RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 19 Oktober 2013

TBMB [05]



05
Carnival
==========

OLIVER(POV)
Baru sehari dan aku sudah merindukan Gabrielle. Aneh memang. Aku tidak mengenalnya. Dia bahkan tidak mau mengajakku bicara, bahkan membenciku setengah mati, tapi dia malah terus menempel di kepalaku, seakan seluruh auranya mengalir dalam tiap tetes darah yang berada di pembuluh darahku, suaranya masih bisa kudengar.
Suaranya yang begitu indah.
Anak itu bisa jadi seorang penyanyi suatu hari nanti.
Bangun dari tempat tidur karena hanya ini yang bisa kulakukan, aku segera memakai pakaian kasual nyaman dan keluar rumah. Kedua orang tuaku tak ada di rumah. Mereka sedang ke rumah sakit, memastikan bahwa mata adikku baik-baik saja. Aku tadi ingin ikut, tapi mereka bilang mereka akan segera kembali.
Bosan dengan keadaan rumah yang sunyi, aku memilih berjalan kecil, nyaris berlari sambil memasukkan kedua tanganku ke saku mantelku, merapatkan syalku sedikit. Udara musim dingin di sini memang lebih dingin di kota lain karena daratannya lebih tinggi. Aku bahkan tak akan terkejut bila salju akan turun dalam waktu tak terduga.
“Oliver!”
Aku menoleh, mendapati sebuah mobil klasik berwarna merah berhenti di sebelahku. Bibirku tersenyum lebar begitu melihat siapa orang yang mengendarai benda itu dan orang-orang yang berada di dalamnya.
“Oliver! Kapan kau kembali?”
Belum lagi aku menjawab, ada lagi pertanyaan lain yang muncul dari dalam.
“Oliver! Lama tak jumpa! Apa kabarmu, Sobat?”
“Hei, Oliver, ada karnaval. Mau ikut, Buddy?”
Aku mendekat, menuduk untuk melihat ke dalam. “Apa masih muat?”
“Dude, aku bisa memasukkan gajah kalau aku mau dan kita masih bisa menampung kuda nil dan badak di sini,” kata salah satu temanku yang menyetir. Dia Troy Dwell.
“Yeah, dalam edisi mini,” balasku dan mereka terbahak.
“Masuklah sebelum para wanita cantik di karnaval diambil orang!”
Aku mengerinyit, mendesis jengkel sambil mendelik pada sahabatku satu lagi, yang menjerit tepat di telingaku, padahal jaraknya hanya beberapa senti.
“Ben! Aku sudah bilang kalau suaramu itu perlu dikecilkan!” kataku jengkel, balas menjerit padanya. Troy mengerinyit lagi, menimpuk kepala Ben dari belakang. Dua temanku yang lain terbahak di belakang. Ben cemberut, tapi segera tersenyum lagi sewaktu aku membuka pintu dan masuk ke dalam.
“Dude, ow! Seberapa besar bokongmu?”
Begitu aku masuk, kedua temanku yang lain mengeluh, saling geser dan sikut agar aku bisa masuk ke dalam dan menutup pintu.
“Aneh, kupikir kalian yang bertambah gemuk,” gumamku.
“Yeah, satu-satunya bagian yang bertambah dalam beratmu hanya otakmu,” balas Troy. Lalu mereka berteriak, “Gregory School!” bersama-sama untuk membuatku sebal. Aku hanya mampu memutar bola mata. Mereka tak berubah, masih saja bodoh dan gila.
Selama perjalanan kami mengobrol sambil bercanda dan saling sikut di belakang sini. Di sampingku adalah Jimmy Clawter. Dia pemuda berambut emas keriting, bertubuh tinggi dengan aksen yang aneh tiap kali dia berbicara. Di sebelahnya adalah sahabatnya sejak kecil, Noah Green. Noah jauh lebih tinggi dari kami semua dan dia lebih berotot, nyaris menyembul keluar. Tingginya juga cukup mengerikan padahal dia masih berusia 17 tahun—186 cm! Noah sangat tenang, dengan rambut bergelombang dan mata hijau pucat. Di bagian setir, adalah Troy Dwell—si bad boy luar biasa. Rambut coklat gelapnya berpotongan pendek dengan postur tubuh model. Matanya berwarna abu-abu, nyaris sama pucatnya dengan mata kucing jadi kadang bisa sangat menyeramkan memandang langsung matanya. Dan di sebelahnya adalah Benjamin Wyall, si narsis dengan gaya paling memalukan. Dia yang termuda, sekaligus juga yang paling kecil. Kami sudah terbiasa dengan suaranya yang luar biasa nyaring dan tubuhnya memang sedikit mengalami masalah pertumbuhan, bila aku bisa bilang. Rambutnya berwarna pirang, lurus, jatuh di sekitar dahinya, membuatnya tampak seperti boneka yang dipajang. Tubuhnya kecil, tidak terlalu bidang, tapi cukup menarik. Kedua matanyalah yang sangat istimewa. Tidak seperti Troy, Ben memiliki mata berwarna hijau di sebelah kanan dan biru di sebelah kiri. Creepy, but it suits him.
Sejak zaman dulu kala, aku sudah berteman dengan mereka bereempat. Kami pertama kali bertemu saat masih belum berdosa, dan mungkin akan masih berteman sampai kami mati dengan penuh dosa. Bila bukan karena aku yang diterima di Gregory, mungkin aku juga akan bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka berempat.
“Berapa lama kau ada di sini, Dude? Sudah bertemu wanita cantik?” Troy bertanya.
Ben memutar bola matanya, nyengir padaku. “Troy, dia gay.”
“Aku bi.” Aku memperbaiki.
Whatever.” Jimmy membalas dari sebelahku. “Jadi, sudah menemukan incaran? Kudengar di Gregory ada banyak sekali makhluk yang bisa kau jadikan kekasih. Apalagi kau bi.”
“Ada banyak ikan di lautan,” tambah Noah.
Aku mendengus begitu mereka terbahak dengan komentar Noah. “Aku belum tertarik.”
Ben geleng-geleng kepala. “Ini tahun keduamu di Gregory dan kau masih belum menemukan ada pria yang menarik?”
“Duh, Ben, aku bi,” gerutuku. Ben melambai tak peduli, pertanda dia tak akan mendengar apapun. “Belum ada yang menarik.”
“Bagaimana mungkin belum ada yang menarik? Kau berada di Gregory, Dude,” Jimmy menghela napas tak percaya. “Para gadis di sana cantiknya luar biasa.”
“Tidak bila dibandingkan dengan Gabrielle,” gumamku.
Holly Mother! Gabrielle siapa?”
Yeah, Ben. Bahkan Jimmy saja tak bisa mendengar apa yang kukatakan dan kau bisa mendengarku? Tak bisa dipercaya.
“Oh? Gabrielle?” Troy menaikan alis di depan sana, tersenyum menyebalkan. “Ceritakan pada kami siapa lady yang beruntung ini.”
“Dia seorang gantleman, playboy, thank you.” Aku memutar bola mata dan Ben terbahak-bahak, berkata bahwa dia benar soal aku adalah gay, meski aku bersusah payah memperbaiki bahwa aku bukan gay. Aku bi! Aku tak hanya menyukai para pria, aku juga menyukai para wanita. Mereka yang tidak menyukai para wanita dan hanya memilih dengan para pria benar-benar membuang yang namanya nikmat dunia.
“Ada Ben, Noah dan sekarang Gabrielle. Aku tak akan terkejut bila nanti akan muncul Michael, Moses, Raphael dan antek-anteknya,” komentar Jimmy dan mereka terbahak lagi. Aku tidak tertawa karena memang ada “Jeremiah” di sana.
“Jadi?” Troy kembali mengalihkan pandangan, melihatku dari kaca spion.
Well,” aku menoleh keluar jendela, melihat sudah ada dimana kami tepatnya. Sepertinya sudah tidak jauh lagi karena jalanan semakin padat dengan begitu banyak orang. “Dia tidak terlalu menyukaiku.”
“Apa yang sudah kau lakukan padanya? Menciumnya?” Jimmy bertanya keheranan.
“Apa dia homophobic?” Ben ikut bertanya dengan nada cemas.
“Aku tak melakukan apapun, dan, Ben,” kataku jengkel pada Ben, “aku bukan gay.”
“Bila seorang pria menyukai pria, itu homo namanya,” balas Ben dan yang lainnya terbahak lagi. Aku tak akan pernah menang melawan Ben. Tak pernah ada seorang pun yang mampu melawan Ben dalam hal “berbicara”. Mungkin dia kecil, tapi dia bisa sangat berbahaya.
“Kembali ke topik. Bagaimana caranya kalian bertemu?” Jimmy bertanya penasaran.
Really?” aku berkata tak percaya. “Sejak kapan kalian jadi tertarik dengan masalah percintaanku?”
“Sejak kau meninggalkan kami karena Gregory. Sekarang ceritakan pada kami siapa Gabrielle ini!” Ben berteriak lagi, tampak tak sabar.
“Ok,” kataku dan kutambahi dengan “woman” di belakang.
“Aku dengar itu, Oli!” Ben mendesis jengkel.
Wow, pendengaran Ben benar-benar luar biasa. “Jadi, uh… sebenarnya aku baru bertemu dengannya. Kemarin. Kami satu kompartemen. Dia bersama Ayahnya untuk liburan di sini.”
“Kau bertemu dengan calon mertua dan kekasihmu ada di sini?” Ben menutup mulutnya. Terlalu berlebihan, seperti biasa. Aku tak menanggapinya. Tak ada yang mau menanggapi Ben, jadi aku melanjutkan ceritaku.
“Dia sepertinya tidak terlalu menyukaiku, begitu pula dengan Ayahnya yang satu lagi.”
“Ayahnya yang satu lagi?” Noah berbicara, mengerutkan dahi. “Dia punya dua ayah?”
Dahiku juga ikut mengerut. Aku tak tahu apa hubungan Jeremiah dan Fran, jadi aku tak berani menanggapi, apalagi Ben kembali berteriak dengan tak percaya, “Oh me god! Ayahnya gay!” sambil menutup mulutnya dengan terpesona.
Well, kalau begitu bisa dibilang dia bukan homophobic,” Jimmy melipat tangan. “Kenapa dia bisa tidak menyukaimu?”
“Uh, mungkin karena aku bilang dia cantik.”
Sedetik aku mengatakan itu, mereka kembali terbahak.
“Dude, tak pernah ada seorang pria yang mau dikatai cantik oleh orang yang tak dikenalnya!” Ben berteriak, menimpuk kepalaku setelah dia melepas sabuknya. “Kau bodoh! Kau membuat dia ketakutan tahu!”
“Aku tak tahu kenapa aku bilang begitu,” kataku membela diri dari tangan Ben.
“Semuanya, kita sudah sampai!” Troy berteriak untuk mengatasi suara tawa Jimmy, suara teriakan Ben dan suaraku yang menggerutu tiap kali Ben memukulku.
Troy berhasil menemukan tempat parkir. Letaknya jauh di ujung jalan, tapi setidaknya kosong. Kami keluar dengan cepat, nyaris berkeringat dan puas mengambil napas dari udara dingin. Ben masih belum puas memukulku. Dan karena Noah segera menariknya ke sebelahnya, Ben segera tenang meski masih memberikan tinju mengancam padaku.
“Karena kau bilang dia ada di kota terpencil seperti ini, apakah ada kemungkinan kalau dia akan datang ke sini?” Jimmy menatapku, mengerutkan dahinya.
“Uh, entahlah.” Aku tak terlalu yakin, meski aku berharap begitu.
“Kalaupun dia datang, kita tak mungkin bisa menemukannya,” Troy berjalan di sebelahku. “Ada banyak orang di sini.” Mau tak mau, aku setuju dengan apa yang dikatakan Troy.
Ben cemberut. “Padahal aku ingin sekali bertemu dengan Gabrielle ini.”
Noah menepuk bahunya dengan simpati. “Oli akan mengambil fotonya untuk kita.”
Kami berhasil keluar dari tempat parkir dan sedang menuju jalanan tepat saat aku melihat Gabrielle di depanku.
 “Gabrielle...”
“Huh? Gabrielle? Mana?”
Aku menelan ludah, tidak mengalihkan pandanganku sedikitpun dari Gabrielle. Anak itu berdiri di belakang kerumunan, mengenakan mantel berwarna coklat pucat dengan topi kupluk di kepalanya. Entah bagaimana caranya aku bisa menemukannya, tapi aku senang sekali bisa melihatnya lagi.
“Dude!” Troy menyentakku kembali ke alam nyata. “Kalau kau tak segera membawa Gabrielle pada kami, aku sendiri yang akan mencarinya.”
Aku mengalihkan pandanganku kembali pada Gabrielle yang berdiri sendirian, seperti orang bingung. Kemana Fran? Jeremiah? Kenapa mereka meninggalkannya sendirian di tempat seperti ini? Bagaimana bila dia terinjak? Bagaimana bila ada seseorang yang menculiknya? Menodainya? Aku ngeri sekali membayangkan hal itu.
“Uh, tunggu di sini,” kataku dan tanpa menunggu jawaban, aku segera melangkah menuju Gabrielle. Aku melewati beberapa orang, menabrak beberapa orang tanpa minta maaf dan akhirnya mampu menjangkau Gabrielle.
“Gabrielle,” kataku.
Anak itu tersentak, waspada dalam sekejap. Tapi begitu dia menoleh padaku, dia kembali menghela napas lega.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.
Matanya mengedip dan dengan polos dia memiringkan kepalanya sedikit. Seperti biasa, dia tak mengatakan apapun.
“Mana Fran dan Jeremiah?”
Dia menoleh ke kerumunan, lalu kembali melihatku.
“Apa mereka meninggalkanmu sendirian?”
Dia mengedip. Aku sama sekali tak mengerti apa yang dia maksud.
He’s so beautiful!” Aku melonjak, mengerang jengkel pada Ben dan yang lainnya, yang rupanya sudah ada di dekat kami. “He’s so cute! Adorable!”
Ben nyaris seperti orang yang terkena serangan jantung melihat wajah Gabrielle. Jimmy belum mampu menutup mulutnya. Troy sendiri tampak terkesan. Dan Noah, yeah, dia hanya mengamati Gabrielle seakan Gabrielle adalah benda yang menarik.
Gabrielle mengerutkan dahi dan Noah tersenyum kecil, berkata, “Kami teman-teman Oliver.”
“Ini Ben, Troy, lalu Jimmy dan yang itu Noah,” kataku pada Gabrielle.
Gabrielle mengangkat kedua bahunya, lalu memunggungi kami, untuk menoleh pada kerumunan lagi.
“Hei, apa kau baru saja mengabaikan kami?” Ben tersinggung. Dia tak pernah diabaikan sebelumnya.
Gabrielle membalikkan badannya lagi, menatap Ben sebentar, lalu kembali memunggunginya. Rahang Ben jatuh, dan Jimmy beserta Troy dan Noah terbahak. Aku memilih tak mengabaikan Ben yang memelototi mereka bertiga dan kembali bertanya pada Gabrielle.
“Apa kau datang sendiri kemari?”
Gabrielle mendesah, menatapku dan menggeleng.
“Apa kau bersama Fran?” Anggukan. “Jeremiah?” Anggukan lagi. “Dimana mereka sekarang?”
Gabrielle memberi respon dengan melihat kerumunan kembali.
Dahiku mengerut tak mengerti. “Apa mereka meninggalkanmu sendirian di sini?”
Gabrielle menatapku sebentar, mengerutkan dahi, lalu memutar bola matanya.
Idiot,” kata Noah.
Aku memelototi Noah. Dia balas tersenyum padaku sebelum aku memberikan perhatianku lagi pada Gabrielle. “Jadi kau sendirian sekarang?” Dia meresponku dengan memberi ekspresi yang sama dengan yang sebelumnya. Noah tertawa kecil. “Berbahaya sekali bagimu jalan-jalan sendirian di tempat seramai ini.”
Gabrielle menatapku lagi, memberiku ekspresi—
Aku sudah cukup besar menjaga diriku sendiri,” kata Noah lagi.
Noah,” aku memperingatkannya.
Noah tertawa kecil. “Jadi, Gabrielle, kapan kedua orang tuamu kembali?” Gabrielle mengangkat kedua bahunya. “Sori, sahabatku di sini memperlakukanmu seperti anak-anak,” katanya dan Gabrielle mengerjap, lalu mengangkat kedua bahu lagi.
“Noah, apa sih maksudmu?” Troy tersinggung.
“Sori, Dude, tapi itu benar adanya,” Noah tertawa lagi. “Jadi, berapa usiamu, Gabrielle? 15? 14? Ah, 14. Tak terlalu muda.”
Gabrielle mengerjap, mengerutkan dahi, lalu menatapku dengan keheranan.
“Aku bukan orang aneh, Gabrielle,” kata Noah lagi, membuat perhatian Gabrielle beralih lagi padanya. “Yep, aku bisa menduga apa yang ada di dalam pikiranmu.”
“Oh!” Ben bertepuk tangan, kembali ceria. “Aku juga mau coba!” Lalu dia menyingkirkan Noah dan menunduk pada Gabrielle. “Apa warna kesukaanku?”
Troy menepuk dahinya dan Jimmy kembali terbahak.
“Ben, dia bukan mainan!” gerutuku jengkel, lalu menarik Gabrielle ke sebelahku. “Bukan karena dia tak mau bicara, dia tak bisa bicara. Dan jangan lakukan dia seperti itu lagi. Dia manusia, Ben.”
Ben cemberut. “Aku tak bermaksud begitu.”
“Lepaskan aku.”
Andai saja aku tak pernah mendengar suaranya, aku tak yakin suara itu berasal darinya. Aku menunduk pada Gabrielle, yang mengerutkan dahi dengan jengkel pada tangannya yang kugenggam.
“Kau menyakitiku,” katanya, menarik tangannya dari genggamanku.
“Oh,” kataku gugup. “Sori.”
“Dia bicara,” Ben berbisik lagi. “Suaramu bagus sekali.”
“Idiot,” kata Noah. Ben melotot padanya. “Apa? Aku cuma mengucapkan apa yang dipikirkan anak itu padamu. Dan aku setuju padanya.”
Really?” Ben mendengus.
“Idiot,” kata Gabrielle, mengangguk setuju dan Ben menganga lagi. Troy dan Jimmy terbahak, nyaris saja jatuh karena tertawa terus.
“Aku suka padanya,” Troy geleng-geleng kepala, memegangi perutnya. Jimmy mengangguk setuju, menepuk bahu Troy, lalu kembali tertawa.
“Dimana mereka kalau begitu?” Aku menoleh pada Gabrielle. Gabrielle, sekali lagi, memberikan lirikan pada kerumunan.
“Dude,” Noah menepuk bahuku sambil geleng-geleng kepala. “Kau sudah tiga kali menanyakan hal itu dan dia sudah tiga kali menjawab.” Aku memberi pandangan tak mengerti pada Noah. “Mereka ada di kerumunan, sepertinya mereka meminta Gabrielle menunggu di sini untuk membeli tiket.”
“Oh,” kataku sambil mengerjap, menatap Gabrielle. “Apa itu benar?”
Gabrielle mengangguk, lalu memutar bola mata.
“Oh, Oliver!”
Fran muncul dari balik kerumunan, Jeremiah ada di sebelahnya, memeluk bahunya setelah salah satu orang menabrak punggungnya. Aku menelan ludah begitu melihat pandangan Jeremiah yang sama sekali tidak menyenangkan. Gabrielle segera melangkah ke arah mereka dimana Jeremiah segera memberikan perlindungan padanya dengan tangan yang satunya.
“Mr Cattermole, Mr Huges,” kataku pada mereka berdua sambil mengangguk.
“Ini kebetulan sekali,” kata Fran. “Dan aku sudah menyuruhku memanggilku Fran. Cattermole terdengar tua sekali.” Jeremiah mendengus dan Fran menyikutnya.
“Mereka berdua hot,” bisik Ben di belakangku. “Terutama yang tinggi.”
“Apa itu teman-temanmu?” Fran bertanya lagi, menoleh pada teman-temanku yang balas tersenyum. “Halo, aku Fran, ini Jeremiah.”
Teman-temanku berbasa-basi. Mereka terlihat santai ketika berbicara pada Fran. Tapi, begitu mereka menoleh pada Jeremiah, mereka nyaris menelan ludah. Yep, aku mengerti perasaan mereka. Jeremiah sangat mengerikan, apalagi dengan pandangan tak setujunya. Tapi, Ben tidak peduli. Anak itu benar-benar tak tahu kapan harus menutup mulut.
“Mr Cattermole, bolehkah kami ikut dalam kelompok kalian menonton karnaval?” dia bertanya dengan mata berbinar.
“Hmph! Tidak,” Jeremiah melipat tangannya.
“Jeremiah, be nice. Mereka masih anak-anak,” desis Fran.
“Dengar, Profesor, aku datang ke sini untuk bersenang-senang, bukannya menjadi pengasuh,” kata Jeremiah dan Fran memutar bola matanya.
“Kami sudah cukup besar untuk menjaga diri kami sendiri, terimakasih,” kata Noah.
Mata Jeremiah menyipit berbahaya padanya dan Noah berdeham salah tingkah.
“Terserah kalian, tapi bila terjadi sesuatu pada mereka, kau yang bertanggung-jawab, Fran,” kata Jeremiah, lalu merangkul Gabrielle dan berjalan terlebih dahulu.
Fran menghela napas. “Maafkan dia. Dia memang begitu,” katanya tersenyum kecil. “Kalian bisa mengikut di belakang kami.”
Kami mengangguk dalam diam dan Fran segera menyusul mereka berdua.
“Fiuh,” Troy menyeka dahinya, “kurasa aku bisa berubah menjadi nerd di depannya.”
Noah sama sekali tak menganggap hal ini lucu. “Dia tidak menyukaimu, Oli,” kata Noah. “Kurasa dia tahu apa yang ada di dalam kepalamu, ya kan?”
Aku memilih kabur, mengikuti keluarga kecil itu, tak ingin mengakui kebenaran.

***

Fran(POV)
Kami beradu argumen sepanjang perjalanan menuju karnaval. Tiap kali aku buka mulut, Jeremiah akan mendengus tak setuju dan Gabrielle memutar bola matanya. Akhirnya aku memilih tutup mulut karena aku tahu tak ada satupun dari mereka yang ingin mendengarku.
“Sori,” kata Jeremiah setelah kami diam lama sekali. Gabrielle tak lagi ada di samping kami berdua. Dia mengikuti Oliver dan teman-temannya untuk melihat arak-arakan yang sudah mulai berjalan sepanjang jalan. Bunyi musik dan teriakan penonton membahana menyambut acara hari ini. “Aku tak bermaksud kasar. Tapi aku memang tak menyukai anak itu.”
Aku memijit ujung hidungku dengan lelah. “Dia memang menyukai Gabrielle, tapi bukan berarti dia akan menyakiti Gabrielle.”
“Aku terlalu protektif, kurasa,” gumam Jeremiah.
“Aku tahu kau peduli padanya, tapi dia juga butuh teman,” kataku.
Jeremiah mengangguk setuju. “Tapi Oliver terlalu tua untuknya. Aku hanya ingin dia punya teman seumurannya. Lagipula,” tambahnya lagi ketika aku hendak memotong, “Oliver tinggal di asrama dan tidak bersekolah di tempat yang sama dengan Gabrielle dan teman-temannya sendiri tinggal di sini. saat kita kembali, aku tak ingin Gabrielle kesepian. Aku ingin Gabrielle punya teman yang ada di dekatnya.”
Sekarang aku mengerti maksudnya. “Kau benar. Gabrielle tak pernah membawa siapapun ke rumah. Dia juga tak pernah membicarakan sekolahnya.”
Jeremiah menatapku dengan meledek lalu menggeleng. “Kau harus memperhatikannya. Siapa yang tahu dia berteman dengan siapa nanti.”
Arak-arakan karnaval mulai ke dekat kami. Aku ternganga dan terpesona melihat betapa serunya acara ini. Ada begitu banyak penampilan yang membuatku terkesan. Ada dari mereka yang dibawa oleh gerobak dan ditarik dengan kuda, sementara di atasnya ada banyak orang yang melambai. Di jalanan tak kalah seru, banyak sekali yang beratraksi dengan melompat, menyemburkan api, berdansa, berkeliling, memainkan musik dan entah apa lagi.
Acara semakin seru begitu balon-balon udara bermunculan di udara dan arak-arakan semakin besar dan riuh. Seluruh penonton tampak kagum dengan rancangan pohon buatan menggunakan daun musim gugur, belum lagi ada banyak sekali bunga-bunga berbagai macam warna yang terbuat dari dedaunan, lalu ada atraksi lompat tali dengan sepuluh orang di dalamnya.
Kami bertepuk tangan, tertawa begitu melihat salah satu pelaku pantomim yang terjatuh ketika didorong oleh teman yang satunya sebelum akhirnya mereka berlarian tak karuan karena ada kaki panjang yang mencoba untuk menendang mereka. Kurasa suaraku bisa saja habis karena ini. Aku bertepuk tangan, berteriak seperti orang gila, dan tertawa nyaris menangis melihat atraksi yang tak biasa ini.
Begitu pertunjukan berakhir, kami memilih membeli crape dan coklat panas di salah satu stan. Gabrielle sejak tadi hanya bersama teman-teman Oliver, yang tampaknya sangat menyukainya. Mereka memainkan permainan “Tebak Pikiran Gabrielle” tiap kali Gabrielle berekspresi, membuat mereka tertawa terus-terusan. Meski Gabrielle tidak bicara, dia tampak menikmati dirinya. Apalagi teman-teman Oliver sangat menyenangkan, mereka tak terlihat seperti anak-anak kasar. Hanya sekelompok anak remaja yang hobi tertawa.
“Idiot!” Mereka beteriak bersamaan entah karena apa, lalu tertawa bersama, menunjuk-nunjuk Oliver pada apapun itu yang dia lakukan.
Gabrielle geleng-geleng kepala, menerima minumannya dari tangan Noah. Bibirku tersenyum melihat apa yang mereka lakukan, dan begitu aku menoleh pada Jeremiah, aku kaget melihat dia juga memberikan senyuman yang sama.
“Melihat mereka aku jadi melihat diriku sendiri saat remaja,” katanya sambil geleng-geleng kepala, meneguk kopinya.
“Aku jadi khawatir dengan masa depan Gabrielle kalau dia menghabiskan waktu yang sama seperti yang kau lakukan,” kataku.
“Hei, bukan salahku kalau aku keren dan populer!” dia membela diri dan aku mendengus. “Tapi masa itu sangat menyenangkan. Aku tak pernah menyesal. Aku memang menyesal terhadap nilai-nilaiku yang merah seperti ikan salmon berdarah, tapi siapa yang peduli. Aku menikmati hariku.”
“Aku menghabiskan waktuku dengan belajar,” kataku terus-terang.
Jeremiah memberikan ekspresi aneh. “Kau pastilah golongan nerd.”
“Maaf saja jika aku nerd,” gerutuku.
Mengibaskan tangannya, Jeremiah berkata, “Jangan khawatir, aku tak mengejekmu. Menurutku itu keren. Cody selalu meninjuku bila aku berani berkata hal kasar mengenai nerd. Lagipula, aku sedikit kagum pada kalian para nerd. Aku tak pernah percaya kalian mampu menghabiskan waktu kalian di dalam perpustakaan dalam keheningan daripada bergaul. Integritas kalian luar biasa.” Dia geleng-geleng kepala.
“Itu memang hal yang membosankan,” aku mengakui.
Jeremiah tersenyum lagi, jenis senyuman playboy menyebalkan. “Jadi, Nerd, apa yang biasanya kau lakukan untuk menghabiskan waktu? Apa kau tak punya seseorang yang kau taksir? Teman?”
Salah satu tanganku menjangkau belakang leherku. “Uh, aku biasanya hanya berbicara bila ada orang yang mengajakku mengobrol. Aku punya teman—beberapa. Tapi tidak ada yang benar-benar dekat. Mengenai orang yang kutaksir… tidak, kurasa tak ada.”
“Kau pasti bercanda kan? Kau cukup keren, kau tak mungkin tak punya cewek taksiran,” dia geleng-geleng kepala. Wajahku memanas ketika dia bilang kata “keren” itu. “Ayolah, mengaku saja. Aku sudah jadi temanmu. Kau tak perlu takut, aku tak akan bergosip.”
“Tapi itu benar. Aku tak pernah naksir seseorang.”
Jeremiah mengerjap, memiringkan kepalanya sedikit. “Bagaimana saat kau kuliah?”
“Tidak ada.”
“Satupun?”
Aku menggeleng. “Tidak ada.”
“Jangan bilang kalau kau juga belum pernah ciuman.”
Aku mengerjap. Wajahku memanas lagi dan mulut Jeremiah terbuka lebar.
Oh my God!” Jeremiah terkaget-kaget. “Kau belum pernah ciuman?” katanya tak percaya. Aku menggeleng lagi. Pembicaraan ini benar-benar memalukan. Aku tak bangga karena belum pernah ciuman, tapi bukan berarti aku juga kecewa. Memangnya siapa yang ingin menempelkan bibirnya pada bibir yang berbeda? Bagaimana kalau kau tak tahu mereka terkena HIV?
“Jadi kau masih perjaka?”
Aku mengerang jengkel, memukul dadanya dengan punggung tanganku. “Jeremiah!” Pembicaraan ini benar-benar membuatku seperti orang bodoh. Apalagi Jeremiah tak bisa menjaga suaranya sehingga beberapa orang menoleh pada kami, memberikan lirikan penuh curiga.
“Aku tak percaya! Astaga!” Jeremiah terbahak-bahak dan aku menggerutu. “Kau hidup selama 35 tahun dan belum pernah—hahaha. Aduh, perutku benar-benar sakit.”
Pria itu terpingkal-pingkal, menunduk memegangi perutnya. Air matanya nyaris keluar karena terbahak. Aku mengerang jengkel, memukul punggungnya untuk menyadarkannya. Ini bukan pembicaraan yang biasanya dibicarakan pada temanmu kan? Oh, benar, aku belum pernah berteman dengan baik sebelumnya dan rasanya sangat menyebalkan. Aku jadi menyesal karena tak punya teman sebelum ini, jadi aku tak pernah tahu bagaimana menanggapinya.
“Sori… hanya… itu lucu sekali.” Dia geleng-geleng kepala, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, masih tersenyum seperti orang bodoh. “Aku belum pernah bertemu orang sepertimu. Astaga, perjaka, dan kau belum pernah jatuh cinta. Tsk tsk tsk. Aku tak ragu kalau kau belum pernah kencan sebelumnya.”
Karena Jeremiah bisa menebaknya, jadi aku diam saja.
“Lalu, di usiamu yang tua ini, apa kau tak berkeinginan punya pasangan?”
“Pekerjaanku adalah pasanganku. Aku tak merasa—”
Lagi-lagi Jeremiah mengibaskan tangannya. “Omong kosong,” katanya. “Kita akan cari orang yang pas untukmu. Coba beritahu aku seperti apa gadis idamanmu.”
Aku mengerjap. “Gadis idaman?”
Kali ini Jeremiah yang mengerjap. “Oh my god! Kau benar-benar polos! Apa kau tak pernah memikirkan wanita?” dan karena aku merespon seperti orang bodoh, Jeremiah memukul dahinya sendiri. “Bung, masalahmu benar-benar serius.”
“Tapi aku baik-baik saja.”
“Bahkan Cody yang seperti itu saja punya kencan dan kau tidak?” Dia tidak mendengarkanku. Lalu setelah dia meletakan minumannya, menggosok tangannya dengan serius, dia lalu menatapku dengan penuh konsentrasi. “Kita akan mendapatkan pasangan untukmu.”
“Tapi—”
“Oh, kau tak perlu takut. Ada banyak wanita untukmu.” Lagi-lagi Jeremiah tidak mendengarkanku. “Aku akan membantumu mendapatkan wanita yang pas untukmu. Jangan khawatir. Ini akan sangat menyenangkan. Aku tak akan membiarkanmu jomblo seumur hidup.”
Dan aku hanya mampu pasrah.
Kurasa, aku akan masuk ke dalam masalah serius.
Benar-benar serius.
Apalagi saat Jeremiah bilang, “Aku akan merancang blind date untukmu.”
Apa?
Shit. Aku mau mati saja.

***

Medan, 26 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.