Debaran Tiga Puluh
F4 Moved
Mimpi yang
sangat buruk mengetahui bahwa temanmu sendiri akan mematahkan tanganmu tepat di
depan wajahmu sendiri dengan ekspresi penuh horor.
Nero memutar
tangannya, membuat Zoe meringis merasakan bahwa engsel dari bahunya bergerak
dan akan keluar dari tempatnya, menyerikan bahunya. Satu gerakan lagi, maka
tangannya tak akan berdaya.
Atau mungkin tidak.
Tepat saat itu
Vion muncul dari belakang punggung Nero dengan tiba-tiba, melompat dan memukul
tengkuk Nero dengan sikunya, membuat Nero ambruk dan tak sadarkan diri.
Zoe menatap tak
percaya pemandangan di depannya dan menangkap Nero yang jatuh ke tubuhnya.
“Apa yang kau
lakukan?” Devon meraung tak jauh dari tempatnya, berlari dengan sekuat tenaga
dan tampak panik. Dia mencengkram kemeja Vion, matanya menyala-nyala penuh
amarah pada Vion. “Berani benar kau memukulnya sampai pingsan!”
Vion
menyingkirkan tangan Devon. “Dia mencoba mematahkan tangan Zoe! Menurutmu apa
lagi yang harus kulakukan?”
Devon
meninjunya. “Itu bukan Nero!”
Vion terbatuk,
berjalan terhuyung-huyung memegangi wajahnya yang berdenyut-denyut. “Apa
maksudmu bukan Nero? Dia jelas-jelas berniat mematahkan tangan Zoe! Dia gila!”
Devon meninjunya
lagi. “Jangan berani-berani menghinanya di depanku jika kau tak tahu apa-apa,
Brengsek!”
Vion meraung
marah. “JANGAN MEMBELA ORANG YANG SALAH!” Lalu kali ini dia yang meninju Devon
sambil menabrak dinding. “Harusnya kau bisa membedakan mana yang baik dan
benar!”
Devon menggeleng
keras, mengadah dan berjalan tegap, mencengkram kerah baju Vion. “How dare you punch me, you son of bitch!”
“Stop it!” Zoe menangkap tangan Devon sebelum
Devon memukul Vion untuk ketiga kalinya, yang pasti akan membuat Vion pingsan
dengan rahang patah. “Guys, calm down!
God, you two are really monsters.”
Tapi Devon tidak
menurunkan tinjunya ataupun melepas cengkramannya. Dia menatap marah Vion yang
balas melotot padanya. Kedua orang ini masih penuh emosi dan siap berkelahi
layaknya pegulat jika tak ada yang menengahi.
“Devon,” Zoe mengingatkannya. “Take a long deep breath. Nero needs you.”
Mendengar nama
Nero membuat Devon sadar. Dia menarik napas dengan susah payah dan melepas cengkramannya.
Matanya masih mengancam Vion tapi dia segera mendatangi Nero yang tergeletak di
rumput.
“Sepertinya dia
hanya pingsan,” kata Zoe. “Lebih baik kita bawa ke UKS.”
“Kita semua
butuh ke UKS,” kata Vion, melirik Devon.
Devon menggeram
jengkel, memeriksa Nero sambil memegang denyut nadi di lehernya. Dia juga
memeriksa mata Nero perlahan. “Kau memukulnya terlalu keras, Brengsek. Dia tak
akan sadar untuk dua jam!”
Zoe mengerjap.
Vion menatapnya keheranan.
Devon
menggendong Nero ke punggungnya, memaki pelan tapi tetap menuju UKS. Vion dan
Zoe saling pandang, memberikan pesan yang sama bingungnya, dan mengikuti Devon.
***The Flower
Boy Next Door***
Nero bangun
dengan memandang langit-langit UKS yang rasanya sudah dikenalnya. Sudah berapa
kali sih dia menemukan dirinya memandang langit-langit yang sama? Sepertinya
sejak masuk sekolah ini, dia jadi sering masuk ke UKS.
Begitu dia
mencoba bergerak, lehernya terasa nyeri seakan hendak patah.
“Kau sudah
bangun?” Bu Moni mendatanginya, memandangnya dengan penuh kasih sayang. “Apakah
masih terasa sakit?”
Dia bingung
harus menjawab apa.
“Devon dan yang
lainnya mengantarmu kemari. Mereka juga terlihat tidak baik-baik saja. Katanya
tadi kau kejatuhan batang pohon.”
Kejatuhan batang
pohon? Nero mengulang, semakin bingung. Di belakang sekolah kan sama sekali tak
ada pohon. Kalau mau bohong kenapa tidak yang lebih cerdas sedikit sih?
“Erm, ya,”
ringis Nero memegang lehernya. “Kurasa juga begitu. Aku tak terlalu ingat.”
Yang dia ingat adalah pembicaraan Zoe dengan Lisa, lalu segalanya terasa gelap.
Pastilah emosinya mengambil alih ingatannya lagi.
Tapi Nero tak
menyangka bahwa Lisa adalah pelakunya. Bukankah dia teman baik Niken? Rasanya
Nero tak bisa mengerti jalan pikiran wanita.
“Nero?” kata
Moni lagi. Nero mengadah. “Kau sudah bisa kembali ke kelas, atau kau masih
pusing?”
“Aku baik-baik
saja.” Walau rasanya Nero merasa mual dan ingin muntah.
“Apa kau yakin?”
tanya Moni lagi. “Wajahmu sedikit hijau. Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit
jika kau tidak merasa baik.”
“Tidak apa-apa.
Sungguh.”
Nero bangkit dan
mengangguk kecil sebelum akhirnya keluar UKS.
Zoe sudah
menunggunya di samping pintu UKS.
“Zoe,” kata Nero
lega. “Untunglah kau baik-baik saja.”
Zoe memasang
tampang datar andalannya sehingga Nero tak bisa membaca apa yang ada dalam
kepalanya. “Nathan akan segera datang.”
“Nathan?” Nero
mengulangi ngeri. “Kau menghubunginya?”
“Matt bilang
kalau dia walimu saat kau sendirian,” kata Zoe tenang.
Dengan sebal
Nero berkata, “Aku baik-baik saja.”
“Sekarang,” Zoe mengangguk setuju. “Aku akan lega
jika dia bisa menjelaskan kondisimu.”
“Apa yang
terjadi?”
“Kau tak ingat?”
“Kau tahu bahwa
aku tak bisa mengingatnya,” kata Nero tak sabar.
Zoe menghela
napas. “Kehilangan kendali seperti biasa.” Zoe tak akan menyebut-nyebut soal
Nero yang hendak mematahkan tangannya walau sekarang pergelangan tangannya
sudah membiru dan berdenyut-denyut akibat cengkraman Nero, dan kepalanya memar
karena menghantam tanah.
“Moni
menyebut-nyebut soal Devon. Apa dia ada di sana?”
Wanita memang
tak bisa diam! Maki Zoe jengkel. “Ya,” Zoe mangangguk kecil. Dan karena dia
tahu bahwa hal ini tak akan lama disembunyikan, dia menambahkan, “Ada Vion juga
dan dia tampak sebal.”
Ada kengerian
yang muncul di wajah Nero. “Apa mereka melihat semuanya?”
Rasanya sungguh
tak adil bagi Nero untuk kehilangan teman-teman sebaik Devon dan Vion. “Tidak
semua dan mereka tak tahu alasan yang sebenarnya. Walau begitu, mereka berdua
sempat berkelahi.”
Nero mengerjap.
“Mereka berkelahi?”
Zoe mengangguk
kalem. “Tapi sudah tidak apa-apa. Aku akan menemanimu ke kelas untuk mengambil
tasmu. Aku juga sudah meminta ijin pada guru untuk menemanimu ke rumah sakit.”
Ekspresi jengkel
Nero kembali. Dia sudah menduga kemana arah pembicaraan ini. “Apa akan ada
psikiater di sana?”
“Kalau sudah
tahu jangan bertanya.”
Nero memaki.
***The Flower
Boy Next Door***
Aku menunggu
terlalu lama. Thanks God, it feels
forever. Tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa duduk manyun di atas
tempat tidurku. Benar-benar membosankan. Aku bahkan tak bisa menonton jendela
Nero karena Nero sama sekali belum kembali dan jendela itu sudah tertutup
sempurna.
Keinginanku
untuk menghubunginya begitu kuat. Aku merindukannya dan ingin mendengar
suaranya.
Sialnya, dia kan
lagi sekolah. Aku tak mungkin begitu egois menganggunya yang sedang belajar dan
menuntut ilmu. Aku tak ingin menjadi salah satu orang yang merusak masa
depannya.
Jeez, aku seperti anak-anak yang marah
karena tak mendapatkan permen.
Pada akhirnya
aku menekan keinginanku ke lubuk hatiku yang paling dalam dan berusaha
menghabiskan waktu dengan membaca buku, berguling-guling tak jelas di atas
tempat tidurku, menulis sana-sini, mencoret-coret soal di buku pelajaranku, dan
pada akhirnya telentang melihat langit-langit kamar.
Lalu akhirnya
tertidur karena bosan.
Begitu aku
bangun, langit sudah gelap. Aku mengerjap tak pecaya, terduduk cepat di atas
tempat tidur dengan buku-buku berserakan di atas tempat tidurku dan melihat ke
sekeliling kamarku dengan tak percaya. Kulihat jendela kamar Nero. Masih sama
seperti terakhir kali. Dan lampunya masih padam.
Jangan bilang
Nero belum kembali. Bukankah ini sudah terlalu larut?
Dengan cepat
kuambil ponselku siapa tahu Nero mengirimkan pesan padaku. Tapi tidak ada. Aku
mulai cemas. Kemana sih Nero? Uh, inilah rasanya bila kau tinggal di sebelah
kamar pacarmu. Aku merasa seperti seorang isteri yang menunggu suaminya pulang
dan memikirkan hal yang tidak-tidak: termasuk kecelakaan dan kemungkinan bahwa
Nero selingkuh.
Menggigit bibir
bahwaku dengan cemas, aku mengirim pesan pada Nero.
Ms Genius: Kau ada dimana? Kenapa belum kembali?
“Niken,” Ray
mengintip dari balik pintu.
“Apa?” kataku
memelototi ponsel.
“Makan malam.”
“Nanti.”
“Aku berniat
menggendongmu turun.”
Kali ini, dengan
susah payah, kualihkan pandanganku padanya. “Aku bisa turun sendiri. Terima
kasih atas perhatiannya.”
“Aku yakin kau
bisa,” dia mengangguk kalem, “dan sudah pasti dalam keadaan berguling dan
pinggang patah.” Dia menambahkan sambil memutar bola matanya dan masuk tanpa
ijin ke dalam kamarku, melipat tangannya di dada. “Kenapa kau memelototi
ponselmu seperti itu? Apa benda malang itu menggigitmu?”
“Bukan
urusanmu,” kataku ketus.
Dia menaikan
alis, melirik jendela dan tersenyum menyebalkan. “Oooh, rasanya aku bisa
mengerti kenapa kau marah-marah. Apa Nero belum kembali dan memberikan ciuman ‘I’m home, Honey’ padamu?”
Wajahku merah
padam secepat tanganku melempar bantal ke wajahnya.
“Sialan! Aku kan
cuma mengatakan kebenaran,” katanya mengerucutkan bibirnya. “Kau beruntung aku
belum melaporkan pada Mama kalau kau membiarkan Nero masuk kamarmu. Kalau dia
tahu, aku yakin dia akan histeris dan meminta pertanggung-jawaban Nero.”
“Kami tidak
melakukan apapun!” seruku jengkel.
“Kuharap juga
tidak.”
“Kenapa sih kau
selalu sok pintar?”
“Aku memang
pintar.”
“Mati saja kau
sana.”
Kali ini Abangku
melotot marah. “Niken, kata-kata itu sungguh tidak baik. Aku cuma menjagamu,
seperti yang biasa dilakukan oleh seorang Abang.”
Aku hendak
membalasnya tepat saat ponselku berbunyi dan melihat Nero membalas.
Mr Notion: Sori. Aku di rumah Nathan.
Dia ada di rumah
Dokter Nathan?
Ms Genius: Ngapain?
Mr Notion: Nathan tak mengijikanku pulang
Ms Genius: Kenapa?
“Siapa sih?
Nero?” Ray mendekat, duduk di sampingku dan mengintip dari balik bahuku. “Dia
akrab sekali ya dengan Dokter Nathan.”
Ponselku
bergetar. Nero membalas lebih panjang dari yang kuduga.
Mr Notion: Tidak parah. Kepalaku hanya sedikit sakit
dan pencernaanku tidak beres. Nathan akan merawatku sementara di rumahnya
sampai aku baikan. Jangan merindukanku ya :P
“Aw, he’s cute,” gumam Ray. Aku menyikutnya.
Ms Genius: I hate you
Lagi-lagi
Abangku berkomentar, “Harusnya kau bilang I
love you.”
Mr Notion: Yeah. I love you too :*
“I like him,” kata Ray lagi. “Kau benar-benar
beruntung mendapatkannya dan aku heran dengan selera Nero yang suka pada
keganasanmu.”
Kali ini
kulempar buku ke wajahnya. Betapa aku menyesal punya abang seperti Ray.
***The Flower
Boy Next Door***
Devon
mengerutkan dahi melihat Nero turun dari mobil ferari merah, mengejutkan nyaris
seluruh orang di sekolah yang melongok ingin tahu. Zoe yang ada di sampingnya
hanya melipat tangan dan tidak berkata apa-apa. Sedangkan Vion melangkah
mendekat.
“Zoe,” Dokter
Nathan mengeluarkan kepalanya dari celah jendela, “pastikan dia mendapat makan
siang yang bergizi, kemarin dia muntah terlalu banyak.”
“Nathan, aku
bisa menjaga diriku sendiri,” Nero memutar bola matanya.
“Yeah,” Dokter Nathan menaikan alis dengan tak
peduli. “I’ll pick you up at three, ok?”
“Mkay,” Zoe mengangguk kecil.
“Ingat, Nero,
makan yang cukup,” Dokter Nathan memperingatkannya untuk terakhir kali sebelum
akhirnya menginjak gas dan pergi.
Nero mendesis
jengkel dan menatap ketiga sahabatnya dengan alis menaik, lalu menyadari bahwa
tampang Devon dan Vion benar-benar sangat berantakan. Wajah Vion nyaris bengkak
seluruhnya. Devon pastilah memukulnya terlalu keras dan dia tak bisa melawan
dengan baik. Devon itu seperti monster. Dan dilihat dari memar kecil di sudut
bibir Devon, Nero yakin setidaknya Vion berhasil memberikan tinjunya.
“Wow, what a face,” kata Nero.
“What happened? You didn’t ear properly? Where’s
your Mom? I supposed she’s the one who feed you.” Devon tidak
mengacuhkan ejekan Nero.
“She’s in German with my Dad and my sister.”
“They leave you alone?” Devon menaikan
alis.
“So what? I’m not a little kid anymore.” Nero menaikan
alis.
“You’re the worst creature I ever seen in my life
than kid nowadays,”
ungkap Vion dan Devon menempeleng kepalanya dari belakang. “You piece of rotten bastard,” maki Vion memelototi Devon.
Devon balas
memelototinya, giginya gemertakan menahan amarah.
“Guys, please!” Zoe berteriak jengkel, maju ke
tengah-tengah pertengkaran mereka. “We
have audience here and watch for you stupidfity things. Could you please save
your breath to live a long way journey with happiness and no fighting?”
“There’s no happiness in their breath anyway,” Nero memutar
bola matanya.
“Nero, stop it! You should’ve the one who give me a
hand here.”
Zoe menekan tangannya ke dada Devon dan Vion yang hendak baku hantam lagi.
Alis Nero
menaik, kemudian dia bertepuk tangan membuat Devon dan Vion menoleh ke arahnya.
“Ok, kiddos! Time’s to break your time to
your little pissy game. Gimme a break. I need some fresh air coz I feel to puke
both of you now.”
Devon menatapnya. “Nero, you’re saying nonsense.”
“Yeah? Good, coz I’m not in the mood to deal with
your temper now.”
Zoe menyipitkan
matanya dan memukul dahinya dengan segera.
“Ouch!” Nero memaki kemudian mengerjap. “What the hell?”
“Feeling well now?”
“It’s throbbing now!” Nero
menggosok-gosok dahinya.
“Good, coz I’m not in the mood to deal with your
temper too.”
Zoe melangkah mendekat, menarik tangannya segera untuk masuk ke dalam sekolah.
Tidak menghiraukan maki-makian Nero.
Devon dan Vion
saling pandang, tapi memilih mengikuti Zoe membawa Nero ke belakang sekolah
lagi, menyudutkannya ke dinding. Devon dan Vion berdiri di belakang punggungnya.
“Nero, how was it going?” tanyanya.
“How is it going about what?” Nero berseru
jengkel.
Zoe menarik
napas untuk menjawab, “Your anger
management theraphy.”
Devon dan Vion
ternganga. Anger management theraphy?
Nero menatapnya
sebentar sebelum akhirnya menarik napas, lalu menyandarkan punggungnya ke
dinding. “It became worst and worst. I told
you already I’m fine didn’t you?”
“I see,” kata Zoe pelan. “I just worried.”
“Me too. Who do you think you are that I didn’t? I
cannot remember every single thing I’ve done when I got mad and it feels
horrible! What will I do when I find myself killed someone? How’d I response
when I see the death body? What nightmare I’d get when I saw those man whose
laying on the bed with his hand or leg broken? It’s freaking me out, you know!”
“Calm down, Nero,” kata Zoe.
“I can’t!” Nero melonggarkan dasinya, berjalan
mondar-mandir. “Don’t you dare ‘calm down
me’ coz it’s not easy as you said—” Nero berhenti berbicara dan berjalan
karena Devon sudah memeluknya erat-erat.
“It’s okay, Nero. Calm down. We’re here,” kata Devon.
Nero menarik
napas dalam-dalam, menghitung sampai sepuluh dalam kepalanya, merasakan
amarahnya mereda perlahan-lahan, dan akhirnya menghela napas lega.
“Good,” kata Devon melepas pelukannya. “That’s what you called anger management.”
Nero tertawa
kering. “Sorry, my bad,” gumamnya. “Thanks. I need hug sometimes.”
“Niken will do it a lot,” Devon menepuk
bahunya.
Nero menaikan
alisnya. “Aw, yeah, she will.”
Zoe melipat
tangannya. “So you guys find it out. Are
you still being his friend or not?”
“Hell yeah,” kata Devon. “Why I don’t?”
Zoe melirik
Vion. “And you, Mr President?”
Mereka menatap
Vion yang tampaknya terlalu terkejut.
“Well, he’s a bit different now,” dia menarik
napas. “but it doesn’t change the fact
that he’s the Nero I know, so what’s
the big deal?” kata Vion menaikan kedua bahunya.
“I love you guys!” kata Nero memeluk Vion dan Devon
sekaligus.
“Ew,” Devon menyingkir dari sisi Vion,
meringis memegang bahunya yang tadi terkena bahu Vion. “Can I take my way to bathroom? I’m gonna wash my dirty coat.”
“Then I’ll burn my coat, it smells stinks like a
douche bag,”
balas Vion.
“Guys not again!” Zoe memutar bola matanya. “I think I could cut your heads off and put it in your ass in the same time.”
Dan Nero tertawa
mendengarnya.
***The Flower
Boy Next Door***
Vion melipat
tangannya, menghadapi rapat Osis untuk yang kesekian kalinya. Devon ada di
sampingnya, tampak sebal tapi tak mengucapkan apapun selain mengatupkan
mulutnya. Jika saja Alfon tidak memaksanya untuk datang, dia juga tak sudi
datang. Yang mengherankan, ada Zoe juga di sini, duduk di sisi Vion yang
satunya.
Seluruh
anak-anak Osis mengerutkan dahi dengan keheranan. Untuk apa Vion mengundang Zoe
segala jika dia sudah yakin akan membuat Devon jadi Ketua Osis?
“Kalian pasti
sudah tahu alasan kenapa aku mengadakan rapat hari ini. Ini akan jadi rapat
terakhir kita sebelum adanya pelantikan Ketua Osis baru.” Vion berbicara,
melihat ke sekitarnya, memandang satu per satu anak-anak Osis. “Tapi, akan ada
dua hal yang akan kubahas saat ini. Pertama adalah mengenai masalah Pelantikan
dan yang kedua mengenai Niken.”
Devon dan Zoe
segera menatapnya dengan keheranan.
“Siapa dari
antara kalian yang ikut serta sebagai pesuruhnya Lisa?” kata Vion tanpa
basa-basi.
Kali ini ada
ketegangan yang menggantung di udara. Bisik-bisik mulai terdengar dan beberapa kepala
menoleh gelisah. Devon menatap mereka satu per satu dengan sengit. Zoe kembali
menolehkan kepalanya dengan pelan, memerhatikan dengan sepenuh hati dan
menunggu Vion menyelesaikan permainannya.
“Tidak ada yang
mau mengaku?” kata Vion. “Baik. Kalau begitu aku tinggal membuka file CCTV
sekolah untuk mencari tahu pelakunya, dan jika hal itu sampai terjadi, sudah
pasti akan ada banyak orang yang akan dikeluarkan dengan cara tidak terhormat
di sekolah ini.”
Sekarang
permainan ini menjadi lebih menarik.
“CCTV? Aku tak
pernah tahu ada CCTV,” kata Devon.
“Sekarang kau
tahu. Kakekku mungkin sudah tua, tapi dia tahu apa yang namanya keamanan,” Vion
mengangguk kecil, masih melihat lurus ke depan.
“Kakekku?” Zoe
mengulang dengan nada lucu.
“Oh, aku belum
bilang kalau aku adalah cucu dari Pemilik Sekolah?” kata Vion kalem.
“Sekarang
sudah,” kata Zoe, tersenyum kecil.
Vion balas tersenyum
kecil. “Kalian masih belum ingin mengaku?” kata Vion. “Kalau begitu aku akan
meminta Pak Julian mengambil datanya dan ucapkan selamat tinggal pada sekolah
i—”
“Aku,” salah
satu dari mereka mengaku, dan hal itu membuat yang lain berduyun-duyun mengaku
tak lama kemudian.
“Aku juga.”
“Aku mengaku.”
Devon
menggertakan gigi. “Kenapa kalian memperlakukan Niken sampai seperti itu?”
“Karena gadis
itu menyebalkan. Kami cuma balas dendam! Dia gadis paling buruk yang pernah
kami dengar dan-dan-dan yang lebih parah, dia malah mengambil Nero dari kami,”
Lisa menjawab lantang.
“Kau berani
bicara begitu pada kami sementara kau adalah teman baik Niken?” Devon berdiri
dengan berang.
“Devon, duduk,” Zoe memperingatkan. “Biarkan
Vion menyelesaikan masalah ini.”
Devon duduk
sambil mengepalkan tangannya.
Vion menunggu
beberapa detik untuk melanjutkan. “Kalian benar-benar lebih buruk dari Niken,
setidaknya Niken tak akan menusuk dari belakang. Aku senang kalian menunjukan
taring kalian sekarang dan aku harap tak ada lain kali.” Suaranya halus, dingin
tapi panas. “Aku minta kalian menjaga gerak-gerik kalian. Jika sekali lagi aku
mendengar masalah ini, akan kupastikan kalian dikeluarkan. Siang ini juga, aku
minta kalian membuat surat perjanjian, ditandatangani di atas materai kalau
kalian tak akan pernah melakukan pelecehan atau kekerasan dalam bentuk apapun
pada anak-anak di sekolah ini. Terlambat sedetik saja, aku akan memastikan nama
kalian tak terdaftar lagi di sekolah ini.”
Wow, Zoe mau tak
mau harus merasa kagum pada sifat tegas Vion. Ternyata dia bukan tipe orang
yang selama dipikirkan Zoe dalam otaknya. Vion memiliki sesuatu untuk memimpin
di depan, menyelesaikan segalanya dengan baik dan brilian walau harus
menggunakan pemaksaan, hati-hati dalam melangkah tapi jelas tahu langkah apa
yang akan dia lakukan. Hanya saja masih tetap sedikit emosional.
“Dan mulai hari
ini Devon akan jadi Ketua Osis di sekolah ini. Dia akan dilantik lusa di depan
seluruh sekolah—”
“Aku belum
mengatakan apa-apa bahwa aku setuju menjadi Ketua Osis,” Devon memotong sebal.
“Jika kau ingin
melindungi Niken dan Nero, kau harus jadi Ketua Osis,” kata Vion, menatapnya.
Devon terdiam,
mencerna dan akhirnya tak bisa membalas.
“Nah, karena
sekarang semua sudah jelas, kuharap kalian tak akan ribut mengenai masalah ini.
Ingat baik-baik, apa yang terjadi di ruangan ini tetap berada di ruangan ini.
Bila aku mendengar gosip lagi, akan kupastikan aku yang akan turun tangan,”
ancam Vion, membuat semua orang mengangguk tanpa suara.
***The Flower
Boy Next Door***
Ms Genius: Kau ada dimana?
Mr Notion: Kolam. Mau datang?
Ms Genius: Haha. Kakiku kan pincang
Mr Notion: Minta Ray mengantarmu
Uh, meminta
Abangku mengantarku? Aku tak yakin apakah dia mau atau tidak. Tapi lebih baik
berusaha dulu. Lagipula, aku kangen Nero. Ray sama sekali tak pernah mau
membiarkanku sendirian, membuatku sebal.
“Bang! Abang!”
Dia muncul tak
lama kemudian, mengenakan kacamata dan memegang buku di tangan yang satunya.
“Apa sih?”
“Aku mau ke
rumah Nero. Antarkan aku,” kataku.
“Suruh saja dia
ke sini.”
Aku merengut.
“Kau kan tak mengijinkannya masuk.”
“Siapa yang
bilang?”
“Aku yang
bilang,” balasku sebal.
Dia balas memelototiku.
“Oke. Tapi cuma setengah jam ya, setelah itu aku menjemputmu lagi. Jika sampai
kau macam-macam dengannya, aku akan mencekiknya dan kupastikan dia tak akan
pernah bertemu denganmu lagi.”
“Kau lebih parah
daripada Papa!”
“Hmph! Tentu
saja!” dengan sengaja dia menaikan kacamatanya, tampak sok dan angkuh. “Papa
kan nggak tahu apa yang terjadi di kamar ini.”
“Antarkan saja
aku ke rumah Nero!”
Dia memutar bola
matanya. “Berbahagialah mereka yang menjadi adikku, karena aku begitu tulus dan
rela menjadi babu bagi adik-adiknya,” gumamnya. Dia meletakan kacamata dan
bukunya lalu berjalan, menggendongku. “Huh, untunglah kau tak seberat gajah,
kalau tidak aku tak akan sudi.”
Karena aku tahu
yang namanya berterima kasih, maka aku akan berbaik-baik padanya. “Makasih ya,
Abangku Sayang, kudoakan kau cepat-cepat lulus kuliah dan menikah.”
Ray balas
tersenyum. “Aku akan lebih bersyukur kau menikah lebih dulu daripadaku dan
hamil duluan.”
Aku
memelototinya. “Nyebelin.”
“Itu benar kan?”
“Nggak sama
sekali,” kataku memutar bola mata.
Ray mengantarku
ke depan rumah Nero dimana Satpam dengan berbaik hati membuka pintu gerbang dan
mengantarkan kami masuk ke dalam rumah. Aku dan Ray tampak seperti orang
kampung yang masuk istana melihat megahnya rumah Nero. Memang sih aku pernah
dua kali mengunjungi rumah Nero, tapi tetap saja aku merasa bahwa rumah ini
mengagumkan. Belum lagi aku terpesona dengan cantiknya piano milik Nero. Dan
ternyata masih ada bagian dalam rumah yang luas sekali begitu kami masuk
semakin dalam, menuju kolam renang dan taman belakang, yang dihiasi dengan
kolam ikan dan juga tatanan bambu yang unik.
Nero tampak
duduk di samping kolam. Kedua kakinya masuk ke dalam air. Ada dua buku tebal di
belakangnya dan ponselnya dia pegang.
“Ehem,” Ray
berdeham.
Dia menoleh dan
aku dilanda keinginan untuk memeluknya.
“Hay, Ray,” dia
berdiri, memperlihatkan senyumnya yang memikat, dan menunduk mencium dahiku,
“Hai, Niken.”
“Eh eh eh,
dilarang cium-cium,” kata Ray memelototinya.
Nero menaikan
alis. “Ok,” dia mendesah pasrah. “Kalian mau minum apa? Tunggu, kuambilkan
kursi dulu.”
“Tidak perlu,
aku tak haus,” kata Ray tiba-tiba dan dia segera memberikanku ke tangan Nero.
“Aku akan kembali setengah jam lagi. Ingat. Jangan macam-macam, atau akan
menggorok lehermu.”
“Aku tak akan
berani,” kata Nero sambil tertawa.
Kami berdua
melihat Abangku melangkah pergi.
“Aku suka dia,”
kata Nero tiba-tiba.
“Aku tak suka
padanya,” kataku sebal.
“Well, dia cuma menunjukan otoritas
dirinya sebagai Abang, hal yang akan kulakukan pula pada Ageha,” katanya dan
mendudukanku ke salah satu kursi nyaman yang ada dekat jendela.
“Dimana Ageha?
Aku tak mendengar suaranya,” kataku penasaran.
“Dia dan Mom ada
di Jerman. Pesta,” katanya datar.
“Kau pasti
kesepian,” gumamku, memegang tangannya.
“Sedikit. Tapi
sekarang sudah tak apa-apa,” dia balas menggenggam tanganku. “Bagaimana kakimu?
Sudah tak apa-apa?”
Kutatap kakiku
dengan penuh kemalangan. “Sudah tak sakit, tapi juga belum bisa digerakan
terlalu lama. Mungkin besok aku sudah bisa jalan normal.”
Matanya yang
coklat tampak bersinar dan lega mengetahui aku baik-baik saja. “Bekasnya juga
sudah hilang,” gumamnya mengusap pipiku. “Nikenku semakin cantik.”
Nikenku, kata
yang luar biasa seakan Nero hanya ingin memiliku. Lagipula, dia tak peduli
apakah aku cantik atau tidak, dia hanya akan melihatku seorang. Kutundukan
kepalaku, mencium pipinya.
“Abangmu tadi
bilang dilarang cium loh,” katanya terkekeh kecil.
“Dia kan tidak
melarangku,” gumamku mencium hidungnya.
Ada sinar geli
di mata Nero. “Benar juga,” katanya. “Jadi tidak melanggar peraturan ya?”
Aku balas
tersenyum geli. “Mungkin.”
“Hmmm,” gumam
Nero, menutup mata. “Lalu, apa yang akan kau lakukan padaku?”
“Kau pasrah?”
“Tentu saja aku
pasrah.”
Dan karena dia
begitu dekat, aku memilih mencium bibirnya. Ya ampun, aku benar-benar
merindukan Nero. Sehari saja tak bertemu dengannya seakan seabad. Kalau bukan
karena kakiku, tentunya aku yang akan datang sendiri padanya.
“Hei, kau bilang
kau pasrah,” kataku, menjauhkan wajahku sedikit saat Nero memeluk pinggangku
erat-erat.
“Rasanya
peraturannya tidak menyangkut pelukan. Aku kan bebas memelukmu,” ucapnya kalem.
Aku memutar bola
mata. “Aku tak tahu apakah harus bangga atau ngeri dengan kepintaranmu itu.”
Nero tersenyum
manis. “Kau harus bangga, kalau tidak aku akan sedih.”
“Ah, memangnya
aku percaya?”
“Aku rindu
padamu, Niken, dan aku merasa sangat kesepian,” ujarnya tiba-tiba, memelukku
erat-erat.
“Nero, apa ada
sesuatu yang terjadi?” dahiku mengerut keheranan. Hari ini Nero tampaknya
terlalu melankonis.
“Hmmmm.”
“Kau belum ingin
mengatakannya?”
Dia mendesah,
dan memperat pelukannya. Aku tak ingin memaksanya, jadi yang kulakukan adalah
memeluknya, memberikan tepukan pelan ke punggungnya, menyisir rambut Nero yang
halus dan lebat. Aku suka sekali melakukannya. Rambutnya seperti anak-anak,
lembut dan wangi.
Segala hal
mengenai Nero, akhir-akhir ini, tampak begitu rapuh. Semakin mengenalnya, aku
merasa dia tak sekuat saat pertama kali kami bertemu.
Aku memeluknya,
menghela napas, ketika dia menjauhkan diriku dengan tiba-tiba. Aku mengerjap
kebingungan melihatnya memegang telinganya.
Wajahnya merah
padam. Huh? “Nero?” kataku keheranan.
“Er…” dia
tergagap. “Telingaku sensitif.”
Apa? Telinganya
sensitif? Te—oh! Aku mengerti sekarang.
“Niken, senyummu
tidak menyenangkan.” Dia menaikan alis.
“Sini, aku
pengen lihat sesensitif apa,” kataku lagi.
Dia berusaha
menjauh, menutup kedua telinganya dengan tangan. “Tidak. Aduh, jangan tiup! Ya
ampun! Menjauh dariku.”
Dengan usil aku
menyingkirkan kedua tangannya, meniup telinganya. Wajahnya kembali merah padam.
Aduh, imutnya.
Baru kali ini aku melihat Nero yang merah padam. Selama ini akulah yang merah
padam. Sekarang aku tahu apa kelemahan Nero. Ketika wajahnya memerah, tampak
malu-malu dan tergagap saat berusaha menyingkirkanku, aku tahu bahwa aku
semakin mengenal Nero dengan baik.
Dan aku semakin
mencintainya karena itu.
***The Flower
Boy Next Door***
“Kau? Jadi Ketua
Osis? Tak bisa dipercaya!” kata Nero, lalu terbahak-bahak, menepuk-nepuk bahu
Devon. “Vion punya selera yang bagus. Kau harus berterima kasih padanya.”
“Kenapa juga aku
harus berterima kasih padanya?” gerutu Devon.
Sekarang aku
bersama dengan yang lainnya sedang duduk di Bukit Hijau, di bawah pohon Hantu.
Aku dan Nero duduk berdampingan, sementara di sebelah Nero ada Devon yang
menggerutu. Zoe bersama Kak Vion sedang sibuk main catur. Menghabiskan waktu
makan siang di tempat sejuk seperti ini memang enak.
“Karena Vion
pandai memilih Ketua Osis yang pas, ya kan Zoe?” Nero meminta dukungan.
“Ya,” Zoe
menjawab tanpa perlu mengalih perhatiannya. “Skak mat.”
Kak Vion
ternganga. “Kenapa kau pintar sekali dengan hal seperti ini?”
“Karena,” kata
Zoe sambil bersedekap. “Aku ahli.”
“Kau cocok
menjadi seorang polisi, Zoe, sungguh. Dengan segala penyelidikan dan
macam-macamnya itu,” Kak Vion tampak kagum, masih memelototi caturnya.
“Aku tak berniat
menjadi polisi,” gumam Zoe, mengalihkan pandangannya ke sekolah.
“Siapa itu?”
kataku begitu melihat arah pandang Zoe.
Ada seorang pria
tengah berjalan menuju tempat kami. Dia mengenakan stelan formal: dasi, jas,
kemeja rapi, celana lurus, sepatu mengilap dan tampak seperti agen FBI dengan
kostum serba hitam. Kepala Sekolah? Tak mungkin. Pak Owen selalu tahu style.
Pak Alfon? Hmph, itu lebih mustahil, beliau selalu mengenakan jas panjang
berkibar. Pak Julian selalu mengenakan kemeja tanpa dasi dengan dua kancing
yang sengaja dilepas dan Pak Garry selalu mengenakan pakaian olah raga.
Lalu, siapa dia?
“Jacob?” Nero
tiba-tiba berdiri. Zoe juga ikut-ikutan berdiri.
Pria yang
bernama Jacob itu berjalan mendekat. Dia tampan sekali. Tampak muda dan
berwibawa dengan raut wajah tegas dan kalem.
“Nero,” katanya
begitu dia cuma berjarak semeter dari Nero. Aku merasakan tubuhku sendiri
bangkit dan ternyata baik Devon dan Vion juga melakukan hal yang sama.
Nero tidak
mengucapkan apa-apa. Dia hanya menatap pria itu lurus-lurus.
“Aku diutus
untuk membawamu pulang,” katanya.
Apa maksudnya?
Pulang? Pulang kemana? Dahiku mengerut keheranan melihat dari Nero ke Jacob
berulang-ulang. Tapi yang mengherankan, Nero sama sekali tak mengucapkan
apapun. Dia tidak mengangguk ataupun bergerak begitu Jacob mengalungkan
tangannya ke bahu Nero, dan membimbingnya turun dari Bukit seakan Nero sebuah
boneka tak bernyawa.
Kami hanya
melihat punggung Nero semakin jauh dan jauh.
Dan aku memiliki
perasaan aneh yang mengatakan bahwa aku tak akan bertemu dengan Nero lagi.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar