Debaran Tiga Puluh Lima
Camping
Aku
sudah menyiapkan seluruh peralatanku: tas, peralatan mandi, selimut, jeket,
baju ganti, sepatu dan P3K. Sekarang semuanya siap. Kuselempangkan ranselku dan
segera turun. Nero sudah menunggu di depan gerbang rumahnya, tampil tampan
dengan kaos oblong berwarna abu-abu nyaman panjang dan celana katun sedengkul.
Hari ini dia memakai sandal jepit. Sandal jepit!
Alisku
menaik. “Nero, apa kau tak salah kostum?”
Nero
melihat arah pandangku. “Memangnya kenapa? Ke sekolah tak boleh pakai sandal?”
“Tapi
kan—” Aku tak tahu harus mengatakan apa, jadi aku menyerah. “Yuk.”
Mungkin
Nero cuma ingin tampil beda. Lain dari yang lain. Nero memang selalu lain dari
yang lain, jadi aku tak bisa memaksanya memakai sepatu. Lagipula, siapa yang
meminta sepatu wajib jadi barang bawaan? Kami berjalan beriringan, mengobrol
soal sandal jepitnya—yang katanya lebih membuatnya nyaman jika harus
berkeliaran di sekolah daripada menggunakan sepatu. Walau sering menggunakan
sepatu, ternyata Nero lebih nyaman dengan tidak menggunakan alas kaki.
Kadang-kadang
aku berpikir bahwa Nero memang tak bisa dikatakan orang kaya. Dia terlalu low profile. Buktinya dengan cuek dia
hanya memakai sandal jepit, mengganti jam tangannya dengan yang lebih murah,
kaos biasa, celana biasa, bahkan jaket biasa. Tak ada yang berlebihan. Dia
benar-benar bisa berbaur dengan baik bersama rakyat jelata. Hanya saja, dengan
tampangnya yang luar biasa tampan itu, tetap saja dia jauh berbeda.
“Sandal
jepit?” Devon bertanya, menaikan alis dengan tak percaya begitu melihat
penampilan Nero. Hari ini dia mengenakan kemeja biru nyaman dengan celana jeans
panjang. Ranselnya ada di punggung. Di sebelahnya ada Zoe, mengenakan topi biru
terbalik, berpakaian kasual nyaman: kaos, celana pendek dengan robekan dan
tambalan di sana-sini. Great,
sekarang aku bingung siapa yang bad boy
sekarang.
“Aku
bawa sepatu jika kau khawatir, Mother,” kata Nero, memutar bola matanya dengan
bosan.
Devon
memilih tidak berkomentar, sepertiku, meski aku yakin ada banyak sekali yang
akan dia protes mengenai penampilan Nero. Kak Vion sendiri mengenakan kaos
oblong tanpa lengan, menunjukkan lengannya yang panjang dan berisi, juga
mengenakan celana berkantong banyak berpotongan sedengkul. Sungguh, keempat
pemuda ini benar-benar memiliki penampilan yang berbeda antara yang satu dengan
yang lain.
“Nero,
kau seperti pengemis,” komentar Kak Vion.
“Kau
seperti gangster,” Nero membalas tak
kalah kejam.
Kak
Vion menggeleng. “Aku bukan gangster.
Zoe lebih pantas.”
“Dia
badboy, kau gangster,” kata Nero lagi.
“Oh,”
Kak Vion mengamati penampilan Zoe lagi. “Benar juga. Kupikir kau akan tampil
seperti biasa, Zoe.”
“Ini
penampilan biasaku,” kata Zoe tak peduli.
Kami
menghabiskan waktu di perjalanan hanya untuk membahas siapa yang paling
gangster di antara mereka, walau Nero tak memersalahkan siapa. Dia kan pengemis, itu kata Nero, jadi dia tak peduli.
Begitu
kami sampai di depan gerbang, sudah banyak siswa yang berkumpul. Semua mata
memandang kami dengan keheranan, terutama Nero. Pak Alfon menaikan alis begitu
melihat penampilan Nero, dan semakin menaikan alis melihat penampilan Zoe dan
Kak Vion.
“Kalian
bertiga sepertinya mulai bertukar kepribadian,” komentarnya sambil
geleng-geleng kepala. Dia membuka daftarnya, “Niken ada di kelompok empat. Zoe,
kau bisa menghubungi Penny dan tanyakan dimana kelompokmu. Nero, kau bisa
melapor pada Julian.”
Dahi
Nero mengerut. “Loh? Kenapa?”
“Kau
memberikan surat persetujuanmu pada Julian, sebelum kau pindah ke kelasku.
Jadi, kau milik kelas 2-5.” Alfon menjelaskan dengan cepat. “Devon dan anak
kelas 3 yang lain adalah penyelenggara, jadi kalian akan mengawasi apapun yang
terjadi hari ini. Kalian berdua, Devon dan Vion, segera ikut aku untuk melihat
daftar acara malam ini. Vion, tolong tutupi badanku, dari tadi para siswi tak
berhenti menoleh kemari.”
Kak
Vion memutar bola mata. “Itu karena Nero juga berpakaian seperti itu.”
“Aku
tak peduli. Pakai jaketmu dan ikut aku untuk rapat.”
Mereka
berdua pergi mengikuti Pak Alfon. Zoe mengangkat kedua bahunya, tak mengucapkan
apapun, tapi memilih untuk segera menemui wali kelasnya.
“Well,
sayang sekali, kita tak bisa sekelas untuk sementara,” kata Nero, nyengir
lebar. “Tapi aku jamin semua akan baik-baik saja.”
Aku
balas tersenyum. “Tentu.”
“Sampai
nanti,” Nero menunduk, mencium dahiku, dan berjalan mendekati Pak Julian yang
berdiri tidak jauh. Cewek-cewek mengerang jengkel melihat kami berdua yang
tampak mesra dan tak malu-malu menunjukkan kemesraan kami.
***The Flower Boy Next Door***
Seperti
Alfon, Julian juga melirik penampilan Nero dari atas sampai ke bawah, tapi
memilih tidak mengatakan apa-apa.
“Nero
sekelompok dengan Bram.” Julian melihat daftarnya. Bram yang ada di samping
Nero segera memeluknya.
“Yay!
Akhirnya sekelompok lagi denganmu!”
“Apa
kau benar-benar merindukanku seperti itu?” Nero menaikan alis.
“Akhir-akhir
ini kau sibuk dengan 2-1 dan melupakan 2-5,” Bram ngambek. “Ayo, sini, aku baru
saja mendapatkan tempat eksklusif.” Dengan segera Bram menarik tangannya.
“Kita
tidur di tenda?” Nero bertanya, menurut saja ditarik Bram.
“Kalau
tak tidur di tenda, bukan camping
namanya!” Bram berkata dengan antusias.
Mereka
berjalan ke lapangan belakang yang sekarang sudah dipenuhi dengan tenda-tenda
berwarna-warni yang dipisahkan dengan garis pembatas untuk kelompok pria dan
wanita. Belum lagi ada api unggun di depan masing-masing tenda yang sudah
disediakan. Nero melihat semua hal itu dengan antusias.
Bram
menarik tangannya lagi melewati dua tenda yang berada di sebelah kanan, di
depan tenda berwarna kuning cerah. “Tenda kita!” katanya penuh semangat. Tenda
mereka berwarna merah maroon.
“Cuma
kita berdua?” Nero menunduk masuk. Tas Bram sudah ada di dalam, beserta dengan
jaketnya sekalian.
“Yep,”
Bram ikut masuk. “Tapi bukan itu hal eksklusifnya.”
Nero
menyingkirkan tasnya ke samping, “Lalu?”
Bram
nyengir. “Tenda Niken ada di seberang.” Nero mengerjap. “Eksklusif kan?”
Nero
balas nyengir. “Eksklusif banget. Ngomong-ngomong dari mana kau tahu?”
“Ketua
Kelas punya cara berbeda untuk mengintip formulir.”
Nero
terbahak. “Luar biasa, Ketua!”
Zoe
tiba-tiba nongol, berjongkok sementara kepalanya masuk ke dalam tenda. “Keluar
sekarang juga. Kita harus mengambil air untuk minum malam ini.”
“Hei,
aku Ketua Kelompok tahu,” kata Bram mengecak pinggang. “Dan kau bukan bahkan
bukan kelompok kami.”
Zoe
mengangkat kedua bahu. “Ada beberapa orang yang bertugas untuk mengambil kayu
bakar, yang lain memasang tenda, yang lainnya lagi memeriksa jumlah siswa yang
datang, yang lainnya membereskan kelas, yang lainnya—”
Nero
memotong sambil memutar bola matanya, “Ok, kami ngerti. Ayo, Bram, jangan
sampai Zoe memberikan seluruh hal yang dia tahu dalam kepalanya kepadamu. Aku
yakin tak akan ada habisnya.”
Mereka
pun keluar dari tenda, mengambil air dari panci-panci besar yang ternyata sudah
disiapkan para panitia. Devon, yang bertugas sebagai Ketua dalam camping kali, terlihat seperti Bos
besar, mendekap kedua tangannya di depan dada dan mengawasi pergerakan seluruh
siswa dengan sikap yang awas.
“Kalian
mau kemana?” Devon bertanya.
“Ambil
air. Mau ikut?” kata Zoe.
Devon
menggeleng. “Aku bertugas mengawasi.”
Nero
bisa mendengar ada nada bangga dalam suaranya. “Aku merindukan Daven,” gumamnya
sambil mengambil panci dan berjalan terlebih dahulu menuju kran sekolah yang
letaknya ada di belakang sekolah.
Ternyata
mengisi air membutuhkan tenaga yang besar dan kesabaran tingkat tinggi. Selain
fakta bahwa mereka harus mengambil air dari tempat yang jauh dari lokasi camping mereka yang ada di depan
sekolah, panci utama pengisian air tak pernah penuh karena para pantia memasak
menggunakan banyak sekali air untuk membersihkan segala hal, membuat pekerjaan
mereka menjadi lebih sulit—dan tak selesai.
Begitu
malam tiba, dengan seluruh tenda sudah terpasang, seluruh siswa sudah makan,
acara utama pun dimulai.
“Anak-anak,
kita akan uji nyali malam ini,” Alfon berbicara di depan para siswa yang duduk
dengan manis di lapangan. Di belakangnya sudah berdiri para guru yang
mengawasi. “Tiap kelompok terdiri dari dua orang yang akan dibagi lokasi
penjelajahannya dalam lima lokasi berbeda. Mereka yang sudah mendapatkan nomor
para partner kelompoknya silakan saling berkumpul.”
Serentak
para siswa segera ribut.
“Mana
nomor 6?”
“Nomor
lima di sini. Nomor Lima!!”
“Dua
belas oi! Dua belas!”
Nero
melihat nomornya. “Tiga puluh dua,” gumamnya. Bram langsung memeluknya.
“Yay!
Kita bareng lagi!”
Nero
memutar bola matanya dan menoleh pada Niken.
“Empat
belas,” Niken nyengir kecil.
“Aku
juga empat belas.” Zoe menunjukkan nomornya.
“Zoe,
tukar,” kata Nero.
Zoe
pura-pura tak mendengarnya. “Niken, kita akan bersenang-senang. Kau boleh
memelukku bila kau takut.”
Niken
membalas tak kalah semangat, “Tentu saja, Zoe.”
“Hei!”
Nero berseru jengkel. “Jangan coba-coba selingkuh di depanku.”
“Kami
baru saja melakukannya,” kata Zoe dan Niken tertawa.
“KELOMPOK
SATU!” Devon berteriak, mengambil alih perhatian. “ENAM, SEBELAS DAN
KELIPATANNYA IKUT AKU!”
Pak
Alfon menutup kedua telinganya, dan setelah Devon berhasil mengumpulkan seluruh
kelompoknya, Pak Alfon lalu berbicara, “Kelompok Dua, Tujuh, Dua belas dan
kelipatannya ikut aku.”
“Bye,”
kata Nero mengikuti yang lain untuk berbaris di depan Alfon. Bram mengekor di
sampingnya.
“Nero,
kau yakin akan baik-baik saja?” kata Niken.
“Aku
tak takut gelap,” kata Nero.
Tapi
Niken tak mengatakan apa-apa mengenai hal yang mencemaskannya.
Nero
bersama Bram dan iring-iringan kelompok dua mengikuti Alfon menuju lokasi uji
nyali masuk ke gedung lantai dua. Gedung lantai satu dikuasai oleh Devon—mereka
bisa mendengar suara teriakannya di bawah sana. Kelompok tiga berlokasi di luar
sekolah. Kelompok empat berlokasi di belakang sekolah. Dan kelompok lima masih
berada di lokasi yang ditinggalkan.
“Masing-masing
kelompok memiliki nomor masing-masing yang tadi sudah kalian dapatkan.” Alfon
menjelaskan, menunjukkan nomor kosong yang ada di tangannya. “Di lantai ini
kami menyembunyikan nomor kalian masing-masing dua—berwarna oranye cerah. Tugas
kalian adalah menemukan nomor itu. Dan bila kalian menemukannya, kalian harus
membawa nomor itu keluar dari gedung ini menuju Pohon—yang kalian namai—Hantu
dan tempelkan di sana sebagai bukti bahwa kalian sudah menyelesaikan misi. Yang
tidak menempelkan misi kami anggap gagal dan bertugas untuk membantu pantia
mengisi air.”
Bram
bergidik. “Tanganku dan kakiku sudah six
pack cuma karena mengisi air bolak-balik sebanyak sepuluh kali.”
Nero
tersenyum.
“Kau
bilang apa, Bram?” Alfon rupanya mendengarnya. Bram dengan cepat menggeleng.
“Nah, waktu kalian satu jam. Dimulai dari—” dia melirik arlojinya. “—sekarang!”
Para
siswa segera bubar mencari dengan mata berbinar dan penuh semangat,
meninggalkan Bram dan Nero di lorong.
“Well, kita mencari kemana?” Bram
mengangkat kedua alisnya.
“Di
sini. Pakai ini,” Nero
mengetuk-ngetuk kepalanya.
Bram
menaikan alis. “Oke, aku tahu kau pintar, tapi please, jangan sekarang.”
“Kau
tahu berapa jumlah siswa di sekolah ini?” Nero tidak berkomentar. “Kau Ketua
Kelas, kau pasti tahu.”
“Seratus
lima puluh untuk anak kelas satu. Seratus lima puluh enam untuk anak kelas dua.
Seratus tiga puluh untuk anak kelas tiga.”
“Berapa
banyak jumlah peserta hari ini?”
“Erm...
aku tak tahu,” Bram menjawab jujur. “Tiga ratusan mungkin.”
Nero
memutar bola matanya. “Berapa banyak jumlah kelompok tadi?”
“Erm…
tak tahu,” kata Bram.
“Ada
enam puluh tenda kecil berisi dua orang. Tiga puluh tenda besar untuk empat
orang. Sepuluh tenda hijau untuk para guru. Dan lima tenda makanan. Itu artinya
ada seratus dua puluh orang yang tidur di tenda kecil dan seratus dua puluh
orang yang tidur di tenda besar, itu
artinya ada dua ratus empat puluh siswa yang ikut serta. Seluruh panitia
ada empat puluh orang, termasuk Devon—yang artinya hanya ada dua ratus orang
peserta yang ikut dalam camping kali
ini.”
Bram
manggut-manggut. “Lalu apa masalahnya dengan uji nyali kali ini?”
Nero
memutar bola matanya. “Setiap peserta dibagi jadi kelompok. Dua orang dalam
satu kelompok, yang artinya hanya ada seratus kelompok. Masing-masing kelompok
dibagi lagi menjadi lima lokasi, yang artinya hanya ada dua puluh kelompok pada
masing-masing lokasi, dengan kata lain hanya ada dua puluh nomor yang
disediakan di setiap lokasi, total empat puluh kartu untuk tiap peserta.”
Nero
melangkah melewati lorong dimana para siswa sepertinya frustasi mencari,
mengacak-acak lokasi.
“Lalu?
Aku masih belum mengerti.”
“Nomor
kita berapa?” Nero bertanya.
“Tiga
puluh dua.”
“Dan
kita ada di lantai berapa?”
“Dua.”
“Dan
kau masih belum mengerti?”
“Erm…
belum.”
Nero
mendesah, memijit pelipisnya. “Ya ampun, kenapa kau sulit sekali berpikir?”
Bram
berdeham jengkel. “Well, maukah kau
menjelaskannya?”
“Jumlah
ruangan di masing-masing lantai ada dua puluh, Bram,” jelas Nero dengan nada
sabar. “Dan jumlah kelompok ada dua puluh. Itu artinya masing-masing dari
kelompok mendapatkan satu kelas.”
Bram
membuka mulut, membentuk huruf “O”. “Tapi kita belum tahu ada di kelas mana
kita.”
Nero
memijit dahinya lagi. “Pembagian kelas selalu dimulai dari kiri lalu ke kanan.
Itu artinya, bila kelompok 2 ada di sebelah kiri dan 7 di sebelah kanan, maka
12 ada di sebelah kiri dan 17 ada di sebelah kanan, itu artinya, 32 ada di
sebelah kiri.”
Bram
mengangguk, menunggu Nero melanjutkan.
“Dan
bila kelompok 2 ada di pintu pertama sebelah kiri dan bila kelompok 7 ada di
pintu pertama sebelah kanan, itu artinya kelompok kita ada di pintu keempat
sebelah kiri.” Nero mengangkat kepala ke atas. “Ruang Musik.”
“Wow,”
Bram mendecak kagum. “Aku tak tahu apakah harus kagum atau ngeri dengan
kemampuanmu.”
“Lebih
baik ngeri daripada kagum,” kata Nero, menggeser pintu dan masuk ke dalam. Bram
segera mengeluarkan senternya dan menyorot ke sana-kemari.
“Well, ruangan ini terlalu luas.
Bagaimana kita mencari nomor kita?”
“Cukup
cari tempat yang tak berdebu,” kata Nero. “Sejak kelas 3 ujian, belum ada yang
masuk ruang musik dan aku yakin tak ada siswa yang mau repot-repot melakukannya
kecuali para panitia yang menyembunyikan kartu.”
“Oh,
jika kau berkata begitu, maka—ini dia, aku menemukannya!” Bram menunduk
beberapa saat, mengeluarkan dua kartu berwarna oranye cerah dari balik tumpukan
terompet—yang memang terlalu bersih karena tak ada satu orang pun dari para
siswa yang memainkan terompet.
“Bagus
sekali, Bram,” kata Nero.
“Man…” Bram geleng-geleng kepala, melihat
nomor 32 yang berwarna oranye itu. “kau benar-benar seorang Sherlock, Nero.
Beritahu aku apa lagi kehebatanmu.”
Nero
mengangkat kedua bahunya.
“Sekarang
mari kita tempel nomor kita.”
Nero
hanya mengangguk mengikuti Bram di belakang. Mereka turun tangga yang gelap.
Senter Bram menyorot ke bawah. Para siswa yang lain tampaknya masih berusaha
mencari. Kasihan, pikir Bram, mereka tak sekelompok dengan Nero, yang berkat
kecerdasannya hanya butuh lima menit untuk menemukan kertas tantangan.
“Kau
tahu,” kata Bram membuka pembicaraan begitu mereka keluar dari pintu lantai
satu menuju belakang sekolah. “Kupikir saat mereka bilang uji nyali, mereka
akan membuat suatu kejutan seperti yang kupikirkan, tapi ternyata tidak.”
“Kejutan
yang kau pikirkan? Misalnya apa?” Nero megerutkan dahi.
“Hantu.”
Nero
merinding dalam sekejap. “Apa?”
Bram
mengangguk sok pintar. “Biasanya kan seperti itu. Uji nyali istilah untuk
menunjukkan apakah kau berani menghadapi hantu atau tidak.”
“Kupikir
uji nyali itu lebih kearah apakah kau berani menghadapi ketakutanmu atau
tidak.”
“Apalah,”
Bram mengayunkan tangan dengan tak peduli. “Tapi kurasa, ini terlalu mudah.
Maksudku, kau memang pintar dan dengan mudah menyelesaikan misi ini, tidak
seperti yang lain. Hanya saja, bila setiap siswa mengacak seluruh kelas, dalam
waktu empat puluh lima menit mereka juga pasti akan menemukan lembaran itu dan
lima menit kemudian muncul kemari. Terlalu mudah keluar dari—”
Nero
mencengkram bahunya dan melonjak ke belakang punggung Bram begitu sebuah
bayangan gelap lewat di depan mereka dengan kecepatan luar biasa. Bram meneguk
ludah.
“Apa
itu tadi?” tanya Bram setelah hening beberapa saat.
Nero
tak menjawab, tapi yang pasti semakin mencengkram bahunya. Bram bisa merasakan
kuku Nero melesak melewati kaosnya.
“Nero,
sudahkah aku bilang padamu bahwa aku tak suka horor?” kata Bram. Lagi-lagi Nero
tak menjawab. “Tapi sepertinya kau juga mengalami hal yang sama.”
Terdengar
suara burung hantu, diiringi dengan berhembusnya angin dingin yang menusuk
kulit.
“Ok,
ini tak lucu,” kata Bram gugup. “Nero—”
Nero
melonjak lagi begitu semak-semak di dekat mereka bergerak. Bram dengan cepat
mengambil langkah mundur, nyaris menabrak Nero.
“Sejak
kapan ada semak di Bukit Hijau?” tanya Nero dengan suara bergetar.
“Aku
tak tahu,” Bram menjawab dengan susah payah.
“Apakah
itu artinya para panitia sengaja menyiapkan benda itu untuk menakuti kita?”
Nero bertanya lagi.
“Mungkin,”
Bram mengangguk dengan susah payah. Nero hebat sekali, bahkan dalam keadaan
ketakutan pun dia masih bisa berpikir realistis.
“Kau
tahu, Bram, ada baiknya kau memeriksa apa
yang ada di balik semak itu,” kata Nero lagi. Bram menoleh ke belakang, menatap
Nero dengan tak percaya. “Aku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan kau saja?”
“Well,” Nero berkata dengan nada gugup,
“jujur saja aku tak suka kejutan.”
“Nero,”
Bram geleng-geleng kepala. “Aku ini pengecut.”
Nero
berusaha tersenyum. “Aku tak kalah parah darimu.”
Bram
geleng-geleng kepala lagi. “Kita periksa berdua.”
“Atau
lebih baik kita berlari ke Pohon Hantu dan misi kita akan segera selesai,” kata
Nero lagi, menoleh gugup pada Pohon Hantu yang sekarang justru tampak lebih
seram daripada seharusnya—bahkan rasanya ada begitu banyak sekali semak-semak
yang dulunya tak ada di lapangan kini sudah berkumpul layaknya jamur.
“Ide
bagus,” kata Bram.
“Satu—”
“TIGA!”
Sebelum
Nero menghitung, Bram sudah berlari terlebih dahulu meninggalkannya,
berteriak-teriak panik. Nero mematung di tempat, tak tahu harus melakukan apa.
Tapi begitu melihat Bram yang langsung berubah haluan saat melihat ada hantu
jejadian lain yang muncul dari balik semak berbentuk bayangan hitam sebelum
Bram sampai ke Pohon Hantu, Nero tahu bahwa tugasnyalah untuk menyelesaikan
misi.
Segala
hal sekarang menjadi lebih sulit.
Angin
dingin kembali berhembus mendinginkan kulitnya. Nero meneguk ludah dengan
panik. Ini semua karena Matt membacakannya cerita horor saat dia berusia tiga
tahun sehingga dia percaya pada hal-hal yang ada di luar akal batas manusia.
Jika bukan karena Nero selalu percaya apa yang dikatakan Matt padanya, tentunya
dia akan dengan mudah berjalan melewati tantangan ini lalu kembali dengan
selamat menuju tenda. Tapi alih-alih itu, dia malah menemukan dirinya mematung
di tempat.
“Uhu…
uhu… uhu… uhu…”
Nero
menahan napas, menoleh ke sekeliling dengan panik. Semak di dekatnya bergerak
mengancam, membuatnya melonjak sedikit, jantungnya berdegup-degup di dadanya,
menghentak di tulang rusuknya. Tapi Nero tak bergerak sedikit pun. Dia menoleh
ke sekitar dengan panik.
“Tenang…
tarik napas dalam-dalam,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Kedua kartu di
tangannya digenggam dengan erat, lecek dan basah karena keringat. Nero menarik
napas, mencoba memenuhi paru-parunya dengan udara.
Sialnya,
itu tak membantu lagi begitu dia mendengar suara lain, suara seorang wanita,
yang memanggil namanya dengan rintihan, “Nero… Nero…”
Semak-semak
bergerak lagi, lebih heboh dari yang biasa.
Nero
memutuskan ini saatnya baginya untuk bergerak. Bertahan di sini pun sama sekali
tak berguna. Sekarang Nero bisa mengerti maksud Bram dengan “uji nyali”. Jika camping di sekolah dimaksudkan untuk hal
seperti ini, maka Nero lebih baik tak usah ikut saja.
Kaki
Nero melangkah maju, menoleh dengan panik, berusaha tidak menghiraukan suara
yang menjadi-jadi memanggilnya, ditambahi dengan suara-suara burung hantu dan
anjing mengaum sebagai latar belakangnya.
Luar
biasa. Mereka benar-benar menyiapkan segalanya dengan baik.
“…
Nero… Nero… jangan ke sana…”
Nero
mempercepat langkahnya. Dua langkah berikutnya, dia mendengar suara tawa wanita
yang melengkik tinggi.
“Kikikikikiki…”
Dia
berteriak kaget melihat seorang wanita muncul dari balik semak. Rambutnya hitam
panjang, menutupi wajahnya. Kaki Nero nyaris saja tergelincir jatuh dari bukit,
tapi untung saja dia masih bisa menahan diri untuk kabur. Wanita tinggi
berpakaian putih dengan rambut panjang itu mengangkat wajahnya perlahan,
menunjukkan ekspresi wajah paling menyeramkan lengkap dengan mata melotot
segala.
“Per..
permisi…”
Nero
melangkah menyamping, berusaha untuk tetap menatap mata itu dan takut dirinya
akan diikuti, tapi setan wanita itu tidak mengikutinya. Maka Nero memutuskan
bahwa itulah saat yang tepat baginya untuk melarikan diri. Bukit Hijau sekarang
terasa lebih jauh daripada biasanya. Tempat ini jadi lebih menyeramkan bukan
lagi seperti “tempat tidur siang” paling nyaman di muka bumi untuknya.
Pantas
saja Pohon itu dijuluki Pohon Hantu.
Nero
melompat kaget dan mundur dua langkah begitu melihat bahwa di kakinya ada
sesuatu yang menggeliat, meluncur di depannya dari sebelah kanan menuju sisi
yang lainnya. Entah kenapa Nero mampu menahan suaranya untuk tak keluar. Nero
menunggu si “benda menggeliat” itu lewat dan masuk ke dalam semak-semak yang
bergerak di belakangnya, sebelum akhirnya melangkah lagi. Kali ini tak terlalu
yakin dengan apa yang ada di hadapannya. Tapi pohon itu sudah dekat, tinggal
sepuluh meter lagi.
Terdengar
tawa lagi. Lebih berat dan berkuasa.
Nero
merasakan bahwa kulit belakang lehernya berdiri. Salah satu tangannya menyapu
belakang lehernya, membuatnya tak nyaman. Sudah jelas bahwa dia mungkin tak
akan bisa menyelesaikan misi ini. Tapi Nero belum ingin menyerah. Masih ada
sepuluh meter lagi. Nero tak suka setengah-setengah.
Hanya
saja, tekadnya yang sempat dibangun runtuh lagi melihat ada sosok putih yang
melompat ke arahnya.
Nero
merasakan tenggorokannya mengering.
Pocong.
Dengan
usaha yang dipaksakan, Nero berusaha melangkah. Kau harus berusaha menekan
ketakutanmu, pikir Nero dengan susah payah. Ini untuk melawan ketakutanmu.
Entah kenapa Nero merasa lebih baik dia bertemu Deborah saja saat ini daripada
segerombolan hantu yang muncul satu per satu.
Dia
mendekati si pocong yang melompat-lompat ke arahnya sampai akhirnya entah
karena apa, si pocong terjatuh dan berguling jatuh menuruni bukit. Nero
mengerjap melihat pemandangan itu, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, Nero
menemukan dirinya tengah tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut.
Si
pocong berdiri dengan susah payah, tapi tak berhasil dan malah jatuh kemudian
jatuh lagi, berguling semakin ke bawah. Nero semakin tertawa geli. Akhirnya si
kuntilanak yang tadi menakuti Nero di meter pertama muncul dari balik semak
yang satunya, menolong si pocong yang susah payah berdiri. Kostum mereka rusak
parah.
Yang
mengherankan Nero merasa bahwa uji nyali kali ini tak seekstrim yang dia
pikirkan setidaknya semenit yang lalu saat dia ketakutan setengah mati karena
pikirannya sendiri. Begitu dia menemukan dirinya tertawa, Nero berlari cepat
menuju Pohon Hantu, lebih bersemangat dan ringan daripada yang dia bayangkan,
kemudian menempelkan kartunya ke papan yang sudah digantung di dekat pohon.
“Sip!”
kata Nero. “Misi terlaksana.”
Nero
menepuk-nepuk tangannya dengan bangga, memandang nomor 32 itu dengan puas.
Hanya saja begitu dia hendak melangkah turun, ada yang memegangi kakinya. Nero
menunduk, melihat ada tangan yang menjulur memeganginya dari balik pohon.
Jantung
Nero seakan hendak copot melihat suster ngesot yang berwajah seram dengan efek
mata yang berdarah-darah memandangnya, menyeringai galak.
“Aaah!”
Nero melonjak kaget, berusaha melepaskan diri. Setelah dia berhasil
menyentakkan kakinya dari tangan si suster ngesot, sesuatu yang lain jatuh dari
balik dedaunan pohon, menggantung tepat di hadapan Nero.
Kepala
buntung.
Napas
Nero tertahan di paru-parunya, menyesakan tenggorokannya, dan yang dia ingat,
dia tak bisa bernapas sehingga kakinya lemas dan jatuh dengan pandangan mata
berkunang-kunang.
***The Flower Boy Next Door***
Aku
melirik Zoe yang tampak tak senang sedikit pun.
“Dia
tak apa-apa, Zoe, sungguh,” kata Bu Moni, menepuk bahunya. Tapi Zoe tidak
mengatakan apapun dan hanya menatap Nero yang tertidur di dalam tenda
lurus-lurus. Devon ada di samping Nero, juga memberikan tatapan yang sama
seperti Zoe pada Devon, pelipisnya berdenyut-denyut berbahaya.
Tepat
dua puluh menit lalu kami masih berada di lokasi uji nyali sampai kami membahas
mengenai Nero.
“Aku
tak suka meninggalkan Nero sendirian pada saat uji nyali,” kataku saat itu.
“Dia
laki-laki. Dia bisa menjaga dirinya sendiri,” kata Zoe saat itu, “Lagipula ada
Bram.”
“Tapi
Nero kan tak suka sama hantu. Dia gemetar hebat saat kami pergi ke Ghost Hunt waktu itu.”
Dan
saat itu Zoe berhenti melangkah, menatapku dengan keheranan, kemudian melupakan
soal mencari kartu dan memutuskan untuk mencari Nero. Aku mengikut di
belakangnya, sama cemasnya seperti dia walau kami tak mengatakan apapun. Begitu
kami berhasil menyusul Nero di atas Bukit Hijau, Nero sudah pingsan dikerumuni
dengan para hantu bohongan yang panik.
Zoe
menyingkirkan mereka dan mencoba membangunkan Nero. Tapi Nero tak bangun.
Karena itu kami memutuskan untuk membawa Nero kembali.
Devon
tak senang sama sekali mengenai ini.
“Itu
sebabnya aku tak setuju soal hantu-hantuan ini,” Devon protes pada Pak Owen.
“Kita datang camping bukan untuk
menakut-nakuti orang! Bagaimana bila tadi dia punya penyakit jantung dan mati
di tempat. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tuanya?”
Butuh
waktu sepuluh menit penuh amarah dan teriakan untuk menenangkan Devon, kemudian
Devon pergi setelah menendang panci sampai terbang sekitar lima meter dari
tempatnya dan menyusul kami ke dalam tenda, dan sama sekali tak bergerak di
dalam tenda, menjaga Nero. Dia sama sekali tak puas dengan jawaban Pak Owen,
apapun itu.
Kutatap
Zoe yang menyilangkan tangannya di depan dada. Bu Moni menyerah dan memutuskan
untuk segera pamit. Anak-anak yang sempat khawatir dengan apa yang terjadi
mulai bergosip di tenda mereka, mengawasi kami.
“Apa
katanya?” Kak Vion mendatangiku, melirik ke dalam tenda.
“Dia
tak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum kecil. Tubuh Nero tadi dingin sekali dan
basah karena keringat sewaktu aku mendatanginya. Tapi setelah mendapat
perawatan, dia sudah tak apa-apa. Meski wajahnya masih pucat pasi.
Bram
datang ke tempat kami, meringis. “Sori,” katanya padaku. “Aku seharusnya tak
meninggalkannya.”
Zoe
menatapnya dengan aura pembunuh yang menguar di setiap pori-porinya. Suaranya
terdengar dingin saat berkata, “Jangan pernah kau meninggalkannya sendirian di camping kali ini, atau aku akan
mengulitimu hidup-hidup.”
Bram
tergagap, terlalu takut untuk membantah. “O, oke.”
“Untuk
sementara kau tinggal di tendanya Devon, bersama Vion,” kata Zoe. “Devon lebih
bisa diharapkan daripadamu.”
Bram
meneguk ludah, kemudian mengangguk. Tampaknya dia sekarang lebih memilih untuk
menghadapi seribu hantu daripada kemarahan Zoe.
“Sebaiknya
kita segera tidur. Ini sudah jam sebelas,” Kak Vion melihat arlojinya. “Aku
dengar kalau besok kita ada senam. Kalau ingin bangun pagi, lebih baik kita
tidur yang cukup. Banyak yang akan kita kerjakan besok.”
Kami
mengangguk tanpa suara lalu masuk ke tenda masing-masing. Aku masuk ke tendaku,
tapi tidak mengunci tenda melainkan memilih terus memandangi tendanya Nero
selama beberapa menit sampai kemudian Devon bergerak dari tempatnya, menutup
tenda dan aku menyadari bahwa itu saatnya aku tidur.
Tapi
dua jam kemudian aku terbangun karena kepingin pipis. Aku memakai topiku,
mengancing jaketku rapat-rapat dan keluar dari tenda dan nyaris berteriak kaget
karena melihat Nero berdiri di depan tendanya.
“Nero,
apa yang kau lakukan?” bisikku tak percaya.
Nero
mengerjap, menatapku, “Aku? Aku lapar jadi aku keluar,” katanya kemudian
menunjuk mie instant gelas yang ada di dekat api unggun. “Tapi tak ada air
panas, jadi aku bingung mau minta kemana.”
“Devon?”
tanyaku.
“Di
dalam. Tidur seperti bayi,” jawabnya. “Kau sendiri?”
“Aku
mau pipis,” jawabku.
Nero
menyeringai. “Apa kau mau kutemani?” godanya.
Wajahku
merona, tapi aku membalasnya dengan, “Hmph, siapa yang takut hantu tadi?”
Kali
ini wajah Nero yang memerah, “Aku takut hantu bukan takut gelap.”
“Terserah.
Ya sudah, sini temani aku,” kataku.
“Tapi
nanti masak air panas ya,” katanya berjalan ke sampingku.
“Gampang.”
“Aku
juga mau susu panas.”
Alisku
menaik.
“Please…” mohonnya memberikan tatapan
memelas andalannya.
Aku
menghela napas. Dia selalu bisa mengambil alih duniaku hanya dengan menggunakan
itu. “Oke.”
Kami
berdua segera berjalan menuju kamar mandi. Dia berada di sampingku, dengan
tangan masuk ke dalam kantong jeketnya, dan langkahnya begitu ringan. Tak ada
yang kami bicarakan sewaktu sampai ke kamar mandi ataupun saat kembali. Karena
itu aku langsung memasak air panas di tenda milikku dan Nero menunggu di
tendanya. Kedua kakinya ditekuk dekat dengan dadanya, matanya memerhatikanku.
“Apa?”
kataku mendelik padanya.
Dia
menggeleng. “Aku cuma berpikir apa jadinya kalau aku menikah denganmu.”
Wajahku
merah padam, hanya saja aku berkata, “Memangnya aku mau menikah denganmu.”
“Memangnya
siapa lagi pria yang bersedia menikah denganmu kecuali aku?”
Dengan
jengkel aku meletakkan panci. “Biarpun aku begini, masih ada pria yang naksir
padaku.”
“Contohnya?”
“Kak
Vion!”
Ups.
Aku baru saja mengganggu singa tidur karena Nero langsung merengut—seperti anak
kecil. “Vion cuma sedikit kurang waras karena bisa naksir padamu.”
“Jika
kau masih menghinaku aku tak akan memasak air.”
“Kau
tetap bakal masak air walau aku menghinamu karena kau mencintaiku sepenuh
hati,” katanya bangga, mengedipkan matanya yang jenaka. Aku jadi mengingat Nero
yang pertama kali kutemui di depanku.
“Kau
menyebalkan,” kataku, lalu bangkit.
“Mau
kemana?”
“Tidur.”
Dia
mengerjap. “Tapi airnya belum masak. Aku kan lapar.”
“Masak
sendiri.” Kemudian sambil mendengus, aku berbalik dan masuk ke dalam tenda. Aku
tak peduli saat melihat tampang memelas Nero yang ada di seberang begitu aku
menutup tendaku.
Rasakan!
Emang enak? Aku mengambil sarung, menyelimuti tubuhku dan merebahkan diri
dengan kepala bersandar pada ranselku. Biar saja Nero masak sendiri. Kalau dia
tak bisa masak, dia juga pasti membiarkannya dan memilih untuk kelaparan dan
menunggu sarapan besok. Setidaknya, begitulah pikiranku sampai aku mendengar
suara panci lima belas kemudian, beserta dengan suara grasak-gurusuk tak jelas
dan suara Nero yang mengaduh.
“Aw
aw aw panas.”
Aku
mendesah, bangkit dengan segera dan—merasa bodoh karena tak bisa membiarkan
Nero begitu saja—membuka tenda. Begitu kepalaku keluar dari pintu tenda, Nero
melihatku, memasang wajah cemberut yang sukses membuatku kasihan padanya. Tapi
dia segera mengalihkan pandangan dan kembali disibukan untuk menuangkan air
panas ke dalam gelas mie instan dan gagal karena dia malah memegang tepian
panci.
“Aw
aw aw,” dia mengaduh lagi, menyibak-nyibakkan tangannya, kemudian cemberut lagi
begitu melihat ke arahku.
“Kau
tak berguna,” kataku, nyaris tertawa melihat betapa manisnya ekspresi wajahnya,
tapi aku berusaha menjaga wajahku sedatar mungkin. Aku tak ingin Nero tahu
bahwa dia berhasil membuatku merasa kasihan padanya.
“Please…” mohonnya lagi, mengedipkan
matanya. “Aku lapar.”
Ya
ampun, cutenya cowokku ini! Selain
itu dia juga manja minta ampun. Memang sih dia tak menunjukkannya. Tapi aku
sadar bahwa Nero amat manja ketika bersama Matt sewaktu Matt menjemput Nero
seorang diri. Dan, dilihat dari cara Matt dan Nero yang saling berinteraksi,
aku yakin Nero haus kasih sayang dan Matt tak segan-segan memberikan seluruh
kasih-sayang yang dia punya pada Nero—bahkan di depan publik sekalipun.
Ayah
seperti Matt belum pernah kutemui dimana pun. Para Ayah biasanya paling jaim
soal imagenya di depan anaknya
apalagi orang lain. Tapi Matt? Well,
kurasa dia tak peduli apa kata orang asal Nero bahagia.
Dengan
cepat aku bangkit, mengambil mie instant dari tangan Nero dan duduk di
sampingnya di depan tenda kami. Kedua bahu kami bersentuhan dan aku merasakan
kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku berkat kedekatan kami. Pelan-pelan
aku mengisi air panas ke dalam mie instant—yang jumlahnya jadi dua.
“Aku
yakin kau bakal balik, Niken,” katanya.
Aku
memutar bola mata tapi tak bisa menahan senyum begitu melihatnya tersenyum.
Kami makan dalam diam. Ini pertama kalinya tak ada hal yang kami bicarakan
berdua. Tapi aku merasa kami tak canggung sedikitpun. Kami hanya duduk, makan
mie instan dan memandangi bintang beserta api unggung yang menghangatkan.
Entah
kenapa rasanya terasa lebih baik daripada berjuta acara kencan. Damai, menenangkan,
menyenangkan dan romantis.
“Sebaiknya
kita segera tidur,” kata Nero bangkit dari tempatnya setelah dia menghabiskan
mie instantnya. “Aku tak mau terlambat besok.”
Aku
mengangguk dengan cepat, kemudian masuk ke dalam tenda. Nero menungguku di
luar. “Kau juga masuk sana.”
Nero
mengangguk, menunduk dan mencium bibirku secepat kilat.
Mataku
membulat. “Hei!” desisku dengan wajah merah padam.
Nero
menggerling jahil dan menciumku lagi, kali ini lebih lambat sehingga aku bisa
merasakan bibirnya yang lembut menyapu pelan bibirku.
“Selamat
malam,” bisik Nero, kemudian dia melangkahi api unggun yang sudah padam dan
masuk ke dalam tendanya. Dia melambai padaku sebelum mengancingkan tendanya.
Uh…
Aku
mengambil kembali sarungku, menggenggamnya erat-erat menutupi wajahku. Gawat.
Rasanya aku ingin keluar dari tendaku dan masuk ke dalam tenda Nero dan tidur
bersamanya. Padahal baru lima detik aku tak melihatnya dan aku sudah rindu
padanya.
Ya
Tuhan. Aku mau besok cepat datang.
***The Flower Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar