13
Date
==========
GABRIELLE(POV)
Noah memberiku pelukan persahabatan sebelum mengacak
rambutku. Aku menyingkirkan tangannya dengan segera, memelototinya dengan
jengkel, lalu memperbaiki rambutku sementara dia tertawa. Jeez, pemuda raksasa ini benar-benar menyebalkan.
“Aku senang melihatmu. Ben sebenarnya ingin ikut,
tapi dia tak mungkin meninggalkan sekolah sementara nilainya parah sekali,”
katanya, memasukkan tangannya ke mantelnya.
Dan apa yang
kau lakukan di sini? Bukankah kau juga harus sekolah?
“Ah, kau tak perlu khawatir. Nilaiku jauh lebih baik
dibandingkan dengan yang lain, meski belum bisa menyamai Oliver. Omong-omong
soal Oliver, dia bilang kalau kau tak pernah membalas pesannya. Apa itu benar?”
Aku memutar bola mata. Yep, aku tak ingin bicara
padanya karena aku tak suka padanya. “Kenapa kau bisa ada di sini?”
Noah mengerjap, sepertinya tak menyangka aku akan
bertanya langsung. “Well, Kakakku
sakit, jadi orang tuaku mengutusku kemari. Sudah tiga hari ini aku menungguinya
di rumah sakit dan tadi kondisinya sudah baikan. Besok, dia sudah boleh pulang.
Dia ingin aku bersenang-senang sebelum aku pulang lusa.”
Oh, aku tak tahu kalau dia punya Kakak.
“Gabrielle!”
Itu Jamine. Aku nyaris mengerang jengkel. Noah
menatapku dengan geli, lalu melihat arah pandangku dimana Jamine sedang berlari
ke arah kami dari teman-temannya. Rambut hitamnya berkelebatan di punggungnya.
“Dia cantik,” kata Noah.
“Hai,” sapa Jamine, matanya berkilat melihat Noah.
Dan, aku memerhatikan kalau Noah meliriknya dari atas sampai ke bawah. Yep, dia
tertarik seratus persen pada Jamine. “Siapa temanmu yang keren ini, Gabrielle?”
Noah dengan segera mengulurkan tangannya, tersenyum
kecil. “Namaku Noah Grenn. Noah.”
Jamine mengedipkan matanya dengan penuh
goda—membuatku ingin muntah. Lalu menjabat tangan Noah. Wajahnya merona saat
menjawab. “Jamine Huges. Jamine.”
Udara di sekitar mereka menegang dan menghangat meski
udara di luar sini dingin sekali. Mereka saling pandang selama beberapa detik,
masih berpegangan tangan dan tersenyum malu-malu. Ok, cukup. Aku tak ingin
melihat lebih lama lagi, karena itu aku berjalan tepat ke tengah mereka
sehingga jabatan mereka terlepas dan balon cupid mereka meledak. Dengan cepat,
kutarik mantel Noah untuk mengikutiku.
“Sampai jumpa, Jamine,” Noah melambai, kemudian
mengerutkan dahi padaku. “Dude, kau
kenal gadis itu? Dia cantik! Apa kau punya nomor teleponnya?”
Menghela napas, kukeluarkan ponsel untuk mencari
nomor telepon Jamine dan kukirim pada Noah. Dia nyengir lebar padaku begitu
melihat apa yang kukirim. “Thanks, Gab!”
“Gabrielle!”
Kali ini, gangguan datang dari Rayne, Wyalt dan
Fanesca. Ya ampun, aku cuma ingin nonton. Apa tak ada yang bisa memberikanku
ketenangan?
“Siapa ini?” Rayne menatap Noah.
“Teman-temanmu?” Noah bertanya padaku. Aku mengangguk
kecil dan mereka kembali berkenalan. “Kami mau nonton. Kalian mau ikut?”
Fanesca melonjak-lonjak. “Aku suka nonton!” Dan dua
pemuda lain segera mengangguk.
“Gab, harusnya tadi kita ajak Jamine,” Noah
memberikan pandangan padaku, yang memberi pesan: plis, plis, plis!
Lagi-lagi, aku mengeluarkan ponselku, mengirim pesan
pada Jamine. Jamine tak perlu waktu lama untuk muncul karena dia segera
bergabung bersama dengan Ezekiel dan si kembar.
“Gab, kau tak keberatan jika aku mengajak Oliver kan?
Aku sudah lama tak bertemu dengannya.”
Great!
***
OLIVER(POV)
From: Noah Green
To: =Me=
Olie, aku ada di sini
Kami mau nonton
Mau ikut?
Ada Gabrielle juga *wink
“Oh, yes! Yes! Yes! Yes!”
Kehidupan membosankan di asrama akhirnya terobati
juga. Sambil menari-nari, aku melompat dari tempat tidur, membalas pesan Noah
dengan girang. Aku akan bertemu Gabrielle! Thanks,
Noah! Kau memang yang terbaik!
“Woohoo!” kataku, meninju udara.
“Erm, Oliver, aku masih di sini.”
Aku berhenti menari dengan posisi bokong melenggang
dan tangan di udara sementara kakiku melompat-lompat gila. Mataku melirik
tempat tidur di belakangku, tempat di mana teman sekamarku, Marc, tengah duduk
di atas tempat tidur sambil membaca buku. Alisnya menaik melihatku. Oh, shit!
“Sori, Marc.”
Aku memaki jengkel. Wajahku merona merah sementara
dia terbahak-bahak, memegang perutnya dengan geli. Kacamatanya miring.
“Ini pertama kalinya aku melihatmu kehilangan
kendali! Man, lucu sekali! Tarianmu
tadi luar biasa! Kau menari seperti orang keseterum!” Dia kembali tertawa,
menutup bukunya sambil geleng-geleng kepala. “Pasti kau mendengar kabar baik
kan?”
Aku mengangguk, nyengir lebar. Ada pesan masuk lagi
dari Noah yang mengatakan kalau mereka akan menungguku di bioskop.
Aku memaki lagi, berlari melihat pakaian apa yang
harus kukenakan. Biasanya, aku tak pernah peduli apa yang kupakai, tapi
tiba-tiba saja semuanya menjadi begitu penting, dan tiba-tiba saja semua pakaian yang kupunya menjadi tidak bagus sama
sekali.
“Kenapa aku tak punya baju baru di saat seperti ini?”
aku mengerang jengkel, menarik keluar jeans
dan T-shirt. Marc kembali tertawa
mendengar gerutuanku. Hari ini aku benar-benar menghiburnya. Anak itu jarang
sekali tertawa.
“Marc, ungu atau hijau?” kataku menarik bajuku,
menunjukkannya pada Marc, yang menaikan alis dengan pandangan yang mengatakan
kalau aku sudah gila, lalu terbahak lagi. “MARC!”
“O-Oli-aduh, astaga,” dia tertawa lagi. “Kau punya
tampang yang oke, pakai apa saja pasti bagus.”
“Tapi ini penting!”
desisku, melirik wekerku. Setengah jam lagi aku harus sudah sampai di bioskop.
“Hmm,” dia mengetuk-ngetuk dagunya. Selama lima
detik, dia menatapku dari atas sampai ke bawah, kemudian turun dari tempat
tidurnya. Dia membuka laci pakaianku, mengacak isinya keluar, lalu memberiku
jeans, kemeja dan jaket.
Aku segera menyambarnya tanpa banyak bicara dan
mengganti pakaianku. Selera fashion
Marc sangat tinggi. Mungkin, seperti itulah pribadimu jika kau punya Ibu
seorang desainer dan ayah seorang bangsawan. Setelah memakai pakaianku, dia
membantu menyisir rambutku.
Begitu melihat cermin, aku tahu kalau aku memang
tampil keren. Kemeja kotak-kotak yang kukenakan berwarna biru tua dengan motif
padat dan menumpuk. Jaket kulitku cukup bergaya dan sederhana. Dipadu dengan
jeans abu-abu dan sneaker serta rambut cepak, aku tampil keren.
“Ok, kau keren,” katanya, menepuk-nepuk bahuku. “Good luck dengan kencanmu.”
“Thanks, Marc! Aku akan mentraktirmu makan siang
besok.”
“Tidak perlu, kenalkan saja aku dengan cewek cantik!”
Aku tertawa, menutup pintu dan keluar dari kamarku
menuju bioskop tempat kami janjian. Tak butuh lama bagiku untuk sampai ke
bioskop. Begitu turun dari bus, satu-satunya yang kulihat adalah rambut merah
Gabrielle yang menunggu di depan bioskop dengan tangan terlipat di dadanya.
Matanya menyipit berbahaya padaku. Sepertinya, Noah memaksanya untuk
menungguku.
“Hai, Gabrielle,” sapaku dan dia mendengus, lalu
berbalik masuk ke dalam bioskop. Aku mengikuti di belakang punggungnya,
tersenyum lebar. Kami mendekati kerumunan remaja yang berdiri di tengah
bioskop, tampak menarik perhatian. Mataku mengerjap melihat pemandangan yang
tak biasa ini. Gabrielle sepertinya mulai bergaul, meski dia tak banyak bicara.
“Oli!” Noah berseru, lalu memelukku. “Kau harus
berterima kasih padaku,” tambahnya, berbisik ke telingaku.
Aku tak perlu tahu maksudnya apa. “Thanks, Man. Aku berhutang padamu.”
Dan aku diperkenalkan pada teman-teman Gabrielle:
Rayne, Wyalt, Fanesca, Ezekiel, Michael dan Raphael, serta cewek taksiran Noah,
Jamine. Mereka sudah membeli tiket, yang disepakati bersama bergenre romance-comedy. Para cewek memegang
kendali keputusan karena Jamine akan memukul tangan saudara-saudaranya bila
mereka membantah dan Noah jelas akan menuruti apapun permintaannya. Fanesca
sendiri tak peduli bantahan Rayne dan Wyalt. Cewek itu berhasil membuat dua
pemuda itu terdiam dan jelas sekali bahwa aku dan Gabrielle tak akan membantah.
Gabrielle sudah sangat jengkel sekali begitu aku
duduk di sampingnya.
“Kau mau?” aku menyodorkan popcorn, berusaha membuatnya bicara padaku. Sayangnya, dia tak
semudah itu disogok dengan popcorn
murahan karena dia tidak memedulikanku dan malah memilih meminum soft drink-nya.
“Kau tak mungkin selamanya menghindariku, Gabrielle,”
desahku, kembali mengalihkan pandangan pada film di depan yang aku sendiri tak
tahu jalan ceritanya.
Gabrielle tak merespon. Kepalanya menghadap lurus ke
depan. Meski begitu, aku yakin pikirannya sama sekali tak terkonsentrasi pada
film.
“Gabrielle, bicara padaku. Kumohon. Aku bahkan tak
tahu salahku apa,” kataku setelah beberapa menit tidak bicara.
Seperti biasa, dia tak merespon.
“Tak bisakah kita jadi teman? Aku ingin jadi
temanmu,” kataku, memegang tangannya dan dia merespon saat itu pula dengan
memberiku lirikan penuh curiga. “Please,”
kataku lagi.
Wajah Gabrielle mengeras. Kulit pucatnya hanya
terlihat samar-samar dari cahaya film yang terpantul ke wajahnya. Untuk
beberapa menit, dia menatapku dalam diam. Aku tak berani bergerak, ataupun
mengalihkan tatapanku darinya, karena aku tahu dia sedang menyelidiki apakah
aku serius atau tidak.
“Ok,” katanya pelan.
Aku mengerjap. “Huh?”
Tapi Gabrielle sudah mengalihkan perhatiannya lagi
pada film di depannya. Bibirku tersenyum lebar. Aku nyaris saja melonjak dan
menari-nari seperti orang bodoh, hanya saja aku berhasil menahannya dengan
terbatuk kecil, meremas tangan Gabrielle. Gabrielle mengerinyit saat aku
melakukannya, tapi dia tak menarik tangannya, dan aku bersyukur dia tak
melakukannya.
Sisa film kuhabiskan memandangi wajah samping
Gabrielle sambil memegang tangannya. Aku tak berani bergerak—atau tak bisa
bergerak—karena aku ingin mengingat hal ini seumur hidup.
Begitu lampu kembali menyala, Gabrielle menarik
tangannya, memperbaiki letak mantelnya dan melirikku lagi. Aku tersenyum
padanya seperti orang bodoh, membuatnya memutar bola mata, tapi tak mengatakan
apa-apa.
Dia baru saja bersedia menjadi temanku! Itu lebih
daripada yang kuharapkan!
Easy, Oliver,
easy… kau akan membuatnya ketakutan. Pelan-pelan. Kau tak ingin dia membencimu
kan? Kau harus jadi temannya… jadi teman yang baik…
“Aku lapar,” Jamine bersuara, menggandeng tangan
Noah.
Seperti pelayan yang patuh, Noah segera merespon.
“Kita makan saja.”
Aku tak protes karena itu artinya akan lebih banyak
waktuku bersama Gabrielle. Kami beranjak dan naik ke bus menuju restoran cepat
saji terdekat. Lagi-lagi, aku duduk di samping Gabrielle—thanks, Noah. Kami memesan makanan dan semua mata menuju pada Gabrielle
saat tiba gilirannya memesan.
Sayangnya, dia menunjuk menunya tanpa bicara dan
semua orang segera kecewa. Aku tertawa kecil melihat senyuman kepuasan
Gabrielle. Dasar kau, Tuan Jahil.
Kami mengobrol banyak. Aku menyukai teman-teman
Gabrielle. Mereka orang-orang yang asik meski sedikit diluar kebiasaan. Aku
terbiasa mengobrol dengan orang-orang gila dan aneh—seperti Ben dan Jimmy.
Selesai dengan restoran, secara tiba-tiba kami
memutuskan untuk pergi ke taman hiburan.
“Roller coaster!”
Raphael dan Michael menjerit bersama seperti anak kecil.
Ezekiel memutar bola matanya, kemudian mengikuti dua
pemuda itu dari belakang. Rayne ikut menyusul sambil menarik tangan Gabrielle,
sehingga, mau tak mau aku, juga mengekor di belakang.
Jamine dan Noah menghilang ke suatu tempat yang
mereka tahu ada dimana, sementara Wyalt menemani Fanesca ke kamar mandi, yang
sedikit aneh karena dia laki-laki.
“Aku di depan,” kata Raphael.
“Aku di samping,” balas Michael.
“Rayne di belakang,” lanjut Raphel.
“Ezekiel di belakang,” balas Michael.
“Gabrielle di belakangnya lagi,” sambung Raphael.
“Oliver ada di belakangnya lagi,” Michael
menyelesaikan.
“Ok, kami mengerti,” Ezekiel memotong perkataan
saudara kembarnya. Aku merasa kedua orang ini lucu karena mereka sangat
sinkron. Kedua orang itu nyengir lalu mengobrol bersama, sibuk dengan dunia
mereka sendiri.
“Aku sudah sering melihat mereka, tapi tetap saja aku
merasa terkesan pada mereka,” kata Rayne menggosok dagunya. Dahinya mengerinyit
sedikit.
“Oh, kau akan terbiasa,” balas Ezekiel. “Pertama kali
mereka sampai ke rumah, mereka seperti Gabrielle, tidak bicara. Tapi, Jeremiah
sangat penyabar, jadi mereka mulai membuka diri.”
Dahiku mengerut. “Jeremiah? Jeremiah Huges?”
Ezekiel menoleh ke belakang. “Oh, kau kenal Jeremiah
juga? Well, dia saudaraku.”
Mataku membulat lebar. Damn, jadi aku tak pernah jauh-jauh dari pria itu? Setiap kali
mengingat perkataannya, aku merasa tubuhku merinding.
Rayne mengerutkan dahi. “Oh, pantas saja.”
Antrian berkurang. Raphael dan Michael mengambil tempat
tepat di depan barisan. Mereka duduk dengan cepat, memasang sabuk pengaman.
Rayne dan Ezekiel di belakang mereka, sedangkan aku dan Gabrielle ada di
belakangnya lagi.
“Gabrielle, kau tak takut ketinggian kan?” Rayne
menanyai Gabrielle, yang memegang erat palang besi di depannya sampai kuku-kuku
jarinya memutih. Gabrielle memberikan sorot tajam berbahaya padanya. “Ups,
kurasa itu jawabannya ya.”
Aku memegang tangan Gabrielle. “Kau tak akan
apa-apa,” kataku pelan. Dia tampak rileks sedikit, membuatku tersenyum kecil.
Tapi, begitu roller
coaster berjalan, aku tak yakin bahwa aku baik-baik saja.
***
RAYNE(POV)
Payah.
“Lama,” Raphael mengeluh.
“Sedang apa sih mereka?” Michael ikut-ikutan.
“Aku tahu, mereka pasti sakit perut,” Raphael
menjentikan jarinya.
“Eeew,” Michael menggigil dan Gabrielle mendengus.
Setelah naik roller
coaster, baik Ezekiel dan Oliver turun dalam keadaan pucat dan langsung
kabur ke kamar mandi, memuntahkan isi perut mereka.
Dan sejak tadi, yang dari tadi mengeluh hanya mereka
berdua.
“Aku lapar,” kata Michael, menghela napas.
“Aku haus,” gumam Raphael.
Dari sudut mataku, kedua saudara kembar itu nyengir
lebar sebelum akhirnya pergi tanpa pamit, meninggalkan aku dan Gabrielle
menunggui dua pemuda lain keluar dari kamar mandi seperti satpam setia.
Gabrielle menegakkan tubuhnya yang bersandar ke
dinding. “Rayne,” katanya.
Aku nyaris terjatuh mendengar suaranya. Namaku
terdengar lebih bagus saat Gabrielle yang memanggil. Biasanya aku mendengar
orang lain memanggilku dengan “Raini” tapi Gabrielle lebih terdengar seperti
“Reyney”. Menelan ludah, aku menjawab, “Ya?”
“Aku mau ke sana.” Dia menunjuk bangunan berbentuk
gua yang dari sini bisa kubaca sebagai “Rumah Hantu”. “Mau ikut?”
Aku mengerjap, terkejut dengan keputusan Gabrielle.
“Yang lain bagaimana?”
“Mereka bukan anak kecil lagi,” gumam Gabrielle,
berjalan terlebih dahulu.
Aku menyusul di sampingnya. “Kau tahu, aku rasa kita
terlihat menyedihkan.” Dia menatapku dengan alis menaik. “Karena ada dua remaja
tampan yang pergi ke gua hantu.”
Gabrielle terlihat tak peduli. Dagunya terangkat
seperti biasa ketika dia berjalan dengan langkah tegap tanpa ragu. Kepercayaan
dirinya yang sering membuatku terkesan padanya. Meski dia sendirian, dia tak
pernah merasa terpuruk.
Begitu kami sampai ke tempat yang dituju Gabrielle,
gua itu ternyata lebih besar dari yang terlihat. Dua orang penjaga mengenakan
kostum Devil yang membawa-bawa tombak berbentuk garpu beserta dengan ekor
mereka yang diseret-seret memberi kami tiket dan senter untuk masuk setelah
mereka memerhatikan kami dengan dahi mengerut kebingungan.
Gabrielle menarik lengan jeketku untuk menghindari
pandangan kedua Devil itu.
“Kita terlihat seperti dua orang yang pergi kencan,”
kataku, menghidupkan senter.
Tak ada balasan dari Gabrielle, tapi dia mengaitkan
tangannya dengan tanganku.
“Erm… Gabrielle?” gumamku.
“Apa?”
Aku tak pernah
memegang tangan siapapun, pikirku. “Tidak apa-apa,” padaku pada akhirnya.
Keadaan ini sudah sangat canggung tanpa aku sendiri harus menambah suasana semakin
canggung.
Selama ini, kontak fisik yang kulakukan pada
Gabrielle hanya sebatas rangkulan biasa di bahu, dan itupun dilapisi oleh
berlapis-lapis lembaran kain. Selama itu pula, tak pernah sekalipun Gabrielle
memberikan tindakan terlebih dahulu. Kali ini, aku merasa tindakannya sedikit
membuatku kaget.
Tangan Gabrielle ternyata kecil, halus, seperti
tangan bayi. Tidak seperti tanganku yang dingin, dia jauh lebih hangat. Dahiku
mengerut. Ok, ini tak normal. Aku tak boleh memikirkan yang tidak-tidak. Ini
Gabrielle! Apa saja bisa terjadi dalam pikirannya!
Sinar senter di tanganku menyinari sebuah sosok yang
berjalan dengan terpincang-pincang, memperdengarkan suara mengerikan. Aku
berhenti untuk mengamatinya, menyinari monster itu dengan penuh minat sampai
Gabrielle mengambilnya dari tanganku.
“Pegang yang benar,” ucapnya jengkel, lalu membawa
jalan.
Wajahku memerah. “Sori.”
Kami berbelok, melonjak kaget begitu ada sosok wanita
berambut panjang muncul dengan cara mendobrak dinding dengan tiba-tiba tepat di
depan Gabrielle. Gabrielle mendesis, menempeleng kepala si hantu wanita dengan
senternya, membuatku mengerjap, lalu terbahak-bahak.
“Kau takut hantu?” tanyaku, masih terbahak.
“Aku tak takut. Aku hanya kaget,” balasnya. Bibirnya
mencebik.
Aaw, cute,
pikirku. Bahkan di kegelapan yang hanya disinari oleh sinar lampu berwarna
merah dan hijau, aku masih bisa melihat wajahnya memerah sedikit.
“Yeah, siapapun tahu kau takut,” gumamku.
Dia memberiku lirikan yang menyuruhku untuk diam
sebelum akhirnya menarikku lagi untuk melewati sulur-sulur panjang ular
bohongan dan genangan air. Langkah kaki kami terhenti begitu melihat kappa-kappa yang muncul ke permukaan,
berwajah jelek dengan efek menjijikan.
Gabrielle memutar bola matanya, menendang si kappa
minggir. Aku tertawa kecil di belakang, mempererat genggaman tanganku agar dia
tak melepasnya.
Yeah, aku tahu sekarang. Dia hanya penasaran seperti
apa rumah hantu. Dia sama sekali tak takut hantu. Tapi, dia mudah kaget. Ketika
ada tengkorak memegang bahunya dari balik bebatuan ketika kami tersesat, aku
tak luput melihatnya melonjak sampai menabrakku, sebelum akhirnya sadar dengan
apa yang dia lihat, kemudian menendang benda yang mengagetkannya.
Walau tidak melihat wajah ketakutannya, aku bisa
bersenang-senang melihatnya terkaget, lalu cemberut, lalu mendesis jengkel dan
tertawa.
Yep, dia tertawa saat ada vampire lewat di depan mereka, berkomentar mengapa dia tak bersinar
seperti di tv-tv dan ternyata vampire itu
tak setampan yang diceritakan orang.
Begitu kami keluar, wajah Gabrielle sudah memerah dan
berkeringat. Langit sudah sore. Pengunjung anak-anak dan keluarga sudah banyak
yang pulang dan digantikan dengan pengunjung remaja dan dewasa.
“Ayo, kita harus cari yang lain,” kataku, melepas
genggamannya.
Gabrielle melihat sekitarnya, menelan ludah.
“Gab?” kataku, terheran melihat kepanikan di matanya.
Aku pernah melihat ekspresi itu sebelumnya, sewaktu di pesta. “Kau baik-baik
saja?”
Dia mengerjap, memasang wajah datar dan mengangguk.
Kepanikan itu hilang.
Dahiku mengerut curiga, tapi aku tak mengatakan
apa-apa. Kami berjalan melewati lautan manusia, mencari yang lainnya. Jeez, aku lupa meminta nomor telepon
mereka. Kalau aku tahu akan seperti ini, aku tak akan menuruti permintaan
Gabrielle. Mereka ada di mana saja.
“Gab, kau haus—Gab, kau yakin kau baik-baik saja?”
Warna di wajah Gabrielle hilang dalam sekejap. Ketika
aku berbalik, dia berada dekat sekali di belakangku, sehingga aku bisa melihat
kepanikan dan ketakutan di mata birunya. Dahinya jauh lebih berkeringat dari
pada sebelumnya.
“Erm…”
Dia melihat melewati bahuku dan ekspresinya penuh
horor.
“Gab, ada apa? Kau membuatku ketakutan sekarang,”
kataku, mundur selangkah untuk memberiku ruang bernapas. Tingkah Gabrielle aneh
sekali.
Anak itu tak menjawab dan malah melihat sekitar,
membuatku terheran dan berbalik.
Dan, aku sekarang mengerti kenapa Gabrielle
bertingkah begitu.
Sepuluh meter dari tempat kami, Fanesca dan Wyalt
tengah bergandengan. Fanesca membawa sebuah boneka teddy besar sekali. Mereka
tak terlihat begitu memedulikan sekitar, apalagi saat Fanesca berjinjit untuk
mencium bibir Wyalt.
Oh, shit!
Begitu aku berbalik, Gabrielle tak ada di mana-mana.
Aku panik.
“Gab! Gabrielle!”
Tapi, meski aku berteriak memanggilnya sampai
kehabisan napas, aku tak berhasil menemukan Gabrielle.
***
EZEKIEL(POV)
Setelah berpisah dengan Oliver karena dia panik untuk
mencari Gabrielle yang menghilang, aku memutuskan untuk meneleponnya. Yang lain
sudah diberitahu kalau Gabrielle tersesat di sini.
Mereka bodoh. Tentu saja. Tempat ini tidak seluas
lapangan golf atau hutan belantara. Gabrielle pasti bisa ditemukan. Tapi,
karena aku punya adik-adik idiot yang tahunya hanya panik, aku bisa mengerti.
Michael dan Raphael malah menjerit histeris sebelum akhirnya mereka ikut
mencari.
“Halo?” Gabrielle mengangkat teleponnya di deringan
ketiga.
Aku menghela napas lega. Setidaknya, dia mengangkat
teleponnya.
“Kau ada dimana? Semua orang panik mencarimu,” kataku
pelan.
Untuk sejenak, kupikir dia tak mau menjawab karena
kalian tahu sendiri kemampuannya untuk tidak bicara. Tapi, ternyata aku salah.
“Di stasiun. Aku mau pulang.”
Ok, sekarang aku panik. “Apa? Gab, kau tak—”
“Tunggu sebentar, aku bayar dulu.”
Bayar? BAYAR? “Gab, jangan naik bus dulu. Kita harus
pulang bersama. Aku—”
Dan dia mematikan ponselnya. Aku ternganga. Begitu
kuhubungi lagi, teleponnya tak menyambung.
Bukannya aku skeptis apakah Gabrielle akan tersesat
atau tidak, karena aku tahu dia pasti akan tersesat! Lokasi kami
bersenang-senang tak berada di satu kota dan aku yakin Gabrielle belum mengenal
kondisi di sekitarnya karena menurut cerita Jeremiah, Gabrielle berasal dari
kota kecil. Entah darimana dia mendapat data itu, tapi yang pasti aku percaya.
Noah dan Jamine kembali, terengah.
“Bagaimana?”
“Dia sudah naik bus,” jawabku cepat.
Jamine ternganga. “Kalau dia salah naik bus
bagaimana?”
Noah merangkul bahunya untuk menenangkannya sementara
aku memijat dahiku. Yang lain kembali. Dan ekspresi mereka sama buruknya saat
aku bilang kalau Gabrielle sudah naik bus.
“Jeremiah!” Raphael dan Michael berkata berbarengan.
Jamine mendengus, tapi pada akhirnya setuju. “Dia
akan menghabisi kita.”
Aku tak mendengar komentarnya. Mengambil beberapa
langkah untuk privasi, aku menelepon Jeremiah, yang menyapaku di seberang sana
dengan gerutuan.
“Ezekiel, aku sedang rapat.”
Aku memutar bola mata. “Aku rindu dirimu yang lama.”
“Aku juga,” katanya, lalu menghela napas. “Ada apa?
Kuharap bukan masalah besar.”
“Kau tahu kalau aku selalu meneleponmu karena masalah
besar.”
Ezekiel bisa menduga bahwa Jeremiah nyengir lebar di
sana. “Kecuali saat tak ada yang bersedia menonton pertandinganmu. Aku ingin
melihatmu memohon lagi.”
“In your dream,”
gerutu Ezekiel, membuat Jeremiah tertawa kecil. “Sebenarnya, ini mengenai
Gabrielle.” Dan dia segera menceritakan apa yang terjadi.
Pada akhirnya, Jeremiah menghela napas, mengucapkan
“maaf” pada koleganya dan berbicara dengan lebih pelan. “Aku paling tak suka
menggunakan kekuasaan. Tapi, kau mengambil keputusan yang tepat. Kalian lebih
baik pulang, biar aku urus segalanya dari sini.”
“Thanks,
Jeremiah. I love you.”
“Yeah, love you
too. Sekarang, cepat pulang sebelum yang lainnya mengira kalian hilang
juga,” katanya dan menutup telepon.
Aku tersenyum kecil, memberi kabar pada yang lain
kalau Gabrielle akan baik-baik saja.
***
AROZ(POV)
“James, bisakah kau tinggalkan aku sendiri? Aku tak
butuh perhatianmu. Aku hanya ingin diberikan waktu sebentar saja untuk
menenangkan diri dan kau sama sekali tak membantuku!”
Kemarahanku bangkit dengan segera. Sudah dua hari ini
dia mengekoriku terus-terusan, membuatku sulit bergerak. Aku tak butuh
dikasihani. Aku bisa menjaga diriku sendiri.
Pria itu memegang lenganku, yang dengan segera
kusingkirkan.
“Aroz, aku hanya ingin membantu,” katanya dengan
wajah memelas.
“Kau akan sangat membantuku jika kau meninggalkanku
sendirian,” kataku dengan gigi gemertakan. “Sekarang, bila kau tak keberatan,
aku mau kembali ke toko dan aku ingin kau pulang dan tidak menggangguku.”
Dia masih mengikutiku, dan berhenti di depan halte
saat sebuah bus berhenti. Aku cepat-cepat naik, tidak memedulikan pria pirang
itu lagi.
Sejak kejadian di rumah Cody, James terus di
sampingku. Aku berterima kasih. Tapi, aku juga butuh waktu sendiri. Aku bisa
menjaga diriku sendiri. Aku tidak selemah itu. Aku bukan anak kecil lagi.
Tanganku terkepal tiap kali mengingat cara James
memperlakukanku. Uh! Cara James memperlakukanku sama seperti gay-gay lainnya.
Mereka memperlakukanku seperti perempuan. Aku lelaki! Aku juga bisa kasar.
“Uh.” Menarik napas dalam-dalam, kuusap wajahku, lalu
kembali melihat keluar jendela. Matahari sudah tak terlihat diganti dengan
sinar-sinar lampu temaram dari toko-toko yang dilewati secara perlahan.
Pikiranku kembali terbayang pada Cody dan Jeremiah.
Aku mengakui bahwa aku sedikit feminim dibandingkan
dengan pria-pria lain. Tapi kedua orang itu tak pernah memperlakukanku seperti
perempuan.
Jeremiah tak pernah mengejekku. Dia tak pernah ragu
melempar kertas atau kapur padaku bila dia sedang jahil. Dia juga tak pernah
membawakan tasku, malah lebih sering mengerjaiku dengan melemparkan handuknya
yang bau padaku tiap kali selesai olahraga. Dia menganggapku seperti
teman-temannya yang lain.
Cody lain lagi. Dia memang melarangku melakukan aksi
berbahaya bila dia tak ada di sampingku, tapi tetap mengajariku. Aku bisa naik
motor karenanya. Dia mengajariku jurus-jurus tinjunya. Dia membantuku bermain skateboard. Dia tak pernah histeris
kalau aku jatuh saat main basket atau sepak bola, meski dia akan diam lama
sekali sebelum akhirnya memilih untuk mengobati luka-lukaku.
Seperti yang sudah kukatakan. Mereka tak pernah
memperlakukanku seperti perempuan.
Dan James memperlakukanku melebihi perempuan.
Aku diperlakukan seperti bayi!
Dia melukai harga diriku.
Kemarahanku bangkit lagi setelah tiba di stasiun
selanjutnya. Memasukkan kedua tanganku ke saku mantelku, aku merapatkan syalku
dan berjalan menuju tokoku. Aku memutuskan untuk memasak. Kemarahanku akan
mereda bila aku menghabiskan waktuku di dapur.
Liam tak ada lagi di toko karena toko kami sudah
tutup tepat jam lima sore. Kami tak melayani pelanggan malam karena sejak pagi
kami sudah bekerja.
Tapi, aku melihat seseorang yang seharusnya tak ada
kota ini berdiri di depan tokoku.
Gabrielle.
Anak berambut merah itu melihat di balik kaca tebal
kue-kue yang terpajang dalam kondisi gelap gulita dengan ekspresi terpesona.
Melihat ekspresinya membuatku tersenyum. Kemarahanku hilang dalam sekejap.
“Gabrielle,” kataku pelan, membuatnya melonjak. “Apa
yang kau lakukan di sini?”
Dia mengerjap, lalu menunjuk ke kaca, ke salah satu
kue berwarna merah.
Aku tertawa kecil. “Kami sudah tutup.”
Dahinya mengerut, lalu melihat ke papan nama di atas
bangunan, dan sadar bahwa ini adalah toko kueku.
“Aku lapar,” katanya pelan.
Suara anak ini
benar-benar enak didengar, pikirku. Selama ini aku berpikir hanya suara
Cody yang enak didengar, tapi ternyata tidak juga.
Bibirku tersenyum lagi. “Bagaimana kalau aku
memasakkan sesuatu untukmu? Lasagne
kedengaran cukup enak untukmu?”
Dia tersenyum lebar, lalu mengangguk bersemangat.
Aku tertawa kecil lagi melihat ekspresinya dan
membimbingnya mendekati tangga kecil di pinggir menuju lantai dua: lokasi
tempatku tinggal. Gabrielle mengikuti dari belakang, memegang lengan mantelku.
Tingkahnya membuatku tersenyum kecil dan bangga sedikit. Aku seakan punya adik.
Membuka pintu rumahku, aku menggantung mantel,
melepas sepatu. “Kau ingin mandi dulu? Akan kusiapkan pakaian ganti untukmu.
Sewaktu kau selesai, kita bisa langsung makan.”
Dia mengangguk lagi, melihat sekitar rumahku. Tidak
banyak yang bisa dilihat. Bila dibandingkan dengan Cody, rumahku sangat kecil.
Aku meninggalkan pakaian ganti di atas tempat tidurku
dan Gabrielle segera menghilang ke kamar mandi. Sementara aku turun ke bawah
dan mulai memasak di dapur.
Dia turun tepat saat aku menghidangkan makanan yang
mengepul. Wajahnya berubah cerah setelah agak bingung dan memilih duduk di
sampingku. Kami makan dalam diam, tapi bukan diam yang canggung karena aku
merasa nyaman sekali.
Ini yang kubutuhkan.
Aku tak butuh kata-kata penghiburan. Aku hanya butuh
ketenangan tanpa harus ditinggal sendirian.
“Biar aku saja,” Gabrielle mengambil piring di
tanganku. “Kau bisa langsung mandi.”
Aku tersenyum penuh terima kasih, mengangguk dan naik
ke kamarku. Melepas seluruh pakaianku, aku memilih berendam di air hangat
dengan gelembung-gelembung sabun yang mengepul di sekeliling bak. Pikiranku
jadi jauh lebih ringan sekarang.
Aku akan baik-baik saja. Cody akan baik-baik saja.
Keyna akan baik-baik saja.
Aku keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di
pinggang dan sedikit tercengang melihat Gabrielle sudah tidur di atas tempat
tidurku dengan selimut menutupi tubuhnya. Well,
mau bagaimana lagi, aku hanya punya satu tempat tidur.
Telepon rumahku berdering begitu aku memakai celana,
dan segera turun ke bawah untuk mengangkat telepon, menggosok rambutku.
“Halo?”
“Aroz, informanku bilang kalau Gabrielle ada di
rumahmu,” suara Jeremiah terdengar di seberang.
“Kabarku sangat baik, Jeremiah. Terima kasih tidak
bertanya,” kataku getir. Aku mendengar suara tawanya di seberang. “Berhenti
bertingkah seperti Ayahmu.” Informan…
kenapa aku tak terkejut? Dia mencari Cody menggunakan Detektif sewaktu Cody tak
kembali selama setahun.
“Aku akan menjemputnya bila dia membuatmu repot,”
katanya lagi.
“Oh, dia sedang tidur sekarang. Di kamarku. Di atas
tempat tidurku.”
“Itu artinya dia nyaman bersamamu,” katanya pelan.
“Dia tak bisa tidur di tempat asing bila sendirian. Aku akan menjemputnya besok.”
“Tidak usah. Aku akan mengantarnya,” kataku pelan.
“Ok, aku akan berusaha menenangkan Fran,” katanya
lagi, dan aku mendengar suara Fran di seberang sana, “Gabrielle akan sangat
merepotkannya. Aku akan menjemputnya saja!”
“Sampai jumpa, Aroz. Aku ada kencan dengan Cody,”
kata Jeremiah, dan dia menutup teleponnya.
Bibirku tersenyum kecil. Setidaknya, Cody akan
baik-baik saja di tangan Jeremiah. Cody hanya butuh waktu untuk menyembuhkan
luka-lukanya.
Kami akan baik-baik saja.
Kemudian, aku naik ke atas dan tidur di samping
Gabrielle, yang dalam dua jam, tidur memeluk pinggangku dan aku hanya tersenyum
kecil.
Aku merasa seperti seorang Kakak, sekarang.
***
Medan, 23
Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar