RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 19 Oktober 2013

TBMB [03]



03
Deep Conversation
==========

JEREMIAH(POV)
“Remi... Remi...”
Suara merdu nan lembut, sangat bernada, nyaris terdengar seperti bernyanyi itu, berada dekat sekali dengan telingaku. Rasanya seakan mendengar bunyi harpa yang dipetik oleh malaikat. Enak sekali didengar.
“Jeremiah...”
Kupaksa membuka mata, mendapati sepasang mata biru indah yang jernih, tengah menatapku dan mengedip polos. Gabrielle menunduk di samping tempat tidur. Rambut merahnya jatuh di sekitar pipinya.
“Apa?”
“Makan malam.”
Aku mengedip beberapa kali dan melihat sekitarku. Uh, ternyata aku tak bermimpi bahwa aku sekarang liburan bersama Gabrielle dan—yang terburuk—Fran.
“Ayo, cepat. Papa sudah memasak seafood untukmu. Rasanya enak sekali.”
Meregangkan tubuhku dengan gembira, aku melompat turun dari atas tempat tidur yang berderit, kemudian mengikuti Gabrielle. Anak itu tampak bahagia ketika menggiringku ke dapur, dimana sebuah meja makan dan tiga kursi kayu ada sana. Peralatan dapur terletak di sudut, tergantung di bagian dinding. Fran tengah meletakkan piring-piring berisi seafood yang masih panas, saat aku sadar dia mengenakkan celemek bunga-bunga, membuatku terbahak.
“Kenapa?” Fran bertanya keheranan.
“Celemekmu kenapa bunga-bunga seperti itu? Astaga. Kau manis sekali.” Bahkan Cody yang gay saja tak akan sudi memakai benda seperti itu. Bahkan, jika ada ripped apron, dia mungkin akan membelinya!
Wajahnya merona merah jambu. “Ini celemek Ibuku!” katanya ganas.
“Oh? Tentu saja.” Aku tak kaget mengenai hal itu. “Apa lagi yang diwariskan Ibumu selain celemek bunga-bunga? Topi musim panas merah jambu? Katel kristal? Pita? Atau malah gaun?”
Pipinya yang merah semakin merah. “Berhenti mengejekku atau aku tak akan memberimu makan!”
Hmph! Dia kira ancamannya akan membuatku mundur? “Aku juga tak sudi. Siapa yang menyangka apa yang kau masukkan ke dalam sana?”
Fran mengerang jengkel, melepas celemeknya. “Gabrielle duduk!” Dia sama sekali tak bisa melawanku. Matanya memelototiku. Tsk tsk tsk. Pria ini boleh saja usianya lebih tua daripadaku, tapi pengalamannya soal mengatasi orang lain benar-benar minim sekali. Kurasa selama ini dia tinggal dalam kotak. Oh? Mengenai hal itu, aku tak ragu sama sekali.
Dia pria dewasa yang tinggal dalam kotak. Kasihan.
Gabrielle menarik tanganku dan memaksaku duduk di kursi kepala keluarga. Fran menggertakan gigi. Tapi lagi-lagi dia tak bilang apapun. Sepertinya dia lebih sudah merontokkan seluruh giginya daripada berbicara denganku. Gabrielle memilih duduk di sampingku, nyaris seperti malaikat yang berbahagia ketika ada manusia yang bertobat. Dia tak akan memasang tampang seperti itu jika kami berdua nanti. Aku yakin, jika suatu hari nanti kami membicarakan mengenai hal lain, dia akan membuat bulu kudukku merinding.
“Kuharap masakanmu enak,” kataku membuka pembicaraan.
“Masakan Papa memang enak.” Gabrielle mengangguk setuju. Fran yang tadi hendak membantah, memerah lagi, dan menatap Gabrielle dengan rasa sayang yang tidak ditutup-tutupi.
Fran memang menyayangi Gabrielle. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Hanya saja, kenapa dia tak bisa mengatasi perilaku Gabrielle? Kurasa dia terlalu memanjakan Gabrielle sehingga anak itu hanya tahu bagaimana caranya mendapat keinginannya.
“Coba saja,” kata Gabrielle lagi.
“Hmph. Kuharap tak ada racun di dalamnya.”
Fran menahan dirinya. Mulutnya yang terkatup rapat membuktikan bahwa dia menggigit lidahnya agar tak bicara. Aaw, cute. Sampai kapan dia akan tahan tutup mulut seperti itu?
Kucicipi makanan itu. Seafood memang salah satu makanan favoritku. Erm... tidak. Aku makan semuanya. Aku seorang pria. Aku karnivora! Bila aku tak makan daging, bagaimana caranya aku mendapatkan seluruh wanita? Meski ragu, akhirnya makanan itu masuk ke dalam mulutku. Dicicipi lidahku. Dan...
Aku mengedip.
“Enak,” kataku tanpa sadar. Sial. Gabrielle benar. Fran bisa masak. Dia tidak tampak seperti seorang pria yang suka menghabiskan waktunya di dapur. Dia seorang profesor! Apa lagi yang bisa dia lakukan selain ke kampus, kantor, lab dan rumah? Tapi, aku harus mengakui bahwa apa yang disuguhkan di atas meja benar-benar sangat enak. Harga diriku sedikit terluka begitu mengetahui bahwa pria ini jelas memiliki kelebihan lain dari segunung kelemahan. Ok, memang tak sebaiknya aku menilai orang dari sampul depannya. Tapi Fran selalu terlihat dari sampul depannya saja. Oh, well, lupakan saja. Aku lebih sudi menghabiskan makananku yang enak ini. Kurasa aku bisa ketagihan.
“Benar kan? Aku tahu kau akan menyukainya!” Gabrielle lagi-lagi bicara. Aku suka anak ini sudah mulai santai pada sekitarnya dan membuka diri pada pembicaraan. Hanya saja, aku tak terlalu yakin pada Fran. Pria itu sering menarik dirinya jika Gabrielle berbicara padaku. Dan kurasa aku tahu jawabannya. Dia tidak percaya diri.
Kasihan. Dia ingin mendapat perhatian Gabrielle tapi tak tahu bagaimana melakukannya.
“Papa kecilmu sudah repot-repot membuatnya,” kataku memandang Fran, yang balas menatapku. “Jadi kau harus membantunya cuci piring.”
“Gabrielle belum pernah cuci piring,” kata Fran.
Bagus sekali, Fran. Kau mengajari anakmu jadi manja luar biasa. “Dia sudah cukup besar untuk diajari menangani masalah kecil. Cuci piring bukan perkara besar,” kataku.
“Tapi—”
Aku memotongnya lagi. Pria ini benar-benar memanjakan Gabrielle. “Kalau kau khawatir, kau bisa membantunya. Tidak masalah kan, Gabrielle?”
“Tak masalah,” kata Gabrielle menusuk udangnya. “Aku bisa cuci piring.”
Fran bersuara tak jelas, yang mungkin menunjukkan bahwa dia setuju. Kami menghabiskan makan malam kami dengan sedikit mengobrol. Aku harus bersusah payah menyelipkan “Fran” dalam setiap obrolan sampai membuatku capek sendiri. Kenapa pria sepertinya tak bisa masuk ke dalam satu topik tanpa harus menarik diri dan membisu sepanjang makan malam? Bagaimana dia bisa menjadi Profesor yang baik kalau hanya bisa bersosialisasi dalam pekerjaan doang? Apa sih yang dia pikirkan sebenarnya? Kenapa dia takut seperti itu bila berbicara dengan Gabrielle?
Selesai makan malam, Gabrielle segera membereskan piring. Dibantu oleh Fran mereka menuju westafel untuk mencuci piring sementara aku naik ke atas untuk mandi.
Selesai mandi, aku melihat mereka berdua sedang berdiam diri di depan perapian. Yep, kau menangkap maksudku dengan benar. Berdiam diri! Kalian bisa percaya itu? Aku mandi selama kurang lebih dua puluh menit di atas sana, dan mereka sama sekali tak bicara apapun. Aku bahkan bisa mendengar derik bara api dari tempatku berada.
Pria itu, Fran, aku harus bicara padanya. Dia semakin membuatku sebal. Apa sih maunya?

***

FRAN(POV)
“Hei, aku ingin bicara empat mata denganmu. Keberatan bila kita keluar sebentar?”
Aku meneguk ludah melihat Jeremiah tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku. Tadinya aku sudah mau mematikan lampu tidur. Namun akhirnya memilih untuk bangkit dari tempatku, mengangguk kaku.
“Ok. Akan lebih baik bila kita bicara sambil sedikit berjalan-jalan. Keberatan?”
“Huh?” Dia mau bicara berdua denganku? Sambil berjalan-jalan di luar? Apa aku tak salah dengar? Kurasa, aku bisa membuat jantungku melompat keluar dari dadaku. Aku sedikit gugup. Ok, ini tak biasa. Aku tahu kalau aku tak seharusnya gugup di depan Jeremiah. Tapi, kenyataannya aku selalu gugup di depannya. Aku mengerutkan dahi. Lalu melihat Gabrielle, yang tertidur lelap dengan selimut menutupi tubuhnya nyaris mendekati dagunya. “Itu artinya kita harus meninggalkan Gabrielle. Aku tak ingin meninggalkan Gabrielle sendirian.”
Jeremiah melipat tangan. “Gabrielle bisa menjaga dirinya sendiri. Lagipula, aku bosan di sini.” Tanpa menunggu jawabanku, Jeremiah segera keluar dari kamarku, sehingga, mau tak mau, aku menurut. Aku mengganti piyama dengan kaos dan jeans, juga menyelipkan syal dan jaket hangat. Melangkah melewati anak tangga, aku melihat Jeremiah menungguku di dasar tangga.
“Kita mau kemana?” tanyaku dan sedikit terkesan dengan apa yang dia pakai: kaos turtleneck berwarna maroon yang dilapisi dengan mantel. Celananya tampak nyaman berwarna hijau berkantong. Sepatu bootnya tampak nyaman. Ternyata pakaian yang kubeli ukurannya pas sekali.
“Kemana saja,” katanya. “Kau pernah tinggal di sini kan? Bawa saja aku ke tempat yang membuatmu nyaman.”
Nada suaranya selalu seperti itu, seakan dia hendak marah-marah terus padaku. Tapi aku lebih memikirkan kalimatnya daripada nada suaranya. Ke tempat yang membuatku nyaman, aku mengulang dalam hati. Tak ada tempat yang nyaman selain rumah. Hanya saja, aku tetap keluar mengunci pintu dan berjalan keluar dari gerbang.
Aku yakin, apapun itu nanti yang ingin dikatakan Jeremiah pasti bukanlah hal yang menyenangkan. Aku belum siap menghadapi konfrontasi dan nada sarkastiknya. Hanya saja, lebih baik mendengarnya berbicara di luar daripada di dalam. Mungkin Jeremiah tak ingin Gabrielle mendengarnya. Aku juga tak ingin Gabrielle mendengarnya. Siapa yang tahu kalau Jeremiah hanya ingin memaki-makiku?
Jeremiah mengikut di sampingku. Dia berjalan seperti bos dengan aura kepercayaan diri yang tinggi. Punggungnya tegak, tangannya mengayun santai di sampingnya. Rambut gelapnya tersapu angin malam dengan ringan. Matanya yang gelap menatap lurus ke depan. Tidak ada ekspresi yang menunjukkan bahwa dia ingin bicara sekarang, jadi aku memilih tidak mengatakan apa-apa.
Kami berdua berjalan tanpa berbicara. Aku menunggunya untuk berbicara. Dia sendiri yang mengajakku keluar, jadi aku tak punya alasan untuk memulai pembicaraan. Dan bila dia butuh waktu untuk bicara, aku akan dia menunggunya.
Tapi walaupun kami sampai ke tujuan, Jeremiah masih tidak bicara. Aku menghela napas, memilih duduk di kursi batu yang dibangun di dekat danau buatan yang sekarang tampak tenang dan gelap. Langit musim gugur begitu muram tanpa bintang. Hitam. Tanpa awan.
Jeremiah memilih duduk di sampingku. Kedua tangannya ada di dalam saku mantelnya. Wajahnya menatap lurus ke depan. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia akan mengucapkan apapun, jadi aku akhirnya menyerah dan bertanya lebih dulu.
“Ada apa?”
Pria itu tak bergerak atau bereskpresi saat bertanya balik, “Kau sangat menyayanginya kan?”
“Siapa?”
“Gabrielle.”
“Tentu saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Karena,” dia berhenti sejenak selama beberapa detik sampai membuatku penasaran, “kau sama sekali tak menunjukkannya dengan cara yang benar.”
Aku tersinggung. “Apa? Apa maksudmu?”
“Kau menyayanginya, tapi kau tak tahu bagaimana caranya untuk dekat dengannya.” Jeremiah masih berbicara tanpa memandangku, seakan aku tak terlihat atau dia menganggapku tak penting. “Setiap kali melihatmu ditolak Gabrielle aku jadi kasihan padamu.”
Pipiku memanas karena rasa malu. Ternyata dia bisa melihat itu. “Aku bukan Ayah yang baik untuk Gabrielle kan?” gumamku tak tenang. “Aku membuatnya tak nyaman.”
“Bukan salahmu.” Dia mengibaskan tangannya. “Aku juga tak menyalahkan Gabrielle. Dia makhluk kecil paling rapuh yang pernah kutemui. Meski aku tahu dia lebih kuat dari itu. Justru yang kukhawatirkan itu kau.”
Aku melongo bengong. “Aku? Kenapa?”
“Karena kau menarik diri tiap kali ada orang lain ingin berteman denganmu dan mengenalmu. Karena kau selalu menyalahkan diri tiap kali Gabrielle mendorongmu menjauh. Karena kau cepat menyerah.”
Kurasa aku tahu kemana arah pembicaraan ini. “Aku tak ingin membicarakannya,” gumamku dan buru-buru berdiri.
“Hidup cuma sekali, Fran.” Jeremiah memegang lenganku, membuatku tak bergerak. “Kau harus menikmati setiap detik dalam hidupmu untuk melakukan hal yang ingin kau lakukan bukan apa yang harus kau lakukan.”
Aku mengerjap. Mulutku terbuka untuk membalasnya, tapi tak ada yang keluar. Kata-katanya benar dan sangat mengena di hatiku.
“Duduk. Aku belum selesai bicara.” Suara Jeremiah terdengar tenang, tapi tegas dan penuh otoritas. Aku tahu bahwa Jeremiah memang sosok pemimpin. Dia hanya menyamarkan kemampuannya itu dengan bertingkah seperti orang bodoh, padahal sebenarnya dia berdiri di belakang, memperhatikan sekelilingnya untuk melihat keadaan, lalu mengambil keputusan.
Jantungku berdenyut menyakitkan. Aku tak ingin mendengar ceramahnya. Tapi ada bisikan lain yang mengatakan bahwa aku harus tinggal dan mendengarkan apapun itu yang akan dikatakan Jeremiah padaku.
Aku duduk kembali sehingga Jeremiah bisa melepas tanganku dan memasukkan kembali tangannya ke saku mantelnya.
“Sekarang aku mau tanya,” kata Jeremiah. “Kau mengadopsi Gabrielle karena harus atau karena ingin?”
Aku mengingat saat bertemu Gabrielle dan perasaan itu membuncah. “Itu pertanyaan bodoh, Jeremiah. Tentu saja karena ingin. Aku tak ingin melepasnya. Aku menyayanginya sedetik setelah aku melihatnya.”
Bibir Jeremiah tersenyum penuh pengertian. “Tentu saja aku tahu. Dan untuk pertama kalinya kau melakukan hal yang kau inginkan ya kan?”
“Apa yang sebenarnya yang ingin kau katakan?”
“Aku ingin kau membuka dirimu dan bersenang-senang karena kau sangat membosankan.”
Si Brengsek ini. Kenapa dia selalu menyelipkan kata-kata menyebalkan setiap kali dia berbicara denganku? Apa dia tak bisa menggunakan kata-kata yang lebih sopan? “Maaf saja bila aku membosankan!” kataku jengkel. Lucu sekali, Jeremiah!
Salah satu alis Jeremiah menaik curiga. “Aku tak mencoba menghinamu.”
Aku menganga tak percaya. “Kau bercanda? Kau mengataiku membosankan!”
“Untuk alasan yang tepat.”
Emosiku tak tertutupi-tutupi lagi. Aku benar-benar sebal sekarang. “Misalnya?”
“Misalnya, saat kau memanggil semua orang dengan nama belakang mereka. Kau membuat mereka tak nyaman. Dan walau mereka ingin mendekatimu, mengenalmu, berbicara padamu, mereka tak akan bisa, karena kau memberikan dinding sepanjang Tembok Cina dan setinggi WTC bagi mereka sebagai perlindungan terhadap hatimu.”
Aku mengerjap. “Aku tidak—”
“Dan kau sama sekali tak menikmati hidupmu.” Dia menyambung, sama sekali tak mendengarkan atau berusaha untuk tahu apa yang ingin kukatakan. “Sama seperti yang kukatakan tadi: Hidup cuma sekali. Ok, beberapa ajaran mengenal reinkarnasi, tapi tetap saja tak menghapus kenyataan bahwa apa yang terjadi hari ini, detik ini, tak akan berulang kembali. Kau memiliki prinsip I have to do bukan I want to do. Mungkin tak selamanya kita harus melakukan apa yang ingin kita lakukan, tapi kau selalu mengikuti jalur dan takut mengambil langkah. Aku tak tahu apa yang kau takutkan.”
“Aku...”
“Selama ini aku sudah melihat banyak orang dengan berbagai sifat mereka. Ada yang menyebalkan, egosentrik, egois ,narsia, pemalu, pemarah, humoris, tapi yang seperti kau, baru pertama kali kulihat. Aku melihatmu berbicara dengan kolegamu. Tapi, kau tak pernah benar-benar bicara, bila kau tahu maksudku. Kau meladeni mereka karena kau harus melakukannya. Karena mereka kolegamu. Kau berbicara dengan mahasiswa karena jurnalmu. Kau menuruti peraturan. Kau tak pernah membantah. Kau seperti kereta api ekspres yang jalurnya sudah diatur. Apa kau tak capek? Aku saja yang melihatnya capek, apalagi kau yang menjalani hidupmu.”
Aku mengerjap mendengar penjelasan panjangnya sampai-sampai lupa menutup mulutku. Siapa pria ini sebenarnya? Sebentar dia menjadi playboy. Lima detik kemudian dia jadi pemarah. Tak lama kemudian dia menjadi penyayang dan Ayah yang baik, dan belum lagi sejak sepuluh menit lalu ketika dia memilih duduk di sampingku mengejekku, dan setelah itu protes seperti aku dan dia adalah teman lama.
“Kau memperhatikanku?” ucapku tanpa sadar.
Pertanyaanku membuatnya mengerjap beberapa kali lalu akhirnya berdeham canggung. Aku mengerjap tak percaya melihat ekspresi yang dia berikan padaku. Aku belum pernah melihat ekspresi itu sebelumnya, dan entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang aneh muncul di hatiku. Aku menyukai ekspresinya. Dia tak tampak seperti monster berukuran hulk. Sebaliknya, dia terlihat sangat bersahabat.
Jeremiah memaki pelan, membuatku kembali fokus, dan akhirnya menatapku lagi. “Yeah.” Dia mengakui. “Itu sebabnya aku tak pernah suka berteman dengan orang-orang yang dikenal Cody.” Dia manabahkan, bergumam sebal.
“Karena kau jadi perhatian pada mereka,” kataku, tersenyum kecil.
Jeremiah memutar bola matanya. “Mau bagaimana lagi. Cody itu—well, dia bisa jadi kematianku suatu hari nanti.” Lalu dia kembali menutututku dengan pertanyaan sebelumnya. “Sekarang, jelaskan.”
Aku menghela napas. Orang ini benar-benar keras kepala. Sulit sekali bagiku untuk lari dari pertanyaannya. “Aku punya prinsip hidup yang berbeda denganmu, Jeremiah,” kataku melipat tangan. “Mungkin bukan kereta api. Tapi air.”
Jeremiah mengerutkan dahi. Tak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya, jadi aku kembali melanjutkan.
“Aku punya prinsip bahwa hidup bagai air yang mengalir. Aku tak suka melawan arus karena aku tahu aku hanya akan terhempas dan terseret menjauh.” Mendengar diriku sendiri yang mengatakan hal itu terasa amat janggal. Aku tak pernah membicarakan masalah ini sebelumnya. Aku tak takut dengan masa depan. Tapi apa yang dikatakan Jeremiah memang benar. Aku melakukan sesuatu karena aku harus melakukannya bukan karena aku ingin melakukannya.
Sekarang, bila kuingat lagi, aku belajar karena kedua orang tuaku ingin aku berhasil dan aku harus membuat mereka senang, membalas kebaikan mereka jadi anak yang baik. Aku tak melawan peraturan dan bertingkah sangat sopan karena aku harus melakukannya. Orang-orang tak akan berbuat buruk padaku jika aku berada di jalanku. Guru-guru juga tidak akan menyentuhku jika aku rajin belajar. Aku menjalani semuanya karena aku harus melakukannya.
Jeremiah mendengus, meletakkan kedua tangannya ke sisi tubuhnya dan melihat langit. Wajahnya seakan mengejekku. Aku sungguh tak suka ekspresinya itu, sekaan dia tahu semuanya. “Sepertinya kau lupa kalau air juga banyak alirannya.”
Dahiku mengerut tak mengerti.
Jeremiah tersenyum lagi. “Kau tak mengerti?”
Ok, dia sok misterius dan membuatku terlihat bodoh karena tidak mengerti. “Erm... tidak.”
“Hmph! Kau sama seperti Cody, tak pernah tahu apa itu keindahan puisi.”
Aku menganga tak percaya. Kenapa pembicaraan kami sekarang berubah haluan? Apa aku salah dengar? Sebenarnya, kemana dia akan membawa pembicaraan ini? “Kau sedang membuat puisi untukku?” aku bertanya kebingungungan.
“Ha! Bermimpi saja kau sana. Kata-kata puitisku hanya untuk para wanita.” Dia tertawa saat mengatakan itu dan aku ikut tertawa. Meski ada sedikit sekali rasa iri karena dia bisa melakukannya. Beruntungnya para wanita yang mendapatkan puisi dari Jeremiah.
“Kau lihat danau itu?” katanya tiba-tiba, menunjuk danau di depan kami.
Aku memiringkan kepalaku sedikit. “Ya. Kenapa?”
“Itu kau.”
“Apa?”
“Kau bilang kau air.”
Aku tak mengerti. “Iya. Aku memang bilang begitu. Tapi...”
Jeremiah mengibaskan tangannya lagi, membuatku diam. “Kau seperti air dalam danau. Tidak kemana-mana. Kau cuma genangan yang terkumpul dalam jumlah besar. Tak ada bedanya dengan air hujan berukuran mini yang dikumpulkan sebanyak mungkin dan dijadikan satu. Kau seperti itu. Terperangkap dalam duniamu. Di antara daratan yang tak akan melepasmu.”
Aku mengerjap, menatap danau di depanku. Entah kenapa aku tak bisa mengatakan apapun.
“Tapi, bila kau menjadi mata air gunung, mungkin lain ceritanya.” Jeremiah melanjutkan. “Kau akan keluar dari dalam tanah, turun ke sungai, dan meluncur turun menurut pilihanmu sendiri. Kau bisa berbelok ke kanan dari hulu menuju hilir, atau mungkin ke kanan yang menuju muara, atau mungkin lurus terus menuju saluran pembuangan limbah. Terserah padamu. Itu yang namanya pilihan.
Dan itu yang ingin kukatakan padamu. Kau bisa menjadi Profesor atau Petani atau Tukang Kebun. Terserah padamu. Kau bisa menjadi orang baik atau orang jahat, itu juga pilihan hidupmu. Yang ingin kukatakan adalah bahwa hidupmu lebih luas daripada segenangan danau. Sayang sekali bila kau tak menikmati lautan atau samudra. Kau bisa terbang dan melihat dunia bila kau mau menjadi awan. Atau melihat fosil bila kau menjadi air tanah. Itu pilihanmu. Itu hidupmu. Dan apapun nanti yang kau pilih akan jadi cerita hidupmu. Ada yang bilang ‘Penulis mungkin menuliskan kisah orang lain. Tapi dalam hidupmu sendiri kaulah Penulisnya.’”
Tenggorokanku terasa kering. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa apa yang dikatakann Jeremiah benar. Selama ini aku hanya terperangkap di tengah. Aku sendirian. Aku kesepian. Aku berusaha keluar dari sangkar kecilku yang nyaman. Aku seorang burung yang berusaha untuk terbang, dan takut jatuh sehingga tak berani terbang.
Tapi kali ini aku ingin melihat dunia. Aku sudah mengenal beberapa orang yang membantuku. Aku berusaha untuk tertawa, lalu cemas dan ketakutan. Tapi mereka ada saat aku butuh mereka.
Hebat. Baru sebentar saja aku berbicara dengan Jeremiah, dan aku sudah melihat duniaku dalam versi yang berbeda. Kecil. Menyeramkan. Menyedihkan. Dan kesepian.
Tapi masih ada pintu yang terbuka untukku melihat dunia luar.
Dan Jeremiah baru saja membantuku. Dia mengulurkan tangannya padaku, sambil membawa lentera di sarang kecilku, menjangkauku untuk keluar dari kegelapan, dengan dia sebagai penunjuk jalanku.
You‘re really good at deep conversation,” kataku tanpa sadar.
Jeremiah tertawa kecil. “Yeah. Cody juga bilang begitu.” Dia tampak bangga mengatakannya.
“Kenapa kau tak jadi Psikolog saja?”
Lagi-lagi Jeremiah mendengus tak senang. “Maaf saja, tapi aku tak berminat bergabung dengan orang-orang stres. Hidupku harus bahagia. Ada banyak wanita yang menungguku. Kenapa aku harus repot-repot membaktikan diri pada orang sakit jiwa?”
Rude.”
It‘s me.”
Aku tertawa kecil, meninju pelan tangannya dan dia ber-aaw dengan nada manja seperti anak kecil.
“Sebaiknya kita kembali. Gabrielle mungkin saja akan tiba-tiba bangun. Dan bila dia tak melihat kita di rumah, dia mungkin akan histeris. Atau dia akan memikirkan sesuatu yang tidak-tidak.” Jeremiah bangkit dari tempatnya dan aku ikut berdiri.
“Misalnya?”
“Oh, kau tak perlu tahu. Putramu sedikit berbahaya.” Jeremiah mengerutkan dahinya. Aku berusaha mengimbangi langkahnya di sampingnya. “Apa kau pernah mengawasi apa yang dia tonton dan baca?”
“Gabrielle hanya menonton animasi.”
Jeremiah tampak tak percaya, karena dia berkata pelan, “Aku mungkin akan meletakkan CCTV di rumahmu, atau memeriksa ulang kamarnya, siapa tahu ada kamar rahasia di sana.”
Dan aku hanya tertawa mendengar komentarnya.
Ternyata Jeremiah tidak seburuk dugaanku.
Dia orang yang menyenangkan.

***

Medan, 13 Agustus 2013

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.