RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 26 Juni 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Enam)



Debaran Tiga Puluh Enam
Nightmare

TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEET
Devon mengerang jengkel, membalikkan badan dan tangannya yang mengayun tepat jatuh ke dada Nero sampai membuat Nero bangun, terbatuk-batuk karena pukulan luar biasa Devon. Devon segera terbangun karena itu.
“Kenapa?” tanya Devon terkaget-kaget.
“Kenapa? Tanya tanganmu!” Nero menimpuk bahunya dengan jengkel. Suara toa masih berbunyi mengerikan, menjerit-jerit luar biasa di pagi hari.
“BANGUN! SUDAH PAGI!” suara Julian samar-samar terdengar di luar tenda. Tak lama setelah itu tenda mereka juga ikut bergoyang dan ada bayang-bayang berkelebatan di luar. Nero menggaruk kepalanya dengan jengkel, lalu akhirnya keluar dari tenda. Devon terpaksa ikut juga.
Para siswa sekarang sudah ada di luar, menunggu pengumuman langsung dengan seluruh tangan masuk ke dalam kantung celana atau jeket mereka. Langit masih gelap dengan awan-awan kelabu yang menggantung. Matahari tampaknya belum mau muncul dan angin pagi segar menyamankan kulit wajah setiap anak.
“Apa semua sudah bangun?” Julian bertanya dari ujung tenda menggunakan toa di depan mulutnya.
“Sudah, Pak,” para siswa menjawab malas.
“SEMUA SUDAH BANGUN?” dia menjerit.
Setiap anak menutup kedua telinga mereka yang berdenging.
“SUDAH, PAK!” Akhirnya anak-anak ikut menjerit.
Alfon yang berdiri di sebelah Vion memijit dahinya sambil bergumam, “Ya ampun.”
“Sekarang ikut saya ke lapangan belakang, kita senam!”
Para siswa ogah-ogahan mengikuti para guru untuk berjalan ke lapangan belakang. Mereka menguap, menggaruk-garuk kepala dengan malas, bahkan masih memiliki rambut awut-awutan ketika berbaris di lapangan dan mulai senam dengan musik SPI (Senam Pagi Indonesia).
“Satu… dua… tiga… empat…”
Seriously?” Nero geleng-geleng kepala, mengikuti gerakan senam.
Begitu selesai, para siswa sudah kelihatan lebih segar dan berkeringat walau ngomel-ngomel karena panas sinar matahari.
“Kalian boleh mandi berkelompok. Para siswa dilarang mengintip para siswi. Bu Penny dan Bu Moni akan mengawasi,” kata Alfon memberitahu, membagi para siswa untuk mandi di kamar mandi yang terpisah antara para pria dan wanita. Para wanita di dalam dan para siswa di luar.
“Huuuuh!” para siswa protes. Alfon pura-pura tak mendengar walau Garry tertawa di sisi para siswa.
“Kemudian, bagi mereka yang kemarin gagal,” Alfon kembali membuka catatannya, “Silakan membantu Panitia Konsumsi.”
“HUUUUUH!” protesan semakin menjadi.
“Aku mandi duluan,” kata Nero, mengambil handuknya. “Aku biasanya mandi pagi. Mumpung masih jam tujuh.”
“Aku juga ikut—” Bram berhenti bicara saat Zoe menarik bagian belakang bajunya.
“Kau bantu aku angkat air,” katanya.
Bram meringis.
“Biar aku saja yang menemani Nero mandi,” Devon tersenyum culas, merangkul Nero. “Kau silakan bersenang-senang dengan Zoe sambil mengangkat air.”
Nero menaikan alis. “Kenapa ya aku mendengar ada nada Davy di suaramu?”
Please, jangan sebut namanya,” Devon memutar bola matanya.
Menyeringai jahil, Nero pun pergi bersama dengan sepuluh siswa lain untuk mandi tahap pertama. Sekembalinya mereka, siswa yang lain menyusul.
“Apa?” Alfon mengerutkan dahi saat Julian berbisik padanya. Owen juga ikut mendengarkan. Tepat saat itu setiap ponsel berdering bersamaan. Ada sebuah pesan gambar masuk secara berbarengan, dan teriakan para cewek segera membahana begitu melihat apa isi dari pesan itu.
“Ada apa sih?” Bram bertanya. Zoe membuka ponselnya.
“Oh,” kata Vion melotot melihat ponselnya. “Aku tak tahu kalau Nero punya body yang lumayan.”
“Siapa yang mengambil foto ini?” Zoe mengerutkan dahi.
“Coba tebak siapa?” suara Nero terdengar di belakang mereka. Dia meletakkan tasnya. Handuknya masih tergantung di leher sementara rambutnya masih meneteskan air.
“Devon?” kata Zoe melirik Devon.
“Sori, Nero. Devy terus menggerecokiku,” Devon nyengir lebar. “Aku cuma ingin menutup mulutnya.”
Nero memutar bola matanya. “Kupikir dia naksir Daddy-ku.”
“Memang. Tapi dia kan—yah, kau tahulah,” kata Devon menghela napas.
“Kau tahu apa yang dimaksud dengan popularitas berlebihan?” Zoe menyambung, menunjukkan ponselnya yang berdering terus-menerus karena para siswi memberikan komentar di bahwa foto yang baru diupload Devon.
“Kau wajib memberikan perlindungan padaku dari para fansku,” Nero menepuk bahu Devon. “Jika sampai ada yang mendekatiku dalam jarak satu meter, Zoe akan mengulitimu hidup-hidup.”
Zoe memutar bola mata dan Vion terbahak.
Niken mendekat. Gadis itu tampak murka memegang ponselnya. “Apa ini?” katanya pada Nero.
“Tanya Devon,” kata Nero cepat, takut menghadapi kemarahan pacarnya sendiri.
“Kenapa kau melakukannya?” Niken memelototi Devon. “Apa kau tak tahu kalau yang kau lakukan ini melanggar hak asasi?”
Devon menaikan alis. “Hey, Ms Koordinator Kedisplinan Siswa, aku seorang Ketua Osis, bersikap sopanlah padaku, dan ini bukan urusanmu. Aku yakin tak ada larangan dalam peraturan sekolah untuk mengupload gambar pribadi.”
Niken menggeram jengkel, menarik kaos Devon. “Itu bukan gambar pribadimu.”
Devon menaikan alis. “Ini gambar pribadi. Lagipula aku tak mengupload gambar senonoh. Hanya pinggang ke atas. Kau mau foto pinggang ke bawah?”
Nero mengerjap dan wajah Niken memerah cepat.
“Devon, rasanya aku tak mengijinkanmu memotretku saat mandi.” Nero protes.
Devon menggerling nakal. “Jika Niken macam-macam padaku, aku akan menyebarkan fotomu. Kita lihat siapa yang kalah nanti.”
Niken merebut ponsel Devon saat dia lengah, menjatuhkannya dan menginjaknya sampai rusak. Devon menganga.
“Kau—”
“Sori, Devon, keinjak,” kata Niken dengan wajah sok polos.
“Aku akan membunuhmu!”
“Tidak boleh.” Nero menimpuk kepalanya. “Itu cuma ponsel, Devon, akan kubelikan yang baru untukmu nanti.”
“Tapi—”
“Jangan seperti anak kecil.”
Zoe dan Vion yang mendengarkan pertengkaran mereka hanya tertawa terbahak-bahak. Devon masih sebal saat sarapan ataupun selesai sarapan. Saat tugas mencuci piring, dia membalas Niken dengan menyuruh Niken mencuci piring, sementara para siswa lain bertugas membersihkan sekolah.
“Inti dari camping kali ini,” kata Pak Owen, “adalah membersihkan sekolah.”
 Para siswa dibikin berkelompok untuk membersihkan seluruh ruangan kelas yang berdebu, menyapu, mengepel, bahkan memindahkan peralatan yang tak terpakai lagi ke gudang sekolah, yang sempat membuat para siswa bingung kenapa pintunya bisa rusak. Menjelang siang, para siswa yang bertugas di lapangan sudah mulai keringatan dan mengeluh karena sinar matahari, sementara para panitia berulang kali meminta para siswa untuk mengambil air.
Makan siang juga berlangsung seperti saat sarapan, dipenuhi dengan celotehan dan protesan.
Niken merengut begitu Nero melihat tangannya yang mengerut karena harus mencuci piring.
“Nanti juga sembuh,” kata Nero, meremas tangannya menenangkannya. Kulit tangan Niken yang dingin terasa enak di tangannya, yang panas karena harus membersihkan tong sampah sekolah.
“Tapi rasanya tak enak.” Niken masih cemberut.
“Nanti kita balas Devon,” Nero tersenyum jahil dan Niken juga ikut tersenyum. “Lagipula besok kita sudah pulang. Malam ini acara api unggun kan?”
Niken mengangguk. “Juga bakal ada dansa seperti biasa.”
“Seperti biasa?” Nero mengulang kebingungan. “Rupanya setiap tahun ada dansa ya? Ngomong-ngomong, tahun lalu kau berdansa dengan siapa?”
“Tidak ada. Tak ada yang mau mengajakku berdansa.”
Nero tertawa. “Itu karena kau seram sekali, Niken. Padahal kau cantik.” Tapi Nero meremas lagi tangan Niken sehingga Niken tak sempat membalasnya, “ada bagusnya juga, sih jadi aku akan jadi orang pertama yang berdansa denganmu di depan api unggun.”
“Hmph! Kau kan belum tentu bisa berdansa.” Walau Niken berkata begitu Nero bisa melihat warna pink di pipi Niken.
“Tapi kan ada kau yang mengajariku,” bisik Nero ke telinga Niken. Gadis itu menggigil dan menunduk, wajahnya memerah sampai ke telinga dan Nero merasakan bahwa Niken semakin cantik. “Satu jam lagi kita bertemu di perpus, ya.”
Niken mengerjap. “Huh?”
“Aku ingin menciummu,” kata Nero dan dengan begitu dia bangkit dari tempat duduknya, menuju kelompoknya untuk bekerja lagi.
***The Flower Boy Next Door***
Uh... aku tak tahu harus menanggapi apa, tapi begitu mendengar suara Nero dan janjinya, aku tak bisa membantah. Hey, aku datang bukan karena ingin menciumnya loh, tapi karena aku kangen padanya. Pak Owen sebisa mungkin menghindari seluruh siswa dan siswi untuk bekerja di jalur yang sama. Para cowok kerja rodi di luar lapangan dan ceweknya romusha di dalam kelas. Jadi sulit sekali bagiku untuk melihat Nero, ditambah lagi tiap kali kami berduaan, selalu ada saja gangguan: yang Nero dipanggil buang sampahlah, yang Nero harus mengambil airlah yang Nero harus ikut mendata ulang seluruh siswalah, dan lain sebagainya. Oh come on memangnya siswa yang bisa bekerja cuma Nero doang?
Itu sebabnya aku memilih untuk setuju.
Jadi, saat para siswa cewek bersih-bersih kelas kami, aku dengan segera melesat melarikan diri dengan alasan ke kamar mandi, kemudian menuju perpustakaan. Nero belum datang, Devon pastilah menjaga di sekitarnya. Aku tak tahu masalah anak itu apa, tapi sejak dia jadi Ketua Osis, dia semakin sok berkuasa. Aku heran dengan perubahan sikapnya.
Bukankah dulu dia tak menyukai jabatan itu? Terus kenapa sekarang dia malah bertingkah layaknya Ketua Osis terbaik? Malah aku harus mengakui dia lebih baik dari Kak Vion. Setiap pagi dia sudah ada di depan gerbang, memeriksa absen keterlambatan—padahal dulu dialah biangnya terlambat. Yang masih suka bolos dan terlambat berkurang menjadi 3 orang setiap harinya, sebab Devon sering membantuku memberikan hukuman mengerikan. Salah satu hukuman paling parah yang diberikan Devon adalah menyita ponsel pelaku terlambat selama seminggu. Siapa yang tahan hidup dalam seminggu tanpa ponsel? Ditambah, Devon sering mengupdate status dari ponsel korban, yang dikirim ke semua orang termasuk orang tua siswa, yang mengatakan: ponsel ini disita sampai saya tak pernah terlambat lagi ke sekolah. Benar-benar neraka kan? Sekarang Devon jelas lebih devil daripadaku.
Pintu perpustakaan terbuka dan aku melihat Nero berdiri di dekat pintu. Dia tersenyum padaku, membuat jantungku berdegup tak karuan saat dia menutup pintu.
“Hi,” katanya.
“Hi,” kataku gugup. “Kau terlambat.”
“Devon tak bisa meninggalkanku. Entah apa maunya.”
Kemudian, dia menarik tanganku. Aku mengikutinya berjalan ke sudut perpustakaan, ke belakang lemari buku. Semakin aku merasakan genggamannya, semakin aku merasa gugup.
“Aku bawa sesuatu untukmu.”
Aku mengerjap ingin tahu. “Dia mengeluarkan botol kecil dari saku celananya.”
“Apa itu?”
“Ini minyak zaitun,” katanya, membuka tutup botol, meneteskan isinya, dan mengoleskannya pada telapak tanganku. “Devon bilang ini bagus untuk melembabkan tanganmu.”
Kupandangi Nero dengan keheranan, nyaris tertawa. “Kau percaya semua yang dikatakan Devon padamu?”
“Aku akan mempercayakan hidupku pada Devon.” Nero mengadah, melihatku sebentar, kemudian kembali mengolesi tanganku yang satunya. “Kau tak menyadari bahwa Devon bisa jadi dokter yang hebat?”
“Devon? Dokter?” Aku tertawa kecil. “Aku tak pernah bisa membayangkan Devon bisa menjadi seorang dokter. Dia badbody. Kupikir dia mau jadi pemain sepak bola.”
“Dia bisa jadi dokter sepak bola nanti,” canda Nero dan aku tertawa.
“Lalu kau?” Aku bertanya pada Nero. “Kau ingin jadi apa? Pianis!”
Nero kelihatan berpikir. “Hmmm, tidak. Aku tak ingin jadi pianis.”
“Lalu?”
“Aku terlalu pintar jadi pianis.”
Aku menyodok perutnya dan dia tertawa kecil. “Kalau begitu, kau ingin jadi apa?”
“Kau?”
“Nero,” kataku jengkel karena dia tak menjawab pertanyaanku. “Jawab pertanyaanku, baru aku akan memberitahumu.”
“Tidak adil. Kau beritahu aku dulu, baru akan kujawab rasa ingin tahumu.”
Dia selalu seperti itu. “Aku akan jadi jurnalis.”
“Wow. Kau yakin?” Nero tampak terheran.
“Yep. Memangnya kenapa?”
“Kau tak cocok menjadi sosok pendiam nan misterius. Kupikir kau mau jadi pengacara atau mungkin jaksa, itu cocok untukmu. Kau kan suka mengintimidasi orang.”
“Haha. Tak lucu,” kataku sarkastik. “Sekarang, katakan kau ingin jadi apa.”
Nero menatapku. “Insinyur pesawat terbang.”
Oh wow! Aku tak menyangka bahwa ada profesi seperti itu di dunia ini. Tentu saja ada! Kalau bukan insiyur pesawat terbang siapa yang bisa membuat benda-benda raksasa itu terbang?
“Kurasa itu bukan hanya cita-cita, tapi juga takdir.” Nero melanjutkan.
Aku mengerjap. “Kenapa?”
“Aku lahir, tinggal, dan hidup di kalangan para pengudara. Aku melihat Grandpa yang membawa helikopter saat aku masih kecil, juga Dad yang pernah membawaku terbang dengan jet. Mereka sangat keren. Aku mengidolakan mereka. Dan saat aku melihat langit serta pesawat mereka, aku tahu bahwa aku juga akan melakukan hal yang sama.”
Bukankah itu keren sekali? Aku tak menyangka Nero besar di lingkungan yang luas. Di langit yang tinggi dan sulit dijangkau oleh tangan manusia. Tidak terbatas. Dan bebas.
Dunianya Nero.
Cerah… biru… putih...
Seperti orangnya.
“Itu keren sekali,” kataku tanpa sadar, sekali lagi terhipnotis dengan jati dirinya. Sekali lagi aku belajar mengenalnya. Ada berapa banyak hal dari Nero yang harus kupelajari sebenarnya? Dia selalu bisa memberiku kejutan.
“Sebaiknya kau simpan ini,” Nero meletakkan botol itu ke tanganku. “Aku menduga Devon akan mengerjaimu untuk membalasku.”
Aku mengerjap. “Apa yang kau lakukan padanya?”
Nero tersenyum jahil. “Aku membuatnya mengisi air dengan alasan bahwa aku sakit perut untuk kabur kemari.”
Aku terbahak.
“Siapa suruh dia mengerjai pacarku?” Nero berkata bangga.
Aku semakin terbahak. Tampang Devon pastilah mengerikan sekali begitu tahu bahwa Nero tak ada di dekatnya. Kasihan. Nero kadang tahu bagaimana cara berbohong yang baik dan benar. “Well sesekali kan tak apa. Devon pantas mendapat pelajaran.”
“Aku tahu kau memang sadis,” kata Nero. Begitu aku mengadah lagi, wajah Nero sudah terlalu dekat dengan wajahku.
Urm... kataku dengan napas tercekat. Wajahku memanas melihat caranya menatapku.
Nero tersenyum kecil. “Kenapa kau melangkah mundur, Sayang? Rasanya tadi aku bilang aku mengundangmu kemari untuk menciummu.”
Dengan susah payah aku menelan ludah. Kakiku melangkah mundur sampai punggungku mengenai tembok. Kedua tangan Nero memegang tembok, memerangkapku di tengahnya.
“Aku datang ke sini bukan karena itu,” kataku gugup, meremas botol minyak zaitun di tanganku, yang karena licin jadi kupegang erat-erat.
“Lalu?”
Aku cuma ingin bertemu denganmu.
“Cuma itu?” Aku tak berani menatap wajahnya, walau suara Nero semakin pelan.
“Erm... dan berbicara...”
“Lalu?”
Dia terus mendesakku. Sialan. Pemuda ini benar-benar tak bisa membuatku berpikir.
“L-l-lalu...”
Aku menatap mata Nero. Kesalahan besar. Matanya yang coklat jernih tampak jujur dan bersinar di depanku. Kedua mata itu membuatku tak bisa bernapas, tapi juga menghangatkanku. Dan sebelum aku tahu apa yang kulakukan, aku sudah mencondongan tubuhku—sedikit karena jarak Nero terlalu dekat denganku—dan mencium bibirnya.
Aku bisa merasakan bibir Nero tersenyum saat aku menjauh hanya sesenti untuk melihat wajahnya. Matanya menatapku, kemudian menutup secara perlahan dan aku tahu bahwa ini tandanya aku hanya melanjutkan dan—
Nero mengambil alih.
Kalian boleh membunuhku, tapi itu kenyataan. Begitu aku menciumnya dengan lembut, Nero membalas dengan lebih bergairah. Dan tak perlu waktu lama bagiku untuk menyerah.
Five seconds,” katanya. tiba-tiba melepaskan ciuman.
Aku mengerjap. “Huh?”
Kemudian dia menunduk lagi, menciumku dengan panas, sebelum aku bisa mengambil napas. Aku mengerang frustasi, tapi Nero lagi-lagi menjauhkan kepalanya bahkan sebelum aku benar-benar merasakan nikmatnya.
“Five seconds,” katanya lagi.
Aku tak mengerti apa yang dia katakan. “Masih sedetik,” kataku jengkel dan memeluk lehernya, menciumnya. Kedua tangan Nero memeluk pinggangku, kemudian untuk ketiga kalinya dia menghentikan ciuman secara sepihak.
“Ada apa sih?” Aku menoleh padanya dengan tak percaya dan, percayalah padaku, kami dalam posisi saling memeluk saat Nero menjawab dengan jujur. “Aku janji pada Dad tak akan menciummu lebih dari lima detik.”
Seriously? Aku menganga keheranan. Baru kali ini aku melihat Nero seperti ini. Dia ternyata lebih takut sama Matt daripada seluruh orang di muka bumi, sampai-sampai menuruti perkataan Matt—walau Matt tak ada. Tunggu. Nero juga pernah mengatakan hal yang sama mengenai kamarnya.
“Nero,” kataku, menatapnya dengan geli.
“Apa?”
“Sekali-kali kau harus jadi anak nakal.”
“Apa?”
Dan sebelum Nero sempat membantah lagi, aku melompat menciumnya. Aku tak tahu apa yang kulakukan. Mungkin ini karena Nero yang sudah membuatku kelaparan, karena ciumannya yang setengah-setengah, jadi ketika bibirku menyentuhnya, lidahku masuk dengan sendirinya ke dalam mulutnya. Nero terkesikap kaget, tapi aku memeluk erat lehernya sehingga dia tak bisa menjauhkan diri. Kemudian yang aku tahu kami tenggelam dengan ciuman kami sendiri. Satu menit... dua menit... lima menit... entahlah, jika bersama Nero kurasa sejam pun aku tak keberatan.
Tapi ciuman kami terpaksa berhenti karena Zoe berdeham dari balik lemari buku.
Kami berdua segera memisahkan diri, memperbaiki pakaian kami yang kusut.
“Hi,” Zoe menaikan alis, melihat arlojinya, “kurasa sudah saatnya kalian berdua kembali sebelum Pak Owen memergoki kalian berciuman di perpustakaan.”
“Ok,” kata Nero dengan nada kasual. Wajahku merah padam. Ya Tuhan Zoe melihat kami berciuman. Aku malu sekali sampai rasanya aku ingin agar lantai ini jeblos kemudian menimpaku. Sungguh tak keren.
Kemudian Zoe bicara lagi seakan tak peduli aku ada di sini atau tidak. “Nero kau mengajari Niken french kiss?”
Nero menaikan kedua bahunya. “Dia belajar sendiri dan dia sangat ahli. Aku mulai kehilangan harga diriku sebagai pria—ow!”
Aku menyodoknya. Tanpa penjelasan pun aku sudah sangat malu. “Itu semua karenamu!” kataku kesal.
I know, Baby.” Nero tersenyum lagi dan sudah saatnya aku pergi. Aku berlari menutupi wajahku dengan kedua tanganku dan berlari ke kamar mandi, melihat wajahku yang merah padam di depan cermin. Bibirku sedikit bengkak dan memerah karena Nero beberapa kali menggigitnya. Rambutku sedikit acak-acakan dan pakaianku kusut. Uh…Wajahku memanas lagi begitu mengulang kembali adegan itu dalam kepalaku.
“Uh, apa yang tadi kulakukan?”
Sekembalinya dari kamar mandi, aku lebih baik, tapi tetap saja masih gugup. Aku nyaris tak bisa mengerjakan hal dengan benar. Begitu seluruh pekerjaan bersih-bersih ini selesai, para siswa sudah bisa mandi untuk menyambut acara api unggun.
Kayu-kayu besar sudah disusun di tengah lapangan. Berdiri megah dan siap untuk dibakar. Para siswi yang antusias segera mandi dan mereka bilang akan butuh waktu lama untuk berdandan. Aku salah satunya yang ingin melakukan hal yang sama. Tapi Devon—ya Devon yang itu. Si Ketua Osis menyebalkan—membuatku terpaksa harus mendapatkan giliran terakhir untuk mandi karena kami harus memasak makan malam.
Dan apa lagi yang membuat tersiksa? Zoe ternyata menjadi pembantu panitia memasak. Sementara Nero ada di depan kemah, dikerubuti para cewek tak tahu diri, yang ingin mengajaknya menjadi pasangan dansa, aku harus berada di samping Nero dengan udara canggung di sekitar kami.
“Kau tahu,” kata Zoe akhirnya berbicara setelah aku berusaha menghindarinya selama, setidaknya, satu jam terakhir. Dan tak berguna sekali menghindarinya saat Zoelah satu-satunya orang di sampingku yang mengupas kentang.
“Tahu apa?” kataku dengan suara yang berusaha memperingatkannya bahwa aku sama sekali tak ingin mendengar apapun.
Tapi Zoe pura-pura tak mendengarnya dan malah melanjutkan, “Kau harus berhenti berduaan dengan Nero di tempat sepi. Hanya Tuhan yang tahu kemana hormon akan membawa kalian.”
Wajahku merah padam tapi itu tak menghentikanku membalasnya, “Itu bukan urusanku!” geramku.
“Memang.” Zoe meletakkan kentangnya dengan santai sembari mengangkat kedua bahunya. “Tapi kau tak ingin dinikahkan Matt saat berusia 16 tahun kan? Siapa yang tahu sepuluh tahun lagi pada kalian?”
“Nero tidak seperti itu! Dia punya akal sehat!” Aku melampiaskan kemarahanku pada kentang-kentang malang yang gundul karena potonganku.
Zoe mengangguk sok suci. “Kau juga Niken. Tapi Iblis bekerja dimana-mana. Termasuk pada Nero. Dan jangan coba-coba memancingnya jadi anak nakal.”
Aku menatap Zoe. Jadi dia ada di dekat kami selama itu? Oh, sekarang bukan hanya memalukan tapi juga mengerikan!
“Jika kau mengubahnya jadi anak nakal, dia akan lebih ganas daripada tadi, dan tak akan ada yang bisa menghentikannya.” Zoe melanjutkan dengan nada kasual.
“Kau mengatakan hal itu cuma untuk menakutiku, menasehatiku, atau karena kau teman Nero?”
“Bukan ketiganya,” Zoe menggeleng. “Karena aku takut kau akan tersakiti.” Kemudian Zoe mengambil baskom kentang kami dan membawanya ke meja masak panitia.
Aku termenung beberapa saat sampai Devon muncul.
“Kau sudah bisa mandi.”
Aku bangkit, melempar kulit kentang ke bajunya yang baru dia ganti. Dia menggerung marah tapi aku melarikan diri setelah melet padanya.
Aku mandi dengan cepat, menggosok seluruh tubuhku agar tidak menimbulkan bau ataupun noda secuilpun. Walau aku tak bisa berdandan, setidaknya aku tampil bersih di depan Nero. Kupakai kaos nyaman berwarna putih, jeans dan jaketku, lalu keluar dari kamar mandi. Nero sudah menungguku di depan tenda bersama Bram. Dia tampil tampan dengan kaos hijau yang dipadu dengan jeans berwarna gelap serta jaket kulit.
“Hi,” kata Nero, tersenyum begitu melihatku.
“Hi,” balasku ikutan tersenyum. Kemudian aku ingat kejadian tadi. “Kemana para fansmu?”
“Kenapa aku harus memikirkan mereka sementara kau ada di hadapanku?” Nero membalas polos membuat jantungku berdetak lagi.
“Urk... aku pergi muntah sebentar,” kata Bram. Dia tersenyum padaku ketika lewat.
“Duduk sini,” Nero menepuk-nepuk tempat bekas Bram duduk. Aku segera beranjak dan duduk di sampingnya. Berada di samping Nero membuatku nyaman.
“Bagaimana harimu?” Nero memegang lembut tanganku.
“Mengupas kentang,” jawabku singkat.
“Devon benar-benar harus diberi pelajaran.”
“Kita bisa membalasnya lain kali.”
Nero tersenyum. “Apa kau sudah mengolesi tanganmu lagi?”
Aku mengangguk cepat. “Sudah.” Kuangkat tanganku. “Sudah baikan.”
“Para siswa berkumpul untuk api unggun! Sekali lagi, para siswa berkumpul untuk api unggun!” Pengumuman dari toa Pak Julian membahana.
“Aku bertanya-tanya, sepertinya Julian hobi teriak-teriak di depan toa.” Nero tiba-tiba berkomentar saat menarik tanganku mengikuti bersama siswa lain untuk mengelilingi api unggun.
Aku terkikik geli. “Mungkin.”
Di sekitar api unggun, di jarak yang lebih jauh, sudah disiapkan loudspeaker. Ini akan jadi malam paling panjang seumur hidup. Sementara itu ada juga meja-meja panjang di pinggir lain, tempat dimana makanan dan minuman seadanya tersedia.
“Anak-anak,” Pak Owen mengambil alih toa. “Malam ini akan jadi malam terakhir camping kali ini. Bapak berterimakasih berkat kerja keras kalian yang membersihkan sekolah.”
“Huuuuh!” anak-anak protes. Aku dan Nero juga ikutan.
“Ok ok, aku tahu kalian kesal, tapi kalian kan tak ingin belajar di lingkungan kumuh.”
“Huuuuuh” lagi.
“Untuk itu, malam ini, seperti camping biasa, kita akan pesta sampai puas!”
Kali ini “Yay” dengan antusias.
“Tapi ingat, jangan buang sampah sembarangan. Kalian tak ingin pulangnya kalian yang membereskan kan?”
“Huuuuuh!”
“Tanpa berlama-lama lagi. Devon!”
Devon membawa obor dari belakang. Wajahnya tak menyenangkan saat menyerahkan obor itu pada Pak Owen.
“Dengan ini,” kata Pak Owen, “acara api unggun dimulai!” Dan saat dia meletakkan api itu ke tumpukan kayu unggun api langsung menjalar, naik menyala-nyala di atas kepala. Para siswa bersorak dan musik segera berbunyi.
“Nero!!!” Cewek-cewek histeris begitu Nero menarikku ke dekatnya dan mencium bibirku di depan mereka, di depan para guru, di depan kepala sekolah.
Ya ampun. Malunya... malunya... malunya... aku membatu tak bisa bergerak.
Sorry Girls. I have a date!” Nero menarik tanganku dan aku berjalan terhuyung ke depan. Dia memeluk pinggangku dan kami berputar-putar di dekat api unggun, berdansa tanpa memedulikan orang lain. Atau hanya Nero yang berpikir begitu. Aku bisa melihat Pak Owen yang berdeham canggung karena melihat siswanya berciuman, tapi tak bisa melakukan apapun dan mencoba berbicara pada Pak Julian yang terbengong dan lupa merespon pada Pak Owen. Pak Alfon hanya mampu geleng-geleng kepala, sementara para guru wanita terkikik geli berbisik-bisik sambil melirik Pak Alfon dan Pak Julian. Seperti biasa, dua guru ganteng itu selalu jadi incaran.
Karena Nero memulai dansa, para siswa cowok pun semakin berani dan mulai menarik pasangan mereka berdansa. Lapangan sekarang ramai dengan para siswa yang melompat-lompat dan menggila. Aku bahkan sempat mendengar Zoe yang berbisik padaku “Sudah kubilang jangan memintanya jadi bad boy“ saat dia berdansa dengan seorang gadis yang tak kukenal.
Who‘s that?” Nero bertanya pada Zoe.
Random girls,” Zoe menjawab tak peduli. “I told you I could get girls I want to”.
“Yeah, right, Playboy.”
Zoe menyunggingkan senyum, tak tahu apakah itu senyuman mengejek atau tidak, tapi yang pasti ketika kami bertemu dengannya lima menit lagi di lantai dansa, dia sudah bersama dengan gadis lain lagi.
Er...
Don‘t ask,” kata Zoe dan membawa gadis itu ke tempat lain.
Nero mengerjap. “Kurasa aku butuh minum. Aku baru saja melihat Zoe jadi Mega Playboy malam ini.”
Aku tertawa dan menarik tangannya keluar dari lantai dansa. Sama seperti Nero, aku kepanasan dan kehausan. Tapi aku bersenang-senang di lantai dansa. Nero yang tahu aku tak bisa berdansa, hanya mengajakku keliling-keliling dalam pelukannya, tanpa perlu khawatir soal gerakan dansa yang ribet.
“Kalian tak berdansa?” Nero bertanya pada Devon yang duduk di dekat minuman.
Dia menggeleng. “Tak ada Audrey tak ada dansa.”
“Kasihan,” kata Nero. “Kau harus melihat Zoe.”
“Kenapa dengan dia?”
“Aku melihatnya berganti pasangan tiap lima menit.”
Salah satu alis Devon menaik geli. “Tak perlu terkejut. Saat kau menolak para gadis mereka langsung menerjang Zoe dan Vion.”
“Dan mana Vion?”
“Kencan dengan Gill.”
Aku keheranan. “Kok bisa?”
“Di telepon.” Dia menunjuk ke arah tempat dimana Kak Vion sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
“Wow, wajahnya bersinar seperti matahari,” komentar Nero.
“Hal yang sama kukatakan pada Gill.” Devon meminum limunnya.
“Menurutmu, mereka cocok?” tanyaku pada Devon. “Bukankah kau membenci Kak Vion.” Aku menoleh pada Devon.
“Walau aku membencinya sekalipun, Gill-lah yang berkencan dengannya, bukan aku.”
Nero memberikan gelas limun padaku. Aku minum dan kesegaran limun itu menyegarkan tenggorokkan. Rasanya enak sekali.
“Aku lapar.” Nero mengambil potongan kue, kemudian menyusuri lantai dansa saat Zoe kembali lagi dengan gadis lain.
Don‘t ask,” kata Zoe sewaktu mengambil limun dari tangan Nero.
“Hi, Nero,” gadis itu mengedip pada Nero.
Nero memelukku dan mencium pipiku untuk membalas gadis itu. “I have a date.”
“Gadis keberapa ini?” Devon bertanya tak peduli.
“Hmmm—”
“Zoe!” Jeritan Lisa mengagetkan kami. Wajah gadis itu tampak murka sekali. Nero memasang tampang tak suka padanya, tapi rupanya Lisa hanya punya urusan dengan Zoe, sampai-sampai tak menyadari keberadaan kami yang ada di dekat Zoe, ketika melompat dan mencium bibir Zoe.
Mataku membulat kaget melihat adegan itu. Lisa baru saja... Lisa selama ini...
“Aku suka padamu!” kata Lisa.
Zoe memiringkan sedikit kepalanya, mengerjap kebingungan. “Jangan bilang ini karena kejadian waktu itu.”
“Kejadian kapan?” Devon menggodanya.
“Kau pahlawanku, Zoe. Aku tak akan menyerahkanmu pada gadis lain.” Lisa menggenggam tangan Zoe, memelototi gadis pasangan dansa Zoe. “Kau menyelamatkanku dari Nero yang mencoba membunuhku.”
Aku menatap Nero. “Apa?”
“Pertama-tama, aku tidak membunuhmu. Kedua, kaulah masalahnya. Yang ketiga, kau beruntung masih hidup sampai sekarang karena, bila dalam sepuluh detik kau tak menghilang dari hadapanku, aku benar-benar akan membunuhmu,” Nero menggeram.
“Kalau begitu aku akan menyelesaikan masalah ini,” Zoe menarik tangan Lisa. “Bye guys.” Dan Devon membalas, “Take your silly time, Dude.”
“Tunggu! Aku ikut!” Gadis yang jadi teman dansa Zoe protes dan marah-marah pada Lisa.
“Begitulah ending seorang playboy,” kata Nero.
“Aku tak tahu ada Lisa waktu itu,” kata Devon meminum limunnya.
“Ada apa sih? Apa yang terjadi?”
“Aku tak ingin membicarakannya,” kata Nero meminum limunnya. Aku yang jengkel pun meminum limunku dengan kesal.
“Nero!” Bram datang mendekat, terengah-engah.
“Apa?” Nero berkata tak peduli, masih meminum limunnya.
“Bantu aku angkat air.”
“Tak mau.”
Bram memasang tampang memelas. “Plis. Plis. Plis... aku tak punya teman lain untuk dimintai tolong.”
“Sepertinya kau lupa kalau aku bukan panitia konsumsi.”
“Plis...”
Nero mengerang jengkel tapi pada akhirnya luluh. Tak peduli seberapa kesalnya dia pada Bram atau seberapa beratnya pekerjaan itu, dia akan menerimanya. “Ok. Jeez!” katanya sambil meletakkan gelas minumannya.
“Kita bertemu di sini lima belas menit lagi ok?” Devon berkata santai.
“Niken, jangan coba-coba selingkuh,” ancam Nero.
“Devon mau dansa denganku?” Aku berkata penuh godaan pada Devon dan Devon membalas umpanku tak kalah mulusnya.
“Kenapa tidak?”
“Awas saja kalian berdua kalau aku kembali!”
Dan aku serta Devon hanya bisa tertawa.
***The Flower Boy Next Door***
Nero menggerutu pada Bram. “Buat apa sih kita ambil air lagi?”
“Untuk air minum. Mereka lupa masak air.”
“Ya ampun,” gumam Nero.
“Loh?” kata Bram lagi.
“Kenapa?” Nero mengerutkan dahi.
“Yang ini bolong,” kata Bram mengangkat panci itu lebih menjauh. Air yang ada di dalam panci memang mengalir turun dari dalam panci yang penuh. “Jangan-jangan ini panci yang kemarin ditendang Devon lagi. Sekarang bagaimana?”
“Mau bagaimana lagi? Ambil panci baru sana.”
“Tapi kan—”
“Aku juga lagi ngisi air. Lihat? Belum penuh sama sekali.”
Bram melirik air dalam panci Nero, separuh pun belum ada. Dia ragu-ragu, tapi akhirnya mengangguk dan berlari secepat kilat.
Nero heran kenapa Bram ketakutan seperti itu meninggalkannya sendirian. Dia kan bukan anak kecil. Juga bukan berarti ada bahaya yang bakal menimpanya di sekolah. Ada banyak orang di sini. Memangnya siapa orang bodoh yang berani masuk kemari? Seperti tak ada kerjaan lain saja.
Nero geleng-geleng kepala dan mengangkat pancinya ketika air sudah terisi penuh. Dan begitu dia berbalik, dia melihat manusia berkepala panci dan berteriak kaget.
Bram terbahak-bahak saat melepas panci di kepalanya. “Kau harus lihat tampangmu! Lucu sekali! Hahahaha!”
Jeez!” Nero meninju perutnya. “Tak lucu Bram.”
“Oh, lucu sekali. Kau tampak manis.”
Fuck you!” kata Nero jengkel. “Nih, bawa ini.” Nero menyerahkan panci yang sudah berisi air.
“Loh?” Bram terkaget-kaget. “Tapi kan—”
“Bukan berarti karena aku bilang aku menolongmu, aku bersedia mengangkat air. Lebih cepat bila aku mengisi air di sini dan kau membawa air.”
“Tapi kan—”
“Kau masih membantah?”
Bram bergidik tapi memilih untuk menurut. Dengan usaha keras, Bram mengangkat air itu dan berjalan dengan susah payah menuju panitia konsumsi.
“Rasakan!” Nero menggerutu. Dia kembali menghidupkan keran dan meletakkan panci ke bawah sementara air kembali mengucur turun.
Terdengar suara langkah di belakangnya. “Kenapa kau cepat sekali kembali? Apa kau sudah membawa panci itu? Awas kau nanti kalau sampai datang kemari cuma untuk menakutiku. Kejadian yang sama tak akan terulang dua kali berkat panci tahu.” Nero menggerutu saat melihat panci yang semakin lama semakin penuh.
Lalu saat itu pula sesuatu menjerat lehernya. Nero terkesikap kaget. Tangannya memegang lehernya berusaha melepaskan diri. Tapi jeratan itu semakin erat. Membuatnya tak bisa bernapas.
Dad...
Nero meronta. Suaranya tak bisa keluar sementara napasnya semakin tipis.
Dad....
Napasnya... ketakutannya... semuanya...
Dad...
Semuanya hilang. Direnggut dalam sekejap. Nero tak lagi melawan. Napasnya hilang terhambat di tenggorokan. Kedua tangannya jatuh, sementara kakinya lemas.
Dan Nero jatuh.
Deborah yang menjerat lehernya, tersenyum lebar melihat Nero yang jatuh. Matanya berkilat penuh kemenangan. Dia menunduk perlahan, mendengarkan napas Nero.
Tapi dia tak mendengar apapun.
Dia menunggu dalam beberapa detik, memastikan bahwa Nero tak akan bangun. Suara di depan lebih ramai, tapi Deborah memiliki telinga yang tajam.
Nero tak bernapas.
Dan Deborah menang.
Wanita itu sudah kembali.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.