Debaran Tiga Puluh Delapan
Love is in The Way
Akhir semester 1 Kelas 3. Desember.
Lagi, lagi, lagi,
dan lagi, abangku yang menyebalkan itu memohon agar aku mau ikut dengannya ke
Prancis.
“Aku dan Audrey
serta yang lain mau liburan ke Bali, Bang,” kataku jengkel, mendelik pada sosok
Ray yang duduk di meja belajarku. Matanya memelas untuk membujukku. “Jadi
tidak.”
“Ayolah, Niken,”
rengeknya. “Jarang-jarang kan Papa ngajak liburan ke Prancis. Apa enak sih
liburan ke Bali melulu? Prancis kan lebih seru. Ada saljunya lagi. Natal dan
Tahun Baru di Prancis bakal lebih seru.”
Aku mendesah. “Abang
membujuk begini karena pengen ketemu bule yang kemarin sempat belajar di sini
kan? Ngaku aja deh.”
Dua bulan lalu,
Ray membawa bule Prancis cantik berambut pirang dan bermata biru indah kemari.
Katanya sih dari pertukaran pelajar. Tak pernah sekalipun Ray membawa cewek ke
rumah ini. Jadi sudah pasti dia cinta mati sama tuh Bule.
Ray cengengesan.
“Dasar. Pengen ketemu cewek itu aja sampai begitu banget.”
“Please...” dia memelas lagi, memasang
tampang unyu andalannya. Bibir bawah naik ke atas bibir atasnya, dan mata
berbinar seperti anak anjing paling imut sejagad raya.
“Ok.” Sial. Aku
butuh perisai buat senyumannya itu.
“Yay!” Ray
bersorak. “Makasih, Adikku yang paling cantik. Paling baik. Paling imut. Paling
unyu. Paling pintar.”
“Stop.”
Tapi dia masih
mencerocos. “Paling manis. Paling mempesona. Paling gorgeous. Paling lucu.”
Astaga.
“Aku akan minta
pada Tuhan yang Maha Kuasa agar seluruh permintaanmu dikabulkan!” Lalu setelah
menjerit, kesenangan dia mencium dahiku, dan keluar kamarku nyaris berlari
kegirangan. Suaranya masih kedengaran walau pintu sudah tertutup, memberitakan
pada dunia bahwa aku bersedia ikut ke Prancis.
“Mama! Niken
ikut ke Prancis! Pesan tiketnya dua! Ma, bilang sama Papa tiketnya dua! Prancis
Prancis! Yay, Prancis aku datang!”
“Ya Tuhan...”
aku hanya mampu geleng-geleng kepala. Ray selalu kelihatan seperti orang yang
kesurupan bila sudah kegirangan.
Aku terkekeh
kecil, mengirim pesan pada teman-temanku bahwa aku tak bisa ikut mereka.
Group Chat [F4(-1) + 2]
Ms Genius: perubahan rencana.
Tak lama ada
balasan.
Ms Lovely: perasaanku tak enak
Me_Z: ada yang berubah jadi cenayang ¬¬
Ms Lovely: tak ada yang tanya pendapatmu ฯ °_° €<¬_¬
*cubit keras
Me_Z: ow ow #~_~‘
Aku tertawa
melihat pembicaraan mereka. Audrey dan Zoe memang tak pernah akur. Setiap
mereka bertemu, selalu ada sindiran yang melayang di udara. Mereka berdua
seperti Devon dan Kak Vion. Bertengkar tapi berteman. Bermusuhan tapi juga
bersahabat. Devon kadang suka pergi bila mereka sudah bertengkar.
Vi__on: please... @-@
Ms Lovely: hi Vion :*
Vi__on: ^///^
Mr Bad: *¬¬ p->
(#°^°)
Vi__on: *death
Me_Z: back to topic. Emang apa yang berubah?
Vi__on: power ranger berubah
Mr Bad: superman berubah
Ms Lovely: barbie berubah
Me_Z:
~~~[.__.]* ~~~
Ms Lovely: lol
Ms Genius: aku liburan ke prancis.
Pesanku mendapatkan
komentar yang mengejutkan.
Me_Z: oh b(.-.)d
Ms Bad: (`o´)
Mr Lovely: (´▽`)
Vi__on: (-^〇^-)
Ms Genius: itu doang?
Mr Bad: udah pernah ke prancis.
Vi__on: sama
Ms Lovely: di sana cantik
Me_Z: ga ada yang istimewa tuh
Ms Lovely: iiiih ฯ °_° €<¬_¬ *cubit lebih keras
Me_Z: €(* - -)*pipi bengkak
Ms Lovely: (*`^´)=3 Rasakan!
Vi__on: Stop kekerasan ヽ(`Д´)ノ
Ms Lovely: (o`з’*)
Mr Bad: (  ̄(エ) ̄) hati-hati di
jalan Niken. Satu-satunya yang normal.
Me_Z: panda :3
Ms Lovely: kucing sok cute
Me_Z: iblis betina
Ms Lovely: apa katamu? ( #`Д´)Σ(´д`;)
Vi__on: (゚Д゚≡゚Д゚)
Mr Bad: ignore them (・_・| ( #`Д´)Σ(´д`;)
Aku tertawa
lagi. Setiap kali chatting dengan
mereka aku selalu tertawa. Aku menuju balkon, membalas pesan-pesan kami.
Sesekali melihat ke arah taman rumah Nero yang tampak seperti rumah hantu. Tak
terawat dan tak terurus.
Sejak kepergian
Nero tak ada yang terjadi. Polisi belum bisa menemukan Deborah yang melarikan
diri entah kemana. Kami terlalu sibuk memikirkan keadaan Zoe sampai tak
memedulikan Deborah waktu itu. Rumah Nero tak berisi lagi sejak saat itu. Matt
dan Nero pergi entah kemana. Meninggalkan Jacob mengurus segalanya.
Dan jendela Nero
tak pernah terbuka lagi.
Aku sedih.
Memang. Aku banyak menangis. Itu juga benar. Tapi aku mencoba tegar. Untuk
Nero.
Kupandangi foto
Nero. Foto dimana kami menjadi pasangan. Berdua. Duduk bersampingan. Di
kamarnya. Sejak Nero pergi, dia tak pernah kembali. Dia tak menelepon. Dia juga
tak pernah mengirim surat. Dia ada di suatu tempat di dunia ini. Entah itu
dimana. Tapi aku berharap dia akan baik-baik saja. Dan semoga Deborah tak
menemukannya. Atau semoga Deborah tertangkap atau sudah mati— kalau perlu—sehingga
tak perlu mengejar Nero lagi. Tapi aku tak berharap Nerolah yang membunuhnya.
Hanya itu doaku.
Aku akan minta
pada Tuhan yang Maha Kuasa agar seluruh permintaanmu dikabulkan!
Walau aku bilang
aku mendoakan keselamatannya, aku juga berharap permohonan lain yang rasanya
amat mustahil.
Aku ingin bertemu Nero.
Aku sangat
merindukannya sampai rasanya ingin mati karena tak bisa bernapas.
***The Flower
Boy Next Door***
“My baby girl,” Papaku tersayang
menjemput kami di bandara, merentangkan kedua tangannya untuk memelukku. Aku
segera melompat ke dalam pelukannya, memberikan pelukan super erat ditambah
ciuman di pipi. Setelah melepasku, dia beralih pada Ray.
“My Naughty boy,” katanya.
Ray memutar bola
matanya. “Pa, please.”
“My little boy.”
“I’m not little,” koreksinya, karena
tinggi badannya sudah sama dengan Papaku.
“Fine. My big guy!”
“That’s better,” Ray nyengir lebar dan
memberikan bearhug, nyaris
menggendong Papaku di tangannya. Papa terbahak-bahak, menepuk punggungnya dengan
sayang.
“Ayo kita ke
rumah. Ada banyak makanan.”
Kami keluar dari
bandara dan naik ke mobil. Salju sudah turun sejak kami tiba, menumpuk di
pinggiran jalan. Aku memandangi keindahan kota Paris dari dalam mobil dengan
penuh antusias.
Kota ini cantik
sekali. Penasaran kenapa aku bisa sampai di sini? Well, Papaku seorang arsitek. Dia biasa berkeliling dunia hanya
untuk membangun jalan raya, rumah, jalan layang, stasiun, dan masih banyak
lagi. Nyaris setahun lalu dia ada di Amerika, tepatnya di Washington, untuk
membangun stasiun. Dan pulang seminggu setelah Nero pergi. Lalu tiga bulan kemudian
dia pergi ke sini, ke Prancis, untuk membangun waduk buatan.
Jadi, karena
Papa sangat merindukan kami, dia meminta kami liburan di sini bersamanya
sekaligus juga bekerja. Mama tak bisa ikut. Mama kami takut ketinggian. Kurasa
aku harus berterima kasih pada Abangku. Aku suka kota ini!
Menikmati Natal
di tempat ini akan sangat luar biasa.
“Niken, besok
ada Amazing Christmas Eve di Eiffel
dengan pohon Natal setinggi sepuluh meter,” kata Papa tiba-tiba merangkulku.
Wajahnya tersenyum puas. “Bagaimana kalau kita kencan hmmm?”
“Boleh.” Aku
nyengir.
“Aku bagaimana?”
Ray tampak tersinggung.
“Hmph, aku tak
perlu mengajakmu. Mamamu bilang, alasanmu datang kemari cuma untuk bertemu
pacarmu. Siapa itu namanya Aiziabeth?”
“Selisabeth,”
Ray mengoreksi. “Tapi tetap saja—”
Papa mengibaskan
tangan. “Pasti saat kau melihatnya, dalam dua detik saja, kau lupa kalau kami
ada. Aku juga pernah muda tahu.”
Ray tertawa. “I love you, Papa.”
“I know it.”
Aku ikut tertawa,
dan saat aku melirik ke arah jendela, aku melihat sebuah cafe yang in—
Nero.
Tak mungkin. Aku
menoleh ke belakang untuk melihat lebih jelas, tapi mobil kami sudah berbelok.
“Ada apa, Niken?”
Aku bergumam “Tak
apa-apa” dengan cepat.
Nero. Aku
melihat Nero. Benarkah itu Nero? Benarkah dia ada di sini? Jantungku berdegup
kencang tak karuan. Andai saja mobil kami tadi tak berbelok. Andai saja mobil
kami berhenti. Andai saja aku segera berteriak berhenti. Aku mungkin bisa memastikan
apa itu Nero atau tidak.
Tapi bila tidak?
Niken apa sih
yang kau harapkan? Aku menanyai diri sendiri.
***The Flower
Boy Next Door***
Nero menerima
coklat panasnya sambil tersenyum. “Merci,”
katanya, kemudian berlalu untuk mendekati Jacob yang sudah duduk di salah satu
meja bundar dengan kopi mengepul di atas meja.
Jacob melirik si
kasir, yang matanya berbinar melihat Nero. Bukan hanya dia tapi juga nyaris
seluruh makhluk perempuan di cafe melirik Nero dengan antusias. Nero hari ini
mengenakan mantel berwarna biru gelap dengan model yang pas di tubuhnya.
Sabuknya merampingkan bagian pinggangnya. Syal merahnya terlilit di leher dan
di atas kepalanya, dia mengenakan kupluk putih. Pipinya tampak lebih pucat
ketika menghadapi musim dingin, mempertampan wajahnya dan memperindah mata
coklatnya.
Dan anak muda
itu tak menyadari hal itu karena dia masih sibuk duduk, meneguk coklatnya dan
bergumam nikmat.
“Hentikan itu,”
kata Jacob.
Nero mengerjap
bingung. “Memangnya kenapa?”
“Para wanita
akan pingsan kehabisan napas. Kau harus membuat mereka menarik napas tahu.”
Nero mengerjap
lagi dan menoleh ke sekitarnya. Sekarang Nero mengerti maksudnya apa.
“Sori,” Nero
nyengir meletakkan gelasnya. “Bagaimana anakmu? Dia sehat?”
Jacob
mengangguk. “Dia tumbuh dengan baik. Ageha titip salam padamu. Coline
merindukanmu.”
“Kau cuma
sebentar ke USA dan sudah jadi pemberi pesan,” kata Nero.
“Kalau bukan
karena Ayahmu, aku akan menghabiskan natalku di sana.”
“Pesawat sibuk
di hari Natal.”
“Dan kau sama
sekali tak membantu.”
Nero meneguk
coklatnya lagi, memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.
“Hari ini kau
diundang kan?”
Nero mengangguk.
“Cuma membawakan satu lagu saja saat makan malam.”
“Matt yang
menawarkan?”
“Siapa lagi?”
Nero menaikkan bahu tak peduli.
Jacob tersenyum kecil,
meneguk kopinya. “Jadi besok malam kau ingin di rumah saja?”
Nero menengadah
dan mengerjap tak mengerti. “Huh?”
“Matt bilang
kalau dia tak ada waktu besok malam, dan memintaku untuk menemanimu.”
Nero merengut. “Padahal
dia janji.”
“Dia janji pada
saat Natal bukan Malam Natal.”
Nero semakin
merengut. “Tetap saja. Aku di rumah saja.”
“Kau yakin? Ada Christmas Eve di Eiffel besok.”
Nero menatap
Jacob. Pandangan matanya seolah berkata “Aku sudah mengorbankan waktuku untuk
tidak menghabiskan malam Natal bersama keluargaku dan sekarang kau memintaku
duduk manyun di dalam rumah bersamamu? Yang benar saja!”
“Ok. Aku mau ke
Eiffel,” kata Nero pada akhirnya.
Jacob
mengangguk. “Keputusan yang bijak.”
“Lain kali,
kalau Dad memintamu menyebrangi samudra dan benua hanya untuk menemaniku,
meninggalkan keluargamu, di saat hari libur pula, kau bisa memarahinya.”
Jacob tersenyum.
“Jangan khawatir. Dia janji ini yang terakhir.”
“Juga minta
padanya kenaikan gaji dan kenaikan pangkat. Apa kau tak betah di sampingnya
terus?”
Jacob tertawa
kecil. “Bagaimana ya, aku cukup bersenang-senang bersama Matt. Dia sepertimu,
memiliki kemampuan untuk dicintai. Dan soal gaji, tak perlu khawatir. Aku cukup
menikmati rumah mewah yang lengkap dengan kolam dan air mancur di USA sana.”
Dan Nero balas
tertawa.
***The Flower
Boy Next Door***
“Papa, katanya kita mau makan enak, ternyata
di restoran juga.” Ray protes ketika kami makan di restoran keluarga.
Papaku cuma bisa
tersenyum kecut. “Kau kan tahu Papa tak bisa masak enak.”
“Tapi tetap
aja,” Ray menghela napas. “Kupikir kita makannya di restoran Prancis, nyatanya made in Indonesia juga.” Dia melihat
sekelilingnya. Memang saat ini kami sedang duduk di restoran Indonesia, makan
makanan Indonesia, dengan para pelayan yang diimport langsung dari Indonesia.
Ha! Udah kayak di rumah sendiri aja.
Papa meringis.
“Makanan di sini enak loh.”
Abangku
tersayang masih mengomel dan akan terus mengomel seandainya pesanan kami tak
datang. Masakan enak itu berhasil menutup mulut besarnya. Setelah kami selesai
makan, kami segera keluar. Papa bilang kalau dia merindukan masakan rumah dan
enak sekali rasanya makan makanan Indonesia bersama dengan anak-anaknya. Aku
juga merasakan hal yang sama walau aku tahu Papa ingin Mama juga ikut bersama
kami.
Kami
menghabiskan sisa waktu kami melihat-lihat sekeliling mall. Papa membelikanku
beberapa mantel cantik yang mahal sementara Abangku sibuk dengan—tak lain dan
tak bukan—Selizabeth, yang tak sengaja bertemu dengan kami di toko butik. Dan
kau tahu apa? Papaku langsung menyukai gadis itu dan memberikan lirikan penuh
setuju terhadap keputusan Ray.
Aku nyaris
mengerang jengkel melihat mereka berdua berbicara menggunakan bahasa Prancis
bersama Selizabeth dan meninggalkanku sendirian di belakang, tidak menyadari keberadaanku.
Memang sih,
Selizabeth itu cantik. Dia berambut pirang, bermata biru dengan bulu mata
indah. Wajahnya begitu manis tanpa dia perlu repot-repot meletakkan make up ke
sana, dan senyumnya begitu menawan meski tak ada lipstik. Belum lagi kuku-kuunya
tampak indah dan mengilap mempesona. Tubuhnya juga tinggi langsing dan kakinya
juga bagus.
Yang aku tak
suka adalah bila dia ada, aku tak terlihat lagi. Nyebelin banget!
Aku
menghentakkan kakiku dengan jengkel, keluar dari butik dan memegang palang besi
lantai tiga dengan jengkel. Pikiranku memaki Selizabeth dan seluruh
kesempurnaan yang diberikan Tuhan padanya. Kupandangi lantai di bawahku, dengan
sedikit tak antusias, melihat para bule sedang berbelanja untuk Natal. Mereka
sangat banyak, membawa tas-tas dan ransel besar penuh hadiah, mengenakan mantel
berat dan begitu bersemangat, wajah mereka tampak begitu pucat.
Dan aku
melihatnya.
Nero.
Aku mengedip,
takut aku salah lihat karena sudah lama tak melihatnya dan begitu merindukannya
sehingga mungkin saja itu orang lain.
Tapi dia masih
ada di sana.
Nero ada di
lantai, tepatnya di bawahku. Dia mengenakkan mantel merah dengan syal
kotak-kotak manis melilit lehernya. Di kepalanya ada headphone berwarna putih yang tampak begitu kontras dengan rambut
coklatnya. Begitu dia berjalan, sambil menggerak-gerakkan tubuhnya dengan
santai terhadap musik yang mungkin dia dengar dari headphonenya, para manusia yang dia lewati melihat ke arahnya
sekali lagi, berbisik dan mengikik.
Tidak salah
lagi. Itu Nero.
Kakiku langsung
berlari secepat yang kubisa menuju lantai bawah. Tapi sial, orangnya banyak
sekali! Aku bahkan sulit melewati lima meter tanpa menabrak atau menjatuhkan
barang seseorang. Begitu aku sampai di lift, liftnya penuh. Aku memilih untuk
turun dari escalator, menabrak sana-sini, menyingkirkan sana-sini sambil
bergumam “Pardon me, pardon me, pardon me” tiap kali berjumpa orang.
Begitu kakiku
berhasil turun dari escalator, aku melihat Nero tak ada lagi. Aku mencarinya ke
sana-kemari, menggigit bibir dengan jengkel. Aku menoleh lagi ke bawah, melihat
ke lantai paling bawah.
Nero ada di
dekat escalator di bawah sana, berbicara pada Sekuriti, mungkin menanyakan
jalan.
Shit!
Aku berlari
lagi. Kusingkirkan orang di sekitarku dengan tak peduli. Aku butuh bertemu
dengan Nero. Ok. Aku memang sudah bertemu dengannya, tapi kami belum bertatap
muka. Dia tak tahu aku ada di sini. Tapi aku tahu dia ada di sini. Aku punya
beribu bahkan berjuta pertanyaan untuknya dan dia harus memberikanku penjelasan
kenapa memilih untuk meninggalkanku.
Dan aku akan
meninjunya bila dia tak menjawabnya!
Tapi, begitu aku
berhasil turun, Nero sudah keluar dari mall. Dia berdiri dan hendak masuk ke
dalam sebuah mobil limosin, yang dibukakan oleh seorang supir. Aku berlari
mengejarnya sebelum Nero pergi.
Tapi mobil itu
sudah menghilang bahkan sebelum aku berhasil mencapai pintu.
“NERO!” Aku
berteriak.
Hanya saja mobil
itu sudah terlalu jauh untuk mendengarku, ataupun berhenti.
***The Flower
Boy Next Door***
Christmas Eve, Eiffel Tower, Paris.
Nero tersenyum
kecil, merapatkan mantelnya begitu mendengar suara Matt. “I’m sorry, Son. I promise I’ll make it on Christmas.”
“It’s Christmas already.”
“It’s Eve.”
Nero tertawa
kecil. “Mhm. Just make it on time.”
“You know, my stupid client thougt I had a date.”
“You have. Me.”
Nero bisa
menduga bahwa Matt tersenyum di seberang sana, karena suaranya sedikit
terhenyak ketika menjawab, “Yeah, you’re my date, my soul, my love, my desire,
my life.”
“I’m melting.”
Matt tertawa. “Have fun, Son. I love you. Merry Christmas.”
“Merry Christmas and I love you too.”
Nero menutup
teleponnya dan menyimpan ponselnya ke saku mantelnya. Pohon natal yang sudah
dipasang di depan Eiffel benar-benar sangat besar. Bahkan dari jarak sejauh dua
puluh meter saja, dia masih bisa melihat dengan jelas si Pohon Natal yang
berpendar indah di depannya, dilatarbelakangi dengan Eiffel yang menjulang—yang
tak kalah cantiknya.
Jacob menepuk
bahunya. “Come on.”
“It’s pretty lame to have date with you in Christmas
Eve.”
“I can be a romantic-man, if you want to.”
“Like what?” Nero menaikan alis, menatap Jacob
dengan keheranan.
Jacob menaikan
alis, tersenyum menyebalkan, “Giving you
rose, taking you in candle light dinner with violin show, proposing you to be
my second boss.”
“I refuse.”
Jacob tertawa
kecil. “You kid. Come on, I promise my
beauty wife to take your handsome cute adorable charming pic.”
“Did you just use 4 adjectives?”
Jacob tak
menjawab dan memilih untuk merangkul Nero mendekati kerumunan.
We are here.
Aku tak terlalu
antusias mengikuti Natal tahun ini. Yang kuinginkan saat ini hanyalah tidur di
kamarku yang nyaman karena aku mengalami jetlag. Kepalaku berdenyut-denyut,
belum lagi kondisi ini diperparah karena aku tak bisa tidur karena aku melihat
Nero.
Nero.
Nero yang
tampan. Nero yang berambut coklat. Nero yang menarik perhatian. Nero yang
tampak santai dengan dirinya tanpa perlu memikirkan publik. Nero yang baik-baik
saja setelah insiden mengerikan itu. Nero yang selalu muncul dalam kepalaku
tiap kali aku ingin melupakannya.
Dan sekarang
pohon Natal itu sama sekali tak semenarik mengulang adegan ketika aku mengejar
Nero.
“Niken! Ayo,
turun!” Ray berkata dengan bersemangat. Dia membuka pintu dan membukakan pintu
untuk Selizabeth. Benar. Gadis itu juga ikut. Begitu Ray berhasil menggandeng
tangan Selizabeth, keduanya pun berlalu pergi, menghilang di kerumunan dengan
antusias. Aku berani bertaruh mereka akan berciuman di sana.
“Kita jumpa lagi
di sini dua jam lagi ya. Bersenang-senanglah,” kata Papa.
Aku memutar bola
mata, sedikit jengkel. Menghentak-hentakan kakiku yang mengenakan sepatu boot,
aku berjalan—atau mencoba berjalan sambil tak tergelincir jatuh karena jalannya
licin sekali—untuk mencapai pohon Natal.
Eiffel—bangunan
cantik yang megah dengan lampu bercahaya keemasan—berdiri dengan gagah di depan
mataku. Ada banyak sekali cerita mengenai bangunan ini dan aku harus mengakui
bahwa bangunan ini memang menghipnotis setiap orang yang melihatnya. Apalagi
dengan banyaknya orang di tempat ini memberikan magnet tersendiri bagi orang
yang berada di dekatnya. Banyak kisah romantis terjalin di bangunan ini.
Bangunannya para pasangan. Tempat memupuk cinta.
Tapi cintaku
kurasa tidak.
Cintaku masih
belum di jalurnya.
Bila aku
memiliki lagi kesempatan untuk bertemu Nero, aku akan meninjunya.
Nero hanya
berdiri mematung di depan pohon Natal itu, berdiri sambil mengadah ke atas. Di
atas pohon Natal ada bintang yang berpendar terang. Cahayanya menjadi pusat
tersendiri bagi kerumunan.
“Seriously, are we just standing here and doing
nothing?” suara
Jacob terdengar di telinganya.
“Mhm,” Nero mengangguk.
Jacob menghela
napas. “You want coffee?”
“No.”
“Tea?”
“No.”
Jacob menghela
napas lagi. “Can I have a call?”
Nero meliriknya
sedikit dan tersenyum. “Sure. Call your
family. I know you miss them.”
Jacob tersenyum
kecil. “Are you sure you’ll be fine?”
“I’m standing around people, see?” Nero
menyibakkan tangannya, menunjuk ke sekitarnya, ke sekeliling para manusia
yang—sama seperti mereka—melihat ke arah pohon Natal.
Jacob tersenyum
penuh terimakasih. “I’ll be back.”
Nero mengangguk
kecil. “Have fun.”
Jacob berbalik
dan melangkah melewati kerumunan, memegangi ponselnya. Nero kembali melihat
pohon Natal.
Dia merasa
kesepian.
Memang sih, ada
banyak orang di sekitarnya. Ada banyak orang yang bisa dia ajak bicara. Di sini
juga tak sepi. Ada banyak tawa dan kata. Tapi tetap saja Nero merasa sepi. Ada
ruang kosong yang belum terpenuhi dalam dirinya. Dan sudah pasti dia tahu itu
karena apa.
Dia rindu Niken.
Dia merindukan bagaimana gadis itu tersenyum padanya, bagaimana tawanya dari
bibirnya yang mungil, matanya yang jernih dan selalu jujur, tubuhnya yang
hangat ketika dipeluk, juga kata-katanya yang menguatkan. Dia rindu pada
sahabatnya. Devon yang akan selalu memeluknya dan membelanya sekuat tenaga;
Vion yang selalu menjelaskan apa yang baik dan buruk padanya; dan Zoe yang akan
jadi pelindungnya dengan kalimat-kalimat pemusnah neuron yang berhasil membuat
otaknya bekerja karena keabnormalannya.
Dan sebutir
salju turun di atas hidungnya. Nero mengerjap dan tertawa kecil. Dinginnya
salju berhasil membuatnya merasa lebih baik.
Tapi ternyata
air matanya malah bergulir turun.
I miss you I miss you I miss you I miss you so much!
Tuhan
sungguh-sungguh tahu bagaimana menguji seseorang yang sudah membuat janjinya.
Aku cuma bisa
mematung selama dua menit penuh di tempatku begitu melihat apa yang ada di
depanku.
Nero.
Pemuda itu
berdiri sekitar sepuluh meter di depanku, di kelilingi oleh orang-orang yang
memiliki postur tubuh dan style yang sama sepertinya—dengan mantel, syal, dan
kupluk. Bagaimana aku bisa melihat ke arahnya dan menemukannya di tempat
seperti ini juga masih menjadi pertanyaan yang jawabannya tak akan pernah
kutemukan secara realistis.
Begitu aku
memasuki kerumunan, kakiku seperti melangkah sendiri. Aku bersumpah aku mendengar
ada yang mengatakan “Sedikit lagi, dia ada di sana” padaku begitu aku berjalan,
menghindari orang-orang di dekatku. Bisikan itu membuat jantungku berdetak tak
karuan dan tubuhku memanas. Aku tak tahu mengapa. Tapi aku merasakan bahwa akan
ada sesuatu untukku.
Dan begitu aku
tahu, aku melihatnya.
Suara itu
mengirimku pada Nero.
Dua menit lalu,
dia masih berdiri tegak dengan kepala mengadah ke atas, melihat pohon Natal
tanpa berkedip. Rambut coklatnya tertutupi dengan kupluk putih sampai ke
telinga. Syalnya melilit di leher, nyaris menutupi bagian mulutnya. Mantelnya
berwarna putih dengan model yang melekat pas di tubuhnya, sepanjang lututnya,
sehingga aku bisa melihat kakinya yang jenjang tertutupi dengan jeans dan
sepato boot nyaman.
Kupikir dia tak melihat
aku dan aku sedih merasakan bahwa dia tak merasakan bahwa aku ada di dekatnya.
Aku nyaris mengutukinya karena perasaannya tak lebih kuat daripadaku. Kemudian,
aku melihat matanya. Mata itu tidak memandang kemana-mana. Mata itu tampak
kosong, penuh kesedihan, penuh kerinduan, penuh harapan.
Dan begitu
sebutir salju turun ke ujung hidungnya. Dia mengerjap, akhirnya merasakan
sekitarnya dan tertawa kecil. Aku nyaris tertawa melihat tingkahnya, sampai
akhirnya aku menyadari ada yang berbeda dari tawanya.
Dia tak tertawa.
Dia menangis.
Nero memegang
syalnya dengan sengaja untuk menghapus air matanya agar tidak terlalu kentara
oleh sekitarnya. Tapi lagi-lagi air mata itu malah jatuh terus di pipinya.
Aku melangkah
mendekat. Perasaanku diliputi keinginan yang kuat untuk memeluknya menghapus
air matanya menjadi kekuatannya.
Nero kulihat
berhasil mengatasi air matanya walau dengan susah payah. Kedua tangannya
mengadah, menangkup salju yang turun, dan tersenyum kecil seperti anak-anak.
Jantungku
berdegup-degup lagi begitu aku melangkah minggir hanya untuk melihat Nero lebih
jelas. Melihat bagaimana dia tersenyum. Bagaimana lesung pipinya terbentuk tiap
kali dia tersenyum. Bagaimana matanya bersinar tiap kali tertawa.
Begitu aku
berada semeter di dekatnya, dia juga belum menyadari keberadaanku. Aku mendekat
lagi. Napasku seakan membeku di paru-paruku.
Nero mengangkat
kedua tangannya, menghangatkan kedua tangannya yang tidak mengenakan sarung
tangan ke mulutnya. Asap mengepul di mulutnya. Dia tampak kedinginan.
Dan aku dilanda
keinginan untuk menyentuhnya.
Tanganku yang,
sama sepertinya, tidak mengenakan sarung tangan, juga terangkat dengan
sendirinya, menyentuh lengannya.
Dan saat itu dia
menoleh padaku.
Sama sepertiku,
Nero tampak terkejut. Untuk sejenak dia tak bisa bergerak atau berkata-kata.
Dia hanya menatapku seakan aku adalah makhluk yang, jika dia berkedip, akan
menghilang dalam sekejap. Atau seakan dia bermimpi sehingga tak ingin
dibangunkan sama sekali. Kesempatan ini kuambil dengan segera untuk membuktikan
bahwa dia ada. Bahwa dia di sini. Bahwa dia nyata dan bukan imajinasiku.
Tanganku naik ke
wajahnya. Memegang pipinya yang dingin. Tanganku memang dingin. Tapi begitu
menyentuh kulit Nero, aku menemukan diriku menjadi lebih hangat.
Nero mengerjap.
Matanya tertutup perlahan merasakan sentuhanku. Kepalanya bergerak perlahan
ketika jemariku menyentuh bibirnya. Aku bisa merasakan getaran napasnya.
Mataku
berkaca-kaca. Kakiku melangkah mendekat, menutup jarak di antara kami sementara
Nero masih terhipnotis dengan keberadaanku.
Dia nyata.
Dia ada di sini.
Dia ada di
depanku.
Dan dia
merindukanku.
Begitu pula
denganku. Aku merindukannya setengah mati sampai aku tak ingat bahwa aku janji
akan meninjunya tadi.
Nero membuka
matanya. Mata coklatnya berkaca-kaca menatapku dengan penuh kerinduan dan
cinta. Dia mengangkat kedua tangannya, menangkup pipiku. Hangat tangan Nero
masih sama, walau gemetar, walau kulitnya mendingin. Tangan itu sukses membakar
pipiku. Aku bisa merasakan denyut nadinya di wajahku, berdetak sama seperti
milikku.
Walau tanpa
kata-kata, hanya dengan sentuhan saja, aku dan Nero tahu bahwa kami berdua
menderita karena tak bisa bertemu selama ini, dan bahwa bertemu seperti ini
berhasil membuat kami merasakan surga.
Lalu aku
merasakan listrik menyengatku ketika merasakan sapuan bibir Nero pada bibirku.
Wangi parfumnya. Desahan naasnya. Hanya perlahan, singkat, tidak berlebihan,
tapi penuh cinta.
“God,” bisik Nero, suaranya parau dan
bergetar. “I miss you so much.”
Aku membuka
mataku dan melihat wajah Nero yang sangat dekat di wajahku. Air matanya jatuh
lagi di pipinya.
Pemuda ini
selalu tertawa. Dia selalu tampak kuat pada yang lain. Dengan senyumannya dia
menutup kesedihannya. Tapi hanya di depanku dia menangis seperti ini.
Karena begitu
merindukanku.
Aku merasakan
luapan kegembiraan juga sukacita bahwa Nero mengatakannya dengan jujur padaku.
“I miss you too,” bisikku menyeka air
matanya. Dia memegang tanganku, mencium telapak tanganku yang memberikan bekas
seolah membakar tanganku.
“I love you. I love you. I love you,”
gumamnya.
“I love you too.”
Kemudian Nero
menciumku lagi, menarikku dalam pelukannya. Aku balas menciumnya. Aku
merindukannya dan tak ingin melepasnya. Hal itu terbukti dengan eratnya
pelukanku pada lehernya, sementara dia memeluk pinggangku. Aku membalas ciuman
Nero. Merindukannya berada di dekatku. Merasakan tiap cinta yang dia berikan
padaku. Kakiku nyaris saja tak lagi menginjak tanah karena Nero seakan hendak
menggendongku sambil terus menciumku dan tak berniat melepasku.
Aku tak
keberatan.
Andai kami tak
butuh bernapas.
Atau saat para
penonton bertepuk tangan heboh ketika kami melepas ciuman kami.
“That‘s hot!”
“Man, I envy you!”
“Aww, so sweet.”
Wajahku merah
padam melihat ke sekeliling kami. Para penonton, yang kebanyakan berpasangan,
tampak begitu antusias melihat kami. Dengan jengah aku menyelipkan rambutku ke
belakang telingaku, tak tahu harus berbuat apa.
Kami baru saja
berciuman di depan publik, di depan Pohon Natal, di Eiffel Tower, dan di malam Natal,
pada saat bersalju! Aku tak tahu harus bagaimana menggambarkan kebahagiaan yang
kurasakan di dadaku. Ini hal terromantis, tergila, paling membahagiakan,
sekaligus paling memalukan dalam hidupku.
Nero memegang
tanganku dan aku merasakan kakiku melonjak merasakan suaranya di telingaku. “Kita
butuh privasi,” katanya dan menarikku melewati kerumunan.
Kepergian kami
diiringi dengan sorakan, pujian di sana-sini, gumaman kagum, bisik-bisik penuh
kikik, dan tepukan tangan. Wajahku merah padam lagi. Aku melihat tangan kami
yang terkait. Dia menggenggam tanganku dengan erat dan aku balas menggenggam
tangannya.
Genggaman itu
membuktikan bahwa hubungan kami baik-baik saja.
Nero membawaku
ke parkiran tempat di mana mobil-mobil berderet rapi. Dia membuka salah satu mobil
yang kuduga adalah miliknya, menyuruhku masuk ke dalam, ke bagian penumpang.
Aku menurut. Setelah menutup pintu, Nero memutar dan masuk kemudian duduk di
sampingku.
Dia menatapku
beberapa detik tanpa suara kemudian mencubit pipiku.
“Aaaw!” Aku
meringis, memegang kedua pipiku, yang bisa kupastikan memerah. “Apa-apaan sih?”
“Sakit?”
Aku mengerjap. “Tentu
saja sakit!” Kemudian aku balas mencubit pipinya.
“Ow ow ow.”
“Sakit?” Aku
menaikan hidungku dengan sebal.
Nero meringis
mengelus-elus pipinya. “Jadi aku tak bermimpi?” Gumamnya.
“Kau pikir
ciuman tadi juga mimpi?”
Nero memegang
bibirnya sendiri. Aku menjilat bibir dengan gelisah begitu melihat bibir Nero,
dan apa yang dia lakukan pada bibirnya, dan apa yang dilakukan bibirnya tadi.
Dan aku tak sabar kapan bibirku bertemu lagi dengan bibir Nero.
“Kupikir tadi
mimpi.”
“Kau memimpikan
aku menciummu?”
“Always.”
“Perv!”
Nero tertawa
kecil. “Aku tahu.” Begitu dia tersenyum, lesung pipinya yang terbentuk dengan
manis membuat Nero tampak lebih tampan. Dia mendekat memelukku, menyandarkan
kepalaku ke dadanya.
Meski tersimpan
di balik mantel baju dan dagingnya, suara jantung Nero masih bisa kudengar,
berdetak cepat, berisik, menggila. Suara yang sama seperti yang kudengar
pertama kali saat kami menghabiskan waktu setelah mengerjakan pr di kamarku.
Bunyi yang merdu. Bunyi yang sama seperti milikku.
“I miss you I miss you I miss you.” Nero
berbisik.
Aku mencoba
mengangguk. “Aku tahu. Aku di sini sekarang.”
“Meski kau di
sini, aku tetap merindukanmu,” kata Nero mencium kepalaku. “Perasaan ini
membuatku gila Niken.”
“Aku tahu,”
gumamku lagi. “Aku mendengarnya dengan sangat baik.”
“Pasti berisik
sekali.”
Aku tersenyum
kecil. “Melodi yang indah.”
Kami berpelukan
seperti itu lama sekali. Aku menyandarkan bahuku, mendengarkan Nero yang
mendesah, merasakannya mengelus rambutku. Aku merasa aman sekali berada di
dekatnya, lebih hangat, berbahagia dan ringan seakan tak ada lagi beban di bahuku.
Segala kerinduan yang menggumpal di dadaku berubah menjadi rasa kasih yang
mendamaikan.
Akhirnya aku
mengangkat kepala, memegang tangan Nero.
“Nero,” kataku
pelan.
Dia menatapku,
sedikit memiringkan kepalanya. Mata coklatnya menatapku dengan rasa ingin tahu.
“Nero,” kataku
lagi, menggenggam erat tangannya. Aku harus bertanya padanya. Aku harus tahu
apa yang terjadi. Aku ingin mengerti penderitaan yang dialami Nero. Aku ingin
mengenalnya dengan lebih baik. Aku ingin menjadi tumpuannya. “Bisakah kau memberitahuku
kenapa kau meninggalkanku?” Kalimat itu terucap juga.
Dan aku melihat
sinar kebahagiaan di mata Nero menghilang dalam sekejap.
***The Flower
Boy Next Door***
Nero menelan
ludah, tak mampu bicara. Pikirannya segera berkelana menuju kejadian setengah
tahun lalu, saat dia melihat Deborah kembali, saat Deborah berusaha
membunuhnya, saat dimana Deborah menusuk Zoe, mencoba membunuh Zoe.
Perasaan
bersalah menghantuinya setiap malam sejak kejadian itu. membuat
tulang-tulangnya mendingin, setiap tetes darahnya terasa berat sekali.
Bagaimana Zoe jatuh. Bagaimana Zoe tertusuk. Bagaimana darah Zoe mengalir deras
nyaris keluar dari tangannya. Bagaimana Zoe nyaris saja mati. Bagaimana Zoe
nyaris mengucapkan selamat tinggal selamanya.
Ini bukan
pertama kalinya Deborah melakukan ini padanya. Tapi ini yang paling mengerikan
dalam hidupnya. Dia melihat orang-orang mati hanya demi dirinya, dan dia
membayangkan dengan ngeri bagaimana bila Niken yang ada di posisi Zoe.
Bagaimana bila nanti ada Devon juga. Vion. kemudian keluarga Devon. Mereka mati
berlumuran darah.
Nero terbangun
dengan mimpi buruk itu, melihat sekeliling kamarnya dengan panik. Kamarnya yang
gelap. Matt tak ada. Bagaimana caranya dia keluar dari kamar mandi Nero tak
tahu. Tapi yang jelas dia ketakutan setengah mati. Napasnya tersenggal seakan
dia dikejar-kejar oleh segerombolan banteng yang siap menyeruduknya sampai
mati. Tubuhnya gemetar ketakutan.
“Dad,” gumam
Nero panik.
Matt tak ada.
Dan Nero ngeri
membayangkan bahwa Deborah masuk ke rumahnya, membunuh Matt.
Matt turun dari
tempat tidurnya, menjatuhkan selimutnya begitu saja. Kakinya melangkah cepat
menuju kamar Matt. Begitu sampai di depan kamar Matt, Nero menelan ludah,
mencoba menenangkan diri. Nero tak ingin mengganggu Matt yang sedang
berisitirahat.
Setelah
meyakinkan diri bahwa dia cukup tenang, Matt mengintip perlahan, membuka pintu
kamar Matt tanpa suara sambil menggigit bibir, kemudian melangkah masuk
pelan-pelan.
Dia melihat Matt
duduk di pinggiran tempat duduknya. Hanya punggungnya yang mampu dilihat Nero.
Sudah jam berapa ini? Kenapa Matt belum tidur?
Nero tak ingin
mengganggu Matt, dia hendak membalikkan tubuh begitu mendengar isakan. Nero
membeku di tempatnya dan kembali berbalik.
Matt tengah
menangis, kedua tangannya menyapu rambutnya dengan stress, lelah, frustasi.
Nero merasakan
jantungnya jatuh ke lantai.
Matt tak pernah
menangis. Seumur hidup Nero, Nero tak pernah melihat Matt menangis. Matt tak
pernah menangis saat kematian Granpa, ataupun Granma, saat kematian Theressa,
Jennifer, bahkan saat Ageha memilih untuk pergi. Dia selalu lebih tegar
dibandingkan Nero, memeluknya untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja,
menenangkannya dengan kata-kata bahwa semua dalam kendali, bahwa masalah ini
hanya untuk sementara.
Dan Nero sekarang
tahu alasannya.
Karena Matt
harus lebih kuat untuk Nero, untuknya.
Nero mendekat,
melangkah dengan susah payah. “Dad?”
Matt tersentak,
cepat-cepat menghapus air matanya, dan berbalik, tersenyum pada Nero. “Ada apa,
Nero? Mimpi buruk?”
Tenggorokan Nero
terasa kering. Berapa lama Matt memaksakan diri untuk tersenyum padanya? Itu
menyakiti Nero lebih dari apapun. Nero berjalan mendekat, berlutut di depan
Matt.
Matt mengerutkan
dahi. “Apa ini? Kau mau melamarku?” candanya.
Nero berhasil
tersenyum kecil. “Dad,” katanya pelan. “kenapa kau menangis untukku?”
Matt menatapnya,
sedikit tak percaya, “Kau melihatku? Rasanya memalukan sekali.”
“Dad,” suara
Nero terdengar serak. “Apa yang bisa kulakukan untuk meringankan bebanmu?”
Matt menyapu
rambutnya. “Tidak ada, Nak. Ini bukan salahmu.”
“Juga bukan
salahmu,” Nero mengangguk kecil. “Selamanya dia akan mengincarku.”
Otot-otot Matt
menegang, Nero bisa merasakannya dari sapuan tangan Matt. “Jangan berkata
seperti itu. Tak akan ada yang terjadi. Aku janji.”
Nero menatap mata
Matt mencari pembenaran. Mereka berdua tahu bahwa Deborah tak akan berhenti
mengincar mereka, jadi percuma saja mengucapkan kata-kata itu. Biar bagaimana
pun tak ada yang bisa menjamin bahwa Deborah akan kembali atau tidak. Malam ini
Deborah berhasil lolos lagi, lain kali entah apa yang terjadi.
Nero mempererat
genggamannya. Dia harus mengatakan ini. Dia tak tahan melihat Matt seperti ini.
Nero tahu bahwa Matt ingin mengatakan bahwa mereka sebaiknya keluar dari negeri
itu, seperti yang biasa mereka lakukan tiap kali merasakan aura Deborah. Sama
seperti saat mereka meninggalkan Jerman, atau Prancis, atau Rusia, atau
Amerika, atau Brasil, atau London, atau kemanapun.
“Dad,” suara
Nero gemetar, “ayo pindah.”
Matt mengerjap.
“Apa?”
“Aku bilang
lebih baik kita pindah,” suara Nero terdengar tenang.
“Tapi Nero,
bukankah kau suka di sini?”
Nero mengangguk.
“Tentu saja aku suka.”
“Lalu kenapa
memilih pindah? Aku baik-baik saja bila kita tinggal di sini.”
“Dad,” Nero
mencoba tersenyum, jantungnya berdegup-degup di dadanya, “kau ingat saat Nathan
bilang kalau aku menginap di rumahnya?”
Matt mengangguk.
“Sebenarnya
Deborah melukaiku.”
Wajah Matt
memucat. “Nero,” suara Matt gemetar. “Kita pindah!” kemudian dia memeluk Nero
erat-erat. “Kita pindah. Kita akan pindah. Wanita itu harus jauh-jauh darimu.”
Nero menatap
Niken yang ada di hadapannya, menunggu penjelasan. “Aku melihat Dad menangis.
Dan aku memilihnya daripadamu.”
Wajah Niken
berubah dalam sekejap. Ini dia. Niken akan marah padanya, meneriakinya,
mengatakan hal yang jahat padanya.
Tapi tidak.
Gadis itu hanya tersenyum, mengangguk penuh pengertian. “Jika itu alasannya,
aku bisa mengerti. Kau tak boleh memilihku lebih daripada Matt. Biar
bagaimanapun dia Ayahmu. Dia memberikanmu hidup.”
Sekali lagi Nero
merasa ingin menangis. “I’m sorry.”
Niken menangkup
wajahnya, menghapus air matanya. “Aku tahu kau tak akan pergi kalau bukan
karena sebuah keputusan besar. Aku tahu kau juga berat melakukannya. Ingat saat
di telepon kau menanyakan apakah aku sudah bangun atau tidak?”
Nero mengangguk
kaku.
“Kau menunggu
keluar dari gerbang untuk mengucapkan selama tinggal kan?”
Nero sekali lagi
takjub dan jatuh cinta pada Niken. Bagaimana dia tahu bahwa Nero menungguinya
semalaman? Setelah memastikan seluruh pakaiannya tersusun rapi, Nero terus
menunggu jendela kamar Niken untuk terbuka. Saat matahari bersinar, Nero
memilih untuk menunggu di depan gerbang. Tapi tidak ada seorangpun yang keluar
dan Nero sendiri ragu untuk masuk ke dalam.
Jika dia masuk
ke dalam, dia tahu bahwa dia tak akan bisa pergi.
Bahkan saat Matt
memintanya masuk ke dalam mobil untuk berangkat pun Niken tidak keluar.
“Kau
benar-benar—” Niken berhenti, menyatukan dahi mereka. “Aku tak tahu bagaimana
caranya membuatku membencimu jika kau bertingkah seperti itu.”
“I’m sorry.”
“Idiot.”
“I know.”
Niken mencium
bibirnya dengan lembut. Mengelus lembut pipinya. “Hubungan kita baik-baik saja
kan?”
Nero mengerjap.
“Aku—”
Mata Niken
mengilat berbahaya. “Kau punya pacar di sini?”
“Tidak ada.”
Nero menggeleng cepat. “Sumpah.”
Niken menghela
napas lega. “Kalau begitu, apakah kita berdua…”
Melihat wajah
Niken yang memerah, Nero nyaris saja ingin menyerangnya. Sialan. Kenapa Niken
manis sekali sih? Setengah tahun tak melihatnya, dia makin cantik. “Aku… aku
butuh waktu, Niken.”
Niken mengerjap.
“Huh?”
“Aku sedang
dalam masa pengobatan,” Nero bergerak tak nyaman di tempatnya. “Aku harus
menghapus seluruh emosi dalam diriku untuk membuatku mampu berdiri di
sampingmu. Aku tak ingin kau melihatku seperti waktu itu.”
Niken menghela
napas. “Aku tak memersalahkan itu—”
“Aku
memersalahkannya,” kata Nero. “Aku tak ingin melukaimu,” Nero sedikit bergedik
ketika merasakan bahwa dirinya yang lain yang akan melukai Niken bila dia
kehilangan kendali emosinya. Niken mengangguk penuh pengertian. “Berapa lama
kau ada di sini?”
“Sampai Tahun
Baru,” jawabnya.
Nero tersenyum.
“Besok, aku akan memberikan jawabanku.”
Niken mengerjap.
“Maksudmu?”
“Temui aku besok
di Arc de Triompe jam dua belas siang. Kita bisa makan siang bersama. Besok aku
akan memberimu jawaban apakah kita baik-baik saja atau tidak.”
“Kenapa harus
besok?”
“Aku harus
mengurus segala sesuatu.”
“Aku mengerti.”
Nero melirik jam
tangannya. “Shit,” makinya. “Jacob
akan menghubungi polisi.”
Niken
mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa?” lalu Niken ingat. “Ya ampun,” katanya
sambil menepuk dahinya. “Harusnya aku sudah berkumpul.”
Mereka berdua
cepat-cepat keluar dari dalam mobil.
Niken memberikan
kecupan pada bibir Nero. “Besok.”
“Besok,” kata
Nero yakin.
Lalu mereka
berpencar untuk mencari kelompok mereka.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar