RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 19 Oktober 2013

TBMB [06]



06
Ex-Girlfriend
==========
JEREMIAH(POV)
Aku masih ingat dengan jelas ketika Cody mengingatkanku bahwa aku harus berhati-hati pada masa depanku nanti karena pada suatu hari nanti dosa-dosaku akan datang menghantui. Selama ini, aku tak pernah memercayai hal itu, apalagi menanggapinya dengan serius. Semua itu omong kosong, ya kan? Tapi tidak. Begitu aku melihat wanita itu kini berdiri di depanku—mengucapkan sesuatu yang mengejutkan sampai membuatku tak mampu bernapas, atau bergerak, atau berkedip—aku merasa bahwa Cody benar.
“Sialan kau. Semoga kau mendapatkan hukum karma!”
“Dan dosamu akan menggentayangimu!”
Harusnya aku tahu bahwa apa yang selalu dikatakan Cody selalu terbukti, meski dia tak bermaksud mengatakan hal ini di dapurnya.
“Jeremiah, aku hamil.”
Aku mengedip beberapa kali. Omong kosong. Dia tak mungkin hamil.
Kalian bingung kenapa hal ini bisa terjadi? Aku juga sama bingungnya dengan kalian. Jadi, marilah kita kembali ke masa empat puluh lima menit lalu ketika hari masih pagi dan aku bangun pagi. Seperti biasa, Fran menyiapkan sarapan. Sialnya, dia masih belum membeli selai strawberry.
“Aku lupa, Jeremiah, dan bila kau menginginkan selai itu, beli sendiri sana,” katanya setelah dia nyaris menyodokku dengan spatula.
Menggeram jengkel, aku mengambil mantelku dan keluar dari rumah, membawa mobilku menuju mini market terdekat dan tak sengaja bertemu dengan wanita ini.
Daphne Pato.
Kami berbasa-basi dan dia mengajakku untuk sarapan bersama, lalu dia memberikan bom padaku.
Kutatap wanita yang saat ini duduk di seberang meja. Dia, sejujurnya, wanita yang cantik. Dia punya rambut pirang keemasan yang lurus dan indah, tergerai dengan apik di punggungnya. Wajahnya cantik, manis dengan bulu mata lentik dan bibir indah menawan. Tubuhnya langsing dengan kulit mulus terawat. Pagi ini dia mengenakan terusan berwarna kuning pucat yang dilapisi dengan mantel putih nyaman, dipadu dengan heels senada.
Tapi aku sama sekali tak bisa terhipnotis pada kecantikannya, melainkan pada apa yang baru saja dia sampaikan padaku.
“Apa?” kataku pada akhirnya.
Wanita itu menghela napas, meneguk kopinya. Tangannya gemetar gelisah di atas meja. Dia menatapku dengan cemas seakan aku akan segera menghabisinya—tepat seperti itulah yang kurencanakan.
“Aku hamil, Jeremiah.”
Aku nyaris tertawa. Nyaris. Tapi aku tak melakukannya. Aku harus memikirkan masalah ini baik-baik. Dari sekian banyak masalah yang diberikan para wanita, kenapa mereka selalu menyampaikan hal ini padaku? Ini bukan pertama kalinya ada wanita yang mengatakan bahwa dia hamil padaku, dan pada saat aku meminta bukti, mereka akan menangis tersedu-sedu, lalu mencaciku, mengatakan bahwa aku tak bertanggung-jawab, meragukan mereka dan segudang alasan lainnya.
Mereka pikir mereka siapa? Aku tahu benar apa yang ada di pikiran wanita. Aku tak seperti Cody yang termakan ucapan “Aku hamil anakmu” lalu segera bertekuk lutut dan lonceng gereja pun berbunyi setelah mengucapkan kata “Aku bersedia”. Tidak. Aku bukan orang seperti itu.
Aku Xavier Jeremiah Huges, seorang CEO sebuah perusahaan stasiun televisi dengan penghasilan ratusan juta. Aku punya banyak aset dimana-mana. Aku juga menerbitkan beberapa buku dengan nama pena. Meski aku seperti ini, aku juga tak bodoh. Mereka yang datang padaku bukan menginginkan aku melainkan uangku. Ok, mungkin sebagiannya tak keberatan dengan tampangku, tapi tetap saja tampangku hanya bonus tambahan, mereka hanya menginginkan uangku. Itu sebabnya aku tak pernah muncul dalam acara-acara penting yang akan membuatku tersorot televisi.
Jika mereka bilang bahwa mereka hamil, maka aku akan segera membawa mereka ke dokter dan langsung memeriksan DNA si calon bayi. Tak pernah ada yang terbukti. Tak pernah ada bayi. Kalaupun ada, mereka bukan bayiku.
Kali ini, wanita ini juga akan mengalami hal yang sama.
“Kau yakin?” kataku dengan nada tenang, menyelipkan senyumanku padanya.
Wanita itu mendesah. “Aku tahu kalau kau akan bilang begitu.”
Aku mengangguk setuju. “Bukankah itu pertanyaan yang masuk akal? Aku sudah tak pernah bertemu lagi denganmu. Nyaris dua bulan. Apapun bisa terjadi.”
Daphne salah satu kencanku. Kami putus dua bulan lalu, kurasa dan tentu saja dengan perpisahan di tempat tidur. Aku tak terlalu ingat. Otakku benar-benar payah. Dia sebenarnya wanita yang menarik, andai saja dia tak memilih untuk meninggalkanku.
Sekarang aku ingat bahwa wanita inilah yang meminta putus. Dia wanita terlama yang jadi kencanku selama ini. Kami bertemu di acara amal WHO dan dia salah satu konsulatnya. Dia wanita cerdas, menarik, ceria, humoris dan percaya diri. Dalam sekejap kami cocok. Hubungan kami tak seperti hubungan para pasangan lain. Kami punya hubungan yang berjalan seperti siput. Aku jarang bisa mengajaknya keluar karena dia sangat sibuk.
Kurasa itulah sebabnya dia memilih untuk putus. Dia lelah meninggalkanku sendirian.
Wanita itu mendesah lagi. “Aku yakin bahwa ini anakmu. Aku tak menjalin hubungan lagi dengan siapapun kecuali denganmu.”
Salah satu alisku naik sebelah. “Kau tak berpikir kalau aku termakan umpanmu kan?” Wanita ini sangat cerdas, aku tak ingin dia mengikatku dalam hubungan pernikahan hanya karena ini.
Dia tersenyum di seberang sana. “Kau cerdas, Jeremiah, tapi aku yakin. Kita bisa tes kalau kau mau.”
Melihat ketenangannya, aku takut apa yang dia katakan benar. Inilah salah satu hal yang membuatku gentar menghadapi Daphne, rasa percaya diri dan sikap tenangnya. Tapi aku tak akan menunjukkan ekspresi berarti, melainkan tersenyum kecil padanya.
“Kita akan tes untuk membuktikannya,” kataku pelan. “Tapi, bila yang kau katakan tak terbukti—”
Dia memotongku, masih dengan senyuman tenangnya, “Aku tahu konsekuensinya, Jeremiah. Aku yakin bahwa aku bukan wanita pertama yang mengatakan ini. Popularitasmu di kalangan wanita sangat luar biasa.”
Aku tertawa kecil. “Why thank you.”
“Itu bukan pujian,” katanya.
Senyumku tak hilang. “Apa yang kau inginkan dariku, Daph? Pernikahan?”
“Tidak,” Daphne menggeleng.
Aku mengerutkan dahi. Wanita ini tak menginginkan pernikahan? Kalau begitu apa? Uang? Mobil? Rumah? Well, kurasa itu tak masalah. Aku bisa menyiapkannya bila dia mau. Tapi rupanya penjelasan selanjutnya membuat harga diriku sedikit terluka.
“Aku tak ingin menikah denganmu, Jeremiah. Kau jelas-jelas calon suami terburuk bagi seluruh wanita di muka bumi. Aku yakin itu.”
“Lalu?” aku bertanya pelan, sedikit penasaran.
Daphne meminum kopinya lagi, aku menunggunya dalam diam. Wanita ini sepertinya sedang berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk bicara.
“Sebenarnya, aku tak menyangka bahwa aku hamil. Aku baru tahu bahwa aku hamil minggu lalu dan syukurlah aku bertemu denganmu. Usia kehamilanku nyaris dua bulan,” dia menggigit bibirnya, lalu kembali melanjutkan. “Jujur saja aku shock. Aku tak ingin hamil, tapi aku tak mungkin tidak memberitahu hal ini padamu sebelum aku mengambil keputusan.”
“Kau berniat menggugurkannya?” Aneh, suaraku terdengar tenang bahkan asing sekali bagi telingaku sendiri. Tapi jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku sama sekali tak senang dengan keputusan yang sempat dipikirkannya ini. Dia ingin membunuh bayi yang tak berdosa? Sungguh?
Daphne menggigit bibir lagi. Matanya berkaca-kaca. “Aku tak akan bisa jadi Ibu yang baik, Jeremiah. Aku masih terlalu muda untuk punya anak.”
“Kau sudah dua puluh dua tahun, Daphne.” Aku menatap matanya, sama sekali tak terkesan dengan air matanya. “Kau hanya mengarang alasan karena kau tak menginginkan anak itu.”
“Aku menginginkannya, tapi tidak sekarang.”
Well, itu egois namanya.”
“Aku tak akan pernah ada untuk bayi ini, Jeremiah, karena itu—” Dia menggeleng ketika aku mengerutkan dahi.
“Kau cukup keluar dari pekerjaanmu itu dan, jika benar itu anakku, aku akan memberikan uang yang cukup untuk kalian berdua. Percayalah.”
Daphne mendesah. “Aku sudah bilang kalau aku tak ingin pernikahan, ataupun uangmu. Aku punya uang yang cukup, bila itu yang kau pikirkan.”
Aku masih belum mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Lalu, apa yang kau inginkan dariku?”
“Kasih sayangmu,” katanya. Aku mengerjap dengan permintaannya. “Bila kau menginginkan anak ini, aku ingin kau yang merawatnya.”
Aku tertawa mendengar apa yang barusan dia katakan. Yang benar saja. Dia pikir aku akan bisa menjaga seorang bayi. “Dan kenapa kau pikir aku bisa merawatnya?”
“Jeremiah, aku memang bilang kau bukan suami yang baik, tapi kau jelas seorang Ayah yang baik.”
Aku menggeleng, nyaris tertawa lagi.
“Ingat saat kita mengunjungi salah satu panti asuhan khusus kanker?” Dia menatap mataku dan aku paling tak suka caranya memandangku, seakan dia tahu apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan. “Aku melihatmu berinteraksi dengan mereka. Kau menyayangi mereka. Kau memeluk mereka. Kau memastikan mereka baik-baik saja. Dan jangan sampai aku bilang kalau kau ternyata sering sekali memberikan uang pribadimu untuk beberapa panti asuhan.”
Senyumku menghilang. “Apa kau menguntitku?”
“Aku mengenal beberapa temanmu yang jadi temanku.”
Perkataannya membuatku terdiam. Tak bisa dipercaya. Teman-temanku berani memberitahukan apa yang kulakukan di belakang pekerjaanku! Padahal aku sudah menyuruh mereka tutup mulut dan ini yang dibalas mereka padaku? Dasar tak tahu terimakasih. Memang hanya Cody sahabat sejatiku. Dia tak akan pernah membeberkan apa yang jadi rahasiaku.
“Aku hanya ingin tahu keputusanmu.” Suara Daphne kembali mengalihkan perhatianku. “Bila kau menginginkan bayi ini, aku tak keberatan melahirkannya. Tapi bila tidak—”
“Jangan gugurkan dia,” kataku.
Aku tak tahu kenapa aku mengatakan hal itu, tapi bibirku bergerak sendiri. Sekarang aku bisa mengerti apa yang ada di pikiran Cody ketika dia yakin bahwa Keyna mungkin hamil anaknya. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa dan juga curiga. Benar, aku masih curiga pada apapun itu yang direncanakan Daphne padaku. Tapi aku tak bisa tinggal diam bahwa ada nyawa yang saat ini dipertaruhkan, terlepas apakah dia anakku atau bukan.
Mungkin Daphne tidak menginginkan pernikahan. Aku bisa terima hal itu. Aku juga belum ingin menikah. Daphne bukan orang yang tepat untukku. Aku sedang menunggu “orang itu” hadir, seperti yang dirasakan Cody pada Keyna, lalu menikah dengannya—siapapun dia.
“Anak siapapun itu, kau tak boleh membunuhnya begitu saja,” kataku tenang. “Pertama-tama, aku ingin meyakinkan dulu bahwa anak itu adalah anakku atau bukan. Jika dia memang anakku, aku akan menjaganya, kau tak perlu khawatir. Dia akan berada dalam pengawasanku. Tapi bila tidak, kita akan menemukan siapa Ayahnya, lalu memikirkan langkah yang lain.”
Daphne tersenyum lagi. “Aku tahu bahwa kau akan mengasuh anak ini.”
“Aku tak akan mengabaikan seorang bayi. Mereka berhak untuk hidup,” kataku kalem.
Wanita itu mengangguk setuju, memberikan ekspresi berterima kasih tapi juga sedikit aneh. Aku merasa ada sesuatu pada ekspresi Daphne. Dia tak seperti biasanya.
“Daph, apa semua baik-baik saja?”
Kilatan itu hilang dari matanya. Aku mengerjap, sedikit kaget dengan perubahan itu. “Ya, Jeremiah. Semua baik-baik saja.” Dia menghirup kopinya lagi, lalu melihat keluar jendela. “Lalu kapan kita akan ke rumah sakit?”
“Secepatnya,” kataku. “Saat ini aku sedang liburan.”
“Ya, aku jarang sekali melihatmu ada di sini.”
Kami menghabiskan sisa sarapan kami dengan mengobrol ringan. Daphne, seperti biasa, membicarakan tentang apa yang dia kerjakan selama ini. Wanita itu memang selalu sibuk dengan urusan WHO dan badan amal lainnya. Aku tak akan kaget bila sewaktu tidur pun dia akan tetap membicarkan hal itu. Kami tertawa dan bercanda. Aku lupa sama sekali mengenai kenyataan bahwa dia adalah Ibu dari calon si bayi—yang kemungkinan besar adalah anakku. Aku tak ingin memikirkan ini, tapi aku cukup ngeri membayangkan kalau aku akan jadi Ayah. Aku terkena jebakan yang sama seperti yang didapat oleh Cody. Kenapa kami selalu berakhir dengan adegan yang sama? Aku tak percaya ini. Cody benar-benar belahan jiwa yang terpisah di tubuh yang berbeda. Hanya saja, ketika seluruh sifat yang baik ada padanya, seluruh sifat yang jelek menempel padaku.
“Kenapa lama sekali membeli selainya?” Fran bertanya, sedikit khawatir ketika aku masuk.
“Tadi aku bertemu teman lama,” kataku.
“Perempuan?”
“Ya,” kataku, menggantung mantelku. “Mana Gabrielle?”
“Dia bersama Oliver dan teman-temannya. Mereka mengajaknya nonton.”
“Lagi? Berapa kali aku bilang kalau aku tak suka anak itu?” kataku jengkel, melepas bootku dan menendangnya sampai menghantam pintu. Fran mundur, tapi tidak sebelum dia memberi komentar, “Gabrielle butuh teman, Jeremiah, dan Oliver beserta teman-temannya orang yang baik. Mereka membuat Gabrielle tertawa.”
Aku memutar bola mata. “Aku akan menghajar si Oliver itu. Aku sudah bilang padanya untuk tak dekat-dekat Gabrielle dalam jarak sepuluh meter,” gerutuku.
“Kau terlalu paranoid. Mereka tak akan menyakiti Gabrielle,” katanya. Aku mendorongnya minggir, masuk menuju dapur. Suaranya masih menasehatiku, mengikutiku di belakang. “Gabrielle juga sudah cukup besar untuk menjaga dirinya sendiri. Dia remaja sehat. Dia butuh bersosialisasi.”
Saat aku masuk ke dapur, aku melihat meja makan masih menyisahkan beberapa potong roti panggang dengan sosis dan pancake. Dahiku mengerut. Sambil meletakkan selai yang tadi kubeli, aku menoleh ke belakang dan bertanya padanya, “Kau belum sarapan?”
Wajahnya merah padam dalam sekejap. “Uh, kupikir aku akan menunggumu untuk sarapan.”
“Apa kau sudah gila? Apa kau tak berpikir kalau aku mungkin saja makan di luar?” Aku melirik arloji. Aku keluar dari rumah lebih dari dua jam.
“Oh, kau sudah makan di luar?” Dia bertanya seperti orang bodoh.
“Belum,” kataku, bertanya-tanya kenapa aku berbohong. Aku sudah sarapan di luar bersama Daphne dan aku bilang kalau aku belum sarapan? Tak bisa dipercaya.
Pria itu dalam sekejap berubah ceria. “Akan kupanaskan sosisnya. Kita bisa sarapan berdua. Gabrielle tak bisa menunggumu karena dia harus bersiap.”
“Ok.” Aku mengerjap melihat betapa bersemangatnya Fran menyiapkan makanan dan memilih menarik kursi, lalu duduk di meja makan.
Entah mengapa, aku merasa bahwa perhatian Fran sedikit menggangguku.

***

GABRIELLE(POV)
Teman-teman Oliver benar-benar berisik, heboh, dan bodoh. Tapi mereka cukup menyenangkan. Setidaknya mereka tidak menganggapku aneh atau apa. Mereka malah membuat permainan “Tebak Ekspresi” yang menurutku sangat tak penting dan konyol.
Setelah keluar dari mobil dan menuju bioskop, mereka sekarang sibuk dengan poster untuk menentukan film apa yang akan mereka tonton. Mereka seperti anak ayam kehilangan induk, kecuali Noah. Sejak tadi, pemuda itu hanya berdiri di sampingku, bersedekap dan geleng-geleng kepala melihat betapa kekanak-kanakannya teman-temannya. Dia membaktikan dirinya sebagai juru bicaraku karena memang hanya dia yang mampu menebak apa yang dalam pikiranku.
“Aku tak mau horor. Kau tahu kalau aku tak suka horor!” Ben menjerit jengkel begitu Jimmy menunjuk salah satu poster film horor.
“Maaf saja, tapi aku sedang tak ingin menonton romance, apalagi tentang vampire! Itu girly sekali,” balas Jimmy dan Ben memukul tangannya keras sekali. “Woman, stop hitting me!
“I’m not woman! I’m man and proud of it!”
“Then act as ones!”
Ben memukulnya lagi.
“Tidakkah kalian pikir kalau sebaiknya biarkan Gabrielle yang memilih film?” kata Noah, tapi tak ada satupun yang mendengar. Mereka masih berargumen soal film yang akan mereka tonton. “Mereka benar-benar membuatku sakit jiwa,” gerutunya, lalu melangkah menuju teman-temannya.
Bosan dengan pertengkaran mereka, aku melangkah untuk melihat poster-poster lain. Ok, ada banyak sekali jenis film yang bisa kami tonton. Aku tak terlalu tertarik pada action ataupun romance. Aku suka film yang ada flashnya, terutama animasi. Ada beberapa poster dan judul animasi yang tayang bulan ini. Aku mengamati setiap poster dengan tertarik.
Lalu aku menemukannya.
Alexandria. Disutradarai oleh Cody Handerson.
Bibirku tersenyum lebar begitu menemukan nama Cody. Aku tahu kalau Cody seorang sutradara karena Fran pernah cerita. Mataku melihat poster film animasi terbaru Cody. Poster itu menunjukkan sebuah pemandangan Mesir dengan pyramid, spynx, gurun dan sebuah bangunan putih besar yang tampak seperti Gedung Putih. Di depan poster ada salah satu tokoh animasi, mengenakan rok lipit dengan kalung berlambang Ra tergantung di lehernya. Tokohnya lumayan tampan dan menarik, apalagi dengan warna emas yang nyaris memenuhi satu poster itu.
Alexandria,The City of Knowledge, here I came.
Telunjukku mengetuk dagu. Aku selalu suka dengan quote yang diberikan pada setiap film-film Cody. Di film pertamanya, Blue Innocent, kutipan yang diberikan Cody adalah “The Blue is Innocent”, kemudian di game terbarunya, ada lagi kutipan yang menarik, “Ini mimpimu. Bila kau tak bisa berlari ketika mencapainya, maka berjalanlah. Bila kau tersandung dan jatuh, maka merangkaklah, karena semuanya dimulai dari merangkak.” Ada lagi kutipan lain yang membuatku terkesan “Di detakan pertama sampai detakan terakhir, yang akan terdengar hanya namamu.” Dan “Jadilah daun, yang memilih meninggalkan pohon pada musim gugur, tapi akan muncul lagi pada musim semi.”
Semua kutipan Cody benar-benar luar biasa. Sederhana, tapi sangat mengena. Aku tak pernah lupa satupun. Aku tak ingin mengakui hal ini, tapi aku, sejujurnya, adalah penggemar berat Cody. Setiap filmnya membuatku jatuh cinta. Dia luar biasa. Aku ingin jadi sepertinya jika sudah besar nanti.
Dan dengan adanya film terbaru Cody membuatku tak sabar. Aku ingin menontonnya.
Aku memilih melangkah menuju layar priview dan melihat jalan cerita “Alexandria” dengan bergairah.
Ada tulisan “Alexandria” pada layar televisi, yang muncul lalu menghilang dalam sekejap, memunculkan pemandangan kota Mesir Kuno dari atas, dengan gurun pasirnya yang kuning, pyramid besar, sungai Nil dan pemandangan indah lainnya. Kota itu benar-benar indah, tampak seperti asli daripada anime. Lalu adegan berganti menyorot pada tokoh utama yang ada di depan poster. Pemuda itu tidak semenarik yang ada di poster, dia jauh lebih kumuh. Dia tengah berada di salah satu bangunan, mengintip para cendikiawan yang belajar di belakang istana.
“It told about passion.”
Lalu adegan berubah menjadi dramatis ketika si Tokoh Utama dikejar-kejar oleh prajurit istana dan dipukuli, bahkan dihina oleh para cendikia dan dimasukkan ke dalam penjara.
“Life and curse.”
Kemudian adegan berubah menjadi lebih cepat dimana si Tokoh Utama entah kenapa bisa melarikan diri. Lalu bertemu dengan seseorang. Adegan berlanjut lagi menjadi dimana dia sudah berpakaian bagus dengan perkamen dan di tangan. Lalu adegan dimana dia ternganga melihat besarnya perpustakaan Alexandria.
“Promise.”
Adegan berganti menjadi saat-saat ujian, yang menurutku sangat menyesakkan. Lalu ke adegan dimana dia bertemu dengan Raja, kemudian penghormatan, lalu saat-saat dimana dia akan mengalami masa sulit.
Alexandria,The City of Knowledge, here I came.” Tokoh itu di sorot, melihat bangunan putih besar di depannya dengan sorot mata penuh keyakinan. “Aku akan menaklukanmu, seperti kau menaklukanku.”
Dan layar menjadi gelap.
“Wow,” desahku tak percaya. Rasanya denyutan di dadaku bertambah cepat tiap kali melihat cuplikan film Cody. Aku selalu terkesan dengan cuplikannya dan filmnya memang tak pernah mengecewakan.
Puas dengan cuplikannya, aku memutuskan untuk menonton Alexandria dan tak berniat melihat cuplikan lainnya. Begitu aku kembali, mereka masih bertengkar.
Action,” kata Troy.
Romance!” Ben tak setuju.
“Horor!” Jimmy masih berkeras meski Ben memukulnya lagi.
“Alexandria,” kataku. Suaraku berhasil mendiamkan mereka. Dalam sekejap, pandangan mereka menuju padaku. Mereka sepertinya belum terbiasa dengan suaraku dan ekspresi mereka tiap kali aku berbicara benar-benar lucu. Aku suka sekali bila mereka terkejut begitu. “Aku mau nonton Alexandria.”
Jimmy mengerang jengkel. “Itu film animasi kan? Kita bukan anak-anak lagi.”
Aku mengangkat kedua bahuku dengan tak peduli dan melangkah menuju kasir.
“Tunggu, aku juga mau nonton Alexandria,” kata Oliver.
“Aku juga,” Noah mengangguk setuju. “Aku sudah lama mengincar film itu.”
Kami melirik Ben, Jimmy dan Troy.
“Lebih baik aku nonton Alexandria,” kata Ben akhirnya dan mereka berdua mengerang jengkel. Karena menonton film ditentukan berdasarkan jumlah suara terbanyak, maka mau tak mau, Troy dan Jimmy terpaksa ikut antrian.
Oliver dan Jimmy segera mengantri untuk membeli tiket, yang ternyata cukup panjang. Aku, beserta dengan Noah dan Ben memutuskan untuk membeli popcorn. Troy pergi ke toilet, sekaligus mengambil mantelnya yang ketinggalan.
“Aku tak tahu kenapa Jimmy suka sekali film horor,” Ben mendesis jengkel. “Kenapa ada orang yang suka menonton film horor dan menghabiskan uangnya hanya untuk menakut-nakuti dirinya sendiri?”
“Itu karena Jimmy bisa memanfaatkan momen itu untuk dipeluk wanita. Jika kau bukan penakut, Ben, kau tentu akan memilih hal yang sama.”
Ben memukul tangan Noah, meski Noah tak bereaksi. “Dan kenapa kau memilih Alexandria, Gabrielle? Film itu kan membosankan. Aku tak terlalu suka cuplikannya.”
“Aku suka,” kata Noah dan Ben memukulnya lagi.
“Aku tak tanya padamu, aku tanya pada Gabrielle.”
“Aku menjawab pertanyaanmu,” kata Noah, menatapku, “ya kan?”
Ben memukul Noah lagi. “Sejak kapan namamu berubah menjadi Gabrielle?” Noah mendengus pada pertanyaan itu sehingga Ben bisa melihat padaku. “Jadi?”
Aku tahu Ben sengaja melakukan itu agar aku mau berbicara padanya. Dia ingin sekali aku menjadi teman ngobrolnya. Apa dia tak tahu bahwa aku lebih menginginkan Noah daripada dia? Tapi baiklah, aku akan meladeninya. Lagipula pertanyaannya tidak sesulit itu.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Aku mengenal sutradaranya dan aku penggemarnya.”
“Kau bercanda!” Noah menganga tak percaya. “Kau kenal Cody Handerson?”
Aku mengangkat kedua bahuku. “Aku hanya sekali bertemu dengannya.”
“Kau beruntung sekali. Aku penggemarnya!” kata Noah lagi.
“Dia sahabatnya Jeremiah,” kataku.
Oh my god!” Noah nyaris saja pingsan. “Seperti apa dia? Selama ini aku hanya melihat wajahnya di televisi. Dia masih muda sekali ketika Blue Innocent muncul.”
Dan kami menghabiskan waktu mengobrol mengenai Cody dan film-filmnya. Aku tak menyangka akan bertemu dengan salah satu fansnya Cody juga. Tak banyak orang yang seperti kami. Kebanyakan orang hanya menikmati sebuah film tanpa pernah tahu siapa yang membuatnya. Tapi aku dan Noah berbeda. Dia sepertiku. Kami menyukai orang yang sama, kami tahu semua filmnya.
“Kita harus ngobrol banyak, Gabrielle,” Noah memasukkan nomor teleponnya ke kantung mantelku. “Kalau kau bertemu dengan Cody, beritahu aku.”
Begitu kami kembali, Troy segera mengambil minuman yang dipeluk Ben untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Jimmy dan Oliver kembali dari antrian, mengambil sisa makanan yang lain, lalu kami masuk ke bioskop.
“Apa kau sudah pernah nonton di bioskop sebelumnya?” Oliver bertanya di sebelahku.
Aku mengangguk.
Suara riuh rendah dari penonton segera hilang begitu lampu dipadamkan. Dan aku segera menyandarkan tubuh dan rileks untuk menikmati film Cody.

***

Write: Medan, 28 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.