04
Friends
==========
Gabrielle(POV)
Aku dibangunkan
oleh bunyi berisik dari dapur dan bau pancake
yang enak sekali. Aromanya nyaris menyebar ke seluruh ruangan. Masih dengan
mata tertutup, aku tersenyum senang. Fran benar-benar tahu bagaimana
membangunkanku.
Sejak Fran
mengadopsiku, masakan buatannya yang membuatku tetap bertahan. Mau tahu kenapa?
Itu karena dia jago sekali memasak.
Aku ingat saat
pertama kali menginjakkan kaki ke rumah kecilnya, aku gugup luar biasa. Dia
menghabiskan waktu sepanjang hari memperkenalkan seluruh isi ruangannya dengan
begitu gembira.
Rumahnya begitu
kecil, menimalis, tapi bila ditempati oleh kami berdua, rumah itu sudah cukup
besar. Ada dua tempat tidur, satu untukku dan satu untuknya. Sebuah dapur kecil
yang nyaman berwarna krem dengan lantai kayu, sebuah ruang keluarga dengan
televisi layar datar tertempel di dinding beserta dengan begitu banyak
peralatan eletekronik dan game, lengkap dengan sofa nyaman dan karpet lembut.
Aku hanya mendengarkan apa yang ingin dia katakan padaku dan aku tak berniat
bicara. Aku memang belum mengenal dirinya, jadi aku memutuskan untuk berjaga-jaga,
siapa tahu nanti dia akan mengembalikanku. Aku tak ingin dikembalikan dalam
waktu singkat.
Malamnya, aku
gugup tidur sendirian. Aku tak pernah tidur sendirian sebelumnya. Selama ini
aku tidur bersempit-sempitan dengan anak-anak lain dan biasanya mendapatkan
tempat paling sempit. Jika mereka berbaik hati—atau ketahuan oleh Ms
Khan—mereka akan memberikanku tempat sedikit bagiku di ujung tempat tidur, dan
jika tidak, aku hanya tidur di lantai. Tapi sekarang tidak. Fran memberikan
sebuah kamar yang nyaman untukku. Dinding kamarku berwarna biru yang dicampur
dengan warna hijau lembut. Sebuah jendela kaca besar dengan gorden coklat. Ada
meja belajar, tempat tidur empuk dan rapi, sebuah laptop, ipad, tablet—dan
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang remaja seusiaku. Dia sudah mengisi
lemari dengan pakaian yang membuatku mengerjap dan menganga tak percaya. Dia
menyediakan buku-buku, memberikan segalanya bahkan tanpa aku perlu meminta.
Fran hanya
tersenyum tiap kali aku memandangnya.
Malam pertamaku
di kamar baru, aku sama sekali tak bisa tidur. Fran mengecekku tiap jam, untuk
memastikan apakah aku nyaman atau tidak, apakah aku menyukai kamarku atau
tidak, apakah aku membutuhkan sesuatu atau tidak, yah, kau tahu, dia seperti
petugas patroli dua puluh empat jam. Akhirnya, karena aku tak bisa tidur, Fran
memilih menemani malamku dengan dia memelukku dan aku tidur dengan nyaman.
Belum pernah ada yang memperlakukanku senyaman itu sebelumnya—bahkan oleh Ayah
kandungku sendiri. Entah mengapa aku yakin bahwa pria ini, siapapun dia di masa
lalu, akan jadi orang tua yang baik bagiku.
Pagi harinya,
begitu aku bangun, Fran sudah tak ada, tapi aroma sarapan membuatku tergoda.
Insting membuatku bangkit dari tempat tidur dan turun ke dapur. Bila kau
tinggal di panti asuhan, maka hal pertama yang harus kau lakukan adalah
menghabiskan makananmu sebelum orang lain melakukannya. Itulah tepatnya yang
kulakukan, aku makan sangat lahap saat itu, dan Fran hanya tersenyum bahagia.
Pria itu, aku
menyadari, lebih banyak tersenyum bila aku melakukan atau mengatakan sesuatu.
Dia selalu bisa membaca pikiranku. Dia mengerti kapan harus berbicara,
merespon, menyentuh, ataupun bertingkah denganku.
“Pancake, wow, kau benar-benar bisa
memasak.”
Terdengar suara
Jeremiah dari arah dapur. Aku mengintip, mengerutkan dahi melihat Jeremiah
berdiri di samping Fran. Fran tengah menggumamkan sesuatu, yang sepertinya
seperti makian padanya. Tapi Jeremiah memilih tertawa kecil dan menepuk-nepuk
bahunya.
Dahiku mengerut.
Ok, ini tak biasa. Telah terjadi sesuatu pada mereka berdua. Mereka biasanya
selalu bertengkar karena hal tak jelas. Aku, dengan bodohnya, selalu bisa
menduga apa yang membuat mereka bertengkar: piring, gelas, film, baju, kamar,
dan lainnya—mirip pasangan suami-isteri.
“Dimana kau buat
selai strawberrynya?” Jeremiah bertanya, membuka lemari, mengeluarkan
botol-botol selai.
“Aku tak beli
selai strawberry.” Fran meletakkan potongan pancake
ke atas piring.
Jeremiah
mendengus, melirik selai-selai di tangannya. “Kacang, coklat, nanas, hell, aku suka strawberry, minimal blueberry.”
Fran mengerutkan
dahinya, mengambil botol-botol itu dari tangan Jeremiah. “Akan kubeli nanti.
Bisa kau bangunkan Gabrielle? Dia biasanya sarapan.”
Dan sekarang
mereka tak bertengkar karena “selai”. Jika aku bisa mengulang waktu, mereka
akan bertengkar karena “selai”. Tapi kali ini? Tidak. Mereka berbicara dengan
nada bersahabat. Tidak ada cacian. Tak ada suara berlebihan. Aura Jeremiah
malah terlihat jadi jauh lebih halus daripada sebelumnya. Dia tampak lebih santai,
lebih lembut, dan lebih perhatian pada Fran. Sebaliknya, Fran tampak lebih
percaya diri, lebih ceria dari pada sebelumnya, dan lebih tenang.
“Tidak perlu,
aku sudah bangun,” kataku dan melompat duduk di salah satu kursi makan.
Jeremiah
menaikan alis, membawa piring dan meletakkan salah satunya padaku. “Pagi,
Pemalas. Nanti giliranmu cuci piring, ok?” Dan duduk di salah satu kursi.
Aku tersenyum
semanis mungkin padanya. “Aku tak keberatan.”
Fran menata
beberapa bagian dapur sebelum akhirnya memilih duduk di samping Jeremiah. Aku
tak luput melihat bahwa jarak mereka jadi jauh lebih dekat daripada sebelumnya,
entah mereka menyadarinya atau tidak. Tapi tidak, aku tak akan mengatakannya.
Aku lebih sudi menonton mereka karena aku tahu mereka pasti langsung ngeri
dengan perkataanku.
“Pagi ini kita
akan kemana?” Jeremiah bertanya.
“Kita?” Fran mengulang, mengerutkan dahi.
“Ya, kita. Kau pikir ada berapa banyak
orang yang ada di sini?” Jeremiah memutar bola matanya, menusuk pancakenya.
Fran menahan
napas, matanya berkilat kebingungan. “Aku dan Gabrielle berencana untuk
mengunjungi makam kedua orang tuaku pagi ini, tapi aku tak tahu kalau aku
mengajakmu juga dalam acara ini.”
Bagus sekali,
Papa Fran, kau akan membuat Jeremiah kesal padamu, pikirku.
“Hmph, sayang sekali.
Aku tak sudi menghabiskan waktuku di dalam rumah berbatu prmitif yang bahkan
tak ada layar televisinya.”
Dan bagus
sekali, Jeremiah, kau akan membuat Fran membalasmu, tambahku lagi.
“Kau yang
tiba-tiba memunculkan diri, Jeremiah,” kata Fran. “Aku tak mengajakmu.”
Jeremiah
menghabiskan potongan pancakenya,
meminum jusnya, lalu menepuk-nepuk serbet dengan gaya elegan, membalas Fran
dengan senyuman dan perkataan yang membuatnya menganga, “Sayang sekali, dalam
kasus kali ini, kau harus bertanggung-jawab karena membawaku kemari. Jika
kalian tak keberatan, aku mau mandi dulu dan bersiap menuju area pemakaman,
siapa tahu aku akan bertemu dengan wanita cantik di atau menuju ke sana.
Permisi.”
Aku tertawa
kecil pada Jeremiah yang mengedip padaku lalu menghilang ke kamarnya.
“Gabrielle, kau
tak boleh menjadi sepertinya,” katanya.
“Aku suka
padanya,” kataku, menusuk pancakeku
dan memakannya dengan lahap.
“Kau boleh
menyukainya tapi tak boleh menirunya.” Fran menatapku dengan tatapan mata yang
berapi-api. “Dia seperti… entahlah, aku tak tahu jalan pikirannya.”
“Kau
menyukainya.”
Dia mengerjap.
“Apa?”
“Kau
menyukainya.”
Dia mengedip
beberapa kali, lalu memandang piringnya sendiri. “Aku memang menyukainya. Dia
orang yang menyenangkan. Dia mudah bergaul dan humoris. Tapi tetap saja
menyebalkan.”
Aku memutar bola
mata. Fran benar-benar tidak bisa membaca maksud perkataanku. Kata “suka” yang
kubicarakan berbeda dengan “suka” yang dia bicarakan. Aku belum berani bilang
“cinta” karena aku tahu perasaan Fran belum sejauh itu. Tapi aku tahu dia
memiliki “sesuatu” untuk Jeremiah. Aku tak perlu bertanya padanya. Aku cukup
melihatnya.
Aku pertama kali
menyadari hal itu saat Fran melihat Jeremiah keluar dari mobilnya, di parkiran
apartmennya Cody. Fran sama sekali tak bisa mengalihkan matanya dari Jeremiah.
Aku bisa mengerti kenapa. Jeremiah tampil amat mencolok saat itu. Rambut basah,
dengan wajah tampan dan tenang serta garang, pakaiannya menampilkan sebagian
besar figurnya—hei, aku masih anak-anak, aku tak sespesifik itu memperhatikannya—belum
lagi dia baru saja jadi super hero karena baru menyelamatkan kami dari badai.
Kilatan di mata Fran terhadapnya berubah karena itu.
Fran tidak
menyadarinya, begitu pula dengan Jeremiah atau Cody meski—aku yakin—Cody
sedikit curiga. Seatap dengan Cody dalam waktu beberapa jam saja aku sudah bisa
mengenalnya dengan baik. Demi Tuhan, aku tak akan mencari masalah dengan Cody.
Sebentar dia akan menjadi sangat tenang dan menyenangkan, sebentar lagi dia
akan mengayunkan tangannya pada Jeremiah. Bukan hanya itu, Cody punya tatapan
mata yang berbahaya. Aku bisa melihatnya. Dia tidak setenang yang dia tunjukan.
Aku bisa melihat ada monster lain yang bersembunyi di tubuhnya.
Aku menghabiskan
makananku, tak ingin mengganggu Fran berpikir.
***
Fran(POV)
Aku memang menyukai Jeremiah.
Tapi aku tak
tahu seberapa suka.
“Wow,
benar-benar pemakaman,” gumam Jeremiah, memutar bola mata. Aku juga ikut
melakukan hal yang sama. Saat ini kami memang ada di area pemakaman.
Nisan-nisan putih ditidurkan dengan sangat rapi, rata dengan tanah, tertutupi
rumput. Untuk membuat taman pemakaman ini lebih indah dan tidak menyeramkan,
aku melihat ada patung-patung putih sebagai penghiasnya. Aku mengenali
beberapa: Bunda Maria, salib, David, dan yang lain sebagainya.
“Sudah berapa
lama kedua orang tuamu meninggal?” Jeremiah bertanya lagi, berjalan ke
sampingku. Hangat tubuhnya membuat rambut di sekitar lenganku berdiri.
“Sudah cukup
lama,” jawabku pelan.
Jeremiah
bergumam. “Hmmm.”
Kami berjalan
lagi. Gabrielle ada di sampingku, memegang lenganku sambil terus tersenyum
padaku. Aku balas tersenyum padanya. Aku lega sekali Gabrielle sudah bisa
membuka dirinya padaku. Aku berharap bahwa dia juga bisa berteman baik padaku,
seperti Jeremiah bisa berteman dengannya. Mungkin ini bodoh sekali, tapi aku
berharap bukan hanya sebagai Papa Gabrielle tapi juga temannya, sehingga dia
bisa menceritakan apapun padaku.
Akhirnya kami
berhasil menemukan makan orang tuaku. Letaknya cukup jauh di tengah. Kedua
makam itu tidur berdampingan. Air mataku nyaris jatuh melihat bahwa makam putih
itu kini sudah sedikit lebih tua daripada terakhir kali aku datang kemari.
Begitu aku meletakkan karangan bungaku, menyentuh nisan mereka, aku merasakan
kerinduan yang amat sangat pada mereka.
“Mom, Dad, aku
datang,” gumamku, dan aku menoleh pada Jeremiah yang memberikan setangkai bunga
mawar ke makam Ibuku.
“Halo, Mrs
Cattermole,” kata Jeremiah, “Namaku Jeremiah. Aku temannya Fran. Sayang sekali
aku belum pernah berjumpa denganmu, karena bila hal itu terjadi, aku mungkin
sudah memenuhi rumahmu dengan seribu mawar.” Aku mengerjap dengan apa yang
dikatakannya, apalagi dia belum selesai. “Putramu baik-baik saja. Sedikit
membosankan, tapi masih bisa diajak kompromi.”
Aku memukul
tangannya, keras sekali sampai dia meringis. “Apa yang kau katakan pada Ibuku?”
“Aku cuma
mengatakan kebenaran,” desisnya. “Diam, aku sedang ngobrol dengan Ibumu.”
Seolah melihat Ibuku, Jeremiah kembali mengalihkan perhatiannya pada makam
orang tuaku. “Ah, ya, Fran memang belum pernah menceritakan apapun tentangku,
tapi percayalah, aku tak akan meninggalkannya sendirian. Aku akan menjaganya
dengan baik. Jadi kalian bisa tenang-tenang saja dan bersantai, minum teh bila
perlu sambil membaca novel dan nikmati bulan madu kedua kalian di alam sana. Aku
janji akan sering mengunjungi kalian, bersama Fran dan Gabrielle. Dan, oh, ya!”
Dia menarik Gabrielle ke sampingnya. “Fran, seperti dirinya yang pelupa karena
dia sudah tua, lupa mengenalkan kalian pada cucu kalian. Dia putra Fran dan
putraku juga. Ok, mungkin kalian bingung, aku juga merasakan hal yang sama,
tapi semua dalam kendali. Ya, kan Gabrielle?”
Gabrielle
memandang Jeremiah seakan dia sudah gila, tapi hanya mengangguk.
“Ayolah, Dik,
perkenalkan dirimu pada Kakek dan Nenekmu,” kata Jeremiah.
Kali ini
Gabrielle ganti memandangku, lalu pada Jeremiah lagi, kemudian pada makam kedua
orang tuaku. Aku menelan ludah.
“Hi,” katanya
serak. “Erm, senang berjuma dengan kalian.” Dia memainkan tangannya,
mengerinyit sedikit. “Terimakasih karena sudah membesarkan seorang Papa yang
menyayangiku.”
Air mataku tak
terbendung lagi. Selama ini aku selalu merasa datang ke sini hanya akan
mengingatkanku pada rasa kesepian yang mendalam. Aku selalu pergi sendiri. Aku
tak pernah ditemani oleh orang lain. Aku selalu merasa bahwa hal itu merupakan
hal yang biasa saja. Tapi sekarang? Aku merasakan kehangatan yang luar biasa
dan bahagia.
“I love you, Papa,” kata Gabrielle,
memeluk pinggangku dan aku balas memeluknya.
“I love you too,” gumamku, mengecup
kepala Gabrielle. Saat aku melihat Jeremiah, dia mengacungkan jempolnya padaku
kemudian meninggalkan kami berdua untuk alasan privasi.
Begitu aku
melihat punggung Jeremiah yang menjauh, aku tak bisa mengalihkan pandangan. Aku
bisa melihat dengan jelas bagaimana berkilaunya sosoknya ketika berjalan. Dia
begitu percaya diri, santai, keren, dan ringan. Dia tak punya beban yang
berlebihan.
Jantungku
berdenyut lagi. Denyutan aneh yang membuatku merasa pusing sejenak.
Dan aku
bertanya-tanya apa itu.
“Papa?” suara
Gabrielle mengalihkan pandanganku dari sosok Jeremiah. Mata biru Gabrielle
seperti menembusku dalam sekejap. Aku mengerjap, melepas pelukanku darinya.
“Apa kau baik-baik saja?”
“Erm, ya,”
kataku dengan suara serak, lalu kembali berjongkok di makam orang tuaku. Aku
kembali menyentuh nisan mereka, sambil mengambil napas dalam-dalam. Ada yang
salah terjadi padaku.
Gabrielle
berjongkok di sampingku, tersenyum kecil padaku. “Kau tidak kecewa karena Remi
memilih pergi kan?”
Aku menggeleng.
Aku tahu alasan kenapa Jeremiah pergi. Dia memberiku alasan untuk bisa berdua
dengan Gabrielle lebih banyak sehingga kami bisa ngobrol berdua, menghabiskan
waktu berdua sebagai ayah dan anak, bersantai dan bisa saling mengenal. Bibirku
tersenyum kecil. Jeremiah benar-benar pria yang baik. Tak pernah terpikir dalam
hidupku kalau Jeremiah akan membantuku. Selama ini dia bahkan tak ingin
mengenalku.
“Siapa yang kau
pikirkan?”
Aku mengerjap
lagi, menatap Gabrielle yang masih memberikanku pandangan yang sama dengan
senyuman “Monalisa” andalannya.
“Er… apa?”
“Aku tanya siapa
yang kau pikirkan?” dia mengulang pelan, tidak memutuskan kontak mata denganku.
Tenggorokanku
tercekat. Orang biasanya hanya melontarkan “Apa yang kau pikirkan”, tapi
Gabrielle malah bertanya “Siapa”. Seolah dia tahu apa yang aku pikirkan.
“Apa dia Remi?”
Aku mengerjap
lagi, nyaris ternganga lebar. Bagaimana dia tahu?
“Dia pria yang
baik kan?” Gabrielle memutuskan kontak mata, seolah sudah menangkap jawabanku
meski aku hanya mampu terdiam, lalu kembali menatap batu nisan kedua orang tuaku.
“Erm, ya,”
kataku setelah beberapa menit dalam diam. “Jeremiah pria yang baik.” Setelah
aku mengatakan itu, senyumanku kembali muncul begitu mengingat apa yang dia
katakan padaku. Dan hal itu membuatku menjadi lebih baik.
Gabrielle
tersenyum lagi. “Tak ada salahnya mengakui perasaan sendiri kan, Papa?”
Lagi-lagi aku
dikejutkan Gabrielle. Meski aku ingin tahu apa maksud perkataan Gabrielle, tapi
aku tak bisa tahu karena Gabrielle segera berdiri dan bilang, “Aku bosan. Remi
pasti menunggu kita lama sekali.”
Aku berdiri
dengan segera. “Sebaiknya, kita segera menyusulnya.”
Gabrielle
memegang lenganku begitu kami berjalan beriringan menuju mobil Jeremiah.
Jeremiah sedang menunggu kami di samping mobilnya. Kedua tanganku berada di
dalam saku mantelnya. Kepalanya mengadah melihat langit sambil bersiul nyaring.
Sekali lagi aku
bisa melihat bahwa dia tampak lebih jelas daripada seharusnya.
“Kita akan ke
sini lagi kan?” Gabrielle bertanya, menggenggam tanganku erat-erat.
Aku mengangguk.
“Ya. Kita berdua—”
“Bertiga,”
Gabrielle memperbaiki.
Aku mengerutkan
dahi tak mengerti.
“Bukankah Remi
bilang kalau dia janji akan datang lagi bersama kita?”
Aku terpaku
mendengar perkataan Gabrielle. Jeremiah memangnya tadi bilang itu? Aku tak
terlalu memerhatikannya. Tersenyum lagi, Gabrielle melepas peganganku dan
berlari ke arah Jeremiah dan memeluknya erat-erat.
Jeremiah
terbahak-bahak melihat serangan Gabrielle yang tiba-tiba, tapi tak terlalu
peduli, melainkan dengan senang hati melingkarkan tangannya ke bahu Gabrielle.
Pria itu menengadah,
tersenyum padaku dan jantungku merespon dengan berdetup gila-gilaan sehingga
sulit bagiku untuk bernapas.
“Hei, bagaimana
kalau hari ini kita ke karnaval? Aku tadi melihat internet dan ada karnaval
musim gugur tak jauh dari sini.” Jeremiah bertanya.
“Aku mau!”
Gabrielle berkata antusias. “Aku belum pernah lihat karnaval!”
“Oh, Dik, kau
hidup di dunia mana sih?” Jeremiah geleng-geleng kepala. “Kalau begitu, kita
harus ke karnaval.” Dia menoleh padaku. “Ikut?”
Aku mengangguk.
“Aku juga belum pernah melihat karnaval.”
“Bagus. Kalau
begitu kita bisa bersenang-senang,” Jeremiah menepuk-nepuk bahuku dengan akrab
dan sentuhannya barusan memberikan reaksi aneh yang membuatku merinding dan
gugup. Ini aneh. Sama sekali tak benar.
Gabrielle masuk
duluan ke dalam mobil, mengambil posisi di belakang, meninggalkanku dengan
Jeremiah di luar.
“Terimakasih,”
kataku pelan.
Pria itu
mengibaskan tangannya. “Itulah gunanya teman.”
“Sekarang kau
menganggapku temanmu?”
Dahinya mengerut
dalam. “Lalu apa lagi?”
“Kupikir kita
kenalan.”
Jeremiah memutar
bola matanya dengan bosan, melirikku seolah aku adalah manusia paling bodoh di
dunia. “Seorang kenalan tak akan berbicara dari hati ke hati, liburan bersama,
muncul berpuluh-puluh mil jauhnya hanya untuk mengantar kalian ke pedalaman dan
tinggal di gubuk tak ber-tv, atau bahkan menemanimu ke makam kedua orang
tuamu.”
Aku mengerjap.
Yang dia katakan benar.
“Yeah, Fran.
Kita teman. Meski aku ogah dan sulit mempercayai hal ini, tapi aku cukup puas
dengan kata itu. Ok, mari kita berteman. Kita mulai dari hal yang paling
sederhana sewaktu aku masih polos dan tak berdosa.” Dia mengulurkan tangannya
padaku. “Kita kenalan dulu. Halo, namaku Jeremiah Huges. Kau?”
Aku menatapnya,
bertanya-tanya apa dia sudah kehilangan akal sehatnya. Tak lama aku melihat ada
semburat merah jambu muncul di wajahnya saat dia mendesis, “Kita belum pernah
kenalan!” membuatku mengerjap dan tertawa kecil.
“Jangan tertawa,
Fran,” katanya, masih belum menurunkan tangannya. “Sampai kapan kau akan
membiarkan tanganku begini, ha?”
Menahan rasa
geli untuk tertawa lagi, aku menjabat tangan Jeremiah. Tangan Jeremiah begitu
besar, lembut, hangat, kokoh, tapi juga tidak menyakitkan, melainkan memberi
perlindungan dan rasa percaya diri. Aku meneguk ludah.
“Fran…”
“Fran?” Alisnya
menaik.
Aku menelan
ludah. Apa dia bermaksud membuatku kembali ke masa anak remaja? “Fran
Cattermole. Kau bisa memanggilku dengan…” aku berhenti, mengingat pembicaraan
kami kemarin. “Fran. Panggil aku Fran saja.”
“Ok, Fran,”
katanya, menggoyang sedikit tanganku. “Kita bisa jadi fren kan?”
Aku tertawa lagi
mendengar dia melakukan itu. “Yeah. Kita bisa jadi fren. Tapi, apakah kau mau jadi fren-mu?”
Aku mengikuti alur permainannya.
“Dengan senang
hati, selama kau membutuhkanku, aku tak akan meninggalkanmu.”
Perkataannya
membuatku mengerjap dan menegang.
“Selamanya?”
kataku tanpa sadar, nyaris berbisik.
Dia mengangguk
penuh percaya diri dan tersenyum lebar. “Selamanya.”
Jeremiah,
mungkinkah dia baru saja mengikat dirinya padaku?
***
Medan, 26 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar