05
Carnival
==========
OLIVER(POV)
Baru sehari dan
aku sudah merindukan Gabrielle. Aneh memang. Aku tidak mengenalnya. Dia bahkan
tidak mau mengajakku bicara, bahkan membenciku setengah mati, tapi dia malah
terus menempel di kepalaku, seakan seluruh auranya mengalir dalam tiap tetes
darah yang berada di pembuluh darahku, suaranya masih bisa kudengar.
Suaranya yang
begitu indah.
Anak itu bisa
jadi seorang penyanyi suatu hari nanti.
Bangun dari
tempat tidur karena hanya ini yang bisa kulakukan, aku segera memakai pakaian
kasual nyaman dan keluar rumah. Kedua orang tuaku tak ada di rumah. Mereka
sedang ke rumah sakit, memastikan bahwa mata adikku baik-baik saja. Aku tadi
ingin ikut, tapi mereka bilang mereka akan segera kembali.
Bosan dengan
keadaan rumah yang sunyi, aku memilih berjalan kecil, nyaris berlari sambil
memasukkan kedua tanganku ke saku mantelku, merapatkan syalku sedikit. Udara
musim dingin di sini memang lebih dingin di kota lain karena daratannya lebih
tinggi. Aku bahkan tak akan terkejut bila salju akan turun dalam waktu tak terduga.
“Oliver!”
Aku menoleh,
mendapati sebuah mobil klasik berwarna merah berhenti di sebelahku. Bibirku
tersenyum lebar begitu melihat siapa orang yang mengendarai benda itu dan
orang-orang yang berada di dalamnya.
“Oliver! Kapan
kau kembali?”
Belum lagi aku
menjawab, ada lagi pertanyaan lain yang muncul dari dalam.
“Oliver! Lama
tak jumpa! Apa kabarmu, Sobat?”
“Hei, Oliver,
ada karnaval. Mau ikut, Buddy?”
Aku mendekat,
menuduk untuk melihat ke dalam. “Apa masih muat?”
“Dude, aku bisa
memasukkan gajah kalau aku mau dan kita masih bisa menampung kuda nil dan badak
di sini,” kata salah satu temanku yang menyetir. Dia Troy Dwell.
“Yeah, dalam
edisi mini,” balasku dan mereka terbahak.
“Masuklah
sebelum para wanita cantik di karnaval diambil orang!”
Aku mengerinyit,
mendesis jengkel sambil mendelik pada sahabatku satu lagi, yang menjerit tepat
di telingaku, padahal jaraknya hanya beberapa senti.
“Ben! Aku sudah
bilang kalau suaramu itu perlu dikecilkan!” kataku jengkel, balas menjerit
padanya. Troy mengerinyit lagi, menimpuk kepala Ben dari belakang. Dua temanku
yang lain terbahak di belakang. Ben cemberut, tapi segera tersenyum lagi
sewaktu aku membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Dude, ow!
Seberapa besar bokongmu?”
Begitu aku
masuk, kedua temanku yang lain mengeluh, saling geser dan sikut agar aku bisa
masuk ke dalam dan menutup pintu.
“Aneh, kupikir
kalian yang bertambah gemuk,” gumamku.
“Yeah,
satu-satunya bagian yang bertambah dalam beratmu hanya otakmu,” balas Troy.
Lalu mereka berteriak, “Gregory School!” bersama-sama untuk membuatku sebal.
Aku hanya mampu memutar bola mata. Mereka tak berubah, masih saja bodoh dan
gila.
Selama
perjalanan kami mengobrol sambil bercanda dan saling sikut di belakang sini. Di
sampingku adalah Jimmy Clawter. Dia pemuda berambut emas keriting, bertubuh
tinggi dengan aksen yang aneh tiap kali dia berbicara. Di sebelahnya adalah
sahabatnya sejak kecil, Noah Green. Noah jauh lebih tinggi dari kami semua dan
dia lebih berotot, nyaris menyembul keluar. Tingginya juga cukup mengerikan padahal
dia masih berusia 17 tahun—186 cm! Noah sangat tenang, dengan rambut
bergelombang dan mata hijau pucat. Di bagian setir, adalah Troy Dwell—si bad boy luar biasa. Rambut coklat
gelapnya berpotongan pendek dengan postur tubuh model. Matanya berwarna abu-abu,
nyaris sama pucatnya dengan mata kucing jadi kadang bisa sangat menyeramkan
memandang langsung matanya. Dan di sebelahnya adalah Benjamin Wyall, si narsis
dengan gaya paling memalukan. Dia yang termuda, sekaligus juga yang paling
kecil. Kami sudah terbiasa dengan suaranya yang luar biasa nyaring dan tubuhnya
memang sedikit mengalami masalah pertumbuhan, bila aku bisa bilang. Rambutnya
berwarna pirang, lurus, jatuh di sekitar dahinya, membuatnya tampak seperti
boneka yang dipajang. Tubuhnya kecil, tidak terlalu bidang, tapi cukup menarik.
Kedua matanyalah yang sangat istimewa. Tidak seperti Troy, Ben memiliki mata
berwarna hijau di sebelah kanan dan biru di sebelah kiri. Creepy, but it suits him.
Sejak zaman dulu
kala, aku sudah berteman dengan mereka bereempat. Kami pertama kali bertemu
saat masih belum berdosa, dan mungkin akan masih berteman sampai kami mati
dengan penuh dosa. Bila bukan karena aku yang diterima di Gregory, mungkin aku
juga akan bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka berempat.
“Berapa lama kau
ada di sini, Dude? Sudah bertemu wanita cantik?” Troy bertanya.
Ben memutar bola
matanya, nyengir padaku. “Troy, dia gay.”
“Aku bi.” Aku
memperbaiki.
“Whatever.” Jimmy membalas dari
sebelahku. “Jadi, sudah menemukan incaran? Kudengar di Gregory ada banyak
sekali makhluk yang bisa kau jadikan kekasih. Apalagi kau bi.”
“Ada banyak ikan
di lautan,” tambah Noah.
Aku mendengus
begitu mereka terbahak dengan komentar Noah. “Aku belum tertarik.”
Ben
geleng-geleng kepala. “Ini tahun keduamu di Gregory dan kau masih belum
menemukan ada pria yang menarik?”
“Duh, Ben, aku
bi,” gerutuku. Ben melambai tak peduli, pertanda dia tak akan mendengar apapun.
“Belum ada yang menarik.”
“Bagaimana
mungkin belum ada yang menarik? Kau berada di Gregory, Dude,” Jimmy menghela
napas tak percaya. “Para gadis di sana cantiknya luar biasa.”
“Tidak bila
dibandingkan dengan Gabrielle,” gumamku.
“Holly Mother! Gabrielle siapa?”
Yeah, Ben.
Bahkan Jimmy saja tak bisa mendengar apa yang kukatakan dan kau bisa
mendengarku? Tak bisa dipercaya.
“Oh? Gabrielle?”
Troy menaikan alis di depan sana, tersenyum menyebalkan. “Ceritakan pada kami
siapa lady yang beruntung ini.”
“Dia seorang gantleman, playboy, thank you.” Aku
memutar bola mata dan Ben terbahak-bahak, berkata bahwa dia benar soal aku
adalah gay, meski aku bersusah payah memperbaiki bahwa aku bukan gay. Aku bi!
Aku tak hanya menyukai para pria, aku juga menyukai para wanita. Mereka yang
tidak menyukai para wanita dan hanya memilih dengan para pria benar-benar
membuang yang namanya nikmat dunia.
“Ada Ben, Noah
dan sekarang Gabrielle. Aku tak akan terkejut bila nanti akan muncul Michael,
Moses, Raphael dan antek-anteknya,” komentar Jimmy dan mereka terbahak lagi.
Aku tidak tertawa karena memang ada “Jeremiah” di sana.
“Jadi?” Troy
kembali mengalihkan pandangan, melihatku dari kaca spion.
“Well,” aku menoleh keluar jendela,
melihat sudah ada dimana kami tepatnya. Sepertinya sudah tidak jauh lagi karena
jalanan semakin padat dengan begitu banyak orang. “Dia tidak terlalu menyukaiku.”
“Apa yang sudah
kau lakukan padanya? Menciumnya?” Jimmy bertanya keheranan.
“Apa dia homophobic?” Ben ikut bertanya dengan
nada cemas.
“Aku tak
melakukan apapun, dan, Ben,” kataku
jengkel pada Ben, “aku bukan gay.”
“Bila seorang
pria menyukai pria, itu homo namanya,” balas Ben dan yang lainnya terbahak
lagi. Aku tak akan pernah menang melawan Ben. Tak pernah ada seorang pun yang
mampu melawan Ben dalam hal “berbicara”. Mungkin dia kecil, tapi dia bisa
sangat berbahaya.
“Kembali ke
topik. Bagaimana caranya kalian bertemu?” Jimmy bertanya penasaran.
“Really?” aku berkata tak percaya. “Sejak
kapan kalian jadi tertarik dengan masalah percintaanku?”
“Sejak kau
meninggalkan kami karena Gregory. Sekarang ceritakan pada kami siapa Gabrielle
ini!” Ben berteriak lagi, tampak tak sabar.
“Ok,” kataku dan
kutambahi dengan “woman” di belakang.
“Aku dengar itu,
Oli!” Ben mendesis jengkel.
Wow, pendengaran
Ben benar-benar luar biasa. “Jadi, uh… sebenarnya aku baru bertemu dengannya.
Kemarin. Kami satu kompartemen. Dia bersama Ayahnya untuk liburan di sini.”
“Kau bertemu
dengan calon mertua dan kekasihmu ada di sini?” Ben menutup mulutnya. Terlalu
berlebihan, seperti biasa. Aku tak menanggapinya. Tak ada yang mau menanggapi
Ben, jadi aku melanjutkan ceritaku.
“Dia sepertinya
tidak terlalu menyukaiku, begitu pula dengan Ayahnya yang satu lagi.”
“Ayahnya yang
satu lagi?” Noah berbicara, mengerutkan dahi. “Dia punya dua ayah?”
Dahiku juga ikut
mengerut. Aku tak tahu apa hubungan Jeremiah dan Fran, jadi aku tak berani
menanggapi, apalagi Ben kembali berteriak dengan tak percaya, “Oh me god!
Ayahnya gay!” sambil menutup mulutnya dengan terpesona.
“Well, kalau begitu bisa dibilang dia
bukan homophobic,” Jimmy melipat
tangan. “Kenapa dia bisa tidak menyukaimu?”
“Uh, mungkin
karena aku bilang dia cantik.”
Sedetik aku
mengatakan itu, mereka kembali terbahak.
“Dude, tak
pernah ada seorang pria yang mau dikatai cantik oleh orang yang tak
dikenalnya!” Ben berteriak, menimpuk kepalaku setelah dia melepas sabuknya.
“Kau bodoh! Kau membuat dia ketakutan tahu!”
“Aku tak tahu
kenapa aku bilang begitu,” kataku membela diri dari tangan Ben.
“Semuanya, kita
sudah sampai!” Troy berteriak untuk mengatasi suara tawa Jimmy, suara teriakan
Ben dan suaraku yang menggerutu tiap kali Ben memukulku.
Troy berhasil
menemukan tempat parkir. Letaknya jauh di ujung jalan, tapi setidaknya kosong.
Kami keluar dengan cepat, nyaris berkeringat dan puas mengambil napas dari
udara dingin. Ben masih belum puas memukulku. Dan karena Noah segera menariknya
ke sebelahnya, Ben segera tenang meski masih memberikan tinju mengancam padaku.
“Karena kau
bilang dia ada di kota terpencil seperti ini, apakah ada kemungkinan kalau dia
akan datang ke sini?” Jimmy menatapku, mengerutkan dahinya.
“Uh, entahlah.”
Aku tak terlalu yakin, meski aku berharap begitu.
“Kalaupun dia
datang, kita tak mungkin bisa menemukannya,” Troy berjalan di sebelahku. “Ada
banyak orang di sini.” Mau tak mau, aku setuju dengan apa yang dikatakan Troy.
Ben cemberut.
“Padahal aku ingin sekali bertemu dengan Gabrielle ini.”
Noah menepuk
bahunya dengan simpati. “Oli akan mengambil fotonya untuk kita.”
Kami berhasil
keluar dari tempat parkir dan sedang menuju jalanan tepat saat aku melihat
Gabrielle di depanku.
“Gabrielle...”
“Huh? Gabrielle?
Mana?”
Aku menelan
ludah, tidak mengalihkan pandanganku sedikitpun dari Gabrielle. Anak itu
berdiri di belakang kerumunan, mengenakan mantel berwarna coklat pucat dengan
topi kupluk di kepalanya. Entah bagaimana caranya aku bisa menemukannya, tapi
aku senang sekali bisa melihatnya lagi.
“Dude!” Troy
menyentakku kembali ke alam nyata. “Kalau kau tak segera membawa Gabrielle pada
kami, aku sendiri yang akan mencarinya.”
Aku mengalihkan
pandanganku kembali pada Gabrielle yang berdiri sendirian, seperti orang bingung.
Kemana Fran? Jeremiah? Kenapa mereka meninggalkannya sendirian di tempat
seperti ini? Bagaimana bila dia terinjak? Bagaimana bila ada seseorang yang
menculiknya? Menodainya? Aku ngeri sekali membayangkan hal itu.
“Uh, tunggu di
sini,” kataku dan tanpa menunggu jawaban, aku segera melangkah menuju
Gabrielle. Aku melewati beberapa orang, menabrak beberapa orang tanpa minta
maaf dan akhirnya mampu menjangkau Gabrielle.
“Gabrielle,”
kataku.
Anak itu
tersentak, waspada dalam sekejap. Tapi begitu dia menoleh padaku, dia kembali
menghela napas lega.
“Apa yang kau
lakukan di sini?” tanyaku.
Matanya mengedip
dan dengan polos dia memiringkan kepalanya sedikit. Seperti biasa, dia tak
mengatakan apapun.
“Mana Fran dan
Jeremiah?”
Dia menoleh ke
kerumunan, lalu kembali melihatku.
“Apa mereka
meninggalkanmu sendirian?”
Dia mengedip.
Aku sama sekali tak mengerti apa yang dia maksud.
“He’s so beautiful!” Aku melonjak,
mengerang jengkel pada Ben dan yang lainnya, yang rupanya sudah ada di dekat
kami. “He’s so cute! Adorable!”
Ben nyaris
seperti orang yang terkena serangan jantung melihat wajah Gabrielle. Jimmy
belum mampu menutup mulutnya. Troy sendiri tampak terkesan. Dan Noah, yeah, dia
hanya mengamati Gabrielle seakan Gabrielle adalah benda yang menarik.
Gabrielle mengerutkan
dahi dan Noah tersenyum kecil, berkata, “Kami teman-teman Oliver.”
“Ini Ben, Troy,
lalu Jimmy dan yang itu Noah,” kataku pada Gabrielle.
Gabrielle
mengangkat kedua bahunya, lalu memunggungi kami, untuk menoleh pada kerumunan
lagi.
“Hei, apa kau
baru saja mengabaikan kami?” Ben tersinggung. Dia tak pernah diabaikan
sebelumnya.
Gabrielle
membalikkan badannya lagi, menatap Ben sebentar, lalu kembali memunggunginya.
Rahang Ben jatuh, dan Jimmy beserta Troy dan Noah terbahak. Aku memilih tak
mengabaikan Ben yang memelototi mereka bertiga dan kembali bertanya pada
Gabrielle.
“Apa kau datang
sendiri kemari?”
Gabrielle
mendesah, menatapku dan menggeleng.
“Apa kau bersama
Fran?” Anggukan. “Jeremiah?” Anggukan lagi. “Dimana mereka sekarang?”
Gabrielle
memberi respon dengan melihat kerumunan kembali.
Dahiku mengerut
tak mengerti. “Apa mereka meninggalkanmu sendirian di sini?”
Gabrielle
menatapku sebentar, mengerutkan dahi, lalu memutar bola matanya.
“Idiot,” kata Noah.
Aku memelototi
Noah. Dia balas tersenyum padaku sebelum aku memberikan perhatianku lagi pada
Gabrielle. “Jadi kau sendirian sekarang?” Dia meresponku dengan memberi
ekspresi yang sama dengan yang sebelumnya. Noah tertawa kecil. “Berbahaya
sekali bagimu jalan-jalan sendirian di tempat seramai ini.”
Gabrielle
menatapku lagi, memberiku ekspresi—
“Aku sudah cukup besar menjaga diriku sendiri,”
kata Noah lagi.
“Noah,” aku memperingatkannya.
Noah tertawa
kecil. “Jadi, Gabrielle, kapan kedua orang tuamu kembali?” Gabrielle mengangkat
kedua bahunya. “Sori, sahabatku di sini memperlakukanmu seperti anak-anak,”
katanya dan Gabrielle mengerjap, lalu mengangkat kedua bahu lagi.
“Noah, apa sih
maksudmu?” Troy tersinggung.
“Sori, Dude,
tapi itu benar adanya,” Noah tertawa lagi. “Jadi, berapa usiamu, Gabrielle? 15?
14? Ah, 14. Tak terlalu muda.”
Gabrielle
mengerjap, mengerutkan dahi, lalu menatapku dengan keheranan.
“Aku bukan orang
aneh, Gabrielle,” kata Noah lagi, membuat perhatian Gabrielle beralih lagi
padanya. “Yep, aku bisa menduga apa yang ada di dalam pikiranmu.”
“Oh!” Ben
bertepuk tangan, kembali ceria. “Aku juga mau coba!” Lalu dia menyingkirkan
Noah dan menunduk pada Gabrielle. “Apa warna kesukaanku?”
Troy menepuk
dahinya dan Jimmy kembali terbahak.
“Ben, dia bukan
mainan!” gerutuku jengkel, lalu menarik Gabrielle ke sebelahku. “Bukan karena
dia tak mau bicara, dia tak bisa bicara. Dan jangan lakukan dia seperti itu
lagi. Dia manusia, Ben.”
Ben cemberut.
“Aku tak bermaksud begitu.”
“Lepaskan aku.”
Andai saja aku
tak pernah mendengar suaranya, aku tak yakin suara itu berasal darinya. Aku
menunduk pada Gabrielle, yang mengerutkan dahi dengan jengkel pada tangannya
yang kugenggam.
“Kau
menyakitiku,” katanya, menarik tangannya dari genggamanku.
“Oh,” kataku
gugup. “Sori.”
“Dia bicara,” Ben
berbisik lagi. “Suaramu bagus
sekali.”
“Idiot,” kata
Noah. Ben melotot padanya. “Apa? Aku cuma mengucapkan apa yang dipikirkan anak
itu padamu. Dan aku setuju padanya.”
“Really?” Ben mendengus.
“Idiot,” kata
Gabrielle, mengangguk setuju dan Ben menganga lagi. Troy dan Jimmy terbahak,
nyaris saja jatuh karena tertawa terus.
“Aku suka
padanya,” Troy geleng-geleng kepala, memegangi perutnya. Jimmy mengangguk
setuju, menepuk bahu Troy, lalu kembali tertawa.
“Dimana mereka
kalau begitu?” Aku menoleh pada Gabrielle. Gabrielle, sekali lagi, memberikan
lirikan pada kerumunan.
“Dude,” Noah
menepuk bahuku sambil geleng-geleng kepala. “Kau sudah tiga kali menanyakan hal
itu dan dia sudah tiga kali menjawab.” Aku memberi pandangan tak mengerti pada
Noah. “Mereka ada di kerumunan, sepertinya mereka meminta Gabrielle menunggu di
sini untuk membeli tiket.”
“Oh,” kataku
sambil mengerjap, menatap Gabrielle. “Apa itu benar?”
Gabrielle
mengangguk, lalu memutar bola mata.
“Oh, Oliver!”
Fran muncul dari
balik kerumunan, Jeremiah ada di sebelahnya, memeluk bahunya setelah salah satu
orang menabrak punggungnya. Aku menelan ludah begitu melihat pandangan Jeremiah
yang sama sekali tidak menyenangkan. Gabrielle segera melangkah ke arah mereka
dimana Jeremiah segera memberikan perlindungan padanya dengan tangan yang
satunya.
“Mr Cattermole,
Mr Huges,” kataku pada mereka berdua sambil mengangguk.
“Ini kebetulan
sekali,” kata Fran. “Dan aku sudah menyuruhku memanggilku Fran. Cattermole
terdengar tua sekali.” Jeremiah mendengus dan Fran menyikutnya.
“Mereka berdua hot,” bisik Ben di belakangku. “Terutama
yang tinggi.”
“Apa itu
teman-temanmu?” Fran bertanya lagi, menoleh pada teman-temanku yang balas
tersenyum. “Halo, aku Fran, ini Jeremiah.”
Teman-temanku
berbasa-basi. Mereka terlihat santai ketika berbicara pada Fran. Tapi, begitu
mereka menoleh pada Jeremiah, mereka nyaris menelan ludah. Yep, aku mengerti
perasaan mereka. Jeremiah sangat mengerikan, apalagi dengan pandangan tak
setujunya. Tapi, Ben tidak peduli. Anak itu benar-benar tak tahu kapan harus
menutup mulut.
“Mr Cattermole,
bolehkah kami ikut dalam kelompok kalian menonton karnaval?” dia bertanya
dengan mata berbinar.
“Hmph! Tidak,”
Jeremiah melipat tangannya.
“Jeremiah, be nice. Mereka masih anak-anak,” desis
Fran.
“Dengar,
Profesor, aku datang ke sini untuk bersenang-senang, bukannya menjadi
pengasuh,” kata Jeremiah dan Fran memutar bola matanya.
“Kami sudah
cukup besar untuk menjaga diri kami sendiri, terimakasih,” kata Noah.
Mata Jeremiah
menyipit berbahaya padanya dan Noah berdeham salah tingkah.
“Terserah
kalian, tapi bila terjadi sesuatu pada mereka, kau yang bertanggung-jawab,
Fran,” kata Jeremiah, lalu merangkul Gabrielle dan berjalan terlebih dahulu.
Fran menghela
napas. “Maafkan dia. Dia memang begitu,” katanya tersenyum kecil. “Kalian bisa
mengikut di belakang kami.”
Kami mengangguk
dalam diam dan Fran segera menyusul mereka berdua.
“Fiuh,” Troy
menyeka dahinya, “kurasa aku bisa berubah menjadi nerd di depannya.”
Noah sama sekali
tak menganggap hal ini lucu. “Dia tidak menyukaimu, Oli,” kata Noah. “Kurasa
dia tahu apa yang ada di dalam kepalamu, ya kan?”
Aku memilih
kabur, mengikuti keluarga kecil itu, tak ingin mengakui kebenaran.
***
Fran(POV)
Kami beradu
argumen sepanjang perjalanan menuju karnaval. Tiap kali aku buka mulut,
Jeremiah akan mendengus tak setuju dan Gabrielle memutar bola matanya. Akhirnya
aku memilih tutup mulut karena aku tahu tak ada satupun dari mereka yang ingin
mendengarku.
“Sori,” kata
Jeremiah setelah kami diam lama sekali. Gabrielle tak lagi ada di samping kami
berdua. Dia mengikuti Oliver dan teman-temannya untuk melihat arak-arakan yang
sudah mulai berjalan sepanjang jalan. Bunyi musik dan teriakan penonton
membahana menyambut acara hari ini. “Aku tak bermaksud kasar. Tapi aku memang
tak menyukai anak itu.”
Aku memijit
ujung hidungku dengan lelah. “Dia memang menyukai Gabrielle, tapi bukan berarti
dia akan menyakiti Gabrielle.”
“Aku terlalu
protektif, kurasa,” gumam Jeremiah.
“Aku tahu kau
peduli padanya, tapi dia juga butuh teman,” kataku.
Jeremiah
mengangguk setuju. “Tapi Oliver terlalu tua untuknya. Aku hanya ingin dia punya
teman seumurannya. Lagipula,” tambahnya lagi ketika aku hendak memotong,
“Oliver tinggal di asrama dan tidak bersekolah di tempat yang sama dengan
Gabrielle dan teman-temannya sendiri tinggal di sini. saat kita kembali, aku
tak ingin Gabrielle kesepian. Aku ingin Gabrielle punya teman yang ada di
dekatnya.”
Sekarang aku
mengerti maksudnya. “Kau benar. Gabrielle tak pernah membawa siapapun ke rumah.
Dia juga tak pernah membicarakan sekolahnya.”
Jeremiah
menatapku dengan meledek lalu menggeleng. “Kau harus memperhatikannya. Siapa
yang tahu dia berteman dengan siapa nanti.”
Arak-arakan
karnaval mulai ke dekat kami. Aku ternganga dan terpesona melihat betapa
serunya acara ini. Ada begitu banyak penampilan yang membuatku terkesan. Ada
dari mereka yang dibawa oleh gerobak dan ditarik dengan kuda, sementara di
atasnya ada banyak orang yang melambai. Di jalanan tak kalah seru, banyak
sekali yang beratraksi dengan melompat, menyemburkan api, berdansa,
berkeliling, memainkan musik dan entah apa lagi.
Acara semakin
seru begitu balon-balon udara bermunculan di udara dan arak-arakan semakin
besar dan riuh. Seluruh penonton tampak kagum dengan rancangan pohon buatan
menggunakan daun musim gugur, belum lagi ada banyak sekali bunga-bunga berbagai
macam warna yang terbuat dari dedaunan, lalu ada atraksi lompat tali dengan
sepuluh orang di dalamnya.
Kami bertepuk
tangan, tertawa begitu melihat salah satu pelaku pantomim yang terjatuh ketika
didorong oleh teman yang satunya sebelum akhirnya mereka berlarian tak karuan
karena ada kaki panjang yang mencoba untuk menendang mereka. Kurasa suaraku
bisa saja habis karena ini. Aku bertepuk tangan, berteriak seperti orang gila,
dan tertawa nyaris menangis melihat atraksi yang tak biasa ini.
Begitu
pertunjukan berakhir, kami memilih membeli crape
dan coklat panas di salah satu stan. Gabrielle sejak tadi hanya bersama
teman-teman Oliver, yang tampaknya sangat menyukainya. Mereka memainkan
permainan “Tebak Pikiran Gabrielle” tiap kali Gabrielle berekspresi, membuat
mereka tertawa terus-terusan. Meski Gabrielle tidak bicara, dia tampak
menikmati dirinya. Apalagi teman-teman Oliver sangat menyenangkan, mereka tak
terlihat seperti anak-anak kasar. Hanya sekelompok anak remaja yang hobi
tertawa.
“Idiot!” Mereka
beteriak bersamaan entah karena apa, lalu tertawa bersama, menunjuk-nunjuk
Oliver pada apapun itu yang dia lakukan.
Gabrielle
geleng-geleng kepala, menerima minumannya dari tangan Noah. Bibirku tersenyum
melihat apa yang mereka lakukan, dan begitu aku menoleh pada Jeremiah, aku
kaget melihat dia juga memberikan senyuman yang sama.
“Melihat mereka
aku jadi melihat diriku sendiri saat remaja,” katanya sambil geleng-geleng
kepala, meneguk kopinya.
“Aku jadi
khawatir dengan masa depan Gabrielle kalau dia menghabiskan waktu yang sama
seperti yang kau lakukan,” kataku.
“Hei, bukan
salahku kalau aku keren dan populer!” dia membela diri dan aku mendengus. “Tapi
masa itu sangat menyenangkan. Aku tak pernah menyesal. Aku memang menyesal
terhadap nilai-nilaiku yang merah seperti ikan salmon berdarah, tapi siapa yang
peduli. Aku menikmati hariku.”
“Aku
menghabiskan waktuku dengan belajar,” kataku terus-terang.
Jeremiah
memberikan ekspresi aneh. “Kau pastilah golongan nerd.”
“Maaf saja jika
aku nerd,” gerutuku.
Mengibaskan
tangannya, Jeremiah berkata, “Jangan khawatir, aku tak mengejekmu. Menurutku
itu keren. Cody selalu meninjuku bila aku berani berkata hal kasar mengenai nerd. Lagipula, aku sedikit kagum pada
kalian para nerd. Aku tak pernah
percaya kalian mampu menghabiskan waktu kalian di dalam perpustakaan dalam
keheningan daripada bergaul. Integritas kalian luar biasa.” Dia geleng-geleng
kepala.
“Itu memang hal
yang membosankan,” aku mengakui.
Jeremiah
tersenyum lagi, jenis senyuman playboy
menyebalkan. “Jadi, Nerd, apa yang
biasanya kau lakukan untuk menghabiskan waktu? Apa kau tak punya seseorang yang
kau taksir? Teman?”
Salah satu
tanganku menjangkau belakang leherku. “Uh, aku biasanya hanya berbicara bila
ada orang yang mengajakku mengobrol. Aku punya teman—beberapa. Tapi tidak ada
yang benar-benar dekat. Mengenai orang yang kutaksir… tidak, kurasa tak ada.”
“Kau pasti
bercanda kan? Kau cukup keren, kau tak mungkin tak punya cewek taksiran,” dia
geleng-geleng kepala. Wajahku memanas ketika dia bilang kata “keren” itu. “Ayolah,
mengaku saja. Aku sudah jadi temanmu. Kau tak perlu takut, aku tak akan
bergosip.”
“Tapi itu benar.
Aku tak pernah naksir seseorang.”
Jeremiah
mengerjap, memiringkan kepalanya sedikit. “Bagaimana saat kau kuliah?”
“Tidak ada.”
“Satupun?”
Aku menggeleng.
“Tidak ada.”
“Jangan bilang
kalau kau juga belum pernah ciuman.”
Aku mengerjap.
Wajahku memanas lagi dan mulut Jeremiah terbuka lebar.
“Oh my God!” Jeremiah terkaget-kaget.
“Kau belum pernah ciuman?” katanya tak percaya. Aku menggeleng lagi.
Pembicaraan ini benar-benar memalukan. Aku tak bangga karena belum pernah
ciuman, tapi bukan berarti aku juga kecewa. Memangnya siapa yang ingin
menempelkan bibirnya pada bibir yang berbeda? Bagaimana kalau kau tak tahu
mereka terkena HIV?
“Jadi kau masih
perjaka?”
Aku mengerang
jengkel, memukul dadanya dengan punggung tanganku. “Jeremiah!” Pembicaraan ini
benar-benar membuatku seperti orang bodoh. Apalagi Jeremiah tak bisa menjaga
suaranya sehingga beberapa orang menoleh pada kami, memberikan lirikan penuh
curiga.
“Aku tak
percaya! Astaga!” Jeremiah terbahak-bahak dan aku menggerutu. “Kau hidup selama
35 tahun dan belum pernah—hahaha. Aduh, perutku benar-benar sakit.”
Pria itu
terpingkal-pingkal, menunduk memegangi perutnya. Air matanya nyaris keluar
karena terbahak. Aku mengerang jengkel, memukul punggungnya untuk
menyadarkannya. Ini bukan pembicaraan yang biasanya dibicarakan pada temanmu
kan? Oh, benar, aku belum pernah berteman dengan baik sebelumnya dan rasanya
sangat menyebalkan. Aku jadi menyesal karena tak punya teman sebelum ini, jadi
aku tak pernah tahu bagaimana menanggapinya.
“Sori… hanya…
itu lucu sekali.” Dia geleng-geleng kepala, mengambil napas dalam-dalam untuk
menenangkan diri, masih tersenyum seperti orang bodoh. “Aku belum pernah
bertemu orang sepertimu. Astaga, perjaka,
dan kau belum pernah jatuh cinta. Tsk tsk tsk. Aku tak ragu kalau kau belum
pernah kencan sebelumnya.”
Karena Jeremiah
bisa menebaknya, jadi aku diam saja.
“Lalu, di usiamu
yang tua ini, apa kau tak berkeinginan punya pasangan?”
“Pekerjaanku
adalah pasanganku. Aku tak merasa—”
Lagi-lagi
Jeremiah mengibaskan tangannya. “Omong kosong,” katanya. “Kita akan cari orang
yang pas untukmu. Coba beritahu aku seperti apa gadis idamanmu.”
Aku mengerjap.
“Gadis idaman?”
Kali ini
Jeremiah yang mengerjap. “Oh my god!
Kau benar-benar polos! Apa kau tak pernah memikirkan wanita?” dan karena aku
merespon seperti orang bodoh, Jeremiah memukul dahinya sendiri. “Bung,
masalahmu benar-benar serius.”
“Tapi aku
baik-baik saja.”
“Bahkan Cody
yang seperti itu saja punya kencan dan kau tidak?”
Dia tidak mendengarkanku. Lalu setelah dia meletakan minumannya, menggosok
tangannya dengan serius, dia lalu menatapku dengan penuh konsentrasi. “Kita
akan mendapatkan pasangan untukmu.”
“Tapi—”
“Oh, kau tak
perlu takut. Ada banyak wanita untukmu.” Lagi-lagi Jeremiah tidak
mendengarkanku. “Aku akan membantumu mendapatkan wanita yang pas untukmu.
Jangan khawatir. Ini akan sangat menyenangkan. Aku tak akan membiarkanmu jomblo
seumur hidup.”
Dan aku hanya
mampu pasrah.
Kurasa, aku akan
masuk ke dalam masalah serius.
Benar-benar
serius.
Apalagi saat
Jeremiah bilang, “Aku akan merancang blind
date untukmu.”
“Apa?”
Shit. Aku mau mati saja.
***
Medan, 26 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar