Debaran Tiga Puluh Enam
Nightmare
TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEET
Devon mengerang
jengkel, membalikkan badan dan tangannya yang mengayun tepat jatuh ke dada Nero
sampai membuat Nero bangun, terbatuk-batuk karena pukulan luar biasa Devon.
Devon segera terbangun karena itu.
“Kenapa?” tanya
Devon terkaget-kaget.
“Kenapa? Tanya
tanganmu!” Nero menimpuk bahunya dengan jengkel. Suara toa masih berbunyi
mengerikan, menjerit-jerit luar biasa di pagi hari.
“BANGUN! SUDAH
PAGI!” suara Julian samar-samar terdengar di luar tenda. Tak lama setelah itu
tenda mereka juga ikut bergoyang dan ada bayang-bayang berkelebatan di luar.
Nero menggaruk kepalanya dengan jengkel, lalu akhirnya keluar dari tenda. Devon
terpaksa ikut juga.
Para siswa
sekarang sudah ada di luar, menunggu pengumuman langsung dengan seluruh tangan
masuk ke dalam kantung celana atau jeket mereka. Langit masih gelap dengan
awan-awan kelabu yang menggantung. Matahari tampaknya belum mau muncul dan
angin pagi segar menyamankan kulit wajah setiap anak.
“Apa semua sudah
bangun?” Julian bertanya dari ujung tenda menggunakan toa di depan mulutnya.
“Sudah, Pak,”
para siswa menjawab malas.
“SEMUA SUDAH
BANGUN?” dia menjerit.
Setiap anak
menutup kedua telinga mereka yang berdenging.
“SUDAH, PAK!”
Akhirnya anak-anak ikut menjerit.
Alfon yang
berdiri di sebelah Vion memijit dahinya sambil bergumam, “Ya ampun.”
“Sekarang ikut
saya ke lapangan belakang, kita senam!”
Para siswa
ogah-ogahan mengikuti para guru untuk berjalan ke lapangan belakang. Mereka
menguap, menggaruk-garuk kepala dengan malas, bahkan masih memiliki rambut
awut-awutan ketika berbaris di lapangan dan mulai senam dengan musik SPI (Senam
Pagi Indonesia).
“Satu… dua…
tiga… empat…”
“Seriously?” Nero geleng-geleng kepala,
mengikuti gerakan senam.
Begitu selesai,
para siswa sudah kelihatan lebih segar dan berkeringat walau ngomel-ngomel
karena panas sinar matahari.
“Kalian boleh
mandi berkelompok. Para siswa dilarang mengintip para siswi. Bu Penny dan Bu
Moni akan mengawasi,” kata Alfon memberitahu, membagi para siswa untuk mandi di
kamar mandi yang terpisah antara para pria dan wanita. Para wanita di dalam dan
para siswa di luar.
“Huuuuh!” para
siswa protes. Alfon pura-pura tak mendengar walau Garry tertawa di sisi para
siswa.
“Kemudian, bagi
mereka yang kemarin gagal,” Alfon kembali membuka catatannya, “Silakan membantu
Panitia Konsumsi.”
“HUUUUUH!”
protesan semakin menjadi.
“Aku mandi
duluan,” kata Nero, mengambil handuknya. “Aku biasanya mandi pagi. Mumpung
masih jam tujuh.”
“Aku juga ikut—”
Bram berhenti bicara saat Zoe menarik bagian belakang bajunya.
“Kau bantu aku
angkat air,” katanya.
Bram meringis.
“Biar aku saja
yang menemani Nero mandi,” Devon tersenyum culas, merangkul Nero. “Kau silakan
bersenang-senang dengan Zoe sambil mengangkat air.”
Nero menaikan
alis. “Kenapa ya aku mendengar ada nada Davy di suaramu?”
“Please, jangan sebut namanya,” Devon
memutar bola matanya.
Menyeringai
jahil, Nero pun pergi bersama dengan sepuluh siswa lain untuk mandi tahap
pertama. Sekembalinya mereka, siswa yang lain menyusul.
“Apa?” Alfon
mengerutkan dahi saat Julian berbisik padanya. Owen juga ikut mendengarkan.
Tepat saat itu setiap ponsel berdering bersamaan. Ada sebuah pesan gambar masuk
secara berbarengan, dan teriakan para cewek segera membahana begitu melihat apa
isi dari pesan itu.
“Ada apa sih?”
Bram bertanya. Zoe membuka ponselnya.
“Oh,” kata Vion
melotot melihat ponselnya. “Aku tak tahu kalau Nero punya body yang lumayan.”
“Siapa yang
mengambil foto ini?” Zoe mengerutkan dahi.
“Coba tebak
siapa?” suara Nero terdengar di belakang mereka. Dia meletakkan tasnya.
Handuknya masih tergantung di leher sementara rambutnya masih meneteskan air.
“Devon?” kata
Zoe melirik Devon.
“Sori, Nero.
Devy terus menggerecokiku,” Devon nyengir lebar. “Aku cuma ingin menutup
mulutnya.”
Nero memutar
bola matanya. “Kupikir dia naksir Daddy-ku.”
“Memang. Tapi
dia kan—yah, kau tahulah,” kata Devon menghela napas.
“Kau tahu apa
yang dimaksud dengan popularitas berlebihan?” Zoe menyambung, menunjukkan
ponselnya yang berdering terus-menerus karena para siswi memberikan komentar di
bahwa foto yang baru diupload Devon.
“Kau wajib
memberikan perlindungan padaku dari para fansku,” Nero menepuk bahu Devon.
“Jika sampai ada yang mendekatiku dalam jarak satu meter, Zoe akan mengulitimu
hidup-hidup.”
Zoe memutar bola
mata dan Vion terbahak.
Niken mendekat.
Gadis itu tampak murka memegang ponselnya. “Apa ini?” katanya pada Nero.
“Tanya Devon,”
kata Nero cepat, takut menghadapi kemarahan pacarnya sendiri.
“Kenapa kau
melakukannya?” Niken memelototi Devon. “Apa kau tak tahu kalau yang kau lakukan
ini melanggar hak asasi?”
Devon menaikan
alis. “Hey, Ms Koordinator Kedisplinan Siswa, aku seorang Ketua Osis, bersikap
sopanlah padaku, dan ini bukan urusanmu. Aku yakin tak ada larangan dalam
peraturan sekolah untuk mengupload gambar pribadi.”
Niken menggeram
jengkel, menarik kaos Devon. “Itu bukan gambar pribadimu.”
Devon menaikan
alis. “Ini gambar pribadi. Lagipula aku tak mengupload gambar senonoh. Hanya
pinggang ke atas. Kau mau foto pinggang ke bawah?”
Nero mengerjap
dan wajah Niken memerah cepat.
“Devon, rasanya
aku tak mengijinkanmu memotretku saat mandi.” Nero protes.
Devon
menggerling nakal. “Jika Niken macam-macam padaku, aku akan menyebarkan fotomu.
Kita lihat siapa yang kalah nanti.”
Niken merebut
ponsel Devon saat dia lengah, menjatuhkannya dan menginjaknya sampai rusak.
Devon menganga.
“Kau—”
“Sori, Devon,
keinjak,” kata Niken dengan wajah sok polos.
“Aku akan
membunuhmu!”
“Tidak boleh.”
Nero menimpuk kepalanya. “Itu cuma ponsel, Devon, akan kubelikan yang baru
untukmu nanti.”
“Tapi—”
“Jangan seperti
anak kecil.”
Zoe dan Vion
yang mendengarkan pertengkaran mereka hanya tertawa terbahak-bahak. Devon masih
sebal saat sarapan ataupun selesai sarapan. Saat tugas mencuci piring, dia
membalas Niken dengan menyuruh Niken mencuci piring, sementara para siswa lain
bertugas membersihkan sekolah.
“Inti dari
camping kali ini,” kata Pak Owen, “adalah membersihkan sekolah.”
Para siswa dibikin berkelompok untuk membersihkan
seluruh ruangan kelas yang berdebu, menyapu, mengepel, bahkan memindahkan
peralatan yang tak terpakai lagi ke gudang sekolah, yang sempat membuat para
siswa bingung kenapa pintunya bisa rusak. Menjelang siang, para siswa yang
bertugas di lapangan sudah mulai keringatan dan mengeluh karena sinar matahari,
sementara para panitia berulang kali meminta para siswa untuk mengambil air.
Makan siang juga
berlangsung seperti saat sarapan, dipenuhi dengan celotehan dan protesan.
Niken merengut
begitu Nero melihat tangannya yang mengerut karena harus mencuci piring.
“Nanti juga
sembuh,” kata Nero, meremas tangannya menenangkannya. Kulit tangan Niken yang
dingin terasa enak di tangannya, yang panas karena harus membersihkan tong
sampah sekolah.
“Tapi rasanya
tak enak.” Niken masih cemberut.
“Nanti kita
balas Devon,” Nero tersenyum jahil dan Niken juga ikut tersenyum. “Lagipula
besok kita sudah pulang. Malam ini acara api unggun kan?”
Niken
mengangguk. “Juga bakal ada dansa seperti biasa.”
“Seperti biasa?”
Nero mengulang kebingungan. “Rupanya setiap tahun ada dansa ya? Ngomong-ngomong,
tahun lalu kau berdansa dengan siapa?”
“Tidak ada. Tak
ada yang mau mengajakku berdansa.”
Nero tertawa. “Itu
karena kau seram sekali, Niken. Padahal kau cantik.” Tapi Nero meremas lagi
tangan Niken sehingga Niken tak sempat membalasnya, “ada bagusnya juga, sih
jadi aku akan jadi orang pertama yang berdansa denganmu di depan api unggun.”
“Hmph! Kau kan
belum tentu bisa berdansa.” Walau Niken berkata begitu Nero bisa melihat warna
pink di pipi Niken.
“Tapi kan ada
kau yang mengajariku,” bisik Nero ke telinga Niken. Gadis itu menggigil dan
menunduk, wajahnya memerah sampai ke telinga dan Nero merasakan bahwa Niken
semakin cantik. “Satu jam lagi kita bertemu di perpus, ya.”
Niken mengerjap.
“Huh?”
“Aku ingin
menciummu,” kata Nero dan dengan begitu dia bangkit dari tempat duduknya,
menuju kelompoknya untuk bekerja lagi.
***The Flower
Boy Next Door***
Uh... aku tak
tahu harus menanggapi apa, tapi begitu mendengar suara Nero dan janjinya, aku
tak bisa membantah. Hey, aku datang bukan karena ingin menciumnya loh, tapi
karena aku kangen padanya. Pak Owen sebisa mungkin menghindari seluruh siswa
dan siswi untuk bekerja di jalur yang sama. Para cowok kerja rodi di luar
lapangan dan ceweknya romusha di dalam kelas. Jadi sulit sekali bagiku untuk
melihat Nero, ditambah lagi tiap kali kami berduaan, selalu ada saja gangguan:
yang Nero dipanggil buang sampahlah, yang Nero harus mengambil airlah yang Nero
harus ikut mendata ulang seluruh siswalah, dan lain sebagainya. Oh come on memangnya siswa yang bisa
bekerja cuma Nero doang?
Itu sebabnya aku
memilih untuk setuju.
Jadi, saat para
siswa cewek bersih-bersih kelas kami, aku dengan segera melesat melarikan diri
dengan alasan ke kamar mandi, kemudian menuju perpustakaan. Nero belum datang,
Devon pastilah menjaga di sekitarnya. Aku tak tahu masalah anak itu apa, tapi
sejak dia jadi Ketua Osis, dia semakin sok berkuasa. Aku heran dengan perubahan
sikapnya.
Bukankah dulu
dia tak menyukai jabatan itu? Terus kenapa sekarang dia malah bertingkah
layaknya Ketua Osis terbaik? Malah aku harus mengakui dia lebih baik dari Kak
Vion. Setiap pagi dia sudah ada di depan gerbang, memeriksa absen keterlambatan—padahal
dulu dialah biangnya terlambat. Yang masih suka bolos dan terlambat berkurang
menjadi 3 orang setiap harinya, sebab Devon sering membantuku memberikan
hukuman mengerikan. Salah satu hukuman paling parah yang diberikan Devon adalah
menyita ponsel pelaku terlambat selama seminggu. Siapa yang tahan hidup dalam
seminggu tanpa ponsel? Ditambah, Devon sering mengupdate status dari ponsel
korban, yang dikirim ke semua orang termasuk orang tua siswa, yang mengatakan:
ponsel ini disita sampai saya tak pernah terlambat lagi ke sekolah. Benar-benar
neraka kan? Sekarang Devon jelas lebih devil daripadaku.
Pintu
perpustakaan terbuka dan aku melihat Nero berdiri di dekat pintu. Dia tersenyum
padaku, membuat jantungku berdegup tak karuan saat dia menutup pintu.
“Hi,” katanya.
“Hi,” kataku
gugup. “Kau terlambat.”
“Devon tak bisa
meninggalkanku. Entah apa maunya.”
Kemudian, dia
menarik tanganku. Aku mengikutinya berjalan ke sudut perpustakaan, ke belakang
lemari buku. Semakin aku merasakan genggamannya, semakin aku merasa gugup.
“Aku bawa
sesuatu untukmu.”
Aku mengerjap
ingin tahu. “Dia mengeluarkan botol kecil dari saku celananya.”
“Apa itu?”
“Ini minyak
zaitun,” katanya, membuka tutup botol, meneteskan isinya, dan mengoleskannya
pada telapak tanganku. “Devon bilang ini bagus untuk melembabkan tanganmu.”
Kupandangi Nero
dengan keheranan, nyaris tertawa. “Kau percaya semua yang dikatakan Devon
padamu?”
“Aku akan
mempercayakan hidupku pada Devon.” Nero mengadah, melihatku sebentar, kemudian
kembali mengolesi tanganku yang satunya. “Kau tak menyadari bahwa Devon bisa
jadi dokter yang hebat?”
“Devon? Dokter?”
Aku tertawa kecil. “Aku tak pernah bisa membayangkan Devon bisa menjadi seorang
dokter. Dia badbody. Kupikir dia mau
jadi pemain sepak bola.”
“Dia bisa jadi
dokter sepak bola nanti,” canda Nero dan aku tertawa.
“Lalu kau?” Aku
bertanya pada Nero. “Kau ingin jadi apa? Pianis!”
Nero kelihatan
berpikir. “Hmmm, tidak. Aku tak ingin jadi pianis.”
“Lalu?”
“Aku terlalu
pintar jadi pianis.”
Aku menyodok
perutnya dan dia tertawa kecil. “Kalau begitu, kau ingin jadi apa?”
“Kau?”
“Nero,” kataku
jengkel karena dia tak menjawab pertanyaanku. “Jawab pertanyaanku, baru aku
akan memberitahumu.”
“Tidak adil. Kau
beritahu aku dulu, baru akan kujawab rasa ingin tahumu.”
Dia selalu
seperti itu. “Aku akan jadi jurnalis.”
“Wow. Kau yakin?”
Nero tampak terheran.
“Yep. Memangnya
kenapa?”
“Kau tak cocok
menjadi sosok pendiam nan misterius. Kupikir kau mau jadi pengacara atau
mungkin jaksa, itu cocok untukmu. Kau kan suka mengintimidasi orang.”
“Haha. Tak lucu,”
kataku sarkastik. “Sekarang, katakan kau ingin jadi apa.”
Nero menatapku. “Insinyur
pesawat terbang.”
Oh wow! Aku tak
menyangka bahwa ada profesi seperti itu di dunia ini. Tentu saja ada! Kalau
bukan insiyur pesawat terbang siapa yang bisa membuat benda-benda raksasa itu
terbang?
“Kurasa itu
bukan hanya cita-cita, tapi juga takdir.” Nero melanjutkan.
Aku mengerjap. “Kenapa?”
“Aku lahir,
tinggal, dan hidup di kalangan para pengudara. Aku melihat Grandpa yang membawa
helikopter saat aku masih kecil, juga Dad yang pernah membawaku terbang dengan
jet. Mereka sangat keren. Aku mengidolakan mereka. Dan saat aku melihat langit
serta pesawat mereka, aku tahu bahwa aku juga akan melakukan hal yang sama.”
Bukankah itu
keren sekali? Aku tak menyangka Nero besar di lingkungan yang luas. Di langit
yang tinggi dan sulit dijangkau oleh tangan manusia. Tidak terbatas. Dan bebas.
Dunianya Nero.
Cerah… biru…
putih...
Seperti
orangnya.
“Itu keren
sekali,” kataku tanpa sadar, sekali lagi terhipnotis dengan jati dirinya.
Sekali lagi aku belajar mengenalnya. Ada berapa banyak hal dari Nero yang harus
kupelajari sebenarnya? Dia selalu bisa memberiku kejutan.
“Sebaiknya kau
simpan ini,” Nero meletakkan botol itu ke tanganku. “Aku menduga Devon akan
mengerjaimu untuk membalasku.”
Aku mengerjap. “Apa
yang kau lakukan padanya?”
Nero tersenyum
jahil. “Aku membuatnya mengisi air dengan alasan bahwa aku sakit perut untuk
kabur kemari.”
Aku terbahak.
“Siapa suruh dia
mengerjai pacarku?” Nero berkata bangga.
Aku semakin
terbahak. Tampang Devon pastilah mengerikan sekali begitu tahu bahwa Nero tak
ada di dekatnya. Kasihan. Nero kadang tahu bagaimana cara berbohong yang baik
dan benar. “Well sesekali kan tak
apa. Devon pantas mendapat pelajaran.”
“Aku tahu kau
memang sadis,” kata Nero. Begitu aku mengadah lagi, wajah Nero sudah terlalu
dekat dengan wajahku.
Urm... kataku
dengan napas tercekat. Wajahku memanas melihat caranya menatapku.
Nero tersenyum
kecil. “Kenapa kau melangkah mundur, Sayang? Rasanya tadi aku bilang aku
mengundangmu kemari untuk menciummu.”
Dengan susah
payah aku menelan ludah. Kakiku melangkah mundur sampai punggungku mengenai
tembok. Kedua tangan Nero memegang tembok, memerangkapku di tengahnya.
“Aku datang ke
sini bukan karena itu,” kataku gugup, meremas botol minyak zaitun di tanganku,
yang karena licin jadi kupegang erat-erat.
“Lalu?”
Aku cuma ingin
bertemu denganmu.
“Cuma itu?” Aku
tak berani menatap wajahnya, walau suara Nero semakin pelan.
“Erm... dan
berbicara...”
“Lalu?”
Dia terus
mendesakku. Sialan. Pemuda ini benar-benar tak bisa membuatku berpikir.
“L-l-lalu...”
Aku menatap mata
Nero. Kesalahan besar. Matanya yang coklat jernih tampak jujur dan bersinar di
depanku. Kedua mata itu membuatku tak bisa bernapas, tapi juga menghangatkanku.
Dan sebelum aku tahu apa yang kulakukan, aku sudah mencondongan tubuhku—sedikit
karena jarak Nero terlalu dekat denganku—dan mencium bibirnya.
Aku bisa
merasakan bibir Nero tersenyum saat aku menjauh hanya sesenti untuk melihat
wajahnya. Matanya menatapku, kemudian menutup secara perlahan dan aku tahu
bahwa ini tandanya aku hanya melanjutkan dan—
Nero mengambil
alih.
Kalian boleh
membunuhku, tapi itu kenyataan.
Begitu aku menciumnya dengan lembut, Nero membalas dengan lebih bergairah. Dan
tak perlu waktu lama bagiku untuk menyerah.
“Five seconds,” katanya. tiba-tiba
melepaskan ciuman.
Aku mengerjap. “Huh?”
Kemudian dia
menunduk lagi, menciumku dengan panas, sebelum aku bisa mengambil napas. Aku
mengerang frustasi, tapi Nero lagi-lagi menjauhkan kepalanya bahkan sebelum aku
benar-benar merasakan nikmatnya.
“Five seconds,” katanya lagi.
Aku tak mengerti
apa yang dia katakan. “Masih sedetik,”
kataku jengkel dan memeluk lehernya, menciumnya. Kedua tangan Nero memeluk
pinggangku, kemudian untuk ketiga kalinya dia menghentikan ciuman secara
sepihak.
“Ada apa sih?”
Aku menoleh padanya dengan tak percaya dan, percayalah padaku, kami dalam posisi
saling memeluk saat Nero menjawab dengan jujur. “Aku janji pada Dad tak akan
menciummu lebih dari lima detik.”
Seriously? Aku menganga keheranan. Baru kali ini
aku melihat Nero seperti ini. Dia ternyata lebih takut sama Matt daripada
seluruh orang di muka bumi, sampai-sampai menuruti perkataan Matt—walau Matt
tak ada. Tunggu. Nero juga pernah mengatakan hal yang sama mengenai kamarnya.
“Nero,” kataku,
menatapnya dengan geli.
“Apa?”
“Sekali-kali kau
harus jadi anak nakal.”
“Apa?”
Dan sebelum Nero
sempat membantah lagi, aku melompat menciumnya. Aku tak tahu apa yang
kulakukan. Mungkin ini karena Nero yang sudah membuatku kelaparan, karena
ciumannya yang setengah-setengah, jadi ketika bibirku menyentuhnya, lidahku
masuk dengan sendirinya ke dalam mulutnya. Nero terkesikap kaget, tapi aku
memeluk erat lehernya sehingga dia tak bisa menjauhkan diri. Kemudian yang aku
tahu kami tenggelam dengan ciuman kami sendiri. Satu menit... dua menit... lima
menit... entahlah, jika bersama Nero kurasa sejam pun aku tak keberatan.
Tapi ciuman kami
terpaksa berhenti karena Zoe berdeham dari balik lemari buku.
Kami berdua
segera memisahkan diri, memperbaiki pakaian kami yang kusut.
“Hi,” Zoe
menaikan alis, melihat arlojinya, “kurasa sudah saatnya kalian berdua kembali
sebelum Pak Owen memergoki kalian berciuman di perpustakaan.”
“Ok,” kata Nero
dengan nada kasual. Wajahku merah padam. Ya Tuhan Zoe melihat kami berciuman.
Aku malu sekali sampai rasanya aku ingin agar lantai ini jeblos kemudian
menimpaku. Sungguh tak keren.
Kemudian Zoe
bicara lagi seakan tak peduli aku ada di sini atau tidak. “Nero kau mengajari
Niken french kiss?”
Nero menaikan
kedua bahunya. “Dia belajar sendiri dan dia
sangat ahli. Aku mulai kehilangan harga diriku sebagai pria—ow!”
Aku menyodoknya.
Tanpa penjelasan pun aku sudah sangat malu. “Itu semua karenamu!” kataku kesal.
“I know, Baby.” Nero tersenyum lagi dan
sudah saatnya aku pergi. Aku berlari menutupi wajahku dengan kedua tanganku dan
berlari ke kamar mandi, melihat wajahku yang merah padam di depan cermin.
Bibirku sedikit bengkak dan memerah karena Nero beberapa kali menggigitnya. Rambutku
sedikit acak-acakan dan pakaianku kusut. Uh…Wajahku memanas lagi begitu
mengulang kembali adegan itu dalam kepalaku.
“Uh, apa yang
tadi kulakukan?”
Sekembalinya dari
kamar mandi, aku lebih baik, tapi tetap saja masih gugup. Aku nyaris tak bisa
mengerjakan hal dengan benar. Begitu seluruh pekerjaan bersih-bersih ini
selesai, para siswa sudah bisa mandi untuk menyambut acara api unggun.
Kayu-kayu besar
sudah disusun di tengah lapangan. Berdiri megah dan siap untuk dibakar. Para
siswi yang antusias segera mandi dan mereka bilang akan butuh waktu lama untuk
berdandan. Aku salah satunya yang ingin melakukan hal yang sama. Tapi Devon—ya
Devon yang itu. Si Ketua Osis menyebalkan—membuatku terpaksa harus mendapatkan
giliran terakhir untuk mandi karena kami harus memasak makan malam.
Dan apa lagi
yang membuat tersiksa? Zoe ternyata menjadi pembantu panitia memasak. Sementara
Nero ada di depan kemah, dikerubuti para cewek tak tahu diri, yang ingin mengajaknya
menjadi pasangan dansa, aku harus berada di samping Nero dengan udara canggung
di sekitar kami.
“Kau tahu,” kata
Zoe akhirnya berbicara setelah aku berusaha menghindarinya selama, setidaknya,
satu jam terakhir. Dan tak berguna sekali menghindarinya saat Zoelah
satu-satunya orang di sampingku yang mengupas kentang.
“Tahu apa?” kataku
dengan suara yang berusaha memperingatkannya bahwa aku sama sekali tak ingin
mendengar apapun.
Tapi Zoe
pura-pura tak mendengarnya dan malah melanjutkan, “Kau harus berhenti berduaan
dengan Nero di tempat sepi. Hanya Tuhan yang tahu kemana hormon akan membawa
kalian.”
Wajahku merah
padam tapi itu tak menghentikanku membalasnya, “Itu bukan urusanku!” geramku.
“Memang.” Zoe
meletakkan kentangnya dengan santai sembari mengangkat kedua bahunya. “Tapi kau
tak ingin dinikahkan Matt saat berusia 16 tahun kan? Siapa yang tahu sepuluh
tahun lagi pada kalian?”
“Nero tidak
seperti itu! Dia punya akal sehat!” Aku melampiaskan kemarahanku pada
kentang-kentang malang yang gundul karena potonganku.
Zoe mengangguk
sok suci. “Kau juga Niken. Tapi Iblis bekerja dimana-mana. Termasuk pada Nero.
Dan jangan coba-coba memancingnya jadi anak nakal.”
Aku menatap Zoe.
Jadi dia ada di dekat kami selama itu? Oh, sekarang bukan hanya memalukan tapi
juga mengerikan!
“Jika kau
mengubahnya jadi anak nakal, dia akan lebih ganas daripada tadi, dan tak akan
ada yang bisa menghentikannya.” Zoe melanjutkan dengan nada kasual.
“Kau mengatakan
hal itu cuma untuk menakutiku, menasehatiku, atau karena kau teman Nero?”
“Bukan ketiganya,”
Zoe menggeleng. “Karena aku takut kau akan tersakiti.” Kemudian Zoe mengambil
baskom kentang kami dan membawanya ke meja masak panitia.
Aku termenung
beberapa saat sampai Devon muncul.
“Kau sudah bisa
mandi.”
Aku bangkit,
melempar kulit kentang ke bajunya yang baru dia ganti. Dia menggerung marah
tapi aku melarikan diri setelah melet padanya.
Aku mandi dengan
cepat, menggosok seluruh tubuhku agar tidak menimbulkan bau ataupun noda
secuilpun. Walau aku tak bisa berdandan, setidaknya aku tampil bersih di depan
Nero. Kupakai kaos nyaman berwarna putih, jeans dan jaketku, lalu keluar dari
kamar mandi. Nero sudah menungguku di depan tenda bersama Bram. Dia tampil
tampan dengan kaos hijau yang dipadu dengan jeans berwarna gelap serta jaket
kulit.
“Hi,” kata Nero,
tersenyum begitu melihatku.
“Hi,” balasku
ikutan tersenyum. Kemudian aku ingat kejadian tadi. “Kemana para fansmu?”
“Kenapa aku
harus memikirkan mereka sementara kau ada di hadapanku?” Nero membalas polos
membuat jantungku berdetak lagi.
“Urk... aku
pergi muntah sebentar,” kata Bram. Dia tersenyum padaku ketika lewat.
“Duduk sini,”
Nero menepuk-nepuk tempat bekas Bram duduk. Aku segera beranjak dan duduk di
sampingnya. Berada di samping Nero membuatku nyaman.
“Bagaimana
harimu?” Nero memegang lembut tanganku.
“Mengupas
kentang,” jawabku singkat.
“Devon
benar-benar harus diberi pelajaran.”
“Kita bisa
membalasnya lain kali.”
Nero tersenyum. “Apa
kau sudah mengolesi tanganmu lagi?”
Aku mengangguk
cepat. “Sudah.” Kuangkat tanganku. “Sudah baikan.”
“Para siswa
berkumpul untuk api unggun! Sekali lagi, para siswa berkumpul untuk api unggun!”
Pengumuman dari toa Pak Julian membahana.
“Aku
bertanya-tanya, sepertinya Julian hobi teriak-teriak di depan toa.” Nero
tiba-tiba berkomentar saat menarik tanganku mengikuti bersama siswa lain untuk
mengelilingi api unggun.
Aku terkikik
geli. “Mungkin.”
Di sekitar api
unggun, di jarak yang lebih jauh, sudah disiapkan loudspeaker. Ini akan jadi malam paling panjang seumur hidup.
Sementara itu ada juga meja-meja panjang di pinggir lain, tempat dimana makanan
dan minuman seadanya tersedia.
“Anak-anak,” Pak
Owen mengambil alih toa. “Malam ini akan jadi malam terakhir camping kali ini.
Bapak berterimakasih berkat kerja keras kalian yang membersihkan sekolah.”
“Huuuuh!”
anak-anak protes. Aku dan Nero juga ikutan.
“Ok ok, aku tahu
kalian kesal, tapi kalian kan tak ingin belajar di lingkungan kumuh.”
“Huuuuuh” lagi.
“Untuk itu,
malam ini, seperti camping biasa, kita akan pesta sampai puas!”
Kali ini “Yay”
dengan antusias.
“Tapi ingat,
jangan buang sampah sembarangan. Kalian tak ingin pulangnya kalian yang
membereskan kan?”
“Huuuuuh!”
“Tanpa
berlama-lama lagi. Devon!”
Devon membawa
obor dari belakang. Wajahnya tak menyenangkan saat menyerahkan obor itu pada
Pak Owen.
“Dengan ini,”
kata Pak Owen, “acara api unggun dimulai!” Dan saat dia meletakkan api itu ke
tumpukan kayu unggun api langsung menjalar, naik menyala-nyala di atas kepala.
Para siswa bersorak dan musik segera berbunyi.
“Nero!!!”
Cewek-cewek histeris begitu Nero menarikku ke dekatnya dan mencium bibirku di
depan mereka, di depan para guru, di depan kepala sekolah.
Ya ampun.
Malunya... malunya... malunya... aku membatu tak bisa bergerak.
“Sorry Girls. I have a date!” Nero
menarik tanganku dan aku berjalan terhuyung ke depan. Dia memeluk pinggangku
dan kami berputar-putar di dekat api unggun, berdansa tanpa memedulikan orang
lain. Atau hanya Nero yang berpikir begitu. Aku bisa melihat Pak Owen yang
berdeham canggung karena melihat siswanya berciuman, tapi tak bisa melakukan
apapun dan mencoba berbicara pada Pak Julian yang terbengong dan lupa merespon
pada Pak Owen. Pak Alfon hanya mampu geleng-geleng kepala, sementara para guru
wanita terkikik geli berbisik-bisik sambil melirik Pak Alfon dan Pak Julian.
Seperti biasa, dua guru ganteng itu selalu jadi incaran.
Karena Nero
memulai dansa, para siswa cowok pun semakin berani dan mulai menarik pasangan
mereka berdansa. Lapangan sekarang ramai dengan para siswa yang melompat-lompat
dan menggila. Aku bahkan sempat mendengar Zoe yang berbisik padaku “Sudah
kubilang jangan memintanya jadi bad boy“
saat dia berdansa dengan seorang gadis yang tak kukenal.
“Who‘s that?” Nero bertanya pada Zoe.
“Random girls,” Zoe menjawab tak peduli. “I told you I could get girls I want to”.
“Yeah, right,
Playboy.”
Zoe
menyunggingkan senyum, tak tahu apakah itu senyuman mengejek atau tidak, tapi
yang pasti ketika kami bertemu dengannya lima menit lagi di lantai dansa, dia
sudah bersama dengan gadis lain lagi.
Er...
“Don‘t ask,” kata Zoe dan membawa gadis
itu ke tempat lain.
Nero mengerjap. “Kurasa
aku butuh minum. Aku baru saja melihat Zoe jadi Mega Playboy malam ini.”
Aku tertawa dan
menarik tangannya keluar dari lantai dansa. Sama seperti Nero, aku kepanasan
dan kehausan. Tapi aku bersenang-senang di lantai dansa. Nero yang tahu aku tak
bisa berdansa, hanya mengajakku keliling-keliling dalam pelukannya, tanpa perlu
khawatir soal gerakan dansa yang ribet.
“Kalian tak
berdansa?” Nero bertanya pada Devon yang duduk di dekat minuman.
Dia menggeleng. “Tak
ada Audrey tak ada dansa.”
“Kasihan,” kata
Nero. “Kau harus melihat Zoe.”
“Kenapa dengan
dia?”
“Aku melihatnya
berganti pasangan tiap lima menit.”
Salah satu alis
Devon menaik geli. “Tak perlu terkejut. Saat kau menolak para gadis mereka
langsung menerjang Zoe dan Vion.”
“Dan mana Vion?”
“Kencan dengan
Gill.”
Aku keheranan. “Kok
bisa?”
“Di telepon.”
Dia menunjuk ke arah tempat dimana Kak Vion sedang berbicara dengan seseorang
di telepon.
“Wow, wajahnya
bersinar seperti matahari,” komentar Nero.
“Hal yang sama
kukatakan pada Gill.” Devon meminum limunnya.
“Menurutmu,
mereka cocok?” tanyaku pada Devon. “Bukankah kau membenci Kak Vion.” Aku
menoleh pada Devon.
“Walau aku
membencinya sekalipun, Gill-lah yang berkencan dengannya, bukan aku.”
Nero memberikan
gelas limun padaku. Aku minum dan kesegaran limun itu menyegarkan tenggorokkan.
Rasanya enak sekali.
“Aku lapar.”
Nero mengambil potongan kue, kemudian menyusuri lantai dansa saat Zoe kembali
lagi dengan gadis lain.
“Don‘t ask,” kata Zoe sewaktu mengambil
limun dari tangan Nero.
“Hi, Nero,”
gadis itu mengedip pada Nero.
Nero memelukku
dan mencium pipiku untuk membalas gadis itu. “I have a date.”
“Gadis keberapa
ini?” Devon bertanya tak peduli.
“Hmmm—”
“Zoe!” Jeritan
Lisa mengagetkan kami. Wajah gadis itu tampak murka sekali. Nero memasang
tampang tak suka padanya, tapi rupanya Lisa hanya punya urusan dengan Zoe,
sampai-sampai tak menyadari keberadaan kami yang ada di dekat Zoe, ketika
melompat dan mencium bibir Zoe.
Mataku membulat
kaget melihat adegan itu. Lisa baru saja... Lisa selama ini...
“Aku suka
padamu!” kata Lisa.
Zoe memiringkan
sedikit kepalanya, mengerjap kebingungan. “Jangan bilang ini karena kejadian
waktu itu.”
“Kejadian kapan?”
Devon menggodanya.
“Kau pahlawanku,
Zoe. Aku tak akan menyerahkanmu pada gadis lain.” Lisa menggenggam tangan Zoe,
memelototi gadis pasangan dansa Zoe. “Kau menyelamatkanku dari Nero yang
mencoba membunuhku.”
Aku menatap
Nero. “Apa?”
“Pertama-tama,
aku tidak membunuhmu. Kedua, kaulah masalahnya. Yang ketiga, kau beruntung
masih hidup sampai sekarang karena, bila dalam sepuluh detik kau tak menghilang
dari hadapanku, aku benar-benar akan membunuhmu,” Nero menggeram.
“Kalau begitu
aku akan menyelesaikan masalah ini,” Zoe menarik tangan Lisa. “Bye guys.” Dan Devon membalas, “Take your silly time, Dude.”
“Tunggu! Aku
ikut!” Gadis yang jadi teman dansa Zoe protes dan marah-marah pada Lisa.
“Begitulah ending seorang playboy,” kata Nero.
“Aku tak tahu
ada Lisa waktu itu,” kata Devon meminum limunnya.
“Ada apa sih?
Apa yang terjadi?”
“Aku tak ingin
membicarakannya,” kata Nero meminum limunnya. Aku yang jengkel pun meminum
limunku dengan kesal.
“Nero!” Bram
datang mendekat, terengah-engah.
“Apa?” Nero
berkata tak peduli, masih meminum limunnya.
“Bantu aku
angkat air.”
“Tak mau.”
Bram memasang
tampang memelas. “Plis. Plis. Plis... aku tak punya teman lain untuk dimintai
tolong.”
“Sepertinya kau
lupa kalau aku bukan panitia konsumsi.”
“Plis...”
Nero mengerang
jengkel tapi pada akhirnya luluh. Tak peduli seberapa kesalnya dia pada Bram
atau seberapa beratnya pekerjaan itu, dia akan menerimanya. “Ok. Jeez!” katanya sambil meletakkan gelas
minumannya.
“Kita bertemu di
sini lima belas menit lagi ok?” Devon berkata santai.
“Niken, jangan
coba-coba selingkuh,” ancam Nero.
“Devon mau dansa
denganku?” Aku berkata penuh godaan pada Devon dan Devon membalas umpanku tak
kalah mulusnya.
“Kenapa tidak?”
“Awas saja
kalian berdua kalau aku kembali!”
Dan aku serta
Devon hanya bisa tertawa.
***The Flower
Boy Next Door***
Nero menggerutu
pada Bram. “Buat apa sih kita ambil air lagi?”
“Untuk air
minum. Mereka lupa masak air.”
“Ya ampun,”
gumam Nero.
“Loh?” kata Bram
lagi.
“Kenapa?” Nero
mengerutkan dahi.
“Yang ini bolong,”
kata Bram mengangkat panci itu lebih menjauh. Air yang ada di dalam panci
memang mengalir turun dari dalam panci yang penuh. “Jangan-jangan ini panci
yang kemarin ditendang Devon lagi. Sekarang bagaimana?”
“Mau bagaimana
lagi? Ambil panci baru sana.”
“Tapi kan—”
“Aku juga lagi
ngisi air. Lihat? Belum penuh sama sekali.”
Bram melirik air
dalam panci Nero, separuh pun belum ada. Dia ragu-ragu, tapi akhirnya
mengangguk dan berlari secepat kilat.
Nero heran
kenapa Bram ketakutan seperti itu meninggalkannya sendirian. Dia kan bukan anak
kecil. Juga bukan berarti ada bahaya yang bakal menimpanya di sekolah. Ada
banyak orang di sini. Memangnya siapa orang bodoh yang berani masuk kemari?
Seperti tak ada kerjaan lain saja.
Nero geleng-geleng
kepala dan mengangkat pancinya ketika air sudah terisi penuh. Dan begitu dia
berbalik, dia melihat manusia berkepala panci dan berteriak kaget.
Bram
terbahak-bahak saat melepas panci di kepalanya. “Kau harus lihat tampangmu! Lucu
sekali! Hahahaha!”
“Jeez!” Nero meninju perutnya. “Tak lucu
Bram.”
“Oh, lucu
sekali. Kau tampak manis.”
“Fuck you!” kata Nero jengkel. “Nih, bawa
ini.” Nero menyerahkan panci yang sudah berisi air.
“Loh?” Bram
terkaget-kaget. “Tapi kan—”
“Bukan berarti
karena aku bilang aku menolongmu, aku bersedia mengangkat air. Lebih cepat bila
aku mengisi air di sini dan kau membawa air.”
“Tapi kan—”
“Kau masih
membantah?”
Bram bergidik
tapi memilih untuk menurut. Dengan usaha keras, Bram mengangkat air itu dan
berjalan dengan susah payah menuju panitia konsumsi.
“Rasakan!” Nero
menggerutu. Dia kembali menghidupkan keran dan meletakkan panci ke bawah
sementara air kembali mengucur turun.
Terdengar suara
langkah di belakangnya. “Kenapa kau cepat sekali kembali? Apa kau sudah membawa
panci itu? Awas kau nanti kalau sampai datang kemari cuma untuk menakutiku.
Kejadian yang sama tak akan terulang dua kali berkat panci tahu.” Nero
menggerutu saat melihat panci yang semakin lama semakin penuh.
Lalu saat itu
pula sesuatu menjerat lehernya. Nero terkesikap kaget. Tangannya memegang
lehernya berusaha melepaskan diri. Tapi jeratan itu semakin erat. Membuatnya
tak bisa bernapas.
Dad...
Nero meronta.
Suaranya tak bisa keluar sementara napasnya semakin tipis.
Dad....
Napasnya...
ketakutannya... semuanya...
Dad...
Semuanya hilang.
Direnggut dalam sekejap. Nero tak lagi melawan. Napasnya hilang terhambat di
tenggorokan. Kedua tangannya jatuh, sementara kakinya lemas.
Dan Nero jatuh.
Deborah yang
menjerat lehernya, tersenyum lebar melihat Nero yang jatuh. Matanya berkilat
penuh kemenangan. Dia menunduk perlahan, mendengarkan napas Nero.
Tapi dia tak
mendengar apapun.
Dia menunggu
dalam beberapa detik, memastikan bahwa Nero tak akan bangun. Suara di depan
lebih ramai, tapi Deborah memiliki telinga yang tajam.
Nero tak
bernapas.
Dan Deborah
menang.
Wanita itu sudah
kembali.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar