RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 26 Juni 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Lima)



Debaran Tiga Puluh Lima
Camping

Aku sudah menyiapkan seluruh peralatanku: tas, peralatan mandi, selimut, jeket, baju ganti, sepatu dan P3K. Sekarang semuanya siap. Kuselempangkan ranselku dan segera turun. Nero sudah menunggu di depan gerbang rumahnya, tampil tampan dengan kaos oblong berwarna abu-abu nyaman panjang dan celana katun sedengkul. Hari ini dia memakai sandal jepit. Sandal jepit!
Alisku menaik. “Nero, apa kau tak salah kostum?”
Nero melihat arah pandangku. “Memangnya kenapa? Ke sekolah tak boleh pakai sandal?”
“Tapi kan—” Aku tak tahu harus mengatakan apa, jadi aku menyerah. “Yuk.”
Mungkin Nero cuma ingin tampil beda. Lain dari yang lain. Nero memang selalu lain dari yang lain, jadi aku tak bisa memaksanya memakai sepatu. Lagipula, siapa yang meminta sepatu wajib jadi barang bawaan? Kami berjalan beriringan, mengobrol soal sandal jepitnya—yang katanya lebih membuatnya nyaman jika harus berkeliaran di sekolah daripada menggunakan sepatu. Walau sering menggunakan sepatu, ternyata Nero lebih nyaman dengan tidak menggunakan alas kaki.
Kadang-kadang aku berpikir bahwa Nero memang tak bisa dikatakan orang kaya. Dia terlalu low profile. Buktinya dengan cuek dia hanya memakai sandal jepit, mengganti jam tangannya dengan yang lebih murah, kaos biasa, celana biasa, bahkan jaket biasa. Tak ada yang berlebihan. Dia benar-benar bisa berbaur dengan baik bersama rakyat jelata. Hanya saja, dengan tampangnya yang luar biasa tampan itu, tetap saja dia jauh berbeda.
“Sandal jepit?” Devon bertanya, menaikan alis dengan tak percaya begitu melihat penampilan Nero. Hari ini dia mengenakan kemeja biru nyaman dengan celana jeans panjang. Ranselnya ada di punggung. Di sebelahnya ada Zoe, mengenakan topi biru terbalik, berpakaian kasual nyaman: kaos, celana pendek dengan robekan dan tambalan di sana-sini. Great, sekarang aku bingung siapa yang bad boy sekarang.
“Aku bawa sepatu jika kau khawatir, Mother,” kata Nero, memutar bola matanya dengan bosan.
Devon memilih tidak berkomentar, sepertiku, meski aku yakin ada banyak sekali yang akan dia protes mengenai penampilan Nero. Kak Vion sendiri mengenakan kaos oblong tanpa lengan, menunjukkan lengannya yang panjang dan berisi, juga mengenakan celana berkantong banyak berpotongan sedengkul. Sungguh, keempat pemuda ini benar-benar memiliki penampilan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
“Nero, kau seperti pengemis,” komentar Kak Vion.
“Kau seperti gangster,” Nero membalas tak kalah kejam.
Kak Vion menggeleng. “Aku bukan gangster. Zoe lebih pantas.”
“Dia badboy, kau gangster,” kata Nero lagi.
“Oh,” Kak Vion mengamati penampilan Zoe lagi. “Benar juga. Kupikir kau akan tampil seperti biasa, Zoe.”
“Ini penampilan biasaku,” kata Zoe tak peduli.
Kami menghabiskan waktu di perjalanan hanya untuk membahas siapa yang paling gangster di antara mereka, walau Nero tak memersalahkan siapa. Dia kan  pengemis, itu kata Nero, jadi dia tak peduli.
Begitu kami sampai di depan gerbang, sudah banyak siswa yang berkumpul. Semua mata memandang kami dengan keheranan, terutama Nero. Pak Alfon menaikan alis begitu melihat penampilan Nero, dan semakin menaikan alis melihat penampilan Zoe dan Kak Vion.
“Kalian bertiga sepertinya mulai bertukar kepribadian,” komentarnya sambil geleng-geleng kepala. Dia membuka daftarnya, “Niken ada di kelompok empat. Zoe, kau bisa menghubungi Penny dan tanyakan dimana kelompokmu. Nero, kau bisa melapor pada Julian.”
Dahi Nero mengerut. “Loh? Kenapa?”
“Kau memberikan surat persetujuanmu pada Julian, sebelum kau pindah ke kelasku. Jadi, kau milik kelas 2-5.” Alfon menjelaskan dengan cepat. “Devon dan anak kelas 3 yang lain adalah penyelenggara, jadi kalian akan mengawasi apapun yang terjadi hari ini. Kalian berdua, Devon dan Vion, segera ikut aku untuk melihat daftar acara malam ini. Vion, tolong tutupi badanku, dari tadi para siswi tak berhenti menoleh kemari.”
Kak Vion memutar bola mata. “Itu karena Nero juga berpakaian seperti itu.”
“Aku tak peduli. Pakai jaketmu dan ikut aku untuk rapat.”
Mereka berdua pergi mengikuti Pak Alfon. Zoe mengangkat kedua bahunya, tak mengucapkan apapun, tapi memilih untuk segera menemui wali kelasnya.
“Well, sayang sekali, kita tak bisa sekelas untuk sementara,” kata Nero, nyengir lebar. “Tapi aku jamin semua akan baik-baik saja.”
Aku balas tersenyum. “Tentu.”
“Sampai nanti,” Nero menunduk, mencium dahiku, dan berjalan mendekati Pak Julian yang berdiri tidak jauh. Cewek-cewek mengerang jengkel melihat kami berdua yang tampak mesra dan tak malu-malu menunjukkan kemesraan kami.
***The Flower Boy Next Door***
Seperti Alfon, Julian juga melirik penampilan Nero dari atas sampai ke bawah, tapi memilih tidak mengatakan apa-apa.
“Nero sekelompok dengan Bram.” Julian melihat daftarnya. Bram yang ada di samping Nero segera memeluknya.
“Yay! Akhirnya sekelompok lagi denganmu!”
“Apa kau benar-benar merindukanku seperti itu?” Nero menaikan alis.
“Akhir-akhir ini kau sibuk dengan 2-1 dan melupakan 2-5,” Bram ngambek. “Ayo, sini, aku baru saja mendapatkan tempat eksklusif.” Dengan segera Bram menarik tangannya.
“Kita tidur di tenda?” Nero bertanya, menurut saja ditarik Bram.
“Kalau tak tidur di tenda, bukan camping namanya!” Bram berkata dengan antusias.
Mereka berjalan ke lapangan belakang yang sekarang sudah dipenuhi dengan tenda-tenda berwarna-warni yang dipisahkan dengan garis pembatas untuk kelompok pria dan wanita. Belum lagi ada api unggun di depan masing-masing tenda yang sudah disediakan. Nero melihat semua hal itu dengan antusias.
Bram menarik tangannya lagi melewati dua tenda yang berada di sebelah kanan, di depan tenda berwarna kuning cerah. “Tenda kita!” katanya penuh semangat. Tenda mereka berwarna merah maroon.
“Cuma kita berdua?” Nero menunduk masuk. Tas Bram sudah ada di dalam, beserta dengan jaketnya sekalian.
“Yep,” Bram ikut masuk. “Tapi bukan itu hal eksklusifnya.”
Nero menyingkirkan tasnya ke samping, “Lalu?”
Bram nyengir. “Tenda Niken ada di seberang.” Nero mengerjap. “Eksklusif kan?”
Nero balas nyengir. “Eksklusif banget. Ngomong-ngomong dari mana kau tahu?”
“Ketua Kelas punya cara berbeda untuk mengintip formulir.”
Nero terbahak. “Luar biasa, Ketua!”
Zoe tiba-tiba nongol, berjongkok sementara kepalanya masuk ke dalam tenda. “Keluar sekarang juga. Kita harus mengambil air untuk minum malam ini.”
“Hei, aku Ketua Kelompok tahu,” kata Bram mengecak pinggang. “Dan kau bukan bahkan bukan kelompok kami.”
Zoe mengangkat kedua bahu. “Ada beberapa orang yang bertugas untuk mengambil kayu bakar, yang lain memasang tenda, yang lainnya lagi memeriksa jumlah siswa yang datang, yang lainnya membereskan kelas, yang lainnya—”
Nero memotong sambil memutar bola matanya, “Ok, kami ngerti. Ayo, Bram, jangan sampai Zoe memberikan seluruh hal yang dia tahu dalam kepalanya kepadamu. Aku yakin tak akan ada habisnya.”
Mereka pun keluar dari tenda, mengambil air dari panci-panci besar yang ternyata sudah disiapkan para panitia. Devon, yang bertugas sebagai Ketua dalam camping kali, terlihat seperti Bos besar, mendekap kedua tangannya di depan dada dan mengawasi pergerakan seluruh siswa dengan sikap yang awas.
“Kalian mau kemana?” Devon bertanya.
“Ambil air. Mau ikut?” kata Zoe.
Devon menggeleng. “Aku bertugas mengawasi.”
Nero bisa mendengar ada nada bangga dalam suaranya. “Aku merindukan Daven,” gumamnya sambil mengambil panci dan berjalan terlebih dahulu menuju kran sekolah yang letaknya ada di belakang sekolah.
Ternyata mengisi air membutuhkan tenaga yang besar dan kesabaran tingkat tinggi. Selain fakta bahwa mereka harus mengambil air dari tempat yang jauh dari lokasi camping mereka yang ada di depan sekolah, panci utama pengisian air tak pernah penuh karena para pantia memasak menggunakan banyak sekali air untuk membersihkan segala hal, membuat pekerjaan mereka menjadi lebih sulit—dan tak selesai.
Begitu malam tiba, dengan seluruh tenda sudah terpasang, seluruh siswa sudah makan, acara utama pun dimulai.
“Anak-anak, kita akan uji nyali malam ini,” Alfon berbicara di depan para siswa yang duduk dengan manis di lapangan. Di belakangnya sudah berdiri para guru yang mengawasi. “Tiap kelompok terdiri dari dua orang yang akan dibagi lokasi penjelajahannya dalam lima lokasi berbeda. Mereka yang sudah mendapatkan nomor para partner kelompoknya silakan saling berkumpul.”
Serentak para siswa segera ribut.
“Mana nomor 6?”
“Nomor lima di sini. Nomor Lima!!”
“Dua belas oi! Dua belas!”
Nero melihat nomornya. “Tiga puluh dua,” gumamnya. Bram langsung memeluknya.
“Yay! Kita bareng lagi!”
Nero memutar bola matanya dan menoleh pada Niken.
“Empat belas,” Niken nyengir kecil.
“Aku juga empat belas.” Zoe menunjukkan nomornya.
“Zoe, tukar,” kata Nero.
Zoe pura-pura tak mendengarnya. “Niken, kita akan bersenang-senang. Kau boleh memelukku bila kau takut.”
Niken membalas tak kalah semangat, “Tentu saja, Zoe.”
“Hei!” Nero berseru jengkel. “Jangan coba-coba selingkuh di depanku.”
“Kami baru saja melakukannya,” kata Zoe dan Niken tertawa.
“KELOMPOK SATU!” Devon berteriak, mengambil alih perhatian. “ENAM, SEBELAS DAN KELIPATANNYA IKUT AKU!”
Pak Alfon menutup kedua telinganya, dan setelah Devon berhasil mengumpulkan seluruh kelompoknya, Pak Alfon lalu berbicara, “Kelompok Dua, Tujuh, Dua belas dan kelipatannya ikut aku.”
“Bye,” kata Nero mengikuti yang lain untuk berbaris di depan Alfon. Bram mengekor di sampingnya.
“Nero, kau yakin akan baik-baik saja?” kata Niken.
“Aku tak takut gelap,” kata Nero.
Tapi Niken tak mengatakan apa-apa mengenai hal yang mencemaskannya.
Nero bersama Bram dan iring-iringan kelompok dua mengikuti Alfon menuju lokasi uji nyali masuk ke gedung lantai dua. Gedung lantai satu dikuasai oleh Devon—mereka bisa mendengar suara teriakannya di bawah sana. Kelompok tiga berlokasi di luar sekolah. Kelompok empat berlokasi di belakang sekolah. Dan kelompok lima masih berada di lokasi yang ditinggalkan.
“Masing-masing kelompok memiliki nomor masing-masing yang tadi sudah kalian dapatkan.” Alfon menjelaskan, menunjukkan nomor kosong yang ada di tangannya. “Di lantai ini kami menyembunyikan nomor kalian masing-masing dua—berwarna oranye cerah. Tugas kalian adalah menemukan nomor itu. Dan bila kalian menemukannya, kalian harus membawa nomor itu keluar dari gedung ini menuju Pohon—yang kalian namai—Hantu dan tempelkan di sana sebagai bukti bahwa kalian sudah menyelesaikan misi. Yang tidak menempelkan misi kami anggap gagal dan bertugas untuk membantu pantia mengisi air.”
Bram bergidik. “Tanganku dan kakiku sudah six pack cuma karena mengisi air bolak-balik sebanyak sepuluh kali.”
Nero tersenyum.
“Kau bilang apa, Bram?” Alfon rupanya mendengarnya. Bram dengan cepat menggeleng. “Nah, waktu kalian satu jam. Dimulai dari—” dia melirik arlojinya. “—sekarang!”
Para siswa segera bubar mencari dengan mata berbinar dan penuh semangat, meninggalkan Bram dan Nero di lorong.
Well, kita mencari kemana?” Bram mengangkat kedua alisnya.
“Di sini. Pakai ini,” Nero mengetuk-ngetuk kepalanya.
Bram menaikan alis. “Oke, aku tahu kau pintar, tapi please, jangan sekarang.”
“Kau tahu berapa jumlah siswa di sekolah ini?” Nero tidak berkomentar. “Kau Ketua Kelas, kau pasti tahu.”
“Seratus lima puluh untuk anak kelas satu. Seratus lima puluh enam untuk anak kelas dua. Seratus tiga puluh untuk anak kelas tiga.”
“Berapa banyak jumlah peserta hari ini?”
“Erm... aku tak tahu,” Bram menjawab jujur. “Tiga ratusan mungkin.”
Nero memutar bola matanya. “Berapa banyak jumlah kelompok tadi?”
“Erm… tak tahu,” kata Bram.
“Ada enam puluh tenda kecil berisi dua orang. Tiga puluh tenda besar untuk empat orang. Sepuluh tenda hijau untuk para guru. Dan lima tenda makanan. Itu artinya ada seratus dua puluh orang yang tidur di tenda kecil dan seratus dua puluh orang yang tidur di tenda besar, itu artinya ada dua ratus empat puluh siswa yang ikut serta. Seluruh panitia ada empat puluh orang, termasuk Devon—yang artinya hanya ada dua ratus orang peserta yang ikut dalam camping kali ini.”
Bram manggut-manggut. “Lalu apa masalahnya dengan uji nyali kali ini?”
Nero memutar bola matanya. “Setiap peserta dibagi jadi kelompok. Dua orang dalam satu kelompok, yang artinya hanya ada seratus kelompok. Masing-masing kelompok dibagi lagi menjadi lima lokasi, yang artinya hanya ada dua puluh kelompok pada masing-masing lokasi, dengan kata lain hanya ada dua puluh nomor yang disediakan di setiap lokasi, total empat puluh kartu untuk tiap peserta.”
Nero melangkah melewati lorong dimana para siswa sepertinya frustasi mencari, mengacak-acak lokasi.
“Lalu? Aku masih belum mengerti.”
“Nomor kita berapa?” Nero bertanya.
“Tiga puluh dua.”
“Dan kita ada di lantai berapa?”
“Dua.”
“Dan kau masih belum mengerti?”
“Erm… belum.”
Nero mendesah, memijit pelipisnya. “Ya ampun, kenapa kau sulit sekali berpikir?”
Bram berdeham jengkel. “Well, maukah kau menjelaskannya?”
“Jumlah ruangan di masing-masing lantai ada dua puluh, Bram,” jelas Nero dengan nada sabar. “Dan jumlah kelompok ada dua puluh. Itu artinya masing-masing dari kelompok mendapatkan satu kelas.”
Bram membuka mulut, membentuk huruf “O”. “Tapi kita belum tahu ada di kelas mana kita.”
Nero memijit dahinya lagi. “Pembagian kelas selalu dimulai dari kiri lalu ke kanan. Itu artinya, bila kelompok 2 ada di sebelah kiri dan 7 di sebelah kanan, maka 12 ada di sebelah kiri dan 17 ada di sebelah kanan, itu artinya, 32 ada di sebelah kiri.”
Bram mengangguk, menunggu Nero melanjutkan.
“Dan bila kelompok 2 ada di pintu pertama sebelah kiri dan bila kelompok 7 ada di pintu pertama sebelah kanan, itu artinya kelompok kita ada di pintu keempat sebelah kiri.” Nero mengangkat kepala ke atas. “Ruang Musik.”
“Wow,” Bram mendecak kagum. “Aku tak tahu apakah harus kagum atau ngeri dengan kemampuanmu.”
“Lebih baik ngeri daripada kagum,” kata Nero, menggeser pintu dan masuk ke dalam. Bram segera mengeluarkan senternya dan menyorot ke sana-kemari.
Well, ruangan ini terlalu luas. Bagaimana kita mencari nomor kita?”
“Cukup cari tempat yang tak berdebu,” kata Nero. “Sejak kelas 3 ujian, belum ada yang masuk ruang musik dan aku yakin tak ada siswa yang mau repot-repot melakukannya kecuali para panitia yang menyembunyikan kartu.”
“Oh, jika kau berkata begitu, maka—ini dia, aku menemukannya!” Bram menunduk beberapa saat, mengeluarkan dua kartu berwarna oranye cerah dari balik tumpukan terompet—yang memang terlalu bersih karena tak ada satu orang pun dari para siswa yang memainkan terompet.
“Bagus sekali, Bram,” kata Nero.
Man…” Bram geleng-geleng kepala, melihat nomor 32 yang berwarna oranye itu. “kau benar-benar seorang Sherlock, Nero. Beritahu aku apa lagi kehebatanmu.”
Nero mengangkat kedua bahunya.
“Sekarang mari kita tempel nomor kita.”
Nero hanya mengangguk mengikuti Bram di belakang. Mereka turun tangga yang gelap. Senter Bram menyorot ke bawah. Para siswa yang lain tampaknya masih berusaha mencari. Kasihan, pikir Bram, mereka tak sekelompok dengan Nero, yang berkat kecerdasannya hanya butuh lima menit untuk menemukan kertas tantangan.
“Kau tahu,” kata Bram membuka pembicaraan begitu mereka keluar dari pintu lantai satu menuju belakang sekolah. “Kupikir saat mereka bilang uji nyali, mereka akan membuat suatu kejutan seperti yang kupikirkan, tapi ternyata tidak.”
“Kejutan yang kau pikirkan? Misalnya apa?” Nero megerutkan dahi.
“Hantu.”
Nero merinding dalam sekejap. “Apa?”
Bram mengangguk sok pintar. “Biasanya kan seperti itu. Uji nyali istilah untuk menunjukkan apakah kau berani menghadapi hantu atau tidak.”
“Kupikir uji nyali itu lebih kearah apakah kau berani menghadapi ketakutanmu atau tidak.”
“Apalah,” Bram mengayunkan tangan dengan tak peduli. “Tapi kurasa, ini terlalu mudah. Maksudku, kau memang pintar dan dengan mudah menyelesaikan misi ini, tidak seperti yang lain. Hanya saja, bila setiap siswa mengacak seluruh kelas, dalam waktu empat puluh lima menit mereka juga pasti akan menemukan lembaran itu dan lima menit kemudian muncul kemari. Terlalu mudah keluar dari—”
Nero mencengkram bahunya dan melonjak ke belakang punggung Bram begitu sebuah bayangan gelap lewat di depan mereka dengan kecepatan luar biasa. Bram meneguk ludah.
“Apa itu tadi?” tanya Bram setelah hening beberapa saat.
Nero tak menjawab, tapi yang pasti semakin mencengkram bahunya. Bram bisa merasakan kuku Nero melesak melewati kaosnya.
“Nero, sudahkah aku bilang padamu bahwa aku tak suka horor?” kata Bram. Lagi-lagi Nero tak menjawab. “Tapi sepertinya kau juga mengalami hal yang sama.”
Terdengar suara burung hantu, diiringi dengan berhembusnya angin dingin yang menusuk kulit.
“Ok, ini tak lucu,” kata Bram gugup. “Nero—”
Nero melonjak lagi begitu semak-semak di dekat mereka bergerak. Bram dengan cepat mengambil langkah mundur, nyaris menabrak Nero.
“Sejak kapan ada semak di Bukit Hijau?” tanya Nero dengan suara bergetar.
“Aku tak tahu,” Bram menjawab dengan susah payah.
“Apakah itu artinya para panitia sengaja menyiapkan benda itu untuk menakuti kita?” Nero bertanya lagi.
“Mungkin,” Bram mengangguk dengan susah payah. Nero hebat sekali, bahkan dalam keadaan ketakutan pun dia masih bisa berpikir realistis.
“Kau tahu, Bram, ada baiknya kau memeriksa apa yang ada di balik semak itu,” kata Nero lagi. Bram menoleh ke belakang, menatap Nero dengan tak percaya. “Aku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan kau saja?”
Well,” Nero berkata dengan nada gugup, “jujur saja aku tak suka kejutan.”
“Nero,” Bram geleng-geleng kepala. “Aku ini pengecut.”
Nero berusaha tersenyum. “Aku tak kalah parah darimu.”
Bram geleng-geleng kepala lagi. “Kita periksa berdua.”
“Atau lebih baik kita berlari ke Pohon Hantu dan misi kita akan segera selesai,” kata Nero lagi, menoleh gugup pada Pohon Hantu yang sekarang justru tampak lebih seram daripada seharusnya—bahkan rasanya ada begitu banyak sekali semak-semak yang dulunya tak ada di lapangan kini sudah berkumpul layaknya jamur.
“Ide bagus,” kata Bram.
“Satu—”
“TIGA!”
Sebelum Nero menghitung, Bram sudah berlari terlebih dahulu meninggalkannya, berteriak-teriak panik. Nero mematung di tempat, tak tahu harus melakukan apa. Tapi begitu melihat Bram yang langsung berubah haluan saat melihat ada hantu jejadian lain yang muncul dari balik semak berbentuk bayangan hitam sebelum Bram sampai ke Pohon Hantu, Nero tahu bahwa tugasnyalah untuk menyelesaikan misi.
Segala hal sekarang menjadi lebih sulit.
Angin dingin kembali berhembus mendinginkan kulitnya. Nero meneguk ludah dengan panik. Ini semua karena Matt membacakannya cerita horor saat dia berusia tiga tahun sehingga dia percaya pada hal-hal yang ada di luar akal batas manusia. Jika bukan karena Nero selalu percaya apa yang dikatakan Matt padanya, tentunya dia akan dengan mudah berjalan melewati tantangan ini lalu kembali dengan selamat menuju tenda. Tapi alih-alih itu, dia malah menemukan dirinya mematung di tempat.
“Uhu… uhu… uhu… uhu…”
Nero menahan napas, menoleh ke sekeliling dengan panik. Semak di dekatnya bergerak mengancam, membuatnya melonjak sedikit, jantungnya berdegup-degup di dadanya, menghentak di tulang rusuknya. Tapi Nero tak bergerak sedikit pun. Dia menoleh ke sekitar dengan panik.
“Tenang… tarik napas dalam-dalam,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Kedua kartu di tangannya digenggam dengan erat, lecek dan basah karena keringat. Nero menarik napas, mencoba memenuhi paru-parunya dengan udara.
Sialnya, itu tak membantu lagi begitu dia mendengar suara lain, suara seorang wanita, yang memanggil namanya dengan rintihan, “Nero… Nero…”
Semak-semak bergerak lagi, lebih heboh dari yang biasa.
Nero memutuskan ini saatnya baginya untuk bergerak. Bertahan di sini pun sama sekali tak berguna. Sekarang Nero bisa mengerti maksud Bram dengan “uji nyali”. Jika camping di sekolah dimaksudkan untuk hal seperti ini, maka Nero lebih baik tak usah ikut saja.
Kaki Nero melangkah maju, menoleh dengan panik, berusaha tidak menghiraukan suara yang menjadi-jadi memanggilnya, ditambahi dengan suara-suara burung hantu dan anjing mengaum sebagai latar belakangnya.
Luar biasa. Mereka benar-benar menyiapkan segalanya dengan baik.
“… Nero… Nero… jangan ke sana…”
Nero mempercepat langkahnya. Dua langkah berikutnya, dia mendengar suara tawa wanita yang melengkik tinggi.
“Kikikikikiki…”
Dia berteriak kaget melihat seorang wanita muncul dari balik semak. Rambutnya hitam panjang, menutupi wajahnya. Kaki Nero nyaris saja tergelincir jatuh dari bukit, tapi untung saja dia masih bisa menahan diri untuk kabur. Wanita tinggi berpakaian putih dengan rambut panjang itu mengangkat wajahnya perlahan, menunjukkan ekspresi wajah paling menyeramkan lengkap dengan mata melotot segala.
“Per.. permisi…”
Nero melangkah menyamping, berusaha untuk tetap menatap mata itu dan takut dirinya akan diikuti, tapi setan wanita itu tidak mengikutinya. Maka Nero memutuskan bahwa itulah saat yang tepat baginya untuk melarikan diri. Bukit Hijau sekarang terasa lebih jauh daripada biasanya. Tempat ini jadi lebih menyeramkan bukan lagi seperti “tempat tidur siang” paling nyaman di muka bumi untuknya.
Pantas saja Pohon itu dijuluki Pohon Hantu.
Nero melompat kaget dan mundur dua langkah begitu melihat bahwa di kakinya ada sesuatu yang menggeliat, meluncur di depannya dari sebelah kanan menuju sisi yang lainnya. Entah kenapa Nero mampu menahan suaranya untuk tak keluar. Nero menunggu si “benda menggeliat” itu lewat dan masuk ke dalam semak-semak yang bergerak di belakangnya, sebelum akhirnya melangkah lagi. Kali ini tak terlalu yakin dengan apa yang ada di hadapannya. Tapi pohon itu sudah dekat, tinggal sepuluh meter lagi.
Terdengar tawa lagi. Lebih berat dan berkuasa.
Nero merasakan bahwa kulit belakang lehernya berdiri. Salah satu tangannya menyapu belakang lehernya, membuatnya tak nyaman. Sudah jelas bahwa dia mungkin tak akan bisa menyelesaikan misi ini. Tapi Nero belum ingin menyerah. Masih ada sepuluh meter lagi. Nero tak suka setengah-setengah.
Hanya saja, tekadnya yang sempat dibangun runtuh lagi melihat ada sosok putih yang melompat ke arahnya.
Nero merasakan tenggorokannya mengering.
Pocong.
Dengan usaha yang dipaksakan, Nero berusaha melangkah. Kau harus berusaha menekan ketakutanmu, pikir Nero dengan susah payah. Ini untuk melawan ketakutanmu. Entah kenapa Nero merasa lebih baik dia bertemu Deborah saja saat ini daripada segerombolan hantu yang muncul satu per satu.
Dia mendekati si pocong yang melompat-lompat ke arahnya sampai akhirnya entah karena apa, si pocong terjatuh dan berguling jatuh menuruni bukit. Nero mengerjap melihat pemandangan itu, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, Nero menemukan dirinya tengah tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut.
Si pocong berdiri dengan susah payah, tapi tak berhasil dan malah jatuh kemudian jatuh lagi, berguling semakin ke bawah. Nero semakin tertawa geli. Akhirnya si kuntilanak yang tadi menakuti Nero di meter pertama muncul dari balik semak yang satunya, menolong si pocong yang susah payah berdiri. Kostum mereka rusak parah.
Yang mengherankan Nero merasa bahwa uji nyali kali ini tak seekstrim yang dia pikirkan setidaknya semenit yang lalu saat dia ketakutan setengah mati karena pikirannya sendiri. Begitu dia menemukan dirinya tertawa, Nero berlari cepat menuju Pohon Hantu, lebih bersemangat dan ringan daripada yang dia bayangkan, kemudian menempelkan kartunya ke papan yang sudah digantung di dekat pohon.
“Sip!” kata Nero. “Misi terlaksana.”
Nero menepuk-nepuk tangannya dengan bangga, memandang nomor 32 itu dengan puas. Hanya saja begitu dia hendak melangkah turun, ada yang memegangi kakinya. Nero menunduk, melihat ada tangan yang menjulur memeganginya dari balik pohon.
Jantung Nero seakan hendak copot melihat suster ngesot yang berwajah seram dengan efek mata yang berdarah-darah memandangnya, menyeringai galak.
“Aaah!” Nero melonjak kaget, berusaha melepaskan diri. Setelah dia berhasil menyentakkan kakinya dari tangan si suster ngesot, sesuatu yang lain jatuh dari balik dedaunan pohon, menggantung tepat di hadapan Nero.
Kepala buntung.
Napas Nero tertahan di paru-parunya, menyesakan tenggorokannya, dan yang dia ingat, dia tak bisa bernapas sehingga kakinya lemas dan jatuh dengan pandangan mata berkunang-kunang.
***The Flower Boy Next Door***
Aku melirik Zoe yang tampak tak senang sedikit pun.
“Dia tak apa-apa, Zoe, sungguh,” kata Bu Moni, menepuk bahunya. Tapi Zoe tidak mengatakan apapun dan hanya menatap Nero yang tertidur di dalam tenda lurus-lurus. Devon ada di samping Nero, juga memberikan tatapan yang sama seperti Zoe pada Devon, pelipisnya berdenyut-denyut berbahaya.
Tepat dua puluh menit lalu kami masih berada di lokasi uji nyali sampai kami membahas mengenai Nero.
“Aku tak suka meninggalkan Nero sendirian pada saat uji nyali,” kataku saat itu.
“Dia laki-laki. Dia bisa menjaga dirinya sendiri,” kata Zoe saat itu, “Lagipula ada Bram.”
“Tapi Nero kan tak suka sama hantu. Dia gemetar hebat saat kami pergi ke Ghost Hunt waktu itu.”
Dan saat itu Zoe berhenti melangkah, menatapku dengan keheranan, kemudian melupakan soal mencari kartu dan memutuskan untuk mencari Nero. Aku mengikut di belakangnya, sama cemasnya seperti dia walau kami tak mengatakan apapun. Begitu kami berhasil menyusul Nero di atas Bukit Hijau, Nero sudah pingsan dikerumuni dengan para hantu bohongan yang panik.
Zoe menyingkirkan mereka dan mencoba membangunkan Nero. Tapi Nero tak bangun. Karena itu kami memutuskan untuk membawa Nero kembali.
Devon tak senang sama sekali mengenai ini.
“Itu sebabnya aku tak setuju soal hantu-hantuan ini,” Devon protes pada Pak Owen. “Kita datang camping bukan untuk menakut-nakuti orang! Bagaimana bila tadi dia punya penyakit jantung dan mati di tempat. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tuanya?”
Butuh waktu sepuluh menit penuh amarah dan teriakan untuk menenangkan Devon, kemudian Devon pergi setelah menendang panci sampai terbang sekitar lima meter dari tempatnya dan menyusul kami ke dalam tenda, dan sama sekali tak bergerak di dalam tenda, menjaga Nero. Dia sama sekali tak puas dengan jawaban Pak Owen, apapun itu.
Kutatap Zoe yang menyilangkan tangannya di depan dada. Bu Moni menyerah dan memutuskan untuk segera pamit. Anak-anak yang sempat khawatir dengan apa yang terjadi mulai bergosip di tenda mereka, mengawasi kami.
“Apa katanya?” Kak Vion mendatangiku, melirik ke dalam tenda.
“Dia tak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum kecil. Tubuh Nero tadi dingin sekali dan basah karena keringat sewaktu aku mendatanginya. Tapi setelah mendapat perawatan, dia sudah tak apa-apa. Meski wajahnya masih pucat pasi.
Bram datang ke tempat kami, meringis. “Sori,” katanya padaku. “Aku seharusnya tak meninggalkannya.”
Zoe menatapnya dengan aura pembunuh yang menguar di setiap pori-porinya. Suaranya terdengar dingin saat berkata, “Jangan pernah kau meninggalkannya sendirian di camping kali ini, atau aku akan mengulitimu hidup-hidup.”
Bram tergagap, terlalu takut untuk membantah. “O, oke.”
“Untuk sementara kau tinggal di tendanya Devon, bersama Vion,” kata Zoe. “Devon lebih bisa diharapkan daripadamu.”
Bram meneguk ludah, kemudian mengangguk. Tampaknya dia sekarang lebih memilih untuk menghadapi seribu hantu daripada kemarahan Zoe.
“Sebaiknya kita segera tidur. Ini sudah jam sebelas,” Kak Vion melihat arlojinya. “Aku dengar kalau besok kita ada senam. Kalau ingin bangun pagi, lebih baik kita tidur yang cukup. Banyak yang akan kita kerjakan besok.”
Kami mengangguk tanpa suara lalu masuk ke tenda masing-masing. Aku masuk ke tendaku, tapi tidak mengunci tenda melainkan memilih terus memandangi tendanya Nero selama beberapa menit sampai kemudian Devon bergerak dari tempatnya, menutup tenda dan aku menyadari bahwa itu saatnya aku tidur.
Tapi dua jam kemudian aku terbangun karena kepingin pipis. Aku memakai topiku, mengancing jaketku rapat-rapat dan keluar dari tenda dan nyaris berteriak kaget karena melihat Nero berdiri di depan tendanya.
“Nero, apa yang kau lakukan?” bisikku tak percaya.
Nero mengerjap, menatapku, “Aku? Aku lapar jadi aku keluar,” katanya kemudian menunjuk mie instant gelas yang ada di dekat api unggun. “Tapi tak ada air panas, jadi aku bingung mau minta kemana.”
“Devon?” tanyaku.
“Di dalam. Tidur seperti bayi,” jawabnya. “Kau sendiri?”
“Aku mau pipis,” jawabku.
Nero menyeringai. “Apa kau mau kutemani?” godanya.
Wajahku merona, tapi aku membalasnya dengan, “Hmph, siapa yang takut hantu tadi?”
Kali ini wajah Nero yang memerah, “Aku takut hantu bukan takut gelap.”
“Terserah. Ya sudah, sini temani aku,” kataku.
“Tapi nanti masak air panas ya,” katanya berjalan ke sampingku.
“Gampang.”
“Aku juga mau susu panas.”
Alisku menaik.
Please…” mohonnya memberikan tatapan memelas andalannya.
Aku menghela napas. Dia selalu bisa mengambil alih duniaku hanya dengan menggunakan itu. “Oke.”
Kami berdua segera berjalan menuju kamar mandi. Dia berada di sampingku, dengan tangan masuk ke dalam kantong jeketnya, dan langkahnya begitu ringan. Tak ada yang kami bicarakan sewaktu sampai ke kamar mandi ataupun saat kembali. Karena itu aku langsung memasak air panas di tenda milikku dan Nero menunggu di tendanya. Kedua kakinya ditekuk dekat dengan dadanya, matanya memerhatikanku.
“Apa?” kataku mendelik padanya.
Dia menggeleng. “Aku cuma berpikir apa jadinya kalau aku menikah denganmu.”
Wajahku merah padam, hanya saja aku berkata, “Memangnya aku mau menikah denganmu.”
“Memangnya siapa lagi pria yang bersedia menikah denganmu kecuali aku?”
Dengan jengkel aku meletakkan panci. “Biarpun aku begini, masih ada pria yang naksir padaku.”
“Contohnya?”
“Kak Vion!”
Ups. Aku baru saja mengganggu singa tidur karena Nero langsung merengut—seperti anak kecil. “Vion cuma sedikit kurang waras karena bisa naksir padamu.”
“Jika kau masih menghinaku aku tak akan memasak air.”
“Kau tetap bakal masak air walau aku menghinamu karena kau mencintaiku sepenuh hati,” katanya bangga, mengedipkan matanya yang jenaka. Aku jadi mengingat Nero yang pertama kali kutemui di depanku.
“Kau menyebalkan,” kataku, lalu bangkit.
“Mau kemana?”
“Tidur.”
Dia mengerjap. “Tapi airnya belum masak. Aku kan lapar.”
“Masak sendiri.” Kemudian sambil mendengus, aku berbalik dan masuk ke dalam tenda. Aku tak peduli saat melihat tampang memelas Nero yang ada di seberang begitu aku menutup tendaku.
Rasakan! Emang enak? Aku mengambil sarung, menyelimuti tubuhku dan merebahkan diri dengan kepala bersandar pada ranselku. Biar saja Nero masak sendiri. Kalau dia tak bisa masak, dia juga pasti membiarkannya dan memilih untuk kelaparan dan menunggu sarapan besok. Setidaknya, begitulah pikiranku sampai aku mendengar suara panci lima belas kemudian, beserta dengan suara grasak-gurusuk tak jelas dan suara Nero yang mengaduh.
“Aw aw aw panas.”
Aku mendesah, bangkit dengan segera dan—merasa bodoh karena tak bisa membiarkan Nero begitu saja—membuka tenda. Begitu kepalaku keluar dari pintu tenda, Nero melihatku, memasang wajah cemberut yang sukses membuatku kasihan padanya. Tapi dia segera mengalihkan pandangan dan kembali disibukan untuk menuangkan air panas ke dalam gelas mie instan dan gagal karena dia malah memegang tepian panci.
“Aw aw aw,” dia mengaduh lagi, menyibak-nyibakkan tangannya, kemudian cemberut lagi begitu melihat ke arahku.
“Kau tak berguna,” kataku, nyaris tertawa melihat betapa manisnya ekspresi wajahnya, tapi aku berusaha menjaga wajahku sedatar mungkin. Aku tak ingin Nero tahu bahwa dia berhasil membuatku merasa kasihan padanya.
Please…” mohonnya lagi, mengedipkan matanya. “Aku lapar.”
Ya ampun, cutenya cowokku ini! Selain itu dia juga manja minta ampun. Memang sih dia tak menunjukkannya. Tapi aku sadar bahwa Nero amat manja ketika bersama Matt sewaktu Matt menjemput Nero seorang diri. Dan, dilihat dari cara Matt dan Nero yang saling berinteraksi, aku yakin Nero haus kasih sayang dan Matt tak segan-segan memberikan seluruh kasih-sayang yang dia punya pada Nero—bahkan di depan publik sekalipun.
Ayah seperti Matt belum pernah kutemui dimana pun. Para Ayah biasanya paling jaim soal imagenya di depan anaknya apalagi orang lain. Tapi Matt? Well, kurasa dia tak peduli apa kata orang asal Nero bahagia.
Dengan cepat aku bangkit, mengambil mie instant dari tangan Nero dan duduk di sampingnya di depan tenda kami. Kedua bahu kami bersentuhan dan aku merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku berkat kedekatan kami. Pelan-pelan aku mengisi air panas ke dalam mie instant—yang jumlahnya jadi dua.
“Aku yakin kau bakal balik, Niken,” katanya.
Aku memutar bola mata tapi tak bisa menahan senyum begitu melihatnya tersenyum. Kami makan dalam diam. Ini pertama kalinya tak ada hal yang kami bicarakan berdua. Tapi aku merasa kami tak canggung sedikitpun. Kami hanya duduk, makan mie instan dan memandangi bintang beserta api unggung yang menghangatkan.
Entah kenapa rasanya terasa lebih baik daripada berjuta acara kencan. Damai, menenangkan, menyenangkan dan romantis.
“Sebaiknya kita segera tidur,” kata Nero bangkit dari tempatnya setelah dia menghabiskan mie instantnya. “Aku tak mau terlambat besok.”
Aku mengangguk dengan cepat, kemudian masuk ke dalam tenda. Nero menungguku di luar. “Kau juga masuk sana.”
Nero mengangguk, menunduk dan mencium bibirku secepat kilat.
Mataku membulat. “Hei!” desisku dengan wajah merah padam.
Nero menggerling jahil dan menciumku lagi, kali ini lebih lambat sehingga aku bisa merasakan bibirnya yang lembut menyapu pelan bibirku.
“Selamat malam,” bisik Nero, kemudian dia melangkahi api unggun yang sudah padam dan masuk ke dalam tendanya. Dia melambai padaku sebelum mengancingkan tendanya.
Uh…
Aku mengambil kembali sarungku, menggenggamnya erat-erat menutupi wajahku. Gawat. Rasanya aku ingin keluar dari tendaku dan masuk ke dalam tenda Nero dan tidur bersamanya. Padahal baru lima detik aku tak melihatnya dan aku sudah rindu padanya.
Ya Tuhan. Aku mau besok cepat datang.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.