RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [12]



12
Kiss
==========

FRAN(POV)
Meski Gabrielle membangunkanku tengah malam, aku bisa tidur dengan nyenyak. Aku tidur tanpa mimpi. Mungkin, karena aku terlalu lelah dengan kejadian semalam, makanya bisa tidur senyenyak ini.
Sebenarnya, aku bisa saja tidur selamanya, tapi aku harus mengingatkan diriku bahwa aku harus ke kampus. Ada yang harus kukerjakan hari ini. Dan ada dua mahasiswa yang ingin sekali konsultasi denganku. Lagipula, aku harus mengantar Gabrielle ke sekolah.
Kepalaku bergerak perlahan, merasakan lembutnya selimut listrik yang dipindahkan Jeremiah ke kamar kami. Tersenyum kecil, aku mempererat pelukanku pada Gabrielle yang ada di hadapanku.
Tapi, dahiku mengerut, kenapa tubuh Gabrielle lebih besar daripadaku? Sejak kapan dia bertambah besar daripadaku? Selain itu, bagaimana caranya dia bisa mendapatkan tubuh sebesar ini dalam waktu semalam?
Aku membuka mata secara perlahan, menemukan mataku dihalangi oleh dada. Dahiku mengerut lebih dalam, lalu perlahan mengangkat jangkauan penglihatanku ke atas untuk menemukan leher, dagu, bibir, kemudian—
Jeremiah.
Aku sedang bermimpi!
Dengan cepat, kututup kembali mataku. Jantungku berdetak kencang tak karuan. Menghitung satu sampai lima, aku mengintip lagi, masih menemukan Jeremiah, yang tidur dengan lelap.
Tunggu sebentar! Apa yang terjadi?
Kemarin malam Gabrielle merengek, lalu pindah tidur di sampingku, membuatku tergencet di antara mereka berdua. Aku juga masih mengingat kalau aku nyaris tak bisa tidur karena masih belum menerima keadaan. Tapi, akhirnya memilih menyerah dan tidur.
Ok, sekarang aku bisa berpikir dengan jernih.
Kali ini, aku melihat sekitar. Tanpa perlu menggerakkan tubuhku, aku bisa melihat kalau sisi belakangku kosong. Gabrielle pasti sudah bangun. Kemudian aku melihat tangan Jeremiah, yang memeluk pinggangku, sementara tangan yang satunya menjadi sandaranku tidur. Sekarang—glek—aku sadar sepenuhnya posisi kami.
Jantungku memacu darah dengan cepat kepalaku. Membuatku tak bisa berpikir. Aku harus kabur secepatnya dari sini. Turun dari tempat tidur sebelum Jeremiah bangun sehingga dia tak salah sangka dengan posisi kami.
Itu rencana awal.
Tapi, aku menemukan diriku tak bisa bergerak.
Bukan karena aku terkunci di tangan Jeremiah, atau karena aku terlalu nyaman dalam posisi begini. Ok, itu juga alasannya. Tapi karena aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah Jeremiah.
Selama ini, pria itu memberikan begitu banyak ekspresi. Wajahnya tidak pernah tenang. Dan baru kali ini aku melihat bagaimana ekspresi wajahnya saat tidur. Dia tampak damai, dengan mata tertutup. Aku bisa melihat dengan jelas bulu mata pendek Jeremiah, begitu pula dengan garis matanya. Rahangnya ternyata lebih mantap dan kokoh. Ada beberapa bakal janggut yang muncul di wajahnya, yang tentu saja tak mungkin terlihat dalam jarak jauh. Ada bekas luka kecil di dahinya, juga di dekat lehernya. Bibirnya berwarna merah gelap, terbuka sedikit. Dadanya naik turun perlahan, dalam hitungan normal.
Tanganku terangkat, menyapu rambutnya denga ujung telunjukku. Tanpa menyentuhnya, aku melukis bagaimana lekukan di wajahnya, nyaris mengenai pipinya, kemudian ke hidungnya, lalu matanya. Saat tanganku sampai ke bibirnya, aku berhenti.
Bagaimana rasa bibirnya?
Dan pertanyaan itu membuatku ngeri sendiri.
Tidak, tidak, tidak. Apa yang kau pikirkan, Fran? Kau tak boleh memikirkan hal itu! Apa kau sudah gila? Dia lak-laki?
Lalu? Suara lain bertanya dalam kepalaku. Kau penasaran. Kau belum pernah ciuman. Wajar saja kau memikirkannya.
Tapi, dia laki-laki!
Oh, shut up! Jangan munafik. Laki-laki-perempuan-anak kecil, semua sama saja. Ciuman tetap ciuman. Bila kau ingin tahu rasanya bagaimana, kenapa kau tak coba saja?
Jangan dengarkan dia! Kau akan menyesal!
Kapan lagi kesempatan ini akan datang? Memangnya kau punya taget yang pantas untuk ciuman pertamamu? Lihat dia? Dia sedang tidur! Dia tak akan tahu.
Hei, itu pelecehan! Dengarkan aku, Fran. Kau tak boleh mengikuti rasa penasaran—
Fran, dia tidur dengan nyenyak. Aku yakinkan kau, kau tak akan menyesal. Lagipula, siapa yang akan memberitahunya? Hal yang tidak dia ketahui, tak akan menyakitinya.
Fran—
Right,” bisikku tanpa suara, menatap bibir Jeremiah tanpa berkedip. Menelan ludah, aku beringsut mendekat, merapatkan kepalaku sedikit. Semakin dekat, aku semakin bisa merasakan bau Jeremiah yang khas: mint.
Hal yang tidak dia ketahui, tak akan menyakitinya.
Aku menelan ludah, menggigit bibirku dengan gugup.
Fran, jangan lakukan! Kau akan menyesal!
Tapi aku tak mendengar apapun lagi, karena suara di kepalaku seakan menghilang karena suara detak jantungku, yang nyaris memekakkan telingaku sendiri.
Aku melihat bibir Jeremiah semakin dekat.
Aku bisa merasakan sapuan napasnya.
Semakin dekat.
Aku tak bisa melakukan—
Dan takdir memilih bekerja sendiri.
Jeremiah bergerak dalam tidurnya, menunduk padaku sehingga bibirnya menyentuh bibirku. Aku tak berani bergerak, tapi mampu merasakan betapa lembutnya bibirnya. Kulitku merinding dan aku menegang, seakan tersengat listrik. Sesuatu dalam perutku jumpalitan tak karuan, seakan terisi oleh bulir-bulir kebahagiaan yang berjatuhan dari udara. Sangat menghangatkan.
Waktu seakan terhenti.
Atau, setidaknya, itulah yang kurasakan begitu melihat kelopak matanya bergerak perlahan.
Dan aku panik.
Lalu, menendangnya sambil berteriak-teriak tak karuan sampai dia berguling jatuh dari tempat tidur.
Terdengar suara “thump” keras dari bawah tempat tidur, berikut dengan gerutan Jeremiah. “Son of—” Kemudian dia bangkit, matanya menyala karena amarah, melotot padaku. Tak luput pula aku melihat rambutnya menjutai berantakan, berdiri dalam posisi menggelikan.
“Apa masalahmu?” teriaknya jengkel, mengusap-usap dahinya.
Fokus, Fran. FOKUS!
“Aku—” menelan ludah, aku nyaris berbisik ketakutan melihat betapa mengerikannya ekspresi kemarahan Jeremiah. Mencengkram selimut dengan kekuatan penuh untuk melindugi diriku dan menelan ludah, Jeremiah mendekat, kemudian tangannya mendorong bahuku sampai membuat aku punggungku mengenai tempat tidur, membutku menahan napas.
“Tidak ada yang boleh membangunkanku sebelum jam delapan tepat, terlebih lagi menendangku dari tempat tidurku sendiri!”
Aku mengangguk, atau setidaknya mencoba mengangguk.
Jepret.
Aku dan Jeremiah mengerjap, kemudian melihat ke asal suara.
Gabrielle berdiri di depan pintu, memegang ponselnya yang mengarah pada kami. Bibirnya tersenyum kecil, melengkung indah dan membentuk senyuman “Monalisa” andalannya.
Aku paling tak suka bila dia tersenyum seperti itu.
“Ew,” katanya, “maaf menggangggu. Silakan dilanjutkan.”
Kemudian dia keluar dan menutup pintu tanpa suara.
What the—” Jeremiah mengalihkan pandangannya dari pintu, kemudian padaku. Lalu matanya membulat lebar, seakan sadar apa yang terjadi. Aku mengikuti arah pandangan matanya, melihat posisi kami. Dengan tubuhku yang terlentang di atas tempat tidur, sementara Jeremiah ada di atasku, memegang bahuku dan salah satu kakinya ada di antara kedua kakiku, aku yakin aku bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiran Jeremiah.
Posisi yang terlalu kontroversial.
Dan Gabrielle telah mengambil posisi itu dan menyimpannya dengan sangat luar biasa pintar ke ponselnya.
“Gabrielle!!”
Tiba-tiba, Jeremiah berteriak, melompat dari tempat tidur, menuju pintu dan membanting benda itu terbuka. Aku juga ikut melompat dan berlari menyusul Jeremiah.
Tawa Gabrielle terdengar dari luar. “CODY! NYALAKAN MESIN MOBIL!”
Jeremiah mengumpat, melompati lima anak tangga terakhir dalam sekali lompat, lalu berlari menyusul Gabrielle dengan kecepatan penuh menuju pintu depan. Aku sendiri nyaris tergelincir jatuh karena terpeleset karpet, tapi akhirnya berhasil menuju pintu depan.
Jeremiah tampak berlari mengejar Gabrielle, yang sudah ada di lapangan, menuju mobil Cody yang pintunya sudah terbuka, masuk ke dalam sambil tertawa, kemudian mobil melaju dengan kecepatan luar biasa.
“CODY! BERHENTI!” Jeremiah berteriak, tapi aku yakin betul bahwa Cody lebih mendengarkan Gabrielle karena Gabrielle masih sempat memberikan “kiss bye” ke udara padanya sambil tertawa dari jendela yang terbuka.
Jeremiah kembali sambil menggerutu. Piamanya kotor karena lumpur sementara dia keringatan.
“Kita doakan saja semoga anakmu tidak menyebarkan foto itu,” katanya, menggosok-gosok kakinya ke lantai.
“Oh, sekarang dia anakku,” kataku memutar bola mata.
“Lalu, kau ingin dia jadi anakku?” balasnya, lalu melewatiku dan masuk ke dalam rumah, masih memberikan jejak lumpur di lantai.
Aku memilih tidak membalas dan mengikutinya masuk ke dalam. Begitu menutup pintu, Jeremiah berbalik dengan cepat, membuatku terjepit lagi ke pintu. Matanya menyipit padaku.
“A-a-apa?”
“Kenapa kau tadi menendangku?”
Oh my god. Oh my god. Oh my god. “I-i-i-tu…”
“Hmmm?” paksanya lagi, mendunduk, mengintimidasiku dengan mendekatkan wajahnya.
Dari mata Jeremiah, aku menjatuhkan pandanganku ke bibirnya. Wajahku memanas mengingat adegan itu. Bagaimana caranya aku bisa bilang kalau aku—tidak, tidak, tidak! Menelan ludah dengan panik, aku memaksakan diri melihat kembali matanya dan jawaban keluar sendiri dari mulutku, sebelum otakku bisa berpikir.
“Mimpi buruk.” Jawaban yang bagus sekali!
Dahinya mengerut. “Mimpi buruk?”
Aku mengangguk. “Kadang-kadang aku bisa mimpi buruk karena mengingat orang tuaku. Atau karena kelelahan. Aku minta maaf karena sudah menendangmu,” kataku. Wow, aku benar-benar seorang profesor. Hebat sekali caraku mengarang alasan dengan lancar seperti itu.
Dahinya masih mengerut, malah lebih dalam. Tapi sedetik kemudian dia membalikkan badan, lalu berbalik, tidak mengatakan apa-apa. Di langkah ketiga, dia berhenti dan bicara lagi. “Kau tahu, Fran, kau sangat berbahaya bila tidur dengan mimpi buruk. Itu artinya aku akan terkena tendangan maut darimu lagi.”
Bibirku mencoba tersenyum. “Sori.”
“Meski begitu,” lanjutnya lagi, “kau sama sekali tak pandai berbohong. Lain kali, carilah alasan lain yang lebih bermutu. Atau setidaknya, jujur.” Kemudian, dia meninggalkanku terbengong di depan pintu.
Dia tahu!
“Oh my God!” erangku, menutup wajahku yang seakan ditinju oleh rasa malu yang luar biasa.
Jeremiah tahu aku menciumnya. Tentu saja dia tahu! Dia kan nyaris terbangun! Dia bisa merasakannya!
“Memalukan memalukan memalukan,” gumamku. Sekarang, bagaimana caranya aku menghadapi Jeremiah? Dia pasti berpikirkan yang tidak-tidak karena aku menyerangnya di tempat tidur. Dia tak akan mau lagi berteman denganku. Dia akan berpikir bahwa aku menjijikan.
Dan aku tak menginginkan hal itu.
Just kill me already,” gumamku.
Aku benci hidupku.

***

JEREMIAH(POV)
Anak nakal itu benar-benar membuatku nyaris gila.
Setelah mendinginkan kepalaku dengan mandi menggunakan air dingin, aku melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, kemudian memakai pakaianku untuk ke kantor.
“Fran!” kataku turun ke dapur, melihatnya sedang mencuci piring. Dia tak berpaling, meski bergumam untuk menyatakan bahwa dia mendengarku. “Aku pergi dulu. Kantor. Kau tak ke kampus?”
“Erm, ya, sebentar lagi.”
Dahiku mengerut. “Kau baik-baik saja?”
“Erm, ya—pergilah. Aku tak apa-apa,” katanya cepat dan menambah kata “kupikir” dengan suara pelan. Dia pikir aku tak mendengarnya.
“Sampai jumpa di kampus,” kataku, melangkah keluar, melewati lapangan menuju mobilku. Salah satu alasan kenapa aku sering tak mengenakan pakaian resmi ke kantor adalah karena kondisi rumahku. Setiap kali hujan turun, tanah di sekitar ini selalu berlumpur.
Begitu sampai di kantor, sekretarisku segera melaporkan hal yang harus kulakukan hari ini. Karena kalian takmau repot mendengarnya, jadi aku memilih memotongnya.
“Mr Ookley sudah menunggu Anda di kantor.”
Hitcher? Tidak biasanya dia datang ke kantor kalau tidak aku suruh. Biasanya, jika sudah seperti ini, berarti ada kabar penting dari rumah.
Aku membuka pintu, mendapati seorang pria berambut pirang kecokelatan berdiri di dekat jendela. Dia memiliki tinggi tubuh Cody, meski sedikit lebih pendek. Wajahnya tampan, bermata abu-abu jernih bulat seperti boneka. Bibirnya kecil begitu pula dengan bahunya. Hari ini dia mengenakan kaos biru nyaman dengan jaket kulit, celana kulit ketat dan sneaker.
“Tuan Muda,” sapanya begitu aku masuk, memberikan bungkukkan kecil.
Jeez, sampai kapan dia akan memanggilku dengan itu? Aku sudah bosan mendengarnya. Capek memperingatkannya, aku memilih untuk ke topik. “Apa maumu?” kataku, melempar tas kerjaku ke sofa terdekat. Tanganku yang satunya menyuruh sekretarisku menyingkir.
Aku yakin kabar yang dibawa Hitcher tak pantas dibagikan ke kantor.
“Aku membawa data yang Anda minta,” katanya, melangkah ke dekatku, mengeluarkan amplop coklat dari balik punggungnya.
Aku mengambil amplop itu, meliriknya dengan curiga. Hitcher, meski dia bertampang muda dengan senyum polos malaikat, dia tak seperti itu. Dia bekerja dengan ahli, nyaris menguasai setiap hal yang kuminta padanya. Aku memang sudah mengenalnya sejak remaja, tapi aku belum percaya padanya.
Lagipula, dia bekerja untuk Ayahku—Mr. Huges Yang Terhomat. Bleh!
“Kau tahu kalau kau tak perlu repot-repot. Pernah dengar kegunaan internet?” kataku duduk di kursiku, menghidupkan komputerku untuk melihat laporan pekerjaan hari ini.
“Aku datang membawa pesan,” katanya, berdiri di depan meja kerjaku. Kedua tangan di belakang.
“Dari siapa?”
“Mr Huges.”
“Yang mana?”
“Kakek Anda.”
Aku mengerang jengkel. “Kuharap, ini bukan mengenai River lagi.” Damn, aku sudah terlalu banyak mengurus hal-hal tertentu. Aku tak perlu menambah “River” ke dalam agendaku. Dia sudah besar. Dia bisa mengurus dirinya sendiri.
Hitcher memberikanku ekspresi penuh pengertian, yang artinya tebakanku benar.
“Apa lagi yang kali ini dilakukannya?” kataku sebal. Aku akan membunuh River dengan tanganku sendiri bila aku bertemu dengannya.
“Mr Huges bilang kalau Kakak Anda memberi kabar kalau dia gay.” Aku tak menyangka kalau River benar-benar mengatakan hal itu pada Kakek! Apa dia tak tahu kalau orang tua itu sudah dua kali terkena serangan jantung? Kalau dia mati, akulah yang akan terkena imbasnya. Aku tak ingin mendapat kehormatan dengan mengambil seluruh perusahaannya dalam tanganku. Aku sangat sarkastik.
“Mr Huges sama sekali tak senang,” lanjutnya, membuatku memutar bola mata. “Jadi, dia menyuruh Anda untuk membawa pulang Kakak Anda secepatnya.”
“Dia ada di Palestina,” kataku. “Kau tak bisa sembarangan masuk ke Palestina. Ditambah lagi, River sering mengganti nomor ponselnya. Dia tak pernah menggunakan nomor yang sama untuk meneleponku, jadi dia sulit dilacak—begitu pula dengan nomor rekeningnya.” Dengan kata lain, River itu seperti asap yang akan sulit dicengkram. Dari antara keluarga Huges, River-lah yang paling pintar. Aku tak akan kaget bila dia bagian agen rahasia.
Hitcher mengangguk penuh pengertian. “Aku akan mengatakannya pada Mr Huges, meski aku yakin dia tak peduli.”
Tell me about it.”
“Mr Huges juga berpesan kalau dia menyerahkan dua perusahaan lain pada Anda,” katanya lagi, membuatku terbengong.
Apa?” Apa orang tua itu sudah gila? Satu stasiun televisi saja sudah membuatku nyaris gila, apalagi dua perusahaan lagi!
“Sekarang, Anda mendapat hak penuh untuk memegang kendali pada perusahaan Micro Controller dan Software Development—”
“Aku sama sekali tak tahu apa-apa mengenai komputer. Aku anak sastra!” kataku geram.
“Tapi ini bisnis, Tuan Muda.”
“Jika sudah seperti ini, aku benar-benar akan menyeret River,” gumamku.
River-lah biang keladi masalah ini. Apakah aku sudah bilang kalau dia jenius? Dia seperti mendapatkah anugerah kejeniusan tiada tara. Dengan IQ 195, dia menyelesaikan PHD-nya di usia 17 tahun dan membangun perusahaan micro controller. Kemudian, saat dia berusia 18 tahun dan sah menurut hukum untuk bertingkah sesukanya, dia kabur. Terbang. Dan tak kembali.
Sekarang, dia menyeretku dalam masalahnya.
Si Brengsek itu! ini sudah sepuluh tahun! Kapan dia kembali?
Hitcher kembali memberikan pesan padaku mengenai betapa kedua orang tuaku sangat merindukanku dan memintaku untuk datang berkunjung. Mereka pikir siapa yang membuatku jadi super sibuk begini? Kakekku juga berpendapat yang sama. Setelah memberikan tanggal pasti bahwa aku akan berkunjung saat Natal bahkan sampai Tahun Baru, Hitcher pergi dan aku bisa bekerja.
Aku menghabiskan pagiku di kantor, lalu siangku rapat dengan orang-orang membosankan. Kemudian, nyaris berteriak kegirangan begitu sampai ke kampus.
Yeah, kampus adalah satu-satunya tempat yang membuatku bahagia meski ada banyak sekali orang tua di sini. Setidaknya, tak ada orang yang membahas mengenai pekerjaan, karena semua orang tahu betapa memuakkannya masalah kantor.
Dan, itu dia sumber kebahagiaanku.
“CODY!”
Cody berbalik setelah menutup pintu mobilnya. Wajahnya tidak senang sedikitpun. Keyna sialan. Dia membuat Cody-ku tak bisa tersenyum.
“Aww, tampangmu jelek sekali,” kataku.
“Dan kau dua kali lipat lebih jelek,” balasnya, memutar bola matanya.
Aku tergelak-gelak. Dia masih bisa sarkastik meski sudah patah hati. “Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan? Mandi? Hei, mana senyumanmu? Kau sembunyikan dimana dia?”
Dia mencoba tersenyum dan tak berhasil karena dia menghela napas. “Aku ada kelas, Rem. Sampai nanti.” Tangannya mendorongku, tidak keras, tapi cukup membuatku mengerti bahwa dia butuh waktu sendiri.
Aku paling tak suka jika dia sendirian. Setiap kali dia melakukannya, pikirannya hanya akan memberikan jawaban yang tidak-tidak.
“Cody!” kataku lagi, menyusulnya dan merangkul bahunya. Dia menatapku, tidak mengatakan apa-apa. “Ayo, kencan denganku malam ini.”
“Remi, aku sedang tak berminat.”
“Oh, ayolah. Kau tak pernah berkencan lagi denganku. Ini sudah lebih dari tiga bulan sejak terakhir kali kita makan malam berdua. Ingat kau punya janji kalau kita harus kencan sekali sebulan?”
Alisnya naik, memberikan ekspresi apa aku sudah gila. Tapi akhirnya dia tersenyum. “Ok. Aku akan bawa motorku malam ini. Kita jalan kemana?”
“Bagaimana kalau ke puncak?” tanyaku. “Ingat air terjun yang kita temukan di bagian atas gunung? Kita belum pernah ke sana lagi kan?”
Di bagian puncak gunung ada jalan sempit menuju sungai kecil yang ternyata menyimpan air terjun luar biasa cantik di balik hutan. Dua tahun lalu, kami tak sengaja mengeksplorasinya. Kalian tahu kan kalau Cody punya indera pendengaran luar biasa? Kalau bukan karena dia bilang kalau dia mendengar suara air terjun, kami tak akan menemukan benda itu.
“Ok. Bawa termos hangatmu. Aku tak ingin mati kedinginan.” Dia menepuk pinggangku, lalu berlalu menuju kampusnya.
Well, setidaknya aku bisa menghiburnya.

***

WYALT(POV)
Nilai baby project-ku gagal total.
F
Uh, sial! Aku tak akan lulus kalau begini.
Fanesca menepuk-nepuk bahuku, memberikan ekpresi penuh kasihan.
“Tenang, Wyalt. Masih ada ujian susulan,” katanya.
Enak sekali dia bilang begitu. Dia kan mendapat nilai A! “Kenapa harus ada kelas sialan itu sih? Kan tak semua orang ingin punya anak!”
“Supaya kau bisa memperlakukan anak-anak di sekitarmu dengan baik.”
“Itu cuma kelas omong-kosong. Tak berguna,” balasku, membuat gadis itu memutar bola mata. Kenapa mereka tak memberikan kelas yang lebih berguna sih? Kelas konsultasi, misalnya, atau kepribadian, atau mungkin kemasyarakatan dan lingkungan? Bukannya kelas merawat robot bayi!
“Kau sudah dengar?” terdengar gosip di belakang kami. Para cewek memang suka sekali bergosip. Fanesca sepertinya mendengar mereka karena dia juga ikut memutar bola mata. Tak ada yang menjadi rahasia bila sudah di kantin. Tiap orang akan memberikan perhatian, mendengar, lalu semua orang akan bergosip.
Para cewek itu merapat, berbisik-bisik, lalu terkikik geli.
“Mana mereka?” kataku pada akhirnya.
“Rayne bilang kalau dia akan datang. Gabrielle tak membalas.”
Rayne Simons, si Pangeran Sekolah. Selama ini aku mengenalnya sebagai itu. Semakin mengenalnya, aku tahu dia tak seperti itu. Dia tak banyak bicara—memang. Tapi dia memang pantas dicap sebagai orang keren. Satu-satunya kekurangan anak itu hanya mulutnya yang berbisa. Kadang dia tak tahu kapan harus berbicara sombong dan tidak.
Dan Gabrielle McKenley-Cattermole lebih parah darinya. Anak itu benar-benar tak bicara. Aku ingat saat dia duduk di meja makanku—tempat yang biasanya dihindari orang-orang—dan makan tanpa suara. Begitu aku menatapnya, dia balas menatapku. Kupikir dia akan memberikan komentar pedas yang biasanya diberikan orang-orang soal penampilanku, tapi dia malah mengangkat bahu dan pergi begitu saja. Keesokannya, dia melakukan aktivitas yang sama. Tak lama setelah itu, aku tahu namanya dari guru homeroom. Anak itu juga punya suara yang bagus. Sayangnya, dia menolak jadi vokalis.
“Hey, guys.” Rayne menarik kursi dan duduk di samping Fanesca. “Mana Gabrielle?”
“Dia ada kelas Aljabar,” jawabku cepat. Berteman dengan Gabrielle membuatku hapal daftar pelajarannya karena tiap kali aku bertanya dia masuk kelas apa, dia hanya tinggal menunjukkan daftar pelajarannya ke depan wajahku.
“Oh, itu dia,” kata Fanesca, menunjuk ke depanku.
Aku menoleh ke belakang. Gabrielle memang sedang berjalan ke arah kami. Dan, tentu saja, aku tak tahu apakah dia menyadarinya, dengan seluruh mata menatapnya.
Ada gosip aneh menyebar tentang Gabrielle. Menjadi orang yang aneh membuatmu mendengar banyak hal aneh pula. Pernah satu kali aku tidur di atas pohon dan aku mendengar anak-anak cowok basket membicarakannya. Di lapangan, aku mendengar anggota cheers membicarakannya. Di kamar mandi, aku juga mendengar para jocker membicarakannya. Di ruang guru, aku juga mendengar para staf sekolah membicarakannya.
Gabrielle sepertinya menjadi transetter di sekolah.
Tentu saja, dengan sikapnya yang misterius begitu, aku tak kaget banyak yang penasaran.
Tiba-tiba, Rayne mengumpat. Aku mengerjap, melihat Gabrielle dikelilingi oleh anak-anak tim rugby yang bertubuh besar dan berotot. Mereka yang tadinya duduk dengan tenang, kini memberikan cengiran lebar pada Gabrielle.
Kami segera bangkit. Rayne yang paling ganas. Aura gelapnya menguar begitu saja.
“Gabby!” salah satu dari mereka merangkul bahunya, membuat buku di tangan Gabrielle jatuh, hanya untuk diambilnya kembali. “Bagaimana kabarmu? Aku dengar kau sangat pandai menghibur orang!”
Gabrielle memberikannya ekspresi tak mengerti.
“Tinggalkan dia sendiri, Malcolm!” Rayne melangkah panjang-panjang, mengepalkan tangannya.
“Ah, Rayne si Pangeran Sekolah!” Malcolm mempererat rangkulannya, membuat Gabrielle meringis. Apa dia tak tahu kalau tindakannya justru membuat Rayne semakin marah? “Boleh aku pinjam temanmu sebentar? Oh, tunggu, apa benar kalian berteman?”
Fanesca melangkah ke depannya. “Kau dengar dia? Lepaskan tanganmu dari Gabrielle!” desisnya.
Malcolm tersenyum menyebalkan. “Sayang, kalian berdua seharusnya memikirkan siapa yang pantas menjadi teman kalian,” kemudian melirikku. “Seorang emo yang tahunya hanya memetik gitar dan satu lagi,” kali ini dia melirik Gabrielle, “seorang gay.”
Baik Fanesca dan Rayne mengerjap. Sekarang anak-anak di kantin menahan napas dan berbisik, malah menjerit tertahan. Aku menatap Gabrielle, yang mengerutkan dahinya. Ekspresinya sulit ditebak. Tapi dari kilatan di matanya, entah kenapa aku bisa melihat kegelian.
Dia menganggap apa yang dikatakan Malcolm lucu, rupanya.
“Aku melihat Gabrielle bermesraan di pestanya Alice bersama Robin,” kata Malcolm. “Kau harus mendengar cerita Robin mengenai betapa nakalnya dia di tempat tidur.”
Uhu, ini bukan cerita yang ingin kudengar. Rayne sudah siap menyerang Malcolm sendirian, meski harus berhadapan dengan enam orang sekaligus, sampai kemudian kami mendengar Gabrielle tertawa kecil.
Apapun itu yang diharapkan Malcolm mengenai sensasinya, aku yakin dia tak memperkirakan bahwa Gabrielle akan tertawa.
“Yeah, lalu kenapa kalau aku gay?” Gabrielle kembali memberikan ekspresi datarnya, menyingkirkan tangan Malcolm. Malcolm mengerjap, terkejut dengan—tak salah lagi—suara Gabrielle. Gosip mengatakan kalau Gabrielle bisu. Betapa bodohnya mereka.
Dan aku mendesah. Aku menginginkan suaranya.                     
“Jadi, kau mengakui apa yang dia katakan?” Rayne bertanya pada Gabrielle dengan tak percaya.
“Jika maksudmu menarikku ke kamar dan menciumku dengan paksa dikatakan memberikan hiburan, maka ya,” Gabrielle mengangguk.
Rayne mengerjap. “Apa?
Kali ini, Gabrielle memberikan tatapan tajam pada Malcolm. Tidak peduli dia lebih besar dari Malcolm, Gabrielle berhasil membuatnya mundur. “Katakan pada temanmu, Robin, bila dia mendekatiku dalam jarak dua puluh meter, aku tak akan ragu melaporkannya. Apa kalian pernah mendengar penjara remaja? Ya, aku akan mengirimnya ke sana. Dan bila kalian berniat menyakitiku hanya karen aku ‘gay’ baik dalam bentuk hinaan, pukulan, atau pelecehan dalam bentuk lainnya, aku juga akan melaporkannya—meski kalian memukuli sampai mati. Aku yakinkan kalian bahwa masa depan kalian akan hancur begitu saja. Sekarang, jika kalian tak keberatan, aku lapar dan ingin makan siang.”
Dengan keren dan santai, dia mendorong Malcolm dan keronconya, melewati mereka begitu saja.
Rayne memberikan senyuman kemenangan pada Malcolm, lalu mengikuti Gabrielle, disusul oleh Fanesca dan aku.
Kami kembali duduk di meja kami.
“Gab, tadi itu keren!” Fanesca melonjak-lonjak. Gabrielle mengangkat kedua bahunya. “Tak bisakah kau bicara? Tadi kau memberi pidato luar biasa!” lagi-lagi dia mengangkat bahunya.
Well, Gabrielle sepertinya sudah kembali lagi.
“Apa benar kau gay?” Rayne bertanya.
Dahi Gabrielle mengerut.
“Ah, jangan salah sangka. Aku tak masalah kau gay apa bukan, tapi kau tak tampak seperti gay.”
Repson Gabrielle hanya mendengus.
“Dia bukan gay,” kataku. “Dia hanya sengaja bilang begitu supaya Malcolm tak menganggunya lagi.”
“Dari mana kau tahu?” kata Rayne.
“Aku punya gay-dar,” jawabku memberikan tanduk pada kepalaku seakan aku menangkap sinyal dari udara.
Fanesca tertawa kecil, berdiri bersama Rayne untuk membeli makanan kami. Kantin kembali sibuk dengan gosip masing-masing meski beberapa dari mereka masih menoleh pada Gabrielle. Sepertinya, gosip ke-gay-an Gabrielle akan membuat para siswa gay muncul ke permukaan.
Yeah, siapa yang tak ingin mendapatkan salah satu gay paling hot di sekolah?
Gabrielle membuka ponselnya, mengerutkan dahi melihat pesan yang masuk di dalam sana. Dari ujung mataku, aku melihat siapa yang mengirim pesan.

From: Noah
To: Me
Hei, Gab. Aku ada di sini.
Bagaimana kalau kita nonton?
Kutunggu di pintu gerbang.

Dan sepertinya, gay yang satu ini sudah ada yang punya.

***

Medan, Minggu, 24 November 2014

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.