15
Boyfriend
CODY(POV)
Udara malam
akhir musim panas menyegarkan wajahku dan membuatku fokus untuk sementara.
Begitu banyak kejadian yang terjadi hari ini dan aku nyaris gila karenanya.
Kakiku melangkah
pelan melewati trotoar di antara bangunan-bangunan tinggi yang sudah tutup tapi
cahaya temaramnya sedikit menyinari kegelapan. Kesendirian seperti ini terasa
sangat nikmat. Sudah lama aku tak pernah jalan-jalan sendirian di jalanan
seperti ini dan saat tengah malam pula—saat ini jam 1 malam—sejak aku
memutuskan untuk angkat kaki dari rumah.
Bibirku
tersenyum kecil mengingat memori itu.
Biasanya setiap
awal bulan, aku dan Remi akan berkencan tengah malam. Dia akan membangunkanku
tiba-tiba setelah memanjat jendela kamarku, menyuruhku bersiap, lalu kami akan
kabur dengan motor ke pantai atau danau, lalu main sampai puas berdua—jika
menurut kalian saling tinju, saling dorong ke air, saling tendang, dan bergulat
bisa dikatakan bermain. Tapi kami kan
saat itu masih muda dan kami sangat bebas.
Kencanku dengan
Remi tak boleh diganggu-gugat bahkan oleh Aroz sekalipun.
“Aku hanya ingin
menghabiskan waktu satu hari dalam sebulan bersama sahabatku. Apa aku
berlebihan?” Remi akan protes begitu tiap kali aku susah bangun dari tempat
tidurku dan malah menarik selimutku lebih tinggi.
Itu sangat
menyenangkan.
Desahan napasku
terdengar menyedihkan. Aku memilih duduk di pinggir jalan di dekat salah satu
lampu jalan. Kedua tanganku masuk ke dalam kantung mantelku. Mantel yang dibuat
Keyna dan diberikannya untukku.
Sekali lagi aku
tersenyum, tersentuh dengan perhatian Keyna. Aku sangat menyukai mantel buatannya.
Mungkin mantel ini jadi satu-satunya benda favoritku. Tapi, mengingat apa yang
kukatakan pada Keyna membuatku mendesah lagi.
Aku merasa
bersalah.
Dan sendirian di
tempat seperti ini sangat menyedihkan.
Telepon aku...
Aku mengerjap.
Tanganku memegang kertas yang terselip dalam mantelku.
Nomor telepon
Aroz.
Telepon aku...
Suara Aroz
semakin terdengar. Aku menggigit bibir. Ini sudah tengah malam. Jam satu lewat.
Apakah tak apa-apa mengganggunya tengah malam begini? Kutatap kertas di
tanganku. Suara Aroz yang berkata “Telepon aku” semakin menjadi-jadi.
Telepon aku...
Jika dia tak
mengangkatnya, berarti dia sedang tidur.
Ragu-ragu, pada
akhirnya kukeluarkan ponselku dan menekan tombol-tombol itu. Aku semakin ragu
saat menekan tombol Dial dan
meletakkan ponselku ke telinga, menunggu lama sekali bunyi “tut” di seberang.
Dia sedang
tidur. Aku tak seharusnya mengganggunya.
Begitu
kuturunkan ponselku, aku mendengar suara di seberang.
“Halo?”
Untuk sejenak,
aku tak bisa bicara. Jantungku seakan diremas. Udara dingin di paru-paruku
seakan tersedot keluar. Tubuhku tak memiliki roh. Untunglah saat ini aku sedang
duduk, jika tidak aku yakin kakiku gemetar.
“Halo? Siapa
ini?”
Selama tujuh
tahun aku tak lagi mendengar suaranya di telepon. Suaranya yang lembut, serak
dan berbisik. Dan aku diliputi rasa bersalah pada Keyna lagi karena aku sangat
merindukan suara ini.
“Halo? Halo? Kau
bisa mendengarku?”
Aku tak bicara,
hanya menahan napas. Masa lalu itu kembali menyakitiku.
“Cody?”
Kali ini aku
benar-benar tak bergerak. Dari mana dia
tahu?
“Cody,” suara
Aroz melembut. “Aku senang kau meneleponku. Apa kau baik-baik saja?”
Sama seperti
Remi, Aroz mengenalku dengan baik. Walau dengan suara asing sekalipun, mereka
bisa mengetahui itu aku. Meski aku tak berbicara atau mengucapkan apapun,
mereka akan tahu itu aku. Walau aku sejauh apapun, mereka tetap akan tahu apa
aku baik-baik saja atau tidak.
“Hai, Aroz,”
kataku pada akhirnya. “Maaf aku mengganggumu. Apa kau sedang tidur?”
Terdengar suara
patahan dan grasak-grusuk di seberang. Aroz mendesah tak lama kemudian. “Nyaris.
Aku bertanya-tanya kapan kau akan meneleponku.”
Aku membasahi
bibirku. “Aku—”
“Cody, aku ingin
bertemu denganmu.”
“Apa? Aroz, ini
sudah malam.”
“Aku tak peduli,”
suaranya gemetar. “Aku tak sempat mengucapkan kata perpisahan. Aku tak bisa
melihatmu. Aku merindukanmu selama 7 tahun. Aku patah hati selama 7 tahun. Aku
menderita selama 7 tahun. Dan kali ini aku bisa melihatmu. Aku senang sekali
sampai rasanya aku ingin meledak.”
“Aroz—”
“Kumohon,”
suaranya bergetar dan menyayat hati, sehingga aku tahu bahwa dia sedang
menangis di sana. “Setidaknya aku bisa melihatmu sekali lagi, bila kau
bermaksud menyelesaikan segalanya, karena aku tahu, Cody, bahwa kau... bahwa
kau sudah melupakanku.” Suaranya berbisik sehingga aku nyaris tak mendengarnya.
“Aroz...”
“Aku janji tak
akan memaksamu untuk tetap tinggal, Cody.”
Aku menahan
napas. Sekali lagi aku merasakan beban berat di bahuku, menusuk paru-paruku sampai
rasanya sesak sekali.
“Fine,” gumamku. “Dimana?”
***
Tidak butuh lama
bagi untukku sampai di lokasi yang ditunjuk Aroz. Tempat itu sebuah taman yang
menghadap ke danau, dengan jalan setapak untuk mencapai ke sana. Pohon-pohon
tinggi dan ramping berdiri di sekitar danau. Kegelapan nyaris memenuhi seluruh
tempat dengan kabut menggantung rendah.
Mataku menyusuri
lokasi. Tidak ada siapapun. Tapi di salah satu kursi yang menghadap ke danau,
aku melihat ada bayangan seseorang yang duduk di sana.
Aroz.
Hanya siluet
tapi aku sangat mengenalnya.
Kakiku
melangkah. Sepatu bootku menginjak
rumput basah dengan bunyi gemersik yang membuat Aroz menoleh ke arahku. Pria
itu menegang sejenak, tapi akhirnya kembali tenang dan tersenyum padaku begitu
mengetahui bahwa aku yang mendatanginya, bukan orang lain.
Aku balas
tersenyum padanya ketika berhasil sampai di dekatnya.
Malam ini, dia
mengenakkan mantel berwarna abu-abu ramping dengan tudung menutupi kepalanya,
membuat wajahnya tampak lebih kecil. Di hidungnya ada kacamata perak. Kedua
tangannya memegang kotak abu-abu kecil.
“Hai,” sapanya
setelah kami bertatapan selama sepuluh detik dalam diam.
“Hai,” balasku
pelan.
“Duduklah,”
katanya, bergeser sedikit dari kursi kayu. Aku mengangguk dan duduk di
sampingnya.
Lagi-lagi kami
tak berbicara. Aku cuma menatap lurus pemandangan danau di depanku, dimana
airnya berkilau seperti berlian. Dari sampingku Aroz terus-terusan menatapku.
Aku tak terganggu. Aroz punya kemampuan untuk membaca kondisi. Dan aku tahu dia
sedang mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan terburuk.
“Aku tak tahu
kalau kau mengenakkan kacamata,” kataku tiba-tiba.
Aroz mengerjap,
lalu tersenyum kecil. “Mataku mulai bermasalah sejak aku kembali ke Italy.”
“Kau tampak
sehat,” kataku mengamatinya. “Juga banyak berubah.” Dia masih menjaga
senyumnya. “Kau lebih tenang sekarang.”
“Aku belajar
darimu, Cody,” katanya mengalihkan pandangannya ke danau. “Tak selamanya kau
ada di sampingku. Aku tak mungkin terus-terusan di belakang punggungmu.”
Aku tersenyum. “Benar.
Keadaan sudah berubah. Kita bertambah dewasa. Kita bukan anak-anak lagi.”
Aroz mengangguk.
Dia menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Aku membiarkannya mengambil waktunya
untuk mengatakan sesuatu yang menjadi perang batin baginya.
“Dua bulan
setelah aku di Italy, aku mencoba menghubungi rumahmu.”
Mengejutkan.
Aroz benar-benar berubah sehingga dia mampu mengangkat topik ini. Aku nyaris
tak bisa bernapas. Tapi aku memilih untuk diam. Aroz harus menyelesaikan
seluruh ceritanya. Dia berhak mengeluarkan seluruh isi hatinya selama ini—apa
yang terjadi selama ini.
“Setiap kali
meneleponmu, kau tak pernah menjawab. Kemudian aku mengirim surat untukmu,
hanya saja kau tak pernah membalas,” katanya.
“Aku sudah tak
tinggal di sana lagi.”
“Aku tahu.
Jeremiah bilang begitu di suratnya.” Dia berhenti sejenak. “Rupanya Jeremiah
tak sengaja pernah melihat surat-suratku, yang katanya dibakar oleh orang
tuamu.”
Tanganku
mengepal.
“Cody,” katanya
lembut, memegang tanganku, “mereka orang tuamu. Aku bisa mengerti.”
Karena matanya
menunjukkan kejujuran, maka amarah yang tadi sempat keluar kini reda.
“Kita sama-sama
tahu kalau kita tak punya kesempatan,” lanjutnya. “Tapi aku tak menyesal. Aku
menyayangi orang tuaku. Orang tuamu juga. Walau mereka sudah memerlakukan kita
dengan sangat buruk, itu tugas mereka melarang kita melakukan hal yang menurut
masyarakat tak benar.” Dia meremas tanganku. Matanya berkaca-kaca. Tapi tetap
saja bibirnya tersenyum.
Mau tak mau aku
juga tersenyum. Menepuk tangannya. Tidak mengatakan apa-apa.
“Sekarang kita
punya dunia yang berbeda,” katanya bergetar. Kepalanya menunduk, menatap tangan
kami. “Meski tidak mulus. Aku harus mengakui bahwa aku senang pernah
mengenalmu.”
“Aroz,” kataku
pelan, “kita tetap bisa berteman.”
“Aku tahu,”
akhirnya air matanya jatuh. Dia menunduk. Bahunya gemetar. Tapi aku tak akan
memeluknya. Aroz juga tahu kalau dia tak punya hak untuk bersandar. Dia seorang
pria. Aku tak berhak mengasihaninya. Dan Aroz tak perlu dikasihani. Dia sudah
sangat kuat selama 7 tahun ini tanpa aku. Aku hanya akan mematahkan
keteguhannya untuk mengucapkan selamat tinggal.
“Menyedihkan,”
gumamnya. “Aku janji pada diriku sendiri untuk tak menangis.”
“Jangan
khawatir. Aku tak akan menggosip kemana-mana.”
Aroz tertawa
kecil. Setelah puas menangis, dia mengangkat kepalanya, menyerahkan kotak itu
padaku.
“Untukmu.”
Dahiku mengerut.
Kubuka kotak itu dan menemukan tumpukan roti kering dengan bentuk mobil
berbagai jenis di sana. Aku tertawa kecil.
“Kau pernah
protes kenapa tak ada cookies berbentuk
mobil,” katanya dan dia ikut tertawa. “Siapa yang menyangka bahwa kepala geng
bermotor berpikir begitu?”
“Aku Ketua Geng
paling Unik sejagat raya.”
Aroz tertawa
lagi, meninju pelan lenganku. Dahinya mengerut. “Kau masih ikut kick boxing?” Aku mengangguk. “Pantas
saja.”
“Memangnya
kenapa?”
“Lenganmu...”
dia berhenti dan mengalihkan pembicaraan. “Wanita yang tadi sore cantik.
Pacarmu?”
“Bukan. Dia
model pacarku.”
Matanya menyipit
curiga. “Cody, kau tak tertular virusnya Jeremiah kan?”
Aku meringis. “Wanita
itu menciumku tanpa kuduga.”
“Dia naksir
padamu.”
“Mungkin,” aku
menaikan bahu dengan tak peduli.
“Kalau begitu,
sebelum kau pulang, kau harus memperkenalkan pacarmu padaku,” katanya dan
mendorong bahuku dengan bahunya. “Ok?”
“Kami akan
menghabiskan seluruh kue yang kau punya.”
Aroz tersenyum
lebar. “Aku tak keberatan.”
“Akan
kuusahakan.”
Kami masih
mengobrol setidaknya selama lima belas menit lagi kemudian aku mengantarnya
pulang, ke bangunan tingkat dua yang dekat sekali dengan toko kue miliknya.
“Terimakasih
sudah mengantar, Cody,” katanya. “Ingat. Kau harus membawa pacarmu mampir
sebelum pulang.”
Aku mengangguk.
Aroz menatapku
selama sedetik sebelum, akhirnya, memelukku, menyandarkan kepalanya ke dadaku,
dan kedua tangannya melingkar di pinggangku.
Tiba-tiba,
seluruh kenangan saat kami bersama selama lima tahun teringat. Saat dimana aku
bertemu dengannya. Ketika dia menyatakan perasaan. Ekspresi wajahnya ketika
memintanya jadi pacarku. Orang yang pertama kali memperkenalkan padaku cinta
pertama. Orang yang pertama kali kubagi apa itu kencan pertama, ciuman pertama,
bahkan malam pertama.
Tubuh yang dulu
begitu kecil saat kupeluk, kulindungi dengan sangat protektif, halus dan lembut
nyaris seperti wanita, juga sangat kecil, kini sedikit lebih tegar dan lebih
kuat untuk menjaga dirinya sendiri.
Aroz melepas
pelukannya tersenyum. “Addio, Amore Mio.”
Lalu dia naik ke kamarnya, tidak berbalik lagi.
“Goodbye, First Love,” gumamku.
Sekarang kami
bisa menapaki masa depan.
Sekarang aku
lega.
Aku bisa
berkonsentrasi menjadi hetero, menjadi kekasih Keyna, bersama Keyna.
Dan tak ada yang
lebih penting bagiku sekarang selain membahagiakan Keyna.
Begitu sampai di
kamar hotel, Keyna masih tidur. Aku segera naik ke atas tempat tidur.
Keyna membuka
matanya sedikit. “Kau dari mana?” gumamnya.
Aku cuma
tersenyum, menarik tubuhnya perlahan untuk kupeluk. Keyna tersenyum dan kembali
tertidur lelap saat aku mencium dahinya.
“Keyna, aku
mencintaimu,” gumamku dan tertidur di sampingnya.
***
KEYNA(POV)
Aku bangun
dengan melihat Cody di sampingku, tertidur pulas sambil memelukku seperti
seorang anak kecil yang polos. Kamarin malam dia tampak menyebalkan, tapi
sekarang aku luluh hanya melihat wajahnya. Sudah beberapa kali aku melihat Cody
setiap pagi, tapi tetap saja aku belum terbiasa, karena aku selalu diliputi
kebahagiaan menemukan orang yang kucintai ada di sampingku.
Cody masih
mengenakan pakaian lengkap saat aku bergerak sedikit dari tempat tidur. Mantelnya
ada di sofa.
Dahiku mengerut.
Apa dia keluar semalam?
Memulai pagiku,
aku segera ke kamar mandi dan mandi sampai bersih, mengenakan pakaian sederhana
yang kasual dan santai. Cody masih saja tidur. Sebenarnya, jam berapa dia tidur
kemarin? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Hanya saja aku
memilih membiarkannya tidur pulas. Lagipula Cody tak akan mengijinkanku
mengendarai mobil bila dia dalam keadaan sadar. Dia butuh istirahat. Selagi
Cody tidur, aku membereskan baju-baju kami dan mengepaknya dalam koper.
Cody terbangun
begitu aku menyingkirkan gorden dan cahaya matahari masuk tepat menyinari
wajahnya.
“Uuuh!” Dia
menggerung. “Aku benci matahari pagi,” gumamnya.
Ok, jadi aku
belajar satu hal mengenai Cody bahwa dia bukanlah manusia pagi hari.
“Selamat pagi,”
sapaku begitu Cody membuka matanya perlahan. Dia mengusap wajahnya dengan kedua
tangannya dan bergumam “Pagi” dengan suara serak.
“Kau harus
bangun lalu kita bisa sarapan dan pulang.”
Cody mengangguk,
meregangkan tubuhnya, dan menyingkirkan selimut.
“Aku sudah
membereskan kopermu. Bajumu juga sudah kusiapkan. Aku—kenapa?” Aku mengerjap
kaget dan gugup melihat Cody memelukku dari belakang. Ini tak biasa.
“Aku mencintaimu,”
bisik Cody, kemudian mencium pipiku.
Wajahku bersemu
merah. “Sungguh?”
“Ya.”
“Kau sudah
melupakan mantanmu?”
Cody menciumku
lagi. “Saat ini kau duniaku,” katanya dan hatiku diluputi oleh bunga-bunga
kebahagiaan yang nyaris meledak di dadaku.
“Thomson benar,”
kataku tersenyum padanya. Alisnya menaik curiga. “Bahwa kau puitis.”
Cody tersenyum.
Sebuah senyuman yang nyaris sama dengan senyuman Janson yang licik. Bedanya—karena
ini Cody—dia jadi jauh jauuuuuuh lebih sexy.
“Apa boleh buat,”
katanya parau di dekat telingaku. “Aku bersama calon isteriku yang cantik
jelita.”
Perutku dipenuhi
dengan sensasi aneh yang sangat membahagiakan. Tubuhku menggigil merasakan
suaranya yang berada di dekat telingaku dan suara desahan napasnya di dekat
leherku. Aku mencintai pria ini sampai-sampai tak peduli pada apa yang dia
lakukan.
“Room service.”
Terdengar
ketukan pintu yang membuat Cody melepas pelukannya.
“Biar aku saja,”
kataku menangkap lengannya. “Itu cuma sarapan. Kau mandi saja dulu.”
“Ok.” Cody
mengangguk kemudian masuk ke kamar mandi sementara aku membuka pintu,
membiarkan seorang pelayan berseragam mendorong troli masuk ke dalam kamar.
“Selamat pagi,
Nona,” kata pelayan itu membuka hidangannya, kemudian meletakkan makanan yang
dia bawa ke atas meja. Aku memilih untuk memasukkan baju-baju Cody. Kemudian
pelayan itu permisi dan Cody keluar dari kamar mandi, mengenakkan kaos abu-abu
berkerah biru, dan berjaket merah, yang dipadu dengan celana senada dengan
kaosnya.
“Sarapan sudah
datang,” kataku mengambil handuk di tangannya dan melipatnya.
“Kau pesan apa?”
“Waffles dan pancake. Biasanya kau makan apa saat sarapan?” Sambil mengancing
kopernya, aku duduk di samping Cody dan memberikan piringku padanya.
“Telur setengah
matang. Kadang roti. Aku juga makan sosis.”
“Hmmm. Dan apa
favoritmu?”
“Aku suka yang
dimasak. Lebih enak.”
“Ok. Kalau
begitu aku akan selalu masak sarapan untukmu.”
“Aku tak sabar
menunggu.”
Kami akhirnya
sarapan. Cody makan pancakenya kadang
aku ikut mengambil potongannya dan dia mengambil waflesku juga. Kami mengobrol tentang keadaan sehari-hari,
mengacuhkan membahas soal Janson dan Kim—lagipula siapa ingin yang membahas
mereka? Merusak suasana saja—dan lebih banyak membahas soal kami.
“Kapan aku bisa
bertemu orang tuamu?” tanyaku.
Cody berhenti
mengunyah, mengerutkan dahi. Aku curiga dia sama sekali tak ingat dengan apa
yang dia katakan malam itu.
“Kau lupa,”
kataku datar. Tak bisa dipercaya.
“Tapi aku ingin
bertemu orang tuamu dulu,” kata Cody. “Baru orang tuaku.”
“Aku ingin
bertemu orang tuamu dulu.”
Cody meletakkan
garpunya. “Orang tuaku akan menyukaimu. Kau tenang saja. Adik-adikku juga. Itu
sudah pasti.”
“Kau punya adik?”
“Ya.” Dia
mengangguk. “Tiga orang. Si kembar Kynth dan Kyler. Lalu si bungsu Kaela.
Bagaimana denganmu?”
“Aku punya beberapa
kakak laki-laki. Mama sangat menyenangkan. Dia orang yang ceria. Masalahnya
mungkin ada pada Papa dan Chris.” Cody tidak memotongku jadi aku melanjutkan. “Mereka
sedikit protektif.”
“Seperti?”
“Uuuh.” Aku tak
ingin mengatakannya. Tidak, yang benar itu, aku tak bisa mengatakannya.
Bagaimana aku bisa mengatakan hal memalukan yang selalu terjadi di rumahku tiap
kali aku membawa pria ke rumah? Setiap aku datang membawa pacarku atau teman
laki-lakiku, mereka akan memberikan tatapan menusuk dan kata-kata tak
berperikemanusiaan.
Chris pernah
meninju pacar pertamaku saat kami tak sengaja berciuman di depan pintu rumah.
Dia juga pernah mengerjai setiap pacarku dengan obat sakit perut agar mereka
pulang. Atau dengan sengaja ikut kencan dan merusak acara kencanku.
Lebih parah dari
Chris, Papaku hanya perlu berdiri di depan pintu tiap kali pacarku mampir,
berbicara dengan nada dalam sambil memelototi mereka. Aura otoritas menggantung
di sekitarnya—yang mampu membuat Hitler menangis—dan sudah pasti tak ada
satupun pria yang mampu lewat dari ambang pintu bila dia berjaga di sana.
Papaku seorang hearder berukuran
manusia.
Aku tak ingin
Cody mengalaminya.
“Kenapa?” Cody
bertanya keheranan.
“Aku ingin
bertemu orang tuamu dulu.”
“Tidak, Keyna,”
kata Cody tegas. “Aku ingin bertemu orang tuamu dulu. Kenapa kau takut begitu?”
Aku menggigit
bibir. “Papaku dan Kakakku sangat protektif.”
Cody tersenyum
menenangkan. “Kau tenang saja. Aku bisa mengatasinya.”
Melihat senyuman
Cody membuatku tenang dan yakin padanya. Dia Cody. Aku mengingatkan diri. Dia
pria yang melindungiku. Pria yang melamarku. Pria yang akan menjadi suamiku.
Bila aku tak memercayainya, siapa lagi?
“Ok,” aku
mengangguk. “Akan kuberitahu keluargaku kalau calon suamiku mau datang.”
“Bagus. Oh ya,
sebelum pulang, kau tak keberatan kita mampir ke Aroz Bread? Teman lamaku ingin bertemu denganmu.”
“Aku tak
keberatan.”
Kami
menghabiskan makanan kami lalu mengambil koper dan turun ke bawah untuk check out. Cody tak mengijinkanku
membawa tasku. Dengan enteng dia mengangkat tasku lalu membayar—benar-benar tak
memedulikan panggilan Janson dan Kim.
“Aku tak ingin
bertemu mereka di pagiku yang berharga,” kata Cody setelah kami masuk ke dalam
mobil.
“Kau beruntung
tak bertemu mereka setiap hari.”
“Aku beruntung
mereka tak selalu membuat alasan agar aku mau menemui mereka.”
Aku tertawa
kecil. Mobil kami keluar dari basement.
Hanya butuh lima menit, mobil kami sudah berhenti dan memarkirkan diri di depan
Aroz Bread yang cantik apik dan
lezat.
Cody membukakan
pintu bagiku saat aku masuk dan seorang pelayan menyapa Cody.
“Cody,” katanya,
“kau datang lagi. Siapa ini?”
“Liam, dimana
Aroz?”
“Dia ada di
dapur. Tunggu sebentar,” kata Liam, kemudian melangkah ke dapur.
Aku melihat
sekelilingku. Tempat ini luar biasa. Kue-kue berbagai bentuk terlihat menggoda
dan bersinar berkat pencahayaan yang pas. Kursi dan meja ditata dengan sangat
rapi. Aroma kue, coklat, pandan, karamel dan berbagai jenis lainnya, menguap
lembut, membuatku kembali lapar.
Ini tempat
paling sederhana sekaligus paling indah yang pernah kutemui.
“Cody,” sebuah
suara lembut membuatku mengalihkan pandangan. “Kau benar-benar datang.”
“Aku harus
datang karena kau memaksaku dan karena aku sudah janji,” balas Cody.
Pria itu tertawa
dan aku terkejut melihat betapa cantiknya dia. Wajahnya mungil dengan lesung
pipi menawan, manis sekali saat tersenyum, bibirnya penuh berwarna merah muda.
Rambutnya hitam kecoklatan, sedikit melingkar di belakang telinganya. Topi
kokinya terletak miring di kepalanya. Rupanya selain wajahnya, bentuk tubuhnya
juga menunjang sisi feminimnya. Dia punya pinggang yang ramping. Kaki yang
panjang dan kurus. Bahunya kecil dengan dada rata yang membuatku yakin dia
bukan wanita. Dia tidak setinggi Cody dan justru terlihat mungil di antara Cody
dan Liam.
Entah kenapa aku
merasa bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman apalagi
saat Aroz menepuk-nepuk bahu Cody dengan akrab dan berkata, “Jadi, mana
kekasihmu itu?”
Matanya
melihatku dan aku terkesan betapa indahnya mata itu. Begitu jernih, begitu
besar, begitu jujur, seperti sebuah boneka manekin bermata indah, atau mata
seekor anak anjing menggemaskan.
Pria itu tampak
begitu murni.
“Keyna,” kata
Cody menggandeng tanganku. “Ini Aroz, pemilik sekaligus Baker tempat ini. Dan Aroz, ini Keyna. Tunanganku.”
“Halo,” kata
Aroz, mengulurkan tangannya. “Namaku Aroz Milligan.”
“Keyna,” kataku
menjabat tangannya yang sehalus tangan bayi.
“Dia cantik.
Kalian serasi,” kata Aroz pada Cody, menyodok pelan perut Cody. “Kau
benar-benar beruntung.”
“Aku tahu,” kata
Cody.
“Baiklah, karena
kalian sudah repot-repot kemari, kau boleh memilih kue di sini dengan gratis,”
Aroz menggandeng tanganku, membawaku ke lemari-lemari pajangan. “Cody, kau bisa
membeli untuk Jeremiah.”
Cody mengangguk
dan berlalu ke pajangan lain.
“Aku punya
beberapa jenis kue manis. Ada juga yang rasa buah. Yang populer akhir-akhir ini
adalah coklat. Apa favoritmu, Keyna?”
“Aku suka karamel,”
kataku cepat, sedikit tidak nyaman dengan sikap akrabnya.
“Karamel? Ok.
Aku punya beberapa jenis kue karamel.” Dia menunjuk beberapa. Aku mengamati
jenis-jenis kue itu dengan penuh minat. “Cody suka pandan,” katanya tiba-tiba.
Aku mengerjap. “Pandan?”
“Yep. Cody tak
pernah suka makanan manis meski dia tak keberatan memakannya.” Aroz
mengeluarkan beberapa piring kecil, menunjukkannya padaku.
“Aku baru tahu,”
gumamku.
Aroz tersenyum
penuh pengertian. “Cepat atau lambat kau akan tahu apa kesukaannya,” katanya
pelan, lalu melirik Cody yang ada di ujung ruangan. Meyakinkan diri bahwa Cody
tak melihat kami, Aroz melanjutkan, “Cody bukan tipe orang yang terbuka, kau
harus mencari tahu sendiri apa kesukaannya—apa yang tidak disukainya.”
Aku menatap Aroz
lurus-lurus. Aku punya firasat bahwa Aroz bukan hanya teman. Mereka mungkin
pernah jadi kekasih.
“Aku akan
membantumu,” dia mengulurkan kertas kuning berisi nomor teleponnya ke tanganku.
“Kau bisa menghubungiku kapan pun kau mau.” Dia mengedip jenaka.
“Kalian sedang
apa?” Cody menoleh penasaran.
“Kau pilih saja
kue buat Jeremiah.” Aroz mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir Cody. Cody
menyipit curiga saat melihat kue lain, meski dia tak membantah. Aroz kembali
menatapku, tersenyum seperti malaikat. “Kau benar-benar beruntung mendapatkan
pria baik sepertinya. Jangan mengecewakannya, ya Keyna, karena aku tahu dia tak
akan pernah mengecewakanmu.”
Mereka punya
hubungan atau tidak, hal itu sama sekali tak ada hubungannya denganku. Yang aku
tahu Cody memilihku. Yang kulihat, pria ini berdiri di depanku, menyemangatiku
dan berniat membantuku.
“Terimakasih,”
kataku parau.
Aroz menepuk-nepuk
bahuku dengan akrab lalu seketika itu pula memasukkan nyaris seluruh jenis kue
ke dalam pesanan kami untuk dibawa pulang. Meski Cody sudah memberi alasan,
Aroz tak peduli dan tetap memaksa memberikan kue. Kemudian, begitu kami keluar
dari toko dengan kantong penuh berisi kue, Aroz mengecup pipiku, memeluk Cody
dengan bersahabat, lalu berteriak, “Jangan lupa mengirimiku undangannya, ya?”
Cody hanya
tertawa.
Kami masuk ke
dalam mobil dan pulang.
“Aku suka
padanya,” kataku melirik plastik-plastik kue di pangkuanku. “Dia orang yang
menyenangkan.”
“Memang,” Cody
mengangguk.
Ponselku
berdering. Ada pesan masuk dari Aroz.
From:
Aroz
To:
The Beautiful Keyna
Fighting!!
Aku tersenyum
melihat pesannya. “Apa hubunganmu dengan Aroz?”
Cody tersenyum. “Dia
orang dari masa lalu. Tapi kini dia teman kita.”
Teman kita, aku mengulang, melihat pesan
yang dikirim Aroz, dan tersenyum lagi. Aku bahkan tak menyangka bahwa aku baru
mengenal Aroz karena dia sangat menyenangkan seakan kami sudah saling mengenal
selama ini. Melihat dia tersenyum, tertawa, mengobrol, dan melayani kami,
membuatku merasa nyaman dan bahagia.
Aroz seperti
sahabatku.
Dia sahabat
baruku.
To:
Aroz
From:
Me
Fighting!!!
Hari ini
benar-benar sangat membahagiakan!
***
Write: Medan 23
July 2013
1 komentar:
Right Keyna Faighting!!!
Thank's prince atas cerita2 mu yang sangat menarik.. Fighting juga untuk prince
Posting Komentar