Debaran Tiga Puluh Tiga
I Care
Ketika aku
selesai berganti pakaian Matt mengajakku minum teh berdua. Tanpa Nero. Aku
menduga kami akan membicarakan masalah serius.
Jika ini masalah
ciuman yang tadi matilah aku! Aku kan tak tahu bagaimana menghadapi Matt. Kami
belum pernah bicara sekalipun. Sudah pasti aku akan mati konyol nanti.
“Silakan, Niken.”
Matt tersenyum
ramah padaku menggeser cangkir porselain berkilat yang cantik ke arahku.
“Terimakasih, er,
Dad,” kataku kesulitan memanggilnya sebagai “Dad”.
Bibir Matt
tersenyum lagi, kali ini lebih menarik melengkung indah dengan sempurna
mempertampan wajahnya. Uh. Entah kenapa aku bisa melihat Nero dalam setiap sisi
wajahnya. Mata coklat terangnya sama seperti Nero, begitu pula warna kulitnya
yang pucat, atau bibirnya, senyumannya, bahkan suaranya sama persis, hanya saja
lebih berat dan dalam. Rasanya aku tahu seperti apa tampang Nero nanti sepuluh
tahun yang akan datang. Seperti Matt.
“Nero pasti
sudah melumuri kepalamu dengan tingkahnya. Aku sepertinya kurang
mendisiplinkannya. Mulai hari ini aku akan mengawasi seluruh tingkahnya. Siapa
yang tahu dia akan berubah sebuas apa jika tak diajari.”
Matt membuka
pembicaraan yang berhasil membuat wajahku memerah seperti kepiting rebus.
Suaraku tercekat karena tak mampu merespon, jadi aku diam saja.
“Jadi sudah
berapa lama hubungan kalian?” Matt bertanya menatapku dalam-dalam.
“Sekitar satu bulan,”
jawabku.
Matt mengangguk
kalem. “Hmm, masih muda sekali. Apa kau sangat menyukai Nero Niken?”
Wajahku merah
padam lagi. Seseorang tolong aku. Kenapa aku terjebak dalam pojok introgasi
Matt? Seakan-seakan aku sedang berusaha menyenangkan calon mertua. Calon
mertua? Aku ini mikir apaan sih?
“Sangat,”
gumamku.
“Nero juga
sangat menyukaimu, aku bisa melihat dari cara Nero memandangmu. Dia tampak
lebih hidup saat berada di sampingmu.”
Apakah itu
pujian? Perkataannya membuat hatiku menghangat dan aku jauh lebih percaya diri.
Matt menyesap tehnya sehingga aku memutuskan untuk melakukan tindakan yang
sama.
Teh buatan Matt
hangat manis dan menenangkan seperti orangnya. Matt punya rasa yang berbeda.
Aku jadi penasaran dengan teh buatan Nero.
“Dad, mengenai
Tante Jennifer, aku sangat menyesal,” kataku tiba-tiba.
Matt menegang di
tempatnya dan aku langsung menyesal mengatakannya. Dia pasti mengingat
masa-masa sulit itu. Dalam beberapa detik Matt terdiam. Pandangan matanya
meredup, memandang kosong ke pemandangan kolam renang yang cantik. Lalu dia
menghela napas.
“Terimakasih,
Niken.” Ucapnya pelan-pelan. “Aku juga sangat menyesal. Jennifer juga akan
merasakan hal yang sama.”
Dahiku mengerut
tapi tak berani bertanya. Takut menyinggung Matt lagi.
“Kepergian
Jennifer seperti pukulan telak bagi Nero karena Jennifer tak sempat memberikan
ucapan selamat tinggal pada Nero. Hal yang juga terjadi pada Theressa.”
Aku menduga
bahwa Theressa adalah Ibu Kandung Nero. Lagi-lagi aku sadar kalau aku tak tahu
apa-apa mengenai Nero.
“Niken sejauh
apa kau tahu tentang Nero?” Matt menoleh padaku.
Pertanyaan itu
menohokku seketika menancap ke jantungku. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab. Aku
tak tahu apapun soal Nero. Dan aku berani bilang bahwa aku pacarnya? Tak bisa
dipercaya.
“Jangan khawatir,
Niken. Nero akan mengatakan semuanya padamu suatu hari nanti. Beri dia waktu.”
Matt berkata lembut.
“Tapi kapan?”
Suaraku serak nyaris menangis. Sepertinya Nero belum percaya padaku. Apa aku
masih bisa percaya diri berada di samping Nero?
Matt menggenggam
tanganku, tersenyum menenangkan. “Dengar Niken Ageha sudah tak ada di sini. Dia
sudah ikut Ayah Kandungnya ke Chicago.”
Apa?
“Nero sedang
membentengi dirinya. Memperbaiki hatinya. Mencoba untuk membahagiakan dirinya.
Dan salah satu kebahagiaannya itu adalah kau.” Matt meremas tanganku
menghangatkanku. “Kau hanya perlu bersabar sedikit. Aku yakin dia akan
memberitahu segala hal padamu. Kau satu-satunya orang yang berhasil masuk ke
dalam kehidupannya, membuatnya tersenyum, membuatnya lebih hidup, membuatnya
lupa masa lalunya. Percaya dirilah Niken.”
Kepalaku
mengangguk. Matt benar-benar baik hingga mau menjelaskan hal ini padaku.
Matt tersenyum
lagi, mengecup dahiku. “Kau suka makan apa? Akan kuminta pelayan memasak makanan
kesukaanmu.”
“Apa saja boleh.”
“Baiklah.” Matt
melirik jam tangannya. “Aduh!” Dia menepuk dahinya. “Aku lupa harus menelepon
asistenku. Niken maaf kau harus kutinggal. Ada sedikit urusan.”
Sebelum aku
mengucapkan apapun Matt sudah melangkah masuk ke dalam rumah. Matt memang
seorang Ayah yang baik. Nero beruntung mendapat Ayah yang luar biasa seperti
Matt. Cara pria itu berbicara dan berinteraksi benar-benar penuh pengertian dan
menebarkan aura penuh cinta kemanapun dia berada.
Aku menghabiskan
tehku kemudian melangkah masuk. Naik ke kamar Nero. Tapi Nero sama sekali tak
ada di sana. Penasaran kemana dia pergi, aku memilih untuk berkeliaran di
rumahnya, membuka pintu dengan hati-hati, mengintip perlahan. Aku berhasil
menemukan sebuah perpustakaan besar penuh buku. Ruang tamu yang mewah dan
eksklusif. Ruang kerja Matt yang kututup dengan sangat hati-hati saat Matt
menelepon seseorang. Kamar tidur Matt berkat foto pernikahan yang tergantung di
dinding. Lalu kamar Ageha.
Aku menemukan
Nero di sana. Dia tidur di lantai kayu, memeluk sebuah boneka panda berukuran
satu meter. Di sekelilingnya masih betebaran mainan Ageha: mobil-mobilan,
orang-orangan, Barbie, boneka-boneka empuk yang lucu, dan beberapa buku cerita.
Dindingnya diwarnai biru dengan lukisan pooh dan disney land. Sebuah tempat
tidur mungil di tempel di dinding. Jendela kecil putih tampak cantik dengan
gorden biru yang menawan.
Aku melangkah
mendekati Nero dan duduk di sampingnya. Wajah Nero begitu damai dalam tidurnya.
Rambut coklatnya jatuh ke pelupuk matanya. Baru aku sadar ada lingkaran hitam
di bawah matanya.
Nero pastilah
tak bisa tidur sejak kematian Jennifer, ditambah lagi Ageha pergi dari sisinya.
Kuusap kepalanya
dengan lembut, merasakan helaian rambutnya yang halus. Nero memperelat pelukannya
pada si panda dan sebutir air mata mengalir turun dari matanya.
Tanganku
berhenti dan mataku berkaca-kaca. Nero sedang sedih. Aku bisa merasakannya. Dan
aku memutuskan akan tetap ada di sampingnya sampai Nero mau menceritakan isi
hatinya padaku walau hal itu sangat berat. Karena aku tahu Nero juga butuh
waktu untuk memperbaiki luka hatinya.
“I love you,” bisikku mengecup dahi Nero. “And I am and always be here for you. I
promise.”
***The Flower
Boy Next Door***
Ketika Nero
lahir Matt ingat dengan pasti bahwa itu adalah saat paling menakutkan,
mencemaskan sekaligus membahagiakan. Dia takut dia belum siap menjadi seorang
ayah pada usia 23 tahun. Apakah dia sudah cukup dewasa untuk mengajar
membimbing dan membesarkan seorang anak dengan penuh cinta? Apakah dia bisa
memberi contoh yang baik? Apakah dia bisa jadi teladan?
Lalu dia cemas
setengah mati melihat bagaimana Theressa mencoba melahirkan anaknya. Berjuang
sekuat tenaga dalam setiap kontraksi untuk mendorongnya keluar. Kerasnya
genggaman Theressa saat dia berusaha menguatkan isterinya yang kesakitan untuk
bertahan. Mengucapkan kata-kata penghiburan bahwa dia ada di sini untuknya.
Dan kebahagiaan
mengalirinya, menyegarkan jiwanya, meniup seluruh rasa cemasnya, ketika
mendengar tangisan pertama dari anaknya. Saat si dokter memberikan seorang bayi
kecil rapuh dan menggemaskan ke pelukannya, mengatakan bahwa anaknya laki-laki
dan lahir dengan sehat, Matt terhipnotis dengan sosok kecil malaikatnya.
Matt tak pernah
lupa saat Nero pertama kali ada dalam gendongannya, menggeliat mencoba, membuka
matanya, sementara bibir kecilnya terbuka menangis kencang, namun segera
terdiam begitu Matt memeluknya. Betapa dia terharu melihat Nero bergerak,
memegang telunjuknya dalam genggamannya yang kecil namun kuat dan tertidur
dalam gendongannya.
Dalam hati Matt
bersumpah akan memberikan apapun yang dia bisa untuknya.
Memiliki Nero
adalah anugerah paling indah dan hadiah luar biasa untuknya. Saat Nero
memanggil “Dadda“ padanya untuk pertama kali ketika masih berusia enam bulan,
Matt menangis kegirangan memeluk Nero menciumnya sampai membuatnya menangis.
Saat Matt mengganti popok Nero untuk pertama kali karena Theressa demam dan tak
mungkin dekat-dekat Nero, Matt nyaris frustasi karena tak bisa membedakan mana
popok bagian depan ataupun belakang. Apalagi saat Nero menendang-nendang ke
arahnya dengan sepenuh hati membuat usahanya semakin sulit terlaksana. Theressa
menertawakannya sebagai Daddy amatiran, yang membuat Matt belajar ke tempat
pengasuhan bayi, hanya untuk tahu cara merawat bayi dengan benar.
Saat Nero
belajar merangkak, lalu berdiri, kemudian berjalan ke arahnya dengan langkah
goyang kedua kakinya yang mungil, Matt ingat dia cemas tiap kali Nero
melakukannya. Atau saat lukisan pertama Nero yang diminta oleh guru palygroupnya ternyata adalah gambar
dirinya dan Theressa sebagai superheronya, mata Matt berkaca-kaca. Atau saat
pertemuan orang tua, Nero membuatnya terharu dengan memainkan simfoni karya
Mozart, padahal usianya baru enam tahun. Atau mungkin saat Nero membacakan “sosok
paling kau idolakan” di depan sekolah, dengan lantang Nero mengatakan bahwa
sosok itu adalah Matt. Matt berlari dari kursi penonton, naik ke podium, hanya
untuk memeluknya. Atau saat Nero membuatnya bangga dengan seluruh prestasi yang
tak pernah dipaksakan Matt, yang diberikan Nero padanya, sebagai bentuk
apresiasi rasa sayang Nero padanya.
Nero adalah
hartanya.
Dan saat ini dia
sedang rapuh.
Matt membuka
mata perlahan. Kamarnya masih gelap gulita. Jam dinding bertik-tok perlahan.
Tapi dia merasakan tangannya kebas karena tak bergerak dan tertahan oleh
sesuatu.
Kepala Matt
menoleh ke kiri dan mendapati Nero tidur di sampingnya. Kepalanya ada di atas
lengan Matt. Tubuhnya meringkuk seperti anak kecil berusia tiga tahun yang
kesepian seperti saat-saat ketika Nero melompat ke kamarnya tiap kali ada badai
muncul atau tiap kali mati listrik.
Matt tersenyum
kecil. Nero pastilah menyelinap masuk ke kamarnya entah jam berapa lalu tidur
di sampingnya. Dia bergeser sedikit, mendekati Nero agar bisa menyelimuti
tubuhnya dengan selimut.
Nero bergerak
tak nyaman tapi pada akhirnya semakin mendekat pada Matt, lalu tidur kembali
dengan pulas.
Syukurlah. Sudah
beberapa hari ini Nero tak bisa tidur. Sejak kematian Jennifer, Nero masih
kehilangan dan terlalu sedih untuk tidur. Matt pernah memergokinya tidur di
sofa dalam posisi terduduk karena kelelahan, akhirnya berkat Niken sekarang
Nero bisa tidur dengan pulas.
“Sleep well, Son.”
Matt mencium
dahi Nero dan menutup mata kembali tidur
***The Flower
Boy Next Door***
“Riboon!”
Devon melihat
Nero melompat lebih tinggi dari siapapun menangkap bola basket dan melemparnya
dalam hitungan sepersekian detik ke arah keranjang di seberang.
Bola basket
melayang dan masuk tepat ke tengah keranjang.
“Yes!” Nero
berteriak dan para pendukungnya melonjak kegirangan.
“Anak itu luar
biasa!” Garry tampak begitu terkesan. Peluit siap di tangannya untuk menghitung
saat-saat terakhir permainan.
Hari ini jam
olahraga, Garry sekali lagi mengadu tiap kelas. Kali ini kelas 2-1 dan 2-2
menjadi lawan akhir. Nero versus Zoe. Sayang, Devon tak terlalu handal main
basket jadi kelas mereka tertinggal jauh di permainan pertama minggu lalu dari
kelasnya Bram.
Zoe mengapit
Nero, menjaganya dengan sekuat tenaga. Tapi Nero dengan sigap berlari ke arah
berlawanan dari bola yang melayang melewati kepalanya. Bola itu ditangkap oleh
lawan dengan mudah.
“Sudah berapa
lama?” Niken bertanya di samping Devon.
“Tiga puluh
menit. Nero janji akan berhenti sebentar lagi.”
Benar. Nero bisa
dehidrasi jika memaksakan diri untuk tetap bermain. Lalu itu dia peluit
pergantian pemain. Nero melambai, berlari mendekat untuk diganti dengan pemain
lain.
“That‘s awesome, Man,” kata Devon.
“Thanks,” kata Nero terengah. “Niken, minum?”
Niken cemberut
tapi pada akhirnya memberikan botol minumannya pada Nero. Devon mengerutkan
dahi melihat Nero. Nero tampak lebih baik daripada kemarin. Wajahnya lebih
segar dan auranya lebih kelihatan. Hanya saja Devon kembali merasakan ada hal
yang mengganggunya mengenai Nero. Seperti saat pertama kali mereka bertemu.
Senyuman Nero,
walau berusaha seceria mungkin, tetap saja aneh, meski harus diakui Devon hanya
saat bersama Niken Nero bisa tersenyum santai.
“Jangan coba-coba main lagi kalau kau tak mau
pingsan lagi seperti kemarin,” kata Devon.
“Ok, Mother,” kata Nero, menyeka air dari
mulutnya yang membasahi bajunya ketika dia minum dengan terburu-buru. “Walau
itu berarti aku harus mengalah dan memberi kemenangan pada Zoe.”
“Biarkan dia
menang sesekali,” Devon nyengir.
“Hei, dia sudah
mengambil posisiku tahu. Dia ada di atas peringkatku minggu ini.” Nero membela
diri, membuat Niken hanya geleng-geleng kepala. “Geser sedikit,” Nero
mendorongku sedikit agar bisa duduk di sebelah Niken, memberikan pandangan
penuh cinta padanya.
Devon mengerang
jengkel. “Hentikan itu.”
“Hentikan apa?”
Nero menoleh pelan-pelan padanya, menyinggungkan senyuman polos.
“Bersikap
seperti dunia milik kalian berdua.”
“Dunia memang
milik kami berdua,” kata Nero bangga.
“Screw you,” gerutu Devon.
Nero menjulurkan
lidahnya seperti anak kecil dan kembali mengalihkan pandangannya pada Niken,
tidak memedulikannya. Well, setidaknya Nero akan baik-baik saja bersama Niken.
Dengan dia sebagai Ketua Osis, tentu saja tak ada yang berani macam-macam pada
Nero dan Niken. Devon sudah memperingatkan seluruh anggota Osis dan para siswa
yang berniat melakukan tindakan pelecehan di pidato pengangkatannya kemarin.
Pertaturannya jelas, walau itu juga membuat Alfon dan Julian sedikit terkesan
padanya. Devon tak peduli.
Jangan sentuh
temanku atau aku akan membunuh kalian.
Ponsel Devon
berdering, tak ada nama yang muncul di layar monitornya yang dipastikan ada
seseorang yang jauh di luar sana menghubunginya. Dengan malas Devon mengangkat
panggilan itu, mengangkat ponselnya ke telinganya.
“Hello?”
“Devy, pick me up.” Suara merdu,
jernih dan kekakanak-kanakan terdengar di seberang sana. Kepala Devon langsung
membayangkan satu sosok yang membuat bulu kuduknya merinding dalam sekejap.
“Excuse me, Nightmare. Do I know you?”
Orang itu
tertawa. “Of course you know. I am your
beloved soulmate, your other half and the most person you cherish all of you
life.”
“Eat my shit. Since when you’ve been my beloved? The
sky may be sink when it come.”
Suara tawa lagi.
“I don’t care. Just pick me up. Please?
For everything we did in the past? When we eat, play, sleep, hanging around,
even taking a bath together?”
“I hate you,” Devon merasa kalau darahnya
sekarang mengalir ke kepalanya. “Just
call taxi and leave me alone.”
“Don’t wanna. You’re my half. Do you forget me?”
“I want to forget you,” gerutu Devon. “Anyway, where did you get my number?”
“From my handsome, Franc.”
Devon memaki
lagi. “And where is he now?”
“New York.”
“You came alone?”
“Yes.”
“You did it on purpose, didn’t you?”
Suara di
seberang menjawab polos. “Yes.”
Devon memijit
dahinya. “Fine. I’ll pick you up.”
“Really? When?”
“Tomorrow,” kata Devon kejam dan dengan cepat
menutup ponselnya. Brengsek. Mana mungkin dia datang sendirian ke Indonesia.
Franc tak akan mengijinkannya. Dia begitu dicintai sampai tak bisa ditinggalkan
kemana-mana sendirian. Percayalah, semenit saja ditinggalkan dalam pengawasan,
anak itu sudah melakukan tindakan yang tak terduga.
“Siapa itu,
Devon?” Nero bertanya keheranan, mengerutkan dahinya.
“Hanya seseorang
yang kubenci,” gumam Devon.
“Dan berapa
banyak orang yang kau benci di dunia ini?” tanya Nero lagi.
“Kau benar-benar
ingin tahu? Baiklah, mungkin satu juta orang, melingkupi para dictator,
koruptor, para pemimpin picik, orang-orang munafik, para teroris, pembunuh,
orang tua yang meninggalkan anak mereka di jalanan—”
“Ok, ok, stop.
Itu lebih dari satu juta orang,” Nero memotong, memutar bola matanya. Lalu dia
menatap Devon dalam-dalam.
“Apa?”
“Bukan apa-apa,”
Nero kembali mengalihkan pandangannya pada Niken dan mengobrol dengannya.
Devon
mengalihkan pandangannya pada pertandingan basket dimana Zoe tengah mendribel
bola melewati lapangan, membawanya sendirian untuk dimasukkan seorang diri
pula. Tapi Devon tidak benar-benar memikirkan apa yang ada di depannya. Dia
memikirkan telepon hari ini.
Tunggu dulu,
jika dia bilang dia minta dijemput, itu artinya dia sudah sampai kan? Di sini?
Di Indonesia?
Devon dengan
ngeri membayangkan bahwa dia akan tinggal satu atap lagi dengan orang itu.
Memangnya kemana lagi Franc bisa membawanya? Sudah pasti mereka berdua akan
tinggal di rumah mereka. Arnold tak akan mau mereka membuang-buang uang hanya
untuk tinggal di hotel.
“I’m dead,” gumam Devon saat Zoe berhasil
memasukkan bola ke keranjang.
***The Flower
Boy Next Door***
Ada yang aneh
pada Devon, aku bisa menduganya. Nero sedari tadi melirik ke arahnya dengan
dahi mengerut dalam, mengamati ekspresi di wajah Devon yang sepertinya sedang
berpikir.
Kami kembali
melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Hijau ketika pelajaran olahraga selesai
dengan kemenangan total pada Zoe—karena Nero hanya main selama lima belas menit
waktu bersih—setelah berganti pakaian untuk makan siang.
Kak Vion
menyusul tak lama kemudian, membawa kantong plastik berisi roti pada kami.
Kegiatan ini sudah seperti kegiatan rutin bagi kami. Bersantai dan mengobrol di
Bukit Hijau sambil makan. Rasanya begitu mendamaikan, tentram, nyaman dan luar
biasa. Tapi aku tahu ini tak akan berlangsung lama. Kak Vion akan ujian sekitar
dua hari lagi. Wow, begitu cepat waktu berjalan. Dia tak akan lagi bersama kami
seperti saat ini.
“Devon,” Zoe
menepuk bahu Devon, “kau baik-baik saja?”
“Huh?” Devon
mengerjap lalu mengangguk.
“Yakin?” kata
Zoe lagi.
“Yep,” katanya.
“Dia hanya
memikirkan sesuatu mengenai pacarnya dalam otaknya, sesuatu yang tak ingin
kalian ketahui,” Kak Vion menyambar dari sebelah Nero yang sibuk mencari roti
favoritnya.
Yang membuat
kami keheranan adalah Devon sama sekali tidak membantah. Biasanya dia akan
membalas perkataan Kak Vion dan hal itu biasanya selalu membuat suasana ramai
dengan percekcokan mereka yang tak penting dengan Zoe sebagai wasitnya.
Nero mengamati
Devon lagi, matanya menyipit.
“Devon, mantan
pacarmu kembali?” tanya Nero tiba-tiba.
Devon tidak
menjawab, dia bangkit membawa ponselnya yang berdering dan berjalan agak jauh
untuk menjawab.
Ini aneh sekali.
Dahiku mengerut dalam. Devon tak pernah sekalipun mengangkat telepon dalam
jarak beberapa meter dari Nero, apalagi dengan suara yang berbisik-bisik. Nero
sepertinya juga merasa ada yang terjadi, dia memberi pandangan pada Zoe yang
mengangkat bahu, kembali memandang Kak Vion yang memasang tampang polos.
“Listen to me, Vy, I won’t pick you up!” Devon berteriak
jengkel, membuat kami melonjak kaget.
“Vy?” Kak Vion
mengulang.
“Vy for Vyolet?
Vynetta? Avrylifa? Ave? Fandyvy—”
“Zoe, diam,” kata Nero. “Kau seolah-olah
mengatakan bahwa dia sedang selingkuh.”
Zoe mengangkat
bahu dengan tak peduli. “Who knows?”
Kali ini aku
yang terkejut. “Maksudmu dia selingkuh dari Audrey?”
“Who cares?” kata Zoe lagi.
“Niken,” Nero
menenangkanku, “Devon bukan orang seperti itu.”
“Atau mungkin
itu mantan pacarnya,” ucap Kak Vion
lagi.
“Kau sama sekali
tak membantu,” kata Nero mendelik jengkel padanya. “Siapapun itu si Vy ini,
kurasa Devon akan mengatakannya pada kita.”
“Kurasa tidak,”
kata Zoe lagi. “Karena mungkin itu mantan gay-nya.”
Nero melemparnya
dengan roti. “Tutup mulutmu dengan roti sebelum aku yang menutupnya dengan
tinjuku.”
Zoe memutar bola
mata tapi mengambil roti yang dilempar Nero dan memakannya.
Devon, tak lama
kemudian kembali pada kami, wajahnya ditekuk dan tampak sebal.
“Something happened?” tanya Nero
dengan nada kasual seolah-olah tak peduli walau aku tahu dia penasaran setengah
mati.
“I hate when your devil appears in reality with someone’s
face you always see on the mirror.”
Baik aku, Zoe
dan Kak Vion mengerutkan dahi dan saling bertukar pandang tak mengerti dengan
apa yang dia katakan.
“Did you just say random things?” ucap Kak Vion
pada akhirnya.
Tapi Nero tampak
mengerti, sepertinya, istilah yang dia ucapkan.
“Is Vy that bad?” tanya Nero.
“You’ll see,” gumam Devon. “Or better not. He’s horrible.”
“He?” Zoe memotong cepat. “So this Vy is not a girl?”
“Nope,” Devon menggeleng. “And that’s made it worst.”
“Tell us,” kata Nero.
“No way,” kata Devon cepat.
“Why?” Nero menyipitkan matanya.
Devon menatapnya
langsung padanya. “Coz I don’t feel like
telling you the truth, like you do to me.”
Aku merasa ada
yang tak beres ketika nada suara Devon berubah. Nero juga menatapnya dengan sengit.
Apalagi Zoe juga ikut-ikutan berdiri dari tempatnya. Matanya menyipit berbahaya
pada Devon.
“What do you mean, Devon?” kata Nero
dingin.
“You know what I mean,” ucap Devon tak
peduli. “And I’m at my limit already.”
Nero
menggertakan giginya, tapi tak mengucapkan apa-apa. Aku sungguh tak mengerti
apa yang sebenarnya terjadi di sini. Mereka berdua seperti memberikan
pesan-pesan di udara yang tidak menyenangkan. Sepertinya mereka akan berkelahi.
Tapi aku terlambat menyadarinya begitu Nero bangkit, memberikan tinjunya pada
Devon dengan tak terduga.
“Nero!” aku
menjerit kaget. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Tadi mereka
baik-baik saja dan sekarang mereka berkelahi hanya karena si Vy itu?
Zoe berlari ke
arah Devon, membantunya berdiri. “Kau tak apa-apa?”
“Apa yang kau
lakukan?” aku membentak Nero. “Kenapa kau memukulnya?”
“Tanya dia!”
kata Nero jengkel. Sinar di matanya berubah gelap. Sesuatu yang Devon katakan
membuatnya marah.
Devon berjalan
ke arahnya, menyingkirkanku ke pinggir, menarik kerah baju Nero dan balas
meninjunya. Aku menjerit kaget, menutup mulut dengan kedua tanganku melihat
Nero jatuh ke belakang dengan mulut berdarah.
“Nero!” Aku
berlari ke arahnya.
Kak Vion
mendekat ke arah Devon, matanya menyala-nyala penuh amarah. “Kenapa kau
memukulnya?”
“Kenapa dia
memukulku?” balas Devon.
“Itu karena kau
mengatakan hal yang tidak-tidak!” dan tinju Kak Vion melayang lagi pada Devon,
membuatnya jatuh berguling ke bukit.
“Devon!” Zoe
menganga. Dia menatap Kak Vion dan meninju Kak Vion juga, yang aku duga untuk
membalas apa yang dia lakukan terhadap Devon karena dia langsung berkata, “Dia
melakukannya karena ada alasannya.”
Kak Vion
terhuyung, memegang rahangnya. Ada lebam di dekat pipinya. “Tidak ada alasan
yang tepat untuk meninju orang!” balas Kak Vion dan meninju Zoe yang lengah.
Aku, yang
menonton semua ini di dekat ini, menganga tak percaya melihat tiga orang
pria—tidak—empat pria berkelahi, saling hajar satu sama lain.
Aku ketakutan.
Ya Tuhan. Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka seperti ini?
Bukankah mereka tadi baik-baik saja? Bagaimana jika mereka terluka? Tidak.
Mereka sudah terluka. Dan apa yang harus kulakukan?
Devon bangkit,
berjalan membantu Zoe yang nyaris saja dicekik Kak Vion sampai mati. “Jangan
ganggu dia!” katanya menendang Kak Vion ke ujung lainnya. “Zoe, kau tak
apa-apa?”
Zoe terbatuk,
bangkit dan menendang Devon juga. “Ini semua karena kau mengatakan hal yang
tidak-tidak! Andai saja kau bisa bersabar sediki!”
Devon
terjengkang jatuh tapi bangkit tak lama kemudian. “Aku muak dengan senyum
palsunya Nero!”
“Bukan hanya kau
yang muak! Aku juga!” balas Zoe.
Kak Vion
membantu Devon berdiri. Mereka bertiga terengah-engah kehabisan napas, babak
belur, penuh amarah, tapi tampak baik-baik saja. Jadi ingin mengenai Nero. Mereka semua marah karena Nero.
Nero yang ada di
sampingku tersedak kecil dan terkekeh.
Kami melihatnya
tertawa sambil menutup mulutnya.
“Kenapa kau
tertawa?” kata Devon tak senang.
“Aku tak
menyangka kalian mau berkelahi hanya untukku,” kata Nero masih tertawa.
“Well, kami peduli padamu,” Kak Vion
memutar bola matanya.
“Lagipula kau
tak sendirian,” kata Zoe menghela napas.
“Yeah, I know,” kata Nero menghela napas,
menatapku. “Aku cuma tak ingin membuat kalian khawatir,” gumamnya menundukkan
kepala. “I’m sorry.” Dan sebelum aku
sempat mengucapkan apapun untuk membuatnya lebih baik, Nero sudah menutup
wajahnya lagi, tanda yang pernah kulihat sebelumnya, tanda ketika Nero menangis
penuh kebahagiaan.
“Nero?” Devon dan yang lainnya terkejut.
“Nero, are you ok?”
“Yeah,” gumam Nero. “It just—there’s nobody care for that much especially my Dad. It made
me happy.” Nero menyeka matanya.
“I care,” kataku memeluknya. “They care. We care.”
Devon menggaruk
kepalanya dan juga ikut-ikutan memeluk Nero. Begitu pula dengan Kak Vion dan
Zoe.
“Hugging group!” kata Kak Vion.
“Er… guys… can’t breath,” kata Nero.
Dan kami
tertawa.
***The Flower
Boy Next Door***
Nero menghela
napas. Rasanya sangat menyenangkan dan melegakan bersama dengan orang-orang
yang bersedia berada di sampingmu tanpa harus menuntutmu menjadi orang lain.
Selama ini dia belajar untuk tidak merepotkan orang lain. Dia melihatnya
sendiri dari cara Matt yang berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi seluruh
kebutuhannya tanpa dia meminta dan tak ingin membuat Matt lebih repot hanya
untuk mengurusi tingkah egoisnya.
Kemudian,
berjalan di samping Niken, bergandengan tangannya membuat hidup Nero terasa
lebih sempurna, walau dia merasa bahwa ada hal yang harus dia segera ceritakan
pada Niken. Sesuatu mengenai masa lalunya. Mengenai Theressa. Mengenai Deborah.
Tapi Nero takut
Niken akan menguatirkannya.
Kejadian ketika
Deborah nyaris membunuhnya saja sudah membuat Niken ketakutan tanpa harus tahu
detailnya. Apalagi bila dia tahu detailnya.
“Nero,” Devon yang berjalan di depan bersama
dengan Zoe dan Vion menoleh ke belakang. Ponselnya ada di tangannya. “Come over.”
“Why?”
“Mom Mom missed you,” kata Devon.
“Today?”
“Yes. We’ll have barbeque tonight.”
“Kami diundang
kan?” kata Kak Vion tiba-tiba. “Would you
mind invite us too?” ucapnya lagi sembari menunjuk dirinya dan Zoe.
Devon mendelik
berbahaya. “I don’t like you being around
in my home.”
“Oh, please,” Vion memutar bola matanya. “I couldn’t be that worst.”
“But you’re already,” Devon membalas
sebal.
“Guys!” Zoe mengingatkan dengan nada sebal. “Just kill each other already so I couldn’t
involved at your lousy word everytime you got bubbling.”
“How about Niken?” Nero bertanya.
“Audrey will be happy to see her.” Devon tersenyum
menenangkan.
Ternyata Audrey
sudah menunggu di persimpangan gang rumah Devon, mengenakan seragam sekolah
putri dan melambai semangat pada mereka.
“Hay, Niken!” sapanya bersemangat. Mereka
cepika-cepiki sebentar, kemudian beralih pada Devon. “Hey, baby, I feel so excited to meet your parents,” ujarnya sambil
mencium pipi Devon.
“Nice.” Devon bergumam dan wajahnya memerah
sedikit. “I brought my friends. This dude
called Zoe.”
“Hi Zoe.”
Seperti biasa,
Zoe bersikap cool dengan hanya mengangguk kecil.
“And he’s weasel—ouch!”
Vion menyikut
Devon, mengulurkan tangannya dengan kasual pada Audrey dan berkata, “Aku Vion,
senior mereka.”
“Hai, aku
Audrey, senang berjumpa denganmu.”
Vion mengangguk
penuh pengertian.
“Come on. I already told everyone that I brought
friends home.”
Devon dan Audrey
memimpin perjalanan. Mereka bergandengan tangan seperti halnya Nero dan Niken
yang tampak begitu mesra.
“Kalian bisa
berpegangan tangan jika kalian begitu iri,” kata Nero pada Vion dan Zoe yang
berjalan beriringan. Kedua orang itu saling lirik lalu mengambil jarak sedikit
lebih jauh, membuat Nero tertawa melihatnya.
“Kalian akan
jadi pasangan serasi,” canda Nero.
Vion menaikan
salah satu alisnya. “Aku lebih baik mati daripada berpacaran dengan laki-laki.
Bagaimana denganmu Zoe?”
“Aku lebih baik
minum racun daripada menjadi juri atas pertengkaran tak bermutu kalian.”
Nero kembali
tertawa. Sepertinya main ke tempat Devon akan menyenangkan dan ramai. Nero
belum pernah masuk ke dalam rumah Devon. Dia selalu melewatinya begitu saja.
Begitu mereka sampai ke gerbang rumah seseorang sudah ada di halaman rumah
mereka. Seorang pria berambut pirang yang duduk di kursi taman sambil membaca
buku.
Pria itu
mengadah melihat mereka, tersenyum memikat. “Wow,
you made friends!”
Devon
mengerutkan dahi, melihat ke sekitar, “I knew
he was lying to me.”
Pria itu
tertawa. “No hugging?” katanya sambil
membuka lebar kedua tangannya.
“Nah, I’ll pass,” kata Devon memutar bola matanya.
“Where’s the Devil?”
“Are you looking for me, Soulmate?”
Mereka mendengar
suara yang sama persis seperti Devon dan menoleh dari arah pintu yang terbuka.
Di depan pintu
berdiri seorang pemuda dengan tinggi yang kurang lebih sama seperti Devon,
berambut pirang seperti Devon, dengan potongan rambut yang pendek dan bergaya
keren. Dia memiliki senyum yang sama seperti Devon saat tersenyum.
Dan yang
mengejutkan lagi, dia punya wajah yang sama persis seperti Devon.
“Oh, so this’s the Vy, your twins,” kata Nero yang
tampak tak terkejut sedikitpun.
“Hi, Nero. My name is Daven,” Daven melangkah
mendekat, mengulurkan tangannya pada Nero.
Nero menjabat
tangannya dan tiba-tiba saja Daven menarik tangannya. Tubuh Nero oleng ke depan
dan Daven dengan cepat menyambar kesempatan itu untuk mencium Nero, tepat di
bibir.
Mereka melihat
adegan itu dengan shock.
“Davy, you bastard!” kata Devon
jengkel, mendorong minggir saudara kembarnya menjauh. “Stay away!”
“Don’t wanna,” kata Daven dengan nada culas. “He tastes good. I liiiiiiike him.”
“Franc,” Devon menoleh pada pria yang duduk di
kursi. “What’s wrong with him?”
“Forgot to tell you, Little Brother. He turned to be
a gay a few weeks ago. Get deal with
it,”
kata Franc menghela napas.
“ARE YOU KIDDING ME?”
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar