Debaran Tiga Puluh Tujuh
Forgiven
Devon melirik
jam tangan. Ini sudah lebih dari lima belas menit. Kenapa Nero lama sekali?
Zoe kembali tanpa
membawa siapapun. Tapi tampangnya tampak datar-datar saja.
“Bagaimana?”
Devon nyengir lebar.
Dengan enteng,
Zoe mengangkat kedua bahunya. “Tak ada yang menarik. Cuma goodbye.”
“Wow, sadis.”
Devon terkekeh.
“Mana Nero?” Zoe
melihat ke sekeliling.
“Tadi dia
bersama Bram. Mengambil air.”
“Mengambil air?”
Zoe mengulang, lalu dia segera melangkah pergi.
“Mau kemana?”
Niken bertanya. Tampang Zoe sama seperti saat menguatirkan Nero yang
ditinggalkan sendiri kemarin malam ketika uji nyali. Devon rupanya menanggapi
kecemasan di nada suara Zoe
“Mencari Nero.”
Niken mengikuti
di belakang beserta dengan Devon. Langkah mereka cepat sekali sehingga Niken
harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah mereka. Mereka mendekati panitia
memasak yang mengobrol sambil tertawa.
“Mana Nero?” Zoe
bertanya.
“Tadi pergi
bersama Bram. Bram tadi baru kembali mengambil panci yang tidak bolong.
Memangnya kenapa?”
Zoe berlari
cepat. Berlari! Devon tertegun sejenak, tapi pada akhirnya menyusul Zoe. Niken
mengejar di belakang mereka. Kedua orang itu seperti pelari kelas marathon.
Apalagi Zoe. Begitu Zoe melihat ada meja yang menghalanginya, dia lompat begitu
saja dan kembali melanjutkan larinya tanpa perlu repot-repot mengambil napas.
Devon menganga tak percaya melihat aksi Zoe. Dia kemudian memutari meja dan
kembali menyusul Zoe.
Zoe lebih dulu
melihat Bram di kejauhan, membawa panci berisi air dengan hati-hati, berjalan
layaknya kura-kura.
“Mana Nero?”
“Menunggui air.”
“Kenapa kau
tinggalkan dia?”
“Dia memintaku
mengantar air sendirian.”
Tipikal Nero. Zoe
mendesis jengkel, lalu akhirnya berlari lagi menyusul Nero. Saat dia berbelok,
dia tak melihat apapun selain panci yang airnya tumpah. Kakinya berjalan cepat,
mendekati panci. Ada bekas aneh yang tertinggal di atas tanah, seakan seseorang
sedang meronta. Dia menoleh ke sana-kemari, kemudian dia melihat Nero jatuh tak
bergerak di atas tanah di dekat tugu air.
Hati Zoe
mencelos. “Nero!” Zoe mendekat. Dia berjongkok dan melihat keadaannya. Wajah
Nero membiru dan ada bekas cekikan di lehernya juga ada tali pancing di
dekatnya. Jemari Zoe gemetar melihat bekas itu.
Nero dicekik.
“Nero... Nero!”
Zoe berteriak, sekarang lebih panik. Tidak mungkin. Nero tak mungkin mati. Dia
tak boleh mati. Menelan ludahnya dengan panik, Zoe mendekatkan telunjuknya ke
dekat hidung Nero karena dada Nero sama sekali tidak naik dan turun.
“Zoe!” Devon
menyusul dari belakang. “Ada apa?”
“Dia tak
bernapas suara Zoe,” bergetar.
“Apa?”
“Dia tak
bernapas!” Zoe mengulang, nyaris menangis.
“Akan kulakukan
sesuatu, kau cari pelakunya!” Devon mendorongnya minggir.
“Tidak. Aku di
sini!”
Niken menyusul,
menjerit histeris, menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Ada apa? Devon ada
apa dengannya?” kepanikan semakin menjadi.
“Diam!” Devon
meraung. “Tubuhnya masih hangat. Ada kemungkinan dia masih hidup.” Dia
menidurkan, Nero memastikan bahwa tubuh Nero datar, kemudian mendekatkan
telinganya ke dada Nero. Dia menutup matanya, mendengarkan suara detak jantung
Nero. Harapan kecil yang berusaha dia dengar.
Tidak boleh. Kau tak boleh mati, batin Devon. Kau dengar aku? Kau tak boleh mati. Jika kau
mati aku akan membunuhmu!
Lalu dia
mendengarnya, sebuah harapan kecil yang membawa kebahagiaan. Detak jantung
Nero.
Thump... thump... thump...
Begitu lemah dan
lambat.
“Dia masih hidup,”
kata Devon menegakkan tubuhnya. Suaranya cukup tenang untuk membuat Zoe dan
Niken berhenti panik. “Kita hanya perlu membuatnya bernapas.”
“Kau sadarkan dia,
aku akan membunuh pelakunya,” Zoe menggeram dan bangkit, berlari entah kemana,
dan menghilang di kegelapan.
“Nero...” Niken
terisak, memegang lengan Nero, mencoba membangunkannya. “Siapa yang tega
melalukan ini padamu?”
Devon meletakkan
tangannya ke atas dada Nero, tepat ke tengah dada Nero, dan di atas tangan itu,
dia meletakkan kepalannya.
“One two three four five.” Devon
menghitung bersamaan saat dia menekan dada Nero dalam satu detik. Kemudian
memberikan CPR.
“Don‘t do this to me. You‘re my bestfriend. Dammit.
One two three four five,” Devon mengulang lagi.
Niken menunggu
dalam diam, menggigit bibir sambil berdoa. Devon sedang berusaha menyelamatkan
Nero. Nero akan baik-baik saja. Nero bilang dia akan memercayakan nyawanya pada
Devon.
“Come on, Nero. Breath!” Devon semakin
panik ketika dia terus mencoba, tapi belum memberi efek. “Please... oh please God! Not again!”
Devon menunduk,
memberikan napas buatan.
Ketika dia
berusaha menekan dada Nero lagi, air matanya sudah berjatuhan. “No! Not you! Breath Nero! BREATH!”
“One two—”
“Uhuk uhuk uhuk.”
Doa Devon
terjawab. Nero terbatuk dan bernapas menarik napas dalam-dalam dan berguling ke
sisi tubuhnya. Niken melonjak, membenamkan wajahnya ke tangannya terisak-isak.
“Oh thanks God! I promise I‘ll never leave Sunday!
Praise You God! Halelujah!” Devon membantu Nero duduk memeluknya erat-erat.
“What the hell are you talking about, you moron!” Nero terbatuk
lagi, menepuk bahu Devon. “I’m not God.”
“Ada apa?” Suara
Vion terdengar di dekat kami. “Devon, Niken, kenapa kalian menangis? Nero apa
yang terjadi?”
“Kau sendiri?
Kenapa datang kemari?” Nero bertanya keheranan. Devon melepas pelukannya dan
Niken memeluk Nero erat-erat seakan tak ingin melepasnya.
“Aku menyusul
kemari karena aku melihat kalian berlari seperti orang gila. Saat kutanya Bram
dia bilang kalian pasti kemari.”
“Aku benar-benar
akan mengulitinya hidup-hidup,” geram Devon.
Nero melihat
sekeliling. “Mana Zoe?”
“Dia mencari
orang yang mencekikmu,” kata Devon.
“Dia apa?” Nero
melotot tak percaya.
“Mencekik? Nero
kau dicekik? Oleh siapa?” Vion menganga tak percaya. “Bagaimana mungkin hal
seperti ini bisa terjadi di sekolah biasa seperti ini?”
“Kenapa kau
membiarkannya pergi sendiri? Kita harus mencarinya!” Seakan mendapat kekuatan,
Nero langsung bangkit dari tempatnya.
“Zoe akan
baik-baik saja.”
“Deborah itu
wanita berdarah dingin!” Nero berteriak jengkel. “Dia membunuh Granpa. Dia
membunuh Mother. Dan dia juga membunuh Mom!”
Devon, Vion dan
Niken membeku.
“Aku tak akan
membiarkannya membunuh Zoe. Tak akan!”
Nero berbalik
mencari Zoe entah kenapa. Dia langsung hilang dalam sekejap ditelan kegelapan.
Tanpa menoleh ke belakang lagi Niken menyusul kemudian tanpa bicara Devon dan
Vion melakukan hal yang sama.
Nero berlari
cepat, napasnya terengah sementara jantungnya berdegup-degup kencang di dalam
rusuknya. Dia ketakutan. Sungguh. Tapi dia juga tak bisa membiarkan Zoe
menghadapi Deborah sendirian. Itu bukan kewajiban Zoe. Zoe hanya bertugas untuk
menjaganya. Bukan mengorbankan dirinya untuk Nero.
Begitu melihat
ke sekeliling, dia tak menemukan apapun selain Bukit Hijau yang sudah kembali
tertata dengan rapi. Suara musik dari api unggun terdengar menjauh—dan hilang
sama sekali begitu Nero melihat pemandangan di depannya. Ada bayangan
berkelebatan di depannya, cuma beberapa meter di depannya. Kedua bayangan itu
bergerak sangat cepat. Dan begitu awan menjauh dari rembulan, Nero melihat
pemandangan mengerikan.
Deborah memegang
pisau. Pisau itu berkilat-kilat di bawah sinar rembulan, mengangkatnya
tinggi-tinggi di tangan yang satunya, sementara tangannya yang lain memegangi
Zoe. Mereka berkutat. Zoe mencoba menyingkirkan Deborah dan melepaskan pisau
itu dan Deborah mencoba membunuhnya.
“NO!” Nero meraung, berlari mendekat.
Suara teriakannya
membuat Zoe menoleh dan lengah, sehingga Deborah dengan mudah menusukkan benda
mengerikan itu ke perut Zoe.
Tidak…
“ZOE!”
Zoe menunduk,
memegangi perutnya. Dengan tidak berperikemanusiaan wanita sialan itu menarik
kembali pisaunya dan menusukkan benda itu lagi.
Tidak lagi…
Darah menetes
turun dari tangan Zoe.
Jangan dia…
Nero berhenti
berlari, menatap tak percaya hal yang terjadi pada Zoe. Deborah menarik kembali
pisaunya, mendorong tubuh Zoe yang tak bisa melawan. Zoe terbatuk, darah keluar
dari mulutnya dan dia berguling di bawah bukit, dan tidak bergerak.
Zoe…
Tidak mungkin.
Zoe tak mungkin mati. Dia sedang bermimpi. Begitu dia membuka mata dia akan
baik-baik saja. Mereka pasti tertidur dalam tenda yang nyaman, menunggu
matahari pagi.
Tapi Nero tak
bisa menutup matanya, bahkan untuk berkedip saja dia tak bisa. Dia hanya bisa
melihat tubuh Zoe yang tak bisa bergerak. Darah mengucur terus dari tubuhnya.
“Kau masih
hidup.”
Nero membeku,
untuk pertama kalinya dia tersentak dan merasakan ketakutannya menjalar dengan
cepat. Lari. Suara itu
memerintahkannya. Lari. LARI! Tapi
dia bahkan tak bisa bergerak.
“Bagaimana
caranya kau bisa hidup?” desis wanita itu. Walau dari jarak sejauh ini, Nero
masih dapat mendengar suaranya yang mengerikan. Horor. Mimpi buruknya. Duri
dalam dagingnya.
Lari, Nero. Lari!
“Kenapa sulit
sekali membunuhmu? Padahal aku yakin sudah mencekikmu sampai mati,” Deborah
mendekat, masih memegangi pisau itu di tangannya yang berdarah. Darah kental.
Darahnya Zoe.
Dan Nero
merasakan pukulan telak yang membuatnya menyesal.
Ini kesalahanmu,
suara itu berbisik, menohoknya. Ini semua kesalahanmu. Jika bukan karenamu Zoe
tidak akan mati. Jika bukan karenamu, Zoe tak akan mengalami hal seperti ini.
Jika bukan karenamu, Matt mungkin bisa hidup dengan tenang. Jika bukan
karenamu, Jennifer akan hidup, dia akan berbahagia dengan Matt dan Ageha tak
akan pernah pergi dari kehidupanmu.
Andai saja, Nero
mati terlebih dahulu, semua ini tak akan terjadi.
Wanita itu
melangkah semakin dekat. Nero bisa merasakan tatapannya yang menusuk, bagaimana
mata wanita itu melihatnya dengan benci, bagaimana kemarahan, rasa jijik, tak
suka, semuanya, ada di sana, tercermin di mata Nero.
Lari…
Napas Nero
gemetar di saat dia mengambil napas, merasakan bagaimana wanita itu menatapnya
dalam jarak yang begitu dia. Tangan wanita itu menyentuh lehernya. Jemari
panjang itu begitu dingin, dan kuku-kukunya melesak pada kulit Nero.
“Apa kau tak
lari lagi sekarang?” Deborah berbisik, mengangkat tangan yang satunya. Nero
semakin gemetar merasakan dinginnya metal dari pisau itu di lehernya. Nero
menutup mata ketakutan. Pisau yang membunuh Zoe. “Sudah siap untuk mati?
Sekarang kau sudah tahu kalau ini kesalahanmu kan?”
Yang benar saja, suara yang lain, yang tampak
seperti suaranya yang arogan, menjawab. Aku
tak melakukan kesalahan apapun.
Nero membuka
matanya, menatap mata Deborah.
Wanita gila itu
tersenyum padanya. “Kau punya mata yang indah, seperti Matt.”
Kau membunuh Granpda. Kau membunuh Mother. Kau
membakar rumah kami, membuatku kehilangan seluruh kenangan masa kecilku. Kau
membuatku mengalami masa sulit dan terus masuk ke dalam mimpiku. Kau membuatku
harus mendatangi psikiater. Orang-orang menganggapku gila. Kau membunuh Mom.
Kau membuat Ageha tak memiliki Ibu dan dia harus jauh dariku. Kau mencoba
membunuhku. Kau juga melukai Zoe. Tidak, kau membunuh Zoe.
Dan sekarang kau bilang itu kesalahanku?
Pikiran itu
membuatnya panas. Kemarahan di dadanya memuncak. Bukan. Ini bukan kesalahannya.
Ini juga bukan kesalahan Matt. Bukan kesalahan siapapun kecuali wanita gila
ini.
“Ada apa dengan
pandanganmu itu, hmmm?” Deborah berbisik mengerikan.
Nero merasakan
bulu kuduknya merinding. Seluruh tubuhnya mengigil. Tapi kali ini bukan karena
ketakutan. Tapi karena kemarahan.
Wanita ini harus
dibunuh agar dia tak melukai siapapun lagi.
Dan itulah yang selalu kukatakan padamu, Nero.
Tinju Nero
melayang dalam sekejap, membuat wanita itu jatuh, merintih dengan rasa terkejut
dengan tindakan Nero yang diluar dugaannya. Nero berjalan ke arahnya, merangkak
ke atas tubuh Deborah yang masih belum bisa berdiri.
Nero memegang
bahu wanita itu, membuatnya menghadapainya. Matanya berwarna gelap, dingin,
penuh dendam, dan menusuk. Tangannya memegang bahu Deborah, nyaris meremukkan
bahunya.
“N... Nero…”
“Kau tahu,” kata
Nero. Suaranya tenang seakan itu bukan suaranya. “Tempat yang cocok untuk
orang-orang sepertimu adalah neraka.”
Tangan Nero
memegang leher Deborah, mencekiknya.
Mata Deborah
membelalak terbuka. Kedua tangannya memegang lengan Nero. Dia berusaha
melepaskan diri. Tapi genggaman Nero erat sekali pada lehernya. Membuatnya kehilangan
udara lebih cepat dari lehernya. Hanya saja hal itu tak bisa membuatnya tak
mendengar suara Nero yang begitu jernih.
“Aku akan
mengirimmu ke sana. Dengan tanganku sendiri.”
Dan genggamannya
semakin erat.
***The Flower
Boy Next Door***
Oh, ya Tuhan!
Suaraku tak bisa
keluar melihat dari sini bagaimana Nero melihat Zoe ditusuk. Kemudian bagaimana
wanita berpisau itu mendatangi Nero, siap menggorok leher Nero dengan pisau
yang sudah menusuk Zoe. Lalu segalanya terjadi begitu cepat di depan mata kami
saat Nero meninju wanita itu, kemudian berjalan ke arahnya dengan tangan di
atas atas leher wanita itu. Nero siap mencekiknya. Nero akan membunuh orang!
“Nero!”
Suara Devon
samar-samar terdengar di telingaku saat aku berlari dengan susah payah menuju
bukit, melihat Devon mendatangi Nero, memegangi Nero dari belakang dan berusaha
untuk melepaskan genggaman Nero dari leher wanita itu. Kak Vion di lain tempat,
berlari menyusul Zoe yang tergeletak tak berdaya. Wajahnya tampak penuh horor
begitu dia berhasil menjangkau Pemuda itu dan membalik tubuhnya. Aku bisa
melihat darah mengotori pakaian Zoe, membasahi kaos dan jaketnya.
“Let her go!” Devon berteriak lagi.
Tapi Nero seakan
tak mendengarnya. Matanya hanya terkonsentrasi pada waniat, seakan hal yang
paling ditakutkannya adalah melihat wanita itu lenyap dari pandangannya.
Tangannya masih di leher si Penusuk, yang sudah lemas kehabisan napas dan tak
bisa lagi melawan. Tangan Devon mencoba melepaskan Nero, berusaha menyadarkan
Nero dengan teriakannya, hanya saja Nero tidak mendengarkannya.
Hal yang paling
penting bagi Nero adalah membunuh wanita itu.
Aku berhasil
menjangkau mereka dengan susah payah. Tanganku memegang lengan Nero sementara
air mataku bergulir. Ini bukan Nero yang kukenal.
“Nero,” kataku
dengan suara gemetar. “Nero, lepaskan dia.”
Dia tak
mendengarkan. Kulihat lagi wanita itu sudah tak mampu bergerak.
“Nero, kau tak
ingin melakukan ini. Kumohon.” Aku memeluknya, satu-satunya cara yang bisa
kulakukan padanya. “Nero, ini bukan kau. Jangan lakukan ini. Kau memiliki hati
yang bersih, Nero. Lepaskan dia.”
Walau belum
melepaskan pegangannya, dia menoleh padaku. Aku pernah melihat ekspresi itu
sebelumnya. Itu mata yang sama saat Nero terjaga dari mimpi buruknya ketika aku
menemukannya tertidur di bawah pohon. Itu juga mata yang sama saat melihatnya
ketakutan karena terluka di gang kosong.
“Niken…”
“Maafkan dia,”
kataku tanpa sadar. “Apapun yang dia lakukan padamu, maafkan dia. Itu memang
tak akan membuatmu lupa, tak akan mengubah apa yang terjadi selama ini, tapi
kau akan merasa lebih baik. Kau pantas mendapatkan hal yang lebih baik daripada
sekadar balas dendam.”
Dia menatapku,
pandangannya sulit ditebak.
“Plis…” mohonku.
“Plis… demi aku.”
Dan pegangan
Nero meregang. Wanita itu terbatuk-batuk, mengambil napas dalam-dalam. Devon
menarik tangan Nero agar bangkit dari tempatnya, sama sekali tak sadar dengan
apa yang dia lakukan.
“Niken…”
Aku memeluknya,
terisak-isak. Oh, Tuhan. Dia sudah mengalami hal yang berat selama ini. Selama
ini dia dikejar-kejar orang gila yang ingin membunuhnya. Sekarang aku tahu
kenapa dia tak bisa mengatakannya padaku. Dia takut aku akan menjauhinya. Dia
takut aku akan khawatir padanya. Seberapa banyak sebenarnya beban yang harus
dia tanggung?
Nero memelukku
erat-erat. Tubuhnya gemetaran. Lalu dia sadar.
“Zoe,” katanya.
Dengan cepat dia menyingkirkanku, berlari menuju Zoe dan Kak Vion.
Kami berlari
seperti orang gila mendatangi Zoe. Zoe berdarah. Banyak sekali. seluruh tangan,
baju, dipenuhi oleh darah. Bahkan Kak Vion juga terkena darahnya. Kak Vion
memeluknya dalam pangkuannya. Air matanya bergulir shock. Tapi dia tak bisa
berbuat apapun.
“Zoe… Zoe!” Nero
memanggilnya, suaranya bergetar. “Zoe.”
Aku tak bisa
bernapas. Zoe… tidak mungkin. Dia tadi baik-baik saja. Setengah jam lalu dia
masih baik-baik saja. Kami tadi masih ada di lantai dansa, dan dia masih
tersenyum menyebalkan seperti playboy sejati saat berganti pasangan dansa.
Dan sekarang Zoe
tak bergerak dengan mata terututup.
Berlumuran
darah.
“Get away,” suara Devon bergetar. Tapi dialah yang
paling tenang di antara kami. Dia mengambil Zoe dari tangan Kak Vion,
mengangkatnya dengan susah payah. “Call
ambulance.”
“No!” Nero membantah, membuka ponselnya.
“CALL AMBULANCE!” Devon berteriak.
Nero
mengacuhkannya. Tangannya gemetar saat memencet nomor. Kami sudah bangkit dan
sekarang berlari secepat kilat menuju rumah sakit.
“Aku ingin mobil
ada di depan gerbang sekolah dalam waktu lima menit!” Nero berteriak dan
menutup teleponnya, kemudian menelepon lagi.
Air mataku terus
mengalir turun, sementara tanganku terus memegang dadaku. Kejadian ini
mengerikan. Aku mencemaskan Zoe. Bagaimana jika ambulance tak datang? Bagaimana
jika Zoe tak sampai ke rumah sakit? Bagaimana Zoe jika tak selamat?
Oh Tuhan,
rasanya mengerikan sekali.
“Nathan,” suara
Nero gemetar saat mengikuti Devon menuruni bukit. Kak Vion mengikuti di
belakang. “Siapkan UGD. Zoe… Zoe sekarat. Kami akan tiba di sana dalam waktu
lima belas menit.” Kemudian dia mematikan ponselnya
Kami berlari
seperti orang gila. Napas kami tersenggal-senggal begitu kami berhasil melewati
sekolah, menuju sekolah di mana lapangan depan, tempat dimana para siswa masih
menggila dengan musik dan api unggun. Tapi begitu melihat kami yang berlari
seperti orang gila, apalagi setelah melihat Devon yang membawa Zoe, yang
berlumuran darah.
“What the—”
“Devon, kenapa
dengan Zoe?” Pak Alfon memotong perkataan Pak Owen, melihat Zoe dan wajahnya
tampak shock.
“Kenapa dia
berdarah?” Pak Owen kehabisan suara sementara Pak Julian dan guru yang lain
mulai merasakan ada hal yang tak beres. Sekarang mata semua anak menoleh ke
arah kami.
“MOVE!” Nero meraung, menyingkirkan
seluruh siswa sehingga Devon dapat membawa Zoe menuju gerbang.
Sebuah mobil
mahal berwarna putih porselain sudah terparkir di depan gerbang. Itu mobil
Nero. Nero pernah bilang kalau itu adalah mobil pribadi yang diberikan Matt
untuknya. Dan sekarang mobil itu sudah ada di sini, dengan pintu segera terbuka
saat si supir membukakannya dengan segera begitu melihat apa yang terjadi.
Nero masuk
terlebih dahulu. Dia mengambil Zoe yang disodorkan Devon dengan hati-hati.
Kemudian Devon masuk ke dalam, menutup pintu.
“Apa yang kalian
lakukan? Masuk!” kata Devon.
“Kami akan
menyusul belakangan,” suara Kak Vion tercekat di belakangku. Dia meremas bahuku
untuk menenangkanku.
Devon mengangguk
kecil dan aku hanya bisa melihat mobil Nero melaju pergi dengan kecepatan
maksimal.
Semoga dia baik-baik
saja. Semoga Zoe selamat.
***The Flower
Boy Next Door***
Perjalanan
menuju rumah sakit seperti mimpi buruk bagi Nero. Air matanya tak berhenti dari
matanya saat melihat kondisi Zoe. Salah satu tangannya memegangi baju Zoe,
tepat dimana luka itu berada dan berusaha menghentikan pendarahannya, namun tak
berhasil. Darah Zoe mengalir turun melewati jari-jari tangannya, membuat
tangannya basah dan membekasi seluruh pakaiannya, seperti air terjun yang tak
pernah berhenti. Setiap tetes darah yang jatuh membuat Zoe merintih kesakitan.
Tapi Nero tak
peduli. Dia ingin Zoe hidup. Dia ingin Zoe selamat. Tidak sepantasnya Zoe
menanggung hal yang bukan kesalahannya. Harusnya
Nerolah yang mengalami hal ini.
Bukan Zoe.
“Nero,” desah
Zoe, berusaha membuka matanya dan berbicara padanya.
“Kita akan
sampai ke rumah sakit. Bertahanlah,” kata Nero.
Zoe tersenyum.
Bagaimana mungkin di saat seperti ini dia masih bisa tersenyum? Tapi inilah
Zoe. Dia selalu melanggar batas. Dia tak pernah bertingkah normal. Dia selalu
melakukan hal yang diluar kebiasaan, membuat Nero tertegun, dan tanpa sadar
tersenyum kecil.
“Hi, Handsome,” kata Nero parau.
“I am an orphan.” Zoe tiba-tiba berbicara lagi.
Kali ini suaranya lebih jernih. Nero mengerjap. Zoe tak pernah membicarakan
kehidupan pribadinya pada siapapun. Nero tahu itu dengan baik. Zoe orang yang
berdedikasi terhadap pekerjaannya sehingga tak pernah melibatkan perasaannya.
Devon, yang ada
bagian kaki Zoe, menggeram, memegang tangan Zoe. “So what? It doesn‘t matter.”
Zoe tersenyum
lagi ketika melanjutkan. “I don’t have
anyone. I have nothing. I learned everything by myself. I did everything alone”.
Lalu dia berhenti untuk menarik napas di antara usahanya menahan rasa perih di
perutnya. “I thought it was ok. I thought
I‘ll never feel lonely.”
“Zoe..”
“I was wrong. Our first meet changed
everything.”
Air mata Nero
mengalir lagi. Zoe sedang berusaha mengatakan apa yang ada di dalam hatinya—seakan
dia tak akan bisa melakukannya lagi. Seakan ini akan jadi perjalanan
terakhirnya.
“I knew you’re special to me,” kata Zoe lagi.
“You changed everything. You made friends
for me. I barely couldn‘t believe that you have care for me.”
Nero berusaha
tersenyum. “I have the ability to be
loved.”
Zoe mengangguk.
“You’re my master I knew it but I love
you more than it. You’re my friend my best friend ever. You’re my brother.
You‘re my family. I could die for you.”
“No. You—”
“And what I did today was nothing.” Zoe
memotong lagi. “I‘m alright. You don‘t
need to cry for me. I‘ll be fine. No need to worry. I‘m sorry I couldn‘t
protect you. I couldn‘t be your hero but still I wished I were.”
“Stop talking.”
“I may not good with words but I‘m sorry for
the tears. Please don‘t cry. It hurts me more than anything.”
“Don‘t die.”
Zoe tersenyum
lagi. “I never plan to die. I promised to
protect you. I‘m strong enough. I‘ll be alive. I‘ll be saved. You. Me. Even
Matt and everyone around you.”
“Zoe...”
“I said I‘m okay, Nero.”
Nero memeluk Zoe
seakan tak ingin melepasnya. Suara Zoe berbisik di telinganya.
“I‘m fine Nero. I‘m fine. Don‘t cry.”
Mobil mereka
akhirnya berhenti di rumah sakit. Nathan dan tim paramedis sudah menunggu di
depan. Begitu Devon membuka pintu dan keluar—bahkan sebelum mobil benar-benar
berhenti—paramedis segera bergerak cepat, mengeluarkan Zoe dari dalam mobil
dengan sigap, membawanya ke brankar, dan mendorongnya menuju ruang UGD.
Nathan melarang
Nero masuk.
“Minggir!” Nero
menyingkirkan Nathan, tapi Dokter itu memegangnya erat-erat, kemudian
memeluknya, berusaha menghentikan Nero yang hendak menerjang UGD.
“Nero, tenangkan
dirimu!”
“Zoe tak boleh
mati!”
“Dia tak akan
mati! Aku bersumpah aku tak akan membiarkannya mati!”
Mendengar itu
Nero tak lagi melawan. “Save him.”
“I will, Nero.” Dia mengangguk kemudian
melepas pelukannya dan masuk ke ruang UGD. Pintu ruang UGD menutup sosok Dokter
Nathan ketika dia melangkah sambil memperbaiki letak jasnya.
Nero terhenyak.
Kakinya lemas seketika. Dia duduk di salah satu kursi tunggu. Tak bisa berkata
apapun. Zoe sekarat. Ini kesalahannya. Bila dia menuruti perkataan Zoe untuk
tak pergi sendiri, hal ini tak akan terjadi. Jika dia mati saja ketika Deborah
mencekiknya, atau setidaknya Devon dan yang lainnya terlambat sedikit untuk
menyelamatkannya, Zoe tak akan mengalami hal seperti ini. Mereka pasti masih di
sekolah. Berpesta di dekat api unggun seperti anak-anak lain. Tertawa dan
bergembira.
“Nero,” Devon
merangkul Nero dan duduk di sampingnya. Kondisi Nero sedikit aneh. Matanya
sedari tadi hanya memandang lurus sepatunya. Pakaiannya tampak kacau. Belum
lagi ekspresinya sulit ditebak.
“Nero, kau bisa
mendengarku?” Devon berkata lembut, mencoba menyadarkan Nero. Tapi Nero sama
sekali tak meresponnya.
Ya Tuhan
sekarang apa lagi? Devon nyaris meledak. Malam ini dia melihat Nero tergeletak
nyaris mati karena dicekik, kemudian melihat Zoe ditusuk oleh wanita gila, yang
nyaris saja dibunuh Nero, dan sekarang Nero tak mereseponnya. Dia terlihat
sangat rapuh. Seperti boneka porselain tipis yang kecil menyedihkan dan bila
disentuh sedikit saja akan hancur berkeping-keping.
Devon tak suka
melihat Nero semenyedihkan ini. Dan rasanya sangat menyakitkan melihat kondisi
Nero.
“Nero,” kata
Devon lagi. “Please, katakan sesuatu.”
Air mata Nero
menetes begitu saja. “Why me?” Bisik
Nero. “Why him? Why her?”
Devon tak
mengerti apa maksud perkataan Nero.
“Devon! Nero!”
Niken dan Vion
berlari mendekat, disusul dengan Alfon dan Owen di belakang. Rupanya mereka
berdua mengantarkan Niken dan Vion. Devon segera berdiri dan sama sekali tak
memiliki waktu untuk keberatan atau marah-marah saat Vion memeluknya. Niken
langsung ke arah Nero, memeluknya erat-erat.
“Kalian harus
menjelaskan padaku apa yang terjadi di sekolahku.” Owen berkata dengan nada
yang bisa membekukan Pasifik.
Devon menatap
Vion. “Kau tak mengatakan apapun?”
“Aku tak berhak
mengatakan apapun,” jawabnya cepat. “Lagipula—” Vion tersedak ketika mengingat
kondisi Zoe. “Bagaimana keadaan Zoe? Apa dia baik-baik saja? Dia tak apa-apa
kan? Dia akan selamat kan?”
“Dia sedang di
UGD.”
“He looks weird.” Alfon tiba-tiba
berbicara. Pria tampan itu melangkah mendekati Nero dan berlutut di depan Nero.
Kondisi Nero menguatrikan. Dia bahkan sama sekali tak merespon setiap patah
kata yang diucapkan Niken. Malah Nero, sepertinya, tidak berada bersama mereka
seolah yang duduk di tempat itu adalah orang lain.
“Nero,” gumam
Niken, dengan suara gemetar. “Nero, lihat aku.”
“Tidak ada
respon.”
“Apa yang
terjadi Devon?” Owen tampak tak sabar. “Salah satu muridku terluka parah dan
ada di UGD, sementara yang satu lagi dalam kondisi seperti itu. Harus ada
penjelasan yang detail dan spesifik. Aku tak ingin kejadian seperti ini
terulang.”
“Aku—sebenarnya—”
Devon tergagap. Dia tak tahu harus mulai dari mana. Dia juga tak tahu apakah
dia mampu menceritakannya. Kejadian itu begitu mengerikan. Devon tak ingin
mengingatnya lagi.
“Devon,” Owen
memegang bahunya. Kau harus memberitahuku. Aku tak akan memarahimu.
“Seorang wanita,”
kata Devon, tergagap. “Dia mencoba membunuh Nero. Dia mencekekik Nero, lalu dia
menusuk Zoe.”
Owen ternganga. “Apa?
Tunggu. Apa kau tak melihat wajahnya?”
Devon
menggeleng. “Terlalu gelap.”
“Dan, orang ini,
apakah dia yang menusuk Zoe?”
Devon mengangguk
kaku.
Owen menggeram
jengkel. Ada orang gila masuk ke sekolahnya. Mencoba membunuh siswanya. That‘s it! Mulai detik ini Owen akan
menyiapkan keamanan pada sekolahnya. Kamera pengawas. Satpam dua puluh empat
jam. Gerbang otomatis. Apapun!
“Nero!” Niken
menjerit, mengalihkan perhatian mereka. Gadis itu memegang bahu Nero, mencoba
menyadarkan Nero dengan mengguncang-guncangkannya. Air matanya bergulir turun
dengan deras. “Lihat aku! Nero!”
“Niken,” Alfon
mencoba menenangkan Niken. “Dia mengalami hari yang buruk. Kau harus
membiarkannya tenang terlebih dahulu.”
Tapi Nero
menengadah menatap mereka berdua dan bertanya seperti anak kecil tersesat “Who are you?”
Niken terpaku,
begitu pula dengan Alfon.
“What?” Devonlah yang berbicara.
“Where‘s my Daddy?” Dia bertanya lagi
dengan nada seperti itu. “Why am I here?
Is this blood? Am I bleeding?” Nero mengangkat kedua tangannya. Kedua
tangan itu berdarah, sudah mulai agak menghitam. Matanya dipenuhi dengan
ketakutan.
“Dia terpukul,”
gumam Vion.
Niken melepas
pelukan Alfon dan memeluk Nero. “It‘s ok,
Nero.” Gadis itu memeluknya begitu erat. “Kumohon jangan begini, Nero. Kau
kuat. Kau bisa melewati ini. Tak ada yang menyalahkanmu. Zoe akan baik-baik
saja. Dia akan selamat.”
“Zoe...” Nero
mengulang.
“Ya. Zoe.”
“Nero!”
Mereka melonjak.
Matt tengah berlari dari koridor, mengenakan pakaian kantor formal yang dibalut
dengan mantel. Bagaimana dia bisa tahu bahwa Nero ada di rumah sakit masih
menjadi pertanyaan besar. Wajahnya tampak khawatir dan cemas. Tapi, begitu
mendekati Nero yang berlumuran darah, pria itu langsung pucat pasi.
“A-apa itu
darah?” Matt menjangkau tangan Nero. “Apa kau terluka? Apa kau baik-baik saja?”
“Dia tak
apa-apa.” Niken menjawab. “Tapi Zoe terluka parah.”
“Zoe...” Matt
bergumam. Seakan sudah menerima cukup informasi, Matt kembali mengalihkan
perhatiannya pada Nero. Kedua tangannya menangkup pipi Nero, memaksa Nero
melihat ke arahnya. “Nero, are you
alright?”
Nero mengangguk
dalam diam.
“Everything is gonna be ok,” bisik Matt.
Nero berusaha
tersenyum. “I know.” Kemudian dia
memeluk Matt. “I‘m scared.”
“Sssh. I know. I‘m here. You saved.” Matt
mengangguk penuh pengertian, menepuk punggung Nero beberapa kali untuk
menenangkannya, sambil mengusap kepalanya, dan mencium kepalanya. Tentu saja
dia ketakutan. Wanita itu muncul dan menusuk Zoe. Matt nyaris tak percaya bahwa
Nero tak terbunuh.
“Matt,” Jacob
muncul, berjalan melewati kedua guru itu, seakan tak melihat mereka sama
sekali. “Aku sudah menyelesaikan seluruh biaya rumah sakit. Aku juga sudah
menghubungi polisi mengenai masalah ini. Mereka berjanji akan menemukan
Deborah.”
“Tunggu
sebentar!” Owen menghardik, menghampiri Jacob dengan wajah tak puas. “Aku punya
hak untuk mengetahui apa yang terjadi di sini. Kau harus menjelaskan padaku apa
yang terjadi.”
Jacob
mengangguk. “Anda akan mendapatkan informasi, Kepala Sekolah Owen. Tapi nanti.
Aku harus mengurus beberapa hal.” Dia kembali melihat Matt yang masih memeluk
Nero, yang tak mau melepasnya. “Matt, kau harus membawa Nero pulang. Dia butuh
istirahat yang cukup dan membersihkan diri. Malam ini terlalu berat untuknya.”
“Aku tak ingin
nama Nero disebut-sebut dalam masalah ini.” Matt berkata dengan nada
memerintah.
Jacob
mengangguk.
“Aku juga tak
mau para polisi itu meminta kesaksian dari Nero. Nero sudah cukup mengalaminya
sekali. Tak perlu mengungkitnya lagi.”
“Aku mengerti.”
“Tapi Nero harus
memberitahu seluruh hal yang dia ketahui,” Owen memotong. “Jika dia tak memberi
kesaksian, apa yang akan dipakai Polisi terhadap kasus ini?”
“Dan diamkan
Kepala Sekolah itu. Suaranya membuat kepalaku sakit!” bentak Matt jengkel. Dia
tak mengacuhkan pelototan Owen karena Nero berjengit mendengar suaranya,
sehingga Matt harus mengalihkan pandangan dan mencurahkan seluruh perhatiannya
pada Nero.
“Tuan Yudea, apa
Anda tahu seberapa seriusnya masalah ini? Seseorang baru saja ditusuk. Muridku.
Dan kemudian yang satu lagi nyaris terbunuh. Nero nyaris dicekik. Dia muridku
dan akan kupastikan polisi mencari wanita gila, yang kau bilang bernama Deborah
itu.”
Matt mengeraskan
rahang, melihat Owen karena saat Nero mendengar suara Owen yang berteriak, Nero
berjengkit lagi, gemetar memeluknya semakin erat.
“Kau, Tuan, akan
berurusan denganku bila kau tak menuruti apa yang kukatakan padamu,” geram Matt
diantara gigi-giginya.
“Apa? Berani
benar kau berkata seperti itu padaku?” Owen tak kalah garang. “Aku berkata
seperti ini karena aku mencemaskan muridku dan tak ingin hal ini terulang!”
Jacob memotong
saat Matt hendak membalas. “Matt, Nero butuh istirahat.”
Mata Matt
berkilat berbahaya ketika memandang Owen. Tapi Matt tahu betul apa yang lebih
penting hari ini. Begitu dia menoleh, kemarahannya menguap begitu cepat dan
suaranya penuh kasih, berbicara pada Nero.
“Nak, kita
pulang sekarang.”
Nero menggeleng.
“Zoe. Aku tak mau meninggalkan Zoe.”
Kami akan
menjaganya Vion berbicara, menatap Devon. “Masih ada waktu semalam sebelum
malam kamping berakhir. “
“Aku juga
tinggal.” Devon mengangguk. “Niken, kau pulang saja bersama mereka.”
Niken
mengangguk.
“Matt, aku tak
bisa menemanimu. Tapi, akan kupastikan untuk memberikan perkembangan masalah
ini setiap saat.” Jacob tersenyum kecil padanya.
Matt mengangguk.
Tersenyum penuh terimakasih padanya. Dia berbisik pada Nero, sepertinya mencoba
membujuk Nero lagi, sampai Nero akhirnya setuju untuk bangkit.
Niken mengikuti
dari belakang. Lalu masuk ke dalam mobil Marcedes milik Matt, yang berwarna
hijau. Mereka bertiga berkendara dalam diam. Bahkan saat sampai ke rumah pun
Matt dan Nero tak berkata apapun.
“Sampai besok,”
kata Niken dan melambai kecil.
Matt mengangguk,
dan mobil mereka masuk ke pekarangan. Matt membimbing Nero masuk ke kamarnya.
“Nak, Zoe akan
baik-baik saja,” kata Matt mengusap rambutnya. “Ada Jacob yang menjaganya. Ada
Nathan di sampingnya. Haruskah kubilang bahwa ada dua guru dan dua sahabatmu
pula di sana?”
Nero menatapnya.
“Kenapa Dad tak bilang kalau Zoe yatim piatu?”
Matt mendesah. “Itu
karena Zoe tak ingin aku mengatakannya. Masalah keluarganya tak ada hubungannya
dengan pekerjaannya.”
“Apa yang
terjadi pada keluarganya?”
“Nero—” Matt
berhenti, melihat tatapan Nero, dan mendesah lagi. “Ayahnya seorang agen.
Mereka sedang liburan di Oklohama saat para pembunuh bayaran mendatangi mereka.”
“Lalu?” Nero
mendesak lagi.
“Mereka terbunuh
dalam baku tembak.” Matt mencoba mencari apa makna dari kilatan di mata Nero.
Ketakutan? Cemas? Shock? Penasaran? Marah? “Ayah dan Kakak laki-laki Zoe tewas
di tempat dalam insiden itu. Zoe dan Ibunya terluka parah. Mereka berhasil
selamat.”
“Dan apa yang
terjadi pada Ibunya?”
“Nero—”
“Apa yang
terjadi, Dad?” Nero memaksa, mencengkram kerah baju Matt. “Beri tahu aku!”
“Dia bunuh diri,”
bisik Matt. “Dia melompat dari lantai atas rumah sakit walau Zoe sudah berusaha
menghentikannya.” Cengkraman Nero terlepas. “Dengar, Nak, aku tahu apa yang kau
pikirkan,” kata Matt cepat. “Tapi ini bukan seperti itu. Zoe melakukan ini
bukan karena dia ingin menyusul keluarganya. Dia mengambil tugas ini bukan
karena itu. Dia tak memiliki prinsip seperti itu. Zoe itu punya gairah untuk
hidup. Kau jangan berpikiran macam-macam.”
Nero berdiri. “Aku
mau mandi.”
Matt menyisir
rambutnya dengan jemari tangan, lalu menarik napas dalam-dalam. Dia ingat saat
pertama kali bertemu Zoe. Anak itu mirip sekali dengan yang di foto. Wajah
datar tanpa ekspresi, tidak banyak bicara, dan sopan sekali. Latar belakangnya
sedikit bermasalah pada Matt tapi Zoe menenangkannya dengan “Jangan khawatir Mr
Yudea. Saya orang yang berdedikasi.“
Kali kedua
bertemu dengannya, ada emosi di wajahnya ketika memberitahunya bahwa Nero
menghilang. Dan kali ketiga, di rumah Devon, Zoe jauh lebih hidup.
“Nero seorang
Master yang menyenangkan Mr Yudea.”
“Bukan teman,
tapi Master?”
Wajah Zoe
merona. “Saya tak akan berani memanggilnya teman.”
“Sayang sekali,
Nero selalu menyebutmu temannya, ah tidak, lebih dari itu, tapi sahabat.”
Dan Zoe tak bisa
menyimpan kebahagiaan di wajahnya.
Matt, sejujurnya,
menyukai anak itu. Dia teman yang baik bagi Nero. Tapi kemampuannya masih minim
untuk menjaga Nero dari seorang wanita psikopat, yang pandai menyamar dan
berkeliaran di sekitar Nero, seperti bayangan di kegelapan.
Lalu dia
mendengarnya. Suara jeritan Nero. Perhatian Matt terpecah saat itu juga dari
Zoe. Darah Matt membeku dalam sekejap.
“Nero!” Matt
segera meraih pintu kamar mandi. “Nero, buka pintunya!”
“Aaargh!”
“Nero!” Matt
mendobrak pintu. Persetan soal pintunya. Begitu pintu mengayun terbuka, dia
melihat Nero terduduk di bathtub,
dengan pakaian yang masih utuh, memeluk lututnya dengan tangan gemetar. Air
meluncur turun dari shower
membasahinya. Warna merah darah menetes-netes dari tangannya.
Nero menangis,
memegangi kepalanya. Dia tak sekacau ini saat kematian Jennifer. Dia juga tak
pernah menangis atau meneteskan air mata saat kematian Theressa. Tapi Zoe—
Matt memeluk
Nero.
Nero frustasi,
stress, marah dan kecewa. Pada dirinya
sendiri. Karena setiap orang mengorbankan diri untuknya. Dan Matt tahu
bahwa Nero membencinya.
Melihat putranya
seperti ini membuat Matt merasakan ada sebuah gunung berapi besar dipaksa masuk
ke dadanya. Dan itu sama sekali tak mendingin walau sudah dibanjiri shower. Meski dia memeluk Nero itu sama
sekali tak membantu. Malah semakin dia memeluk Nero semakin gunung itu hendak
meletus karena amarah.
***The Flower
Boy Next Door***
Aku hanya duduk,
melihat jendela kamar Nero yang tertutup sejak tiga jam lalu, dan sama sekali
tak berniat melakukan apapun. Tapi aku masih bisa mendengar teriakan Nero di
telingaku terus-terusan.
Nero sedang
bersedih di seberang sana. Dan aku sama sekali tak bisa melakukan apapun.
Rasanya benar-benar menyedihkan.
“Ada apa?”
Aku merasakan
sentuhan kecil di bahuku. Ketika aku menoleh, aku melihat Abangku, tengah
menatapku. Tangannya memegang bahuku. Perhatiannya terpusat padaku. Wajah yang
biasanya selalu jahil itu, kini menjadi serius melihatnya tampak seperti
Papaku.
Dan aku tanpa kusadari,
aku memeluknya, kemudian menangis.
Abangku tak
mengatakan apapun, seolah dia mengerti apa yang terjadi. Dia hanya memelukku,
mengusap rambutku, dan mencium dahiku dengan sayang, yang rasanya sangat
kubutuhkan saat ini. Dan bertahun-tahun kebersamaan kami, aku tahu bahwa
Abangku ini tak seburuk tingkahnya. Dia luar biasa berpengaruh dalam hidupku.
Begitu aku
bangun keesokan paginya, dia masih ada di sampingku, menjagaku dalam
pelukannya. Jam berapa aku selesai menangis sampai ketiduran aku sama sekali tak
tahu.
“Kau sudah
bangun?” Ray menguap, menggeliat seperti kucing. Aku mengangguk. Matanya
menatapku dengan kasih sayang. “Sudah lebih baik?”
“Sedikit.”
Dia tersenyum. “Akan
kubawakan makanan untukmu.” Dia turun dari tempat tidur dengan ogah-ogahan. “Niken.”
“Hmmm?”
“Kau tahu kau
bisa menceritakan apapun padaku kan?”
Aku mengerjap.
Dia mengecup
dahiku. “Kau bisa mengandalkanku bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun
karena aku abangmu. Aku akan mengerti. Kemudian, aku akan ada di depanmu untuk
melindungimu.”
Aku berusaha
tersenyum. Rasanya air mataku akan keluar lagi. “Terimakasih,” kataku parau.
Ray berjalan
menuju pintu.
“Kau yang
terbaik!” Aku berseru mengangkat kedua jempolku padanya.
Ray tertawa. “Udah
pasti,” katanya dan keluar dari kamarku.
Aku menghela
napas lega. Ini hari yang baru. Kulihat lagi jendela kamar Nero. Jendela itu
masih tertutup. Apa dia masih tidur?
Aku meraih
ponsel, hendak mengirimnya pesan, begitu aku melihat ada pesan yang belum
dibuka.
Vi__on: Zoe sudah sadar. Dia baik-baik saja.
Pesan itu
dikirim jam dua malam. Bibirku langsung tersenyum. Perasaanku langsung lega.
Ms. Genius: kau sudah dapat kabar? Zoe sudah sadar!
Jawabannya
muncul tak lama.
Mr. Notion: ya
Ms Genius: kau ada dimana? Ayo kita lihat dia.
Mr Notion: bandara
Hatiku mencelos.
Bandara? Apa maksudnya dengan bandara? Jari-jari tanganku gemetar begitu
mengirim pesan yang baru.
Ms Genius: kau mau kemana?
Aku menunggu
selama lima detik—yang rasanya bagai seabad—ketika Nero meneleponku, dan
bukannya membalas pesan.
“N-Nero.”
“Niken,”
suaranya terdengar lembut tapi juga lemah. “Kau sudah bangun?”
“Mau apa kau di
bandara? Kau mau kemana? Kenapa kau tak mengatakan apapun?”
“Niken, kau
pernah tanya apa yang sebenarnya terjadi kan?”
“Jangan
mengalihkan pembicaraan!”
“Aku melihat
wanita itu membunuh Mom.”
Aku tercekat. “Apa?”
“Namanya
Deborah. Dia mantan kekasih Dad saat masih SMA. Ketika Dad putus dengannya,
wanita itu tak terima. Dan kau tahu apa yang dia lakukan setelahnya? Dia membunuh
keluarga Dad. Satu per satu.”
“Nero, apa yang
kau katakan?” suaraku gemetar.
“Dia
pertama-tama membunuh Granpa. Polisi bilang itu hanya kecelakaan pesawat. Lalu
dia membunuh Mother. Yang kata polisi hanya kecelakaan lalu lintas biasa.
Kemudian dia membunuh Granma. Yang kata detekektif bilang karena kebakaran
akibat arus pendek. Setelah itu dia membunuh Mom dalam aksi kecelakaan luar
biasa.”
Mulutku kering. “Ya
Tuhan...”
“Kemarin aku
melihat Zoe tertusuk. Mungkin besok aku akan melihatmu mati di depanku.”
“Nero—”
“Niken, aku
mencintaimu.”
Air mataku
mengalir. “Aku tak percaya. Kalau kau benar-benar mencintaiku, katakan itu di
depanku sekarang juga.”
Terdengar
desahan napasnya di sana bergetar parau. “Fine,”
bisiknya.
Aku mengerjap. Dia akan datang?
“Kalau kau tak
percaya, maka biarlah,” bisiknya lagi. “Aku pergi.”
“N-Nero—”
Tut tut tut
Telepon seakan
menempel selamanya di telingaku. Aku tak tahu berapa lama aku terpaku di
tempat. Tak tahu harus berbuat apa. Nyawaku seakan diambil. Napasku seakan
terenggut. Seluruh rasaku menghilang.
Kebahagiaan yang sempat menjalar karena Zoe selamat, musnah sudah.
Nero pergi.
Nero telah
pergi.
Dan dia tak akan
kembali.
Ponselku
bergetar lagi. Ada pesan masuk.
Pesan itu
dikirim untuk kami berempat dan aku menemukan diriku menangis membacanya.
Mr Notion to Ms Genius:
Niken, maafkan aku. Aku memilih untuk jadi pecundang,
sampai-sampai tak bisa mengucapkan hal ini secara langsung padamu. Hari ini,
aku akan pergi ke suatu tempat, yang aku tak tahu dimana. Tapi, yakinlah aku
akan mencintaimu selamanya.
Kumohon, jangan menangis, karena aku pasti
merasakannya. Jika suatu hari nanti kita bertemu, aku akan memberitahumu alasan
kepergianku. Berbahagialah untukku. Jadilah Niken yang tegar, yang cuek, yang
pemarah, dan yang membuatku jatuh cinta.
I love you. Sayonara.
Mr Notion to
Me__Z:
You‘re my brother, my family, my best friend, and my
super hore. You protected me well more than yours. I was happy. But I couldn‘t
stay with you any longer. I don‘t wanna see you sacrifice for me again. Pleas,e
be happy, please be cared, please be loved, for me ok?
Coz I know you don‘t deserve the bad.
Mr Notion to Vi__on:
Aku tahu kau akan meninjuku suatu hari nanti bila
kau berhasil menemukanku, karena aku membuat Niken menangis. Aku pantas
menerimanya. Kau satu-satunya orang yang kuhormati dan aku tak akan
melanggarnya. Plis, jaga juniormu baik-baik. Mereka membutuhkanmu. Ah, dan
hati-hati pada Devon bila kau berniat mengencani Gill.
Ps: Gill bilang dia suka coklat dan puisi romantis.
Dan tolong hentikan aksi mereka untuk menguliti Bram. Dia tak bersalah.
Mr Notion to Mr Bad:
Devon, I am sorry, this stupid best friend of yours
decided to leave you all alone, but promise me you‘ll still act good boy. I
know who you are. You‘re the best gentlemen I ever met. You‘re the leader.
You‘re the taiton. You‘re the Mother. I knew you‘d be loved. Please let Vion
having a good time with Gill or Gill‘s gonna kill you and that‘s not cool to
find you dead when we meet someday. And try to smilling more you have the
charming killer smile ever.
Ps: Audrey asked me when will you kiss her. I have
no idea why you didn‘t kiss her yet. Are you Davy?
***The Flower
Boy Next Door***
1 komentar:
Hua huhu..Nero pergi.. T.T
untungnya Nero dan Zoe gak mati..
peyuuuk Niken... *bearhug*
Posting Komentar