06
Ex-Girlfriend
==========
JEREMIAH(POV)
Aku masih ingat
dengan jelas ketika Cody mengingatkanku bahwa aku harus berhati-hati pada masa
depanku nanti karena pada suatu hari nanti dosa-dosaku akan datang menghantui.
Selama ini, aku tak pernah memercayai hal itu, apalagi menanggapinya dengan
serius. Semua itu omong kosong, ya kan? Tapi tidak. Begitu aku melihat wanita
itu kini berdiri di depanku—mengucapkan sesuatu yang mengejutkan sampai
membuatku tak mampu bernapas, atau bergerak, atau berkedip—aku merasa bahwa
Cody benar.
“Sialan kau. Semoga kau mendapatkan hukum
karma!”
“Dan dosamu akan menggentayangimu!”
Harusnya aku
tahu bahwa apa yang selalu dikatakan Cody selalu terbukti, meski dia tak
bermaksud mengatakan hal ini di dapurnya.
“Jeremiah, aku
hamil.”
Aku mengedip
beberapa kali. Omong kosong. Dia tak mungkin hamil.
Kalian bingung
kenapa hal ini bisa terjadi? Aku juga sama bingungnya dengan kalian. Jadi,
marilah kita kembali ke masa empat puluh lima menit lalu ketika hari masih pagi
dan aku bangun pagi. Seperti biasa, Fran menyiapkan sarapan. Sialnya, dia masih
belum membeli selai strawberry.
“Aku lupa,
Jeremiah, dan bila kau menginginkan selai itu, beli sendiri sana,” katanya
setelah dia nyaris menyodokku dengan spatula.
Menggeram
jengkel, aku mengambil mantelku dan keluar dari rumah, membawa mobilku menuju mini
market terdekat dan tak sengaja bertemu dengan wanita ini.
Daphne Pato.
Kami
berbasa-basi dan dia mengajakku untuk sarapan bersama, lalu dia memberikan bom
padaku.
Kutatap wanita
yang saat ini duduk di seberang meja. Dia, sejujurnya, wanita yang cantik. Dia
punya rambut pirang keemasan yang lurus dan indah, tergerai dengan apik di
punggungnya. Wajahnya cantik, manis dengan bulu mata lentik dan bibir indah
menawan. Tubuhnya langsing dengan kulit mulus terawat. Pagi ini dia mengenakan
terusan berwarna kuning pucat yang dilapisi dengan mantel putih nyaman, dipadu
dengan heels senada.
Tapi aku sama
sekali tak bisa terhipnotis pada kecantikannya, melainkan pada apa yang baru
saja dia sampaikan padaku.
“Apa?” kataku
pada akhirnya.
Wanita itu
menghela napas, meneguk kopinya. Tangannya gemetar gelisah di atas meja. Dia
menatapku dengan cemas seakan aku akan segera menghabisinya—tepat seperti
itulah yang kurencanakan.
“Aku hamil,
Jeremiah.”
Aku nyaris
tertawa. Nyaris. Tapi aku tak
melakukannya. Aku harus memikirkan masalah ini baik-baik. Dari sekian banyak
masalah yang diberikan para wanita, kenapa mereka selalu menyampaikan hal ini
padaku? Ini bukan pertama kalinya ada wanita yang mengatakan bahwa dia hamil
padaku, dan pada saat aku meminta bukti, mereka akan menangis tersedu-sedu,
lalu mencaciku, mengatakan bahwa aku tak bertanggung-jawab, meragukan mereka
dan segudang alasan lainnya.
Mereka pikir
mereka siapa? Aku tahu benar apa yang ada di pikiran wanita. Aku tak seperti
Cody yang termakan ucapan “Aku hamil anakmu” lalu segera bertekuk lutut dan
lonceng gereja pun berbunyi setelah mengucapkan kata “Aku bersedia”. Tidak. Aku
bukan orang seperti itu.
Aku Xavier
Jeremiah Huges, seorang CEO sebuah perusahaan stasiun televisi dengan
penghasilan ratusan juta. Aku punya banyak aset dimana-mana. Aku juga
menerbitkan beberapa buku dengan nama pena. Meski aku seperti ini, aku juga tak
bodoh. Mereka yang datang padaku bukan menginginkan aku melainkan uangku. Ok,
mungkin sebagiannya tak keberatan dengan tampangku, tapi tetap saja tampangku
hanya bonus tambahan, mereka hanya menginginkan uangku. Itu sebabnya aku tak
pernah muncul dalam acara-acara penting yang akan membuatku tersorot televisi.
Jika mereka
bilang bahwa mereka hamil, maka aku akan segera membawa mereka ke dokter dan
langsung memeriksan DNA si calon bayi. Tak pernah ada yang terbukti. Tak pernah
ada bayi. Kalaupun ada, mereka bukan bayiku.
Kali ini, wanita
ini juga akan mengalami hal yang sama.
“Kau yakin?”
kataku dengan nada tenang, menyelipkan senyumanku padanya.
Wanita itu
mendesah. “Aku tahu kalau kau akan bilang begitu.”
Aku mengangguk
setuju. “Bukankah itu pertanyaan yang masuk akal? Aku sudah tak pernah bertemu
lagi denganmu. Nyaris dua bulan. Apapun bisa terjadi.”
Daphne salah
satu kencanku. Kami putus dua bulan lalu, kurasa dan tentu saja dengan
perpisahan di tempat tidur. Aku tak terlalu ingat. Otakku benar-benar payah.
Dia sebenarnya wanita yang menarik, andai saja dia tak memilih untuk
meninggalkanku.
Sekarang aku
ingat bahwa wanita inilah yang meminta putus. Dia wanita terlama yang jadi
kencanku selama ini. Kami bertemu di acara amal WHO dan dia salah satu
konsulatnya. Dia wanita cerdas, menarik, ceria, humoris dan percaya diri. Dalam
sekejap kami cocok. Hubungan kami tak seperti hubungan para pasangan lain. Kami
punya hubungan yang berjalan seperti siput. Aku jarang bisa mengajaknya keluar
karena dia sangat sibuk.
Kurasa itulah
sebabnya dia memilih untuk putus. Dia lelah meninggalkanku sendirian.
Wanita itu
mendesah lagi. “Aku yakin bahwa ini anakmu. Aku tak menjalin hubungan lagi
dengan siapapun kecuali denganmu.”
Salah satu
alisku naik sebelah. “Kau tak berpikir kalau aku termakan umpanmu kan?” Wanita
ini sangat cerdas, aku tak ingin dia mengikatku dalam hubungan pernikahan hanya
karena ini.
Dia tersenyum di
seberang sana. “Kau cerdas, Jeremiah, tapi aku yakin. Kita bisa tes kalau kau
mau.”
Melihat
ketenangannya, aku takut apa yang dia katakan benar. Inilah salah satu hal yang
membuatku gentar menghadapi Daphne, rasa percaya diri dan sikap tenangnya. Tapi
aku tak akan menunjukkan ekspresi berarti, melainkan tersenyum kecil padanya.
“Kita akan tes
untuk membuktikannya,” kataku pelan. “Tapi, bila yang kau katakan tak
terbukti—”
Dia memotongku,
masih dengan senyuman tenangnya, “Aku tahu konsekuensinya, Jeremiah. Aku yakin
bahwa aku bukan wanita pertama yang mengatakan ini. Popularitasmu di kalangan
wanita sangat luar biasa.”
Aku tertawa
kecil. “Why thank you.”
“Itu bukan
pujian,” katanya.
Senyumku tak
hilang. “Apa yang kau inginkan dariku, Daph? Pernikahan?”
“Tidak,” Daphne
menggeleng.
Aku mengerutkan
dahi. Wanita ini tak menginginkan pernikahan? Kalau begitu apa? Uang? Mobil?
Rumah? Well, kurasa itu tak masalah.
Aku bisa menyiapkannya bila dia mau. Tapi rupanya penjelasan selanjutnya
membuat harga diriku sedikit terluka.
“Aku tak ingin
menikah denganmu, Jeremiah. Kau jelas-jelas calon suami terburuk bagi seluruh
wanita di muka bumi. Aku yakin itu.”
“Lalu?” aku
bertanya pelan, sedikit penasaran.
Daphne meminum
kopinya lagi, aku menunggunya dalam diam. Wanita ini sepertinya sedang berusaha
mengumpulkan keberaniannya untuk bicara.
“Sebenarnya, aku
tak menyangka bahwa aku hamil. Aku baru tahu bahwa aku hamil minggu lalu dan
syukurlah aku bertemu denganmu. Usia kehamilanku nyaris dua bulan,” dia
menggigit bibirnya, lalu kembali melanjutkan. “Jujur saja aku shock. Aku tak
ingin hamil, tapi aku tak mungkin tidak memberitahu hal ini padamu sebelum aku
mengambil keputusan.”
“Kau berniat
menggugurkannya?” Aneh, suaraku terdengar tenang bahkan asing sekali bagi
telingaku sendiri. Tapi jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku sama sekali
tak senang dengan keputusan yang sempat dipikirkannya ini. Dia ingin membunuh
bayi yang tak berdosa? Sungguh?
Daphne menggigit
bibir lagi. Matanya berkaca-kaca. “Aku tak akan bisa jadi Ibu yang baik,
Jeremiah. Aku masih terlalu muda untuk punya anak.”
“Kau sudah dua
puluh dua tahun, Daphne.” Aku menatap matanya, sama sekali tak terkesan dengan
air matanya. “Kau hanya mengarang alasan karena kau tak menginginkan anak itu.”
“Aku
menginginkannya, tapi tidak
sekarang.”
“Well, itu egois namanya.”
“Aku tak akan
pernah ada untuk bayi ini, Jeremiah, karena itu—” Dia menggeleng ketika aku
mengerutkan dahi.
“Kau cukup
keluar dari pekerjaanmu itu dan, jika benar itu anakku, aku akan memberikan
uang yang cukup untuk kalian berdua. Percayalah.”
Daphne mendesah.
“Aku sudah bilang kalau aku tak ingin pernikahan, ataupun uangmu. Aku punya uang
yang cukup, bila itu yang kau pikirkan.”
Aku masih belum
mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Lalu, apa yang kau inginkan dariku?”
“Kasih
sayangmu,” katanya. Aku mengerjap dengan permintaannya. “Bila kau menginginkan
anak ini, aku ingin kau yang merawatnya.”
Aku tertawa
mendengar apa yang barusan dia katakan. Yang benar saja. Dia pikir aku akan
bisa menjaga seorang bayi. “Dan kenapa kau pikir aku bisa merawatnya?”
“Jeremiah, aku
memang bilang kau bukan suami yang baik, tapi kau jelas seorang Ayah yang
baik.”
Aku menggeleng,
nyaris tertawa lagi.
“Ingat saat kita
mengunjungi salah satu panti asuhan khusus kanker?” Dia menatap mataku dan aku
paling tak suka caranya memandangku, seakan dia tahu apa yang kupikirkan, apa
yang kurasakan. “Aku melihatmu berinteraksi dengan mereka. Kau menyayangi
mereka. Kau memeluk mereka. Kau memastikan mereka baik-baik saja. Dan jangan
sampai aku bilang kalau kau ternyata sering sekali memberikan uang pribadimu
untuk beberapa panti asuhan.”
Senyumku
menghilang. “Apa kau menguntitku?”
“Aku mengenal
beberapa temanmu yang jadi temanku.”
Perkataannya
membuatku terdiam. Tak bisa dipercaya. Teman-temanku berani memberitahukan apa
yang kulakukan di belakang pekerjaanku! Padahal aku sudah menyuruh mereka tutup
mulut dan ini yang dibalas mereka padaku? Dasar tak tahu terimakasih. Memang
hanya Cody sahabat sejatiku. Dia tak akan pernah membeberkan apa yang jadi
rahasiaku.
“Aku hanya ingin
tahu keputusanmu.” Suara Daphne kembali mengalihkan perhatianku. “Bila kau
menginginkan bayi ini, aku tak keberatan melahirkannya. Tapi bila tidak—”
“Jangan gugurkan
dia,” kataku.
Aku tak tahu
kenapa aku mengatakan hal itu, tapi bibirku bergerak sendiri. Sekarang aku bisa
mengerti apa yang ada di pikiran Cody ketika dia yakin bahwa Keyna mungkin
hamil anaknya. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa dan juga curiga. Benar,
aku masih curiga pada apapun itu yang direncanakan Daphne padaku. Tapi aku tak
bisa tinggal diam bahwa ada nyawa yang saat ini dipertaruhkan, terlepas apakah
dia anakku atau bukan.
Mungkin Daphne
tidak menginginkan pernikahan. Aku bisa terima hal itu. Aku juga belum ingin
menikah. Daphne bukan orang yang tepat untukku. Aku sedang menunggu “orang itu”
hadir, seperti yang dirasakan Cody pada Keyna, lalu menikah dengannya—siapapun
dia.
“Anak siapapun
itu, kau tak boleh membunuhnya begitu saja,” kataku tenang. “Pertama-tama, aku
ingin meyakinkan dulu bahwa anak itu adalah anakku atau bukan. Jika dia memang
anakku, aku akan menjaganya, kau tak perlu khawatir. Dia akan berada dalam
pengawasanku. Tapi bila tidak, kita akan menemukan siapa Ayahnya, lalu
memikirkan langkah yang lain.”
Daphne tersenyum
lagi. “Aku tahu bahwa kau akan mengasuh anak ini.”
“Aku tak akan
mengabaikan seorang bayi. Mereka berhak untuk hidup,” kataku kalem.
Wanita itu mengangguk
setuju, memberikan ekspresi berterima kasih tapi juga sedikit aneh. Aku merasa
ada sesuatu pada ekspresi Daphne. Dia tak seperti biasanya.
“Daph, apa semua
baik-baik saja?”
Kilatan itu
hilang dari matanya. Aku mengerjap, sedikit kaget dengan perubahan itu. “Ya,
Jeremiah. Semua baik-baik saja.” Dia menghirup kopinya lagi, lalu melihat
keluar jendela. “Lalu kapan kita akan ke rumah sakit?”
“Secepatnya,”
kataku. “Saat ini aku sedang liburan.”
“Ya, aku jarang
sekali melihatmu ada di sini.”
Kami menghabiskan
sisa sarapan kami dengan mengobrol ringan. Daphne, seperti biasa, membicarakan
tentang apa yang dia kerjakan selama ini. Wanita itu memang selalu sibuk dengan
urusan WHO dan badan amal lainnya. Aku tak akan kaget bila sewaktu tidur pun
dia akan tetap membicarkan hal itu. Kami tertawa dan bercanda. Aku lupa sama
sekali mengenai kenyataan bahwa dia adalah Ibu dari calon si bayi—yang
kemungkinan besar adalah anakku. Aku tak ingin memikirkan ini, tapi aku cukup
ngeri membayangkan kalau aku akan jadi Ayah. Aku terkena jebakan yang sama
seperti yang didapat oleh Cody. Kenapa kami selalu berakhir dengan adegan yang
sama? Aku tak percaya ini. Cody benar-benar belahan jiwa yang terpisah di tubuh
yang berbeda. Hanya saja, ketika seluruh sifat yang baik ada padanya, seluruh
sifat yang jelek menempel padaku.
“Kenapa lama
sekali membeli selainya?” Fran bertanya, sedikit khawatir ketika aku masuk.
“Tadi aku
bertemu teman lama,” kataku.
“Perempuan?”
“Ya,” kataku,
menggantung mantelku. “Mana Gabrielle?”
“Dia bersama
Oliver dan teman-temannya. Mereka mengajaknya nonton.”
“Lagi? Berapa
kali aku bilang kalau aku tak suka anak itu?” kataku jengkel, melepas bootku dan menendangnya sampai
menghantam pintu. Fran mundur, tapi tidak sebelum dia memberi komentar,
“Gabrielle butuh teman, Jeremiah, dan Oliver beserta teman-temannya orang yang
baik. Mereka membuat Gabrielle tertawa.”
Aku memutar bola
mata. “Aku akan menghajar si Oliver itu. Aku sudah bilang padanya untuk tak
dekat-dekat Gabrielle dalam jarak sepuluh meter,” gerutuku.
“Kau terlalu
paranoid. Mereka tak akan menyakiti Gabrielle,” katanya. Aku mendorongnya
minggir, masuk menuju dapur. Suaranya masih menasehatiku, mengikutiku di
belakang. “Gabrielle juga sudah cukup besar untuk menjaga dirinya sendiri. Dia
remaja sehat. Dia butuh bersosialisasi.”
Saat aku masuk
ke dapur, aku melihat meja makan masih menyisahkan beberapa potong roti
panggang dengan sosis dan pancake. Dahiku mengerut. Sambil meletakkan selai
yang tadi kubeli, aku menoleh ke belakang dan bertanya padanya, “Kau belum
sarapan?”
Wajahnya merah
padam dalam sekejap. “Uh, kupikir aku akan menunggumu untuk sarapan.”
“Apa kau sudah
gila? Apa kau tak berpikir kalau aku mungkin saja makan di luar?” Aku melirik
arloji. Aku keluar dari rumah lebih dari dua jam.
“Oh, kau sudah
makan di luar?” Dia bertanya seperti orang bodoh.
“Belum,” kataku,
bertanya-tanya kenapa aku berbohong. Aku sudah sarapan di luar bersama Daphne
dan aku bilang kalau aku belum sarapan? Tak bisa dipercaya.
Pria itu dalam
sekejap berubah ceria. “Akan kupanaskan sosisnya. Kita bisa sarapan berdua.
Gabrielle tak bisa menunggumu karena dia harus bersiap.”
“Ok.” Aku
mengerjap melihat betapa bersemangatnya Fran menyiapkan makanan dan memilih
menarik kursi, lalu duduk di meja makan.
Entah mengapa,
aku merasa bahwa perhatian Fran sedikit menggangguku.
***
GABRIELLE(POV)
Teman-teman
Oliver benar-benar berisik, heboh, dan bodoh. Tapi mereka cukup menyenangkan.
Setidaknya mereka tidak menganggapku aneh atau apa. Mereka malah membuat
permainan “Tebak Ekspresi” yang menurutku sangat tak penting dan konyol.
Setelah keluar
dari mobil dan menuju bioskop, mereka sekarang sibuk dengan poster untuk
menentukan film apa yang akan mereka tonton. Mereka seperti anak ayam
kehilangan induk, kecuali Noah. Sejak tadi, pemuda itu hanya berdiri di
sampingku, bersedekap dan geleng-geleng kepala melihat betapa
kekanak-kanakannya teman-temannya. Dia membaktikan dirinya sebagai juru
bicaraku karena memang hanya dia yang mampu menebak apa yang dalam pikiranku.
“Aku tak mau
horor. Kau tahu kalau aku tak suka horor!” Ben menjerit jengkel begitu Jimmy
menunjuk salah satu poster film horor.
“Maaf saja, tapi
aku sedang tak ingin menonton romance,
apalagi tentang vampire! Itu girly sekali,” balas Jimmy dan Ben
memukul tangannya keras sekali. “Woman,
stop hitting me!”
“I’m not woman! I’m man and proud of it!”
“Then act as ones!”
Ben memukulnya
lagi.
“Tidakkah kalian
pikir kalau sebaiknya biarkan Gabrielle yang memilih film?” kata Noah, tapi tak
ada satupun yang mendengar. Mereka masih berargumen soal film yang akan mereka
tonton. “Mereka benar-benar membuatku sakit jiwa,” gerutunya, lalu melangkah
menuju teman-temannya.
Bosan dengan
pertengkaran mereka, aku melangkah untuk melihat poster-poster lain. Ok, ada
banyak sekali jenis film yang bisa kami tonton. Aku tak terlalu tertarik pada action ataupun romance. Aku suka film yang ada flashnya,
terutama animasi. Ada beberapa poster dan judul animasi yang tayang bulan ini.
Aku mengamati setiap poster dengan tertarik.
Lalu aku
menemukannya.
Alexandria. Disutradarai
oleh Cody Handerson.
Bibirku
tersenyum lebar begitu menemukan nama Cody. Aku tahu kalau Cody seorang
sutradara karena Fran pernah cerita. Mataku melihat poster film animasi terbaru
Cody. Poster itu menunjukkan sebuah pemandangan Mesir dengan pyramid, spynx,
gurun dan sebuah bangunan putih besar yang tampak seperti Gedung Putih. Di
depan poster ada salah satu tokoh animasi, mengenakan rok lipit dengan kalung
berlambang Ra tergantung di lehernya. Tokohnya lumayan tampan dan menarik, apalagi
dengan warna emas yang nyaris memenuhi satu poster itu.
“Alexandria,The City of Knowledge, here I
came.”
Telunjukku
mengetuk dagu. Aku selalu suka dengan quote
yang diberikan pada setiap film-film Cody. Di film pertamanya, Blue Innocent,
kutipan yang diberikan Cody adalah “The Blue is Innocent”, kemudian di game
terbarunya, ada lagi kutipan yang menarik, “Ini mimpimu. Bila kau tak bisa
berlari ketika mencapainya, maka berjalanlah. Bila kau tersandung dan jatuh,
maka merangkaklah, karena semuanya dimulai dari merangkak.” Ada lagi kutipan
lain yang membuatku terkesan “Di detakan pertama sampai detakan terakhir, yang
akan terdengar hanya namamu.” Dan “Jadilah daun, yang memilih meninggalkan
pohon pada musim gugur, tapi akan muncul lagi pada musim semi.”
Semua kutipan
Cody benar-benar luar biasa. Sederhana, tapi sangat mengena. Aku tak pernah
lupa satupun. Aku tak ingin mengakui hal ini, tapi aku, sejujurnya, adalah
penggemar berat Cody. Setiap filmnya membuatku jatuh cinta. Dia luar biasa. Aku
ingin jadi sepertinya jika sudah besar nanti.
Dan dengan
adanya film terbaru Cody membuatku tak sabar. Aku ingin menontonnya.
Aku memilih
melangkah menuju layar priview dan
melihat jalan cerita “Alexandria” dengan bergairah.
Ada tulisan “Alexandria”
pada layar televisi, yang muncul lalu menghilang dalam sekejap, memunculkan
pemandangan kota Mesir Kuno dari atas, dengan gurun pasirnya yang kuning,
pyramid besar, sungai Nil dan pemandangan indah lainnya. Kota itu benar-benar
indah, tampak seperti asli daripada anime. Lalu adegan berganti menyorot pada
tokoh utama yang ada di depan poster. Pemuda itu tidak semenarik yang ada di
poster, dia jauh lebih kumuh. Dia tengah berada di salah satu bangunan,
mengintip para cendikiawan yang belajar di belakang istana.
“It told about passion.”
Lalu adegan
berubah menjadi dramatis ketika si Tokoh Utama dikejar-kejar oleh prajurit
istana dan dipukuli, bahkan dihina oleh para cendikia dan dimasukkan ke dalam
penjara.
“Life and curse.”
Kemudian adegan
berubah menjadi lebih cepat dimana si Tokoh Utama entah kenapa bisa melarikan
diri. Lalu bertemu dengan seseorang. Adegan berlanjut lagi menjadi dimana dia
sudah berpakaian bagus dengan perkamen dan di tangan. Lalu adegan dimana dia
ternganga melihat besarnya perpustakaan Alexandria.
“Promise.”
Adegan berganti
menjadi saat-saat ujian, yang menurutku sangat menyesakkan. Lalu ke adegan
dimana dia bertemu dengan Raja, kemudian penghormatan, lalu saat-saat dimana
dia akan mengalami masa sulit.
“Alexandria,The City of Knowledge, here I
came.” Tokoh itu di sorot, melihat bangunan putih besar di depannya dengan
sorot mata penuh keyakinan. “Aku akan menaklukanmu, seperti kau menaklukanku.”
Dan layar
menjadi gelap.
“Wow,” desahku
tak percaya. Rasanya denyutan di dadaku bertambah cepat tiap kali melihat
cuplikan film Cody. Aku selalu terkesan dengan cuplikannya dan filmnya memang
tak pernah mengecewakan.
Puas dengan
cuplikannya, aku memutuskan untuk menonton Alexandria dan tak berniat melihat
cuplikan lainnya. Begitu aku kembali, mereka masih bertengkar.
“Action,” kata Troy.
“Romance!” Ben tak setuju.
“Horor!” Jimmy
masih berkeras meski Ben memukulnya lagi.
“Alexandria,”
kataku. Suaraku berhasil mendiamkan mereka. Dalam sekejap, pandangan mereka
menuju padaku. Mereka sepertinya belum terbiasa dengan suaraku dan ekspresi
mereka tiap kali aku berbicara benar-benar lucu. Aku suka sekali bila mereka
terkejut begitu. “Aku mau nonton Alexandria.”
Jimmy mengerang
jengkel. “Itu film animasi kan? Kita bukan anak-anak lagi.”
Aku mengangkat
kedua bahuku dengan tak peduli dan melangkah menuju kasir.
“Tunggu, aku
juga mau nonton Alexandria,” kata Oliver.
“Aku juga,” Noah
mengangguk setuju. “Aku sudah lama mengincar film itu.”
Kami melirik
Ben, Jimmy dan Troy.
“Lebih baik aku
nonton Alexandria,” kata Ben akhirnya dan mereka berdua mengerang jengkel.
Karena menonton film ditentukan berdasarkan jumlah suara terbanyak, maka mau
tak mau, Troy dan Jimmy terpaksa ikut antrian.
Oliver dan Jimmy
segera mengantri untuk membeli tiket, yang ternyata cukup panjang. Aku, beserta
dengan Noah dan Ben memutuskan untuk membeli popcorn. Troy pergi ke toilet,
sekaligus mengambil mantelnya yang ketinggalan.
“Aku tak tahu
kenapa Jimmy suka sekali film horor,” Ben mendesis jengkel. “Kenapa ada orang
yang suka menonton film horor dan menghabiskan uangnya hanya untuk
menakut-nakuti dirinya sendiri?”
“Itu karena
Jimmy bisa memanfaatkan momen itu untuk dipeluk wanita. Jika kau bukan penakut,
Ben, kau tentu akan memilih hal yang sama.”
Ben memukul
tangan Noah, meski Noah tak bereaksi. “Dan kenapa kau memilih Alexandria,
Gabrielle? Film itu kan membosankan. Aku tak terlalu suka cuplikannya.”
“Aku suka,” kata
Noah dan Ben memukulnya lagi.
“Aku tak tanya
padamu, aku tanya pada Gabrielle.”
“Aku menjawab
pertanyaanmu,” kata Noah, menatapku, “ya kan?”
Ben memukul Noah
lagi. “Sejak kapan namamu berubah menjadi Gabrielle?” Noah mendengus pada
pertanyaan itu sehingga Ben bisa melihat padaku. “Jadi?”
Aku tahu Ben
sengaja melakukan itu agar aku mau berbicara padanya. Dia ingin sekali aku
menjadi teman ngobrolnya. Apa dia tak tahu bahwa aku lebih menginginkan Noah
daripada dia? Tapi baiklah, aku akan meladeninya. Lagipula pertanyaannya tidak
sesulit itu.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Aku mengenal
sutradaranya dan aku penggemarnya.”
“Kau bercanda!”
Noah menganga tak percaya. “Kau kenal Cody Handerson?”
Aku mengangkat
kedua bahuku. “Aku hanya sekali bertemu dengannya.”
“Kau beruntung
sekali. Aku penggemarnya!” kata Noah lagi.
“Dia sahabatnya
Jeremiah,” kataku.
“Oh my god!” Noah nyaris saja pingsan.
“Seperti apa dia? Selama ini aku hanya melihat wajahnya di televisi. Dia masih
muda sekali ketika Blue Innocent
muncul.”
Dan kami
menghabiskan waktu mengobrol mengenai Cody dan film-filmnya. Aku tak menyangka
akan bertemu dengan salah satu fansnya Cody juga. Tak banyak orang yang seperti
kami. Kebanyakan orang hanya menikmati sebuah film tanpa pernah tahu siapa yang
membuatnya. Tapi aku dan Noah berbeda. Dia sepertiku. Kami menyukai orang yang
sama, kami tahu semua filmnya.
“Kita harus
ngobrol banyak, Gabrielle,” Noah memasukkan nomor teleponnya ke kantung
mantelku. “Kalau kau bertemu dengan Cody, beritahu aku.”
Begitu kami
kembali, Troy segera mengambil minuman yang dipeluk Ben untuk menghindari
terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Jimmy dan Oliver kembali dari antrian,
mengambil sisa makanan yang lain, lalu kami masuk ke bioskop.
“Apa kau sudah
pernah nonton di bioskop sebelumnya?” Oliver bertanya di sebelahku.
Aku mengangguk.
Suara riuh
rendah dari penonton segera hilang begitu lampu dipadamkan. Dan aku segera
menyandarkan tubuh dan rileks untuk menikmati film Cody.
***
Write: Medan, 28 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar