panjang. Sudah lama sekali aku tak melihat kekompakan kedua sahabat itu. Mereka tak berubah sama sekali.
“Sekarang, kau minta nomor telepon mereka,” Jeremiah mendorong Fran ke arah para wanita itu, sementara tangan yang satunya lagi masih merangkul Cody.
Fran melirik mereka dengan penuh permohonan, tapi kami bertiga pura-pura tak melihat, sehingga mau tak mau, Fran terpaksa mendekat ke arah mereka.
Kami menunggu Fran berbicara pada para wanita itu.
Dari sini, kami melihat Fran menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan gelisah dan gugup, berulang kami melirik kami, tiap kali dia ada kesempatan, membuat para wanita itu juga melirik kami sambil terkikik geli.
Wajah Fran merah padam saat salah satu dari mereka mengecup pipinya.
“Aw, lihat itu? Dia seorang Cassanova!” kata Jeremiah bangga.
Begitu Fran kembali, dengan lipstik nyaris memenuhi wajahnya, Jeremiah sudah penasaran.
Well?” Cody menaikan alis.
“Kau dapat nomor teleponnya?” Jeremiah menyelesaikan pertanyaan Cody.
Fran memerah lagi. “Aku dapat semua nomor telepon mereka.”
Jeremiah menepuk-nepuk bahunya. “Aku bangga padamu,” dia tersenyum lebar.
Yep, itulah yang kusebut sebagai Cassanova bila kau berguru dengan seorang playboy.
***
Medan, Kamis, 2 Januari 2014


2 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.