RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 05 Juli 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Delapan)



Debaran Tiga Puluh Delapan
Love is in The Way


Akhir semester 1 Kelas 3. Desember.

Lagi, lagi, lagi, dan lagi, abangku yang menyebalkan itu memohon agar aku mau ikut dengannya ke Prancis.
“Aku dan Audrey serta yang lain mau liburan ke Bali, Bang,” kataku jengkel, mendelik pada sosok Ray yang duduk di meja belajarku. Matanya memelas untuk membujukku. “Jadi tidak.”
“Ayolah, Niken,” rengeknya. “Jarang-jarang kan Papa ngajak liburan ke Prancis. Apa enak sih liburan ke Bali melulu? Prancis kan lebih seru. Ada saljunya lagi. Natal dan Tahun Baru di Prancis bakal lebih seru.”
Aku mendesah. “Abang membujuk begini karena pengen ketemu bule yang kemarin sempat belajar di sini kan? Ngaku aja deh.”
Dua bulan lalu, Ray membawa bule Prancis cantik berambut pirang dan bermata biru indah kemari. Katanya sih dari pertukaran pelajar. Tak pernah sekalipun Ray membawa cewek ke rumah ini. Jadi sudah pasti dia cinta mati sama tuh Bule.
Ray cengengesan. “Dasar. Pengen ketemu cewek itu aja sampai begitu banget.”
Please...” dia memelas lagi, memasang tampang unyu andalannya. Bibir bawah naik ke atas bibir atasnya, dan mata berbinar seperti anak anjing paling imut sejagad raya.
“Ok.” Sial. Aku butuh perisai buat senyumannya itu.
“Yay!” Ray bersorak. “Makasih, Adikku yang paling cantik. Paling baik. Paling imut. Paling unyu. Paling pintar.”
“Stop.”
Tapi dia masih mencerocos. “Paling manis. Paling mempesona. Paling gorgeous. Paling lucu.”
Astaga.
“Aku akan minta pada Tuhan yang Maha Kuasa agar seluruh permintaanmu dikabulkan!” Lalu setelah menjerit, kesenangan dia mencium dahiku, dan keluar kamarku nyaris berlari kegirangan. Suaranya masih kedengaran walau pintu sudah tertutup, memberitakan pada dunia bahwa aku bersedia ikut ke Prancis.
“Mama! Niken ikut ke Prancis! Pesan tiketnya dua! Ma, bilang sama Papa tiketnya dua! Prancis Prancis! Yay, Prancis aku datang!”
“Ya Tuhan...” aku hanya mampu geleng-geleng kepala. Ray selalu kelihatan seperti orang yang kesurupan bila sudah kegirangan.
Aku terkekeh kecil, mengirim pesan pada teman-temanku bahwa aku tak bisa ikut mereka.
Group Chat [F4(-1) + 2]
Ms Genius: perubahan rencana.
Tak lama ada balasan.
Ms Lovely: perasaanku tak enak
Me_Z: ada yang berubah jadi cenayang ¬¬
Ms Lovely: tak ada yang tanya pendapatmu °_° €<¬_¬ *cubit keras
Me_Z: ow ow #~_~‘
Aku tertawa melihat pembicaraan mereka. Audrey dan Zoe memang tak pernah akur. Setiap mereka bertemu, selalu ada sindiran yang melayang di udara. Mereka berdua seperti Devon dan Kak Vion. Bertengkar tapi berteman. Bermusuhan tapi juga bersahabat. Devon kadang suka pergi bila mereka sudah bertengkar.
Vi__on: please... @-@
Ms Lovely: hi Vion :*
Vi__on: ^///^
Mr Bad:  *¬¬ p-> (#°^°)
Vi__on: *death
Me_Z: back to topic. Emang apa yang berubah?
Vi__on: power ranger berubah
Mr Bad: superman berubah
Ms Lovely: barbie berubah
Me_Z:  ~~~[.__.]* ~~~
Ms Lovely: lol
Ms Genius: aku liburan ke prancis.
Pesanku mendapatkan komentar yang mengejutkan.
Me_Z: oh b(.-.)d
Ms Bad:  (`o´)
Mr Lovely: (´)
Vi__on: (-^^-)
Ms Genius: itu doang?
Mr Bad: udah pernah ke prancis.
Vi__on: sama
Ms Lovely: di sana cantik
Me_Z: ga ada yang istimewa tuh
Ms Lovely: iiiih °_° €<¬_¬ *cubit lebih keras
Me_Z: €(* - -)*pipi bengkak
Ms Lovely: (*`^´)=3 Rasakan!
Vi__on: Stop kekerasan (`Д´)
Ms Lovely: (o`з’*)
Mr Bad: ( ()) hati-hati di jalan Niken. Satu-satunya yang normal.
Me_Z: panda :3
Ms Lovely: kucing sok cute
Me_Z: iblis betina
Ms Lovely: apa katamu? ( #`Д´)Σ(´д;)
Vi__on: (゚Д゚゚Д゚)
Mr Bad: ignore them (_・| ( #`Д´)Σ(´д;)
Aku tertawa lagi. Setiap kali chatting dengan mereka aku selalu tertawa. Aku menuju balkon, membalas pesan-pesan kami. Sesekali melihat ke arah taman rumah Nero yang tampak seperti rumah hantu. Tak terawat dan tak terurus.
Sejak kepergian Nero tak ada yang terjadi. Polisi belum bisa menemukan Deborah yang melarikan diri entah kemana. Kami terlalu sibuk memikirkan keadaan Zoe sampai tak memedulikan Deborah waktu itu. Rumah Nero tak berisi lagi sejak saat itu. Matt dan Nero pergi entah kemana. Meninggalkan Jacob mengurus segalanya.
Dan jendela Nero tak pernah terbuka lagi.
Aku sedih. Memang. Aku banyak menangis. Itu juga benar. Tapi aku mencoba tegar. Untuk Nero.
Kupandangi foto Nero. Foto dimana kami menjadi pasangan. Berdua. Duduk bersampingan. Di kamarnya. Sejak Nero pergi, dia tak pernah kembali. Dia tak menelepon. Dia juga tak pernah mengirim surat. Dia ada di suatu tempat di dunia ini. Entah itu dimana. Tapi aku berharap dia akan baik-baik saja. Dan semoga Deborah tak menemukannya. Atau semoga Deborah tertangkap atau sudah mati— kalau perlu—sehingga tak perlu mengejar Nero lagi. Tapi aku tak berharap Nerolah yang membunuhnya. Hanya itu doaku.
Aku akan minta pada Tuhan yang Maha Kuasa agar seluruh permintaanmu dikabulkan!
Walau aku bilang aku mendoakan keselamatannya, aku juga berharap permohonan lain yang rasanya amat mustahil.
Aku ingin bertemu Nero.
Aku sangat merindukannya sampai rasanya ingin mati karena tak bisa bernapas.
***The Flower Boy Next Door***
My baby girl,” Papaku tersayang menjemput kami di bandara, merentangkan kedua tangannya untuk memelukku. Aku segera melompat ke dalam pelukannya, memberikan pelukan super erat ditambah ciuman di pipi. Setelah melepasku, dia beralih pada Ray.
My Naughty boy,” katanya.
Ray memutar bola matanya. “Pa, please.
My little boy.”
I’m not little,” koreksinya, karena tinggi badannya sudah sama dengan Papaku.
Fine. My big guy!”
That’s better,” Ray nyengir lebar dan memberikan bearhug, nyaris menggendong Papaku di tangannya. Papa terbahak-bahak, menepuk punggungnya dengan sayang.
“Ayo kita ke rumah. Ada banyak makanan.”
Kami keluar dari bandara dan naik ke mobil. Salju sudah turun sejak kami tiba, menumpuk di pinggiran jalan. Aku memandangi keindahan kota Paris dari dalam mobil dengan penuh antusias.
Kota ini cantik sekali. Penasaran kenapa aku bisa sampai di sini? Well, Papaku seorang arsitek. Dia biasa berkeliling dunia hanya untuk membangun jalan raya, rumah, jalan layang, stasiun, dan masih banyak lagi. Nyaris setahun lalu dia ada di Amerika, tepatnya di Washington, untuk membangun stasiun. Dan pulang seminggu setelah Nero pergi. Lalu tiga bulan kemudian dia pergi ke sini, ke Prancis, untuk membangun waduk buatan.
Jadi, karena Papa sangat merindukan kami, dia meminta kami liburan di sini bersamanya sekaligus juga bekerja. Mama tak bisa ikut. Mama kami takut ketinggian. Kurasa aku harus berterima kasih pada Abangku. Aku suka kota ini!
Menikmati Natal di tempat ini akan sangat luar biasa.
“Niken, besok ada Amazing Christmas Eve di Eiffel dengan pohon Natal setinggi sepuluh meter,” kata Papa tiba-tiba merangkulku. Wajahnya tersenyum puas. “Bagaimana kalau kita kencan hmmm?”
“Boleh.” Aku nyengir.
“Aku bagaimana?” Ray tampak tersinggung.
“Hmph, aku tak perlu mengajakmu. Mamamu bilang, alasanmu datang kemari cuma untuk bertemu pacarmu. Siapa itu namanya Aiziabeth?”
“Selisabeth,” Ray mengoreksi. “Tapi tetap saja—”
Papa mengibaskan tangan. “Pasti saat kau melihatnya, dalam dua detik saja, kau lupa kalau kami ada. Aku juga pernah muda tahu.”
Ray tertawa. “I love you, Papa.”
I know it.”
Aku ikut tertawa, dan saat aku melirik ke arah jendela, aku melihat sebuah cafe yang in—
Nero.
Tak mungkin. Aku menoleh ke belakang untuk melihat lebih jelas, tapi mobil kami sudah berbelok.
“Ada apa, Niken?”
Aku bergumam “Tak apa-apa” dengan cepat.
Nero. Aku melihat Nero. Benarkah itu Nero? Benarkah dia ada di sini? Jantungku berdegup kencang tak karuan. Andai saja mobil kami tadi tak berbelok. Andai saja mobil kami berhenti. Andai saja aku segera berteriak berhenti. Aku mungkin bisa memastikan apa itu Nero atau tidak.
Tapi bila tidak?
Niken apa sih yang kau harapkan? Aku menanyai diri sendiri.
***The Flower Boy Next Door***
Nero menerima coklat panasnya sambil tersenyum. “Merci,” katanya, kemudian berlalu untuk mendekati Jacob yang sudah duduk di salah satu meja bundar dengan kopi mengepul di atas meja.
Jacob melirik si kasir, yang matanya berbinar melihat Nero. Bukan hanya dia tapi juga nyaris seluruh makhluk perempuan di cafe melirik Nero dengan antusias. Nero hari ini mengenakan mantel berwarna biru gelap dengan model yang pas di tubuhnya. Sabuknya merampingkan bagian pinggangnya. Syal merahnya terlilit di leher dan di atas kepalanya, dia mengenakan kupluk putih. Pipinya tampak lebih pucat ketika menghadapi musim dingin, mempertampan wajahnya dan memperindah mata coklatnya.
Dan anak muda itu tak menyadari hal itu karena dia masih sibuk duduk, meneguk coklatnya dan bergumam nikmat.
“Hentikan itu,” kata Jacob.
Nero mengerjap bingung. “Memangnya kenapa?”
“Para wanita akan pingsan kehabisan napas. Kau harus membuat mereka menarik napas tahu.”
Nero mengerjap lagi dan menoleh ke sekitarnya. Sekarang Nero mengerti maksudnya apa.
“Sori,” Nero nyengir meletakkan gelasnya. “Bagaimana anakmu? Dia sehat?”
Jacob mengangguk. “Dia tumbuh dengan baik. Ageha titip salam padamu. Coline merindukanmu.”
“Kau cuma sebentar ke USA dan sudah jadi pemberi pesan,” kata Nero.
“Kalau bukan karena Ayahmu, aku akan menghabiskan natalku di sana.”
“Pesawat sibuk di hari Natal.”
“Dan kau sama sekali tak membantu.”
Nero meneguk coklatnya lagi, memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.
“Hari ini kau diundang kan?”
Nero mengangguk. “Cuma membawakan satu lagu saja saat makan malam.”
“Matt yang menawarkan?”
“Siapa lagi?” Nero menaikkan bahu tak peduli.
Jacob tersenyum kecil, meneguk kopinya. “Jadi besok malam kau ingin di rumah saja?”
Nero menengadah dan mengerjap tak mengerti. “Huh?”
“Matt bilang kalau dia tak ada waktu besok malam, dan memintaku untuk menemanimu.”
Nero merengut. “Padahal dia janji.”
“Dia janji pada saat Natal bukan Malam Natal.”
Nero semakin merengut. “Tetap saja. Aku di rumah saja.”
“Kau yakin? Ada Christmas Eve di Eiffel besok.”
Nero menatap Jacob. Pandangan matanya seolah berkata “Aku sudah mengorbankan waktuku untuk tidak menghabiskan malam Natal bersama keluargaku dan sekarang kau memintaku duduk manyun di dalam rumah bersamamu? Yang benar saja!”
“Ok. Aku mau ke Eiffel,” kata Nero pada akhirnya.
Jacob mengangguk. “Keputusan yang bijak.”
“Lain kali, kalau Dad memintamu menyebrangi samudra dan benua hanya untuk menemaniku, meninggalkan keluargamu, di saat hari libur pula, kau bisa memarahinya.”
Jacob tersenyum. “Jangan khawatir. Dia janji ini yang terakhir.”
“Juga minta padanya kenaikan gaji dan kenaikan pangkat. Apa kau tak betah di sampingnya terus?”
Jacob tertawa kecil. “Bagaimana ya, aku cukup bersenang-senang bersama Matt. Dia sepertimu, memiliki kemampuan untuk dicintai. Dan soal gaji, tak perlu khawatir. Aku cukup menikmati rumah mewah yang lengkap dengan kolam dan air mancur di USA sana.”
Dan Nero balas tertawa.
***The Flower Boy Next Door***
 “Papa, katanya kita mau makan enak, ternyata di restoran juga.” Ray protes ketika kami makan di restoran keluarga.
Papaku cuma bisa tersenyum kecut. “Kau kan tahu Papa tak bisa masak enak.”
“Tapi tetap aja,” Ray menghela napas. “Kupikir kita makannya di restoran Prancis, nyatanya made in Indonesia juga.” Dia melihat sekelilingnya. Memang saat ini kami sedang duduk di restoran Indonesia, makan makanan Indonesia, dengan para pelayan yang diimport langsung dari Indonesia. Ha! Udah kayak di rumah sendiri aja.
Papa meringis. “Makanan di sini enak loh.”
Abangku tersayang masih mengomel dan akan terus mengomel seandainya pesanan kami tak datang. Masakan enak itu berhasil menutup mulut besarnya. Setelah kami selesai makan, kami segera keluar. Papa bilang kalau dia merindukan masakan rumah dan enak sekali rasanya makan makanan Indonesia bersama dengan anak-anaknya. Aku juga merasakan hal yang sama walau aku tahu Papa ingin Mama juga ikut bersama kami.
Kami menghabiskan sisa waktu kami melihat-lihat sekeliling mall. Papa membelikanku beberapa mantel cantik yang mahal sementara Abangku sibuk dengan—tak lain dan tak bukan—Selizabeth, yang tak sengaja bertemu dengan kami di toko butik. Dan kau tahu apa? Papaku langsung menyukai gadis itu dan memberikan lirikan penuh setuju terhadap keputusan Ray.
Aku nyaris mengerang jengkel melihat mereka berdua berbicara menggunakan bahasa Prancis bersama Selizabeth dan meninggalkanku sendirian di belakang, tidak menyadari keberadaanku.
Memang sih, Selizabeth itu cantik. Dia berambut pirang, bermata biru dengan bulu mata indah. Wajahnya begitu manis tanpa dia perlu repot-repot meletakkan make up ke sana, dan senyumnya begitu menawan meski tak ada lipstik. Belum lagi kuku-kuunya tampak indah dan mengilap mempesona. Tubuhnya juga tinggi langsing dan kakinya juga bagus.
Yang aku tak suka adalah bila dia ada, aku tak terlihat lagi. Nyebelin banget!
Aku menghentakkan kakiku dengan jengkel, keluar dari butik dan memegang palang besi lantai tiga dengan jengkel. Pikiranku memaki Selizabeth dan seluruh kesempurnaan yang diberikan Tuhan padanya. Kupandangi lantai di bawahku, dengan sedikit tak antusias, melihat para bule sedang berbelanja untuk Natal. Mereka sangat banyak, membawa tas-tas dan ransel besar penuh hadiah, mengenakan mantel berat dan begitu bersemangat, wajah mereka tampak begitu pucat.
Dan aku melihatnya.
Nero.
Aku mengedip, takut aku salah lihat karena sudah lama tak melihatnya dan begitu merindukannya sehingga mungkin saja itu orang lain.
Tapi dia masih ada di sana.
Nero ada di lantai, tepatnya di bawahku. Dia mengenakkan mantel merah dengan syal kotak-kotak manis melilit lehernya. Di kepalanya ada headphone berwarna putih yang tampak begitu kontras dengan rambut coklatnya. Begitu dia berjalan, sambil menggerak-gerakkan tubuhnya dengan santai terhadap musik yang mungkin dia dengar dari headphonenya, para manusia yang dia lewati melihat ke arahnya sekali lagi, berbisik dan mengikik.
Tidak salah lagi. Itu Nero.
Kakiku langsung berlari secepat yang kubisa menuju lantai bawah. Tapi sial, orangnya banyak sekali! Aku bahkan sulit melewati lima meter tanpa menabrak atau menjatuhkan barang seseorang. Begitu aku sampai di lift, liftnya penuh. Aku memilih untuk turun dari escalator, menabrak sana-sini, menyingkirkan sana-sini sambil bergumam “Pardon me, pardon me, pardon me” tiap kali berjumpa orang.
Begitu kakiku berhasil turun dari escalator, aku melihat Nero tak ada lagi. Aku mencarinya ke sana-kemari, menggigit bibir dengan jengkel. Aku menoleh lagi ke bawah, melihat ke lantai paling bawah.
Nero ada di dekat escalator di bawah sana, berbicara pada Sekuriti, mungkin menanyakan jalan.
Shit!
Aku berlari lagi. Kusingkirkan orang di sekitarku dengan tak peduli. Aku butuh bertemu dengan Nero. Ok. Aku memang sudah bertemu dengannya, tapi kami belum bertatap muka. Dia tak tahu aku ada di sini. Tapi aku tahu dia ada di sini. Aku punya beribu bahkan berjuta pertanyaan untuknya dan dia harus memberikanku penjelasan kenapa memilih untuk meninggalkanku.
Dan aku akan meninjunya bila dia tak menjawabnya!
Tapi, begitu aku berhasil turun, Nero sudah keluar dari mall. Dia berdiri dan hendak masuk ke dalam sebuah mobil limosin, yang dibukakan oleh seorang supir. Aku berlari mengejarnya sebelum Nero pergi.
Tapi mobil itu sudah menghilang bahkan sebelum aku berhasil mencapai pintu.
“NERO!” Aku berteriak.
Hanya saja mobil itu sudah terlalu jauh untuk mendengarku, ataupun berhenti.
***The Flower Boy Next Door***
Christmas Eve, Eiffel Tower, Paris.

Nero tersenyum kecil, merapatkan mantelnya begitu mendengar suara Matt. “I’m sorry, Son. I promise I’ll make it on Christmas.”
“It’s Christmas already.”
“It’s Eve.”
Nero tertawa kecil. “Mhm. Just make it on time.”
“You know, my stupid client thougt I had a date.”
“You have. Me.”
Nero bisa menduga bahwa Matt tersenyum di seberang sana, karena suaranya sedikit terhenyak ketika menjawab, “Yeah, you’re my date, my soul, my love, my desire, my life.”
“I’m melting.”
Matt tertawa. “Have fun, Son. I love you. Merry Christmas.”
“Merry Christmas and I love you too.”
Nero menutup teleponnya dan menyimpan ponselnya ke saku mantelnya. Pohon natal yang sudah dipasang di depan Eiffel benar-benar sangat besar. Bahkan dari jarak sejauh dua puluh meter saja, dia masih bisa melihat dengan jelas si Pohon Natal yang berpendar indah di depannya, dilatarbelakangi dengan Eiffel yang menjulang—yang tak kalah cantiknya.
Jacob menepuk bahunya. “Come on.”
“It’s pretty lame to have date with you in Christmas Eve.”
“I can be a romantic-man, if you want to.”
“Like what?” Nero menaikan alis, menatap Jacob dengan keheranan.
Jacob menaikan alis, tersenyum menyebalkan, “Giving you rose, taking you in candle light dinner with violin show, proposing you to be my second boss.”
“I refuse.”
Jacob tertawa kecil. “You kid. Come on, I promise my beauty wife to take your handsome cute adorable charming pic.”
“Did you just use 4 adjectives?”
Jacob tak menjawab dan memilih untuk merangkul Nero mendekati kerumunan.


We are here.
Aku tak terlalu antusias mengikuti Natal tahun ini. Yang kuinginkan saat ini hanyalah tidur di kamarku yang nyaman karena aku mengalami jetlag. Kepalaku berdenyut-denyut, belum lagi kondisi ini diperparah karena aku tak bisa tidur karena aku melihat Nero.
Nero.
Nero yang tampan. Nero yang berambut coklat. Nero yang menarik perhatian. Nero yang tampak santai dengan dirinya tanpa perlu memikirkan publik. Nero yang baik-baik saja setelah insiden mengerikan itu. Nero yang selalu muncul dalam kepalaku tiap kali aku ingin melupakannya.
Dan sekarang pohon Natal itu sama sekali tak semenarik mengulang adegan ketika aku mengejar Nero.
“Niken! Ayo, turun!” Ray berkata dengan bersemangat. Dia membuka pintu dan membukakan pintu untuk Selizabeth. Benar. Gadis itu juga ikut. Begitu Ray berhasil menggandeng tangan Selizabeth, keduanya pun berlalu pergi, menghilang di kerumunan dengan antusias. Aku berani bertaruh mereka akan berciuman di sana.
“Kita jumpa lagi di sini dua jam lagi ya. Bersenang-senanglah,” kata Papa.
Aku memutar bola mata, sedikit jengkel. Menghentak-hentakan kakiku yang mengenakan sepatu boot, aku berjalan—atau mencoba berjalan sambil tak tergelincir jatuh karena jalannya licin sekali—untuk mencapai pohon Natal.
Eiffel—bangunan cantik yang megah dengan lampu bercahaya keemasan—berdiri dengan gagah di depan mataku. Ada banyak sekali cerita mengenai bangunan ini dan aku harus mengakui bahwa bangunan ini memang menghipnotis setiap orang yang melihatnya. Apalagi dengan banyaknya orang di tempat ini memberikan magnet tersendiri bagi orang yang berada di dekatnya. Banyak kisah romantis terjalin di bangunan ini. Bangunannya para pasangan. Tempat memupuk cinta.
Tapi cintaku kurasa tidak.
Cintaku masih belum di jalurnya.
Bila aku memiliki lagi kesempatan untuk bertemu Nero, aku akan meninjunya.


Nero hanya berdiri mematung di depan pohon Natal itu, berdiri sambil mengadah ke atas. Di atas pohon Natal ada bintang yang berpendar terang. Cahayanya menjadi pusat tersendiri bagi kerumunan.
“Seriously, are we just standing here and doing nothing?” suara Jacob terdengar di telinganya.
“Mhm,” Nero mengangguk.
Jacob menghela napas. “You want coffee?”
“No.”
“Tea?”
“No.”
Jacob menghela napas lagi. “Can I have a call?”
Nero meliriknya sedikit dan tersenyum. “Sure. Call your family. I know you miss them.”
Jacob tersenyum kecil. “Are you sure you’ll be fine?”
“I’m standing around people, see?” Nero menyibakkan tangannya, menunjuk ke sekitarnya, ke sekeliling para manusia yang—sama seperti mereka—melihat ke arah pohon Natal.
Jacob tersenyum penuh terimakasih. “I’ll be back.”
Nero mengangguk kecil. “Have fun.”
Jacob berbalik dan melangkah melewati kerumunan, memegangi ponselnya. Nero kembali melihat pohon Natal.
Dia merasa kesepian.
Memang sih, ada banyak orang di sekitarnya. Ada banyak orang yang bisa dia ajak bicara. Di sini juga tak sepi. Ada banyak tawa dan kata. Tapi tetap saja Nero merasa sepi. Ada ruang kosong yang belum terpenuhi dalam dirinya. Dan sudah pasti dia tahu itu karena apa.
Dia rindu Niken. Dia merindukan bagaimana gadis itu tersenyum padanya, bagaimana tawanya dari bibirnya yang mungil, matanya yang jernih dan selalu jujur, tubuhnya yang hangat ketika dipeluk, juga kata-katanya yang menguatkan. Dia rindu pada sahabatnya. Devon yang akan selalu memeluknya dan membelanya sekuat tenaga; Vion yang selalu menjelaskan apa yang baik dan buruk padanya; dan Zoe yang akan jadi pelindungnya dengan kalimat-kalimat pemusnah neuron yang berhasil membuat otaknya bekerja karena keabnormalannya.
Dan sebutir salju turun di atas hidungnya. Nero mengerjap dan tertawa kecil. Dinginnya salju berhasil membuatnya merasa lebih baik.
Tapi ternyata air matanya malah bergulir turun.
I miss you I miss you I miss you I miss you so much!


Tuhan sungguh-sungguh tahu bagaimana menguji seseorang yang sudah membuat janjinya.
Aku cuma bisa mematung selama dua menit penuh di tempatku begitu melihat apa yang ada di depanku.
Nero.
Pemuda itu berdiri sekitar sepuluh meter di depanku, di kelilingi oleh orang-orang yang memiliki postur tubuh dan style yang sama sepertinya—dengan mantel, syal, dan kupluk. Bagaimana aku bisa melihat ke arahnya dan menemukannya di tempat seperti ini juga masih menjadi pertanyaan yang jawabannya tak akan pernah kutemukan secara realistis.
Begitu aku memasuki kerumunan, kakiku seperti melangkah sendiri. Aku bersumpah aku mendengar ada yang mengatakan “Sedikit lagi, dia ada di sana” padaku begitu aku berjalan, menghindari orang-orang di dekatku. Bisikan itu membuat jantungku berdetak tak karuan dan tubuhku memanas. Aku tak tahu mengapa. Tapi aku merasakan bahwa akan ada sesuatu untukku.
Dan begitu aku tahu, aku melihatnya.
Suara itu mengirimku pada Nero.
Dua menit lalu, dia masih berdiri tegak dengan kepala mengadah ke atas, melihat pohon Natal tanpa berkedip. Rambut coklatnya tertutupi dengan kupluk putih sampai ke telinga. Syalnya melilit di leher, nyaris menutupi bagian mulutnya. Mantelnya berwarna putih dengan model yang melekat pas di tubuhnya, sepanjang lututnya, sehingga aku bisa melihat kakinya yang jenjang tertutupi dengan jeans dan sepato boot nyaman.
Kupikir dia tak melihat aku dan aku sedih merasakan bahwa dia tak merasakan bahwa aku ada di dekatnya. Aku nyaris mengutukinya karena perasaannya tak lebih kuat daripadaku. Kemudian, aku melihat matanya. Mata itu tidak memandang kemana-mana. Mata itu tampak kosong, penuh kesedihan, penuh kerinduan, penuh harapan.
Dan begitu sebutir salju turun ke ujung hidungnya. Dia mengerjap, akhirnya merasakan sekitarnya dan tertawa kecil. Aku nyaris tertawa melihat tingkahnya, sampai akhirnya aku menyadari ada yang berbeda dari tawanya.
Dia tak tertawa. Dia menangis.
Nero memegang syalnya dengan sengaja untuk menghapus air matanya agar tidak terlalu kentara oleh sekitarnya. Tapi lagi-lagi air mata itu malah jatuh terus di pipinya.
Aku melangkah mendekat. Perasaanku diliputi keinginan yang kuat untuk memeluknya menghapus air matanya menjadi kekuatannya.
Nero kulihat berhasil mengatasi air matanya walau dengan susah payah. Kedua tangannya mengadah, menangkup salju yang turun, dan tersenyum kecil seperti anak-anak.
Jantungku berdegup-degup lagi begitu aku melangkah minggir hanya untuk melihat Nero lebih jelas. Melihat bagaimana dia tersenyum. Bagaimana lesung pipinya terbentuk tiap kali dia tersenyum. Bagaimana matanya bersinar tiap kali tertawa.
Begitu aku berada semeter di dekatnya, dia juga belum menyadari keberadaanku. Aku mendekat lagi. Napasku seakan membeku di paru-paruku.
Nero mengangkat kedua tangannya, menghangatkan kedua tangannya yang tidak mengenakan sarung tangan ke mulutnya. Asap mengepul di mulutnya. Dia tampak kedinginan.
Dan aku dilanda keinginan untuk menyentuhnya.
Tanganku yang, sama sepertinya, tidak mengenakan sarung tangan, juga terangkat dengan sendirinya, menyentuh lengannya.
Dan saat itu dia menoleh padaku.
Sama sepertiku, Nero tampak terkejut. Untuk sejenak dia tak bisa bergerak atau berkata-kata. Dia hanya menatapku seakan aku adalah makhluk yang, jika dia berkedip, akan menghilang dalam sekejap. Atau seakan dia bermimpi sehingga tak ingin dibangunkan sama sekali. Kesempatan ini kuambil dengan segera untuk membuktikan bahwa dia ada. Bahwa dia di sini. Bahwa dia nyata dan bukan imajinasiku.
Tanganku naik ke wajahnya. Memegang pipinya yang dingin. Tanganku memang dingin. Tapi begitu menyentuh kulit Nero, aku menemukan diriku menjadi lebih hangat.
Nero mengerjap. Matanya tertutup perlahan merasakan sentuhanku. Kepalanya bergerak perlahan ketika jemariku menyentuh bibirnya. Aku bisa merasakan getaran napasnya.
Mataku berkaca-kaca. Kakiku melangkah mendekat, menutup jarak di antara kami sementara Nero masih terhipnotis dengan keberadaanku.
Dia nyata.
Dia ada di sini.
Dia ada di depanku.
Dan dia merindukanku.
Begitu pula denganku. Aku merindukannya setengah mati sampai aku tak ingat bahwa aku janji akan meninjunya tadi.
Nero membuka matanya. Mata coklatnya berkaca-kaca menatapku dengan penuh kerinduan dan cinta. Dia mengangkat kedua tangannya, menangkup pipiku. Hangat tangan Nero masih sama, walau gemetar, walau kulitnya mendingin. Tangan itu sukses membakar pipiku. Aku bisa merasakan denyut nadinya di wajahku, berdetak sama seperti milikku.
Walau tanpa kata-kata, hanya dengan sentuhan saja, aku dan Nero tahu bahwa kami berdua menderita karena tak bisa bertemu selama ini, dan bahwa bertemu seperti ini berhasil membuat kami merasakan surga.
Lalu aku merasakan listrik menyengatku ketika merasakan sapuan bibir Nero pada bibirku. Wangi parfumnya. Desahan naasnya. Hanya perlahan, singkat, tidak berlebihan, tapi penuh cinta.
God,” bisik Nero, suaranya parau dan bergetar. “I miss you so much.”
Aku membuka mataku dan melihat wajah Nero yang sangat dekat di wajahku. Air matanya jatuh lagi di pipinya.
Pemuda ini selalu tertawa. Dia selalu tampak kuat pada yang lain. Dengan senyumannya dia menutup kesedihannya. Tapi hanya di depanku dia menangis seperti ini.
Karena begitu merindukanku.
Aku merasakan luapan kegembiraan juga sukacita bahwa Nero mengatakannya dengan jujur padaku.
I miss you too,” bisikku menyeka air matanya. Dia memegang tanganku, mencium telapak tanganku yang memberikan bekas seolah membakar tanganku.
I love you. I love you. I love you,” gumamnya.
I love you too.”
Kemudian Nero menciumku lagi, menarikku dalam pelukannya. Aku balas menciumnya. Aku merindukannya dan tak ingin melepasnya. Hal itu terbukti dengan eratnya pelukanku pada lehernya, sementara dia memeluk pinggangku. Aku membalas ciuman Nero. Merindukannya berada di dekatku. Merasakan tiap cinta yang dia berikan padaku. Kakiku nyaris saja tak lagi menginjak tanah karena Nero seakan hendak menggendongku sambil terus menciumku dan tak berniat melepasku.
Aku tak keberatan.
Andai kami tak butuh bernapas.
Atau saat para penonton bertepuk tangan heboh ketika kami melepas ciuman kami.
“That‘s hot!”
“Man, I envy you!”
“Aww, so sweet.”
Wajahku merah padam melihat ke sekeliling kami. Para penonton, yang kebanyakan berpasangan, tampak begitu antusias melihat kami. Dengan jengah aku menyelipkan rambutku ke belakang telingaku, tak tahu harus berbuat apa.
Kami baru saja berciuman di depan publik, di depan Pohon Natal, di Eiffel Tower, dan di malam Natal, pada saat bersalju! Aku tak tahu harus bagaimana menggambarkan kebahagiaan yang kurasakan di dadaku. Ini hal terromantis, tergila, paling membahagiakan, sekaligus paling memalukan dalam hidupku.
Nero memegang tanganku dan aku merasakan kakiku melonjak merasakan suaranya di telingaku. “Kita butuh privasi,” katanya dan menarikku melewati kerumunan.
Kepergian kami diiringi dengan sorakan, pujian di sana-sini, gumaman kagum, bisik-bisik penuh kikik, dan tepukan tangan. Wajahku merah padam lagi. Aku melihat tangan kami yang terkait. Dia menggenggam tanganku dengan erat dan aku balas menggenggam tangannya.
Genggaman itu membuktikan bahwa hubungan kami baik-baik saja.
Nero membawaku ke parkiran tempat di mana mobil-mobil berderet rapi. Dia membuka salah satu mobil yang kuduga adalah miliknya, menyuruhku masuk ke dalam, ke bagian penumpang. Aku menurut. Setelah menutup pintu, Nero memutar dan masuk kemudian duduk di sampingku.
Dia menatapku beberapa detik tanpa suara kemudian mencubit pipiku.
“Aaaw!” Aku meringis, memegang kedua pipiku, yang bisa kupastikan memerah. “Apa-apaan sih?”
“Sakit?”
Aku mengerjap. “Tentu saja sakit!” Kemudian aku balas mencubit pipinya.
“Ow ow ow.”
“Sakit?” Aku menaikan hidungku dengan sebal.
Nero meringis mengelus-elus pipinya. “Jadi aku tak bermimpi?” Gumamnya.
“Kau pikir ciuman tadi juga mimpi?”
Nero memegang bibirnya sendiri. Aku menjilat bibir dengan gelisah begitu melihat bibir Nero, dan apa yang dia lakukan pada bibirnya, dan apa yang dilakukan bibirnya tadi. Dan aku tak sabar kapan bibirku bertemu lagi dengan bibir Nero.
“Kupikir tadi mimpi.”
“Kau memimpikan aku menciummu?”
“Always.”
“Perv!”
Nero tertawa kecil. “Aku tahu.” Begitu dia tersenyum, lesung pipinya yang terbentuk dengan manis membuat Nero tampak lebih tampan. Dia mendekat memelukku, menyandarkan kepalaku ke dadanya.
Meski tersimpan di balik mantel baju dan dagingnya, suara jantung Nero masih bisa kudengar, berdetak cepat, berisik, menggila. Suara yang sama seperti yang kudengar pertama kali saat kami menghabiskan waktu setelah mengerjakan pr di kamarku. Bunyi yang merdu. Bunyi yang sama seperti milikku.
I miss you I miss you I miss you.” Nero berbisik.
Aku mencoba mengangguk. “Aku tahu. Aku di sini sekarang.”
“Meski kau di sini, aku tetap merindukanmu,” kata Nero mencium kepalaku. “Perasaan ini membuatku gila Niken.”
“Aku tahu,” gumamku lagi. “Aku mendengarnya dengan sangat baik.”
“Pasti berisik sekali.”
Aku tersenyum kecil. “Melodi yang indah.”
Kami berpelukan seperti itu lama sekali. Aku menyandarkan bahuku, mendengarkan Nero yang mendesah, merasakannya mengelus rambutku. Aku merasa aman sekali berada di dekatnya, lebih hangat, berbahagia dan ringan seakan tak ada lagi beban di bahuku. Segala kerinduan yang menggumpal di dadaku berubah menjadi rasa kasih yang mendamaikan.
Akhirnya aku mengangkat kepala, memegang tangan Nero.
“Nero,” kataku pelan.
Dia menatapku, sedikit memiringkan kepalanya. Mata coklatnya menatapku dengan rasa ingin tahu.
“Nero,” kataku lagi, menggenggam erat tangannya. Aku harus bertanya padanya. Aku harus tahu apa yang terjadi. Aku ingin mengerti penderitaan yang dialami Nero. Aku ingin mengenalnya dengan lebih baik. Aku ingin menjadi tumpuannya. “Bisakah kau memberitahuku kenapa kau meninggalkanku?” Kalimat itu terucap juga.
Dan aku melihat sinar kebahagiaan di mata Nero menghilang dalam sekejap.
***The Flower Boy Next Door***
Nero menelan ludah, tak mampu bicara. Pikirannya segera berkelana menuju kejadian setengah tahun lalu, saat dia melihat Deborah kembali, saat Deborah berusaha membunuhnya, saat dimana Deborah menusuk Zoe, mencoba membunuh Zoe.
Perasaan bersalah menghantuinya setiap malam sejak kejadian itu. membuat tulang-tulangnya mendingin, setiap tetes darahnya terasa berat sekali. Bagaimana Zoe jatuh. Bagaimana Zoe tertusuk. Bagaimana darah Zoe mengalir deras nyaris keluar dari tangannya. Bagaimana Zoe nyaris saja mati. Bagaimana Zoe nyaris mengucapkan selamat tinggal selamanya.
Ini bukan pertama kalinya Deborah melakukan ini padanya. Tapi ini yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia melihat orang-orang mati hanya demi dirinya, dan dia membayangkan dengan ngeri bagaimana bila Niken yang ada di posisi Zoe. Bagaimana bila nanti ada Devon juga. Vion. kemudian keluarga Devon. Mereka mati berlumuran darah.
Nero terbangun dengan mimpi buruk itu, melihat sekeliling kamarnya dengan panik. Kamarnya yang gelap. Matt tak ada. Bagaimana caranya dia keluar dari kamar mandi Nero tak tahu. Tapi yang jelas dia ketakutan setengah mati. Napasnya tersenggal seakan dia dikejar-kejar oleh segerombolan banteng yang siap menyeruduknya sampai mati. Tubuhnya gemetar ketakutan.
“Dad,” gumam Nero panik.
Matt tak ada.
Dan Nero ngeri membayangkan bahwa Deborah masuk ke rumahnya, membunuh Matt.
Matt turun dari tempat tidurnya, menjatuhkan selimutnya begitu saja. Kakinya melangkah cepat menuju kamar Matt. Begitu sampai di depan kamar Matt, Nero menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Nero tak ingin mengganggu Matt yang sedang berisitirahat.
Setelah meyakinkan diri bahwa dia cukup tenang, Matt mengintip perlahan, membuka pintu kamar Matt tanpa suara sambil menggigit bibir, kemudian melangkah masuk pelan-pelan.
Dia melihat Matt duduk di pinggiran tempat duduknya. Hanya punggungnya yang mampu dilihat Nero. Sudah jam berapa ini? Kenapa Matt belum tidur?
Nero tak ingin mengganggu Matt, dia hendak membalikkan tubuh begitu mendengar isakan. Nero membeku di tempatnya dan kembali berbalik.
Matt tengah menangis, kedua tangannya menyapu rambutnya dengan stress, lelah, frustasi.
Nero merasakan jantungnya jatuh ke lantai.
Matt tak pernah menangis. Seumur hidup Nero, Nero tak pernah melihat Matt menangis. Matt tak pernah menangis saat kematian Granpa, ataupun Granma, saat kematian Theressa, Jennifer, bahkan saat Ageha memilih untuk pergi. Dia selalu lebih tegar dibandingkan Nero, memeluknya untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, menenangkannya dengan kata-kata bahwa semua dalam kendali, bahwa masalah ini hanya untuk sementara.
Dan Nero sekarang tahu alasannya.
Karena Matt harus lebih kuat untuk Nero, untuknya.
Nero mendekat, melangkah dengan susah payah. “Dad?”
Matt tersentak, cepat-cepat menghapus air matanya, dan berbalik, tersenyum pada Nero. “Ada apa, Nero? Mimpi buruk?”
Tenggorokan Nero terasa kering. Berapa lama Matt memaksakan diri untuk tersenyum padanya? Itu menyakiti Nero lebih dari apapun. Nero berjalan mendekat, berlutut di depan Matt.
Matt mengerutkan dahi. “Apa ini? Kau mau melamarku?” candanya.
Nero berhasil tersenyum kecil. “Dad,” katanya pelan. “kenapa kau menangis untukku?”
Matt menatapnya, sedikit tak percaya, “Kau melihatku? Rasanya memalukan sekali.”
“Dad,” suara Nero terdengar serak. “Apa yang bisa kulakukan untuk meringankan bebanmu?”
Matt menyapu rambutnya. “Tidak ada, Nak. Ini bukan salahmu.”
“Juga bukan salahmu,” Nero mengangguk kecil. “Selamanya dia akan mengincarku.”
Otot-otot Matt menegang, Nero bisa merasakannya dari sapuan tangan Matt. “Jangan berkata seperti itu. Tak akan ada yang terjadi. Aku janji.”
Nero menatap mata Matt mencari pembenaran. Mereka berdua tahu bahwa Deborah tak akan berhenti mengincar mereka, jadi percuma saja mengucapkan kata-kata itu. Biar bagaimana pun tak ada yang bisa menjamin bahwa Deborah akan kembali atau tidak. Malam ini Deborah berhasil lolos lagi, lain kali entah apa yang terjadi.
Nero mempererat genggamannya. Dia harus mengatakan ini. Dia tak tahan melihat Matt seperti ini. Nero tahu bahwa Matt ingin mengatakan bahwa mereka sebaiknya keluar dari negeri itu, seperti yang biasa mereka lakukan tiap kali merasakan aura Deborah. Sama seperti saat mereka meninggalkan Jerman, atau Prancis, atau Rusia, atau Amerika, atau Brasil, atau London, atau kemanapun.
“Dad,” suara Nero gemetar, “ayo pindah.”
Matt mengerjap. “Apa?”
“Aku bilang lebih baik kita pindah,” suara Nero terdengar tenang.
“Tapi Nero, bukankah kau suka di sini?”
Nero mengangguk. “Tentu saja aku suka.”
“Lalu kenapa memilih pindah? Aku baik-baik saja bila kita tinggal di sini.”
“Dad,” Nero mencoba tersenyum, jantungnya berdegup-degup di dadanya, “kau ingat saat Nathan bilang kalau aku menginap di rumahnya?”
Matt mengangguk.
“Sebenarnya Deborah melukaiku.”
Wajah Matt memucat. “Nero,” suara Matt gemetar. “Kita pindah!” kemudian dia memeluk Nero erat-erat. “Kita pindah. Kita akan pindah. Wanita itu harus jauh-jauh darimu.”
Nero menatap Niken yang ada di hadapannya, menunggu penjelasan. “Aku melihat Dad menangis. Dan aku memilihnya daripadamu.”
Wajah Niken berubah dalam sekejap. Ini dia. Niken akan marah padanya, meneriakinya, mengatakan hal yang jahat padanya.
Tapi tidak. Gadis itu hanya tersenyum, mengangguk penuh pengertian. “Jika itu alasannya, aku bisa mengerti. Kau tak boleh memilihku lebih daripada Matt. Biar bagaimanapun dia Ayahmu. Dia memberikanmu hidup.”
Sekali lagi Nero merasa ingin menangis. “I’m sorry.
Niken menangkup wajahnya, menghapus air matanya. “Aku tahu kau tak akan pergi kalau bukan karena sebuah keputusan besar. Aku tahu kau juga berat melakukannya. Ingat saat di telepon kau menanyakan apakah aku sudah bangun atau tidak?”
Nero mengangguk kaku.
“Kau menunggu keluar dari gerbang untuk mengucapkan selama tinggal kan?”
Nero sekali lagi takjub dan jatuh cinta pada Niken. Bagaimana dia tahu bahwa Nero menungguinya semalaman? Setelah memastikan seluruh pakaiannya tersusun rapi, Nero terus menunggu jendela kamar Niken untuk terbuka. Saat matahari bersinar, Nero memilih untuk menunggu di depan gerbang. Tapi tidak ada seorangpun yang keluar dan Nero sendiri ragu untuk masuk ke dalam.
Jika dia masuk ke dalam, dia tahu bahwa dia tak akan bisa pergi.
Bahkan saat Matt memintanya masuk ke dalam mobil untuk berangkat pun Niken tidak keluar.
“Kau benar-benar—” Niken berhenti, menyatukan dahi mereka. “Aku tak tahu bagaimana caranya membuatku membencimu jika kau bertingkah seperti itu.”
“I’m sorry.”
“Idiot.”
“I know.”
Niken mencium bibirnya dengan lembut. Mengelus lembut pipinya. “Hubungan kita baik-baik saja kan?”
Nero mengerjap. “Aku—”
Mata Niken mengilat berbahaya. “Kau punya pacar di sini?”
“Tidak ada.” Nero menggeleng cepat. “Sumpah.”
Niken menghela napas lega. “Kalau begitu, apakah kita berdua…”
Melihat wajah Niken yang memerah, Nero nyaris saja ingin menyerangnya. Sialan. Kenapa Niken manis sekali sih? Setengah tahun tak melihatnya, dia makin cantik. “Aku… aku butuh waktu, Niken.”
Niken mengerjap. “Huh?”
“Aku sedang dalam masa pengobatan,” Nero bergerak tak nyaman di tempatnya. “Aku harus menghapus seluruh emosi dalam diriku untuk membuatku mampu berdiri di sampingmu. Aku tak ingin kau melihatku seperti waktu itu.”
Niken menghela napas. “Aku tak memersalahkan itu—”
“Aku memersalahkannya,” kata Nero. “Aku tak ingin melukaimu,” Nero sedikit bergedik ketika merasakan bahwa dirinya yang lain yang akan melukai Niken bila dia kehilangan kendali emosinya. Niken mengangguk penuh pengertian. “Berapa lama kau ada di sini?”
“Sampai Tahun Baru,” jawabnya.
Nero tersenyum. “Besok, aku akan memberikan jawabanku.”
Niken mengerjap. “Maksudmu?”
“Temui aku besok di Arc de Triompe jam dua belas siang. Kita bisa makan siang bersama. Besok aku akan memberimu jawaban apakah kita baik-baik saja atau tidak.”
“Kenapa harus besok?”
“Aku harus mengurus segala sesuatu.”
“Aku mengerti.”
Nero melirik jam tangannya. “Shit,” makinya. “Jacob akan menghubungi polisi.”
Niken mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa?” lalu Niken ingat. “Ya ampun,” katanya sambil menepuk dahinya. “Harusnya aku sudah berkumpul.”
Mereka berdua cepat-cepat keluar dari dalam mobil.
Niken memberikan kecupan pada bibir Nero. “Besok.”
“Besok,” kata Nero yakin.
Lalu mereka berpencar untuk mencari kelompok mereka.
***The Flower Boy Next Door***



0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.