Debaran Tiga Puluh Dua
Revange
Seminggu. Ya
Tuhan. Aku nyaris gila selama seminggu ini. Tak ada kabar. Tak ada telepon. Tak
ada surat. Tak ada email. Tak ada apapun.
Nero seakan
menghilang ditelan Bumi.
Dan hal itu
membuatku frustasi sehingga tak mampu menangis lagi karena air mataku sudah
mengering. Kemana dia? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana keadaannya sekarang?
Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia akan kembali? Aku tak tahan lagi! Aku
bisa mati karena rindu jika seperti ini terus. Apalagi… apalagi setelah semua
hal yang kudengar. Aku yakin bahwa Nero tidak baik-baik saja.
Bagaimana dia
melewati harinya di sana?
155. Zoe Michelle – 286
156. Nero K Yudea – 0
Tak
henti-hentinya aku melihat papan pengumuman peringkat nilai. Karena Nero tak
mengikuti ujian, maka nilainya berada di bawah Zoe, hal yang tak mungkin pernah
terjadi. Devon dan Vion sudah mulai cemas karena mereka juga tak mendapat
kabar. Zoe bilang kalau Nero ada di Jerman dan dia pasti akan baik-baik saja.
Jerman? Aku tak
tahu kalau Nero adalah orang Jerman. Selama ini kami tak pernah
membicarakannya, dan aku diliputi rasa bersalah dan sedih karena tidak
mengetahui ini. Jika dia pulang, aku berjanji akan mencari tahu segala hal
mengenai dirinya.
Tapi… bagaimana
jika dia tak pulang?
Pertanyaan itu
menyakiti jantungku sendiri, menusuknya dengan tajam tepat ke paru-paruku
sehingga tak mampu membuatku bernapas beberapa saat.
Bel berdering
keras sekali sehingga membuatku sadar dan berjalan dengan langkah terseret
menuju kelas. Aku duduk dengan hati gelisah, melihat kursi Nero dengan nanar.
Kapan dia akan kembali? Ini sudah seminggu. Apakah dia ingin tinggal di sana?
Hidup tanpa Nero tidak sama lagi seperti hidupku yang biasa. Aku merindukannya.
“Selamat pagi,”
suara Pak Alfon memenuhi kelas yang hening. Seperti biasa, dia membawa
buku-buku tebal untuk mengajari kami mengenai topik pembelajaran baru. “Buka
buku kalian. Apakah kalian sudah membaca bab hari ini? Jika belum maka—”
“Maaf, Pak saya
terlambat.”
Pak Alfon
menoleh, begitu pula dengan kami. Mataku nyaris menggelinding keluar dari
mataku begitu melihat Nero berdiri di depan pintu. Dasinya diikat berantakan
dan rambutnya juga begitu. Napasnya terengah-engah dan keringat tampak
berkilat-kilat di dahinya. Untuk sejenak dia terbengong di depan pintu.
“Nero,” Pak
Alfon menaikan alis. “Apa kau tahu jam berapa sekarang?”
“Erm,” Nero
menggaruk-garuk kepalanya.
“Kenapa kau
terlambat?” tanya Pak Alfon dengan nada tenang.
“Pesawat delay sekitar dua jam dan demi Tuhan,
Pak, macet sekali di Jakarta.” Nero geleng-geleng kepala.
Pak Alfon
menaikan alis dan beberapa anak tertawa kecil mendengar alasan Nero. “Baiklah.
Kali ini aku akan membiarkanmu, tapi tak ada lain kali. Silakan duduk.”
Nero memberikan
cengirannya yang khas lalu masuk dan duduk di sampingku. “Hai, Niken,” sapanya.
“Hai,” kataku
parau. Ya Tuhan, seminggu tak melihatnya Nero tampak semakin tampan. Wajahnya
bersinar, begitu pula dengan matanya, tampak lebih berkilauan dan coklat.
Bibirnya juga lebih merah muda dengan senyum lebar yang tak henti-hentinya
hilang dari wajahnya.
Ini aneh sekali.
Bukankah dia baru kehilangan Jennifer? Kenapa wajahnya bisa tampak tenang
begitu?
Pelajaran
kembali dimulai. Aku semakin tidak fokus tiap kali melirik Nero. Nero masih
diam saja, memberikan ekspresi tenang, santai, mendamaikan seperti… seperti
saat pertama kali kami bertemu. Perkataan Devon teringat lagi. Bukankah Devon
bilang telah terjadi perubahan sifat Nero dimulai dari pertama mereka bertemu
sampai saat terakhir kali itu? Apakah ini yang dimaksud Devon? Karena selama
ini aku berada di samping Nero, aku sama sekali tak pernah menyadari hal itu
karena selama ini sifat Nero terjadi secara natural, berjalan begitu saja.
Tapi sekarang
aku menyadari bahwa yang dikatakan Devon memang benar.
Ada yang sangat
berbeda.
Aku menggigit
bibir bawahku dengan cemas, menunggu jam dinding berjalan cepat tapi tak juga
berjalan. Beginilah waktu berjalan. Bila kau menunggu sesuatu tiba lebih awal,
maka dia akan berjalan lambat, tapi jika tidak menunggu sesuatu berjalan cepat,
maka dia akan berjalan lebih cepat dari kedipan mata.
Sangat… sangat…
menyebalkan…
“Niken, ada apa
denganmu?” kata Nero tiba-tiba.
“Huh?” aku
mengerjap kebingungan.
“Bel sudah
berdering dari tadi. Apa kau sakit? Tak enak badan?”
Kutatap dia yang
balas menatapku dengan kebingungan. Aku tak bisa membaca apa yang ada dalam
pikirannya, sama seperti saat aku mencoba mengerti apa yang dipikirkan Zoe.
“Aku baik-baik
saja,” kataku cepat. “Sebenarnya yang aku—”
Sebelum aku
sempat menyelesaikan kalimatku gerombolan teman-temannya Nero datang,
mengerubuninya seperti semut yang mendapat gula dan bertanya mengenai apa yang
terjadi.
“Nero, kami
dengar apa yang terjadi. Bagaimana kejadiannya?”
“Nero, kami
turut berdukacita ya?”
“Ya ampun, kami
rindu sekali padamu. Pak Aflon bilang kau pergi ke Jerman.”
“Serius?
Jerman?”
Nero terkekeh
kecil. “Tenang saja. Semua tak seburuk dugaan kalian. Aku baik-baik saja kok.
Dan ya, aku memang ke Jerman.”
Mereka mengobrol
dan mengobrol lagi. Nero seakan melupakanku yang duduk di sampingnya. Dan aku
juga merasa bahwa ada sesuatu yang salah pada Nero walau aku tak tahu apa. Dia
tampak santai, menanggapi seluruh pertanyaan dan membuat lelucon mengenai
perjalanannya di Jerman sana walau mereka mengungkit-ungkit soal Jennifer.
***The Flower
Boy Next Door***
Devon langsung
memeluk Nero erat-erat begitu melihat Nero. Saat mendengar kabar bahwa Nero
sudah kembali, hal itu membuatnya senang.
“Can’t breath… can’t breath…” kata Nero
menepuk-nepuk punggungnya.
“Ups. Sorry, Man. I really missed you,” kata Devon,
lalu mengacak-acak rambutnya.
“Devon! Shit!” Nero menyingkirkan tangan Devon
dengan sebal. “I’m not a kid!”
“You are.”
“Fine, Mother,” gumam Nero memutar bola matanya.
Lalu Nero beralih pada Vion, memeluknya dengan erat, begitu pula dengan Zoe.
“Apa kau tak
apa-apa?” kata Zoe menaikan alis.
“Aku baik-baik
saja.” Nero menghela napas lega. “Sori, Devon, aku tak ada di upacara
pelantikanmu menjadi Ketua Osis.”
Devon memutar
bola matanya. “Itu bukan acara yang penting. Aku heran kenapa Alfon malah
memilihku menjadi Ketua Osis, dan bukannya Zoe.”
“Aku tak berniat
jadi Ketua Osis.” Zoe membalas dari belakang Vion.
“Apa-apaan nih?”
Nero ternganga melihat hasil ujian papan pengumuman. “Sejak kapan Zoe bisa
lebih pintar daripadaku?” Dia menatap Zoe, “Aku pasti bermimpi.”
Vion terkekeh
kecil. “Hadapi kenyataan, Nero. Aku juga harus menghadapi kenyataan bahwa
minggu depan aku akan Ujian Nasional.”
“Oh, ya, kau
ingin bersama kami setahun lagi?” tanya Nero.
“Dan jadi
seangkatan denganmu? Jangan harap aku mau.” Vion membalas.
Nero tertawa
saat terdengar jeritan nyaring dari arah koridor. Mereka mengerutkan dahi
keheranan.
“Apa itu?” kata
Vion.
Zoe menerobos
Vion dan melangkah lebih dahulu. Devon mengekor di belakang. Vion yang sempat
ragu, juga ikut melangkah, menarik Nero ke sisinya. Sekarang murid-murid yang
mendengar jeritan itu juga berlarian datang. Bahkan Pak Alfon juga muncul.
“Ada apa?” kata
Devon. “Minggir. Aku Ketua Osis!”
Wow. Untuk
pertama kalinya Devon bangga menyebut dirinya Ketua Osis. Murid-murid segera
memberikan ruang bagi Devon untuk lewat. Niken muncul tak lama kemudian. Gadis
itu menutup tangannya ke mulut, kaget dengan pemandangan di depannya.
Lisa tampak
berlumuran tepung dan cat merah yang masih menetes-netes keluar dari pintu
koridornya yang mengayun-ayun terbuka. Ada seekor kucing hitam mati dengan isi
perut yang menyembur keluar. Bukan. Itu bukan cat merah. Tapi darah asli.
“Astaga…” bisik
Devon.
Lisa
terisak-isak, berusaha menyingkirkan cat dan tepung yang mengotori bajunya,
lalu kemudian menangis semakin parah karena dari kulitnya sekarang muncul
bentol-bentol merah.
“Lisa, kau tak
apa-apa?” kata Niken.
“Gatal. Gatal
banget!” Lisa menggaruk-garuk tangan, wajah, kaki dan sekujur tubuhnya.
“Niken, jangan
sentuh dia!” Zoe memperingatkan Niken yang hendak membantu Lisa. “Itu bubuk
gatal. Kau juga akan kena.”
Mendengar ini
sekarang anak-anak yang mengerumuni Lisa mundur beberapa langkah, takut terkena
bubuk gatal.
“Siapa yang
melakukan hal ini?” Alfon melangkah maju, membantu Lisa berdiri. “Cepat mengaku
sebelum aku melakukan penyelidikan.”
Tidak ada yang
menjawab.
“Kenapa tanya
pada kami, Pak?” Nero tiba-tiba berbicara. “Mungkin saja Tuhan cuma menghukum
Lisa yang pernah melakukan tindakan serupa. Bukankah begitu?”
Pak Alfon
menatapnya beberapa detik. “Apa maksudmu, Nero?”
“Kenapa tak
tanya dia?” Nero melipat tangannya, menggerling Lisa yang tertunduk malu. “Atau
mungkin pada teman-teman dekatnya yang lain. Mereka pasti tahu apa yang
terjadi, Pak. Tapi mungkin mereka tak akan memberitahu apa-apa, soalnya mereka
kan pengecut.”
Rahang Alfon
mengeras. “Jika aku berhasil menemukan pelakunya, akan kupastikan dia keluar
dari sekolah ini.”
“Coba saja.
Kelihatannya menarik,” tantang Nero.
Tak bisa
membalas Nero, Alfon menarik Lisa untuk segera ke UKS, menyisakan gumaman-gumaman
seru dan ingin tahu. Saat mereka berdua menghilang, para cewek bergosip.
“Seram banget.”
“Siapa ya
pelakunya?”
Nero berdeham.
“Kalian tahu nggak istilah ‘mata dibayar mata, gigi dibalas gigi’?” Mereka
terdiam sejenak, menatap Nero dengan ingin tahu. “Aku mengadopsi istilah itu,
jadi berhati-hatilah jika main-main denganku.”
Mereka memucat
lalu cepat-cepat bubar.
Niken
mendatanginya. “Apa maksud kata-katamu barusan? Apa kau yang melakukan ini
padanya?”
Nero menaikan
alis. “Kau menuduhku? Jadi kau pernah mengalami hal seperti ini ya?”
Niken menelan
ludah. “Tidak… sebenarnya…”
“Hmmm? Apa?”
Nero menunduk. “Kenapa suaramu makin lama makin mengecil sih?”
Niken
memelototinya. “Aku membencimu!” lalu sambil mendengus, Niken berbalik.
Nero hanya mampu
tertawa melihat punggung Niken yang menjauh.
“Pembalasan
memang terasa paling manis jika sudah mengalami kekalahan.” Nero menghela
napas. “Dan yang tertawa paling akhir adalah pemenangnya.”
Devon menepuk
bahunya, menatapnya. “Apa kau tahu ada kamera pengawas di sini?”
“Kamera pengawas
apa?” Nero mendengus. “Jika ada kamera pengawas, maka sejak Niken mengalami
pelecehan, pihak sekolah akan tahu. Kenapa kau jadi bodoh begini?”
Devon dan Zoe
mengerjap. Mereka sama sekali tak menyadari hal ini.
“Vion membodohi
kalian ya? Kasihan.”
Nero
geleng-geleng kepala dan melangkah pergi meninggalkan mereka.
“Aku bersumpah
aku tak akan mau jadi musuhnya,” gumam Vion sungguh-sungguh.
***The Flower
Boy Next Door***
Aku melipat tangan
dengan jengkel memelototi Nero yang berdiri di depan jendelaku—lebih tepatnya
di balik jendelanya.
Nero tersenyum kecil.
Salah satu alisnya menaik geli.
“Ada apa Niken? Kenapa
kau memelototiku seperti itu?”
“Aku tak melotot”.
“Kau melotot.”
“Aku tak melotot!”
Nero memutar bola
matanya. “Terserah,” gumamnya. “Aku akan turun ke bawah. Aku tak mau dipelototi
pacar sendiri.”
Aku menganga melihat
Nero berlalu begitu saja. Sialan. Aku tak tahu mengapa tapi aku marah padanya.
Nero pasti tahu sesuatu mengenai Lisa. Tapi kenapa dia tak menceritakannya
padaku? Kenapa dia melakukannya? Apakah Lisa yang melakukan semua hal itu
padaku? Bagaimana jika bukan? Itu berarti mereka salah target kan? Tapi bila
iya?
Uh. Pikiran itu
membuatku ngeri.
Kulihat lagi jendela
Nero. Kamarnya kosong. Tak ada suara Ageha. Kemana Ageha?
Penasaran dengan apa
yang terjadi aku turun dari kamarku dan turun. Keluar dari rumahku menuju rumah
Nero.
Nero ada di kolam saat
aku datang. Dia duduk dengan posisi yang sama saat terakhir kali aku memeluknya
kemarin. Ada aura kesepian yang sama seperti sebelumnya. Kenapa dia tak
menunjukan ekspresi itu saat bersamaku?
Pelan-pelan aku
melangkah melewati ubin-ubin halaman. Tidak membuat suara saat mendekati Nero
dari belakang. Kemudian aku menunduk dan meniup telinganya.
Nero tersentak kaget
memegang telinganya dan sebelum dia berbalik aku mendorongnya sampai jatuh ke
dalam kolam. Aku segera terbahak-bahak melihat kepala Nero muncul dari
permukaan.
“Niken!” Dia menggerutu
jengkel. Rambut coklatnya basah dan menempel di sekitar wajahnya. “Apa-apan
sih?”
“Siapa suruh kau
bengong?” kataku tersenyum culas.
Dia merengut. Aaw
manisnya.
“Jangan ngambek. Sini
kubantu naik.” Kuulurkan tanganku padanya.
Kesalahan besar.
Mendapat kesempatan untuk membalas Nero segera menghentakan tanganku dan aku
segera menyusul masuk ke kolam.
Nero terbahak-bahak.
“Nero, bajuku basah!”
kataku jengkel.
“Emang enak?” balasnya
lagi. “Makanya jangan coba-coba bermain api jika tak mampu memadamkannya.”
“Sok pintar,” balasku
lagi. Dan Nero mendekat memeluk pinggangku. Jantungku mulai berdetak tak beres.
Wajah Nero yang basah oleh air tampak lebih berkilauan berkat pantulan dari air
kolam.
“A-a-apa?” Sialan.
Kenapa aku selalu gugup jika dia bertingkah romantis begini.
“Tidak apa-apa. Hanya
ingin memelukmu.”
Aku menatap wajahnya
yang mendekat dan dengan cepat aku menunduk sehingga dia malah mencium dahiku.
Nero terkekeh kecil.
“Aku ingin mencium bibirmu katanya parau ke telingaku.”
“Kau punya perjanjian
dengan Abangku.”
Nero menaikan alis.
“Dia kan tak ada di sini.”
Mataku menyipit. “Nero...”
“Tarik napas.”
“Huh?”
“Aku bilang tarik
napas.”
Kebingungan. Aku
menarik napas panjang dan Nero segera menarikku masuk ke dalam air.
Nero tersenyum di dalam
air. Gelembung udara keluar dari sela-sela bibirnya tepat saat dia memegang
kepalaku dan menciumku dalam air.
Dingin... tawar... tapi
lembut... dan terlalu singkat.
Nero tertawa begitu dia
melepas ciumannya.
Kepala kami kembali
muncul ke permukaan. Aku bisa mendengar suara tawa Nero di telingaku yang
sedikit berdengung.
“Rasanya enak kan
Niken?” godanya sambil mengedip jenaka.
Wajahku memanas tapi
aku berhasil menjaga ekspresi dengan baik. “Hmph, menurutku biasa saja.”
“Masa?”
“Kau bisa lebih baik
dari itu.”
Oow.
Jawaban yang sangat salah.
“Kau menantangku?” kata
Nero mendorongku ke tepi kolam sampai punggungku mengenai dinding kolam.
Aku menelan ludah dan
menutup mata saat Nero mendekat. Aku bisa merasakan setiap hembusan napasnya
yang menyapu wajahku. Tapi cuma sampai situ.
Kenapa
tak terjadi apapun?
Aku membuka mataku
sedikit demi sedikit.
“Jadi, kau menunggu
ciuman dariku ya?” Nero tersenyum jahil dan aku merasa bahwa aku dikalahkan
lagi olehnya.
“Enak sa—hmmph”
Nero kembali menciumku.
Bibirnya menekan bibirku dengan lembut. Bergerak cepat sementara lidahnya
menyusup masuk ke mulutku saat tadi aku lengah membuka mulut. Menelusuri
mulutku. Dan aku merasakan panas yang mulai muncul dalam tubuhku. Padahal kami
ada di kolam renang.
Aku ragu-ragu tapi
tubuhku bergerak sendiri. Awalnya kedua tanganku menyentuh dinding lalu
perlahan naik ke dada Nero. Denyut jantungnya terasa di balik telapak tanganku.
Cepat sekali. Ada aliran kebahagiaan yang membanjiriku begitu mengetahui bahwa
karena akulah maka jantungnya begini.
“Bagaimana?” Nero
terengah menatapku yang hanya beberapa senti dari wajahnya. “Lebih baik?”
Kepalaku sedikit pening
melihat wajah tampannya tampak seperti seorang dewa tersenyum seperti malaikat
dan tingkah romantisnya yang seperti pangeran. Aku tak berpikir realistis saat
berkata “Lagi.“
“Kau yakin?” katanya
parau mendekat beberapa senti.
Aku mengangkat wajahku
siap menerima ciumannya lagi.
“Ya Tuhan...” gumam
Nero dan kembali menciumku.
***The Flower
Boy Next Door***
Apakah dia tahu apa
yang dia pinta? Nero tak ingin terlalu rakus. Tapi begitu melihat wajah Niken
yang merona. Basah oleh air kolam. Tampak bersinar karena cahaya matahari. Nero
tahu bahwa dia kalah.
Tak pernah sekalipun
dia menang melawan Niken.
Ok. Beberapa kali dia
pernah menang. Tapi tak sesering itu.
Dan kini di tengah
kolam renang dengan bibir mereka bersentuhan sementara tubuh mereka basah
menempel di dalam air membagi hangat tubuh masing-masing Nero merasa sedang
diuji kewarasannya.
Demi Tuhan dia nyaris
kehilangan kendali dan Niken malah memperparah segalanya dengan memeluk
lehernya menciumnya semakin dalam sambil mengeluarkan suara dari dasar
tenggorokannya yang menyatakan bahwa Niken menikmati ciumannya.
Seseorang harus
bersikap waras saat itu. Tapi jelas bukan mereka berdua.
Kedua tangan Nero
mencengkram tepi kolam di antara tubuh Niken saat dia akhrinya mampu menarik wajahnya
sedikit hanya untuk bernapas.
“Sial,” gumam Nero
meletakan dahinya ke dahi Niken. Jangan memasang tampang seperti itu.
“Tampang seperti apa?”
Niken mengerjap kebingungan.
Nero menarik napas.
Berusaha memenuhi paru-parunya agar tetap tenang.
“Nero?” Suara Niken
begitu dekat dengan telinganya. Nero merasakan bibir Niken menyapu pipinya
menciumnya dengan lembut. Lalu mencium ujung hidungnya. Kemudian kedua matanya.
Nero tersenyum kecil.
Niken sepertinya mulai berani bermain-main dengan api.
“Ehem ehem...”
Terdengar suara
dehaman. Baik Nero dan Niken mengadah cepat melihat Matt berdiri di pinggir
kolam dengan tangan menyilang di dadanya dan salah satu alisnya menaik penuh
pertanyaan.
“Ok. That‘s enough.”
Matt menggerakan salah
satu jarinya.
“Up. NOW.”
Nero meringis. Matt
akan menceramahinya sepanjang malam.
Luar biasa.
***The Flower
Boy Next Door***
Aduh, malunya!
Aku tak bisa berkata apa-apa begitu Matt memergoki kami berciuman di kolam,
dalam keadaan basah kuyup. Luar biasa. Aku menatap Nero yang meringis, lalu
akhirnya menghela napas dan mengajakku segera naik. Matt, kulihat, menggerling
ke arahku sedikit saat kami berdiri keluar. Jantungku berdebar-debar tak
karuan, takut dimarahi olehnya.
Tapi Matt
tersenyum padaku, menyapaku dengan ramah. “Selamat sore, Niken,” katanya.
Aku mengerjap
kebingungan. “Erm, selamat sore,” balasku kebingungan.
“Ini pertama
kalinya kita bertemu ya,” kata Matt. “Nero tampaknya lupa bahwa dia harus
memperkenalkanmu padaku. Tapi mungkin dia terlalu sibuk untuk melakukannya,” tambahnya
melirik Nero.
Aku melirik Nero
yang memutar bola mata di sebelahku.
“Aku Ayahnya
Nero. Namaku Matt,” Matt mengulurkan tangannya.
“Niken, Oom,”
kataku menjabat tangannya.
“Tsk tsk tsk,
bukan Oom tapi Dad oke?”
“Huh?” aku
mengerjap.
“Dad!” Nero mengerang jengkel, menatap Matt
dengan tak percaya. “Stop acting stupid.”
“Excuse me, Niken,” kata Matt
melepas jabatannya, tersenyum ramah padaku. Lalu beralih pada Nero, alisnya
menaik dan tangannya menjewer Nero.
Mataku membulat.
“Ow ow ow ow ow.” Nero meringis.
“I told you to introduce her to me,” kata Matt,
jengkel.
“I did,” balas Nero tak mau kalah. “Ow ow ow… hurts!”
Aku nyaris
terbahak-bahak melihat tingkah kedua orang ini. Kedua orang ini mirip. Pantas
saja disebut ayah dan anak.
Matt melepas
jewerannya pada Nero dan kembali menoleh padaku. “Niken, kau keberatan bila
makan malam dengan kami?”
“Erm, tidak.”
“Bagus. Kalau
begitu, sambil menunggu pakaianmu kering, bagaimana kalau aku membawamu ke
atas? Jennifer punya banyak pakaian yang bisa kau pilih untuk dipakai.” Matt
menggandeng tanganku lalu berbalik cepat pada Nero. “Dan kau, cepat ganti
bajumu sebelum aku menghukummu.”
Nero mengulurkan
lidahnya seperti anak kecil pada Matt lalu mengecup dahiku kemudian berlari
masuk ke dalam rumah dengan air menetes-netes dari seluruh pakaiannya.
“Anak itu,” Matt
mendesah geleng-geleng kepala. “Dia beruntung karena aku sangat mencintainya
sehingga tak tega menghukumnya.”
Aku tersenyum.
“Ya kan, Niken?”
tanyanya.
“Ya, Oom.”
“Dad,” Matt
memperbaiki.
“Er… Dad.” Mau
tak mau aku harus menurut.
Narsisme itu
ternyata menurun dan menular.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar