RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 09 Juni 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Tiga)



Debaran Tiga Puluh Tiga
I Care

Ketika aku selesai berganti pakaian Matt mengajakku minum teh berdua. Tanpa Nero. Aku menduga kami akan membicarakan masalah serius.
Jika ini masalah ciuman yang tadi matilah aku! Aku kan tak tahu bagaimana menghadapi Matt. Kami belum pernah bicara sekalipun. Sudah pasti aku akan mati konyol nanti.
“Silakan, Niken.”
Matt tersenyum ramah padaku menggeser cangkir porselain berkilat yang cantik ke arahku.
“Terimakasih, er, Dad,” kataku kesulitan memanggilnya sebagai “Dad”.
Bibir Matt tersenyum lagi, kali ini lebih menarik melengkung indah dengan sempurna mempertampan wajahnya. Uh. Entah kenapa aku bisa melihat Nero dalam setiap sisi wajahnya. Mata coklat terangnya sama seperti Nero, begitu pula warna kulitnya yang pucat, atau bibirnya, senyumannya, bahkan suaranya sama persis, hanya saja lebih berat dan dalam. Rasanya aku tahu seperti apa tampang Nero nanti sepuluh tahun yang akan datang. Seperti Matt.
“Nero pasti sudah melumuri kepalamu dengan tingkahnya. Aku sepertinya kurang mendisiplinkannya. Mulai hari ini aku akan mengawasi seluruh tingkahnya. Siapa yang tahu dia akan berubah sebuas apa jika tak diajari.”
Matt membuka pembicaraan yang berhasil membuat wajahku memerah seperti kepiting rebus. Suaraku tercekat karena tak mampu merespon, jadi aku diam saja.
“Jadi sudah berapa lama hubungan kalian?” Matt bertanya menatapku dalam-dalam.
“Sekitar satu bulan,” jawabku.
Matt mengangguk kalem. “Hmm, masih muda sekali. Apa kau sangat menyukai Nero Niken?”
Wajahku merah padam lagi. Seseorang tolong aku. Kenapa aku terjebak dalam pojok introgasi Matt? Seakan-seakan aku sedang berusaha menyenangkan calon mertua. Calon mertua? Aku ini mikir apaan sih?
“Sangat,” gumamku.
“Nero juga sangat menyukaimu, aku bisa melihat dari cara Nero memandangmu. Dia tampak lebih hidup saat berada di sampingmu.”
Apakah itu pujian? Perkataannya membuat hatiku menghangat dan aku jauh lebih percaya diri. Matt menyesap tehnya sehingga aku memutuskan untuk melakukan tindakan yang sama.
Teh buatan Matt hangat manis dan menenangkan seperti orangnya. Matt punya rasa yang berbeda. Aku jadi penasaran dengan teh buatan Nero.
“Dad, mengenai Tante Jennifer, aku sangat menyesal,” kataku tiba-tiba.
Matt menegang di tempatnya dan aku langsung menyesal mengatakannya. Dia pasti mengingat masa-masa sulit itu. Dalam beberapa detik Matt terdiam. Pandangan matanya meredup, memandang kosong ke pemandangan kolam renang yang cantik. Lalu dia menghela napas.
“Terimakasih, Niken.” Ucapnya pelan-pelan. “Aku juga sangat menyesal. Jennifer juga akan merasakan hal yang sama.”
Dahiku mengerut tapi tak berani bertanya. Takut menyinggung Matt lagi.
“Kepergian Jennifer seperti pukulan telak bagi Nero karena Jennifer tak sempat memberikan ucapan selamat tinggal pada Nero. Hal yang juga terjadi pada Theressa.”
Aku menduga bahwa Theressa adalah Ibu Kandung Nero. Lagi-lagi aku sadar kalau aku tak tahu apa-apa mengenai Nero.
“Niken sejauh apa kau tahu tentang Nero?” Matt menoleh padaku.
Pertanyaan itu menohokku seketika menancap ke jantungku. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab. Aku tak tahu apapun soal Nero. Dan aku berani bilang bahwa aku pacarnya? Tak bisa dipercaya.
“Jangan khawatir, Niken. Nero akan mengatakan semuanya padamu suatu hari nanti. Beri dia waktu.” Matt berkata lembut.
“Tapi kapan?” Suaraku serak nyaris menangis. Sepertinya Nero belum percaya padaku. Apa aku masih bisa percaya diri berada di samping Nero?
Matt menggenggam tanganku, tersenyum menenangkan. “Dengar Niken Ageha sudah tak ada di sini. Dia sudah ikut Ayah Kandungnya ke Chicago.”
Apa?
“Nero sedang membentengi dirinya. Memperbaiki hatinya. Mencoba untuk membahagiakan dirinya. Dan salah satu kebahagiaannya itu adalah kau.” Matt meremas tanganku menghangatkanku. “Kau hanya perlu bersabar sedikit. Aku yakin dia akan memberitahu segala hal padamu. Kau satu-satunya orang yang berhasil masuk ke dalam kehidupannya, membuatnya tersenyum, membuatnya lebih hidup, membuatnya lupa masa lalunya. Percaya dirilah Niken.”
Kepalaku mengangguk. Matt benar-benar baik hingga mau menjelaskan hal ini padaku.
Matt tersenyum lagi, mengecup dahiku. “Kau suka makan apa? Akan kuminta pelayan memasak makanan kesukaanmu.”
“Apa saja boleh.”
“Baiklah.” Matt melirik jam tangannya. “Aduh!” Dia menepuk dahinya. “Aku lupa harus menelepon asistenku. Niken maaf kau harus kutinggal. Ada sedikit urusan.”
Sebelum aku mengucapkan apapun Matt sudah melangkah masuk ke dalam rumah. Matt memang seorang Ayah yang baik. Nero beruntung mendapat Ayah yang luar biasa seperti Matt. Cara pria itu berbicara dan berinteraksi benar-benar penuh pengertian dan menebarkan aura penuh cinta kemanapun dia berada.
Aku menghabiskan tehku kemudian melangkah masuk. Naik ke kamar Nero. Tapi Nero sama sekali tak ada di sana. Penasaran kemana dia pergi, aku memilih untuk berkeliaran di rumahnya, membuka pintu dengan hati-hati, mengintip perlahan. Aku berhasil menemukan sebuah perpustakaan besar penuh buku. Ruang tamu yang mewah dan eksklusif. Ruang kerja Matt yang kututup dengan sangat hati-hati saat Matt menelepon seseorang. Kamar tidur Matt berkat foto pernikahan yang tergantung di dinding. Lalu kamar Ageha.
Aku menemukan Nero di sana. Dia tidur di lantai kayu, memeluk sebuah boneka panda berukuran satu meter. Di sekelilingnya masih betebaran mainan Ageha: mobil-mobilan, orang-orangan, Barbie, boneka-boneka empuk yang lucu, dan beberapa buku cerita. Dindingnya diwarnai biru dengan lukisan pooh dan disney land. Sebuah tempat tidur mungil di tempel di dinding. Jendela kecil putih tampak cantik dengan gorden biru yang menawan.
Aku melangkah mendekati Nero dan duduk di sampingnya. Wajah Nero begitu damai dalam tidurnya. Rambut coklatnya jatuh ke pelupuk matanya. Baru aku sadar ada lingkaran hitam di bawah matanya.
Nero pastilah tak bisa tidur sejak kematian Jennifer, ditambah lagi Ageha pergi dari sisinya.
Kuusap kepalanya dengan lembut, merasakan helaian rambutnya yang halus. Nero memperelat pelukannya pada si panda dan sebutir air mata mengalir turun dari matanya.
Tanganku berhenti dan mataku berkaca-kaca. Nero sedang sedih. Aku bisa merasakannya. Dan aku memutuskan akan tetap ada di sampingnya sampai Nero mau menceritakan isi hatinya padaku walau hal itu sangat berat. Karena aku tahu Nero juga butuh waktu untuk memperbaiki luka hatinya.
“I love you,” bisikku mengecup dahi Nero. “And I am and always be here for you. I promise.”
***The Flower Boy Next Door***
Ketika Nero lahir Matt ingat dengan pasti bahwa itu adalah saat paling menakutkan, mencemaskan sekaligus membahagiakan. Dia takut dia belum siap menjadi seorang ayah pada usia 23 tahun. Apakah dia sudah cukup dewasa untuk mengajar membimbing dan membesarkan seorang anak dengan penuh cinta? Apakah dia bisa memberi contoh yang baik? Apakah dia bisa jadi teladan?
Lalu dia cemas setengah mati melihat bagaimana Theressa mencoba melahirkan anaknya. Berjuang sekuat tenaga dalam setiap kontraksi untuk mendorongnya keluar. Kerasnya genggaman Theressa saat dia berusaha menguatkan isterinya yang kesakitan untuk bertahan. Mengucapkan kata-kata penghiburan bahwa dia ada di sini untuknya.
Dan kebahagiaan mengalirinya, menyegarkan jiwanya, meniup seluruh rasa cemasnya, ketika mendengar tangisan pertama dari anaknya. Saat si dokter memberikan seorang bayi kecil rapuh dan menggemaskan ke pelukannya, mengatakan bahwa anaknya laki-laki dan lahir dengan sehat, Matt terhipnotis dengan sosok kecil malaikatnya.
Matt tak pernah lupa saat Nero pertama kali ada dalam gendongannya, menggeliat mencoba, membuka matanya, sementara bibir kecilnya terbuka menangis kencang, namun segera terdiam begitu Matt memeluknya. Betapa dia terharu melihat Nero bergerak, memegang telunjuknya dalam genggamannya yang kecil namun kuat dan tertidur dalam gendongannya.
Dalam hati Matt bersumpah akan memberikan apapun yang dia bisa untuknya.
Memiliki Nero adalah anugerah paling indah dan hadiah luar biasa untuknya. Saat Nero memanggil “Dadda“ padanya untuk pertama kali ketika masih berusia enam bulan, Matt menangis kegirangan memeluk Nero menciumnya sampai membuatnya menangis. Saat Matt mengganti popok Nero untuk pertama kali karena Theressa demam dan tak mungkin dekat-dekat Nero, Matt nyaris frustasi karena tak bisa membedakan mana popok bagian depan ataupun belakang. Apalagi saat Nero menendang-nendang ke arahnya dengan sepenuh hati membuat usahanya semakin sulit terlaksana. Theressa menertawakannya sebagai Daddy amatiran, yang membuat Matt belajar ke tempat pengasuhan bayi, hanya untuk tahu cara merawat bayi dengan benar.
Saat Nero belajar merangkak, lalu berdiri, kemudian berjalan ke arahnya dengan langkah goyang kedua kakinya yang mungil, Matt ingat dia cemas tiap kali Nero melakukannya. Atau saat lukisan pertama Nero yang diminta oleh guru palygroupnya ternyata adalah gambar dirinya dan Theressa sebagai superheronya, mata Matt berkaca-kaca. Atau saat pertemuan orang tua, Nero membuatnya terharu dengan memainkan simfoni karya Mozart, padahal usianya baru enam tahun. Atau mungkin saat Nero membacakan “sosok paling kau idolakan” di depan sekolah, dengan lantang Nero mengatakan bahwa sosok itu adalah Matt. Matt berlari dari kursi penonton, naik ke podium, hanya untuk memeluknya. Atau saat Nero membuatnya bangga dengan seluruh prestasi yang tak pernah dipaksakan Matt, yang diberikan Nero padanya, sebagai bentuk apresiasi rasa sayang Nero padanya.
Nero adalah hartanya.
Dan saat ini dia sedang rapuh.
Matt membuka mata perlahan. Kamarnya masih gelap gulita. Jam dinding bertik-tok perlahan. Tapi dia merasakan tangannya kebas karena tak bergerak dan tertahan oleh sesuatu.
Kepala Matt menoleh ke kiri dan mendapati Nero tidur di sampingnya. Kepalanya ada di atas lengan Matt. Tubuhnya meringkuk seperti anak kecil berusia tiga tahun yang kesepian seperti saat-saat ketika Nero melompat ke kamarnya tiap kali ada badai muncul atau tiap kali mati listrik.
Matt tersenyum kecil. Nero pastilah menyelinap masuk ke kamarnya entah jam berapa lalu tidur di sampingnya. Dia bergeser sedikit, mendekati Nero agar bisa menyelimuti tubuhnya dengan selimut.
Nero bergerak tak nyaman tapi pada akhirnya semakin mendekat pada Matt, lalu tidur kembali dengan pulas.
Syukurlah. Sudah beberapa hari ini Nero tak bisa tidur. Sejak kematian Jennifer, Nero masih kehilangan dan terlalu sedih untuk tidur. Matt pernah memergokinya tidur di sofa dalam posisi terduduk karena kelelahan, akhirnya berkat Niken sekarang Nero bisa tidur dengan pulas.
“Sleep well, Son.”
Matt mencium dahi Nero dan menutup mata kembali tidur
***The Flower Boy Next Door***
“Riboon!”
Devon melihat Nero melompat lebih tinggi dari siapapun menangkap bola basket dan melemparnya dalam hitungan sepersekian detik ke arah keranjang di seberang.
Bola basket melayang dan masuk tepat ke tengah keranjang.
“Yes!” Nero berteriak dan para pendukungnya melonjak kegirangan.
“Anak itu luar biasa!” Garry tampak begitu terkesan. Peluit siap di tangannya untuk menghitung saat-saat terakhir permainan.
Hari ini jam olahraga, Garry sekali lagi mengadu tiap kelas. Kali ini kelas 2-1 dan 2-2 menjadi lawan akhir. Nero versus Zoe. Sayang, Devon tak terlalu handal main basket jadi kelas mereka tertinggal jauh di permainan pertama minggu lalu dari kelasnya Bram.
Zoe mengapit Nero, menjaganya dengan sekuat tenaga. Tapi Nero dengan sigap berlari ke arah berlawanan dari bola yang melayang melewati kepalanya. Bola itu ditangkap oleh lawan dengan mudah.
“Sudah berapa lama?” Niken bertanya di samping Devon.
“Tiga puluh menit. Nero janji akan berhenti sebentar lagi.”
Benar. Nero bisa dehidrasi jika memaksakan diri untuk tetap bermain. Lalu itu dia peluit pergantian pemain. Nero melambai, berlari mendekat untuk diganti dengan pemain lain.
That‘s awesome, Man,” kata Devon.
“Thanks,” kata Nero terengah. “Niken, minum?”
Niken cemberut tapi pada akhirnya memberikan botol minumannya pada Nero. Devon mengerutkan dahi melihat Nero. Nero tampak lebih baik daripada kemarin. Wajahnya lebih segar dan auranya lebih kelihatan. Hanya saja Devon kembali merasakan ada hal yang mengganggunya mengenai Nero. Seperti saat pertama kali mereka bertemu.
Senyuman Nero, walau berusaha seceria mungkin, tetap saja aneh, meski harus diakui Devon hanya saat bersama Niken Nero bisa tersenyum santai.
 “Jangan coba-coba main lagi kalau kau tak mau pingsan lagi seperti kemarin,” kata Devon.
Ok, Mother,” kata Nero, menyeka air dari mulutnya yang membasahi bajunya ketika dia minum dengan terburu-buru. “Walau itu berarti aku harus mengalah dan memberi kemenangan pada Zoe.”
“Biarkan dia menang sesekali,” Devon nyengir.
“Hei, dia sudah mengambil posisiku tahu. Dia ada di atas peringkatku minggu ini.” Nero membela diri, membuat Niken hanya geleng-geleng kepala. “Geser sedikit,” Nero mendorongku sedikit agar bisa duduk di sebelah Niken, memberikan pandangan penuh cinta padanya.
Devon mengerang jengkel. “Hentikan itu.”
“Hentikan apa?” Nero menoleh pelan-pelan padanya, menyinggungkan senyuman polos.
“Bersikap seperti dunia milik kalian berdua.”
“Dunia memang milik kami berdua,” kata Nero bangga.
Screw you,” gerutu Devon.
Nero menjulurkan lidahnya seperti anak kecil dan kembali mengalihkan pandangannya pada Niken, tidak memedulikannya. Well, setidaknya Nero akan baik-baik saja bersama Niken. Dengan dia sebagai Ketua Osis, tentu saja tak ada yang berani macam-macam pada Nero dan Niken. Devon sudah memperingatkan seluruh anggota Osis dan para siswa yang berniat melakukan tindakan pelecehan di pidato pengangkatannya kemarin. Pertaturannya jelas, walau itu juga membuat Alfon dan Julian sedikit terkesan padanya. Devon tak peduli.
Jangan sentuh temanku atau aku akan membunuh kalian.
Ponsel Devon berdering, tak ada nama yang muncul di layar monitornya yang dipastikan ada seseorang yang jauh di luar sana menghubunginya. Dengan malas Devon mengangkat panggilan itu, mengangkat ponselnya ke telinganya.
“Hello?”
“Devy, pick me up.” Suara merdu, jernih dan kekakanak-kanakan terdengar di seberang sana. Kepala Devon langsung membayangkan satu sosok yang membuat bulu kuduknya merinding dalam sekejap.
“Excuse me, Nightmare. Do I know you?”
Orang itu tertawa. “Of course you know. I am your beloved soulmate, your other half and the most person you cherish all of you life.”
“Eat my shit. Since when you’ve been my beloved? The sky may be sink when it come.”
Suara tawa lagi. “I don’t care. Just pick me up. Please? For everything we did in the past? When we eat, play, sleep, hanging around, even taking a bath together?”
I hate you,” Devon merasa kalau darahnya sekarang mengalir ke kepalanya. “Just call taxi and leave me alone.”
“Don’t wanna. You’re my half. Do you forget me?”
“I want to forget you,” gerutu Devon. “Anyway, where did you get my number?”
“From my handsome, Franc.”
Devon memaki lagi. “And where is he now?”
“New York.”
“You came alone?”
“Yes.”
“You did it on purpose, didn’t you?”
Suara di seberang menjawab polos. “Yes.”
Devon memijit dahinya. “Fine. I’ll pick you up.”
“Really? When?”
“Tomorrow,” kata Devon kejam dan dengan cepat menutup ponselnya. Brengsek. Mana mungkin dia datang sendirian ke Indonesia. Franc tak akan mengijinkannya. Dia begitu dicintai sampai tak bisa ditinggalkan kemana-mana sendirian. Percayalah, semenit saja ditinggalkan dalam pengawasan, anak itu sudah melakukan tindakan yang tak terduga.
“Siapa itu, Devon?” Nero bertanya keheranan, mengerutkan dahinya.
“Hanya seseorang yang kubenci,” gumam Devon.
“Dan berapa banyak orang yang kau benci di dunia ini?” tanya Nero lagi.
“Kau benar-benar ingin tahu? Baiklah, mungkin satu juta orang, melingkupi para dictator, koruptor, para pemimpin picik, orang-orang munafik, para teroris, pembunuh, orang tua yang meninggalkan anak mereka di jalanan—”
“Ok, ok, stop. Itu lebih dari satu juta orang,” Nero memotong, memutar bola matanya. Lalu dia menatap Devon dalam-dalam.
“Apa?”
“Bukan apa-apa,” Nero kembali mengalihkan pandangannya pada Niken dan mengobrol dengannya.
Devon mengalihkan pandangannya pada pertandingan basket dimana Zoe tengah mendribel bola melewati lapangan, membawanya sendirian untuk dimasukkan seorang diri pula. Tapi Devon tidak benar-benar memikirkan apa yang ada di depannya. Dia memikirkan telepon hari ini.
Tunggu dulu, jika dia bilang dia minta dijemput, itu artinya dia sudah sampai kan? Di sini? Di Indonesia?
Devon dengan ngeri membayangkan bahwa dia akan tinggal satu atap lagi dengan orang itu. Memangnya kemana lagi Franc bisa membawanya? Sudah pasti mereka berdua akan tinggal di rumah mereka. Arnold tak akan mau mereka membuang-buang uang hanya untuk tinggal di hotel.
“I’m dead,” gumam Devon saat Zoe berhasil memasukkan bola ke keranjang.
***The Flower Boy Next Door***
Ada yang aneh pada Devon, aku bisa menduganya. Nero sedari tadi melirik ke arahnya dengan dahi mengerut dalam, mengamati ekspresi di wajah Devon yang sepertinya sedang berpikir.
Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Hijau ketika pelajaran olahraga selesai dengan kemenangan total pada Zoe—karena Nero hanya main selama lima belas menit waktu bersih—setelah berganti pakaian untuk makan siang.
Kak Vion menyusul tak lama kemudian, membawa kantong plastik berisi roti pada kami. Kegiatan ini sudah seperti kegiatan rutin bagi kami. Bersantai dan mengobrol di Bukit Hijau sambil makan. Rasanya begitu mendamaikan, tentram, nyaman dan luar biasa. Tapi aku tahu ini tak akan berlangsung lama. Kak Vion akan ujian sekitar dua hari lagi. Wow, begitu cepat waktu berjalan. Dia tak akan lagi bersama kami seperti saat ini.
“Devon,” Zoe menepuk bahu Devon, “kau baik-baik saja?”
“Huh?” Devon mengerjap lalu mengangguk.
“Yakin?” kata Zoe lagi.
“Yep,” katanya.
“Dia hanya memikirkan sesuatu mengenai pacarnya dalam otaknya, sesuatu yang tak ingin kalian ketahui,” Kak Vion menyambar dari sebelah Nero yang sibuk mencari roti favoritnya.
Yang membuat kami keheranan adalah Devon sama sekali tidak membantah. Biasanya dia akan membalas perkataan Kak Vion dan hal itu biasanya selalu membuat suasana ramai dengan percekcokan mereka yang tak penting dengan Zoe sebagai wasitnya.
Nero mengamati Devon lagi, matanya menyipit.
“Devon, mantan pacarmu kembali?” tanya Nero tiba-tiba.
Devon tidak menjawab, dia bangkit membawa ponselnya yang berdering dan berjalan agak jauh untuk menjawab.
Ini aneh sekali. Dahiku mengerut dalam. Devon tak pernah sekalipun mengangkat telepon dalam jarak beberapa meter dari Nero, apalagi dengan suara yang berbisik-bisik. Nero sepertinya juga merasa ada yang terjadi, dia memberi pandangan pada Zoe yang mengangkat bahu, kembali memandang Kak Vion yang memasang tampang polos.
“Listen to me, Vy, I won’t pick you up!” Devon berteriak jengkel, membuat kami melonjak kaget.
“Vy?” Kak Vion mengulang.
“Vy for Vyolet? Vynetta? Avrylifa? Ave? Fandyvy—”
“Zoe, diam,” kata Nero. “Kau seolah-olah mengatakan bahwa dia sedang selingkuh.”
Zoe mengangkat bahu dengan tak peduli. “Who knows?”
Kali ini aku yang terkejut. “Maksudmu dia selingkuh dari Audrey?”
“Who cares?” kata Zoe lagi.
“Niken,” Nero menenangkanku, “Devon bukan orang seperti itu.”
“Atau mungkin itu mantan pacarnya,” ucap Kak Vion lagi.
“Kau sama sekali tak membantu,” kata Nero mendelik jengkel padanya. “Siapapun itu si Vy ini, kurasa Devon akan mengatakannya pada kita.”
“Kurasa tidak,” kata Zoe lagi. “Karena mungkin itu mantan gay-nya.”
Nero melemparnya dengan roti. “Tutup mulutmu dengan roti sebelum aku yang menutupnya dengan tinjuku.”
Zoe memutar bola mata tapi mengambil roti yang dilempar Nero dan memakannya.
Devon, tak lama kemudian kembali pada kami, wajahnya ditekuk dan tampak sebal.
“Something happened?” tanya Nero dengan nada kasual seolah-olah tak peduli walau aku tahu dia penasaran setengah mati.
“I hate when your devil appears in reality with someone’s face you always see on the mirror.”
Baik aku, Zoe dan Kak Vion mengerutkan dahi dan saling bertukar pandang tak mengerti dengan apa yang dia katakan.
“Did you just say random things?” ucap Kak Vion pada akhirnya.
Tapi Nero tampak mengerti, sepertinya, istilah yang dia ucapkan.
“Is Vy that bad?” tanya Nero.
“You’ll see,” gumam Devon. “Or better not. He’s horrible.”
“He?” Zoe memotong cepat. “So this Vy is not a girl?”
“Nope,” Devon menggeleng. “And that’s made it worst.”
“Tell us,” kata Nero.
“No way,” kata Devon cepat.
“Why?” Nero menyipitkan matanya.
Devon menatapnya langsung padanya. “Coz I don’t feel like telling you the truth, like you do to me.”
Aku merasa ada yang tak beres ketika nada suara Devon berubah. Nero juga menatapnya dengan sengit. Apalagi Zoe juga ikut-ikutan berdiri dari tempatnya. Matanya menyipit berbahaya pada Devon.
“What do you mean, Devon?” kata Nero dingin.
“You know what I mean,” ucap Devon tak peduli. “And I’m at my limit already.”
Nero menggertakan giginya, tapi tak mengucapkan apa-apa. Aku sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Mereka berdua seperti memberikan pesan-pesan di udara yang tidak menyenangkan. Sepertinya mereka akan berkelahi. Tapi aku terlambat menyadarinya begitu Nero bangkit, memberikan tinjunya pada Devon dengan tak terduga.
“Nero!” aku menjerit kaget. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Tadi mereka baik-baik saja dan sekarang mereka berkelahi hanya karena si Vy itu?
Zoe berlari ke arah Devon, membantunya berdiri. “Kau tak apa-apa?”
“Apa yang kau lakukan?” aku membentak Nero. “Kenapa kau memukulnya?”
“Tanya dia!” kata Nero jengkel. Sinar di matanya berubah gelap. Sesuatu yang Devon katakan membuatnya marah.
Devon berjalan ke arahnya, menyingkirkanku ke pinggir, menarik kerah baju Nero dan balas meninjunya. Aku menjerit kaget, menutup mulut dengan kedua tanganku melihat Nero jatuh ke belakang dengan mulut berdarah.
“Nero!” Aku berlari ke arahnya.
Kak Vion mendekat ke arah Devon, matanya menyala-nyala penuh amarah. “Kenapa kau memukulnya?”
“Kenapa dia memukulku?” balas Devon.
“Itu karena kau mengatakan hal yang tidak-tidak!” dan tinju Kak Vion melayang lagi pada Devon, membuatnya jatuh berguling ke bukit.
“Devon!” Zoe menganga. Dia menatap Kak Vion dan meninju Kak Vion juga, yang aku duga untuk membalas apa yang dia lakukan terhadap Devon karena dia langsung berkata, “Dia melakukannya karena ada alasannya.”
Kak Vion terhuyung, memegang rahangnya. Ada lebam di dekat pipinya. “Tidak ada alasan yang tepat untuk meninju orang!” balas Kak Vion dan meninju Zoe yang lengah.
Aku, yang menonton semua ini di dekat ini, menganga tak percaya melihat tiga orang pria—tidak—empat pria berkelahi, saling hajar satu sama lain.
Aku ketakutan. Ya Tuhan. Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka seperti ini? Bukankah mereka tadi baik-baik saja? Bagaimana jika mereka terluka? Tidak. Mereka sudah terluka. Dan apa yang harus kulakukan?
Devon bangkit, berjalan membantu Zoe yang nyaris saja dicekik Kak Vion sampai mati. “Jangan ganggu dia!” katanya menendang Kak Vion ke ujung lainnya. “Zoe, kau tak apa-apa?”
Zoe terbatuk, bangkit dan menendang Devon juga. “Ini semua karena kau mengatakan hal yang tidak-tidak! Andai saja kau bisa bersabar sediki!”
Devon terjengkang jatuh tapi bangkit tak lama kemudian. “Aku muak dengan senyum palsunya Nero!”
“Bukan hanya kau yang muak! Aku juga!” balas Zoe.
Kak Vion membantu Devon berdiri. Mereka bertiga terengah-engah kehabisan napas, babak belur, penuh amarah, tapi tampak baik-baik saja. Jadi ingin mengenai Nero. Mereka semua marah karena Nero.
Nero yang ada di sampingku tersedak kecil dan terkekeh.
Kami melihatnya tertawa sambil menutup mulutnya.
“Kenapa kau tertawa?” kata Devon tak senang.
“Aku tak menyangka kalian mau berkelahi hanya untukku,” kata Nero masih tertawa.
Well, kami peduli padamu,” Kak Vion memutar bola matanya.
“Lagipula kau tak sendirian,” kata Zoe menghela napas.
Yeah, I know,” kata Nero menghela napas, menatapku. “Aku cuma tak ingin membuat kalian khawatir,” gumamnya menundukkan kepala. “I’m sorry.” Dan sebelum aku sempat mengucapkan apapun untuk membuatnya lebih baik, Nero sudah menutup wajahnya lagi, tanda yang pernah kulihat sebelumnya, tanda ketika Nero menangis penuh kebahagiaan.
Nero?” Devon dan yang lainnya terkejut. “Nero, are you ok?
“Yeah,” gumam Nero. “It just—there’s nobody care for that much especially my Dad. It made me happy.” Nero menyeka matanya.
“I care,” kataku memeluknya. “They care. We care.”
Devon menggaruk kepalanya dan juga ikut-ikutan memeluk Nero. Begitu pula dengan Kak Vion dan Zoe.
“Hugging group!” kata Kak Vion.
“Er… guys… can’t breath,” kata Nero.
Dan kami tertawa.
***The Flower Boy Next Door***
Nero menghela napas. Rasanya sangat menyenangkan dan melegakan bersama dengan orang-orang yang bersedia berada di sampingmu tanpa harus menuntutmu menjadi orang lain. Selama ini dia belajar untuk tidak merepotkan orang lain. Dia melihatnya sendiri dari cara Matt yang berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi seluruh kebutuhannya tanpa dia meminta dan tak ingin membuat Matt lebih repot hanya untuk mengurusi tingkah egoisnya.
Kemudian, berjalan di samping Niken, bergandengan tangannya membuat hidup Nero terasa lebih sempurna, walau dia merasa bahwa ada hal yang harus dia segera ceritakan pada Niken. Sesuatu mengenai masa lalunya. Mengenai Theressa. Mengenai Deborah.
Tapi Nero takut Niken akan menguatirkannya.
Kejadian ketika Deborah nyaris membunuhnya saja sudah membuat Niken ketakutan tanpa harus tahu detailnya. Apalagi bila dia tahu detailnya.
“Nero,” Devon yang berjalan di depan bersama dengan Zoe dan Vion menoleh ke belakang. Ponselnya ada di tangannya. “Come over.”
“Why?”
“Mom Mom missed you,” kata Devon.
“Today?”
“Yes. We’ll have barbeque tonight.”
“Kami diundang kan?” kata Kak Vion tiba-tiba. “Would you mind invite us too?” ucapnya lagi sembari menunjuk dirinya dan Zoe.
Devon mendelik berbahaya. “I don’t like you being around in my home.”
“Oh, please,” Vion memutar bola matanya. “I couldn’t be that worst.”
“But you’re already,” Devon membalas sebal.
“Guys!” Zoe mengingatkan dengan nada sebal. “Just kill each other already so I couldn’t involved at your lousy word everytime you got bubbling.”
“How about Niken?” Nero bertanya.
“Audrey will be happy to see her.” Devon tersenyum menenangkan.
Ternyata Audrey sudah menunggu di persimpangan gang rumah Devon, mengenakan seragam sekolah putri dan melambai semangat pada mereka.
“Hay, Niken!” sapanya bersemangat. Mereka cepika-cepiki sebentar, kemudian beralih pada Devon. “Hey, baby, I feel so excited to meet your parents,” ujarnya sambil mencium pipi Devon.
“Nice.” Devon bergumam dan wajahnya memerah sedikit. “I brought my friends. This dude called Zoe.”
“Hi Zoe.”
Seperti biasa, Zoe bersikap cool dengan hanya mengangguk kecil.
“And he’s weasel—ouch!”
Vion menyikut Devon, mengulurkan tangannya dengan kasual pada Audrey dan berkata, “Aku Vion, senior mereka.”
“Hai, aku Audrey, senang berjumpa denganmu.”
Vion mengangguk penuh pengertian.
“Come on. I already told everyone that I brought friends home.”
Devon dan Audrey memimpin perjalanan. Mereka bergandengan tangan seperti halnya Nero dan Niken yang tampak begitu mesra.
“Kalian bisa berpegangan tangan jika kalian begitu iri,” kata Nero pada Vion dan Zoe yang berjalan beriringan. Kedua orang itu saling lirik lalu mengambil jarak sedikit lebih jauh, membuat Nero tertawa melihatnya.
“Kalian akan jadi pasangan serasi,” canda Nero.
Vion menaikan salah satu alisnya. “Aku lebih baik mati daripada berpacaran dengan laki-laki. Bagaimana denganmu Zoe?”
“Aku lebih baik minum racun daripada menjadi juri atas pertengkaran tak bermutu kalian.”
Nero kembali tertawa. Sepertinya main ke tempat Devon akan menyenangkan dan ramai. Nero belum pernah masuk ke dalam rumah Devon. Dia selalu melewatinya begitu saja. Begitu mereka sampai ke gerbang rumah seseorang sudah ada di halaman rumah mereka. Seorang pria berambut pirang yang duduk di kursi taman sambil membaca buku.
Pria itu mengadah melihat mereka, tersenyum memikat. “Wow, you made friends!”
Devon mengerutkan dahi, melihat ke sekitar, “I knew he was lying to me.”
Pria itu tertawa. “No hugging?” katanya sambil membuka lebar kedua tangannya.
“Nah, I’ll pass,” kata Devon memutar bola matanya. “Where’s the Devil?”
“Are you looking for me, Soulmate?”
Mereka mendengar suara yang sama persis seperti Devon dan menoleh dari arah pintu yang terbuka.
Di depan pintu berdiri seorang pemuda dengan tinggi yang kurang lebih sama seperti Devon, berambut pirang seperti Devon, dengan potongan rambut yang pendek dan bergaya keren. Dia memiliki senyum yang sama seperti Devon saat tersenyum.
Dan yang mengejutkan lagi, dia punya wajah yang sama persis seperti Devon.
“Oh, so this’s the Vy, your twins,” kata Nero yang tampak tak terkejut sedikitpun.
“Hi, Nero. My name is Daven,” Daven melangkah mendekat, mengulurkan tangannya pada Nero.
Nero menjabat tangannya dan tiba-tiba saja Daven menarik tangannya. Tubuh Nero oleng ke depan dan Daven dengan cepat menyambar kesempatan itu untuk mencium Nero, tepat di bibir.
Mereka melihat adegan itu dengan shock.
“Davy, you bastard!” kata Devon jengkel, mendorong minggir saudara kembarnya menjauh. “Stay away!”
“Don’t wanna,” kata Daven dengan nada culas. “He tastes good. I liiiiiiike him.”
“Franc,” Devon menoleh pada pria yang duduk di kursi. “What’s wrong with him?”
“Forgot to tell you, Little Brother. He turned to be a  gay a few weeks ago. Get deal with it,” kata Franc menghela napas.
“ARE YOU KIDDING ME?”
***The Flower Boy Next Door***


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.