RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 09 Juni 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Empat)



Debaran Tiga Puluh Empat
Barbeque


“Why me?” Nero menaikan alis, menoleh pada Daven yang duduk di sampingnya di meja makan, dan menatapnya dengan mata berbinar bahagia seolah bertemu dengan cinta pertama.
“Coz I like you,” katanya santai, tersenyum menawan.
Nero yang duduk di samping Niken yang memegang lengan Nero kuat-kuat, tampak marah sekaligus juga cemburu. Zoe dan Vion menonton di ruang keluarga, bersama dengan Audrey, Franc, dan saudara perempuan Devon—si anak kedua—Gillian.
“Let me tell you this straight,” Nero menghela napas. “I’m straight.”
“I know. I don’t mind it,” kata Daven santai.
Nero mengulang lagi seolah tak mendengarkan interupsi Daven. “I’m straight. I already have a girlfriend. Let me introduce you my girlfriend.” Nero merangkul bahu Niken. “This is Niken, my girlfriend. And I love her so much.”
Daven melirik Niken, tersenyum kecil dan berkata, “Niken, can I borrow your boyfriend for a few days?”
Niken menggeram saat menjawab, “Over my dead body, you jackass.”
Daven mengerjap. “I like her!” katanya bertepuk tangan riuh. “Dad, can I marry Nero?”
“You can’t!” Devon muncul dari belakang, menimpuk kepalanya dengan koran, menggendong seorang anak perempuan berusia tujuh tahun di tangan kirinya. “How dare you propose to my male-bestfriend!”
“DAD! DEVON HIT ME!” Daven meraung, melompat dari kursi makan, menuju taman belakang tempat Arnold dan Flowna mempersiapkan barbeque kami.
“Davy, stop making that face to my face!” Devon meraung jengkel.
“It’s my face. I can do whatever I want!”
“I’m gonna kill you!”
“DAD! DEVON’S GOING TO KILL ME!”
Si kecil Anya memeluk leher Devon, mencium pipinya. Tingkah polosnya berhasil menghentikan Devon yang hendak meledak.
“Baby, where’s your brother?” tanya Devon lembut.
“He stucked in his room all day. Reading,” jawab Franc dari ruang tengah. “I already asked him down, but it seemed he didn’t hear me.”
Devon memutar bola matanya. Dia meletakan Anya ke sebelah Nero. “Nero, jaga dia sebentar ya. Aku mau memanggil Sam.” Begitu Nero mengangguk, Devon segera naik ke atas tangga menuju kamar si putra bungsu Sam, yang berusia empat belas tahun.
“Ada berapa banyak penghuni di rumah ini?” Zoe bertanya.
“Biasanya cuma enam,” kata Franc. “Tapi sekarang jadi delapan. Aku dan Daven tinggal di New York, soalnya aku kuliah di sana.”
“Oh, kau paling tua?” kata Vion.
Franc mengangguk. “Aku, Gill, Devon, Daven, Sam dan Anya.”
“Daddy suka memproduksi anak,” canda Gill dan mereka tertawa.
Tak lama kemudian Devon turun, bersama dengan seorang anak laki-laki tinggi, berwajah tampan, mengenakan kacamata bening dengan gagang perak yang sangat pas dengan hidungnya yang lurus dan rambut pirang yang pendek. Matanya berwarna biru jernih, tampak tenang. Dia langsung duduk di samping Anya, tidak mengucapkan apa-apa.
“Ini Sam. Dia sedikit pendiam,” kata Devon, dan berjalan mendekati kulkas untuk menyiapkan minuman. “Sam, say hi to Nero.”
“What about us?” Vion menyambar di tempatnya.
May I know your name?” Devon berkata tak peduli dan Vion mendengus.
Nero menatap Sam. Tapi Sam hanya menatap lurus ke depan, tak mengatakan apa-apa.
“Sorry, Nero,” Devon meringis.
