11
Lake House
==========
FRAN(POV)
Drrrrrt…
drrrrt….
Suara berisik itu tak berhenti sejak lima menit lalu.
Drrrrrt…
drrrrt… Drrrrrt… drrrrt…
Dengan susah payah, aku membuka mata perlahan,
berusaha tidak membangunkan Gabrielle untuk meraba meja yang berdiri di samping
tempat tidur Gabrielle.
Drrrrrt…
drrrrt… Drrrrrt… drrrrt…
Ponselku bergetar lagi. Untunglah aku mematikan
suaranya, kalau tidak, mungkin saja Gabrielle akan terbangun karena suaranya
yang berisik. Tanganku berhasil meraih benda kecil sekaligus mengerikan itu.
“Halo?” kataku dengan suara mengantuk dan kembali
menenggelamkan kepala ke bantal yang nyaman. Pesta semalaman di rumah Cody
benar-benar luar biasa. Cody punya teman-teman gila dan dia ikut menggila
bersamanya. Bisa dikatakan, aku dan Gabrielle menikmati pesta pertama kami.
“F-F-Fran? Aku minta maaf membangunkanmu pagi-pagi
sekali, t-tapi aku—shit, demi Tuhan!”
suara Jeremiah terdengar di seberang, kacau, kasar, panik. Aku segera terduduk
di tempatku, mendengarnya menarik napas dalam-dalam.
“Jeremiah, kau baik-baik saja?”
“Aku ingin kau datang—tidak, kau harus datang sekarang juga!” katanya dan aku bersumpah mendengar
suara isak tangis di sana. Darahku membeku dalam sekejap. Apa dia menangis? Apa
yang membuatnya seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak sempat
bertanya karena Jeremiah kembali berbicara, “Aku akan memberimu alamatku. Cepat
datang. Please. Aku—oh, aku harus
menelepon dokter. Pip.”
Siapa yang
membutuhkan dokter? Aku melihat ponselku dengan tak percaya. Dia memutuskan
hubungan bahkan sebelum aku sempat bertanya dimana alamatnya. Aku mencoba
menghubunginya, tapi nadanya sibuk.
Dia sedang menghubungi dokter, aku yakin. Apapun itu
yang membuat Jeremiah jadi seperti ini, aku yakin pastilah sesuatu yang besar.
Pria itu tak pernah panik. Dia selalu terorganisir. Meski tingkahnya gila dan
tidak menentu, tapi aku tak pernah melihatnya kehilangan kendali.
Aku membangunkan Gabrielle yang protes karena dia
masih kurang tidur akibat suara musik yang mengganggu malamnya, tapi tak
melawan saat aku bilang kalau Jeremiah membutuhkan kami. Kami segera bersiap,
turun ke bawah dan berusaha menghindari kekacauan pesta kemarin malam. Tempat
ini benar-benar kacau.
Kami melewati Aroz yang tampak mengerikan sementara
seorang pria pirang mencoba menenangkannya.
“Ada apa?” tanyaku, bingung. Bukankah kemarin mereka
baik-baik saja?
Aroz menyeka matanya yang merah dan membengkak di
balik kacamatanya. Rambutnya berantakan dan hidungnya merah. Dia pucat sekali
dan seperti habis menangis semalaman.
“Aroz mengalami malam yang buruk,” pria pirang di
sampingnya menjawab, tersenyum kecil. “Kalian mau pergi?”
“Jeremiah membutuhkan kami,” jawabku cepat dan Aroz
menatapku.
“Apa katanya?” tanyanya dengan suara serak nyaris
berbisik.
“Dia tak mengatakan apa-apa,” kataku, “tapi tadi dia
bilang kalau dia membutuhkan dokter.”
Aroz memucat lagi, bila tadi dia masih memiliki warna
di kulitnya, kali ini warna itu tak ada sama sekali. Pria pirang di sampingnya
segera menenangkannya. “Aroz, aku yakin kalau kondisi Cody tidak separah itu.
Kau harus menenangkan dirimu. Aroz? Aroz?” Pria itu panik saat Aroz memegang
dadanya, menarik napas dalam-dalam. “Aroz, tenangkan dirimu. Tarik napas
dalam-dalam. Aroz, dengarkan aku Aroz, Cody baik-baik saja. Dia bukan orang
lemah.”
Aroz mencengkram dadanya, menunduk, berusaha menarik
napas dalam-dalam dengan susah payah. Gabrielle segera bersembunyi di
belakangku, memegang lenganku kuat-kuat. Aku ingin membantu, tapi aku tak tahu
harus melakukan apa, jadi aku diam saja melihatnya membantu Aroz.
“Aroz, please…
dia tidak apa-apa, Aroz. Cody tak apa-apa,” pria itu menepuk pipinya dengan
lembut, memberikan perhatian yang luar biasa sekali. Dari pancaran matanya,
terlihat kalau dia khawatir pada Aroz.
“Ini semua karenaku,” gumam Aroz, mulai menangis lagi
dan menutup mulutnya.
“Ini bukan salahmu,” kata pria itu, kembali
memeluknya. Dia melihat ke arah kami, “Maukah kalian memberi kabar pada kami
untuk memastikan bahwa Cody baik-baik saja?”
“Um, tentu… um…”
“James.”
“James,” ulangku, melirik Aroz.
“Dia akan baik-baik saja,” James mengangguk kecil.
“Aku akan menjaganya. Kalian tak perlu khawatir. Lagipula, kau harus membawa
anak itu. Dia ketakutan.”
Gabrielle mengintip dari pinggiran tanganku,
menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Tingkahnya membuatku untuk mengangguk
dan berpamitan.
Kami segera turun, naik ke mobil dan diam selama
beberapa menit karena aku harus menelepon seseorang yang tahu alamat Jeremiah.
“Aku akan tanya pada Ezekiel,” gumam Gabrielle,
mengeluarkan ponselnya.
“Ezekiel?” aku mengulang.
“Dia adiknya Jeremiah,” jawabnya cepat, mengangkat
telepon ke telinga.
“Oh,” kataku. Aku tahu kalau Jeremiah punya adik,
tapi aku tak tahu kalau Gabrielle mengenalnya. Ah, tidak, tentu saja Gabrielle
mengenal adik Jeremiah, dia kan pernah datang ke rumahnya. Dahiku mengerut
lagi, kali ini lebih dalam. Aku belum pernah masuk ke rumah Jeremiah. Dia
melarangku masuk. Kenapa? Aku sendiri tak tahu.
“Aku sudah mendapat alamatnya,” kata Gabrielle,
menunjukkan salah satu pesan yang baru masuk. Mengangguk, aku memindahkan
kopling, menginjak gas dan membawa mobil menuju rumah Jeremiah. Di tengah jalan
menuju rumahnya—yang rasanya seperti berada di antah-barantah—Jeremiah
menelepon.
“Halo?” kataku.
“Fran, beli bahan makanan untuk beberapa hari ke
supermarket terdekat.” Suaranya terdengar lebih tenang, meski kasar sekali.
“Kenapa?”
“Tak usah banyak tanya! Lakukan—shit,” dia menarik napas, “sori, aku tak bermaksud membentakmu. Aku
hanya sedikit stress. Dengar, kita akan bicara nanti. Bisakah kau beli bahan
makanan?”
Sebelum aku bisa menjawab, Jeremiah langsung menutup
teleponnya. Gabrielle memandangku dengan dahi mengerut, tapi tidak mengatakan
apa-apa. Membasahi bibirku, aku memutar setir untuk kembali lagi ke belakang,
dimana kami sudah melewati supermarket sekitar tiga kilometer lalu.
“Dia tak akan apa-apa, kan?” Gabrielle bertanya
padaku, mendorong troli sementara aku memasukkan bahan makanan dengan asal.
Aku mendesah, menggeleng. “Semoga saja.”
Cody pernah menghilang selama seminggu lebih tanpa
kabar. Aku mencoba menghubunginya sebisaku. Dia tak pernah menghilang
sebelumnya, jadi aku yakin bahwa kejadian hari ini juga pasti sama buruknya
dengan waktu itu.
“Boleh aku minta ini?” Gabrielle menarik makanan
kecil dari rak, kemudian menoleh padaku dengan penuh harap.
“Gabrielle, makanan seperti itu tak sehat. Apa kau
tahu berapa banyak bumbu penyedap yang ada di dalamnya?” kataku, menaikan alis.
“Aku tahu, tapi rasanya enak. Eleanor tidak
melarangku memakannya.”
“Itu karena Eleanor bukan Ayahmu,” balasku memutar
bola mata, kemudian dahiku mengerut. “Eleanor?”
“Adiknya Jeremiah.”
“Oh,” kataku lagi. Gabrielle meletakkan kembali snack
itu sambil cemberut, membuatku tersenyum kecil. “Ok, kau bisa makan, tapi cuma
satu buah.”
Wajahnya kembali cerah, mengambil snack itu kemudian
meletakkannya ke troli. “Aku boleh minta coklat?”
“Boleh, tapi hanya satu.”
Senyumannya semakin lebar, kemudian dengan girang
anak muda itu mendorong troli ke rak makanan, memilih snack yang dia inginkan
sementara aku mencari makanan segar ke sekitar. Otakku langsung berputar untuk
memasak makanan apa yang pas bagi orang sakit. “Udang, brokoli, tuna, cumi,
kentang, wortel, bawang,” gumamku sambil memasukkan semua makanan itu ke troli.
Setelah selesai, kami membayar dan kembali masuk ke
dalam mobil, melanjutkan perjalanan kami yang tertunda. Gabrielle mengunyah
kripik kentangnya, melihat ke jendela, bungkusan snack super besar berada di
pangkuannya. Aku hanya mampu geleng-geleng kepala melihat kejeniusannya. Aku
memang bilang satu, dan dia memilih
satu bungkus yang edisi jumbo.
“Apa Jeremiah benar tinggal di daerah ini?” Gabrielle
bertanya, mengerutkan dahinya.
“Alamatnya tertulis seperti itu.”
“Tapi ini hutan belantara di gunung.”
Ya, aku tahu, pikirku. Aku tahu kecemasan Gabrielle
karena rumah Jeremiah belum juga kelihatan meski kami sudah berbelok dan
menaiki gunung. Aku juga sempat bertanya-tanya apa benar Jeremiah tinggal di
tempat seperti ini? Gunung ini lebih cocok dijadikan tempat kemping daripada
tempat tinggal. Apalagi, aku tak menemukan ada satupun mobil atau rumah yang
bisa kami tanyai arah, jadi aku hanya mampu mengendarai mobil kami untuk
mengikuti jalan yang ada.
“Itu,” Gabrielle menunjuk papan di sebelah kanan
kami. “Lake House.”
Mobil kami melewati tanda rapuh tapi juga masih kokoh
yang berada di pinggir jalan. Ban mobil berkelotakkan ketika melewati bebatuan
kerikil dan jalan setapak kecil yang hanya mampu dilewati oleh satu mobil. Di
sisi kiri kanan kami terdapat pohon pinus dan cemara yang berdiri tinggi,
menutupi cahaya matahari yang masuk ke dalam.
“Whoa,” Gabrielle terkagum, lupa sama sekali soal
snacknya begitu kami melewati burung hantu yang memelototinya.
Aku memperlambat laju mobil ketika terjadi guncangan
saat melewati gundukan tinggi dan juga lumpur. Mobilku sama sekali tak cocok
dengan medan yang seperti ini, karena modelnya terlalu rendah. Pantas saja
Jeremiah lebih memilih Hummer.
“Itu rumahnya?” Gabrielle mencondongkan tubuh ke
depan, melepas sabuk pengamannya.
Di depan sana terdapat gubuk besar yang berlatar
belakang pegunungan dan juga pepohonan tinggi, dipagari oleh pagar kayu yang
luas dan jauh sekali dari lapangan kosong yang basah. Aku bisa melihat mobil
Cody terparkir di lapangan, sebuah mobil lain bertipe BMW dan juga Hummer
Jeremiah. Tidak salah lagi, ini pastilah rumah Jeremiah.
“Dia punya danau pribadi!” kata Gabrielle
bersemangat, membuka kaca jendela untuk melihat danau yang berkilau tertimpa
cahaya matahari, berada tepat di depan rumah Jeremiah dengan sebuah dermaga
kayu. Aku bisa melihat ada dua perahu kecil terparkir di pinggirnya.
Memarkirkan mobilku di samping mobil Cody, Gabrielle
segera melompat, hendak berlari menuju danau—dan mungkin melompat ke
dalamnya—andai saja dia tak melihat Jeremiah yang membuka pintu dan keluar
dengan seorang pria tinggi berpakaian putih. Gabrielle langsung memutar arah
dan berlari ke arahnya.
“Dad!” Gabrielle berteriak, melompat memeluknya.
Jeremiah terlihat terkejut, tapi dengan cepat
bereaksi dengan menangkap Gabrielle dan memeluknya, nyaris mengangkat kakinya
dari tanah.
“Dad?” pria di dekat mereka tampak geli. “Aku tak
tahu kalau kau punya anak sebesar ini.”
“Kalau kau iri, sebaiknya kau cepat menikah, Nathan,”
balasnya, membuat pria itu memutar bola matanya.
“Grumpy
Jeremiah sama sekali tidak menarik,” kata pria itu lagi, memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku celana jeansnya. “Oh, halo, namaku Nathan.” Pria itu
tersenyum padaku, mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya, memperkenalkan
diriku sendiri.
“Cody tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan, stress,
kurang tidur, kekurangan gizi dan terlalu banyak bekerja,” Nathan menoleh pada
Jeremiah. “Bila kau bisa memaksanya makan teratur dan tidak membiarkannya
terlalu lelah, aku yakin kondisinya akan kembali seperti semula. Aku sudah
meninggalkan obat di dekat tempat tidurnya. Suhu tubuhnya akan kembali normal
bila dia tidur dalam keadaan hangat.”
Oh, ternyata dia seorang dokter.
“Kau akan datang lagi kan?” Jeremiah menatapnya penuh
harap.
“Pasti. Aku pergi dulu. Bila ada apa-apa, kau bisa
menghubungiku.” Pria itu memberikan senyuman kecil pada Gabrielle dan anggukan
sopan padaku, kemudian menuju mobil BMW-nya.
“Aku suka padanya,” kata Gabrielle tiba-tiba.
Jeremiah tersenyum kecil. “Aku belum pernah menemukan
orang yang bilang benci padanya.”
Kami bertiga memasukkan bahan makanan dari mobil,
mengorganisirinya ke dapur Jeremiah. Aku hanya mampu menganga takjub melihat
seberapa besar rumahnya Jeremiah dari dalam. Dari luar, rumah itu hanya tampak
seperti gubuk biasa. Tapi dalamnya besar
sekali.
Di ruangan depan terdapat sofa empuk beserta dengan
sebuah perapian besar yang sekarang menyala walau sudah siang. Satu set
peralatan elektronik terletak tak jauh dari tempat itu beserta dengan lemari
kaca yang memajang beberapa piagam penghargaan sekaligus juga foto dan
buku-buku tebal. Di belakangnya ada hutan kecil dengan sebuah pohon menjalar
kecil dengan batang kokoh dan seekor koala menggantung di tempat itu.
Gabrielle memandangi koala itu seperti terhipnotis.
“Boleh aku pegang?”
Jeremiah tertawa kecil. “Tentu. Dia tak berbahaya.”
Kemudian dia mendekati Gabrielle, mengambil koala itu dan memberikannya pada
Gabrielle. Gabrielle menggendongnya dengan hati-hati, tampak puas sekaligus
juga senang. “Kalau kau sudah puas menggendongnya, kembalikan lagi ke pohon.
Kita tak ingin dia berkeliaran.”
Gabrielle mengangguk, lalu disibukkan dengan
mengelus-elus bulunya.
“Kau keberatan membuat makanan?” tanyanya padaku,
melangkah menuju dapur yang berada di belakang, menuruni tangga kayu yang berderit.
“Tidak, tapi aku harus menyusun belanjaan hari ini.
Kulkas?”
Lalu Jeremiah kembali menjelaskan peralatan dapurnya.
Dimana aku bisa memasak, mengambil bahan makanan, dimana piring, bagaimana
mencuci piring, oven dan lain sebagainya. Untuk seorang pria bisnis, dia punya
persediaan dapur yang lengkap sekali dan sudah terorganisir.
“Cody sering memasak di sini, jadi dia menyusun
semuanya. Kalau ada apa-apa, kau bisa memanggilku,” katanya, mengusap wajahnya
sambil menghela napas.
“Dia akan baik-baik saja, Jeremiah,” kataku.
Dia mengangguk, lalu keluar dari dapur untuk melihat
Gabrielle. Setelah menyusun seluruh bahan makanan ke tempatnya dan menyisakkan
beberapa bahan makanan yang akan kubuat hari ini, aku memutuskan untuk mengecek
Jeremiah karena rumah sunyi sekali—bahkan aku tak mendengar suara Gabrielle.
Ternyata Jeremiah tertidur di ruang depan. Posisinya
sama persis saat dia tidur di kamarku waktu itu. Kali ini dia tampak lebih
berantakan. Aku yakin dia pasti lelah sekali. Pakaiannya masih sama dengan yang
dia pakai tadi sewaktu di pesta.
Takut dia kedinginan, aku memutuskan naik ke atas,
mencari selimut. Aku melihat Cody tidur dengan selimut menutupi tubuhnya dari
leher sampai ke kaki dengan selimut biru tebal. Wajahnya tampak pucat sekali.
Tidak menemukan apa-apa di tempat itu, aku mencari ke kamar lain yang ternyata
adalah kamar Jeremiah.
Gabrielle tidur di atas tempat tidur, bergelung
nyaman di bawah selimut hijau nyaman. Tidurnya tadi terganggu, pantas saja dia
tidur sekarang. Melihat sekitar, aku memerhatikan betapa kerennya kamar
Jeremiah. Kamar ini tampak modern dengan dinding batu. Sama seperti di bawah,
ada perapian beberapa meter di depan tempat tidur. AC dan penghangat ruangan
tergantung di atas jendela kaca geser yang menembus ke balkon kamar. Sebuah
gorden ungu pucat menyibak sedikit, memperlihatkan pemandangan danau berkilauan
yang ada di luar. Di tengah ruangan ada sebuah lemari besar dua arah yang penuh
terisi buku-buku. Sebuah meja kerja lengkap dengan peralatan kantor terletak
manis di dekat dinding. Sebuah pintu yang aku yakini menembus ke kamar mandi
terletak di sisi satunya. Di dinding dekat meja kerjanya ada sebuah figura
besar terbuat dari kaca yang tertempel oleh begitu banyak foto-foto, beserta
dengan tanggal-tanggalnya. Foto-foto itu penuh dengan momen yang begitu
berharga. Tapi yang membuatku terkesan adalah foto yang berada tepat di atas
tempat tidur.
Foto Cody dan Jeremiah.
Mereka tampak masih begitu muda. Aku bisa melihat
Cody, mengepalkan salah satu tinjunya sementara yang satu lagi memegang medali
emas. Rambutnya terlihat lebih panjang, basah dan menempel di dahi dan pipinya.
Wajahnya tampak begitu bahagia dan puas, meski berkeringat. Jeremiah ada di
sampingnya, memegang piala di tangannya dan tangan yang lain merangkul bahu
Cody. Di piala itu tertulis “Juara I Youth Romance Award IX”. Ekspresi wajahnya
tak kalah dengan Cody: bahagia, bangga, dan puas.
Melihat foto itu, aku yakin hubungan mereka begitu
dekat. Aku yakin tak pernah ada orang yang akan menempel foto sahabatnya besar-besar
di kamarnya. Keberadaan Cody pasti berarti sekali bagi Jeremiah. Aku ingat saat
Cody marah pada Jeremiah, Jeremiah tampak tak puas menjalani harinya dan selalu
mengeluh mengenai kebosanannya. Kupikir, itu hanya pura-pura, tingkah yang
terlalu kekanak-kanakan. Tapi, setelah melihat apa yang terjadi kemarin saat
Jeremiah memeluk Cody dan mengucapkan selamat ulang tahun, serta hari ini saat
dia panik karena Cody yang sakit, aku yakin tak akan ada yang menggantikan
posisi Cody—apapun yang terjadi.
Dan entah mengapa, hal itu membuatku… merasa aneh…
Cody tak akan pernah tergantikan. Itu memang benar.
Lalu, kenapa aku merasa tidak menerimanya?
“Apa yang kau pikirkan, Fran?” gumamku, menggetok
kepalaku sendiri. Sambil menghela napas, aku menuju lemari, mengambil selimut
coklat dari dasar lemari kemudian turun ke bawah. Jeremiah masih tidur dengan
posisi yang sama. Setelah menyelimutinya, aku kembali ke dapur dan memasak.
Memasak akan membuatku menenangkan pikiranku.
***
GABRIELLE(POV)
Suhu dingin di kamar Remi membuatku terbangun.
Seluruh tubuhku merinding, meski aku sudah memakai selimut, aku tetap saja
merasa dingin. Musim gugur yang mendekati musim dingin di pegunungan
benar-benar parah sekali. Tempat ini lebih dingin daripada di tempat biasa.
Remi memang bilang kalau aku tak bisa tidur dengan
Cody, tapi aku kedinginan dan masih mengantuk. Cody tak akan keberatan bila aku
tidur dengannya. Menyingkirkan selimut, aku turun perlahan, merasakan telapak
kakiku menyentuh lantai kayu yang dingin.
Aku merinding lagi, keluar dari kamar Remi menuju
kamar Cody, yang jauh lebih hangat. Sepertinya, Remi lupa menyalakan pemanas
ruangan. Perlahan, aku menyelip masuk ke dalam selimut Cody, yang luar biasa
hangat. Tersenyum, aku kembali menutup mata dan tidur dengan nyenyak.
Aku terbangun tiga jam kemudian dengan matahari sudah
tidak lagi secerah. Sendirian. Cody pastilah sudah bangun. Menguap lebar, aku
meregangkan tubuhku, kemudian turun ke bawah dengan energi baru.
“Mana Cody?” tanyaku pada Fran, yang memerhatikan
koala yang saat ini memakan dedaunan di dekatnya.
“Tadi, aku lihat dia di danau,” katanya. “Dan
Jeremiah ada di kamarnya, mandi.”
“Aku mau menyusul Cody.”
“Jangan lupa pakai mantelmu,” Fran mengangguk,
kembali mengalihkan perhatiannya pada koala itu.
Fran memang tipe ayah yang tidak mengekang, dan itu
yang kusuka darinya—selain perhatian dan rasa cintanya. Dia memberikanku
kebebasan untuk melakukan hal yang kusukai asal aku bertanggung jawab. Bukan
berarti aku mencicipi semua kebebasanku. Tidak. Aku tahu batas kemampuanku
dengan baik. Aku tak suka pesta dan keramaian—kecuali bila aku bersama dengan
orang yang benar-benar bisa menjagaku—dan bisa kupastikan bahwa aku tak akan
pernah lagi ke pesta remaja.
Mengingat hal itu membuatku ingin muntah. Kedua
tanganku secara otomatis memegang bahuku. Aku tak ingin mengingatnya. Akan
lebih mudah bagiku melupakannya andai saja aku tak merasakannya.
“Gabrielle, kau baik-baik saja?” Fran bertanya,
mengerutkan dahi.
Aku mengerjap, menelan ludah. “Ya. Aku baik-baik
saja,” kataku, lalu cepat-cepat mengambil mantelku dan keluar dari rumah. Fran
masih memandangiku dengan cemas meski aku sudah turun dari undakan dan berlari
melewati lapangan berlumpur sambil memakai mantelku.
Cody ada di dermaga. Dia menoleh padaku begitu aku
berlari ke dekatnya dan duduk di sampingnya. Danau ini jadi jauh lebih indah
dipandangi dari dekat. Ketinggian dermaga sangat rendah, sehingga kaki Cody
nyaris masuk ke dalam danau. Pohon-pohon dataran tinggi mengelilingi pinggiran
danau. Sebuah gunung menjulang tinggi di belakangnya.
“Bagaimana tidurmu?” tanya Cody setelah diam lama
sekali.
“Nyenyak,” jawabku, menoleh padanya. Cody tidak
memiliki ekspresi, hanya memandang ke depan. “Kau?”
Dia tak menjawab dan aku tak memaksanya untuk bicara.
Dia orang dewasa, dia punya masalahnya sendiri. Dan dia pasti bisa
menyelesaikannya sendiri.
“Dad bilang kalau kau jago kick boxing,” kataku lagi, setelah diam beberapa menit. Aku tak
tahu apakah membicarakan masalahku akan membuat beban Cody semakin besar atau
tidak, tapi satu-satunya orang yang bisa mencerna masalah ini tanpa harus
melibatkan emosi hanya Cody. Cody, lagi-lagi, tak menjawab. “Bisa ajari aku kick boxing?”
Dahi Cody mengerut sedikit, melirikku dari sudut
matanya. “Apa ada orang yang memukulmu?”
Dahiku mengerut, melihat telapak tanganku. “Tidak,”
gumamku.
“Apa ada orang yang menyentuhmu?”
Aku menegang. Tubuhku merinding dalam sekejap.
“Kapan?” Cody bertanya lagi, kali ini perhatiannya
terpusat padaku.
Aku menelan ludah. “Aku—” Lalu mengingat kejadian di
pesta itu, saat aku menolak minum dari seseorang, kemudian mereka marah dan
menarikku ke kamar. “Aku tak ingin mengingatnya,” gumamku, menutup mataku.
Suaraku bergetar.
Andai saja mereka tidak dalam keadaan mabuk, aku tak
mungkin bisa kabur.
Jemari Cody yang dingin mengangkat wajahku, lalu dia
menghapus air mataku, yang tak kusangka jatuh. Tubuhku gemetar ketakutan.
“Tidak apa-apa, Gabrielle. Aku akan mengajarimu,”
katanya dengan senyuman menenangkan.
“Aku tak menyangka kalau mereka akan melakukan hal
seperti itu. Mereka masih—”
Cody memelukku erat-erat. “Kau aman sekarang,
Gabrielle dan akan kupastikan kau bisa menjaga dirimu sendiri. Semua akan
baik-baik saja.”
Aku mengangguk dalam diam, merasa lebih baik karena
bisa menceritakan hal ini pada seseorang.
“Aku yakin kau belum mengatakan apapun pada Remi dan
Fran,” kata Cody, menangkup wajahku, kembali memberi senyum menenangkan. Aku
mengangguk algi. Jujur saja, aku takut memberi tahu Jeremiah ataupun Fran.
Mereka sudah melarangku pergi ke pesta dan aku melanggarnya. Ini hukuman yang
kutanggung sendiri karena melarang nasihat mereka. Aku pantas mendapatkannya.
“Bagus. Jangan katakan apapun pada mereka berdua.
Kita tak ingin mereka melakukan sesuatu pada anak-anak itu. Walau bagaimana pun
mereka masih kecil. Di otak mereka hanya terbagi dua kategori: keren dan tak
keren.” Dia memutar bola matanya. “Dan kau adalah satu dari sedikit anak kecil
yang tak melihat itu. Kau melihat lebih jauh dari sekedar keren. Kau melihat
masa depan, apa yang terbaik saat kau melakukan ini dan apa yang tidak. Yang
kuinginkan, Gabrielle, adalah jangan sampai kau menjadi seperti mereka. Kau
mengerti?”
Aku mengangguk. “Apa yang kau lakukan juga seperti
itu saat muda?”
“Aku dan Remi adalah dua orang pemuda paling bodoh,”
jawabnya, tertawa kecil. “Tapi, aku tak menyesalinya, karena ada hal-hal yang
bisa dilihat selain buku.”
Aku mengerjap bingung. “Bukankah buku lebih banyak
memberi ilmu?”
“Buku tidak punya perasaan, Gabrielle. Dia hanya
memberikanmu pilihan, sama seperti takdir, tapi hidupmu hanya kau menjalaninya.
Dan kau punya perasaan. Mungkin, menurut buku, belajar keluar negeri akan jadi
pilihan terbaik, tapi bila kau harus meninggalkan kedua orang tuamu yang sakit,
kau tak akan melakukannya.”
Perkataan Cody membuatku tertegun. Fran benar. Cody
memang tipe pemikir. Dia tak banyak bicara, dan lebih mudah baginya mengamati
sekitarnya. Dia berbeda dengan Remiyang bertindak berdasarkan perasaan—yang
main hajar sana, hajar sini. Mungkin, itu sebabnya kedua orang ini menempel
terus seperti perangko dan amplop.
“Kau bisa main ski?” tanyanya. Aku menggeleng. “Kalau
begitu natal nanti kau datang lagi kemari. Danau ini biasanya membeku. Aku dan
Remi biasanya berski berdua. Tapi, kurasa kalian bisa ikutan tahun ini. Aku dan
Remi akan mengajarimu main.”
Aku tak keberatan mempelajari hal baru, jadi aku
mengangguk bersemangat. Selama ini aku iri melihat anak-anak lain bisa bermain
ski dengan sepatu luncur mereka sedangkan aku hanya melihat mereka bermain di
dalam rumah karena aku sendirian.
Tapi kali ini tidak. Aku punya Fran. Aku punya Remi.
Dan sekarang, aku punya Cody.
“Oh, kau mau lihat rumah pohon?”
Kami pun bangkit, mencari rumah pohon yang dibuat
oleh mereka berdua. Cody bercerita kalau saat anak-anak mereka tak punya rumah
pohon, jadi untuk mewujudkan hal itu, mereka pun membuat rumah pohon mereka
sendiri.
Rumah pohon Cody letaknya jauh sekali di dalam hutan.
Aku sering tergelincir, jatuh dan tergores oleh dedaunan yang menghalangi
jalan. Tapi berhasil mencapai rumah pohon itu. rumah pohonnya ternyata besar
sekali. Cody bilang di sana ada tempat tidur dan peralatan masak sederhana,
yang biasanya mereka pakai kalau musim panas tiba untuk kamping.
“Sebenarnya, di puncak sana ada taman liar dan bila
malam tiba ada banyak sekali bintang yang terlihat,” katanya sewaktu kami turun
kembali. “Tapi, dalam musim seperti ini, berbahaya sekali untuk mendaki karena
medannya basah.”
Aku mengangguk, berkeringat dan terengah. Cody
menertawakanku, menepuk bahuku dan bilang kalau aku butuh banyak olahraga. Cody
menunjukkan beberapa gerakan tinjunya yang mantap sekali. Ketika dia meninju
udara, aku bisa merasakan kalau tinjunya sangat mantap dan cepat.
Sewaktu kami pulang, Remi dan Fran sudah menunggu
kami. Remi tersenyum puas dan Fran terlihat lega.
“Aku yakin kau pasti menunjukkannya rumah pohon
kita,” kata Remi, nyengir lebar.
“Dia butuh olahraga,” kata Cody, melepas sepatunya.
Dahinya mengerut melihat koala yang menggantung di pohon. “Koala, Remi?”
Remi mendengus. “River mengirimnya padaku sebagai
hadiah ulang tahun.”
“Kupikir dia mengirim kanguru,” kata Cody lagi.
“Oh, kanguru sialan itu sudah kukirim ke kebun
binatang setelah dia nyaris meninjuku,” katanya. “Dan, kau tahu, aku menamakan
koala ini River.”
Cody memutar bola matanya. “Dia tak akan senang.”
“Siapa yang peduli,” gumam Remi.
“Aku mau mandi,” kata Cody, lalu naik ke kamarnya.
Remi menunduk, tersenyum padaku, lalu mengacak
rambutku dengan puas. “Terima kasih, Gabrielle. Kau membuatnya riang kembali.”
Aku kan tak
melakukan apapun.
***
Sempit!
Malam ini, aku tidur di antara dua pria besar: Remi
dan Fran. Remi bilang kalau Cody tak bisa ditemani oleh orang lain karena dia
akan meninju orang yang tidur di sampingnya. Tidak ingin ada orang yang masuk
rumah sakit, maka kami pun mengabulkan permintaan konyol Cody.
Masalahnya, akulah yang terjepit di tengah-tengah.
Oh, tenang saja. Fran tidak masalah. Pria itu bisa
tidur dalam satu posisi sepanjang malam tanpa gerakan berarti. Yang jadi
masalah adalah Remi.
“Hmph!” kataku, nyaris terbatuk parah begitu Remi
mengubah posisi menghadapiku, mengangkat tangannya yang besar dan mendarat ke
tubuh kecilku. Bila dibandingkan dengannya, aku kecil sekali. Aku nyaris remuk
di bawah tangan besar Remi yang berat.
Aku terperangkap. Tak bisa bergerak.
“Pa,” bisikku, menotol-notolkan tangan Fran. “Papa!”
Fran membuka matanya perlahan. “Hmmm?”
“Aku tak bisa bernapas,” bisikku lagi, berusaha
menggerakkan tangan Remi agar menyingkir dari tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur
bila dia menindihku begini? Aku bisa rata!
Kejeniusan otak Fran tampak mengalami perlambatan
karena masih mengantuk. Matanya kosong beberapa detik, mencerna perkataanku,
kemudian dia sadar dan segera duduk. Pelan-pelan, dia menyingkirkan tangan Remi
ke sisi satunya. Aku segera melompat turun dan beringsut masuk ke sisi Fran
yang satunya, sehingga Franlah yang kali ini ada di tengan tempat tidur.
“Gabrielle—”
“Aku tak mau tidur di dekat Remi,” kataku tegas,
menarik selimutku ke bahu dan menutup mata.
Aku tak peduli bila Fran terkena serangan jantung
karena tidur di dekat Remi, yang penting aku tidak harus menghabiskan malamku
tidur digencet Remi.
Butuh waktu lama bagi Fran untuk menerima keadaan
sebelum akhirnya dia menyerah dan merebahkan tubuhnya.
Aku tak mengubah posisiku dan memaksa diri untuk tidur
dan bangun keesokan paginya mencium bau roti panggang dan telur goreng dari
bawah.
Tersenyum kecil, aku tahu kalau Fran sudah bangun
seperti biasa.
Tapi, ternyata tidak.
Ketika aku bangun, Fran masih tidur bersama dengan
Remi, tepat dipelukannya Remi.
Salah satu lengan Remi memeluk pinggang Fran,
sementara lengan yang lain menopang kepala Fran. Fran sendiri bersandar dengan
nyaman di lengan Remi, tidur seperti bayi.
Mereka seperti pengantin baru.
Dan aku menghabiskan malamku bersama mereka yang
mesra begini.
Eeewww. Aku akan minta Cody tidur bersamaku malam
ini.
Aku keluar dari kamar mereka, tidak berniat
membangunkan mereka.
Lalu kembali lagi ke dalam, membawa ponselku dan
mengambil pose mesra mereka.
***
Medan, Rabu, 20
November 2013
0 komentar:
Posting Komentar