RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [11]



11
Lake House
==========

FRAN(POV)
Drrrrrt… drrrrt….
Suara berisik itu tak berhenti sejak lima menit lalu.
Drrrrrt… drrrrt… Drrrrrt… drrrrt…
Dengan susah payah, aku membuka mata perlahan, berusaha tidak membangunkan Gabrielle untuk meraba meja yang berdiri di samping tempat tidur Gabrielle.
Drrrrrt… drrrrt… Drrrrrt… drrrrt…
Ponselku bergetar lagi. Untunglah aku mematikan suaranya, kalau tidak, mungkin saja Gabrielle akan terbangun karena suaranya yang berisik. Tanganku berhasil meraih benda kecil sekaligus mengerikan itu.
“Halo?” kataku dengan suara mengantuk dan kembali menenggelamkan kepala ke bantal yang nyaman. Pesta semalaman di rumah Cody benar-benar luar biasa. Cody punya teman-teman gila dan dia ikut menggila bersamanya. Bisa dikatakan, aku dan Gabrielle menikmati pesta pertama kami.
“F-F-Fran? Aku minta maaf membangunkanmu pagi-pagi sekali, t-tapi aku—shit, demi Tuhan!” suara Jeremiah terdengar di seberang, kacau, kasar, panik. Aku segera terduduk di tempatku, mendengarnya menarik napas dalam-dalam.
“Jeremiah, kau baik-baik saja?”
“Aku ingin kau datang—tidak, kau harus datang sekarang juga!” katanya dan aku bersumpah mendengar suara isak tangis di sana. Darahku membeku dalam sekejap. Apa dia menangis? Apa yang membuatnya seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak sempat bertanya karena Jeremiah kembali berbicara, “Aku akan memberimu alamatku. Cepat datang. Please. Aku—oh, aku harus menelepon dokter. Pip.”
Siapa yang membutuhkan dokter? Aku melihat ponselku dengan tak percaya. Dia memutuskan hubungan bahkan sebelum aku sempat bertanya dimana alamatnya. Aku mencoba menghubunginya, tapi nadanya sibuk.
Dia sedang menghubungi dokter, aku yakin. Apapun itu yang membuat Jeremiah jadi seperti ini, aku yakin pastilah sesuatu yang besar. Pria itu tak pernah panik. Dia selalu terorganisir. Meski tingkahnya gila dan tidak menentu, tapi aku tak pernah melihatnya kehilangan kendali.
Aku membangunkan Gabrielle yang protes karena dia masih kurang tidur akibat suara musik yang mengganggu malamnya, tapi tak melawan saat aku bilang kalau Jeremiah membutuhkan kami. Kami segera bersiap, turun ke bawah dan berusaha menghindari kekacauan pesta kemarin malam. Tempat ini benar-benar kacau.
Kami melewati Aroz yang tampak mengerikan sementara seorang pria pirang mencoba menenangkannya.
“Ada apa?” tanyaku, bingung. Bukankah kemarin mereka baik-baik saja?
Aroz menyeka matanya yang merah dan membengkak di balik kacamatanya. Rambutnya berantakan dan hidungnya merah. Dia pucat sekali dan seperti habis menangis semalaman.
“Aroz mengalami malam yang buruk,” pria pirang di sampingnya menjawab, tersenyum kecil. “Kalian mau pergi?”
“Jeremiah membutuhkan kami,” jawabku cepat dan Aroz menatapku.
“Apa katanya?” tanyanya dengan suara serak nyaris berbisik.
“Dia tak mengatakan apa-apa,” kataku, “tapi tadi dia bilang kalau dia membutuhkan dokter.”
Aroz memucat lagi, bila tadi dia masih memiliki warna di kulitnya, kali ini warna itu tak ada sama sekali. Pria pirang di sampingnya segera menenangkannya. “Aroz, aku yakin kalau kondisi Cody tidak separah itu. Kau harus menenangkan dirimu. Aroz? Aroz?” Pria itu panik saat Aroz memegang dadanya, menarik napas dalam-dalam. “Aroz, tenangkan dirimu. Tarik napas dalam-dalam. Aroz, dengarkan aku Aroz, Cody baik-baik saja. Dia bukan orang lemah.”
Aroz mencengkram dadanya, menunduk, berusaha menarik napas dalam-dalam dengan susah payah. Gabrielle segera bersembunyi di belakangku, memegang lenganku kuat-kuat. Aku ingin membantu, tapi aku tak tahu harus melakukan apa, jadi aku diam saja melihatnya membantu Aroz.
“Aroz, please… dia tidak apa-apa, Aroz. Cody tak apa-apa,” pria itu menepuk pipinya dengan lembut, memberikan perhatian yang luar biasa sekali. Dari pancaran matanya, terlihat kalau dia khawatir pada Aroz.
“Ini semua karenaku,” gumam Aroz, mulai menangis lagi dan menutup mulutnya.
“Ini bukan salahmu,” kata pria itu, kembali memeluknya. Dia melihat ke arah kami, “Maukah kalian memberi kabar pada kami untuk memastikan bahwa Cody baik-baik saja?”
“Um, tentu… um…”
“James.”
“James,” ulangku, melirik Aroz.
“Dia akan baik-baik saja,” James mengangguk kecil. “Aku akan menjaganya. Kalian tak perlu khawatir. Lagipula, kau harus membawa anak itu. Dia ketakutan.”
Gabrielle mengintip dari pinggiran tanganku, menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Tingkahnya membuatku untuk mengangguk dan berpamitan.
Kami segera turun, naik ke mobil dan diam selama beberapa menit karena aku harus menelepon seseorang yang tahu alamat Jeremiah.
“Aku akan tanya pada Ezekiel,” gumam Gabrielle, mengeluarkan ponselnya.
“Ezekiel?” aku mengulang.
“Dia adiknya Jeremiah,” jawabnya cepat, mengangkat telepon ke telinga.
“Oh,” kataku. Aku tahu kalau Jeremiah punya adik, tapi aku tak tahu kalau Gabrielle mengenalnya. Ah, tidak, tentu saja Gabrielle mengenal adik Jeremiah, dia kan pernah datang ke rumahnya. Dahiku mengerut lagi, kali ini lebih dalam. Aku belum pernah masuk ke rumah Jeremiah. Dia melarangku masuk. Kenapa? Aku sendiri tak tahu.
“Aku sudah mendapat alamatnya,” kata Gabrielle, menunjukkan salah satu pesan yang baru masuk. Mengangguk, aku memindahkan kopling, menginjak gas dan membawa mobil menuju rumah Jeremiah. Di tengah jalan menuju rumahnya—yang rasanya seperti berada di antah-barantah—Jeremiah menelepon.
“Halo?” kataku.
“Fran, beli bahan makanan untuk beberapa hari ke supermarket terdekat.” Suaranya terdengar lebih tenang, meski kasar sekali.
“Kenapa?”
“Tak usah banyak tanya! Lakukan—shit,” dia menarik napas, “sori, aku tak bermaksud membentakmu. Aku hanya sedikit stress. Dengar, kita akan bicara nanti. Bisakah kau beli bahan makanan?”
Sebelum aku bisa menjawab, Jeremiah langsung menutup teleponnya. Gabrielle memandangku dengan dahi mengerut, tapi tidak mengatakan apa-apa. Membasahi bibirku, aku memutar setir untuk kembali lagi ke belakang, dimana kami sudah melewati supermarket sekitar tiga kilometer lalu.
“Dia tak akan apa-apa, kan?” Gabrielle bertanya padaku, mendorong troli sementara aku memasukkan bahan makanan dengan asal.
Aku mendesah, menggeleng. “Semoga saja.”
Cody pernah menghilang selama seminggu lebih tanpa kabar. Aku mencoba menghubunginya sebisaku. Dia tak pernah menghilang sebelumnya, jadi aku yakin bahwa kejadian hari ini juga pasti sama buruknya dengan waktu itu.
“Boleh aku minta ini?” Gabrielle menarik makanan kecil dari rak, kemudian menoleh padaku dengan penuh harap.
“Gabrielle, makanan seperti itu tak sehat. Apa kau tahu berapa banyak bumbu penyedap yang ada di dalamnya?” kataku, menaikan alis.
“Aku tahu, tapi rasanya enak. Eleanor tidak melarangku memakannya.”
“Itu karena Eleanor bukan Ayahmu,” balasku memutar bola mata, kemudian dahiku mengerut. “Eleanor?”
“Adiknya Jeremiah.”
“Oh,” kataku lagi. Gabrielle meletakkan kembali snack itu sambil cemberut, membuatku tersenyum kecil. “Ok, kau bisa makan, tapi cuma satu buah.”
Wajahnya kembali cerah, mengambil snack itu kemudian meletakkannya ke troli. “Aku boleh minta coklat?”
“Boleh, tapi hanya satu.”
Senyumannya semakin lebar, kemudian dengan girang anak muda itu mendorong troli ke rak makanan, memilih snack yang dia inginkan sementara aku mencari makanan segar ke sekitar. Otakku langsung berputar untuk memasak makanan apa yang pas bagi orang sakit. “Udang, brokoli, tuna, cumi, kentang, wortel, bawang,” gumamku sambil memasukkan semua makanan itu ke troli.
Setelah selesai, kami membayar dan kembali masuk ke dalam mobil, melanjutkan perjalanan kami yang tertunda. Gabrielle mengunyah kripik kentangnya, melihat ke jendela, bungkusan snack super besar berada di pangkuannya. Aku hanya mampu geleng-geleng kepala melihat kejeniusannya. Aku memang bilang satu, dan dia memilih satu bungkus yang edisi jumbo.
“Apa Jeremiah benar tinggal di daerah ini?” Gabrielle bertanya, mengerutkan dahinya.
“Alamatnya tertulis seperti itu.”
“Tapi ini hutan belantara di gunung.”
Ya, aku tahu, pikirku. Aku tahu kecemasan Gabrielle karena rumah Jeremiah belum juga kelihatan meski kami sudah berbelok dan menaiki gunung. Aku juga sempat bertanya-tanya apa benar Jeremiah tinggal di tempat seperti ini? Gunung ini lebih cocok dijadikan tempat kemping daripada tempat tinggal. Apalagi, aku tak menemukan ada satupun mobil atau rumah yang bisa kami tanyai arah, jadi aku hanya mampu mengendarai mobil kami untuk mengikuti jalan yang ada.
“Itu,” Gabrielle menunjuk papan di sebelah kanan kami. “Lake House.”
Mobil kami melewati tanda rapuh tapi juga masih kokoh yang berada di pinggir jalan. Ban mobil berkelotakkan ketika melewati bebatuan kerikil dan jalan setapak kecil yang hanya mampu dilewati oleh satu mobil. Di sisi kiri kanan kami terdapat pohon pinus dan cemara yang berdiri tinggi, menutupi cahaya matahari yang masuk ke dalam.
“Whoa,” Gabrielle terkagum, lupa sama sekali soal snacknya begitu kami melewati burung hantu yang memelototinya.
Aku memperlambat laju mobil ketika terjadi guncangan saat melewati gundukan tinggi dan juga lumpur. Mobilku sama sekali tak cocok dengan medan yang seperti ini, karena modelnya terlalu rendah. Pantas saja Jeremiah lebih memilih Hummer.
“Itu rumahnya?” Gabrielle mencondongkan tubuh ke depan, melepas sabuk pengamannya.
Di depan sana terdapat gubuk besar yang berlatar belakang pegunungan dan juga pepohonan tinggi, dipagari oleh pagar kayu yang luas dan jauh sekali dari lapangan kosong yang basah. Aku bisa melihat mobil Cody terparkir di lapangan, sebuah mobil lain bertipe BMW dan juga Hummer Jeremiah. Tidak salah lagi, ini pastilah rumah Jeremiah.
“Dia punya danau pribadi!” kata Gabrielle bersemangat, membuka kaca jendela untuk melihat danau yang berkilau tertimpa cahaya matahari, berada tepat di depan rumah Jeremiah dengan sebuah dermaga kayu. Aku bisa melihat ada dua perahu kecil terparkir di pinggirnya.
Memarkirkan mobilku di samping mobil Cody, Gabrielle segera melompat, hendak berlari menuju danau—dan mungkin melompat ke dalamnya—andai saja dia tak melihat Jeremiah yang membuka pintu dan keluar dengan seorang pria tinggi berpakaian putih. Gabrielle langsung memutar arah dan berlari ke arahnya.
“Dad!” Gabrielle berteriak, melompat memeluknya.
Jeremiah terlihat terkejut, tapi dengan cepat bereaksi dengan menangkap Gabrielle dan memeluknya, nyaris mengangkat kakinya dari tanah.
“Dad?” pria di dekat mereka tampak geli. “Aku tak tahu kalau kau punya anak sebesar ini.”
“Kalau kau iri, sebaiknya kau cepat menikah, Nathan,” balasnya, membuat pria itu memutar bola matanya.
Grumpy Jeremiah sama sekali tidak menarik,” kata pria itu lagi, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeansnya. “Oh, halo, namaku Nathan.” Pria itu tersenyum padaku, mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya, memperkenalkan diriku sendiri.
“Cody tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan, stress, kurang tidur, kekurangan gizi dan terlalu banyak bekerja,” Nathan menoleh pada Jeremiah. “Bila kau bisa memaksanya makan teratur dan tidak membiarkannya terlalu lelah, aku yakin kondisinya akan kembali seperti semula. Aku sudah meninggalkan obat di dekat tempat tidurnya. Suhu tubuhnya akan kembali normal bila dia tidur dalam keadaan hangat.”
Oh, ternyata dia seorang dokter.
“Kau akan datang lagi kan?” Jeremiah menatapnya penuh harap.
“Pasti. Aku pergi dulu. Bila ada apa-apa, kau bisa menghubungiku.” Pria itu memberikan senyuman kecil pada Gabrielle dan anggukan sopan padaku, kemudian menuju mobil BMW-nya.
“Aku suka padanya,” kata Gabrielle tiba-tiba.
Jeremiah tersenyum kecil. “Aku belum pernah menemukan orang yang bilang benci padanya.”
Kami bertiga memasukkan bahan makanan dari mobil, mengorganisirinya ke dapur Jeremiah. Aku hanya mampu menganga takjub melihat seberapa besar rumahnya Jeremiah dari dalam. Dari luar, rumah itu hanya tampak seperti gubuk biasa. Tapi dalamnya besar sekali.
Di ruangan depan terdapat sofa empuk beserta dengan sebuah perapian besar yang sekarang menyala walau sudah siang. Satu set peralatan elektronik terletak tak jauh dari tempat itu beserta dengan lemari kaca yang memajang beberapa piagam penghargaan sekaligus juga foto dan buku-buku tebal. Di belakangnya ada hutan kecil dengan sebuah pohon menjalar kecil dengan batang kokoh dan seekor koala menggantung di tempat itu.
Gabrielle memandangi koala itu seperti terhipnotis. “Boleh aku pegang?”
Jeremiah tertawa kecil. “Tentu. Dia tak berbahaya.” Kemudian dia mendekati Gabrielle, mengambil koala itu dan memberikannya pada Gabrielle. Gabrielle menggendongnya dengan hati-hati, tampak puas sekaligus juga senang. “Kalau kau sudah puas menggendongnya, kembalikan lagi ke pohon. Kita tak ingin dia berkeliaran.”
Gabrielle mengangguk, lalu disibukkan dengan mengelus-elus bulunya.
“Kau keberatan membuat makanan?” tanyanya padaku, melangkah menuju dapur yang berada di belakang, menuruni tangga kayu yang berderit.
“Tidak, tapi aku harus menyusun belanjaan hari ini. Kulkas?”
Lalu Jeremiah kembali menjelaskan peralatan dapurnya. Dimana aku bisa memasak, mengambil bahan makanan, dimana piring, bagaimana mencuci piring, oven dan lain sebagainya. Untuk seorang pria bisnis, dia punya persediaan dapur yang lengkap sekali dan sudah terorganisir.
“Cody sering memasak di sini, jadi dia menyusun semuanya. Kalau ada apa-apa, kau bisa memanggilku,” katanya, mengusap wajahnya sambil menghela napas.
“Dia akan baik-baik saja, Jeremiah,” kataku.
Dia mengangguk, lalu keluar dari dapur untuk melihat Gabrielle. Setelah menyusun seluruh bahan makanan ke tempatnya dan menyisakkan beberapa bahan makanan yang akan kubuat hari ini, aku memutuskan untuk mengecek Jeremiah karena rumah sunyi sekali—bahkan aku tak mendengar suara Gabrielle.
Ternyata Jeremiah tertidur di ruang depan. Posisinya sama persis saat dia tidur di kamarku waktu itu. Kali ini dia tampak lebih berantakan. Aku yakin dia pasti lelah sekali. Pakaiannya masih sama dengan yang dia pakai tadi sewaktu di pesta.
Takut dia kedinginan, aku memutuskan naik ke atas, mencari selimut. Aku melihat Cody tidur dengan selimut menutupi tubuhnya dari leher sampai ke kaki dengan selimut biru tebal. Wajahnya tampak pucat sekali. Tidak menemukan apa-apa di tempat itu, aku mencari ke kamar lain yang ternyata adalah kamar Jeremiah.
Gabrielle tidur di atas tempat tidur, bergelung nyaman di bawah selimut hijau nyaman. Tidurnya tadi terganggu, pantas saja dia tidur sekarang. Melihat sekitar, aku memerhatikan betapa kerennya kamar Jeremiah. Kamar ini tampak modern dengan dinding batu. Sama seperti di bawah, ada perapian beberapa meter di depan tempat tidur. AC dan penghangat ruangan tergantung di atas jendela kaca geser yang menembus ke balkon kamar. Sebuah gorden ungu pucat menyibak sedikit, memperlihatkan pemandangan danau berkilauan yang ada di luar. Di tengah ruangan ada sebuah lemari besar dua arah yang penuh terisi buku-buku. Sebuah meja kerja lengkap dengan peralatan kantor terletak manis di dekat dinding. Sebuah pintu yang aku yakini menembus ke kamar mandi terletak di sisi satunya. Di dinding dekat meja kerjanya ada sebuah figura besar terbuat dari kaca yang tertempel oleh begitu banyak foto-foto, beserta dengan tanggal-tanggalnya. Foto-foto itu penuh dengan momen yang begitu berharga. Tapi yang membuatku terkesan adalah foto yang berada tepat di atas tempat tidur.
Foto Cody dan Jeremiah.
Mereka tampak masih begitu muda. Aku bisa melihat Cody, mengepalkan salah satu tinjunya sementara yang satu lagi memegang medali emas. Rambutnya terlihat lebih panjang, basah dan menempel di dahi dan pipinya. Wajahnya tampak begitu bahagia dan puas, meski berkeringat. Jeremiah ada di sampingnya, memegang piala di tangannya dan tangan yang lain merangkul bahu Cody. Di piala itu tertulis “Juara I Youth Romance Award IX”. Ekspresi wajahnya tak kalah dengan Cody: bahagia, bangga, dan puas.
Melihat foto itu, aku yakin hubungan mereka begitu dekat. Aku yakin tak pernah ada orang yang akan menempel foto sahabatnya besar-besar di kamarnya. Keberadaan Cody pasti berarti sekali bagi Jeremiah. Aku ingat saat Cody marah pada Jeremiah, Jeremiah tampak tak puas menjalani harinya dan selalu mengeluh mengenai kebosanannya. Kupikir, itu hanya pura-pura, tingkah yang terlalu kekanak-kanakan. Tapi, setelah melihat apa yang terjadi kemarin saat Jeremiah memeluk Cody dan mengucapkan selamat ulang tahun, serta hari ini saat dia panik karena Cody yang sakit, aku yakin tak akan ada yang menggantikan posisi Cody—apapun yang terjadi.
Dan entah mengapa, hal itu membuatku… merasa aneh…
Cody tak akan pernah tergantikan. Itu memang benar. Lalu, kenapa aku merasa tidak menerimanya?
“Apa yang kau pikirkan, Fran?” gumamku, menggetok kepalaku sendiri. Sambil menghela napas, aku menuju lemari, mengambil selimut coklat dari dasar lemari kemudian turun ke bawah. Jeremiah masih tidur dengan posisi yang sama. Setelah menyelimutinya, aku kembali ke dapur dan memasak.
Memasak akan membuatku menenangkan pikiranku.

***

GABRIELLE(POV)
Suhu dingin di kamar Remi membuatku terbangun. Seluruh tubuhku merinding, meski aku sudah memakai selimut, aku tetap saja merasa dingin. Musim gugur yang mendekati musim dingin di pegunungan benar-benar parah sekali. Tempat ini lebih dingin daripada di tempat biasa.
Remi memang bilang kalau aku tak bisa tidur dengan Cody, tapi aku kedinginan dan masih mengantuk. Cody tak akan keberatan bila aku tidur dengannya. Menyingkirkan selimut, aku turun perlahan, merasakan telapak kakiku menyentuh lantai kayu yang dingin.
Aku merinding lagi, keluar dari kamar Remi menuju kamar Cody, yang jauh lebih hangat. Sepertinya, Remi lupa menyalakan pemanas ruangan. Perlahan, aku menyelip masuk ke dalam selimut Cody, yang luar biasa hangat. Tersenyum, aku kembali menutup mata dan tidur dengan nyenyak.
Aku terbangun tiga jam kemudian dengan matahari sudah tidak lagi secerah. Sendirian. Cody pastilah sudah bangun. Menguap lebar, aku meregangkan tubuhku, kemudian turun ke bawah dengan energi baru.
“Mana Cody?” tanyaku pada Fran, yang memerhatikan koala yang saat ini memakan dedaunan di dekatnya.
“Tadi, aku lihat dia di danau,” katanya. “Dan Jeremiah ada di kamarnya, mandi.”
“Aku mau menyusul Cody.”
“Jangan lupa pakai mantelmu,” Fran mengangguk, kembali mengalihkan perhatiannya pada koala itu.
Fran memang tipe ayah yang tidak mengekang, dan itu yang kusuka darinya—selain perhatian dan rasa cintanya. Dia memberikanku kebebasan untuk melakukan hal yang kusukai asal aku bertanggung jawab. Bukan berarti aku mencicipi semua kebebasanku. Tidak. Aku tahu batas kemampuanku dengan baik. Aku tak suka pesta dan keramaian—kecuali bila aku bersama dengan orang yang benar-benar bisa menjagaku—dan bisa kupastikan bahwa aku tak akan pernah lagi ke pesta remaja.
Mengingat hal itu membuatku ingin muntah. Kedua tanganku secara otomatis memegang bahuku. Aku tak ingin mengingatnya. Akan lebih mudah bagiku melupakannya andai saja aku tak merasakannya.
“Gabrielle, kau baik-baik saja?” Fran bertanya, mengerutkan dahi.
Aku mengerjap, menelan ludah. “Ya. Aku baik-baik saja,” kataku, lalu cepat-cepat mengambil mantelku dan keluar dari rumah. Fran masih memandangiku dengan cemas meski aku sudah turun dari undakan dan berlari melewati lapangan berlumpur sambil memakai mantelku.
Cody ada di dermaga. Dia menoleh padaku begitu aku berlari ke dekatnya dan duduk di sampingnya. Danau ini jadi jauh lebih indah dipandangi dari dekat. Ketinggian dermaga sangat rendah, sehingga kaki Cody nyaris masuk ke dalam danau. Pohon-pohon dataran tinggi mengelilingi pinggiran danau. Sebuah gunung menjulang tinggi di belakangnya.
“Bagaimana tidurmu?” tanya Cody setelah diam lama sekali.
“Nyenyak,” jawabku, menoleh padanya. Cody tidak memiliki ekspresi, hanya memandang ke depan. “Kau?”
Dia tak menjawab dan aku tak memaksanya untuk bicara. Dia orang dewasa, dia punya masalahnya sendiri. Dan dia pasti bisa menyelesaikannya sendiri.
“Dad bilang kalau kau jago kick boxing,” kataku lagi, setelah diam beberapa menit. Aku tak tahu apakah membicarakan masalahku akan membuat beban Cody semakin besar atau tidak, tapi satu-satunya orang yang bisa mencerna masalah ini tanpa harus melibatkan emosi hanya Cody. Cody, lagi-lagi, tak menjawab. “Bisa ajari aku kick boxing?”
Dahi Cody mengerut sedikit, melirikku dari sudut matanya. “Apa ada orang yang memukulmu?”
Dahiku mengerut, melihat telapak tanganku. “Tidak,” gumamku.
“Apa ada orang yang menyentuhmu?”
Aku menegang. Tubuhku merinding dalam sekejap.
“Kapan?” Cody bertanya lagi, kali ini perhatiannya terpusat padaku.
Aku menelan ludah. “Aku—” Lalu mengingat kejadian di pesta itu, saat aku menolak minum dari seseorang, kemudian mereka marah dan menarikku ke kamar. “Aku tak ingin mengingatnya,” gumamku, menutup mataku. Suaraku bergetar.
Andai saja mereka tidak dalam keadaan mabuk, aku tak mungkin bisa kabur.
Jemari Cody yang dingin mengangkat wajahku, lalu dia menghapus air mataku, yang tak kusangka jatuh. Tubuhku gemetar ketakutan.
“Tidak apa-apa, Gabrielle. Aku akan mengajarimu,” katanya dengan senyuman menenangkan.
“Aku tak menyangka kalau mereka akan melakukan hal seperti itu. Mereka masih—”
Cody memelukku erat-erat. “Kau aman sekarang, Gabrielle dan akan kupastikan kau bisa menjaga dirimu sendiri. Semua akan baik-baik saja.”
Aku mengangguk dalam diam, merasa lebih baik karena bisa menceritakan hal ini pada seseorang.
“Aku yakin kau belum mengatakan apapun pada Remi dan Fran,” kata Cody, menangkup wajahku, kembali memberi senyum menenangkan. Aku mengangguk algi. Jujur saja, aku takut memberi tahu Jeremiah ataupun Fran. Mereka sudah melarangku pergi ke pesta dan aku melanggarnya. Ini hukuman yang kutanggung sendiri karena melarang nasihat mereka. Aku pantas mendapatkannya.
“Bagus. Jangan katakan apapun pada mereka berdua. Kita tak ingin mereka melakukan sesuatu pada anak-anak itu. Walau bagaimana pun mereka masih kecil. Di otak mereka hanya terbagi dua kategori: keren dan tak keren.” Dia memutar bola matanya. “Dan kau adalah satu dari sedikit anak kecil yang tak melihat itu. Kau melihat lebih jauh dari sekedar keren. Kau melihat masa depan, apa yang terbaik saat kau melakukan ini dan apa yang tidak. Yang kuinginkan, Gabrielle, adalah jangan sampai kau menjadi seperti mereka. Kau mengerti?”
Aku mengangguk. “Apa yang kau lakukan juga seperti itu saat muda?”
“Aku dan Remi adalah dua orang pemuda paling bodoh,” jawabnya, tertawa kecil. “Tapi, aku tak menyesalinya, karena ada hal-hal yang bisa dilihat selain buku.”
Aku mengerjap bingung. “Bukankah buku lebih banyak memberi ilmu?”
“Buku tidak punya perasaan, Gabrielle. Dia hanya memberikanmu pilihan, sama seperti takdir, tapi hidupmu hanya kau menjalaninya. Dan kau punya perasaan. Mungkin, menurut buku, belajar keluar negeri akan jadi pilihan terbaik, tapi bila kau harus meninggalkan kedua orang tuamu yang sakit, kau tak akan melakukannya.”
Perkataan Cody membuatku tertegun. Fran benar. Cody memang tipe pemikir. Dia tak banyak bicara, dan lebih mudah baginya mengamati sekitarnya. Dia berbeda dengan Remiyang bertindak berdasarkan perasaan—yang main hajar sana, hajar sini. Mungkin, itu sebabnya kedua orang ini menempel terus seperti perangko dan amplop.
“Kau bisa main ski?” tanyanya. Aku menggeleng. “Kalau begitu natal nanti kau datang lagi kemari. Danau ini biasanya membeku. Aku dan Remi biasanya berski berdua. Tapi, kurasa kalian bisa ikutan tahun ini. Aku dan Remi akan mengajarimu main.”
Aku tak keberatan mempelajari hal baru, jadi aku mengangguk bersemangat. Selama ini aku iri melihat anak-anak lain bisa bermain ski dengan sepatu luncur mereka sedangkan aku hanya melihat mereka bermain di dalam rumah karena aku sendirian.
Tapi kali ini tidak. Aku punya Fran. Aku punya Remi. Dan sekarang, aku punya Cody.
“Oh, kau mau lihat rumah pohon?”
Kami pun bangkit, mencari rumah pohon yang dibuat oleh mereka berdua. Cody bercerita kalau saat anak-anak mereka tak punya rumah pohon, jadi untuk mewujudkan hal itu, mereka pun membuat rumah pohon mereka sendiri.
Rumah pohon Cody letaknya jauh sekali di dalam hutan. Aku sering tergelincir, jatuh dan tergores oleh dedaunan yang menghalangi jalan. Tapi berhasil mencapai rumah pohon itu. rumah pohonnya ternyata besar sekali. Cody bilang di sana ada tempat tidur dan peralatan masak sederhana, yang biasanya mereka pakai kalau musim panas tiba untuk kamping.
“Sebenarnya, di puncak sana ada taman liar dan bila malam tiba ada banyak sekali bintang yang terlihat,” katanya sewaktu kami turun kembali. “Tapi, dalam musim seperti ini, berbahaya sekali untuk mendaki karena medannya basah.”
Aku mengangguk, berkeringat dan terengah. Cody menertawakanku, menepuk bahuku dan bilang kalau aku butuh banyak olahraga. Cody menunjukkan beberapa gerakan tinjunya yang mantap sekali. Ketika dia meninju udara, aku bisa merasakan kalau tinjunya sangat mantap dan cepat.
Sewaktu kami pulang, Remi dan Fran sudah menunggu kami. Remi tersenyum puas dan Fran terlihat lega.
“Aku yakin kau pasti menunjukkannya rumah pohon kita,” kata Remi, nyengir lebar.
“Dia butuh olahraga,” kata Cody, melepas sepatunya. Dahinya mengerut melihat koala yang menggantung di pohon. “Koala, Remi?”
Remi mendengus. “River mengirimnya padaku sebagai hadiah ulang tahun.”
“Kupikir dia mengirim kanguru,” kata Cody lagi.
“Oh, kanguru sialan itu sudah kukirim ke kebun binatang setelah dia nyaris meninjuku,” katanya. “Dan, kau tahu, aku menamakan koala ini River.”
Cody memutar bola matanya. “Dia tak akan senang.”
“Siapa yang peduli,” gumam Remi.
“Aku mau mandi,” kata Cody, lalu naik ke kamarnya.
Remi menunduk, tersenyum padaku, lalu mengacak rambutku dengan puas. “Terima kasih, Gabrielle. Kau membuatnya riang kembali.”
Aku kan tak melakukan apapun.

***

Sempit!
Malam ini, aku tidur di antara dua pria besar: Remi dan Fran. Remi bilang kalau Cody tak bisa ditemani oleh orang lain karena dia akan meninju orang yang tidur di sampingnya. Tidak ingin ada orang yang masuk rumah sakit, maka kami pun mengabulkan permintaan konyol Cody.
Masalahnya, akulah yang terjepit di tengah-tengah.
Oh, tenang saja. Fran tidak masalah. Pria itu bisa tidur dalam satu posisi sepanjang malam tanpa gerakan berarti. Yang jadi masalah adalah Remi.
“Hmph!” kataku, nyaris terbatuk parah begitu Remi mengubah posisi menghadapiku, mengangkat tangannya yang besar dan mendarat ke tubuh kecilku. Bila dibandingkan dengannya, aku kecil sekali. Aku nyaris remuk di bawah tangan besar Remi yang berat.
Aku terperangkap. Tak bisa bergerak.
“Pa,” bisikku, menotol-notolkan tangan Fran. “Papa!”
Fran membuka matanya perlahan. “Hmmm?”
“Aku tak bisa bernapas,” bisikku lagi, berusaha menggerakkan tangan Remi agar menyingkir dari tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur bila dia menindihku begini? Aku bisa rata!
Kejeniusan otak Fran tampak mengalami perlambatan karena masih mengantuk. Matanya kosong beberapa detik, mencerna perkataanku, kemudian dia sadar dan segera duduk. Pelan-pelan, dia menyingkirkan tangan Remi ke sisi satunya. Aku segera melompat turun dan beringsut masuk ke sisi Fran yang satunya, sehingga Franlah yang kali ini ada di tengan tempat tidur.
“Gabrielle—”
“Aku tak mau tidur di dekat Remi,” kataku tegas, menarik selimutku ke bahu dan menutup mata.
Aku tak peduli bila Fran terkena serangan jantung karena tidur di dekat Remi, yang penting aku tidak harus menghabiskan malamku tidur digencet Remi.
Butuh waktu lama bagi Fran untuk menerima keadaan sebelum akhirnya dia menyerah dan merebahkan tubuhnya.
Aku tak mengubah posisiku dan memaksa diri untuk tidur dan bangun keesokan paginya mencium bau roti panggang dan telur goreng dari bawah.
Tersenyum kecil, aku tahu kalau Fran sudah bangun seperti biasa.
Tapi, ternyata tidak.
Ketika aku bangun, Fran masih tidur bersama dengan Remi, tepat dipelukannya Remi.
Salah satu lengan Remi memeluk pinggang Fran, sementara lengan yang lain menopang kepala Fran. Fran sendiri bersandar dengan nyaman di lengan Remi, tidur seperti bayi.
Mereka seperti pengantin baru.
Dan aku menghabiskan malamku bersama mereka yang mesra begini.
Eeewww. Aku akan minta Cody tidur bersamaku malam ini.
Aku keluar dari kamar mereka, tidak berniat membangunkan mereka.
Lalu kembali lagi ke dalam, membawa ponselku dan mengambil pose mesra mereka.

***

Medan, Rabu, 20 November 2013


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.