RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [13]



13
Date
==========

GABRIELLE(POV)
Noah memberiku pelukan persahabatan sebelum mengacak rambutku. Aku menyingkirkan tangannya dengan segera, memelototinya dengan jengkel, lalu memperbaiki rambutku sementara dia tertawa. Jeez, pemuda raksasa ini benar-benar menyebalkan.
“Aku senang melihatmu. Ben sebenarnya ingin ikut, tapi dia tak mungkin meninggalkan sekolah sementara nilainya parah sekali,” katanya, memasukkan tangannya ke mantelnya.
Dan apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau juga harus sekolah?
“Ah, kau tak perlu khawatir. Nilaiku jauh lebih baik dibandingkan dengan yang lain, meski belum bisa menyamai Oliver. Omong-omong soal Oliver, dia bilang kalau kau tak pernah membalas pesannya. Apa itu benar?”
Aku memutar bola mata. Yep, aku tak ingin bicara padanya karena aku tak suka padanya. “Kenapa kau bisa ada di sini?”
Noah mengerjap, sepertinya tak menyangka aku akan bertanya langsung. “Well, Kakakku sakit, jadi orang tuaku mengutusku kemari. Sudah tiga hari ini aku menungguinya di rumah sakit dan tadi kondisinya sudah baikan. Besok, dia sudah boleh pulang. Dia ingin aku bersenang-senang sebelum aku pulang lusa.”
Oh, aku tak tahu kalau dia punya Kakak.
“Gabrielle!”
Itu Jamine. Aku nyaris mengerang jengkel. Noah menatapku dengan geli, lalu melihat arah pandangku dimana Jamine sedang berlari ke arah kami dari teman-temannya. Rambut hitamnya berkelebatan di punggungnya.
“Dia cantik,” kata Noah.
“Hai,” sapa Jamine, matanya berkilat melihat Noah. Dan, aku memerhatikan kalau Noah meliriknya dari atas sampai ke bawah. Yep, dia tertarik seratus persen pada Jamine. “Siapa temanmu yang keren ini, Gabrielle?”
Noah dengan segera mengulurkan tangannya, tersenyum kecil. “Namaku Noah Grenn. Noah.”
Jamine mengedipkan matanya dengan penuh goda—membuatku ingin muntah. Lalu menjabat tangan Noah. Wajahnya merona saat menjawab. “Jamine Huges. Jamine.”
Udara di sekitar mereka menegang dan menghangat meski udara di luar sini dingin sekali. Mereka saling pandang selama beberapa detik, masih berpegangan tangan dan tersenyum malu-malu. Ok, cukup. Aku tak ingin melihat lebih lama lagi, karena itu aku berjalan tepat ke tengah mereka sehingga jabatan mereka terlepas dan balon cupid mereka meledak. Dengan cepat, kutarik mantel Noah untuk mengikutiku.
“Sampai jumpa, Jamine,” Noah melambai, kemudian mengerutkan dahi padaku. “Dude, kau kenal gadis itu? Dia cantik! Apa kau punya nomor teleponnya?”
Menghela napas, kukeluarkan ponsel untuk mencari nomor telepon Jamine dan kukirim pada Noah. Dia nyengir lebar padaku begitu melihat apa yang kukirim. “Thanks, Gab!”
“Gabrielle!”
Kali ini, gangguan datang dari Rayne, Wyalt dan Fanesca. Ya ampun, aku cuma ingin nonton. Apa tak ada yang bisa memberikanku ketenangan?
“Siapa ini?” Rayne menatap Noah.
“Teman-temanmu?” Noah bertanya padaku. Aku mengangguk kecil dan mereka kembali berkenalan. “Kami mau nonton. Kalian mau ikut?”
Fanesca melonjak-lonjak. “Aku suka nonton!” Dan dua pemuda lain segera mengangguk.
“Gab, harusnya tadi kita ajak Jamine,” Noah memberikan pandangan padaku, yang memberi pesan: plis, plis, plis!
Lagi-lagi, aku mengeluarkan ponselku, mengirim pesan pada Jamine. Jamine tak perlu waktu lama untuk muncul karena dia segera bergabung bersama dengan Ezekiel dan si kembar.
“Gab, kau tak keberatan jika aku mengajak Oliver kan? Aku sudah lama tak bertemu dengannya.”
Great!

***

OLIVER(POV)

From: Noah Green
To: =Me=
Olie, aku ada di sini
Kami mau nonton
Mau ikut?
Ada Gabrielle juga *wink

“Oh, yes! Yes! Yes! Yes!”
Kehidupan membosankan di asrama akhirnya terobati juga. Sambil menari-nari, aku melompat dari tempat tidur, membalas pesan Noah dengan girang. Aku akan bertemu Gabrielle! Thanks, Noah! Kau memang yang terbaik!
“Woohoo!” kataku, meninju udara.
“Erm, Oliver, aku masih di sini.”
Aku berhenti menari dengan posisi bokong melenggang dan tangan di udara sementara kakiku melompat-lompat gila. Mataku melirik tempat tidur di belakangku, tempat di mana teman sekamarku, Marc, tengah duduk di atas tempat tidur sambil membaca buku. Alisnya menaik melihatku. Oh, shit!
“Sori, Marc.”
Aku memaki jengkel. Wajahku merona merah sementara dia terbahak-bahak, memegang perutnya dengan geli. Kacamatanya miring.
“Ini pertama kalinya aku melihatmu kehilangan kendali! Man, lucu sekali! Tarianmu tadi luar biasa! Kau menari seperti orang keseterum!” Dia kembali tertawa, menutup bukunya sambil geleng-geleng kepala. “Pasti kau mendengar kabar baik kan?”
Aku mengangguk, nyengir lebar. Ada pesan masuk lagi dari Noah yang mengatakan kalau mereka akan menungguku di bioskop.
Aku memaki lagi, berlari melihat pakaian apa yang harus kukenakan. Biasanya, aku tak pernah peduli apa yang kupakai, tapi tiba-tiba saja semuanya menjadi begitu penting, dan tiba-tiba saja semua pakaian yang kupunya menjadi tidak bagus sama sekali.
“Kenapa aku tak punya baju baru di saat seperti ini?” aku mengerang jengkel, menarik keluar jeans dan T-shirt. Marc kembali tertawa mendengar gerutuanku. Hari ini aku benar-benar menghiburnya. Anak itu jarang sekali tertawa.
“Marc, ungu atau hijau?” kataku menarik bajuku, menunjukkannya pada Marc, yang menaikan alis dengan pandangan yang mengatakan kalau aku sudah gila, lalu terbahak lagi. “MARC!”
“O-Oli-aduh, astaga,” dia tertawa lagi. “Kau punya tampang yang oke, pakai apa saja pasti bagus.”
“Tapi ini penting!” desisku, melirik wekerku. Setengah jam lagi aku harus sudah sampai di bioskop.
“Hmm,” dia mengetuk-ngetuk dagunya. Selama lima detik, dia menatapku dari atas sampai ke bawah, kemudian turun dari tempat tidurnya. Dia membuka laci pakaianku, mengacak isinya keluar, lalu memberiku jeans, kemeja dan jaket.
Aku segera menyambarnya tanpa banyak bicara dan mengganti pakaianku. Selera fashion Marc sangat tinggi. Mungkin, seperti itulah pribadimu jika kau punya Ibu seorang desainer dan ayah seorang bangsawan. Setelah memakai pakaianku, dia membantu menyisir rambutku.
Begitu melihat cermin, aku tahu kalau aku memang tampil keren. Kemeja kotak-kotak yang kukenakan berwarna biru tua dengan motif padat dan menumpuk. Jaket kulitku cukup bergaya dan sederhana. Dipadu dengan jeans abu-abu dan sneaker serta rambut cepak, aku tampil keren.
“Ok, kau keren,” katanya, menepuk-nepuk bahuku. “Good luck dengan kencanmu.”
“Thanks, Marc! Aku akan mentraktirmu makan siang besok.”
“Tidak perlu, kenalkan saja aku dengan cewek cantik!”
Aku tertawa, menutup pintu dan keluar dari kamarku menuju bioskop tempat kami janjian. Tak butuh lama bagiku untuk sampai ke bioskop. Begitu turun dari bus, satu-satunya yang kulihat adalah rambut merah Gabrielle yang menunggu di depan bioskop dengan tangan terlipat di dadanya. Matanya menyipit berbahaya padaku. Sepertinya, Noah memaksanya untuk menungguku.
“Hai, Gabrielle,” sapaku dan dia mendengus, lalu berbalik masuk ke dalam bioskop. Aku mengikuti di belakang punggungnya, tersenyum lebar. Kami mendekati kerumunan remaja yang berdiri di tengah bioskop, tampak menarik perhatian. Mataku mengerjap melihat pemandangan yang tak biasa ini. Gabrielle sepertinya mulai bergaul, meski dia tak banyak bicara.
“Oli!” Noah berseru, lalu memelukku. “Kau harus berterima kasih padaku,” tambahnya, berbisik ke telingaku.
Aku tak perlu tahu maksudnya apa. “Thanks, Man. Aku berhutang padamu.”
Dan aku diperkenalkan pada teman-teman Gabrielle: Rayne, Wyalt, Fanesca, Ezekiel, Michael dan Raphael, serta cewek taksiran Noah, Jamine. Mereka sudah membeli tiket, yang disepakati bersama bergenre romance-comedy. Para cewek memegang kendali keputusan karena Jamine akan memukul tangan saudara-saudaranya bila mereka membantah dan Noah jelas akan menuruti apapun permintaannya. Fanesca sendiri tak peduli bantahan Rayne dan Wyalt. Cewek itu berhasil membuat dua pemuda itu terdiam dan jelas sekali bahwa aku dan Gabrielle tak akan membantah.
Gabrielle sudah sangat jengkel sekali begitu aku duduk di sampingnya.
“Kau mau?” aku menyodorkan popcorn, berusaha membuatnya bicara padaku. Sayangnya, dia tak semudah itu disogok dengan popcorn murahan karena dia tidak memedulikanku dan malah memilih meminum soft drink-nya.
“Kau tak mungkin selamanya menghindariku, Gabrielle,” desahku, kembali mengalihkan pandangan pada film di depan yang aku sendiri tak tahu jalan ceritanya.
Gabrielle tak merespon. Kepalanya menghadap lurus ke depan. Meski begitu, aku yakin pikirannya sama sekali tak terkonsentrasi pada film.
“Gabrielle, bicara padaku. Kumohon. Aku bahkan tak tahu salahku apa,” kataku setelah beberapa menit tidak bicara.
Seperti biasa, dia tak merespon.
“Tak bisakah kita jadi teman? Aku ingin jadi temanmu,” kataku, memegang tangannya dan dia merespon saat itu pula dengan memberiku lirikan penuh curiga. “Please,” kataku lagi.
Wajah Gabrielle mengeras. Kulit pucatnya hanya terlihat samar-samar dari cahaya film yang terpantul ke wajahnya. Untuk beberapa menit, dia menatapku dalam diam. Aku tak berani bergerak, ataupun mengalihkan tatapanku darinya, karena aku tahu dia sedang menyelidiki apakah aku serius atau tidak.
“Ok,” katanya pelan.
Aku mengerjap. “Huh?”
Tapi Gabrielle sudah mengalihkan perhatiannya lagi pada film di depannya. Bibirku tersenyum lebar. Aku nyaris saja melonjak dan menari-nari seperti orang bodoh, hanya saja aku berhasil menahannya dengan terbatuk kecil, meremas tangan Gabrielle. Gabrielle mengerinyit saat aku melakukannya, tapi dia tak menarik tangannya, dan aku bersyukur dia tak melakukannya.
Sisa film kuhabiskan memandangi wajah samping Gabrielle sambil memegang tangannya. Aku tak berani bergerak—atau tak bisa bergerak—karena aku ingin mengingat hal ini seumur hidup.
Begitu lampu kembali menyala, Gabrielle menarik tangannya, memperbaiki letak mantelnya dan melirikku lagi. Aku tersenyum padanya seperti orang bodoh, membuatnya memutar bola mata, tapi tak mengatakan apa-apa.
Dia baru saja bersedia menjadi temanku! Itu lebih daripada yang kuharapkan!
Easy, Oliver, easy… kau akan membuatnya ketakutan. Pelan-pelan. Kau tak ingin dia membencimu kan? Kau harus jadi temannya… jadi teman yang baik…
“Aku lapar,” Jamine bersuara, menggandeng tangan Noah.
Seperti pelayan yang patuh, Noah segera merespon. “Kita makan saja.”
Aku tak protes karena itu artinya akan lebih banyak waktuku bersama Gabrielle. Kami beranjak dan naik ke bus menuju restoran cepat saji terdekat. Lagi-lagi, aku duduk di samping Gabrielle—thanks, Noah. Kami memesan makanan dan semua mata menuju pada Gabrielle saat tiba gilirannya memesan.
Sayangnya, dia menunjuk menunya tanpa bicara dan semua orang segera kecewa. Aku tertawa kecil melihat senyuman kepuasan Gabrielle. Dasar kau, Tuan Jahil.
Kami mengobrol banyak. Aku menyukai teman-teman Gabrielle. Mereka orang-orang yang asik meski sedikit diluar kebiasaan. Aku terbiasa mengobrol dengan orang-orang gila dan aneh—seperti Ben dan Jimmy.
Selesai dengan restoran, secara tiba-tiba kami memutuskan untuk pergi ke taman hiburan.
Roller coaster!” Raphael dan Michael menjerit bersama seperti anak kecil.
Ezekiel memutar bola matanya, kemudian mengikuti dua pemuda itu dari belakang. Rayne ikut menyusul sambil menarik tangan Gabrielle, sehingga, mau tak mau aku, juga mengekor di belakang.
Jamine dan Noah menghilang ke suatu tempat yang mereka tahu ada dimana, sementara Wyalt menemani Fanesca ke kamar mandi, yang sedikit aneh karena dia laki-laki.
“Aku di depan,” kata Raphael.
“Aku di samping,” balas Michael.
“Rayne di belakang,” lanjut Raphel.
“Ezekiel di belakang,” balas Michael.
“Gabrielle di belakangnya lagi,” sambung Raphael.
“Oliver ada di belakangnya lagi,” Michael menyelesaikan.
“Ok, kami mengerti,” Ezekiel memotong perkataan saudara kembarnya. Aku merasa kedua orang ini lucu karena mereka sangat sinkron. Kedua orang itu nyengir lalu mengobrol bersama, sibuk dengan dunia mereka sendiri.
“Aku sudah sering melihat mereka, tapi tetap saja aku merasa terkesan pada mereka,” kata Rayne menggosok dagunya. Dahinya mengerinyit sedikit.
“Oh, kau akan terbiasa,” balas Ezekiel. “Pertama kali mereka sampai ke rumah, mereka seperti Gabrielle, tidak bicara. Tapi, Jeremiah sangat penyabar, jadi mereka mulai membuka diri.”
Dahiku mengerut. “Jeremiah? Jeremiah Huges?”
Ezekiel menoleh ke belakang. “Oh, kau kenal Jeremiah juga? Well, dia saudaraku.”
Mataku membulat lebar. Damn, jadi aku tak pernah jauh-jauh dari pria itu? Setiap kali mengingat perkataannya, aku merasa tubuhku merinding.
Rayne mengerutkan dahi. “Oh, pantas saja.”
Antrian berkurang. Raphael dan Michael mengambil tempat tepat di depan barisan. Mereka duduk dengan cepat, memasang sabuk pengaman. Rayne dan Ezekiel di belakang mereka, sedangkan aku dan Gabrielle ada di belakangnya lagi.
“Gabrielle, kau tak takut ketinggian kan?” Rayne menanyai Gabrielle, yang memegang erat palang besi di depannya sampai kuku-kuku jarinya memutih. Gabrielle memberikan sorot tajam berbahaya padanya. “Ups, kurasa itu jawabannya ya.”
Aku memegang tangan Gabrielle. “Kau tak akan apa-apa,” kataku pelan. Dia tampak rileks sedikit, membuatku tersenyum kecil.
Tapi, begitu roller coaster berjalan, aku tak yakin bahwa aku baik-baik saja.

***

RAYNE(POV)
Payah.
“Lama,” Raphael mengeluh.
“Sedang apa sih mereka?” Michael ikut-ikutan.
“Aku tahu, mereka pasti sakit perut,” Raphael menjentikan jarinya.
“Eeew,” Michael menggigil dan Gabrielle mendengus.
Setelah naik roller coaster, baik Ezekiel dan Oliver turun dalam keadaan pucat dan langsung kabur ke kamar mandi, memuntahkan isi perut mereka.
Dan sejak tadi, yang dari tadi mengeluh hanya mereka berdua.
“Aku lapar,” kata Michael, menghela napas.
“Aku haus,” gumam Raphael.
Dari sudut mataku, kedua saudara kembar itu nyengir lebar sebelum akhirnya pergi tanpa pamit, meninggalkan aku dan Gabrielle menunggui dua pemuda lain keluar dari kamar mandi seperti satpam setia.
Gabrielle menegakkan tubuhnya yang bersandar ke dinding. “Rayne,” katanya.
Aku nyaris terjatuh mendengar suaranya. Namaku terdengar lebih bagus saat Gabrielle yang memanggil. Biasanya aku mendengar orang lain memanggilku dengan “Raini” tapi Gabrielle lebih terdengar seperti “Reyney”. Menelan ludah, aku menjawab, “Ya?”
“Aku mau ke sana.” Dia menunjuk bangunan berbentuk gua yang dari sini bisa kubaca sebagai “Rumah Hantu”. “Mau ikut?”
Aku mengerjap, terkejut dengan keputusan Gabrielle. “Yang lain bagaimana?”
“Mereka bukan anak kecil lagi,” gumam Gabrielle, berjalan terlebih dahulu.
Aku menyusul di sampingnya. “Kau tahu, aku rasa kita terlihat menyedihkan.” Dia menatapku dengan alis menaik. “Karena ada dua remaja tampan yang pergi ke gua hantu.”
Gabrielle terlihat tak peduli. Dagunya terangkat seperti biasa ketika dia berjalan dengan langkah tegap tanpa ragu. Kepercayaan dirinya yang sering membuatku terkesan padanya. Meski dia sendirian, dia tak pernah merasa terpuruk.
Begitu kami sampai ke tempat yang dituju Gabrielle, gua itu ternyata lebih besar dari yang terlihat. Dua orang penjaga mengenakan kostum Devil yang membawa-bawa tombak berbentuk garpu beserta dengan ekor mereka yang diseret-seret memberi kami tiket dan senter untuk masuk setelah mereka memerhatikan kami dengan dahi mengerut kebingungan.
Gabrielle menarik lengan jeketku untuk menghindari pandangan kedua Devil itu.
“Kita terlihat seperti dua orang yang pergi kencan,” kataku, menghidupkan senter.
Tak ada balasan dari Gabrielle, tapi dia mengaitkan tangannya dengan tanganku.
“Erm… Gabrielle?” gumamku.
“Apa?”
Aku tak pernah memegang tangan siapapun, pikirku. “Tidak apa-apa,” padaku pada akhirnya. Keadaan ini sudah sangat canggung tanpa aku sendiri harus menambah suasana semakin canggung.
Selama ini, kontak fisik yang kulakukan pada Gabrielle hanya sebatas rangkulan biasa di bahu, dan itupun dilapisi oleh berlapis-lapis lembaran kain. Selama itu pula, tak pernah sekalipun Gabrielle memberikan tindakan terlebih dahulu. Kali ini, aku merasa tindakannya sedikit membuatku kaget.
Tangan Gabrielle ternyata kecil, halus, seperti tangan bayi. Tidak seperti tanganku yang dingin, dia jauh lebih hangat. Dahiku mengerut. Ok, ini tak normal. Aku tak boleh memikirkan yang tidak-tidak. Ini Gabrielle! Apa saja bisa terjadi dalam pikirannya!
Sinar senter di tanganku menyinari sebuah sosok yang berjalan dengan terpincang-pincang, memperdengarkan suara mengerikan. Aku berhenti untuk mengamatinya, menyinari monster itu dengan penuh minat sampai Gabrielle mengambilnya dari tanganku.
“Pegang yang benar,” ucapnya jengkel, lalu membawa jalan.
Wajahku memerah. “Sori.”
Kami berbelok, melonjak kaget begitu ada sosok wanita berambut panjang muncul dengan cara mendobrak dinding dengan tiba-tiba tepat di depan Gabrielle. Gabrielle mendesis, menempeleng kepala si hantu wanita dengan senternya, membuatku mengerjap, lalu terbahak-bahak.
“Kau takut hantu?” tanyaku, masih terbahak.
“Aku tak takut. Aku hanya kaget,” balasnya. Bibirnya mencebik.
Aaw, cute, pikirku. Bahkan di kegelapan yang hanya disinari oleh sinar lampu berwarna merah dan hijau, aku masih bisa melihat wajahnya memerah sedikit.
“Yeah, siapapun tahu kau takut,” gumamku.
Dia memberiku lirikan yang menyuruhku untuk diam sebelum akhirnya menarikku lagi untuk melewati sulur-sulur panjang ular bohongan dan genangan air. Langkah kaki kami terhenti begitu melihat kappa-kappa yang muncul ke permukaan, berwajah jelek dengan efek menjijikan.
Gabrielle memutar bola matanya, menendang si kappa minggir. Aku tertawa kecil di belakang, mempererat genggaman tanganku agar dia tak melepasnya.
Yeah, aku tahu sekarang. Dia hanya penasaran seperti apa rumah hantu. Dia sama sekali tak takut hantu. Tapi, dia mudah kaget. Ketika ada tengkorak memegang bahunya dari balik bebatuan ketika kami tersesat, aku tak luput melihatnya melonjak sampai menabrakku, sebelum akhirnya sadar dengan apa yang dia lihat, kemudian menendang benda yang mengagetkannya.
Walau tidak melihat wajah ketakutannya, aku bisa bersenang-senang melihatnya terkaget, lalu cemberut, lalu mendesis jengkel dan tertawa.
Yep, dia tertawa saat ada vampire lewat di depan mereka, berkomentar mengapa dia tak bersinar seperti di tv-tv dan ternyata vampire itu tak setampan yang diceritakan orang.
Begitu kami keluar, wajah Gabrielle sudah memerah dan berkeringat. Langit sudah sore. Pengunjung anak-anak dan keluarga sudah banyak yang pulang dan digantikan dengan pengunjung remaja dan dewasa.
“Ayo, kita harus cari yang lain,” kataku, melepas genggamannya.
Gabrielle melihat sekitarnya, menelan ludah.
“Gab?” kataku, terheran melihat kepanikan di matanya. Aku pernah melihat ekspresi itu sebelumnya, sewaktu di pesta. “Kau baik-baik saja?”
Dia mengerjap, memasang wajah datar dan mengangguk. Kepanikan itu hilang.
Dahiku mengerut curiga, tapi aku tak mengatakan apa-apa. Kami berjalan melewati lautan manusia, mencari yang lainnya. Jeez, aku lupa meminta nomor telepon mereka. Kalau aku tahu akan seperti ini, aku tak akan menuruti permintaan Gabrielle. Mereka ada di mana saja.
“Gab, kau haus—Gab, kau yakin kau baik-baik saja?”
Warna di wajah Gabrielle hilang dalam sekejap. Ketika aku berbalik, dia berada dekat sekali di belakangku, sehingga aku bisa melihat kepanikan dan ketakutan di mata birunya. Dahinya jauh lebih berkeringat dari pada sebelumnya.
“Erm…”
Dia melihat melewati bahuku dan ekspresinya penuh horor.
“Gab, ada apa? Kau membuatku ketakutan sekarang,” kataku, mundur selangkah untuk memberiku ruang bernapas. Tingkah Gabrielle aneh sekali.
Anak itu tak menjawab dan malah melihat sekitar, membuatku terheran dan berbalik.
Dan, aku sekarang mengerti kenapa Gabrielle bertingkah begitu.
Sepuluh meter dari tempat kami, Fanesca dan Wyalt tengah bergandengan. Fanesca membawa sebuah boneka teddy besar sekali. Mereka tak terlihat begitu memedulikan sekitar, apalagi saat Fanesca berjinjit untuk mencium bibir Wyalt.
Oh, shit!
Begitu aku berbalik, Gabrielle tak ada di mana-mana.
Aku panik.
“Gab! Gabrielle!”
Tapi, meski aku berteriak memanggilnya sampai kehabisan napas, aku tak berhasil menemukan Gabrielle.

***

EZEKIEL(POV)
Setelah berpisah dengan Oliver karena dia panik untuk mencari Gabrielle yang menghilang, aku memutuskan untuk meneleponnya. Yang lain sudah diberitahu kalau Gabrielle tersesat di sini.
Mereka bodoh. Tentu saja. Tempat ini tidak seluas lapangan golf atau hutan belantara. Gabrielle pasti bisa ditemukan. Tapi, karena aku punya adik-adik idiot yang tahunya hanya panik, aku bisa mengerti. Michael dan Raphael malah menjerit histeris sebelum akhirnya mereka ikut mencari.
“Halo?” Gabrielle mengangkat teleponnya di deringan ketiga.
Aku menghela napas lega. Setidaknya, dia mengangkat teleponnya.
“Kau ada dimana? Semua orang panik mencarimu,” kataku pelan.
Untuk sejenak, kupikir dia tak mau menjawab karena kalian tahu sendiri kemampuannya untuk tidak bicara. Tapi, ternyata aku salah.
“Di stasiun. Aku mau pulang.”
Ok, sekarang aku panik. “Apa? Gab, kau tak—”
“Tunggu sebentar, aku bayar dulu.”
Bayar? BAYAR? “Gab, jangan naik bus dulu. Kita harus pulang bersama. Aku—”
Dan dia mematikan ponselnya. Aku ternganga. Begitu kuhubungi lagi, teleponnya tak menyambung.
Bukannya aku skeptis apakah Gabrielle akan tersesat atau tidak, karena aku tahu dia pasti akan tersesat! Lokasi kami bersenang-senang tak berada di satu kota dan aku yakin Gabrielle belum mengenal kondisi di sekitarnya karena menurut cerita Jeremiah, Gabrielle berasal dari kota kecil. Entah darimana dia mendapat data itu, tapi yang pasti aku percaya.
Noah dan Jamine kembali, terengah.
“Bagaimana?”
“Dia sudah naik bus,” jawabku cepat.
Jamine ternganga. “Kalau dia salah naik bus bagaimana?”
Noah merangkul bahunya untuk menenangkannya sementara aku memijat dahiku. Yang lain kembali. Dan ekspresi mereka sama buruknya saat aku bilang kalau Gabrielle sudah naik bus.
“Jeremiah!” Raphael dan Michael berkata berbarengan.
Jamine mendengus, tapi pada akhirnya setuju. “Dia akan menghabisi kita.”
Aku tak mendengar komentarnya. Mengambil beberapa langkah untuk privasi, aku menelepon Jeremiah, yang menyapaku di seberang sana dengan gerutuan.
“Ezekiel, aku sedang rapat.”
Aku memutar bola mata. “Aku rindu dirimu yang lama.”
“Aku juga,” katanya, lalu menghela napas. “Ada apa? Kuharap bukan masalah besar.”
“Kau tahu kalau aku selalu meneleponmu karena masalah besar.”
Ezekiel bisa menduga bahwa Jeremiah nyengir lebar di sana. “Kecuali saat tak ada yang bersedia menonton pertandinganmu. Aku ingin melihatmu memohon lagi.”
In your dream,” gerutu Ezekiel, membuat Jeremiah tertawa kecil. “Sebenarnya, ini mengenai Gabrielle.” Dan dia segera menceritakan apa yang terjadi.
Pada akhirnya, Jeremiah menghela napas, mengucapkan “maaf” pada koleganya dan berbicara dengan lebih pelan. “Aku paling tak suka menggunakan kekuasaan. Tapi, kau mengambil keputusan yang tepat. Kalian lebih baik pulang, biar aku urus segalanya dari sini.”
Thanks, Jeremiah. I love you.”
Yeah, love you too. Sekarang, cepat pulang sebelum yang lainnya mengira kalian hilang juga,” katanya dan menutup telepon.
Aku tersenyum kecil, memberi kabar pada yang lain kalau Gabrielle akan baik-baik saja.

***

AROZ(POV)
“James, bisakah kau tinggalkan aku sendiri? Aku tak butuh perhatianmu. Aku hanya ingin diberikan waktu sebentar saja untuk menenangkan diri dan kau sama sekali tak membantuku!”
Kemarahanku bangkit dengan segera. Sudah dua hari ini dia mengekoriku terus-terusan, membuatku sulit bergerak. Aku tak butuh dikasihani. Aku bisa menjaga diriku sendiri.
Pria itu memegang lenganku, yang dengan segera kusingkirkan.
“Aroz, aku hanya ingin membantu,” katanya dengan wajah memelas.
“Kau akan sangat membantuku jika kau meninggalkanku sendirian,” kataku dengan gigi gemertakan. “Sekarang, bila kau tak keberatan, aku mau kembali ke toko dan aku ingin kau pulang dan tidak menggangguku.”
Dia masih mengikutiku, dan berhenti di depan halte saat sebuah bus berhenti. Aku cepat-cepat naik, tidak memedulikan pria pirang itu lagi.
Sejak kejadian di rumah Cody, James terus di sampingku. Aku berterima kasih. Tapi, aku juga butuh waktu sendiri. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak selemah itu. Aku bukan anak kecil lagi.
Tanganku terkepal tiap kali mengingat cara James memperlakukanku. Uh! Cara James memperlakukanku sama seperti gay-gay lainnya. Mereka memperlakukanku seperti perempuan. Aku lelaki! Aku juga bisa kasar.
“Uh.” Menarik napas dalam-dalam, kuusap wajahku, lalu kembali melihat keluar jendela. Matahari sudah tak terlihat diganti dengan sinar-sinar lampu temaram dari toko-toko yang dilewati secara perlahan. Pikiranku kembali terbayang pada Cody dan Jeremiah.
Aku mengakui bahwa aku sedikit feminim dibandingkan dengan pria-pria lain. Tapi kedua orang itu tak pernah memperlakukanku seperti perempuan.
Jeremiah tak pernah mengejekku. Dia tak pernah ragu melempar kertas atau kapur padaku bila dia sedang jahil. Dia juga tak pernah membawakan tasku, malah lebih sering mengerjaiku dengan melemparkan handuknya yang bau padaku tiap kali selesai olahraga. Dia menganggapku seperti teman-temannya yang lain.
Cody lain lagi. Dia memang melarangku melakukan aksi berbahaya bila dia tak ada di sampingku, tapi tetap mengajariku. Aku bisa naik motor karenanya. Dia mengajariku jurus-jurus tinjunya. Dia membantuku bermain skateboard. Dia tak pernah histeris kalau aku jatuh saat main basket atau sepak bola, meski dia akan diam lama sekali sebelum akhirnya memilih untuk mengobati luka-lukaku.
Seperti yang sudah kukatakan. Mereka tak pernah memperlakukanku seperti perempuan.
Dan James memperlakukanku melebihi perempuan.
Aku diperlakukan seperti bayi!
Dia melukai harga diriku.
Kemarahanku bangkit lagi setelah tiba di stasiun selanjutnya. Memasukkan kedua tanganku ke saku mantelku, aku merapatkan syalku dan berjalan menuju tokoku. Aku memutuskan untuk memasak. Kemarahanku akan mereda bila aku menghabiskan waktuku di dapur.
Liam tak ada lagi di toko karena toko kami sudah tutup tepat jam lima sore. Kami tak melayani pelanggan malam karena sejak pagi kami sudah bekerja.
Tapi, aku melihat seseorang yang seharusnya tak ada kota ini berdiri di depan tokoku.
Gabrielle.
Anak berambut merah itu melihat di balik kaca tebal kue-kue yang terpajang dalam kondisi gelap gulita dengan ekspresi terpesona. Melihat ekspresinya membuatku tersenyum. Kemarahanku hilang dalam sekejap.
“Gabrielle,” kataku pelan, membuatnya melonjak. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Dia mengerjap, lalu menunjuk ke kaca, ke salah satu kue berwarna merah.
Aku tertawa kecil. “Kami sudah tutup.”
Dahinya mengerut, lalu melihat ke papan nama di atas bangunan, dan sadar bahwa ini adalah toko kueku.
“Aku lapar,” katanya pelan.
Suara anak ini benar-benar enak didengar, pikirku. Selama ini aku berpikir hanya suara Cody yang enak didengar, tapi ternyata tidak juga.
Bibirku tersenyum lagi. “Bagaimana kalau aku memasakkan sesuatu untukmu? Lasagne kedengaran cukup enak untukmu?”
Dia tersenyum lebar, lalu mengangguk bersemangat.
Aku tertawa kecil lagi melihat ekspresinya dan membimbingnya mendekati tangga kecil di pinggir menuju lantai dua: lokasi tempatku tinggal. Gabrielle mengikuti dari belakang, memegang lengan mantelku. Tingkahnya membuatku tersenyum kecil dan bangga sedikit. Aku seakan punya adik.
Membuka pintu rumahku, aku menggantung mantel, melepas sepatu. “Kau ingin mandi dulu? Akan kusiapkan pakaian ganti untukmu. Sewaktu kau selesai, kita bisa langsung makan.”
Dia mengangguk lagi, melihat sekitar rumahku. Tidak banyak yang bisa dilihat. Bila dibandingkan dengan Cody, rumahku sangat kecil.
Aku meninggalkan pakaian ganti di atas tempat tidurku dan Gabrielle segera menghilang ke kamar mandi. Sementara aku turun ke bawah dan mulai memasak di dapur.
Dia turun tepat saat aku menghidangkan makanan yang mengepul. Wajahnya berubah cerah setelah agak bingung dan memilih duduk di sampingku. Kami makan dalam diam, tapi bukan diam yang canggung karena aku merasa nyaman sekali.
Ini yang kubutuhkan.
Aku tak butuh kata-kata penghiburan. Aku hanya butuh ketenangan tanpa harus ditinggal sendirian.
“Biar aku saja,” Gabrielle mengambil piring di tanganku. “Kau bisa langsung mandi.”
Aku tersenyum penuh terima kasih, mengangguk dan naik ke kamarku. Melepas seluruh pakaianku, aku memilih berendam di air hangat dengan gelembung-gelembung sabun yang mengepul di sekeliling bak. Pikiranku jadi jauh lebih ringan sekarang.
Aku akan baik-baik saja. Cody akan baik-baik saja. Keyna akan baik-baik saja.
Aku keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang dan sedikit tercengang melihat Gabrielle sudah tidur di atas tempat tidurku dengan selimut menutupi tubuhnya. Well, mau bagaimana lagi, aku hanya punya satu tempat tidur.
Telepon rumahku berdering begitu aku memakai celana, dan segera turun ke bawah untuk mengangkat telepon, menggosok rambutku.
“Halo?”
“Aroz, informanku bilang kalau Gabrielle ada di rumahmu,” suara Jeremiah terdengar di seberang.
“Kabarku sangat baik, Jeremiah. Terima kasih tidak bertanya,” kataku getir. Aku mendengar suara tawanya di seberang. “Berhenti bertingkah seperti Ayahmu.” Informan… kenapa aku tak terkejut? Dia mencari Cody menggunakan Detektif sewaktu Cody tak kembali selama setahun.
“Aku akan menjemputnya bila dia membuatmu repot,” katanya lagi.
“Oh, dia sedang tidur sekarang. Di kamarku. Di atas tempat tidurku.”
“Itu artinya dia nyaman bersamamu,” katanya pelan. “Dia tak bisa tidur di tempat asing bila sendirian. Aku akan menjemputnya besok.”
“Tidak usah. Aku akan mengantarnya,” kataku pelan.
“Ok, aku akan berusaha menenangkan Fran,” katanya lagi, dan aku mendengar suara Fran di seberang sana, “Gabrielle akan sangat merepotkannya. Aku akan menjemputnya saja!”
“Sampai jumpa, Aroz. Aku ada kencan dengan Cody,” kata Jeremiah, dan dia menutup teleponnya.
Bibirku tersenyum kecil. Setidaknya, Cody akan baik-baik saja di tangan Jeremiah. Cody hanya butuh waktu untuk menyembuhkan luka-lukanya.
Kami akan baik-baik saja.
Kemudian, aku naik ke atas dan tidur di samping Gabrielle, yang dalam dua jam, tidur memeluk pinggangku dan aku hanya tersenyum kecil.
Aku merasa seperti seorang Kakak, sekarang.

***
Medan, 23 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.