“It’s okay. He’s cute though,” kata Nero mengacak rambut Sam.
Sam menoleh padanya, menyipit jengkel, “I’m not kid.”
“You are,” Devon, Franc dan Gill berkata bersamaan.
“I hate you all. I’m a teenege you stupid siblings.” Sam melompat turun dari kursinya dan berjalan menuju taman belakang, membanting pintu di belakangnya.
“Sorry,” kata Devon lagi begitu Nero menatapnya. “He’s a bit hot-tempered.”
“Like you,” lanjut Niken mengangguk sok suci. Nero dan Franc terbahak.
“Shut up, Niken,” gerutu Devon, mendorong jus jeruk yang baru dia seduh.
Nero mengambil minumannya, menghabiskan isinya dan turun dari kursinya.
“Kau mau kemana?” kata Niken keheranan.
“Mau bertemu Flowna,” kata Nero. Dan dengan senyuman kecil dia melangkah keluar dari dapur ke halaman belakang.
“Should we help the landlord?” Zoe berdiri, menepuk-nepuk seragamnya seolah ada debu di situ. “I can’t leave Nero alone. He may be blow this house.”
Dan dengan perkataannya, para penghuni segera keluar menuju taman belakang.
***The Flower Boy Next Door***
Aku benci sekali pada Dave. Jika ada kesempatan, aku akan membunuhny! Kulihat Daven dengan jengkel. Sedari tadi dia nempel terus pada Nero—walau Nero sudah berpindah tempat tiap kali Daven muncul, atau menyindirnya, atau mendorongnya jauh-jauh—seperti lintah yang paling sulit disingkirkan.
“Pukul dia pakai sapu, Niken,” Audrey tiba-tiba berbicara dari sampingku. Gillian tersenyum setuju. “Sorry, Gill, but I hate Dave’s attitude.”
“Coz he has Devon’s,” balas Gillian. “But it’s ok.”
Nero mendekat ke arah kami, membawa piring berisi makanan. Dia tersenyum padaku. Tapi aku tak tersenyum karena Daven mengikutinya dari belakang.
“Niken, coba cicip sedikit,” kata Nero, mengambil udang yang masih panas, mendinginkannya sebentar, lalu menyuapkannya padaku.
Daven protes, “Nero, for me?”
“Here,” Nero menyerahkan piring padanya.
Aku memelototi Daven. Aku benci anak ini.
“Feed me,” kata Daven lagi.
“No way.”
Daven cemberut, menggerutu dengan bahasa yang tak kumengerti. Tapi Nero tampaknya mengerti karena dia memutar bola matanya dan menghela napas.
“Davy, do you want to be my sun?” kata Nero tiba-tiba.
Mata Daven bersinar sementara aku, Gillian dan Audrey melotot pada Nero. Dengan cepat aku ke sisi Nero, memegang tangannya.
“Apa-apaan sih?” ketusku. Dia belum pernah memintaku jadi mataharinya. Enak saja dia meminta Daven lebih dulu. Tapi Nero tidak mengacuhkanku dan memilih menoleh pada Daven dan tersenyum.
Daven menjawab bahagia, “Of course I want to!”
“Good!” Nero berkata riang, lalu intonasinya berubah saat melanjutkan, “Then stay 1 millions miles away from me.”
Daven mengerjap sementara kami bertiga tertawa.
Setelah berkata itu, Nero merangkulku, membimbingku meninggalkan Daven menuju meja barbeque. Arnold sedang membalikan daging panggang dibantu oleh Franc di sisinya. Devon menyiapkan minuman dingin di sisi yang lain, dimana Zoe mengeluarkan piring untuk diletakkan di atas meja. Kak Vion membantu menata meja bersama dengan Flowna dan si kecil Anya, yang tampak antusias menceritakan segala hal pada Flowna. Sementara Sam—yang hanya menatap lurus ke depan—duduk di meja makan, tak melakukan apapun.
“Masih marah padaku?” Nero menegornya dan duduk di sampingnya.
“Hmph!”
Sam mendengus, bangkit dan berjalan ke dekat Arnold, memberikan lirikan tak suka pada Nero.
“Wow, dia membenciku,” kata Nero takjub.
“Kupikir tak ada orang yang bisa membencimu,” kataku mengambil kentang panggang.
“Kau belum tahu,” Nero meraih limun, menyesapnya sedikit. “Aku punya bakat membuat orang benci padaku di pandangan pertama. Lalu akhirnya tergila-gila padaku.”
“Oh yeah?” aku menaikan alis.
Nero tersenyum menggoda, “Ya. Dan dia duduk di sampingku saat ini, sebagai pacarku.”
Wajahku memerah dan segera mencubitnya, mendengar dia meringis lalu terbahak kecil.
“Indahnya masa muda,” kata Flowna, tersenyum pada kami. Wajahku merah padam. “Kalian tampak mesra dan akur.”
“Kebetulan saja cupid berdiri di sekitar kami, Flowna,” kata Nero. Flowna tertawa. “Bagaimana harimu?”
“Oh, baik-baik saja.” Flowna menyibakkan tangannya. “Kedua putraku kebetulan pulang dan rumah ramai kembali.”
“Mom,” Daven nongol, duduk di samping Nero tempat Sam tadi duduk. “I love Nero. Can I marry him?”
“No,” Flowna menjawab tegas, “I don’t want my son become a bride.”
“Nero will.”
“Sorry, I have Niken,” bantah Nero tak peduli, meminum limunnya tanpa perlu repot-repot melirik Daven.
“I love you more! You’re really cool!” Daven merangkul Nero tiba-tiba, membuatnya tersedak. Aku bangkit dengan segera, menggulung lengan bajuku dan memberikan cubitan padanya.
“Ow ow ow.”
“Daven!” Arnold menggerutu, meletakan piring yang dipenuhi dengan daging panas, menguarkan aroma lezat yang membuat lapar. “Stop it! It’s disgusting!”
“What a homophobic,” gumam Daven dan Anya mengulang katanya.
“Homophobic! Homophobic! Homophobic!” gadis kecil itu berteriak kegirangan. “What’s homophobic?”
“Homophobic is when you hate your son to be a gay,” Daven menjawab kasual, memakan potongan daging.
“DAVEN!” Arnold, Flowna, Franc, Devon, bahkan Gillian yang jauh di depan berteriak bersamaan.
“What? It’s true,” kata Daven lagi.
“Does it mean you have a girlfriend?” tanya Anya lagi.
“I don’t have girlfriend. I have boyfriends,” bantah Daven.
“Daven!” teriak Franc jengkel.
Daven menjulurkan lidah padanya tepat saat Anya bertanya lagi. “Then, you are a playboy!”
“No. I am a PLAYGAY.”
“Daven!” Arnold meraung jengkel. “Dammit. Franc, what the hell did you do to your brother?” Arnold menatap jengkel pada anak tertuanya, Franc, yang menggeleng cepat.
“I didn’t do anything! Ask him!” Franc menunjuk Daven. “He started hanging around with gay and—as you can see—turned around as ones.”
Arnold melotot, lalu menoleh pada Daven, yang makan dengan tenang seakan tak terjadi apapun. Devon benar dalam satu hal: Daven benar-benar iblis.
“Young man, you can’t go back to New York anymore!” kata Arnold jengkel.
Mata Daven kembali bersinar. “Does it mean I can marry Nero?”
“No way!” Devon berteriak dari tempatnya. “Send him far far away from me before I kill him!”
“What is gay?”
Suasana kembali hening dalam sekejap. Anya bertanya lagi dengan nada polos dan rasa ingin tahu. Tak ada yang mau menjawab—bahkan Daven menelan ludah dengan panik. Tapi Sam akhirnya berbicara dari panggangan di samping Zoe.
“Boy love boy.”
“SAM!”
Kami semua meraung bersamaan. Tak pernah dalam hidupku, aku melewatkan barbeque bersama dengan keluarga bin ajaib seperti keluarga Devon, yang dengan antusias membicarakan masalah gay di meja makan, meski Davenlah penyebabnya.
“You know, Davy,” kata Anya setelah hening beberapa saat. “You’re cool.”
“I know it. Gimme a peck, Baby Sister,” kata Daven bangga.
Nero memutar bola matanya. Anya melompat dari kursi memberikan ciuman ke bibir Daven dengan penuh cinta dan rasa sayang. Arnold ngomel-ngomel, kembali ke pemanganggang. Devon datang, meletakkan lebih banyak minuman dna potongan buah, memelototi Daven sambil menyumpah-nyumpah.
“I love this family.” Nero berbisik.
Dari matanya aku tahu bahwa dia merindukan Jennifer, Ageha dan Matt, bahkan juga ibu kandungnya, Theressa. Aku segera menggegam tangannya di bawah meja dan dia balas tersenyum padaku.
“You two, stop it,” kata Kak Vion mengambil timun, duduk di seberang kami. “Stop making pinky air here,” tambahnya memakan timunnya. Gillian duduk di sebelahnya, tersenyum ramah.
“Vion, are you single?” tanya Gillian, sedikit beringsut mendekati Kak Vion—yang tidak menyadari bahwa dia sedang digoda. Nero memandangku, menaikan alis.
“Uhu. Why?” kata Kak Vion.
“Great. Have a date with me.”
“Gill!” Devon memotong jengkel, nyaris membanting gelas. Kak Vion terbatuk, kelihatannya kaget pada Devon dan permintaan Gillian. “Stop hitting on him!”
Gillian memutar bola matanya. “What? I can’t have a boyfriend?”
“You can, but not him!” kata Devon lagi.
Terdengar suara benda pecah. Sam baru saja menabrak panic, nyaris tergelincir masuk ke pemanggang andai saja Zoe tidak memeganginya.
“Are you ok, Sam?” tanya Zoe membantunya berdiri.
“Yep. You?”
“Well, a bit,” kata Zoe menunjukan telapak tangannya yang terkena bara api dan sudah memerah. “But it’s ok. I just need ice and everything will be ok.”
“That’s why I told you to sit!” Franc menuangkan air es ke baskom dengan cepat, memberikannya pada Zoe dan dengan senang hati meletakan tangannya ke dalam baskom.
“Anyway, I can date whoever I want,” Gillian mengalihkan pembicaraan kembali pada Devon. “And that’s not your bussines, Little Brother.”
“I’d rather see you have a date with Zoe than Vion,” geram Devon. “Right, Zoe?”
Zoe mengadah dari baskom. Sam masih di sisinya, tak mau meninggalkannya walau Franc sudah menyuruhnya duduk. Dengan wajah datar tanpa ekspresi, Zoe merespon, “I am a phedophilia.”
Untuk yang ketiga kalinya dalam sepuluh menit, suasana kembali hening hanya karena ucapan Zoe yang ajaib.
“Stay away from Sam and Anya,” kata Arnold pada akhirnya.
Daven dan Nero terbahak-bahak.
“I like him.”
“He’s cool.”
Ya ampun, aku hanya mampu geleng-geleng kepala.
***The Flower Boy Next Door***
“Man, I couldn’t believe it. He fell asleep.”
Daven geleng-geleng kepala, menunduk melihat Nero yang tertidur di ruang depan, di atas sofa coklat dengan posisi bergelung seperti anak kecil dengan TV masih menyala.
“Don’t disturb him, Satan. Shoo!” Devon mengusirnya. Takut digampar Devon, Daven cemberut dan memilih pergi. Devon menghela napas, mengambil remote, mematikan TV. Zoe duduk di dekat kaki Nero, menurukan ponselnya.
“I already called Matt,” katanya. “He’s on the way.”
“Doesn’t it bother him? I can take Nero home.”
“So do I,” Zoe menghela npas, mengangkat bahunya dengan tak peduli. “But it’s Matt we talked about.”
Devon tak membantah. Lagipula, Zee benar. Waktu pertama kali bertemu Matt, Devon berpikir bahwa Matt adalah Kakakknya Nero, tapi ternyata Ayahnya. Pria itu tampak muda, menyenangkan dan cerdas. Benar-benar sosok Ayah yang luar biasa bagi Nero.
Franc turun dari kamar, membawa selimut dan menyelimuti tubuh Nero.
“Thanks,” kata Devon.
“No problem. It’s hard to see you getting friendly with someone,” kata Franc. “And I am happy to see it.”
“Yeah. It’s funny how life is goin’ right?” Devon tersenyum kecil. Dia meninggalkan Zoe sendirian menjaga Nero, berjalan menuju dapur, tempat dimana Audrey sedang mengobrol dengan Niken. Vion dan Gillian tampak mesra, membuat Devon memutar bola matanya.
“Get a room.”
“Get a life,” balas Gillian.
“Get a fuck—”
Arnold menimpuk kepalanya. “Don’t yelling to your sister and watch you mouth, young man,” geramnya.
Devon merengut sementara Gillian tersenyum mengejek padanya.
Flowna mendesah, geleng-geleng kepala melihat tingkah anak-anaknya. Dia mendorong kursi rodanya ke dekat Nero bersama dengan Anya. Wanita itu tersenyum, mengusap kepala Nero.
“I love this kid. He’s warm, kind and good looking, like his father.”
“Mom, don’t tell me you’re in love with him,” goda Daven, nyengir lebar padanya. “He’s mine.”
Flowna memutar bola matanya. “He’s not available, Davy. Find another gay.”
“Like who?”
“Anyone. I don’t know, you choose.”
“I just want someone as handsome as Nero.”
Ting tong.
“Speak of devil, it must be him,” kata Zoe.
Franc yang berjalan menuju ke ruang depan, membuka pintu. Terdengar suara-suara dari ruang depan. Sapaan kasual Matt dan suara gugup Franc. Lalu Franc mengajak Matt masuk ke ruang tengah. Dan Daven langsung menahan napas.
“What a damn sexy God,” ucap Daven saat Matt berdiri di depannya. “He’s hot.”
“Please, no droll,” gumam Flowna.
“Hi, everyone,” sapa Matt, tersenyum kecil. Matanya yang coklat menatap Nero yang tertidur di kursi. “Is he sleeping?”
“Yeah,” jawab Arnold, menjabat tangannya dan memberikan pelukan bersahabat padanya. “It’s nice to see you again. Devon told me about Jennifer.”
Matt masih tersenyum, “It’s ok. Life is going though. And I am really greateful Nero has you guys.”
“He’s a good kid. I’d love him here,” kata Flowna.
“It seems so,” Matt mengangguk puas dan Flowna tertawa.
“Mr Yudea, coffee?” kata Devon, muncul dari dapur.
“No. I—wait,” Matt menoleh pada Devon dan Daven—yang duduk di dekat Flowna. “There’s two of you?”
“They’re twins,” kata Arnold. “It’s Devon and that’s Daven.”
“Hi, Matt,” sapa Daven, melambai padanya.
“Hi, Daven,” Matt mengangguk formal. “Where’s Niken?”
“Di sini, mmm, Oom,” Niken keluar dari dapur, mengambil tasnya. Matt menatapnya, menghela napas, “I told you to call me ‘Dad’.”
Wajah Niken merona lagi. Devon mengerutkan dahi.
“Is she your daughter?”
“No. she’ll be my daughter-in-law,” kata Matt cepat. Gill, Audrey, dan Flowna berkata, “awww, so sweet” secara bersamaan.
“I promise your brother that I’ll take you home safety,” Matt bicara lagi. “How about you, Zoe?”
“I’ll go with you Mr Yudea. What about you, Vion?”
“Vion? Who’s Vion?”
Vion tersenyum kecil. “I am Vion, Mr Yudea. I am the upperclassman.”
Matt menjabat tangannya. “Hi, Vion, nice to meet you. I hope you guys can visit Nero once for a while. He only has Niken and Ray around the house.”
“Excuse me,” Devon memotong, sedikit mengerutkan dahi. “What does it mean?”
“Nero didn’t tell you guys that Niken is our neighbour?”
Mereka semua menatap Niken, yang wajahnya memerah lagi.
“No.” Devon berbicara.
Matt mengangkat bahu tak peduli. “Well, now you know,” katanya. “I think, it’s the time. I promised I’d make a call to my asssitent.” Dia melangkah mendekat ke sofa.
“I can help you, Mr Yudea,” kata Zoe.
“No, Zoe,” kata Matt, tersenyum ramah. “It’s ok. He’s my son.”
“You’re old, Matt,” canda Arnold dan yang lain tertawa.
“Hey, now,” Matt memutar bola mata. “I am 39. That’s not old.”
Mereka tertawa kecil.
Matt meletakkan tangannya ke bawah leher Nero, dan Nero terbangun.
“Daddy?” katanya tak jelas, matanya tampak masih lelah.
“Mhm,” gumam Matt, membantu Nero duduk, meletakkan tangan Nero melingkari lehernya. Nero tidak melawan saat Matt menggendongnya ke punggungnya.
“Ich bin müde," gumam Nero tak jelas.
“Ich weiß,” balas Matt lembut.
“German? You’re teuton?” Daven mengerjap kaget.
“Yes, we are.” Matt berhasil menggendong Nero dan berdiri tegap seakan berat tubuh Nero tak ada apa-apanya baginya.
“I though you’re French,” katanya lagi.
“Oh, well,” Matt mengangkat bahu. “He studied in Paris before.” Matt melangkah melewati ruangan menuju ruang depan. “Thank you for everything, Arnold, Flowna.”
“You’re welcome, Matt.”
“Bye, guys.”
Dan dengan begitu, Matt, Niken, Zoe dan Vion pulang.
***The Flower Boy Next Door***
Matt dengan cemas melihat Nero yang menyusun barang-barangnya ke dalam ransel sederhana berwarna biru yang mencolok.
“Nak, kau benar-benar ingin pergi camping?”
Pertanyaan yang sama selama lebih dari seminggu. Berapa ratus kali sebenarnya Matt harus mengulang pertanyaan itu untuk Nero?
Nero memutar bola matanya. “Yep. Dad sudah janji kan? Aku sudah mengirimkan surat ijin itu pada Julian sebelum Dad ke Jerman. Apa Dad lupa?”
“Tapi aku tetap cemas.”
“Dad,” Nero, melemparkan kaosnya ke dalam tasnya, lalu duduk di samping Matt di atas tempat tidur. “Aku akan baik-baik saja. Sungguh. Kau tak perlu khawatir.”
“Tapi, Nero, kau akan sendirian di luar sana. Tak ada yang mengawasimu nanti. Kau tahu tidak ada banyak sekali bahaya di luar sana.”
“Dad,” Nero mengerang jengkel. “Berapa kali aku harus bilang padamu? Aku tak akan sendirian di sana. Ada rarusan murid yang ikut. Ada guru yang mengawasi. Ada Zoe. Ada Devon. Ada Niken juga. Dan bila kau lupa, kami cuma camping di sekolah. Sekolah dan rumah kita bisa dilewati dalam waktu lima belas menit. Apa yang kau takutkan sebenarnya? Bila kau khawatir, kau bisa mengecek keadaanku nanti. Walau aku sebenarnya tak mengharapkannya, aku bukan anak kecil lagi.”
Matt mendesah lelah. “Kau memang bukan akan kecil lagi, Nero.”
“Nah, kan?”
Nero bangkit mengambil celana keluar dari lemarinya dan memasukannya ke dalam tas.
“Masukan jaket tebal ke dalam,” Matt mengingatkan. “Aku takut kau kedinginan.”
Nero nyengir padanya. “Aku akan baik-baik saja, Dad. Janji.”
Matt menatapnya selama beberapa detik. “Baiklah. Aku kalah. Aku akan membiarkanmu bersenang-senang. Tapi berjanjilah padaku untuk tidak menyentuh Niken.”
“Kalau cium boleh?” goda Nero.
Matt balas nyengir padanya. “Boleh. Tapi tidak boleh lebih dari lima detik.”
Nero memutar bola matanya. “Hidupku benar-benar menyedihkan.”
“Hey, kalian masih kecil. Yang ada di dalam otak kalian cuma kontrol hormon,” Matt menjelaskan. “Dan aku tak bersedia kau menodai pacarmu sebelum menikah.”
“Dad!” Nero mengerang jengkel, nyaris melempar Matt dengan jeket. “Aku bukan orang seperi itu!”
“Wajahmu memerah,” Matt membalasnya. “Saat kau pergi nanti, aku akan memeriksan seluruh isi kamarmu, memastikan kau tak memiliki majalah dewasa, termasuk dengan laptopmu. Percayalah, tak ada yang bisa kau sembunyikan dariku.”
“Dad!”
Nero benar-benar tak tahu harus bagaimana menghadapi Matt.
Matt terbahak. “Apa si Gay itu juga ikutan?” katanya dengan nada tak suka.
Daven, sejak bertemu dengan Nero, begitu rajin mendatangi rumahnya bersama dengan Devon dan Vion. Zoe terkadang ikut. Biasanya mereka menghabiskan waktu dengan bermain game sampai suntuk. Ray sudah dua kali ikutan. Pokoknya rumah Nero sudah seperti sarang penyamun para gamer.
Hanya saja selera Daven berubah haluan dari Nero menjadi Matt. Dengan terang-terangan Daven menunjukan rasa cintanya pada Matt dengan mengekori kemanapun Matt pergi, bahkan dengan sengaja berkata “I love you” tiap kali Matt lewat. Jacob yang pernah datang mampir, menaikan alis dan berkomentar pedas soal betapa bertolak belakangnya selera Matt setelah kehilangan Jennifer, membuat Matt terpaksa harus menyodok rusuknya. Untunglah Matt tak pernah memikirkan apapun yang diperbuat Daven padanya. Kalau tidak semuanya bisa gawat.
“Dia sudah kembali ke New York,” kata Nero. “Sekarang Dad sudah aman.”
“Kau tahu, dia nyaris menyerangku dua hari lalu,” kata Matt geleng-geleng kepala. “Untunglah aku selalu menyiapkan kaos cadangan di balik kemejaku.”
Nero terbahak. “Mungkin aku juga harus menyiapkan taktik yang sama seperti yang Dad lakukan. Siapa tahu nanti Niken yang menyerangku.”
Matt tersenyum, “Aku akan bilang pada Niken kalau dia harus mengenakan tiga lapis pakaian bila berada di dekatmu. Siapa yang tahu isi di dalam kepalamu?”
“Dad!” gerung Nero lagi.
Matt terbahak lagi. “Kemarilah, Nak.”
Nero mendekat lagi dan duduk di sampingnya. Matt segera memeluknya.
“Berapa lama campingmu?”
“Tiga hari.”
“Aku akan merindukanmu selama tiga hari.”
“Aku tahu. Aku juga akan merindukanmu.”
Matt mengecup dahi Nero. “Jaga diri baik-baik, ok?”
Nero mengangguk. Bersama Matt adalah saat paling indah dalam hidup Nero dan Nero tak akan mau menggantinya dengan orang lain.
***The Flower Boy Next Door***



0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.