12
Kiss
==========
FRAN(POV)
Meski Gabrielle membangunkanku tengah malam, aku bisa
tidur dengan nyenyak. Aku tidur tanpa mimpi. Mungkin, karena aku terlalu lelah
dengan kejadian semalam, makanya bisa tidur senyenyak ini.
Sebenarnya, aku bisa saja tidur selamanya, tapi aku
harus mengingatkan diriku bahwa aku harus ke kampus. Ada yang harus kukerjakan
hari ini. Dan ada dua mahasiswa yang ingin sekali konsultasi denganku.
Lagipula, aku harus mengantar Gabrielle ke sekolah.
Kepalaku bergerak perlahan, merasakan lembutnya
selimut listrik yang dipindahkan Jeremiah ke kamar kami. Tersenyum kecil, aku
mempererat pelukanku pada Gabrielle yang ada di hadapanku.
Tapi, dahiku mengerut, kenapa tubuh Gabrielle lebih
besar daripadaku? Sejak kapan dia bertambah besar daripadaku? Selain itu,
bagaimana caranya dia bisa mendapatkan tubuh sebesar ini dalam waktu semalam?
Aku membuka mata secara perlahan, menemukan mataku
dihalangi oleh dada. Dahiku mengerut lebih dalam, lalu perlahan mengangkat
jangkauan penglihatanku ke atas untuk menemukan leher, dagu, bibir, kemudian—
Jeremiah.
Aku sedang
bermimpi!
Dengan cepat, kututup kembali mataku. Jantungku
berdetak kencang tak karuan. Menghitung satu sampai lima, aku mengintip lagi,
masih menemukan Jeremiah, yang tidur dengan lelap.
Tunggu sebentar! Apa yang terjadi?
Kemarin malam Gabrielle merengek, lalu pindah tidur
di sampingku, membuatku tergencet di antara mereka berdua. Aku juga masih
mengingat kalau aku nyaris tak bisa tidur karena masih belum menerima keadaan.
Tapi, akhirnya memilih menyerah dan tidur.
Ok, sekarang aku bisa berpikir dengan jernih.
Kali ini, aku melihat sekitar. Tanpa perlu
menggerakkan tubuhku, aku bisa melihat kalau sisi belakangku kosong. Gabrielle
pasti sudah bangun. Kemudian aku melihat tangan Jeremiah, yang memeluk
pinggangku, sementara tangan yang satunya menjadi sandaranku tidur.
Sekarang—glek—aku sadar sepenuhnya posisi kami.
Jantungku memacu darah dengan cepat kepalaku.
Membuatku tak bisa berpikir. Aku harus kabur secepatnya dari sini. Turun dari tempat
tidur sebelum Jeremiah bangun sehingga dia tak salah sangka dengan posisi kami.
Itu rencana awal.
Tapi, aku menemukan diriku tak bisa bergerak.
Bukan karena aku terkunci di tangan Jeremiah, atau
karena aku terlalu nyaman dalam posisi begini. Ok, itu juga alasannya. Tapi
karena aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah Jeremiah.
Selama ini, pria itu memberikan begitu banyak
ekspresi. Wajahnya tidak pernah tenang. Dan baru kali ini aku melihat bagaimana
ekspresi wajahnya saat tidur. Dia tampak damai, dengan mata tertutup. Aku bisa
melihat dengan jelas bulu mata pendek Jeremiah, begitu pula dengan garis
matanya. Rahangnya ternyata lebih mantap dan kokoh. Ada beberapa bakal janggut
yang muncul di wajahnya, yang tentu saja tak mungkin terlihat dalam jarak jauh.
Ada bekas luka kecil di dahinya, juga di dekat lehernya. Bibirnya berwarna
merah gelap, terbuka sedikit. Dadanya naik turun perlahan, dalam hitungan
normal.
Tanganku terangkat, menyapu rambutnya denga ujung
telunjukku. Tanpa menyentuhnya, aku melukis bagaimana lekukan di wajahnya,
nyaris mengenai pipinya, kemudian ke hidungnya, lalu matanya. Saat tanganku
sampai ke bibirnya, aku berhenti.
Bagaimana rasa
bibirnya?
Dan pertanyaan itu membuatku ngeri sendiri.
Tidak, tidak,
tidak. Apa yang kau pikirkan, Fran? Kau tak boleh memikirkan hal itu! Apa kau
sudah gila? Dia lak-laki?
Lalu? Suara
lain bertanya dalam kepalaku. Kau
penasaran. Kau belum pernah ciuman. Wajar saja kau memikirkannya.
Tapi, dia
laki-laki!
Oh, shut up!
Jangan munafik. Laki-laki-perempuan-anak kecil, semua sama saja. Ciuman tetap
ciuman. Bila kau ingin tahu rasanya bagaimana, kenapa kau tak coba saja?
Jangan
dengarkan dia! Kau akan menyesal!
Kapan lagi
kesempatan ini akan datang? Memangnya kau punya taget yang pantas untuk ciuman pertamamu?
Lihat dia? Dia sedang tidur! Dia tak akan tahu.
Hei, itu
pelecehan! Dengarkan aku, Fran. Kau tak boleh mengikuti rasa penasaran—
Fran, dia tidur
dengan nyenyak. Aku yakinkan kau, kau tak akan menyesal. Lagipula, siapa yang
akan memberitahunya? Hal yang tidak dia ketahui, tak akan menyakitinya.
Fran—
“Right,”
bisikku tanpa suara, menatap bibir Jeremiah tanpa berkedip. Menelan ludah, aku
beringsut mendekat, merapatkan kepalaku sedikit. Semakin dekat, aku semakin
bisa merasakan bau Jeremiah yang khas: mint.
Hal yang tidak
dia ketahui, tak akan menyakitinya.
Aku menelan ludah, menggigit bibirku dengan gugup.
Fran, jangan
lakukan! Kau akan menyesal!
Tapi aku tak mendengar apapun lagi, karena suara di
kepalaku seakan menghilang karena suara detak jantungku, yang nyaris memekakkan
telingaku sendiri.
Aku melihat bibir Jeremiah semakin dekat.
Aku bisa merasakan sapuan napasnya.
Semakin dekat.
Aku tak bisa melakukan—
Dan takdir memilih bekerja sendiri.
Jeremiah bergerak dalam tidurnya, menunduk padaku
sehingga bibirnya menyentuh bibirku. Aku tak berani bergerak, tapi mampu
merasakan betapa lembutnya bibirnya. Kulitku merinding dan aku menegang, seakan
tersengat listrik. Sesuatu dalam perutku jumpalitan tak karuan, seakan terisi
oleh bulir-bulir kebahagiaan yang berjatuhan dari udara. Sangat menghangatkan.
Waktu seakan terhenti.
Atau, setidaknya, itulah yang kurasakan begitu
melihat kelopak matanya bergerak perlahan.
Dan aku panik.
Lalu, menendangnya sambil berteriak-teriak tak karuan
sampai dia berguling jatuh dari tempat tidur.
Terdengar suara “thump” keras dari bawah tempat
tidur, berikut dengan gerutan Jeremiah. “Son of—” Kemudian dia bangkit, matanya
menyala karena amarah, melotot padaku. Tak luput pula aku melihat rambutnya
menjutai berantakan, berdiri dalam posisi menggelikan.
“Apa masalahmu?” teriaknya jengkel, mengusap-usap
dahinya.
Fokus, Fran. FOKUS!
“Aku—” menelan ludah, aku nyaris berbisik ketakutan
melihat betapa mengerikannya ekspresi kemarahan Jeremiah. Mencengkram selimut
dengan kekuatan penuh untuk melindugi diriku dan menelan ludah, Jeremiah
mendekat, kemudian tangannya mendorong bahuku sampai membuat aku punggungku
mengenai tempat tidur, membutku menahan napas.
“Tidak ada yang boleh membangunkanku sebelum jam
delapan tepat, terlebih lagi menendangku dari tempat tidurku sendiri!”
Aku mengangguk, atau setidaknya mencoba mengangguk.
Jepret.
Aku dan Jeremiah mengerjap, kemudian melihat ke asal
suara.
Gabrielle berdiri di depan pintu, memegang ponselnya
yang mengarah pada kami. Bibirnya tersenyum kecil, melengkung indah dan
membentuk senyuman “Monalisa” andalannya.
Aku paling tak suka bila dia tersenyum seperti itu.
“Ew,” katanya, “maaf menggangggu. Silakan
dilanjutkan.”
Kemudian dia keluar dan menutup pintu tanpa suara.
“What the—”
Jeremiah mengalihkan pandangannya dari pintu, kemudian padaku. Lalu matanya membulat
lebar, seakan sadar apa yang terjadi. Aku mengikuti arah pandangan matanya,
melihat posisi kami. Dengan tubuhku yang terlentang di atas tempat tidur,
sementara Jeremiah ada di atasku,
memegang bahuku dan salah satu kakinya ada di antara kedua kakiku, aku yakin
aku bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiran Jeremiah.
Posisi yang terlalu kontroversial.
Dan Gabrielle telah mengambil posisi itu dan
menyimpannya dengan sangat luar biasa pintar ke ponselnya.
“Gabrielle!!”
Tiba-tiba, Jeremiah berteriak, melompat dari tempat
tidur, menuju pintu dan membanting benda itu terbuka. Aku juga ikut melompat
dan berlari menyusul Jeremiah.
Tawa Gabrielle terdengar dari luar. “CODY! NYALAKAN
MESIN MOBIL!”
Jeremiah mengumpat, melompati lima anak tangga
terakhir dalam sekali lompat, lalu berlari menyusul Gabrielle dengan kecepatan
penuh menuju pintu depan. Aku sendiri nyaris tergelincir jatuh karena
terpeleset karpet, tapi akhirnya berhasil menuju pintu depan.
Jeremiah tampak berlari mengejar Gabrielle, yang
sudah ada di lapangan, menuju mobil Cody yang pintunya sudah terbuka, masuk ke
dalam sambil tertawa, kemudian mobil melaju dengan kecepatan luar biasa.
“CODY! BERHENTI!” Jeremiah berteriak, tapi aku yakin
betul bahwa Cody lebih mendengarkan Gabrielle karena Gabrielle masih sempat
memberikan “kiss bye” ke udara
padanya sambil tertawa dari jendela yang terbuka.
Jeremiah kembali sambil menggerutu. Piamanya kotor
karena lumpur sementara dia keringatan.
“Kita doakan saja semoga anakmu tidak menyebarkan
foto itu,” katanya, menggosok-gosok kakinya ke lantai.
“Oh, sekarang dia anakku,” kataku memutar bola mata.
“Lalu, kau ingin dia jadi anakku?” balasnya, lalu
melewatiku dan masuk ke dalam rumah, masih memberikan jejak lumpur di lantai.
Aku memilih tidak membalas dan mengikutinya masuk ke
dalam. Begitu menutup pintu, Jeremiah berbalik dengan cepat, membuatku terjepit
lagi ke pintu. Matanya menyipit padaku.
“A-a-apa?”
“Kenapa kau tadi menendangku?”
Oh my god. Oh
my god. Oh my god. “I-i-i-tu…”
“Hmmm?” paksanya lagi, mendunduk, mengintimidasiku
dengan mendekatkan wajahnya.
Dari mata Jeremiah, aku menjatuhkan pandanganku ke
bibirnya. Wajahku memanas mengingat adegan itu. Bagaimana caranya aku bisa
bilang kalau aku—tidak, tidak, tidak! Menelan ludah dengan panik, aku memaksakan
diri melihat kembali matanya dan jawaban keluar sendiri dari mulutku, sebelum
otakku bisa berpikir.
“Mimpi buruk.” Jawaban
yang bagus sekali!
Dahinya mengerut. “Mimpi buruk?”
Aku mengangguk. “Kadang-kadang aku bisa mimpi buruk
karena mengingat orang tuaku. Atau karena kelelahan. Aku minta maaf karena
sudah menendangmu,” kataku. Wow, aku benar-benar seorang profesor. Hebat sekali
caraku mengarang alasan dengan lancar seperti itu.
Dahinya masih mengerut, malah lebih dalam. Tapi
sedetik kemudian dia membalikkan badan, lalu berbalik, tidak mengatakan apa-apa.
Di langkah ketiga, dia berhenti dan bicara lagi. “Kau tahu, Fran, kau sangat
berbahaya bila tidur dengan mimpi buruk. Itu artinya aku akan terkena tendangan
maut darimu lagi.”
Bibirku mencoba tersenyum. “Sori.”
