RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 09 Juni 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Dua)



Debaran Tiga Puluh Dua
Revange

Seminggu. Ya Tuhan. Aku nyaris gila selama seminggu ini. Tak ada kabar. Tak ada telepon. Tak ada surat. Tak ada email. Tak ada apapun.
Nero seakan menghilang ditelan Bumi.
Dan hal itu membuatku frustasi sehingga tak mampu menangis lagi karena air mataku sudah mengering. Kemana dia? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia akan kembali? Aku tak tahan lagi! Aku bisa mati karena rindu jika seperti ini terus. Apalagi… apalagi setelah semua hal yang kudengar. Aku yakin bahwa Nero tidak baik-baik saja.
Bagaimana dia melewati harinya di sana?
155. Zoe Michelle – 286
156. Nero K Yudea – 0
Tak henti-hentinya aku melihat papan pengumuman peringkat nilai. Karena Nero tak mengikuti ujian, maka nilainya berada di bawah Zoe, hal yang tak mungkin pernah terjadi. Devon dan Vion sudah mulai cemas karena mereka juga tak mendapat kabar. Zoe bilang kalau Nero ada di Jerman dan dia pasti akan baik-baik saja.
Jerman? Aku tak tahu kalau Nero adalah orang Jerman. Selama ini kami tak pernah membicarakannya, dan aku diliputi rasa bersalah dan sedih karena tidak mengetahui ini. Jika dia pulang, aku berjanji akan mencari tahu segala hal mengenai dirinya.
Tapi… bagaimana jika dia tak pulang?
Pertanyaan itu menyakiti jantungku sendiri, menusuknya dengan tajam tepat ke paru-paruku sehingga tak mampu membuatku bernapas beberapa saat.
Bel berdering keras sekali sehingga membuatku sadar dan berjalan dengan langkah terseret menuju kelas. Aku duduk dengan hati gelisah, melihat kursi Nero dengan nanar. Kapan dia akan kembali? Ini sudah seminggu. Apakah dia ingin tinggal di sana? Hidup tanpa Nero tidak sama lagi seperti hidupku yang biasa. Aku merindukannya.
“Selamat pagi,” suara Pak Alfon memenuhi kelas yang hening. Seperti biasa, dia membawa buku-buku tebal untuk mengajari kami mengenai topik pembelajaran baru. “Buka buku kalian. Apakah kalian sudah membaca bab hari ini? Jika belum maka—”
“Maaf, Pak saya terlambat.”
Pak Alfon menoleh, begitu pula dengan kami. Mataku nyaris menggelinding keluar dari mataku begitu melihat Nero berdiri di depan pintu. Dasinya diikat berantakan dan rambutnya juga begitu. Napasnya terengah-engah dan keringat tampak berkilat-kilat di dahinya. Untuk sejenak dia terbengong di depan pintu.
“Nero,” Pak Alfon menaikan alis. “Apa kau tahu jam berapa sekarang?”
“Erm,” Nero menggaruk-garuk kepalanya.
“Kenapa kau terlambat?” tanya Pak Alfon dengan nada tenang.
“Pesawat delay sekitar dua jam dan demi Tuhan, Pak, macet sekali di Jakarta.” Nero geleng-geleng kepala.
Pak Alfon menaikan alis dan beberapa anak tertawa kecil mendengar alasan Nero. “Baiklah. Kali ini aku akan membiarkanmu, tapi tak ada lain kali. Silakan duduk.”
Nero memberikan cengirannya yang khas lalu masuk dan duduk di sampingku. “Hai, Niken,” sapanya.
“Hai,” kataku parau. Ya Tuhan, seminggu tak melihatnya Nero tampak semakin tampan. Wajahnya bersinar, begitu pula dengan matanya, tampak lebih berkilauan dan coklat. Bibirnya juga lebih merah muda dengan senyum lebar yang tak henti-hentinya hilang dari wajahnya.
Ini aneh sekali. Bukankah dia baru kehilangan Jennifer? Kenapa wajahnya bisa tampak tenang begitu?
Pelajaran kembali dimulai. Aku semakin tidak fokus tiap kali melirik Nero. Nero masih diam saja, memberikan ekspresi tenang, santai, mendamaikan seperti… seperti saat pertama kali kami bertemu. Perkataan Devon teringat lagi. Bukankah Devon bilang telah terjadi perubahan sifat Nero dimulai dari pertama mereka bertemu sampai saat terakhir kali itu? Apakah ini yang dimaksud Devon? Karena selama ini aku berada di samping Nero, aku sama sekali tak pernah menyadari hal itu karena selama ini sifat Nero terjadi secara natural, berjalan begitu saja.
Tapi sekarang aku menyadari bahwa yang dikatakan Devon memang benar.
Ada yang sangat berbeda.
Aku menggigit bibir bawahku dengan cemas, menunggu jam dinding berjalan cepat tapi tak juga berjalan. Beginilah waktu berjalan. Bila kau menunggu sesuatu tiba lebih awal, maka dia akan berjalan lambat, tapi jika tidak menunggu sesuatu berjalan cepat, maka dia akan berjalan lebih cepat dari kedipan mata.
Sangat… sangat… menyebalkan…
“Niken, ada apa denganmu?” kata Nero tiba-tiba.
“Huh?” aku mengerjap kebingungan.
“Bel sudah berdering dari tadi. Apa kau sakit? Tak enak badan?”
Kutatap dia yang balas menatapku dengan kebingungan. Aku tak bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya, sama seperti saat aku mencoba mengerti apa yang dipikirkan Zoe.
“Aku baik-baik saja,” kataku cepat. “Sebenarnya yang aku—”
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku gerombolan teman-temannya Nero datang, mengerubuninya seperti semut yang mendapat gula dan bertanya mengenai apa yang terjadi.
“Nero, kami dengar apa yang terjadi. Bagaimana kejadiannya?”
“Nero, kami turut berdukacita ya?”
“Ya ampun, kami rindu sekali padamu. Pak Aflon bilang kau pergi ke Jerman.”
“Serius? Jerman?”
Nero terkekeh kecil. “Tenang saja. Semua tak seburuk dugaan kalian. Aku baik-baik saja kok. Dan ya, aku memang ke Jerman.”
Mereka mengobrol dan mengobrol lagi. Nero seakan melupakanku yang duduk di sampingnya. Dan aku juga merasa bahwa ada sesuatu yang salah pada Nero walau aku tak tahu apa. Dia tampak santai, menanggapi seluruh pertanyaan dan membuat lelucon mengenai perjalanannya di Jerman sana walau mereka mengungkit-ungkit soal Jennifer.
***The Flower Boy Next Door***
Devon langsung memeluk Nero erat-erat begitu melihat Nero. Saat mendengar kabar bahwa Nero sudah kembali, hal itu membuatnya senang.
“Can’t breath… can’t breath…” kata Nero menepuk-nepuk punggungnya.
“Ups. Sorry, Man. I really missed you,” kata Devon, lalu mengacak-acak rambutnya.
“Devon! Shit!” Nero menyingkirkan tangan Devon dengan sebal. “I’m not a kid!”
“You are.”
“Fine, Mother,” gumam Nero memutar bola matanya. Lalu Nero beralih pada Vion, memeluknya dengan erat, begitu pula dengan Zoe.
“Apa kau tak apa-apa?” kata Zoe menaikan alis.
“Aku baik-baik saja.” Nero menghela napas lega. “Sori, Devon, aku tak ada di upacara pelantikanmu menjadi Ketua Osis.”
Devon memutar bola matanya. “Itu bukan acara yang penting. Aku heran kenapa Alfon malah memilihku menjadi Ketua Osis, dan bukannya Zoe.”
“Aku tak berniat jadi Ketua Osis.” Zoe membalas dari belakang Vion.
“Apa-apaan nih?” Nero ternganga melihat hasil ujian papan pengumuman. “Sejak kapan Zoe bisa lebih pintar daripadaku?” Dia menatap Zoe, “Aku pasti bermimpi.”
Vion terkekeh kecil. “Hadapi kenyataan, Nero. Aku juga harus menghadapi kenyataan bahwa minggu depan aku akan Ujian Nasional.”
“Oh, ya, kau ingin bersama kami setahun lagi?” tanya Nero.
“Dan jadi seangkatan denganmu? Jangan harap aku mau.” Vion membalas.
Nero tertawa saat terdengar jeritan nyaring dari arah koridor. Mereka mengerutkan dahi keheranan.
“Apa itu?” kata Vion.
Zoe menerobos Vion dan melangkah lebih dahulu. Devon mengekor di belakang. Vion yang sempat ragu, juga ikut melangkah, menarik Nero ke sisinya. Sekarang murid-murid yang mendengar jeritan itu juga berlarian datang. Bahkan Pak Alfon juga muncul.
“Ada apa?” kata Devon. “Minggir. Aku Ketua Osis!”
Wow. Untuk pertama kalinya Devon bangga menyebut dirinya Ketua Osis. Murid-murid segera memberikan ruang bagi Devon untuk lewat. Niken muncul tak lama kemudian. Gadis itu menutup tangannya ke mulut, kaget dengan pemandangan di depannya.
Lisa tampak berlumuran tepung dan cat merah yang masih menetes-netes keluar dari pintu koridornya yang mengayun-ayun terbuka. Ada seekor kucing hitam mati dengan isi perut yang menyembur keluar. Bukan. Itu bukan cat merah. Tapi darah asli.
“Astaga…” bisik Devon.
Lisa terisak-isak, berusaha menyingkirkan cat dan tepung yang mengotori bajunya, lalu kemudian menangis semakin parah karena dari kulitnya sekarang muncul bentol-bentol merah.
“Lisa, kau tak apa-apa?” kata Niken.
“Gatal. Gatal banget!” Lisa menggaruk-garuk tangan, wajah, kaki dan sekujur tubuhnya.
“Niken, jangan sentuh dia!” Zoe memperingatkan Niken yang hendak membantu Lisa. “Itu bubuk gatal. Kau juga akan kena.”
Mendengar ini sekarang anak-anak yang mengerumuni Lisa mundur beberapa langkah, takut terkena bubuk gatal.
“Siapa yang melakukan hal ini?” Alfon melangkah maju, membantu Lisa berdiri. “Cepat mengaku sebelum aku melakukan penyelidikan.”
Tidak ada yang menjawab.
“Kenapa tanya pada kami, Pak?” Nero tiba-tiba berbicara. “Mungkin saja Tuhan cuma menghukum Lisa yang pernah melakukan tindakan serupa. Bukankah begitu?”
Pak Alfon menatapnya beberapa detik. “Apa maksudmu, Nero?”
“Kenapa tak tanya dia?” Nero melipat tangannya, menggerling Lisa yang tertunduk malu. “Atau mungkin pada teman-teman dekatnya yang lain. Mereka pasti tahu apa yang terjadi, Pak. Tapi mungkin mereka tak akan memberitahu apa-apa, soalnya mereka kan pengecut.”
Rahang Alfon mengeras. “Jika aku berhasil menemukan pelakunya, akan kupastikan dia keluar dari sekolah ini.”
“Coba saja. Kelihatannya menarik,” tantang Nero.
Tak bisa membalas Nero, Alfon menarik Lisa untuk segera ke UKS, menyisakan gumaman-gumaman seru dan ingin tahu. Saat mereka berdua menghilang, para cewek bergosip.
“Seram banget.”
“Siapa ya pelakunya?”
Nero berdeham. “Kalian tahu nggak istilah ‘mata dibayar mata, gigi dibalas gigi’?” Mereka terdiam sejenak, menatap Nero dengan ingin tahu. “Aku mengadopsi istilah itu, jadi berhati-hatilah jika main-main denganku.”
Mereka memucat lalu cepat-cepat bubar.
Niken mendatanginya. “Apa maksud kata-katamu barusan? Apa kau yang melakukan ini padanya?”
Nero menaikan alis. “Kau menuduhku? Jadi kau pernah mengalami hal seperti ini ya?”
Niken menelan ludah. “Tidak… sebenarnya…”
“Hmmm? Apa?” Nero menunduk. “Kenapa suaramu makin lama makin mengecil sih?”
Niken memelototinya. “Aku membencimu!” lalu sambil mendengus, Niken berbalik.
Nero hanya mampu tertawa melihat punggung Niken yang menjauh.
“Pembalasan memang terasa paling manis jika sudah mengalami kekalahan.” Nero menghela napas. “Dan yang tertawa paling akhir adalah pemenangnya.”
Devon menepuk bahunya, menatapnya. “Apa kau tahu ada kamera pengawas di sini?”
“Kamera pengawas apa?” Nero mendengus. “Jika ada kamera pengawas, maka sejak Niken mengalami pelecehan, pihak sekolah akan tahu. Kenapa kau jadi bodoh begini?”
Devon dan Zoe mengerjap. Mereka sama sekali tak menyadari hal ini.
“Vion membodohi kalian ya? Kasihan.”
Nero geleng-geleng kepala dan melangkah pergi meninggalkan mereka.
“Aku bersumpah aku tak akan mau jadi musuhnya,” gumam Vion sungguh-sungguh.
***The Flower Boy Next Door***
Aku melipat tangan dengan jengkel memelototi Nero yang berdiri di depan jendelaku—lebih tepatnya di balik jendelanya.
Nero tersenyum kecil. Salah satu alisnya menaik geli.
“Ada apa Niken? Kenapa kau memelototiku seperti itu?”
“Aku tak melotot”.
“Kau melotot.”
“Aku tak melotot!”
Nero memutar bola matanya. “Terserah,” gumamnya. “Aku akan turun ke bawah. Aku tak mau dipelototi pacar sendiri.”
Aku menganga melihat Nero berlalu begitu saja. Sialan. Aku tak tahu mengapa tapi aku marah padanya. Nero pasti tahu sesuatu mengenai Lisa. Tapi kenapa dia tak menceritakannya padaku? Kenapa dia melakukannya? Apakah Lisa yang melakukan semua hal itu padaku? Bagaimana jika bukan? Itu berarti mereka salah target kan? Tapi bila iya?
Uh. Pikiran itu membuatku ngeri.
Kulihat lagi jendela Nero. Kamarnya kosong. Tak ada suara Ageha. Kemana Ageha?
Penasaran dengan apa yang terjadi aku turun dari kamarku dan turun. Keluar dari rumahku menuju rumah Nero.
Nero ada di kolam saat aku datang. Dia duduk dengan posisi yang sama saat terakhir kali aku memeluknya kemarin. Ada aura kesepian yang sama seperti sebelumnya. Kenapa dia tak menunjukan ekspresi itu saat bersamaku?
Pelan-pelan aku melangkah melewati ubin-ubin halaman. Tidak membuat suara saat mendekati Nero dari belakang. Kemudian aku menunduk dan meniup telinganya.
Nero tersentak kaget memegang telinganya dan sebelum dia berbalik aku mendorongnya sampai jatuh ke dalam kolam. Aku segera terbahak-bahak melihat kepala Nero muncul dari permukaan.
“Niken!” Dia menggerutu jengkel. Rambut coklatnya basah dan menempel di sekitar wajahnya. “Apa-apan sih?”
“Siapa suruh kau bengong?” kataku tersenyum culas.
Dia merengut. Aaw manisnya.
“Jangan ngambek. Sini kubantu naik.” Kuulurkan tanganku padanya.
Kesalahan besar. Mendapat kesempatan untuk membalas Nero segera menghentakan tanganku dan aku segera menyusul masuk ke kolam.
Nero terbahak-bahak.
“Nero, bajuku basah!” kataku jengkel.
“Emang enak?” balasnya lagi. “Makanya jangan coba-coba bermain api jika tak mampu memadamkannya.”
“Sok pintar,” balasku lagi. Dan Nero mendekat memeluk pinggangku. Jantungku mulai berdetak tak beres. Wajah Nero yang basah oleh air tampak lebih berkilauan berkat pantulan dari air kolam.
“A-a-apa?” Sialan. Kenapa aku selalu gugup jika dia bertingkah romantis begini.
“Tidak apa-apa. Hanya ingin memelukmu.”
Aku menatap wajahnya yang mendekat dan dengan cepat aku menunduk sehingga dia malah mencium dahiku.
Nero terkekeh kecil. “Aku ingin mencium bibirmu katanya parau ke telingaku.”
“Kau punya perjanjian dengan Abangku.”
Nero menaikan alis. “Dia kan tak ada di sini.”
Mataku menyipit. “Nero...”
“Tarik napas.”
“Huh?”
“Aku bilang tarik napas.”
Kebingungan. Aku menarik napas panjang dan Nero segera menarikku masuk ke dalam air.
Nero tersenyum di dalam air. Gelembung udara keluar dari sela-sela bibirnya tepat saat dia memegang kepalaku dan menciumku dalam air.
Dingin... tawar... tapi lembut... dan terlalu singkat.
Nero tertawa begitu dia melepas ciumannya.
Kepala kami kembali muncul ke permukaan. Aku bisa mendengar suara tawa Nero di telingaku yang sedikit berdengung.
“Rasanya enak kan Niken?” godanya sambil mengedip jenaka.
Wajahku memanas tapi aku berhasil menjaga ekspresi dengan baik. “Hmph, menurutku biasa saja.”
“Masa?”
“Kau bisa lebih baik dari itu.”
            Oow. Jawaban yang sangat salah.
“Kau menantangku?” kata Nero mendorongku ke tepi kolam sampai punggungku mengenai dinding kolam.
Aku menelan ludah dan menutup mata saat Nero mendekat. Aku bisa merasakan setiap hembusan napasnya yang menyapu wajahku. Tapi cuma sampai situ.
Kenapa tak terjadi apapun?
Aku membuka mataku sedikit demi sedikit.
“Jadi, kau menunggu ciuman dariku ya?” Nero tersenyum jahil dan aku merasa bahwa aku dikalahkan lagi olehnya.
“Enak sa—hmmph”
Nero kembali menciumku. Bibirnya menekan bibirku dengan lembut. Bergerak cepat sementara lidahnya menyusup masuk ke mulutku saat tadi aku lengah membuka mulut. Menelusuri mulutku. Dan aku merasakan panas yang mulai muncul dalam tubuhku. Padahal kami ada di kolam renang.
Aku ragu-ragu tapi tubuhku bergerak sendiri. Awalnya kedua tanganku menyentuh dinding lalu perlahan naik ke dada Nero. Denyut jantungnya terasa di balik telapak tanganku. Cepat sekali. Ada aliran kebahagiaan yang membanjiriku begitu mengetahui bahwa karena akulah maka jantungnya begini.
“Bagaimana?” Nero terengah menatapku yang hanya beberapa senti dari wajahnya. “Lebih baik?”
Kepalaku sedikit pening melihat wajah tampannya tampak seperti seorang dewa tersenyum seperti malaikat dan tingkah romantisnya yang seperti pangeran. Aku tak berpikir realistis saat berkata “Lagi.“
“Kau yakin?” katanya parau mendekat beberapa senti.
Aku mengangkat wajahku siap menerima ciumannya lagi.
“Ya Tuhan...” gumam Nero dan kembali menciumku.
***The Flower Boy Next Door***
Apakah dia tahu apa yang dia pinta? Nero tak ingin terlalu rakus. Tapi begitu melihat wajah Niken yang merona. Basah oleh air kolam. Tampak bersinar karena cahaya matahari. Nero tahu bahwa dia kalah.
Tak pernah sekalipun dia menang melawan Niken.
Ok. Beberapa kali dia pernah menang. Tapi tak sesering itu.
Dan kini di tengah kolam renang dengan bibir mereka bersentuhan sementara tubuh mereka basah menempel di dalam air membagi hangat tubuh masing-masing Nero merasa sedang diuji kewarasannya.
Demi Tuhan dia nyaris kehilangan kendali dan Niken malah memperparah segalanya dengan memeluk lehernya menciumnya semakin dalam sambil mengeluarkan suara dari dasar tenggorokannya yang menyatakan bahwa Niken menikmati ciumannya.
Seseorang harus bersikap waras saat itu. Tapi jelas bukan mereka berdua.
Kedua tangan Nero mencengkram tepi kolam di antara tubuh Niken saat dia akhrinya mampu menarik wajahnya sedikit hanya untuk bernapas.
“Sial,” gumam Nero meletakan dahinya ke dahi Niken. Jangan memasang tampang seperti itu.
“Tampang seperti apa?” Niken mengerjap kebingungan.
Nero menarik napas. Berusaha memenuhi paru-parunya agar tetap tenang.
“Nero?” Suara Niken begitu dekat dengan telinganya. Nero merasakan bibir Niken menyapu pipinya menciumnya dengan lembut. Lalu mencium ujung hidungnya. Kemudian kedua matanya.
Nero tersenyum kecil. Niken sepertinya mulai berani bermain-main dengan api.
“Ehem ehem...”
Terdengar suara dehaman. Baik Nero dan Niken mengadah cepat melihat Matt berdiri di pinggir kolam dengan tangan menyilang di dadanya dan salah satu alisnya menaik penuh pertanyaan.
Ok. That‘s enough.”
Matt menggerakan salah satu jarinya.
“Up. NOW.”
Nero meringis. Matt akan menceramahinya sepanjang malam.
Luar biasa.
***The Flower Boy Next Door***
Aduh, malunya! Aku tak bisa berkata apa-apa begitu Matt memergoki kami berciuman di kolam, dalam keadaan basah kuyup. Luar biasa. Aku menatap Nero yang meringis, lalu akhirnya menghela napas dan mengajakku segera naik. Matt, kulihat, menggerling ke arahku sedikit saat kami berdiri keluar. Jantungku berdebar-debar tak karuan, takut dimarahi olehnya.
Tapi Matt tersenyum padaku, menyapaku dengan ramah. “Selamat sore, Niken,” katanya.
Aku mengerjap kebingungan. “Erm, selamat sore,” balasku kebingungan.
“Ini pertama kalinya kita bertemu ya,” kata Matt. “Nero tampaknya lupa bahwa dia harus memperkenalkanmu padaku. Tapi mungkin dia terlalu sibuk untuk melakukannya,” tambahnya melirik Nero.
Aku melirik Nero yang memutar bola mata di sebelahku.
“Aku Ayahnya Nero. Namaku Matt,” Matt mengulurkan tangannya.
“Niken, Oom,” kataku menjabat tangannya.
“Tsk tsk tsk, bukan Oom tapi Dad oke?”
“Huh?” aku mengerjap.
“Dad!” Nero mengerang jengkel, menatap Matt dengan tak percaya. “Stop acting stupid.”
“Excuse me, Niken,” kata Matt melepas jabatannya, tersenyum ramah padaku. Lalu beralih pada Nero, alisnya menaik dan tangannya menjewer Nero.
Mataku membulat.
“Ow ow ow ow ow.” Nero meringis.
“I told you to introduce her to me,” kata Matt, jengkel.
“I did,” balas Nero tak mau kalah. “Ow ow ow… hurts!”
Aku nyaris terbahak-bahak melihat tingkah kedua orang ini. Kedua orang ini mirip. Pantas saja disebut ayah dan anak.
Matt melepas jewerannya pada Nero dan kembali menoleh padaku. “Niken, kau keberatan bila makan malam dengan kami?”
“Erm, tidak.”
“Bagus. Kalau begitu, sambil menunggu pakaianmu kering, bagaimana kalau aku membawamu ke atas? Jennifer punya banyak pakaian yang bisa kau pilih untuk dipakai.” Matt menggandeng tanganku lalu berbalik cepat pada Nero. “Dan kau, cepat ganti bajumu sebelum aku menghukummu.”
Nero mengulurkan lidahnya seperti anak kecil pada Matt lalu mengecup dahiku kemudian berlari masuk ke dalam rumah dengan air menetes-netes dari seluruh pakaiannya.
“Anak itu,” Matt mendesah geleng-geleng kepala. “Dia beruntung karena aku sangat mencintainya sehingga tak tega menghukumnya.”
Aku tersenyum.
“Ya kan, Niken?” tanyanya.
“Ya, Oom.”
“Dad,” Matt memperbaiki.
“Er… Dad.” Mau tak mau aku harus menurut.
Narsisme itu ternyata menurun dan menular.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.