RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 19 Oktober 2013

TBMB [04]



04
Friends
==========

Gabrielle(POV)
Aku dibangunkan oleh bunyi berisik dari dapur dan bau pancake yang enak sekali. Aromanya nyaris menyebar ke seluruh ruangan. Masih dengan mata tertutup, aku tersenyum senang. Fran benar-benar tahu bagaimana membangunkanku.
Sejak Fran mengadopsiku, masakan buatannya yang membuatku tetap bertahan. Mau tahu kenapa? Itu karena dia jago sekali memasak.
Aku ingat saat pertama kali menginjakkan kaki ke rumah kecilnya, aku gugup luar biasa. Dia menghabiskan waktu sepanjang hari memperkenalkan seluruh isi ruangannya dengan begitu gembira.
Rumahnya begitu kecil, menimalis, tapi bila ditempati oleh kami berdua, rumah itu sudah cukup besar. Ada dua tempat tidur, satu untukku dan satu untuknya. Sebuah dapur kecil yang nyaman berwarna krem dengan lantai kayu, sebuah ruang keluarga dengan televisi layar datar tertempel di dinding beserta dengan begitu banyak peralatan eletekronik dan game, lengkap dengan sofa nyaman dan karpet lembut. Aku hanya mendengarkan apa yang ingin dia katakan padaku dan aku tak berniat bicara. Aku memang belum mengenal dirinya, jadi aku memutuskan untuk berjaga-jaga, siapa tahu nanti dia akan mengembalikanku. Aku tak ingin dikembalikan dalam waktu singkat.
Malamnya, aku gugup tidur sendirian. Aku tak pernah tidur sendirian sebelumnya. Selama ini aku tidur bersempit-sempitan dengan anak-anak lain dan biasanya mendapatkan tempat paling sempit. Jika mereka berbaik hati—atau ketahuan oleh Ms Khan—mereka akan memberikanku tempat sedikit bagiku di ujung tempat tidur, dan jika tidak, aku hanya tidur di lantai. Tapi sekarang tidak. Fran memberikan sebuah kamar yang nyaman untukku. Dinding kamarku berwarna biru yang dicampur dengan warna hijau lembut. Sebuah jendela kaca besar dengan gorden coklat. Ada meja belajar, tempat tidur empuk dan rapi, sebuah laptop, ipad, tablet—dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang remaja seusiaku. Dia sudah mengisi lemari dengan pakaian yang membuatku mengerjap dan menganga tak percaya. Dia menyediakan buku-buku, memberikan segalanya bahkan tanpa aku perlu meminta.
Fran hanya tersenyum tiap kali aku memandangnya.
Malam pertamaku di kamar baru, aku sama sekali tak bisa tidur. Fran mengecekku tiap jam, untuk memastikan apakah aku nyaman atau tidak, apakah aku menyukai kamarku atau tidak, apakah aku membutuhkan sesuatu atau tidak, yah, kau tahu, dia seperti petugas patroli dua puluh empat jam. Akhirnya, karena aku tak bisa tidur, Fran memilih menemani malamku dengan dia memelukku dan aku tidur dengan nyaman. Belum pernah ada yang memperlakukanku senyaman itu sebelumnya—bahkan oleh Ayah kandungku sendiri. Entah mengapa aku yakin bahwa pria ini, siapapun dia di masa lalu, akan jadi orang tua yang baik bagiku.
Pagi harinya, begitu aku bangun, Fran sudah tak ada, tapi aroma sarapan membuatku tergoda. Insting membuatku bangkit dari tempat tidur dan turun ke dapur. Bila kau tinggal di panti asuhan, maka hal pertama yang harus kau lakukan adalah menghabiskan makananmu sebelum orang lain melakukannya. Itulah tepatnya yang kulakukan, aku makan sangat lahap saat itu, dan Fran hanya tersenyum bahagia.
Pria itu, aku menyadari, lebih banyak tersenyum bila aku melakukan atau mengatakan sesuatu. Dia selalu bisa membaca pikiranku. Dia mengerti kapan harus berbicara, merespon, menyentuh, ataupun bertingkah denganku.
Pancake, wow, kau benar-benar bisa memasak.”
Terdengar suara Jeremiah dari arah dapur. Aku mengintip, mengerutkan dahi melihat Jeremiah berdiri di samping Fran. Fran tengah menggumamkan sesuatu, yang sepertinya seperti makian padanya. Tapi Jeremiah memilih tertawa kecil dan menepuk-nepuk bahunya.
Dahiku mengerut. Ok, ini tak biasa. Telah terjadi sesuatu pada mereka berdua. Mereka biasanya selalu bertengkar karena hal tak jelas. Aku, dengan bodohnya, selalu bisa menduga apa yang membuat mereka bertengkar: piring, gelas, film, baju, kamar, dan lainnya—mirip pasangan suami-isteri.
“Dimana kau buat selai strawberrynya?” Jeremiah bertanya, membuka lemari, mengeluarkan botol-botol selai.
“Aku tak beli selai strawberry.” Fran meletakkan potongan pancake ke atas piring.
Jeremiah mendengus, melirik selai-selai di tangannya. “Kacang, coklat, nanas, hell, aku suka strawberry, minimal blueberry.”
Fran mengerutkan dahinya, mengambil botol-botol itu dari tangan Jeremiah. “Akan kubeli nanti. Bisa kau bangunkan Gabrielle? Dia biasanya sarapan.”
Dan sekarang mereka tak bertengkar karena “selai”. Jika aku bisa mengulang waktu, mereka akan bertengkar karena “selai”. Tapi kali ini? Tidak. Mereka berbicara dengan nada bersahabat. Tidak ada cacian. Tak ada suara berlebihan. Aura Jeremiah malah terlihat jadi jauh lebih halus daripada sebelumnya. Dia tampak lebih santai, lebih lembut, dan lebih perhatian pada Fran. Sebaliknya, Fran tampak lebih percaya diri, lebih ceria dari pada sebelumnya, dan lebih tenang.
“Tidak perlu, aku sudah bangun,” kataku dan melompat duduk di salah satu kursi makan.
Jeremiah menaikan alis, membawa piring dan meletakkan salah satunya padaku. “Pagi, Pemalas. Nanti giliranmu cuci piring, ok?” Dan duduk di salah satu kursi.
Aku tersenyum semanis mungkin padanya. “Aku tak keberatan.”
Fran menata beberapa bagian dapur sebelum akhirnya memilih duduk di samping Jeremiah. Aku tak luput melihat bahwa jarak mereka jadi jauh lebih dekat daripada sebelumnya, entah mereka menyadarinya atau tidak. Tapi tidak, aku tak akan mengatakannya. Aku lebih sudi menonton mereka karena aku tahu mereka pasti langsung ngeri dengan perkataanku.
“Pagi ini kita akan kemana?” Jeremiah bertanya.
Kita?” Fran mengulang, mengerutkan dahi.
“Ya, kita. Kau pikir ada berapa banyak orang yang ada di sini?” Jeremiah memutar bola matanya, menusuk pancakenya.
Fran menahan napas, matanya berkilat kebingungan. “Aku dan Gabrielle berencana untuk mengunjungi makam kedua orang tuaku pagi ini, tapi aku tak tahu kalau aku mengajakmu juga dalam acara ini.”
Bagus sekali, Papa Fran, kau akan membuat Jeremiah kesal padamu, pikirku.
“Hmph, sayang sekali. Aku tak sudi menghabiskan waktuku di dalam rumah berbatu prmitif yang bahkan tak ada layar televisinya.”
Dan bagus sekali, Jeremiah, kau akan membuat Fran membalasmu, tambahku lagi.
“Kau yang tiba-tiba memunculkan diri, Jeremiah,” kata Fran. “Aku tak mengajakmu.”
Jeremiah menghabiskan potongan pancakenya, meminum jusnya, lalu menepuk-nepuk serbet dengan gaya elegan, membalas Fran dengan senyuman dan perkataan yang membuatnya menganga, “Sayang sekali, dalam kasus kali ini, kau harus bertanggung-jawab karena membawaku kemari. Jika kalian tak keberatan, aku mau mandi dulu dan bersiap menuju area pemakaman, siapa tahu aku akan bertemu dengan wanita cantik di atau menuju ke sana. Permisi.”
Aku tertawa kecil pada Jeremiah yang mengedip padaku lalu menghilang ke kamarnya.
“Gabrielle, kau tak boleh menjadi sepertinya,” katanya.
“Aku suka padanya,” kataku, menusuk pancakeku dan memakannya dengan lahap.
“Kau boleh menyukainya tapi tak boleh menirunya.” Fran menatapku dengan tatapan mata yang berapi-api. “Dia seperti… entahlah, aku tak tahu jalan pikirannya.”
“Kau menyukainya.”
Dia mengerjap. “Apa?”
“Kau menyukainya.”
Dia mengedip beberapa kali, lalu memandang piringnya sendiri. “Aku memang menyukainya. Dia orang yang menyenangkan. Dia mudah bergaul dan humoris. Tapi tetap saja menyebalkan.”
Aku memutar bola mata. Fran benar-benar tidak bisa membaca maksud perkataanku. Kata “suka” yang kubicarakan berbeda dengan “suka” yang dia bicarakan. Aku belum berani bilang “cinta” karena aku tahu perasaan Fran belum sejauh itu. Tapi aku tahu dia memiliki “sesuatu” untuk Jeremiah. Aku tak perlu bertanya padanya. Aku cukup melihatnya.
Aku pertama kali menyadari hal itu saat Fran melihat Jeremiah keluar dari mobilnya, di parkiran apartmennya Cody. Fran sama sekali tak bisa mengalihkan matanya dari Jeremiah. Aku bisa mengerti kenapa. Jeremiah tampil amat mencolok saat itu. Rambut basah, dengan wajah tampan dan tenang serta garang, pakaiannya menampilkan sebagian besar figurnya—hei, aku masih anak-anak, aku tak sespesifik itu memperhatikannya—belum lagi dia baru saja jadi super hero karena baru menyelamatkan kami dari badai. Kilatan di mata Fran terhadapnya berubah karena itu.
Fran tidak menyadarinya, begitu pula dengan Jeremiah atau Cody meski—aku yakin—Cody sedikit curiga. Seatap dengan Cody dalam waktu beberapa jam saja aku sudah bisa mengenalnya dengan baik. Demi Tuhan, aku tak akan mencari masalah dengan Cody. Sebentar dia akan menjadi sangat tenang dan menyenangkan, sebentar lagi dia akan mengayunkan tangannya pada Jeremiah. Bukan hanya itu, Cody punya tatapan mata yang berbahaya. Aku bisa melihatnya. Dia tidak setenang yang dia tunjukan. Aku bisa melihat ada monster lain yang bersembunyi di tubuhnya.
Aku menghabiskan makananku, tak ingin mengganggu Fran berpikir.

***

Fran(POV)
Aku memang menyukai Jeremiah.
Tapi aku tak tahu seberapa suka.
“Wow, benar-benar pemakaman,” gumam Jeremiah, memutar bola mata. Aku juga ikut melakukan hal yang sama. Saat ini kami memang ada di area pemakaman. Nisan-nisan putih ditidurkan dengan sangat rapi, rata dengan tanah, tertutupi rumput. Untuk membuat taman pemakaman ini lebih indah dan tidak menyeramkan, aku melihat ada patung-patung putih sebagai penghiasnya. Aku mengenali beberapa: Bunda Maria, salib, David, dan yang lain sebagainya.
“Sudah berapa lama kedua orang tuamu meninggal?” Jeremiah bertanya lagi, berjalan ke sampingku. Hangat tubuhnya membuat rambut di sekitar lenganku berdiri.
“Sudah cukup lama,” jawabku pelan.
Jeremiah bergumam. “Hmmm.”
Kami berjalan lagi. Gabrielle ada di sampingku, memegang lenganku sambil terus tersenyum padaku. Aku balas tersenyum padanya. Aku lega sekali Gabrielle sudah bisa membuka dirinya padaku. Aku berharap bahwa dia juga bisa berteman baik padaku, seperti Jeremiah bisa berteman dengannya. Mungkin ini bodoh sekali, tapi aku berharap bukan hanya sebagai Papa Gabrielle tapi juga temannya, sehingga dia bisa menceritakan apapun padaku.
Akhirnya kami berhasil menemukan makan orang tuaku. Letaknya cukup jauh di tengah. Kedua makam itu tidur berdampingan. Air mataku nyaris jatuh melihat bahwa makam putih itu kini sudah sedikit lebih tua daripada terakhir kali aku datang kemari. Begitu aku meletakkan karangan bungaku, menyentuh nisan mereka, aku merasakan kerinduan yang amat sangat pada mereka.
“Mom, Dad, aku datang,” gumamku, dan aku menoleh pada Jeremiah yang memberikan setangkai bunga mawar ke makam Ibuku.
“Halo, Mrs Cattermole,” kata Jeremiah, “Namaku Jeremiah. Aku temannya Fran. Sayang sekali aku belum pernah berjumpa denganmu, karena bila hal itu terjadi, aku mungkin sudah memenuhi rumahmu dengan seribu mawar.” Aku mengerjap dengan apa yang dikatakannya, apalagi dia belum selesai. “Putramu baik-baik saja. Sedikit membosankan, tapi masih bisa diajak kompromi.”
Aku memukul tangannya, keras sekali sampai dia meringis. “Apa yang kau katakan pada Ibuku?”
“Aku cuma mengatakan kebenaran,” desisnya. “Diam, aku sedang ngobrol dengan Ibumu.” Seolah melihat Ibuku, Jeremiah kembali mengalihkan perhatiannya pada makam orang tuaku. “Ah, ya, Fran memang belum pernah menceritakan apapun tentangku, tapi percayalah, aku tak akan meninggalkannya sendirian. Aku akan menjaganya dengan baik. Jadi kalian bisa tenang-tenang saja dan bersantai, minum teh bila perlu sambil membaca novel dan nikmati bulan madu kedua kalian di alam sana. Aku janji akan sering mengunjungi kalian, bersama Fran dan Gabrielle. Dan, oh, ya!” Dia menarik Gabrielle ke sampingnya. “Fran, seperti dirinya yang pelupa karena dia sudah tua, lupa mengenalkan kalian pada cucu kalian. Dia putra Fran dan putraku juga. Ok, mungkin kalian bingung, aku juga merasakan hal yang sama, tapi semua dalam kendali. Ya, kan Gabrielle?”
Gabrielle memandang Jeremiah seakan dia sudah gila, tapi hanya mengangguk.
“Ayolah, Dik, perkenalkan dirimu pada Kakek dan Nenekmu,” kata Jeremiah.
Kali ini Gabrielle ganti memandangku, lalu pada Jeremiah lagi, kemudian pada makam kedua orang tuaku. Aku menelan ludah.
“Hi,” katanya serak. “Erm, senang berjuma dengan kalian.” Dia memainkan tangannya, mengerinyit sedikit. “Terimakasih karena sudah membesarkan seorang Papa yang menyayangiku.”
Air mataku tak terbendung lagi. Selama ini aku selalu merasa datang ke sini hanya akan mengingatkanku pada rasa kesepian yang mendalam. Aku selalu pergi sendiri. Aku tak pernah ditemani oleh orang lain. Aku selalu merasa bahwa hal itu merupakan hal yang biasa saja. Tapi sekarang? Aku merasakan kehangatan yang luar biasa dan bahagia.
I love you, Papa,” kata Gabrielle, memeluk pinggangku dan aku balas memeluknya.
I love you too,” gumamku, mengecup kepala Gabrielle. Saat aku melihat Jeremiah, dia mengacungkan jempolnya padaku kemudian meninggalkan kami berdua untuk alasan privasi.
Begitu aku melihat punggung Jeremiah yang menjauh, aku tak bisa mengalihkan pandangan. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana berkilaunya sosoknya ketika berjalan. Dia begitu percaya diri, santai, keren, dan ringan. Dia tak punya beban yang berlebihan.
Jantungku berdenyut lagi. Denyutan aneh yang membuatku merasa pusing sejenak.
Dan aku bertanya-tanya apa itu.
“Papa?” suara Gabrielle mengalihkan pandanganku dari sosok Jeremiah. Mata biru Gabrielle seperti menembusku dalam sekejap. Aku mengerjap, melepas pelukanku darinya. “Apa kau baik-baik saja?”
“Erm, ya,” kataku dengan suara serak, lalu kembali berjongkok di makam orang tuaku. Aku kembali menyentuh nisan mereka, sambil mengambil napas dalam-dalam. Ada yang salah terjadi padaku.
Gabrielle berjongkok di sampingku, tersenyum kecil padaku. “Kau tidak kecewa karena Remi memilih pergi kan?”
Aku menggeleng. Aku tahu alasan kenapa Jeremiah pergi. Dia memberiku alasan untuk bisa berdua dengan Gabrielle lebih banyak sehingga kami bisa ngobrol berdua, menghabiskan waktu berdua sebagai ayah dan anak, bersantai dan bisa saling mengenal. Bibirku tersenyum kecil. Jeremiah benar-benar pria yang baik. Tak pernah terpikir dalam hidupku kalau Jeremiah akan membantuku. Selama ini dia bahkan tak ingin mengenalku.
“Siapa yang kau pikirkan?”
Aku mengerjap lagi, menatap Gabrielle yang masih memberikanku pandangan yang sama dengan senyuman “Monalisa” andalannya.
“Er… apa?”
“Aku tanya siapa yang kau pikirkan?” dia mengulang pelan, tidak memutuskan kontak mata denganku.
Tenggorokanku tercekat. Orang biasanya hanya melontarkan “Apa yang kau pikirkan”, tapi Gabrielle malah bertanya “Siapa”. Seolah dia tahu apa yang aku pikirkan.
“Apa dia Remi?”
Aku mengerjap lagi, nyaris ternganga lebar. Bagaimana dia tahu?
“Dia pria yang baik kan?” Gabrielle memutuskan kontak mata, seolah sudah menangkap jawabanku meski aku hanya mampu terdiam, lalu kembali menatap batu nisan kedua orang tuaku.
“Erm, ya,” kataku setelah beberapa menit dalam diam. “Jeremiah pria yang baik.” Setelah aku mengatakan itu, senyumanku kembali muncul begitu mengingat apa yang dia katakan padaku. Dan hal itu membuatku menjadi lebih baik.
Gabrielle tersenyum lagi. “Tak ada salahnya mengakui perasaan sendiri kan, Papa?”
Lagi-lagi aku dikejutkan Gabrielle. Meski aku ingin tahu apa maksud perkataan Gabrielle, tapi aku tak bisa tahu karena Gabrielle segera berdiri dan bilang, “Aku bosan. Remi pasti menunggu kita lama sekali.”
Aku berdiri dengan segera. “Sebaiknya, kita segera menyusulnya.”
Gabrielle memegang lenganku begitu kami berjalan beriringan menuju mobil Jeremiah. Jeremiah sedang menunggu kami di samping mobilnya. Kedua tanganku berada di dalam saku mantelnya. Kepalanya mengadah melihat langit sambil bersiul nyaring.
Sekali lagi aku bisa melihat bahwa dia tampak lebih jelas daripada seharusnya.
“Kita akan ke sini lagi kan?” Gabrielle bertanya, menggenggam tanganku erat-erat.
Aku mengangguk. “Ya. Kita berdua—”
“Bertiga,” Gabrielle memperbaiki.
Aku mengerutkan dahi tak mengerti.
“Bukankah Remi bilang kalau dia janji akan datang lagi bersama kita?”
Aku terpaku mendengar perkataan Gabrielle. Jeremiah memangnya tadi bilang itu? Aku tak terlalu memerhatikannya. Tersenyum lagi, Gabrielle melepas peganganku dan berlari ke arah Jeremiah dan memeluknya erat-erat.
Jeremiah terbahak-bahak melihat serangan Gabrielle yang tiba-tiba, tapi tak terlalu peduli, melainkan dengan senang hati melingkarkan tangannya ke bahu Gabrielle.
Pria itu menengadah, tersenyum padaku dan jantungku merespon dengan berdetup gila-gilaan sehingga sulit bagiku untuk bernapas.
“Hei, bagaimana kalau hari ini kita ke karnaval? Aku tadi melihat internet dan ada karnaval musim gugur tak jauh dari sini.” Jeremiah bertanya.
“Aku mau!” Gabrielle berkata antusias. “Aku belum pernah lihat karnaval!”
“Oh, Dik, kau hidup di dunia mana sih?” Jeremiah geleng-geleng kepala. “Kalau begitu, kita harus ke karnaval.” Dia menoleh padaku. “Ikut?”
Aku mengangguk. “Aku juga belum pernah melihat karnaval.”
“Bagus. Kalau begitu kita bisa bersenang-senang,” Jeremiah menepuk-nepuk bahuku dengan akrab dan sentuhannya barusan memberikan reaksi aneh yang membuatku merinding dan gugup. Ini aneh. Sama sekali tak benar.
Gabrielle masuk duluan ke dalam mobil, mengambil posisi di belakang, meninggalkanku dengan Jeremiah di luar.
“Terimakasih,” kataku pelan.
Pria itu mengibaskan tangannya. “Itulah gunanya teman.”
“Sekarang kau menganggapku temanmu?”
Dahinya mengerut dalam. “Lalu apa lagi?”
“Kupikir kita kenalan.”
Jeremiah memutar bola matanya dengan bosan, melirikku seolah aku adalah manusia paling bodoh di dunia. “Seorang kenalan tak akan berbicara dari hati ke hati, liburan bersama, muncul berpuluh-puluh mil jauhnya hanya untuk mengantar kalian ke pedalaman dan tinggal di gubuk tak ber-tv, atau bahkan menemanimu ke makam kedua orang tuamu.”
Aku mengerjap. Yang dia katakan benar.
“Yeah, Fran. Kita teman. Meski aku ogah dan sulit mempercayai hal ini, tapi aku cukup puas dengan kata itu. Ok, mari kita berteman. Kita mulai dari hal yang paling sederhana sewaktu aku masih polos dan tak berdosa.” Dia mengulurkan tangannya padaku. “Kita kenalan dulu. Halo, namaku Jeremiah Huges. Kau?”
Aku menatapnya, bertanya-tanya apa dia sudah kehilangan akal sehatnya. Tak lama aku melihat ada semburat merah jambu muncul di wajahnya saat dia mendesis, “Kita belum pernah kenalan!” membuatku mengerjap dan tertawa kecil.
“Jangan tertawa, Fran,” katanya, masih belum menurunkan tangannya. “Sampai kapan kau akan membiarkan tanganku begini, ha?”
Menahan rasa geli untuk tertawa lagi, aku menjabat tangan Jeremiah. Tangan Jeremiah begitu besar, lembut, hangat, kokoh, tapi juga tidak menyakitkan, melainkan memberi perlindungan dan rasa percaya diri. Aku meneguk ludah.
“Fran…”
“Fran?” Alisnya menaik.
Aku menelan ludah. Apa dia bermaksud membuatku kembali ke masa anak remaja? “Fran Cattermole. Kau bisa memanggilku dengan…” aku berhenti, mengingat pembicaraan kami kemarin. “Fran. Panggil aku Fran saja.”
“Ok, Fran,” katanya, menggoyang sedikit tanganku. “Kita bisa jadi fren kan?”
Aku tertawa lagi mendengar dia melakukan itu. “Yeah. Kita bisa jadi fren. Tapi, apakah kau mau jadi fren-mu?” Aku mengikuti alur permainannya.
“Dengan senang hati, selama kau membutuhkanku, aku tak akan meninggalkanmu.”
Perkataannya membuatku mengerjap dan menegang.
“Selamanya?” kataku tanpa sadar, nyaris berbisik.
Dia mengangguk penuh percaya diri dan tersenyum lebar. “Selamanya.”
Jeremiah, mungkinkah dia baru saja mengikat dirinya padaku?

***

Medan, 26 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.