“Meski begitu,” lanjutnya lagi, “kau sama sekali tak
pandai berbohong. Lain kali, carilah alasan lain yang lebih bermutu. Atau
setidaknya, jujur.” Kemudian, dia
meninggalkanku terbengong di depan pintu.
Dia tahu!
“Oh my God!”
erangku, menutup wajahku yang seakan ditinju oleh rasa malu yang luar biasa.
Jeremiah tahu
aku menciumnya. Tentu saja dia tahu! Dia kan nyaris terbangun! Dia bisa
merasakannya!
“Memalukan memalukan memalukan,” gumamku. Sekarang,
bagaimana caranya aku menghadapi Jeremiah? Dia pasti berpikirkan yang
tidak-tidak karena aku menyerangnya di tempat tidur. Dia tak akan mau lagi
berteman denganku. Dia akan berpikir bahwa aku menjijikan.
Dan aku tak menginginkan hal itu.
“Just kill me
already,” gumamku.
Aku benci hidupku.
***
JEREMIAH(POV)
Anak nakal itu benar-benar membuatku nyaris gila.
Setelah mendinginkan kepalaku dengan mandi
menggunakan air dingin, aku melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, kemudian
memakai pakaianku untuk ke kantor.
“Fran!” kataku turun ke dapur, melihatnya sedang
mencuci piring. Dia tak berpaling, meski bergumam untuk menyatakan bahwa dia
mendengarku. “Aku pergi dulu. Kantor. Kau tak ke kampus?”
“Erm, ya, sebentar lagi.”
Dahiku mengerut. “Kau baik-baik saja?”
“Erm, ya—pergilah. Aku tak apa-apa,” katanya cepat
dan menambah kata “kupikir” dengan suara pelan. Dia pikir aku tak mendengarnya.
“Sampai jumpa di kampus,” kataku, melangkah keluar,
melewati lapangan menuju mobilku. Salah satu alasan kenapa aku sering tak
mengenakan pakaian resmi ke kantor adalah karena kondisi rumahku. Setiap kali
hujan turun, tanah di sekitar ini selalu berlumpur.
Begitu sampai di kantor, sekretarisku segera
melaporkan hal yang harus kulakukan hari ini. Karena kalian takmau repot
mendengarnya, jadi aku memilih memotongnya.
“Mr Ookley sudah menunggu Anda di kantor.”
Hitcher? Tidak biasanya dia datang ke kantor kalau
tidak aku suruh. Biasanya, jika sudah seperti ini, berarti ada kabar penting
dari rumah.
Aku membuka pintu, mendapati seorang pria berambut
pirang kecokelatan berdiri di dekat jendela. Dia memiliki tinggi tubuh Cody,
meski sedikit lebih pendek. Wajahnya tampan, bermata abu-abu jernih bulat
seperti boneka. Bibirnya kecil begitu pula dengan bahunya. Hari ini dia
mengenakan kaos biru nyaman dengan jaket kulit, celana kulit ketat dan sneaker.
“Tuan Muda,” sapanya begitu aku masuk, memberikan
bungkukkan kecil.
Jeez,
sampai kapan dia akan memanggilku dengan itu? Aku sudah bosan mendengarnya. Capek
memperingatkannya, aku memilih untuk ke topik. “Apa maumu?” kataku, melempar
tas kerjaku ke sofa terdekat. Tanganku yang satunya menyuruh sekretarisku
menyingkir.
Aku yakin kabar yang dibawa Hitcher tak pantas
dibagikan ke kantor.
“Aku membawa data yang Anda minta,” katanya,
melangkah ke dekatku, mengeluarkan amplop coklat dari balik punggungnya.
Aku mengambil amplop itu, meliriknya dengan curiga.
Hitcher, meski dia bertampang muda dengan senyum polos malaikat, dia tak
seperti itu. Dia bekerja dengan ahli, nyaris menguasai setiap hal yang kuminta
padanya. Aku memang sudah mengenalnya sejak remaja, tapi aku belum percaya
padanya.
Lagipula, dia bekerja untuk Ayahku—Mr. Huges Yang
Terhomat. Bleh!
“Kau tahu kalau kau tak perlu repot-repot. Pernah
dengar kegunaan internet?” kataku duduk di kursiku, menghidupkan komputerku
untuk melihat laporan pekerjaan hari ini.
“Aku datang membawa pesan,” katanya, berdiri di depan
meja kerjaku. Kedua tangan di belakang.
“Dari siapa?”
“Mr Huges.”
“Yang mana?”
“Kakek Anda.”
Aku mengerang jengkel. “Kuharap, ini bukan mengenai
River lagi.” Damn, aku sudah terlalu
banyak mengurus hal-hal tertentu. Aku tak perlu menambah “River” ke dalam
agendaku. Dia sudah besar. Dia bisa mengurus dirinya sendiri.
Hitcher memberikanku ekspresi penuh pengertian, yang
artinya tebakanku benar.
“Apa lagi yang kali ini dilakukannya?” kataku sebal.
Aku akan membunuh River dengan tanganku sendiri bila aku bertemu dengannya.
“Mr Huges bilang kalau Kakak Anda memberi kabar kalau
dia gay.” Aku tak menyangka kalau River benar-benar mengatakan hal itu pada
Kakek! Apa dia tak tahu kalau orang tua itu sudah dua kali terkena serangan
jantung? Kalau dia mati, akulah yang akan terkena imbasnya. Aku tak ingin
mendapat kehormatan dengan mengambil seluruh perusahaannya dalam tanganku. Aku
sangat sarkastik.
“Mr Huges sama sekali tak senang,” lanjutnya,
membuatku memutar bola mata. “Jadi, dia menyuruh Anda untuk membawa pulang
Kakak Anda secepatnya.”
“Dia ada di Palestina,” kataku. “Kau tak bisa
sembarangan masuk ke Palestina. Ditambah lagi, River sering mengganti nomor
ponselnya. Dia tak pernah menggunakan nomor yang sama untuk meneleponku, jadi
dia sulit dilacak—begitu pula dengan nomor rekeningnya.” Dengan kata lain,
River itu seperti asap yang akan sulit dicengkram. Dari antara keluarga Huges,
River-lah yang paling pintar. Aku tak akan kaget bila dia bagian agen rahasia.
Hitcher mengangguk penuh pengertian. “Aku akan
mengatakannya pada Mr Huges, meski aku yakin dia tak peduli.”
“Tell me about
it.”
“Mr Huges juga berpesan kalau dia menyerahkan dua
perusahaan lain pada Anda,” katanya lagi, membuatku terbengong.
“Apa?” Apa
orang tua itu sudah gila? Satu stasiun televisi saja sudah membuatku nyaris
gila, apalagi dua perusahaan lagi!
“Sekarang, Anda mendapat hak penuh untuk memegang
kendali pada perusahaan Micro Controller
dan Software Development—”
“Aku sama sekali tak tahu apa-apa mengenai komputer.
Aku anak sastra!” kataku geram.
“Tapi ini bisnis,
Tuan Muda.”
“Jika sudah seperti ini, aku benar-benar akan
menyeret River,” gumamku.
River-lah biang keladi masalah ini. Apakah aku sudah
bilang kalau dia jenius? Dia seperti mendapatkah anugerah kejeniusan tiada
tara. Dengan IQ 195, dia menyelesaikan PHD-nya di usia 17 tahun dan membangun perusahaan
micro controller. Kemudian, saat dia
berusia 18 tahun dan sah menurut hukum untuk bertingkah sesukanya, dia kabur.
Terbang. Dan tak kembali.
Sekarang, dia menyeretku dalam masalahnya.
Si Brengsek itu! ini sudah sepuluh tahun! Kapan dia
kembali?
Hitcher kembali memberikan pesan padaku mengenai
betapa kedua orang tuaku sangat merindukanku dan memintaku untuk datang
berkunjung. Mereka pikir siapa yang membuatku jadi super sibuk begini? Kakekku
juga berpendapat yang sama. Setelah memberikan tanggal pasti bahwa aku akan
berkunjung saat Natal bahkan sampai Tahun Baru, Hitcher pergi dan aku bisa
bekerja.
Aku menghabiskan pagiku di kantor, lalu siangku rapat
dengan orang-orang membosankan. Kemudian, nyaris berteriak kegirangan begitu
sampai ke kampus.
Yeah, kampus adalah satu-satunya tempat yang
membuatku bahagia meski ada banyak sekali orang tua di sini. Setidaknya, tak
ada orang yang membahas mengenai pekerjaan, karena semua orang tahu betapa
memuakkannya masalah kantor.
Dan, itu dia sumber kebahagiaanku.
“CODY!”
Cody berbalik setelah menutup pintu mobilnya.
Wajahnya tidak senang sedikitpun. Keyna sialan. Dia membuat Cody-ku tak bisa
tersenyum.
“Aww, tampangmu jelek sekali,” kataku.
“Dan kau dua kali lipat lebih jelek,” balasnya,
memutar bola matanya.
Aku tergelak-gelak. Dia masih bisa sarkastik meski
sudah patah hati. “Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan? Mandi? Hei, mana
senyumanmu? Kau sembunyikan dimana dia?”
Dia mencoba tersenyum dan tak berhasil karena dia
menghela napas. “Aku ada kelas, Rem. Sampai nanti.” Tangannya mendorongku,
tidak keras, tapi cukup membuatku mengerti bahwa dia butuh waktu sendiri.
Aku paling tak suka jika dia sendirian. Setiap kali
dia melakukannya, pikirannya hanya akan memberikan jawaban yang tidak-tidak.
“Cody!” kataku lagi, menyusulnya dan merangkul
bahunya. Dia menatapku, tidak mengatakan apa-apa. “Ayo, kencan denganku malam
ini.”
“Remi, aku sedang tak berminat.”
“Oh, ayolah. Kau tak pernah berkencan lagi denganku.
Ini sudah lebih dari tiga bulan sejak terakhir kali kita makan malam berdua.
Ingat kau punya janji kalau kita harus kencan sekali sebulan?”
Alisnya naik, memberikan ekspresi apa aku sudah gila.
Tapi akhirnya dia tersenyum. “Ok. Aku akan bawa motorku malam ini. Kita jalan
kemana?”
“Bagaimana kalau ke puncak?” tanyaku. “Ingat air
terjun yang kita temukan di bagian atas gunung? Kita belum pernah ke sana lagi
kan?”
Di bagian puncak gunung ada jalan sempit menuju
sungai kecil yang ternyata menyimpan air terjun luar biasa cantik di balik
hutan. Dua tahun lalu, kami tak sengaja mengeksplorasinya. Kalian tahu kan
kalau Cody punya indera pendengaran luar biasa? Kalau bukan karena dia bilang
kalau dia mendengar suara air terjun, kami tak akan menemukan benda itu.
“Ok. Bawa termos hangatmu. Aku tak ingin mati
kedinginan.” Dia menepuk pinggangku, lalu berlalu menuju kampusnya.
Well,
setidaknya aku bisa menghiburnya.
***
WYALT(POV)
Nilai baby
project-ku gagal total.
F
Uh, sial! Aku tak akan lulus kalau begini.
Fanesca menepuk-nepuk bahuku, memberikan ekpresi
penuh kasihan.
“Tenang, Wyalt. Masih ada ujian susulan,” katanya.
Enak sekali dia bilang begitu. Dia kan mendapat nilai
A! “Kenapa harus ada kelas sialan itu sih? Kan tak semua orang ingin punya
anak!”
“Supaya kau bisa memperlakukan anak-anak di sekitarmu
dengan baik.”
“Itu cuma kelas omong-kosong. Tak berguna,” balasku,
membuat gadis itu memutar bola mata. Kenapa mereka tak memberikan kelas yang
lebih berguna sih? Kelas konsultasi, misalnya, atau kepribadian, atau mungkin
kemasyarakatan dan lingkungan? Bukannya kelas merawat robot bayi!
“Kau sudah dengar?” terdengar gosip di belakang kami.
Para cewek memang suka sekali bergosip. Fanesca sepertinya mendengar mereka
karena dia juga ikut memutar bola mata. Tak ada yang menjadi rahasia bila sudah
di kantin. Tiap orang akan memberikan perhatian, mendengar, lalu semua orang
akan bergosip.
Para cewek itu merapat, berbisik-bisik, lalu terkikik
geli.
“Mana mereka?” kataku pada akhirnya.
“Rayne bilang kalau dia akan datang. Gabrielle tak
membalas.”
Rayne Simons, si Pangeran Sekolah. Selama ini aku
mengenalnya sebagai itu. Semakin mengenalnya, aku tahu dia tak seperti itu. Dia
tak banyak bicara—memang. Tapi dia memang pantas dicap sebagai orang keren.
Satu-satunya kekurangan anak itu hanya mulutnya yang berbisa. Kadang dia tak
tahu kapan harus berbicara sombong dan tidak.
Dan Gabrielle McKenley-Cattermole lebih parah
darinya. Anak itu benar-benar tak bicara. Aku ingat saat dia duduk di meja
makanku—tempat yang biasanya dihindari orang-orang—dan makan tanpa suara.
Begitu aku menatapnya, dia balas menatapku. Kupikir dia akan memberikan
komentar pedas yang biasanya diberikan orang-orang soal penampilanku, tapi dia
malah mengangkat bahu dan pergi begitu saja. Keesokannya, dia melakukan
aktivitas yang sama. Tak lama setelah itu, aku tahu namanya dari guru homeroom. Anak itu juga punya suara
yang bagus. Sayangnya, dia menolak jadi vokalis.
“Hey, guys.” Rayne menarik kursi dan duduk di samping
Fanesca. “Mana Gabrielle?”
“Dia ada kelas Aljabar,” jawabku cepat. Berteman
dengan Gabrielle membuatku hapal daftar pelajarannya karena tiap kali aku
bertanya dia masuk kelas apa, dia hanya tinggal menunjukkan daftar pelajarannya
ke depan wajahku.
“Oh, itu dia,” kata Fanesca, menunjuk ke depanku.
Aku menoleh ke belakang. Gabrielle memang sedang
berjalan ke arah kami. Dan, tentu saja, aku tak tahu apakah dia menyadarinya,
dengan seluruh mata menatapnya.
Ada gosip aneh menyebar tentang Gabrielle. Menjadi
orang yang aneh membuatmu mendengar banyak hal aneh pula. Pernah satu kali aku
tidur di atas pohon dan aku mendengar anak-anak cowok basket membicarakannya.
Di lapangan, aku mendengar anggota cheers
membicarakannya. Di kamar mandi, aku juga mendengar para jocker membicarakannya. Di ruang guru, aku juga mendengar para staf
sekolah membicarakannya.
Gabrielle sepertinya menjadi transetter di sekolah.
Tentu saja, dengan sikapnya yang misterius begitu,
aku tak kaget banyak yang penasaran.
Tiba-tiba, Rayne mengumpat. Aku mengerjap, melihat
Gabrielle dikelilingi oleh anak-anak tim rugby
yang bertubuh besar dan berotot. Mereka yang tadinya duduk dengan tenang, kini
memberikan cengiran lebar pada Gabrielle.
Kami segera bangkit. Rayne yang paling ganas. Aura
gelapnya menguar begitu saja.
“Gabby!” salah satu dari mereka merangkul bahunya, membuat
buku di tangan Gabrielle jatuh, hanya untuk diambilnya kembali. “Bagaimana
kabarmu? Aku dengar kau sangat pandai menghibur orang!”
Gabrielle memberikannya ekspresi tak mengerti.
“Tinggalkan dia sendiri, Malcolm!” Rayne melangkah
panjang-panjang, mengepalkan tangannya.
“Ah, Rayne si Pangeran Sekolah!” Malcolm mempererat
rangkulannya, membuat Gabrielle meringis. Apa dia tak tahu kalau tindakannya
justru membuat Rayne semakin marah? “Boleh aku pinjam temanmu sebentar? Oh,
tunggu, apa benar kalian berteman?”
Fanesca melangkah ke depannya. “Kau dengar dia?
Lepaskan tanganmu dari Gabrielle!” desisnya.
Malcolm tersenyum menyebalkan. “Sayang, kalian berdua
seharusnya memikirkan siapa yang pantas menjadi teman kalian,” kemudian
melirikku. “Seorang emo yang tahunya hanya memetik gitar dan satu lagi,” kali
ini dia melirik Gabrielle, “seorang gay.”
Baik Fanesca dan Rayne mengerjap. Sekarang anak-anak
di kantin menahan napas dan berbisik, malah menjerit tertahan. Aku menatap
Gabrielle, yang mengerutkan dahinya. Ekspresinya sulit ditebak. Tapi dari
kilatan di matanya, entah kenapa aku bisa melihat kegelian.
Dia menganggap apa yang dikatakan Malcolm lucu,
rupanya.
“Aku melihat Gabrielle bermesraan di pestanya Alice
bersama Robin,” kata Malcolm. “Kau harus mendengar cerita Robin mengenai betapa
nakalnya dia di tempat tidur.”
Uhu, ini bukan cerita yang ingin kudengar. Rayne
sudah siap menyerang Malcolm sendirian, meski harus berhadapan dengan enam
orang sekaligus, sampai kemudian kami mendengar Gabrielle tertawa kecil.
Apapun itu yang diharapkan Malcolm mengenai
sensasinya, aku yakin dia tak memperkirakan bahwa Gabrielle akan tertawa.
“Yeah, lalu kenapa kalau aku gay?” Gabrielle kembali
memberikan ekspresi datarnya, menyingkirkan tangan Malcolm. Malcolm mengerjap,
terkejut dengan—tak salah lagi—suara Gabrielle. Gosip mengatakan kalau
Gabrielle bisu. Betapa bodohnya
mereka.
Dan aku mendesah. Aku menginginkan
suaranya.
“Jadi, kau mengakui apa yang dia katakan?” Rayne
bertanya pada Gabrielle dengan tak percaya.
“Jika maksudmu menarikku ke kamar dan menciumku
dengan paksa dikatakan memberikan hiburan, maka ya,” Gabrielle mengangguk.
Rayne mengerjap. “Apa?”
Kali ini, Gabrielle memberikan tatapan tajam pada
Malcolm. Tidak peduli dia lebih besar dari Malcolm, Gabrielle berhasil membuatnya
mundur. “Katakan pada temanmu, Robin, bila dia mendekatiku dalam jarak dua
puluh meter, aku tak akan ragu melaporkannya. Apa kalian pernah mendengar
penjara remaja? Ya, aku akan mengirimnya ke sana. Dan bila kalian berniat
menyakitiku hanya karen aku ‘gay’ baik dalam bentuk hinaan, pukulan, atau
pelecehan dalam bentuk lainnya, aku juga akan melaporkannya—meski kalian
memukuli sampai mati. Aku yakinkan kalian bahwa masa depan kalian akan hancur
begitu saja. Sekarang, jika kalian tak keberatan, aku lapar dan ingin makan
siang.”
Dengan keren dan santai, dia mendorong Malcolm dan
keronconya, melewati mereka begitu saja.
Rayne memberikan senyuman kemenangan pada Malcolm,
lalu mengikuti Gabrielle, disusul oleh Fanesca dan aku.
Kami kembali duduk di meja kami.
“Gab, tadi itu keren!” Fanesca melonjak-lonjak.
Gabrielle mengangkat kedua bahunya. “Tak bisakah kau bicara? Tadi kau memberi
pidato luar biasa!” lagi-lagi dia mengangkat bahunya.
Well,
Gabrielle sepertinya sudah kembali lagi.
“Apa benar kau gay?” Rayne bertanya.
Dahi Gabrielle mengerut.
“Ah, jangan salah sangka. Aku tak masalah kau gay apa
bukan, tapi kau tak tampak seperti gay.”
Repson Gabrielle hanya mendengus.
“Dia bukan gay,” kataku. “Dia hanya sengaja bilang
begitu supaya Malcolm tak menganggunya lagi.”
“Dari mana kau tahu?” kata Rayne.
“Aku punya gay-dar,”
jawabku memberikan tanduk pada kepalaku seakan aku menangkap sinyal dari udara.
Fanesca tertawa kecil, berdiri bersama Rayne untuk
membeli makanan kami. Kantin kembali sibuk dengan gosip masing-masing meski
beberapa dari mereka masih menoleh pada Gabrielle. Sepertinya, gosip ke-gay-an
Gabrielle akan membuat para siswa gay muncul ke permukaan.
Yeah, siapa yang tak ingin mendapatkan salah satu gay
paling hot di sekolah?
Gabrielle membuka ponselnya, mengerutkan dahi melihat
pesan yang masuk di dalam sana. Dari ujung mataku, aku melihat siapa yang
mengirim pesan.
From: Noah
To: Me
Hei, Gab. Aku ada di sini.
Bagaimana kalau kita nonton?
Kutunggu di pintu gerbang.
Dan sepertinya, gay yang satu ini sudah ada yang
punya.
***
Medan, Minggu,
24 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar