RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 09 Juni 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran TIga Puluh)



Debaran Tiga Puluh
F4 Moved

Mimpi yang sangat buruk mengetahui bahwa temanmu sendiri akan mematahkan tanganmu tepat di depan wajahmu sendiri dengan ekspresi penuh horor.
Nero memutar tangannya, membuat Zoe meringis merasakan bahwa engsel dari bahunya bergerak dan akan keluar dari tempatnya, menyerikan bahunya. Satu gerakan lagi, maka tangannya tak akan berdaya.
Atau mungkin tidak.
Tepat saat itu Vion muncul dari belakang punggung Nero dengan tiba-tiba, melompat dan memukul tengkuk Nero dengan sikunya, membuat Nero ambruk dan tak sadarkan diri.
Zoe menatap tak percaya pemandangan di depannya dan menangkap Nero yang jatuh ke tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan?” Devon meraung tak jauh dari tempatnya, berlari dengan sekuat tenaga dan tampak panik. Dia mencengkram kemeja Vion, matanya menyala-nyala penuh amarah pada Vion. “Berani benar kau memukulnya sampai pingsan!”
Vion menyingkirkan tangan Devon. “Dia mencoba mematahkan tangan Zoe! Menurutmu apa lagi yang harus kulakukan?”
Devon meninjunya. “Itu bukan Nero!”
Vion terbatuk, berjalan terhuyung-huyung memegangi wajahnya yang berdenyut-denyut. “Apa maksudmu bukan Nero? Dia jelas-jelas berniat mematahkan tangan Zoe! Dia gila!”
Devon meninjunya lagi. “Jangan berani-berani menghinanya di depanku jika kau tak tahu apa-apa, Brengsek!”
Vion meraung marah. “JANGAN MEMBELA ORANG YANG SALAH!” Lalu kali ini dia yang meninju Devon sambil menabrak dinding. “Harusnya kau bisa membedakan mana yang baik dan benar!”
Devon menggeleng keras, mengadah dan berjalan tegap, mencengkram kerah baju Vion. “How dare you punch me, you son of bitch!”
“Stop it!” Zoe menangkap tangan Devon sebelum Devon memukul Vion untuk ketiga kalinya, yang pasti akan membuat Vion pingsan dengan rahang patah. “Guys, calm down! God, you two are really monsters.”
Tapi Devon tidak menurunkan tinjunya ataupun melepas cengkramannya. Dia menatap marah Vion yang balas melotot padanya. Kedua orang ini masih penuh emosi dan siap berkelahi layaknya pegulat jika tak ada yang menengahi.
“Devon,” Zoe mengingatkannya. “Take a long deep breath. Nero needs you.”
Mendengar nama Nero membuat Devon sadar. Dia menarik napas dengan susah payah dan melepas cengkramannya. Matanya masih mengancam Vion tapi dia segera mendatangi Nero yang tergeletak di rumput.
“Sepertinya dia hanya pingsan,” kata Zoe. “Lebih baik kita bawa ke UKS.”
“Kita semua butuh ke UKS,” kata Vion, melirik Devon.
Devon menggeram jengkel, memeriksa Nero sambil memegang denyut nadi di lehernya. Dia juga memeriksa mata Nero perlahan. “Kau memukulnya terlalu keras, Brengsek. Dia tak akan sadar untuk dua jam!”
Zoe mengerjap. Vion menatapnya keheranan.
Devon menggendong Nero ke punggungnya, memaki pelan tapi tetap menuju UKS. Vion dan Zoe saling pandang, memberikan pesan yang sama bingungnya, dan mengikuti Devon.
***The Flower Boy Next Door***
Nero bangun dengan memandang langit-langit UKS yang rasanya sudah dikenalnya. Sudah berapa kali sih dia menemukan dirinya memandang langit-langit yang sama? Sepertinya sejak masuk sekolah ini, dia jadi sering masuk ke UKS.
Begitu dia mencoba bergerak, lehernya terasa nyeri seakan hendak patah.
“Kau sudah bangun?” Bu Moni mendatanginya, memandangnya dengan penuh kasih sayang. “Apakah masih terasa sakit?”
Dia bingung harus menjawab apa.
“Devon dan yang lainnya mengantarmu kemari. Mereka juga terlihat tidak baik-baik saja. Katanya tadi kau kejatuhan batang pohon.”
Kejatuhan batang pohon? Nero mengulang, semakin bingung. Di belakang sekolah kan sama sekali tak ada pohon. Kalau mau bohong kenapa tidak yang lebih cerdas sedikit sih?
“Erm, ya,” ringis Nero memegang lehernya. “Kurasa juga begitu. Aku tak terlalu ingat.” Yang dia ingat adalah pembicaraan Zoe dengan Lisa, lalu segalanya terasa gelap. Pastilah emosinya mengambil alih ingatannya lagi.
Tapi Nero tak menyangka bahwa Lisa adalah pelakunya. Bukankah dia teman baik Niken? Rasanya Nero tak bisa mengerti jalan pikiran wanita.
“Nero?” kata Moni lagi. Nero mengadah. “Kau sudah bisa kembali ke kelas, atau kau masih pusing?”
“Aku baik-baik saja.” Walau rasanya Nero merasa mual dan ingin muntah.
“Apa kau yakin?” tanya Moni lagi. “Wajahmu sedikit hijau. Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit jika kau tidak merasa baik.”
“Tidak apa-apa. Sungguh.”
Nero bangkit dan mengangguk kecil sebelum akhirnya keluar UKS.
Zoe sudah menunggunya di samping pintu UKS.
“Zoe,” kata Nero lega. “Untunglah kau baik-baik saja.”
Zoe memasang tampang datar andalannya sehingga Nero tak bisa membaca apa yang ada dalam kepalanya. “Nathan akan segera datang.”
“Nathan?” Nero mengulangi ngeri. “Kau menghubunginya?”
“Matt bilang kalau dia walimu saat kau sendirian,” kata Zoe tenang.
Dengan sebal Nero berkata, “Aku baik-baik saja.”
“Sekarang,” Zoe mengangguk setuju. “Aku akan lega jika dia bisa menjelaskan kondisimu.”
“Apa yang terjadi?”
“Kau tak ingat?”
“Kau tahu bahwa aku tak bisa mengingatnya,” kata Nero tak sabar.
Zoe menghela napas. “Kehilangan kendali seperti biasa.” Zoe tak akan menyebut-nyebut soal Nero yang hendak mematahkan tangannya walau sekarang pergelangan tangannya sudah membiru dan berdenyut-denyut akibat cengkraman Nero, dan kepalanya memar karena menghantam tanah.
“Moni menyebut-nyebut soal Devon. Apa dia ada di sana?”
Wanita memang tak bisa diam! Maki Zoe jengkel. “Ya,” Zoe mangangguk kecil. Dan karena dia tahu bahwa hal ini tak akan lama disembunyikan, dia menambahkan, “Ada Vion juga dan dia tampak sebal.”
Ada kengerian yang muncul di wajah Nero. “Apa mereka melihat semuanya?”
Rasanya sungguh tak adil bagi Nero untuk kehilangan teman-teman sebaik Devon dan Vion. “Tidak semua dan mereka tak tahu alasan yang sebenarnya. Walau begitu, mereka berdua sempat berkelahi.”
Nero mengerjap. “Mereka berkelahi?”
Zoe mengangguk kalem. “Tapi sudah tidak apa-apa. Aku akan menemanimu ke kelas untuk mengambil tasmu. Aku juga sudah meminta ijin pada guru untuk menemanimu ke rumah sakit.”
Ekspresi jengkel Nero kembali. Dia sudah menduga kemana arah pembicaraan ini. “Apa akan ada psikiater di sana?”
“Kalau sudah tahu jangan bertanya.”
Nero memaki.
***The Flower Boy Next Door***
Aku menunggu terlalu lama. Thanks God, it feels forever. Tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa duduk manyun di atas tempat tidurku. Benar-benar membosankan. Aku bahkan tak bisa menonton jendela Nero karena Nero sama sekali belum kembali dan jendela itu sudah tertutup sempurna.
Keinginanku untuk menghubunginya begitu kuat. Aku merindukannya dan ingin mendengar suaranya.
Sialnya, dia kan lagi sekolah. Aku tak mungkin begitu egois menganggunya yang sedang belajar dan menuntut ilmu. Aku tak ingin menjadi salah satu orang yang merusak masa depannya.
Jeez, aku seperti anak-anak yang marah karena tak mendapatkan permen.
Pada akhirnya aku menekan keinginanku ke lubuk hatiku yang paling dalam dan berusaha menghabiskan waktu dengan membaca buku, berguling-guling tak jelas di atas tempat tidurku, menulis sana-sini, mencoret-coret soal di buku pelajaranku, dan pada akhirnya telentang melihat langit-langit kamar.
Lalu akhirnya tertidur karena bosan.
Begitu aku bangun, langit sudah gelap. Aku mengerjap tak pecaya, terduduk cepat di atas tempat tidur dengan buku-buku berserakan di atas tempat tidurku dan melihat ke sekeliling kamarku dengan tak percaya. Kulihat jendela kamar Nero. Masih sama seperti terakhir kali. Dan lampunya masih padam.
Jangan bilang Nero belum kembali. Bukankah ini sudah terlalu larut?
Dengan cepat kuambil ponselku siapa tahu Nero mengirimkan pesan padaku. Tapi tidak ada. Aku mulai cemas. Kemana sih Nero? Uh, inilah rasanya bila kau tinggal di sebelah kamar pacarmu. Aku merasa seperti seorang isteri yang menunggu suaminya pulang dan memikirkan hal yang tidak-tidak: termasuk kecelakaan dan kemungkinan bahwa Nero selingkuh.
Menggigit bibir bahwaku dengan cemas, aku mengirim pesan pada Nero.
Ms Genius: Kau ada dimana? Kenapa belum kembali?
“Niken,” Ray mengintip dari balik pintu.
“Apa?” kataku memelototi ponsel.
“Makan malam.”
“Nanti.”
“Aku berniat menggendongmu turun.”
Kali ini, dengan susah payah, kualihkan pandanganku padanya. “Aku bisa turun sendiri. Terima kasih atas perhatiannya.”
“Aku yakin kau bisa,” dia mengangguk kalem, “dan sudah pasti dalam keadaan berguling dan pinggang patah.” Dia menambahkan sambil memutar bola matanya dan masuk tanpa ijin ke dalam kamarku, melipat tangannya di dada. “Kenapa kau memelototi ponselmu seperti itu? Apa benda malang itu menggigitmu?”
“Bukan urusanmu,” kataku ketus.
Dia menaikan alis, melirik jendela dan tersenyum menyebalkan. “Oooh, rasanya aku bisa mengerti kenapa kau marah-marah. Apa Nero belum kembali dan memberikan ciuman ‘I’m home, Honey’ padamu?”
Wajahku merah padam secepat tanganku melempar bantal ke wajahnya.
“Sialan! Aku kan cuma mengatakan kebenaran,” katanya mengerucutkan bibirnya. “Kau beruntung aku belum melaporkan pada Mama kalau kau membiarkan Nero masuk kamarmu. Kalau dia tahu, aku yakin dia akan histeris dan meminta pertanggung-jawaban Nero.”
“Kami tidak melakukan apapun!” seruku jengkel.
“Kuharap juga tidak.”
“Kenapa sih kau selalu sok pintar?”
“Aku memang pintar.”
“Mati saja kau sana.”
Kali ini Abangku melotot marah. “Niken, kata-kata itu sungguh tidak baik. Aku cuma menjagamu, seperti yang biasa dilakukan oleh seorang Abang.”
Aku hendak membalasnya tepat saat ponselku berbunyi dan melihat Nero membalas.
Mr Notion: Sori. Aku di rumah Nathan.
Dia ada di rumah Dokter Nathan?
Ms Genius: Ngapain?
Mr Notion: Nathan tak mengijikanku pulang
Ms Genius: Kenapa?
“Siapa sih? Nero?” Ray mendekat, duduk di sampingku dan mengintip dari balik bahuku. “Dia akrab sekali ya dengan Dokter Nathan.”
Ponselku bergetar. Nero membalas lebih panjang dari yang kuduga.
Mr Notion: Tidak parah. Kepalaku hanya sedikit sakit dan pencernaanku tidak beres. Nathan akan merawatku sementara di rumahnya sampai aku baikan. Jangan merindukanku ya :P
“Aw, he’s cute,” gumam Ray. Aku menyikutnya.
Ms Genius: I hate you
Lagi-lagi Abangku berkomentar, “Harusnya kau bilang I love you.”
Mr Notion: Yeah. I love you too :*
“I like him,” kata Ray lagi. “Kau benar-benar beruntung mendapatkannya dan aku heran dengan selera Nero yang suka pada keganasanmu.”
Kali ini kulempar buku ke wajahnya. Betapa aku menyesal punya abang seperti Ray.
***The Flower Boy Next Door***
Devon mengerutkan dahi melihat Nero turun dari mobil ferari merah, mengejutkan nyaris seluruh orang di sekolah yang melongok ingin tahu. Zoe yang ada di sampingnya hanya melipat tangan dan tidak berkata apa-apa. Sedangkan Vion melangkah mendekat.
“Zoe,” Dokter Nathan mengeluarkan kepalanya dari celah jendela, “pastikan dia mendapat makan siang yang bergizi, kemarin dia muntah terlalu banyak.”
“Nathan, aku bisa menjaga diriku sendiri,” Nero memutar bola matanya.
“Yeah,” Dokter Nathan menaikan alis dengan tak peduli. “I’ll pick you up at three, ok?”
“Mkay,” Zoe mengangguk kecil.
“Ingat, Nero, makan yang cukup,” Dokter Nathan memperingatkannya untuk terakhir kali sebelum akhirnya menginjak gas dan pergi.
Nero mendesis jengkel dan menatap ketiga sahabatnya dengan alis menaik, lalu menyadari bahwa tampang Devon dan Vion benar-benar sangat berantakan. Wajah Vion nyaris bengkak seluruhnya. Devon pastilah memukulnya terlalu keras dan dia tak bisa melawan dengan baik. Devon itu seperti monster. Dan dilihat dari memar kecil di sudut bibir Devon, Nero yakin setidaknya Vion berhasil memberikan tinjunya.
“Wow, what a face,” kata Nero.
“What happened? You didn’t ear properly? Where’s your Mom? I supposed she’s the one who feed you.” Devon tidak mengacuhkan ejekan Nero.
“She’s in German with my Dad and my sister.”
“They leave you alone?” Devon menaikan alis.
“So what? I’m not a little kid anymore.” Nero menaikan alis.
“You’re the worst creature I ever seen in my life than kid nowadays,” ungkap Vion dan Devon menempeleng kepalanya dari belakang. “You piece of rotten bastard,” maki Vion memelototi Devon.
Devon balas memelototinya, giginya gemertakan menahan amarah.
“Guys, please!” Zoe berteriak jengkel, maju ke tengah-tengah pertengkaran mereka. “We have audience here and watch for you stupidfity things. Could you please save your breath to live a long way journey with happiness and no fighting?”
“There’s no happiness in their breath anyway,” Nero memutar bola matanya.
“Nero, stop it! You should’ve the one who give me a hand here.” Zoe menekan tangannya ke dada Devon dan Vion yang hendak baku hantam lagi.
Alis Nero menaik, kemudian dia bertepuk tangan membuat Devon dan Vion menoleh ke arahnya. “Ok, kiddos! Time’s to break your time to your little pissy game. Gimme a break. I need some fresh air coz I feel to puke both of you now.”
Devon menatapnya. “Nero, you’re saying nonsense.”
“Yeah? Good, coz I’m not in the mood to deal with your temper now.”
Zoe menyipitkan matanya dan memukul dahinya dengan segera.
“Ouch!” Nero memaki kemudian mengerjap. “What the hell?”
“Feeling well now?”
“It’s throbbing now!” Nero menggosok-gosok dahinya.
“Good, coz I’m not in the mood to deal with your temper too.” Zoe melangkah mendekat, menarik tangannya segera untuk masuk ke dalam sekolah. Tidak menghiraukan maki-makian Nero.
Devon dan Vion saling pandang, tapi memilih mengikuti Zoe membawa Nero ke belakang sekolah lagi, menyudutkannya ke dinding. Devon dan Vion berdiri di belakang punggungnya.
“Nero, how was it going?” tanyanya.
“How is it going about what?” Nero berseru jengkel.
Zoe menarik napas untuk menjawab, “Your anger management theraphy.”
Devon dan Vion ternganga. Anger management theraphy?
Nero menatapnya sebentar sebelum akhirnya menarik napas, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding. “It became worst and worst. I told you already I’m fine didn’t you?”
“I see,” kata Zoe pelan. “I just worried.”
“Me too. Who do you think you are that I didn’t? I cannot remember every single thing I’ve done when I got mad and it feels horrible! What will I do when I find myself killed someone? How’d I response when I see the death body? What nightmare I’d get when I saw those man whose laying on the bed with his hand or leg broken? It’s freaking me out, you know!”
“Calm down, Nero,” kata Zoe.
“I can’t!” Nero melonggarkan dasinya, berjalan mondar-mandir. “Don’t you dare ‘calm down me’ coz it’s not easy as you said—” Nero berhenti berbicara dan berjalan karena Devon sudah memeluknya erat-erat.
“It’s okay, Nero. Calm down. We’re here,” kata Devon.
Nero menarik napas dalam-dalam, menghitung sampai sepuluh dalam kepalanya, merasakan amarahnya mereda perlahan-lahan, dan akhirnya menghela napas lega.
“Good,” kata Devon melepas pelukannya. “That’s what you called anger management.”
Nero tertawa kering. “Sorry, my bad,” gumamnya. “Thanks. I need hug sometimes.”
“Niken will do it a lot,” Devon menepuk bahunya.
Nero menaikan alisnya. “Aw, yeah, she will.”
Zoe melipat tangannya. “So you guys find it out. Are you still being his friend or not?”
“Hell yeah,” kata Devon. “Why I don’t?”
Zoe melirik Vion. “And you, Mr President?”
Mereka menatap Vion yang tampaknya terlalu terkejut.
“Well, he’s a bit different now,” dia menarik napas. “but it doesn’t change the fact that he’s the Nero I know, so what’s the big deal?” kata Vion menaikan kedua bahunya.
“I love you guys!” kata Nero memeluk Vion dan Devon sekaligus.
“Ew,” Devon menyingkir dari sisi Vion, meringis memegang bahunya yang tadi terkena bahu Vion. “Can I take my way to bathroom? I’m gonna wash my dirty coat.”
“Then I’ll burn my coat, it smells stinks like a douche bag,” balas Vion.
“Guys not again!” Zoe memutar bola matanya. “I think I could cut your heads off  and put it in your ass in the same time.”
Dan Nero tertawa mendengarnya.
***The Flower Boy Next Door***
Vion melipat tangannya, menghadapi rapat Osis untuk yang kesekian kalinya. Devon ada di sampingnya, tampak sebal tapi tak mengucapkan apapun selain mengatupkan mulutnya. Jika saja Alfon tidak memaksanya untuk datang, dia juga tak sudi datang. Yang mengherankan, ada Zoe juga di sini, duduk di sisi Vion yang satunya.
Seluruh anak-anak Osis mengerutkan dahi dengan keheranan. Untuk apa Vion mengundang Zoe segala jika dia sudah yakin akan membuat Devon jadi Ketua Osis?
“Kalian pasti sudah tahu alasan kenapa aku mengadakan rapat hari ini. Ini akan jadi rapat terakhir kita sebelum adanya pelantikan Ketua Osis baru.” Vion berbicara, melihat ke sekitarnya, memandang satu per satu anak-anak Osis. “Tapi, akan ada dua hal yang akan kubahas saat ini. Pertama adalah mengenai masalah Pelantikan dan yang kedua mengenai Niken.”
Devon dan Zoe segera menatapnya dengan keheranan.
“Siapa dari antara kalian yang ikut serta sebagai pesuruhnya Lisa?” kata Vion tanpa basa-basi.
Kali ini ada ketegangan yang menggantung di udara. Bisik-bisik mulai terdengar dan beberapa kepala menoleh gelisah. Devon menatap mereka satu per satu dengan sengit. Zoe kembali menolehkan kepalanya dengan pelan, memerhatikan dengan sepenuh hati dan menunggu Vion menyelesaikan permainannya.
“Tidak ada yang mau mengaku?” kata Vion. “Baik. Kalau begitu aku tinggal membuka file CCTV sekolah untuk mencari tahu pelakunya, dan jika hal itu sampai terjadi, sudah pasti akan ada banyak orang yang akan dikeluarkan dengan cara tidak terhormat di sekolah ini.”
Sekarang permainan ini menjadi lebih menarik.
“CCTV? Aku tak pernah tahu ada CCTV,” kata Devon.
“Sekarang kau tahu. Kakekku mungkin sudah tua, tapi dia tahu apa yang namanya keamanan,” Vion mengangguk kecil, masih melihat lurus ke depan.
“Kakekku?” Zoe mengulang dengan nada lucu.
“Oh, aku belum bilang kalau aku adalah cucu dari Pemilik Sekolah?” kata Vion kalem.
“Sekarang sudah,” kata Zoe, tersenyum kecil.
Vion balas tersenyum kecil. “Kalian masih belum ingin mengaku?” kata Vion. “Kalau begitu aku akan meminta Pak Julian mengambil datanya dan ucapkan selamat tinggal pada sekolah i—”
“Aku,” salah satu dari mereka mengaku, dan hal itu membuat yang lain berduyun-duyun mengaku tak lama kemudian.
“Aku juga.”
“Aku mengaku.”
Devon menggertakan gigi. “Kenapa kalian memperlakukan Niken sampai seperti itu?”
“Karena gadis itu menyebalkan. Kami cuma balas dendam! Dia gadis paling buruk yang pernah kami dengar dan-dan-dan yang lebih parah, dia malah mengambil Nero dari kami,” Lisa menjawab lantang.
“Kau berani bicara begitu pada kami sementara kau adalah teman baik Niken?” Devon berdiri dengan berang.
“Devon, duduk,” Zoe memperingatkan. “Biarkan Vion menyelesaikan masalah ini.”
Devon duduk sambil mengepalkan tangannya.
Vion menunggu beberapa detik untuk melanjutkan. “Kalian benar-benar lebih buruk dari Niken, setidaknya Niken tak akan menusuk dari belakang. Aku senang kalian menunjukan taring kalian sekarang dan aku harap tak ada lain kali.” Suaranya halus, dingin tapi panas. “Aku minta kalian menjaga gerak-gerik kalian. Jika sekali lagi aku mendengar masalah ini, akan kupastikan kalian dikeluarkan. Siang ini juga, aku minta kalian membuat surat perjanjian, ditandatangani di atas materai kalau kalian tak akan pernah melakukan pelecehan atau kekerasan dalam bentuk apapun pada anak-anak di sekolah ini. Terlambat sedetik saja, aku akan memastikan nama kalian tak terdaftar lagi di sekolah ini.”
Wow, Zoe mau tak mau harus merasa kagum pada sifat tegas Vion. Ternyata dia bukan tipe orang yang selama dipikirkan Zoe dalam otaknya. Vion memiliki sesuatu untuk memimpin di depan, menyelesaikan segalanya dengan baik dan brilian walau harus menggunakan pemaksaan, hati-hati dalam melangkah tapi jelas tahu langkah apa yang akan dia lakukan. Hanya saja masih tetap sedikit emosional.
“Dan mulai hari ini Devon akan jadi Ketua Osis di sekolah ini. Dia akan dilantik lusa di depan seluruh sekolah—”
“Aku belum mengatakan apa-apa bahwa aku setuju menjadi Ketua Osis,” Devon memotong sebal.
“Jika kau ingin melindungi Niken dan Nero, kau harus jadi Ketua Osis,” kata Vion, menatapnya.
Devon terdiam, mencerna dan akhirnya tak bisa membalas.
“Nah, karena sekarang semua sudah jelas, kuharap kalian tak akan ribut mengenai masalah ini. Ingat baik-baik, apa yang terjadi di ruangan ini tetap berada di ruangan ini. Bila aku mendengar gosip lagi, akan kupastikan aku yang akan turun tangan,” ancam Vion, membuat semua orang mengangguk tanpa suara.
***The Flower Boy Next Door***
Ms Genius: Kau ada dimana?
Mr Notion: Kolam. Mau datang?
Ms Genius: Haha. Kakiku kan pincang
Mr Notion: Minta Ray mengantarmu
Uh, meminta Abangku mengantarku? Aku tak yakin apakah dia mau atau tidak. Tapi lebih baik berusaha dulu. Lagipula, aku kangen Nero. Ray sama sekali tak pernah mau membiarkanku sendirian, membuatku sebal.
“Bang! Abang!”
Dia muncul tak lama kemudian, mengenakan kacamata dan memegang buku di tangan yang satunya. “Apa sih?”
“Aku mau ke rumah Nero. Antarkan aku,” kataku.
“Suruh saja dia ke sini.”
Aku merengut. “Kau kan tak mengijinkannya masuk.”
“Siapa yang bilang?”
“Aku yang bilang,” balasku sebal.
Dia balas memelototiku. “Oke. Tapi cuma setengah jam ya, setelah itu aku menjemputmu lagi. Jika sampai kau macam-macam dengannya, aku akan mencekiknya dan kupastikan dia tak akan pernah bertemu denganmu lagi.”
“Kau lebih parah daripada Papa!”
“Hmph! Tentu saja!” dengan sengaja dia menaikan kacamatanya, tampak sok dan angkuh. “Papa kan nggak tahu apa yang terjadi di kamar ini.”
“Antarkan saja aku ke rumah Nero!”
Dia memutar bola matanya. “Berbahagialah mereka yang menjadi adikku, karena aku begitu tulus dan rela menjadi babu bagi adik-adiknya,” gumamnya. Dia meletakan kacamata dan bukunya lalu berjalan, menggendongku. “Huh, untunglah kau tak seberat gajah, kalau tidak aku tak akan sudi.”
Karena aku tahu yang namanya berterima kasih, maka aku akan berbaik-baik padanya. “Makasih ya, Abangku Sayang, kudoakan kau cepat-cepat lulus kuliah dan menikah.”
Ray balas tersenyum. “Aku akan lebih bersyukur kau menikah lebih dulu daripadaku dan hamil duluan.”
Aku memelototinya. “Nyebelin.”
“Itu benar kan?”
“Nggak sama sekali,” kataku memutar bola mata.
Ray mengantarku ke depan rumah Nero dimana Satpam dengan berbaik hati membuka pintu gerbang dan mengantarkan kami masuk ke dalam rumah. Aku dan Ray tampak seperti orang kampung yang masuk istana melihat megahnya rumah Nero. Memang sih aku pernah dua kali mengunjungi rumah Nero, tapi tetap saja aku merasa bahwa rumah ini mengagumkan. Belum lagi aku terpesona dengan cantiknya piano milik Nero. Dan ternyata masih ada bagian dalam rumah yang luas sekali begitu kami masuk semakin dalam, menuju kolam renang dan taman belakang, yang dihiasi dengan kolam ikan dan juga tatanan bambu yang unik.
Nero tampak duduk di samping kolam. Kedua kakinya masuk ke dalam air. Ada dua buku tebal di belakangnya dan ponselnya dia pegang.
“Ehem,” Ray berdeham.
Dia menoleh dan aku dilanda keinginan untuk memeluknya.
“Hay, Ray,” dia berdiri, memperlihatkan senyumnya yang memikat, dan menunduk mencium dahiku, “Hai, Niken.”
“Eh eh eh, dilarang cium-cium,” kata Ray memelototinya.
Nero menaikan alis. “Ok,” dia mendesah pasrah. “Kalian mau minum apa? Tunggu, kuambilkan kursi dulu.”
“Tidak perlu, aku tak haus,” kata Ray tiba-tiba dan dia segera memberikanku ke tangan Nero. “Aku akan kembali setengah jam lagi. Ingat. Jangan macam-macam, atau akan menggorok lehermu.”
“Aku tak akan berani,” kata Nero sambil tertawa.
Kami berdua melihat Abangku melangkah pergi.
“Aku suka dia,” kata Nero tiba-tiba.
“Aku tak suka padanya,” kataku sebal.
Well, dia cuma menunjukan otoritas dirinya sebagai Abang, hal yang akan kulakukan pula pada Ageha,” katanya dan mendudukanku ke salah satu kursi nyaman yang ada dekat jendela.
“Dimana Ageha? Aku tak mendengar suaranya,” kataku penasaran.
“Dia dan Mom ada di Jerman. Pesta,” katanya datar.
“Kau pasti kesepian,” gumamku, memegang tangannya.
“Sedikit. Tapi sekarang sudah tak apa-apa,” dia balas menggenggam tanganku. “Bagaimana kakimu? Sudah tak apa-apa?”
Kutatap kakiku dengan penuh kemalangan. “Sudah tak sakit, tapi juga belum bisa digerakan terlalu lama. Mungkin besok aku sudah bisa jalan normal.”
Matanya yang coklat tampak bersinar dan lega mengetahui aku baik-baik saja. “Bekasnya juga sudah hilang,” gumamnya mengusap pipiku. “Nikenku semakin cantik.”
Nikenku, kata yang luar biasa seakan Nero hanya ingin memiliku. Lagipula, dia tak peduli apakah aku cantik atau tidak, dia hanya akan melihatku seorang. Kutundukan kepalaku, mencium pipinya.
“Abangmu tadi bilang dilarang cium loh,” katanya terkekeh kecil.
“Dia kan tidak melarangku,” gumamku mencium hidungnya.
Ada sinar geli di mata Nero. “Benar juga,” katanya. “Jadi tidak melanggar peraturan ya?”
Aku balas tersenyum geli. “Mungkin.”
“Hmmm,” gumam Nero, menutup mata. “Lalu, apa yang akan kau lakukan padaku?”
“Kau pasrah?”
“Tentu saja aku pasrah.”
Dan karena dia begitu dekat, aku memilih mencium bibirnya. Ya ampun, aku benar-benar merindukan Nero. Sehari saja tak bertemu dengannya seakan seabad. Kalau bukan karena kakiku, tentunya aku yang akan datang sendiri padanya.
“Hei, kau bilang kau pasrah,” kataku, menjauhkan wajahku sedikit saat Nero memeluk pinggangku erat-erat.
“Rasanya peraturannya tidak menyangkut pelukan. Aku kan bebas memelukmu,” ucapnya kalem.
Aku memutar bola mata. “Aku tak tahu apakah harus bangga atau ngeri dengan kepintaranmu itu.”
Nero tersenyum manis. “Kau harus bangga, kalau tidak aku akan sedih.”
“Ah, memangnya aku percaya?”
“Aku rindu padamu, Niken, dan aku merasa sangat kesepian,” ujarnya tiba-tiba, memelukku erat-erat.
“Nero, apa ada sesuatu yang terjadi?” dahiku mengerut keheranan. Hari ini Nero tampaknya terlalu melankonis.
“Hmmmm.”
“Kau belum ingin mengatakannya?”
Dia mendesah, dan memperat pelukannya. Aku tak ingin memaksanya, jadi yang kulakukan adalah memeluknya, memberikan tepukan pelan ke punggungnya, menyisir rambut Nero yang halus dan lebat. Aku suka sekali melakukannya. Rambutnya seperti anak-anak, lembut dan wangi.
Segala hal mengenai Nero, akhir-akhir ini, tampak begitu rapuh. Semakin mengenalnya, aku merasa dia tak sekuat saat pertama kali kami bertemu.
Aku memeluknya, menghela napas, ketika dia menjauhkan diriku dengan tiba-tiba. Aku mengerjap kebingungan melihatnya memegang telinganya.
Wajahnya merah padam. Huh? “Nero?” kataku keheranan.
“Er…” dia tergagap. “Telingaku sensitif.”
Apa? Telinganya sensitif? Te—oh! Aku mengerti sekarang.
“Niken, senyummu tidak menyenangkan.” Dia menaikan alis.
“Sini, aku pengen lihat sesensitif apa,” kataku lagi.
Dia berusaha menjauh, menutup kedua telinganya dengan tangan. “Tidak. Aduh, jangan tiup! Ya ampun! Menjauh dariku.”
Dengan usil aku menyingkirkan kedua tangannya, meniup telinganya. Wajahnya kembali merah padam.
Aduh, imutnya. Baru kali ini aku melihat Nero yang merah padam. Selama ini akulah yang merah padam. Sekarang aku tahu apa kelemahan Nero. Ketika wajahnya memerah, tampak malu-malu dan tergagap saat berusaha menyingkirkanku, aku tahu bahwa aku semakin mengenal Nero dengan baik.
Dan aku semakin mencintainya karena itu.
***The Flower Boy Next Door***
“Kau? Jadi Ketua Osis? Tak bisa dipercaya!” kata Nero, lalu terbahak-bahak, menepuk-nepuk bahu Devon. “Vion punya selera yang bagus. Kau harus berterima kasih padanya.”
“Kenapa juga aku harus berterima kasih padanya?” gerutu Devon.
Sekarang aku bersama dengan yang lainnya sedang duduk di Bukit Hijau, di bawah pohon Hantu. Aku dan Nero duduk berdampingan, sementara di sebelah Nero ada Devon yang menggerutu. Zoe bersama Kak Vion sedang sibuk main catur. Menghabiskan waktu makan siang di tempat sejuk seperti ini memang enak.
“Karena Vion pandai memilih Ketua Osis yang pas, ya kan Zoe?” Nero meminta dukungan.
“Ya,” Zoe menjawab tanpa perlu mengalih perhatiannya. “Skak mat.”
Kak Vion ternganga. “Kenapa kau pintar sekali dengan hal seperti ini?”
“Karena,” kata Zoe sambil bersedekap. “Aku ahli.”
“Kau cocok menjadi seorang polisi, Zoe, sungguh. Dengan segala penyelidikan dan macam-macamnya itu,” Kak Vion tampak kagum, masih memelototi caturnya.
“Aku tak berniat menjadi polisi,” gumam Zoe, mengalihkan pandangannya ke sekolah.
“Siapa itu?” kataku begitu melihat arah pandang Zoe.
Ada seorang pria tengah berjalan menuju tempat kami. Dia mengenakan stelan formal: dasi, jas, kemeja rapi, celana lurus, sepatu mengilap dan tampak seperti agen FBI dengan kostum serba hitam. Kepala Sekolah? Tak mungkin. Pak Owen selalu tahu style. Pak Alfon? Hmph, itu lebih mustahil, beliau selalu mengenakan jas panjang berkibar. Pak Julian selalu mengenakan kemeja tanpa dasi dengan dua kancing yang sengaja dilepas dan Pak Garry selalu mengenakan pakaian olah raga.
Lalu, siapa dia?
“Jacob?” Nero tiba-tiba berdiri. Zoe juga ikut-ikutan berdiri.
Pria yang bernama Jacob itu berjalan mendekat. Dia tampan sekali. Tampak muda dan berwibawa dengan raut wajah tegas dan kalem.
“Nero,” katanya begitu dia cuma berjarak semeter dari Nero. Aku merasakan tubuhku sendiri bangkit dan ternyata baik Devon dan Vion juga melakukan hal yang sama.
Nero tidak mengucapkan apa-apa. Dia hanya menatap pria itu lurus-lurus.
“Aku diutus untuk membawamu pulang,” katanya.
Apa maksudnya? Pulang? Pulang kemana? Dahiku mengerut keheranan melihat dari Nero ke Jacob berulang-ulang. Tapi yang mengherankan, Nero sama sekali tak mengucapkan apapun. Dia tidak mengangguk ataupun bergerak begitu Jacob mengalungkan tangannya ke bahu Nero, dan membimbingnya turun dari Bukit seakan Nero sebuah boneka tak bernyawa.
Kami hanya melihat punggung Nero semakin jauh dan jauh.
Dan aku memiliki perasaan aneh yang mengatakan bahwa aku tak akan bertemu dengan Nero lagi.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.