14
Aware
==========
FRAN(POV)
Jeremiah bersin-bersin sepanjang malam, menggigil di
balik berlapis-lapis selimut yang melapisi tubuhnya seperti gumpalan salju
besar. Aku memberikannya teh jahe hangat, sedikit khawatir dengan keadaannya,
apalagi wajahnya mulai memerah.
Sejak pulang dari “kencan” dengan Cody dua malam
lalu, kondisi Jeremiah jadi seperti ini. Oh, ya, aku belum bilang kalau mereka
pulang dalam keadaan basah kuyup? Kenapa aku tak kaget sama sekali dengan
tingkah anak-anak mereka?
“Aku harus menyelesaikan proyekku,” kata Cody,
menyelipkan tas punggungnya, melihat Jeremiah dengan alis menaik. Berbeda
dengan Jeremiah, Cody malah segar-bugar.
Jeremiah membalasnya dengan meliriknya dengan benci,
membuat Cody memutar bola mata.
“Aku sudah menyiapkan makanan di kulkas. Kau tinggal
memanaskannya,” kata Cody, tidak memedulikan sikap Jeremiah. “Ingatkan aku bila
kau sudah tak sanggup menanganinya, Fran, biar nanti aku sendiri yang akan
menyeretnya ke apartemenku.”
“Hei, kau sendiri yang—hatchi—menendangku—ha…
hatchi—ke air terjun!”
Cody menatapnya dengan geli, tersenyum kecil. “Yeah,
dan siapa yang menendangku setelah itu?” balasnya, membuat Jeremiah cemberut
seperti anak kecil. Karena tak ada balasan, Cody kembali menatapku. “Aku
benar-benar berterima kasih karena kau mau merawatnya sementara. Sebenarnya,
itu tak perlu kau lakukan.”
“Oh, aku tak keberatan,” kataku cepat.
Cody memberitahuku kalau Jeremiah sakit beberapa jam
lalu di kampus dan aku segera melesat kemari dan menawarkan diri untuk
merawatnya. Aku tak bisa berlama-lama di rumah karena Gabrielle sendiri sedikit
aneh. Dia jadi lebih pemarah dari biasanya dan menendang benda-benda
terdekatnya tiap kali aku bertanya apa yang terjadi padanya. Karena alasan itu
pula, aku merasa perlu membawa Gabrielle untuk menenangkan diri.
“Cody, kau tak mungkin bekerja jam segini kan? Ini
sudah jam sembilan!” Jeremiah bersin lagi, membersihkan hidungnya yang merah
dengan tisu.
Cody mengacak rambutnya. “Aku tiba-tiba mendapat
insiprasi. Sayang sekali bila aku membuang ideku,” katanya menenangkan
Jeremiah. “Aku akan pulang sebelum jam dua belas dan tidur dengan tenang. Kau
tak perlu khawatir, Remi. Kau sudah melakukan hal yang luar biasa selama ini.
Kau jaga saja kesehatanmu.”
Jeremiah mendesah, tapi tak membantah perkatannya.
Memberikan senyuman dan anggukan penuh terima kasih,
Cody berlalu ke depan rumah. Kami mendengar mesin mobilnya yang menjauh tak
lama kemudian.
“Dia pasti bekerja sampai pagi,” kata Jeremiah,
meneguk tehnya. Dia benar-benar mengenal Cody dengan sangat baik.
“Kau bisa meneleponnya nanti,” kataku.
Pria itu menggeleng. “Pekerjaannya akan membantunya
menghilangkan stress terhadap Keyna.”
Aku mengangguk penuh pengertian.
Kami menghabiskan waktu kami dalam diam. Aku lebih
sering memandangi perapian yang apinya berderik dan nyaris padam. Gabrielle
sudah tidur setelah menyelesaikan PR-nya dengan ekspresi nyaris membunuh. Cody
sudah bicara dengannya tadi dan kurasa, belum ada hal yang mampu mengalihkan
perhatian Gabrielle saat ini.
“Oh, ya, aku nyaris lupa!” Jeremiah menepuk dahinya.
“Aku sudah merancang kencan lagi untukmu.”
Aku mengerang jengkel. “Jeremiah, aku sudah bilang
kalau aku—”
“Oh, tidak, tidak, tidak,” katanya, mengayunkan
jarinya padaku. “Aku sudah bilang kalau aku tak akan membiarkanmu jadi jomblo
seumur hidup dan aku akan membuktikan perkataanku. Yang kemarin itu benar-benar
bencana dan aku sudah mencarikan sosok yang pas untukmu. Gadis ini sudah
kutelusuri latar belakangnya. Dia sama sepertimu, belum pernah kencan, polos,
cerdas, baik hati dan lemah lembut. Kau akan menyukainya.”
Bagaimana caranya aku harus mengatakan pada pria ini
bahwa aku baik-baik saja tanpa pacar?
Mengingat kencanku dengan Marcee saja membuatku menggigil. Aku masih bisa
merasakan bagaimana mantan pacarnya meninjuku. Aku tak ingin merasakan hal yang
sama lagi.
“Fran, percaya padaku. Kali ini, gadis ini pasti akan
membuatmu jatuh cinta. Dia masih muda!”
Seakan itu akan membuat prinsipku luntur begitu rupa.
Tapi, begitu melihat wajah bercahaya Jeremiah dan
juga matanya yang bersemangat, aku yakin kalau aku baru saja menarik nerakaku
untuk mendekat.
“Ok,” kataku menyerah, dan pria itu melonjak seperti
anak kecil.
Lagi-lagi, aku merasakan sesuatu yang menghangatkan
di dadaku melihat Jeremiah tertawa.
***
“Aku suka warna kuning karena warna kuning sangat
mencerahkan dan juga memberikan efek gembira. Aku selalu merasa gembira melihat
warna kuning. Matahari pagi juga warna kuning kan? Dan dia memberikan
kegembiraan ke seluruh dunia hanya dengan sinarnya. Bagaimana denganmu? Ah,
jangan bilang, coba aku tebak. Hmm, kau suka warna biru? Tidak? Hijau? Ungu?
Merah? Hitam? Wow, kau sangat sulit ditebak ya? Sepertinya aku akan sangat
menyukaimu. Aku suka main tebak-tebakan.”
Gadis itu—entah siapa namanya—dari tadi bicara terus
sejak dia memperkenalkan diri. Aku bahkan hanya mengucapkan “Hai” dan dia sudah
meluncurkan jurus pamungkas luar biasa padaku: bicara tanpa henti sampai kepalaku sakit.
“Eh…”
“Tunggu, tunggu, tunggu, jangan jawab dulu, aku pasti
langsung tahu apa kesukaanmu!” dia memegang dahinya, lalu menjentikkan jarinya.
“Aku tahu, aku tahu! Kau pasti suka warna abu-abu, ya kan? Ya kan? Tebakanku
benar kan?”
Aku belum mengucapkan apapun sampai dia berkata yang
lain.
“Yes! Aku tahu kau pasti suka abu-abu! Tebakanku
benar! Ah, aku memang punya kemampuan menebak luar biasa!” dia melonjak-lonjak.
Sebenarnya, aku suka warna aqua, pikirku dalam hati, tapi percuma saja mengatakannya pada
gadis itu.
Lalu, suatu hal yang luar biasa terjadi, seorang
wanita lain yang aku kenali sebagai Cindy mendatangi meja kami. Mulutku terbuka
lebar, takjub melihatnya, apalagi semakin takjub saat dia tersenyum padaku dan
dengan sangat santai duduk di pangkuanku.
What the—
“Sayang, apa yang kau lakukan di sini?” kata Cindy,
menyusuri rahangku dengan jarinya. Bau tubuhnya menguar di hidungku. Aku
melihat si gadis parkit, yang menganga melihat kami. “Siapa gadis malang itu?
Korban barumu lagi?”
Aku mengerjap, tak tahu harus bilang apa.
Gadis kencanku berdiri dengan cepat, mengambil tas
tangannya dan tanpa mengucapkan apa-apa memilih untuk meninggalkan kami.
Aku masih menatap semua ini dengan kebingungan sampai
Cindy bangkit dari pangkuanku dan menamparku keras-keras. “Itu balasan karena
membuat Jeremiah putus denganku,” desisnya, kemudian wanita itu pergi,
melenggang seksi setelah memberikan injakan pada kakiku.
Aku meringis, memegang pipiku yang nyeri dan kakiku
yang berdenyut. Begitu aku sadar apa yang terjadi, aku melihat pengunjung kafe
sekarang melirikku dengan kasihan, sementara yang lain tertawa geli.
Tidak ingin mempermalukan diriku lebih lama lagi, aku
memutuskan untuk segera angkat kaki dari tempat itu dan masuk ke mobilku.
Hari ini, aku benar-benar sial.
Dan ini semua berkat Jeremiah.
Kenapa sejak dia masuk ke dalam hidupku, keadaanku
malah tambah kacau?
Tok tok tok.
Aku menoleh ke jendela mobilku, melihat seorang
wanita di luar. Dahiku mengerut, kemudian menurunkan kaca jendela.
“Mr Cattermole,” kata wanita itu, tersenyum padaku,
“ternyata itu benar Anda. Saya sempat ragu apakah harus menyapa Anda atau
tidak.”
Aku terkejut melihat wanita pemilik panti asuhan
tempat Gabrielle dulu tinggal kini ada di hadapanku. “Ms Khan,” kataku,
tersenyum secara otomatis. “Senang sekali melihat Anda.”
“Apa Anda sedang terburu-buru?” tanyanya padaku.
“Urm, tidak.”
“Mau minum teh?”
Aku melirik café di depanku. “Boleh, tapi di tempat
lain saja.” Aku tak ingin mereka menertawakanku lagi karena membawa wanita
ketiga masuk ke dalam café.
Wanita itu tersenyum padaku. “Tentu saja. Saya tahu
tempat dimana Anda bisa memakan omlet kesukaan Anda.”
Wajahku memerah karena beberapa kali bertemu
dengannya, aku tak sengaja bilang kalau aku suka omlet. “Tentu,” kataku,
membukakan pintu di sampingku. “Silakan masuk?”
Wanita itu memutar di mobilku dan masuk.
Kami berdua ngobrol sepanjang perjalanan dan baru
kali ini aku merasa bahwa aku tak takut ditipu, ditampar, atau dikejar-kejar
pacar dari para wanita yang dijodohkan Jeremiah padaku.
***
JEREMIAH(POV)
Meski sakit, aku tetap berkerja di rumah. Kau tak
tahu seperti apa keluarga Huges dalam mengolah bisnis mereka dan aku tak ingin
menjadi salah satu orang yang mengacaukan bisnis mereka—meski aku tergoda
melakukannya—cukup River saja yang melakukannya.
Hei, aku masih sayang pada adik-adikku yang harus
sekolah. Eleanor malah bilang kalau dia ingin sekolah sampai bergelar profesor
dan punya sekolah sendiri. Cassandra ingin punya kastil sendiri. Ezekiel ingin
punya pesawat sendiri. Michael ingin punya planet sendiri dan Raphael ingin buat
roket sendiri yang akan membawa Michael terbang ke planetnya. Sementara Jamine
ingin jadi arsitek.
Lihat? Dengan begitu banyak kebutuhan, kami tentu
butuh uang banyak, terutama bagian impian tak masuk akal Michael.
Dan, sekarang, ada gangguan dari River yang minta
uang.
“River,” kataku lelah, melihat wajahnya di depan
layar komputerku. “Kau harus berhenti menghabiskan uang itu, dan apa yang
terjadi pada wajahmu? You look like shit,
bro!”
Nyaris selama tiga tahun tak melihat wajahnya, aku
menganga melihat kondisi River. Di depanku sekarang tak lagi tampak manusia
normal. Wajah River ditutupi oleh janggut yang tebal, mengeriting dengan luar
biasa sampai lehernya. Rambutnya juga tak kalah kacaunya, liar ke sana-kemari.
Aku hanya mampu mengenali matanya untuk meyakinkan diri bahwa itu River, karena
matanya selalu menghangatkan.
“Ini, Saudaraku, adalah tren yang sekarang ada di Palestina,”
katanya, menyisir janggut “Santa Claus”nya dengan kebanggaan. Aku curiga dia
sengaja melakukannya untuk membuat orang tuaku histeris. “Dan apa yang terjadi
denganmu? You look like shit!”
Aku memutar bola mata. “Aku cuma kencan dengan Cody.”
Dia terbahak-bahak. “Kenapa setiap kali kalian kencan,
hanya kau yang terkapar?”
“Mana aku tahu,” kataku.
“Apa kau sudah minum obat?”
“Yeah, Fran sudah memasakkan sup untukku.”
Alis tebalnya naik sebelah, menghilang di balik
rambut awut-awutannya. Ya ampun, dia persis seperti Hagrid. “Fran?”
Tanganku mengayun. “Kau tak mengenalnya.”
“Aku yakinkan kau, Xavier, aku pasti tahu.” Dia
tertawa lagi. “Aku butuh uang, Xavier. Kupikir, uang yang kau berikan waktu itu
akan membuatku bertahan tahun depan, tapi ternyata ada sedikit masalah.”
“Apa sih yang kau lakukan di sana?”
“Kau tak perlu tahu urusan orang dewasa,” dia
mengedip jenaka.
“Yeah, orang dewasa yang tak bisa menghasilkan uang
sendiri.” Aku terbatuk, mengambil tisu sebelum membuka aplikasi lain untuk
mengirimkan uang padanya. “Berapa?”
Dia mendesah. “Aku berterima kasih, Xavier,” katanya,
tersenyum tulus. Dia mengirimkan jumlah uang yang dia butuhkan dan juga
rekening yang harus kutuju. Aku sedikit kaget melihat jumlah nol yang dia
butuhkan, tapi aku tak bertanya banyak.
Aku memercayai River. Dia tak akan melakukan hal yang
berbahaya dengan uang itu.
Kami mengobrol lagi selama sepuluh menit, sampai
kemudian dia bilang kalau dia harus melakukan sesuatu, dan offline.
Aku terbatuk lagi, mataku mulai kabur. Kurasa aku tak
sanggup lagi menyelesaikan tugas dan PR dari kampus. Menyingkirkan laptop dan
pekerjaanku ke samping tempat tidurku, kutarik selimut untuk menutupi tubuhku.
Ponselku berdering, aku membiarkannya. Kepalaku sudah
berdenyut-denyut sekarang. Siapapun nanti yang membutuhkanku akan kuhubungi
nanti. Mereka bisa meninggalkan pesan di teleponku jika begitu penting.
Mataku mulai tertutup, menikmati kehangatan
selimutku, sampai aku tak mendengar suara pesan di telepon lagi.
“Jeremiah, ini
Daphne… bisakah kita bertemu? Aku tak tahu apakah pantas memberitahumu hal ini
tapi aku sakit dan aku takut… Jeremiah, telepon aku segera bila kau mendapat
pesanku.”
***
GABREIELLE(POV)
Jeremiah tidur sepanjang siang, bergelung dalam
selimut. Nathan, Dokter pribadinya yang kutelepon karena panas Jeremiah tak
juga turun, mengatakan kalau dia hanya demam biasa. Bila dia minum obat, makan
teratur dan istirahat yang cukup, dia akan kembali pulih.
Aku ikut tidur di samping Jeremiah, memegang tangan
besarnya yang panas.
Melihatnya tidur dan tak berdaya seperti ini
membuatku kasihan padanya. Biasanya dia sangat kuat dan tertawa, juga berisik.
Sekarang, dia seperti pasien yang menuju kematian.
“Gabrielle,” suara Cody membangunkanku. Pria itu
tengah tersenyum padaku, membawa mangkuk besar yang beruap. “Fran menyuruhmu
turun untuk makan malam.”
“Aku masih mau di sini,” gumamku, menggosok mataku.
“Kau bisa terkena demam bila terlalu lama di samping
Remi,” katanya, meletakkan nampan makanannya, lalu beralih pada Jeremiah.
“Remi, bangun. Aku bawa makan malam.”
“Dia masih tidur,” kataku.
Jeremiah bergerak perlahan, membuka matanya, tapi
hanya sampai situ.
Cody tersenyum padaku. “Dia hanya demam biasa.”
Sambil memberi alasan itu, dia membantu Jeremiah duduk. “Sekarang, cepatlah
turun dan makan malam. Aku akan mengurus Remi.”
“Ya, turun dan makan sana,” Jeremiah ikut-ikutan
dengan suara serak.
Aku merengut, turun dengan lambat-lambat. Aku masih
ingin di sini.
“Buka mulutmu,” Cody memerintah Jeremiah, bahkan
sebelum Jeremiah bergerak, Cody sudah membuka mulutnya, mengerutkan dahi, lalu
mengangguk. Dia meletakkan meja dan nampan makanan ke depan Jeremiah.
Aku turun dan keluar dari kamar Jeremiah, tidak
menutup pintunya agar aku bisa mengintip apa mereka sudah selesai makan atau
belum.
Cody menyingkirkan selimut Jeremiah, memberinya ruang
untuk makan. Tapi Jeremiah, seperti anak bayi besar, membuka mulutnya
lebar-lebar. Aku meyakinkan diri bahwa Cody pastilah memutar bola matanya,
karena dia sama sekali tak membantah saat menyuap makanan ke mulutnya.
“Kau tahu, kau harus segera cari orang yang rela
menghabiskan waktunya bersama orang sepertimu,” kata Cody, menusuk-nusuk
mangkuk.
Pria sakit itu membela. “Satu-satunya orang yang rela
menghabiskan waktunya untukku cuma kau.”
“Maksudku, sampai kau tua.”
“Tapi, kau akan bersamaku sampai aku tua, ya kan?”
“Yang akan jadi teman satu rumahmu, bersamamu seumur
hidup.”
“Kita bisa tinggal bersama sampai seumur hidupku bila
itu maumu.”
Tangan Cody melayang ke kepalanya.
“Ow! Cody, aku sedang sakit,” Jeremiah meringis,
mengusap-usap belakang kepalanya.
“Fisikmu mungkin sakit, tapi kepalamu tidak,” balas
Cody. Jeremiah nyengir lebar, membuka mulutnya lagi. “Apa yang akan terjadi
padamu bila tak ada aku?”
Mengunyah makanannya, Jeremiah membalas, “Aku akan
mati stress.”
Cody mendesah. “Kau harus berhenti bergantung padaku,
Remi.”
“Oh, tidak, tidak, tidak. Jangan harap aku akan
berhenti melakukannya. Kau tahu betul aku tak bisa hidup tanpamu.” Mata
Jeremiah mengedip-ngedip manja pada Cody.
Cody mendengus. “Kau tahu betul kalau tampangmu itu
tak akan berpengaruh padaku.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau aku melamarmu dengan
memberikan bulan padamu. Aku bisa melakukannya,” Remi membuka mulutnya,
menggerutu begitu Cody menyuapkan sup yang masih panas ke mulutnya.
“Meski kau memberi Bumi ke telapak kakiku sekalipun,
aku tak akan tergoda, apalagi kau memberiku bulan yang tandus seperti itu,”
balas Cody.
Jeremiah tertawa. “Kau tahu, aku mencintaimu sampai
mati.”
Cody geleng-geleng kepala, bergumam, “I know.”
Persahabatan mereka berdua membuatku iri. Begitu aku
berbalik, aku melihat Fran, berdiri di sampingku, melihat ke balik pintu. Entah
berapa lama dia sudah berdiri di sampingku, tapi melihat dari ekspresi
wajahnya, aku yakin dia cukup lama melihat.
Fran tampak kecewa karena hanya Cody yang mampu
membuat Jeremiah terlihat lebih baik. Dia sudah berusaha membuat Jeremiah untuk
makan dan minum obat, tapi pria itu hanya tidur sepanjang hari. Hanya Cody yang
mampu membuatnya tertawa dan terjaga.
Mungkin, jika Cody tak menganggap Jeremiah
sahabatanya, aku tak akan terkejut mendengar kabar pernikahan mereka suatu hari
nanti.
“Papa,” kataku pelan, membuatnya mengerjap dan sadar
apa yang dia lakukan. Wajahnya merona, tampak malu karena aku memergokinya.
Kugenggam tangannya dan aku menariknya turun menuju dapur, meninggalkan dua
sahabat itu mengobrol.
“Aku sudah masak seafood,”
gumam Fran, memberikan piring padaku.
Duduk dengan tenang di kursiku, kami makan dalam
diam. Fran tampak berpikir terlalu keras, memutar-mutar makanannya.
“Kau menyukainya, kan?” kataku tiba-tiba, memecah
kesunyian.
Garpu di tangannya jatuh. Wajahnya merah padam. “Erm,
apa?”
Kuputuskan untuk langsung saja. Aku muak melihat
perasaannya. Dia harus sadar apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Dia
mulai belajar menyukai Jeremiah. Tidak,
malah lebih parah. Dia jatuh cinta pada pria itu.
“Aku tak akan mengulanginya,” kataku, menyodok
makananku. “Entah kau sadar atau tidak, Papa, tapi kau memasak makanan
favoritnya tiap kali kita ada di sini.”
Dia mengerjap, dengan gugup membantah. “Aku suka seafood, Gabrielle.”
“Kau mulai menyetok selai strawberry di rumah, padahal kau suka kacang.”
“Aku cuma ingin mengganti rasa.”
“Kau membeli pakaian baru yang lebih besar, bahkan sikat gigi dan handuk
cadangan.”
“Gabrielle—”
“Ada buku-buku karangannya di rumah, padahal kau tak
suka novel cinta.”
“Well,
aku—”
Aku tak akan berhenti sebelum dia sadar apa yang dia
katakan. “Ada stok es krim rasa strawberry
dan blueberry di rumah. Tiba-tiba
saja kau lebih tertarik bereksperimen membuat kue daripada memasak biasa. Sekarang, semua makananmu terasa lebih
manis daripada asin. Dan kau mulai membersihkan gudang sambil memberikan
perlengkapan yang semuanya tak cocok diletakkan untuk kamar tamu tapi seperti
kamar pribadi. Tiap sejam sekali kau akan melihat ponselmu hanya untuk
memastikan dia baik-baik saja. Aku
bisa memberikan sejuta alasan lain dan aku tak akan berhenti sampai kau sadar
apa yang sebenarnya kau hadapi sekarang.”
Fran menatapku selama beberapa detik, seperti orang
yang baru saja mendengar kabar buruk.
Jantungku berdetak tak karuan, hanya saja ekspresiku
masih datar. Aku tak bermaksud membuatnya sadar, tapi aku tak tahan melihatnya
berjalan di dalam kegelapan. Dia tidak mengenal apa yang terjadi pada dirinya
karena dia belum pernah mengalaminya, dan dia justru mengalaminya pada Jeremiah.
Dari sekian banyak orang, dia malah memilih
Jeremiah—seseorang yang mengenalkan dunia padanya.
“Itu kalimat terpanjang yang pernah kudengar,
Gabrielle,” kata Fran pada akhirnya, mengambil kembali garpunya dan memenuhi
mulutnya dengan makanan untuk membuatnya tak bicara padaku.
Dia takut,
pikirku melihat tangannya yang gemetar. Dia takut pada perasaannya sendiri.
Kami menyelesaikan makanan kami dengan kecanggungan
luar biasa.
“Kerjakan PR-mu, aku akan membereskannya sendiri,”
gumam Fran, menyusun piring.
Mengangguk kecil, aku bangkit dari kursiku dan
memutar ke arahnya. Dia terkejut, tapi tidak melihat mataku.
“Papa,” kataku pelan, memegang tangannya. “Aku
mendukungmu.”
Pria itu menghela napas, mengecup dahiku. “Terima
kasih, Gabrielle.”
Ketika dia membalikkan badan, pembicaraan kami
berakhir. Dengan cepat aku kembali ke kamar tamu Jeremiah—kamarnya Cody, lebih
tepatnya—dan melihat Cody sudah duduk di tempat tidur dengan tangan terlipat.
Dahiku mengerut.
“Kau seharusnya tak mengatakan itu, Gabrielle,” kata Cody, menghela napas.
Dia mendengar
semuanya, pikirku getir.
Dia memberikan gerakan agar aku duduk di sampingnya
dan aku melakukannya dengan segera. Cody mengusap wajahnya, menghela napas,
bergumam tak jelas yang terdengar seperti “Kepalaku sakit” dan menatapku.
“Dengar, Gabrielle, aku tahu bahwa kita sama-sama
tahu apa yang terjadi pada Fran,” kata Cody tenang. Meski matanya lelah dan
tubuhnya tampak jauh lebih kurus, aku masih bisa melihat kebijaksanaan
terpancar keluar dari dirinya. “Tapi, alangkah lebih baik bila kita tak ikut
campur.”
“Kenapa?” kataku, menatap kakiku.
Cody mendesah lagi. “Kau tahu kenapa, Gabrielle.”
Aku menggigit bibir. “Karena mereka laki-laki?
Kupikir, homoseksual tidak mendapat perlakuan separah abad 18. Ini zaman
modern.”
“Bukan. Bukan karena itu,” Cody menggeleng. “Ini
karena Remi. Dia bukan gay, Gabrielle.”
“Kau tak tahu itu, Cody.”
“Aku tahu sahabatku, Gabrielle. Aku mengenalnya
selama hidupku,” Cody menatapku dalam-dalam. “Kau tahu apa yang kukhawatirkan?”
Karena aku tak menjawab, Cody menjawabnya sendiri. “Remi akan menyakiti Fran,
Gabrielle.”
Aku menelan ludah.
“Ini bukan pertama kalinya ada gay yang jatuh cinta
padanya. Aku mengenal beberapa yang jatuh cinta padanya dengan serius. Tapi,
seperti yang sudah kukatakan padamu berulang kali, Remi bukan gay. Sikapnya tak
akan berubah terhapada para gay ataupun pada orang yang menyukainya, dan itu
jauh lebih menyakitkan. Bagaimana bila suatu hari nanti, saat Fran sadar kalau
dia mencintai Remi, Remi memilih untuk menikah dengan orang lain? Itu akan
menghancurkan Fran, Gab. Bahkan, sekarang saja aku sudah melihat Fran
perlahan-lahan jatuh hanya karena kebiasaan Remi yang punya banyak pacar. Aku
peduli pada Fran. Tapi, aku juga tahu seburuk apa sahabatku.”
“Tak adil.”
Cody mendesah, memegang bahuku. “Gabrielle,
tinggalkan Fran sendiri. Biarkan dia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi
pada dirinya. Dia akan sadar, cepat atau lambat, kalau Remi bukan orang yang
tepat untuknya.”
“Tapi, Fran—”
“Jangan melindunginya, Gabrielle, karena dia tak akan
belajar apa-apa bila dia tak merasakannya.”
Tanganku terkepal. “Kenapa kau santai sekali? Apa kau
tak takut bahwa mungkin saja Jeremiah bisa jatuh cinta pada Fran?”
“Terkejut mungkin iya, tapi takut? Tidak.” Cody
menggeleng. “Kau tahu kenapa kami tak terpisahkan?”
Dahiku mengerut, tapi menggeleng.
“Kami tak menghakimi, Gabrielle. Kami juga tak
mengekang. Remi tak pernah marah atau melarangku bila aku bilang kalau aku
ingin lompat dari lantai dua, tapi dia akan meletakkan bantalan di bawah untuk
menghindari kemungkinan terburuk. Aku tak akan pernah menghakiminya dan
melihatnya sebagai orang berbeda karena punya begitu banyak wanita dalam
hidupnya, meski aku tak akan pernah berhenti mengingatkannya untuk segera
memilih satu orang baginya.”
Kurasa aku mengerti.
“Perasaan itu tumbuh perlahan-lahan. Dia belajar
untuk mengenal seseorang. Bila kau memberi pupuk pada perasaan Fran yang belum
pasti pada Remi, dia akan takut untuk bertindak dan tak akan pernah belajar
mengenai kesalahannya. Ketika dia yakin kalau dia hanya menganggap Remi
sahabat, kau malah memasukkan prinsip kalau dia jatuh cinta pada Remi. Itu akan
mengacaukan semuanya.”
Aku menatap Cody yang tersenyum kecil.
“Ok,” kataku pelan.
Cody benar. Hanya Fran dan Jeremiah yang bisa
menyelesaikan perasaan mereka, bukan dirinya.
“Dan, kau juga,” kata Cody, setelah diam beberapa
saat. Aku mengerjap kebingungan. “Patah hati itu tak enak, ya kan?”
Panas yang rasanya tidak berasal dari luar meluncur
masuk ke pipiku. Senyuman Cody semakin lebar, apalagi dia menunjukkan ponselku
yang ada gambar Fanesca. Dengan cepat kuambil ponselku kembali.
Bagaimana caranya dia mengetahui passwordku?
Cody mengedip jenaka. “Kau masih muda, Gabrielle. Ada
banyak orang yang akan rela memperebutkanmu.”
Mendengus, aku membalasnya. “Yeah, ada banyak Keyna
di luar sana.”
Kehangatan di mata Cody menguap cepat. Aku langsung
menyesal mengatakannya.
Begitu aku takut kalau Cody bakal marah, yang terjadi
malah dia mengusap pelan rambutku. Sentuhannya membuatku tenang dan damai. Cody
benar-benar memberi efek yang menyejukkan.
“Kau anak yang baik, Gabrielle,” kata Cody, tersenyum
lagi. “Dan kami menyayangimu. Jangan lupakan itu.”
Aku mengangguk, lalu ingat satu hal. “Kapan kau ajari
aku kick boxing?”
Dia tertawa kecil. “Besok.”
***
AROZ(POV)
Satu-satunya orang yang kutahu merencanakan hal ini
sudah pasti Jeremiah. Pria besar itu nyengir lebar, diapit oleh Cody dan Fran
di kiri dan kanannya. Tanganku terlipat, alis menaik penuh tanda tanya.
Gabrielle memutar bola matanya.
Dua jam lalu dia meneleponku, mengatakan kalau mereka
harus berkumpul.
“Reuni Jomblo!” Jeremiah memekik kegirangan.
“Dewasa sekali,” gumam Cody, sementara aku
berkomentar, “Original sekali.”
Kami saling pandang, lalu tertawa bersama.
Jeremiah geleng-geleng kepala. Senyumannya belum juga
sirna. “Ayolah, ini pasti akan seru.
Cody patah hati, Fran jomblo lapuk, aku single,
Gabrielle bertepuk sebelah tangan dan kau dalam masa penolakan.”
“Hei!” kami membantah berbarengan, membuat pria itu
tertawa.
“Aku ingin kalian bersenang-senang, terutama kau,
Fran,” kata Jeremiah.
“Aku?” Fran melongo, mengerutkan dahi.
Dia mengangguk. “Aku sudah menjodohkanmu pada
beberapa gadis dan tak ada satupun yang tertambat hatimu. Sekarang, aku ingin
kau mencari gadismu sendiri.”
Fran menatapnya dengan ngeri. Pria malang, Jeremiah
benar-benar menyiksanya pelan-pelan.
“Tak ada bantahan!” Jeremiah menutup kedua telinganya
begitu Fran hendak membantah. “Nah, sekarang, aku ingin menaikan rasa percaya
dirimu. Kau lihat wanita-wanita di sana?”
Dia menunjuk kerumunan para wanita yang melihat papan
iklan bioskop.
“Coba minta salah satu nomor telepon mereka, lalu
kembali kemari.”
Sekarang, Fran benar-benar pucat. “Bagaimana
caranya?”
“Ah, gampang,” Jeremiah menyibakkan tangannya, lalu
mengalihkan padangan pada Cody, yang meliriknya penuh curiga. Dia melirik Cody
dari atas sampai ke bawah, tersenyum kecil penuh goda, berdeham, lalu beringsut
mendekati Cody. “Hai, Sayang, sendirian?”
Rahang Fran dan Gabrielle terbuka lebar. Bila aku tak
mengenal Jeremiah, tentunya aku akan melemparkan gelasku padanya.
Tidak biasanya, Cody meladeni Jeremiah. Pria itu balas tersenyum menggoda,
memerhatikan kuku-kuku jarinya seperti seorang lady, lalu menyusuri dada Jeremiah sambil menjawab, “Sendirian saja,
sampai kekasihku kembali dari membeli popcorn.”
Suaranya penuh bujuk rayu, dengan mata mengedip-ngedip anggun.
“Sayang sekali kau ditinggal sendirian. Keberatan
bila aku mengisi waktu?” ucap Jeremiah lagi, menempelkan tangannya ke bahu
Cody.
“Dan bagaimana cara kau melakukannya?” Cody membalas,
mendekatkan wajah padanya.
“Dengan nomor telepon yang siap kau hubungi,” balas
Jeremiah dengan pasti.
Aku tak tahan lagi. Tawaku menyembur keluar sementara
Cody dan Jeremiah saling bertukar nomor telepon dari ponsel yang tak terlihat.
Sekarang, semua orang melihat ke arah kami dengan curiga, tapi dua orang itu
tampak tak peduli. Kulihat Gabrielle ikut tertawa sementara Fran mendesis.
“Jangan ajari anakku hal seperti itu!”
“Ayolah, Fran, itu tadi lucu,” kataku, di antara tawaku. Ya ampun, aku sudah lama tak
tertawa. Begitu aku mencicipi kembali rasa itu, aku seakan kembali dari mimpi
buruk yang panjang. Sudah lama sekali aku tak melihat kekompakan kedua sahabat
itu. Mereka tak berubah sama sekali.
“Sekarang, kau minta nomor telepon mereka,” Jeremiah
mendorong Fran ke arah para wanita itu, sementara tangan yang satunya lagi
masih merangkul Cody.
Fran melirik mereka dengan penuh permohonan, tapi
kami bertiga pura-pura tak melihat, sehingga mau tak mau, Fran terpaksa
mendekat ke arah mereka.
Kami menunggu Fran berbicara pada para wanita itu.
Dari sini, kami melihat Fran menggaruk-garuk belakang
kepalanya dengan gelisah dan gugup, berulang kami melirik kami, tiap kali dia
ada kesempatan, membuat para wanita itu juga melirik kami sambil terkikik geli.
Wajah Fran merah padam saat salah satu dari mereka
mengecup pipinya.
“Aw, lihat itu? Dia seorang Cassanova!” kata Jeremiah
bangga.
Begitu Fran kembali, dengan lipstik nyaris memenuhi
wajahnya, Jeremiah sudah penasaran.
“Well?”
Cody menaikan alis.
“Kau dapat nomor teleponnya?” Jeremiah menyelesaikan
pertanyaan Cody.
Fran memerah lagi. “Aku dapat semua nomor telepon
mereka.”
Jeremiah menepuk-nepuk bahunya. “Aku bangga padamu,”
dia tersenyum lebar.
Yep, itulah yang kusebut sebagai Cassanova bila kau
berguru dengan seorang playboy.
***
Medan, Kamis,
2 Januari 2014
2 komentar:
ceritanya keren dan senang saya untuk membacanya
nonton film online
nonton film gratis
download film gratis
download film HD
download film bluray
nonton film box office
download film box office
Kisah yg sangat menyentuh
Posting Komentar