RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 26 Juni 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Tujuh)



Debaran Tiga Puluh Tujuh
Forgiven

Devon melirik jam tangan. Ini sudah lebih dari lima belas menit. Kenapa Nero lama sekali?
Zoe kembali tanpa membawa siapapun. Tapi tampangnya tampak datar-datar saja.
“Bagaimana?” Devon nyengir lebar.
Dengan enteng, Zoe mengangkat kedua bahunya. “Tak ada yang menarik. Cuma goodbye.”
“Wow, sadis.” Devon terkekeh.
“Mana Nero?” Zoe melihat ke sekeliling.
“Tadi dia bersama Bram. Mengambil air.”
“Mengambil air?” Zoe mengulang, lalu dia segera melangkah pergi.
“Mau kemana?” Niken bertanya. Tampang Zoe sama seperti saat menguatirkan Nero yang ditinggalkan sendiri kemarin malam ketika uji nyali. Devon rupanya menanggapi kecemasan di nada suara Zoe
“Mencari Nero.”
Niken mengikuti di belakang beserta dengan Devon. Langkah mereka cepat sekali sehingga Niken harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah mereka. Mereka mendekati panitia memasak yang mengobrol sambil tertawa.
“Mana Nero?” Zoe bertanya.
“Tadi pergi bersama Bram. Bram tadi baru kembali mengambil panci yang tidak bolong. Memangnya kenapa?”
Zoe berlari cepat. Berlari! Devon tertegun sejenak, tapi pada akhirnya menyusul Zoe. Niken mengejar di belakang mereka. Kedua orang itu seperti pelari kelas marathon. Apalagi Zoe. Begitu Zoe melihat ada meja yang menghalanginya, dia lompat begitu saja dan kembali melanjutkan larinya tanpa perlu repot-repot mengambil napas. Devon menganga tak percaya melihat aksi Zoe. Dia kemudian memutari meja dan kembali menyusul Zoe.
Zoe lebih dulu melihat Bram di kejauhan, membawa panci berisi air dengan hati-hati, berjalan layaknya kura-kura.
“Mana Nero?”
“Menunggui air.”
“Kenapa kau tinggalkan dia?”
“Dia memintaku mengantar air sendirian.”
Tipikal Nero. Zoe mendesis jengkel, lalu akhirnya berlari lagi menyusul Nero. Saat dia berbelok, dia tak melihat apapun selain panci yang airnya tumpah. Kakinya berjalan cepat, mendekati panci. Ada bekas aneh yang tertinggal di atas tanah, seakan seseorang sedang meronta. Dia menoleh ke sana-kemari, kemudian dia melihat Nero jatuh tak bergerak di atas tanah di dekat tugu air.
Hati Zoe mencelos. “Nero!” Zoe mendekat. Dia berjongkok dan melihat keadaannya. Wajah Nero membiru dan ada bekas cekikan di lehernya juga ada tali pancing di dekatnya. Jemari Zoe gemetar melihat bekas itu.
Nero dicekik.
“Nero... Nero!” Zoe berteriak, sekarang lebih panik. Tidak mungkin. Nero tak mungkin mati. Dia tak boleh mati. Menelan ludahnya dengan panik, Zoe mendekatkan telunjuknya ke dekat hidung Nero karena dada Nero sama sekali tidak naik dan turun.
“Zoe!” Devon menyusul dari belakang. “Ada apa?”
“Dia tak bernapas suara Zoe,” bergetar.
“Apa?”
“Dia tak bernapas!” Zoe mengulang, nyaris menangis.
“Akan kulakukan sesuatu, kau cari pelakunya!” Devon mendorongnya minggir.
“Tidak. Aku di sini!”
Niken menyusul, menjerit histeris, menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Ada apa? Devon ada apa dengannya?” kepanikan semakin menjadi.
“Diam!” Devon meraung. “Tubuhnya masih hangat. Ada kemungkinan dia masih hidup.” Dia menidurkan, Nero memastikan bahwa tubuh Nero datar, kemudian mendekatkan telinganya ke dada Nero. Dia menutup matanya, mendengarkan suara detak jantung Nero. Harapan kecil yang berusaha dia dengar.
Tidak boleh. Kau tak boleh mati, batin Devon. Kau dengar aku? Kau tak boleh mati. Jika kau mati aku akan membunuhmu!
Lalu dia mendengarnya, sebuah harapan kecil yang membawa kebahagiaan. Detak jantung Nero.
Thump... thump... thump...
Begitu lemah dan lambat.
“Dia masih hidup,” kata Devon menegakkan tubuhnya. Suaranya cukup tenang untuk membuat Zoe dan Niken berhenti panik. “Kita hanya perlu membuatnya bernapas.”
“Kau sadarkan dia, aku akan membunuh pelakunya,” Zoe menggeram dan bangkit, berlari entah kemana, dan menghilang di kegelapan.
“Nero...” Niken terisak, memegang lengan Nero, mencoba membangunkannya. “Siapa yang tega melalukan ini padamu?”
Devon meletakkan tangannya ke atas dada Nero, tepat ke tengah dada Nero, dan di atas tangan itu, dia meletakkan kepalannya.
One two three four five.” Devon menghitung bersamaan saat dia menekan dada Nero dalam satu detik. Kemudian memberikan CPR.
“Don‘t do this to me. You‘re my bestfriend. Dammit. One two three four five,” Devon mengulang lagi.
Niken menunggu dalam diam, menggigit bibir sambil berdoa. Devon sedang berusaha menyelamatkan Nero. Nero akan baik-baik saja. Nero bilang dia akan memercayakan nyawanya pada Devon.
“Come on, Nero. Breath!” Devon semakin panik ketika dia terus mencoba, tapi belum memberi efek. “Please... oh please God! Not again!”
Devon menunduk, memberikan napas buatan.
Ketika dia berusaha menekan dada Nero lagi, air matanya sudah berjatuhan. “No! Not you! Breath Nero! BREATH!”
“One two—”
“Uhuk uhuk uhuk.”
Doa Devon terjawab. Nero terbatuk dan bernapas menarik napas dalam-dalam dan berguling ke sisi tubuhnya. Niken melonjak, membenamkan wajahnya ke tangannya terisak-isak.
“Oh thanks God! I promise I‘ll never leave Sunday! Praise You God! Halelujah!” Devon membantu Nero duduk memeluknya erat-erat.
“What the hell are you talking about, you moron!” Nero terbatuk lagi, menepuk bahu Devon. “I’m not God.”
“Ada apa?” Suara Vion terdengar di dekat kami. “Devon, Niken, kenapa kalian menangis? Nero apa yang terjadi?”
“Kau sendiri? Kenapa datang kemari?” Nero bertanya keheranan. Devon melepas pelukannya dan Niken memeluk Nero erat-erat seakan tak ingin melepasnya.
“Aku menyusul kemari karena aku melihat kalian berlari seperti orang gila. Saat kutanya Bram dia bilang kalian pasti kemari.”
“Aku benar-benar akan mengulitinya hidup-hidup,” geram Devon.
Nero melihat sekeliling. “Mana Zoe?”
“Dia mencari orang yang mencekikmu,” kata Devon.
“Dia apa?” Nero melotot tak percaya.
“Mencekik? Nero kau dicekik? Oleh siapa?” Vion menganga tak percaya. “Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi di sekolah biasa seperti ini?”
“Kenapa kau membiarkannya pergi sendiri? Kita harus mencarinya!” Seakan mendapat kekuatan, Nero langsung bangkit dari tempatnya.
“Zoe akan baik-baik saja.”
“Deborah itu wanita berdarah dingin!” Nero berteriak jengkel. “Dia membunuh Granpa. Dia membunuh Mother. Dan dia juga membunuh Mom!”
Devon, Vion dan Niken membeku.
“Aku tak akan membiarkannya membunuh Zoe. Tak akan!”
Nero berbalik mencari Zoe entah kenapa. Dia langsung hilang dalam sekejap ditelan kegelapan. Tanpa menoleh ke belakang lagi Niken menyusul kemudian tanpa bicara Devon dan Vion melakukan hal yang sama.
Nero berlari cepat, napasnya terengah sementara jantungnya berdegup-degup kencang di dalam rusuknya. Dia ketakutan. Sungguh. Tapi dia juga tak bisa membiarkan Zoe menghadapi Deborah sendirian. Itu bukan kewajiban Zoe. Zoe hanya bertugas untuk menjaganya. Bukan mengorbankan dirinya untuk Nero.
Begitu melihat ke sekeliling, dia tak menemukan apapun selain Bukit Hijau yang sudah kembali tertata dengan rapi. Suara musik dari api unggun terdengar menjauh—dan hilang sama sekali begitu Nero melihat pemandangan di depannya. Ada bayangan berkelebatan di depannya, cuma beberapa meter di depannya. Kedua bayangan itu bergerak sangat cepat. Dan begitu awan menjauh dari rembulan, Nero melihat pemandangan mengerikan.
Deborah memegang pisau. Pisau itu berkilat-kilat di bawah sinar rembulan, mengangkatnya tinggi-tinggi di tangan yang satunya, sementara tangannya yang lain memegangi Zoe. Mereka berkutat. Zoe mencoba menyingkirkan Deborah dan melepaskan pisau itu dan Deborah mencoba membunuhnya.
NO!” Nero meraung, berlari mendekat.
Suara teriakannya membuat Zoe menoleh dan lengah, sehingga Deborah dengan mudah menusukkan benda mengerikan itu ke perut Zoe.
Tidak…
“ZOE!”
Zoe menunduk, memegangi perutnya. Dengan tidak berperikemanusiaan wanita sialan itu menarik kembali pisaunya dan menusukkan benda itu lagi.
Tidak lagi…
Darah menetes turun dari tangan Zoe.
Jangan dia…
Nero berhenti berlari, menatap tak percaya hal yang terjadi pada Zoe. Deborah menarik kembali pisaunya, mendorong tubuh Zoe yang tak bisa melawan. Zoe terbatuk, darah keluar dari mulutnya dan dia berguling di bawah bukit, dan tidak bergerak.
Zoe…
Tidak mungkin. Zoe tak mungkin mati. Dia sedang bermimpi. Begitu dia membuka mata dia akan baik-baik saja. Mereka pasti tertidur dalam tenda yang nyaman, menunggu matahari pagi.
Tapi Nero tak bisa menutup matanya, bahkan untuk berkedip saja dia tak bisa. Dia hanya bisa melihat tubuh Zoe yang tak bisa bergerak. Darah mengucur terus dari tubuhnya.
“Kau masih hidup.”
Nero membeku, untuk pertama kalinya dia tersentak dan merasakan ketakutannya menjalar dengan cepat. Lari. Suara itu memerintahkannya. Lari. LARI! Tapi dia bahkan tak bisa bergerak.
“Bagaimana caranya kau bisa hidup?” desis wanita itu. Walau dari jarak sejauh ini, Nero masih dapat mendengar suaranya yang mengerikan. Horor. Mimpi buruknya. Duri dalam dagingnya.
Lari, Nero. Lari!
“Kenapa sulit sekali membunuhmu? Padahal aku yakin sudah mencekikmu sampai mati,” Deborah mendekat, masih memegangi pisau itu di tangannya yang berdarah. Darah kental. Darahnya Zoe.
Dan Nero merasakan pukulan telak yang membuatnya menyesal.
Ini kesalahanmu, suara itu berbisik, menohoknya. Ini semua kesalahanmu. Jika bukan karenamu Zoe tidak akan mati. Jika bukan karenamu, Zoe tak akan mengalami hal seperti ini. Jika bukan karenamu, Matt mungkin bisa hidup dengan tenang. Jika bukan karenamu, Jennifer akan hidup, dia akan berbahagia dengan Matt dan Ageha tak akan pernah pergi dari kehidupanmu.
Andai saja, Nero mati terlebih dahulu, semua ini tak akan terjadi.
Wanita itu melangkah semakin dekat. Nero bisa merasakan tatapannya yang menusuk, bagaimana mata wanita itu melihatnya dengan benci, bagaimana kemarahan, rasa jijik, tak suka, semuanya, ada di sana, tercermin di mata Nero.
Lari…
Napas Nero gemetar di saat dia mengambil napas, merasakan bagaimana wanita itu menatapnya dalam jarak yang begitu dia. Tangan wanita itu menyentuh lehernya. Jemari panjang itu begitu dingin, dan kuku-kukunya melesak pada kulit Nero.
“Apa kau tak lari lagi sekarang?” Deborah berbisik, mengangkat tangan yang satunya. Nero semakin gemetar merasakan dinginnya metal dari pisau itu di lehernya. Nero menutup mata ketakutan. Pisau yang membunuh Zoe. “Sudah siap untuk mati? Sekarang kau sudah tahu kalau ini kesalahanmu kan?”
Yang benar saja, suara yang lain, yang tampak seperti suaranya yang arogan, menjawab. Aku tak melakukan kesalahan apapun.
Nero membuka matanya, menatap mata Deborah.
Wanita gila itu tersenyum padanya. “Kau punya mata yang indah, seperti Matt.”
Kau membunuh Granpda. Kau membunuh Mother. Kau membakar rumah kami, membuatku kehilangan seluruh kenangan masa kecilku. Kau membuatku mengalami masa sulit dan terus masuk ke dalam mimpiku. Kau membuatku harus mendatangi psikiater. Orang-orang menganggapku gila. Kau membunuh Mom. Kau membuat Ageha tak memiliki Ibu dan dia harus jauh dariku. Kau mencoba membunuhku. Kau juga melukai Zoe. Tidak, kau membunuh Zoe.
Dan sekarang kau bilang itu kesalahanku?
Pikiran itu membuatnya panas. Kemarahan di dadanya memuncak. Bukan. Ini bukan kesalahannya. Ini juga bukan kesalahan Matt. Bukan kesalahan siapapun kecuali wanita gila ini.
“Ada apa dengan pandanganmu itu, hmmm?” Deborah berbisik mengerikan.
Nero merasakan bulu kuduknya merinding. Seluruh tubuhnya mengigil. Tapi kali ini bukan karena ketakutan. Tapi karena kemarahan.
Wanita ini harus dibunuh agar dia tak melukai siapapun lagi.
Dan itulah yang selalu kukatakan padamu, Nero.
Tinju Nero melayang dalam sekejap, membuat wanita itu jatuh, merintih dengan rasa terkejut dengan tindakan Nero yang diluar dugaannya. Nero berjalan ke arahnya, merangkak ke atas tubuh Deborah yang masih belum bisa berdiri.
Nero memegang bahu wanita itu, membuatnya menghadapainya. Matanya berwarna gelap, dingin, penuh dendam, dan menusuk. Tangannya memegang bahu Deborah, nyaris meremukkan bahunya.
“N... Nero…”
“Kau tahu,” kata Nero. Suaranya tenang seakan itu bukan suaranya. “Tempat yang cocok untuk orang-orang sepertimu adalah neraka.”
Tangan Nero memegang leher Deborah, mencekiknya.
Mata Deborah membelalak terbuka. Kedua tangannya memegang lengan Nero. Dia berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman Nero erat sekali pada lehernya. Membuatnya kehilangan udara lebih cepat dari lehernya. Hanya saja hal itu tak bisa membuatnya tak mendengar suara Nero yang begitu jernih.
“Aku akan mengirimmu ke sana. Dengan tanganku sendiri.”
Dan genggamannya semakin erat.
***The Flower Boy Next Door***
Oh, ya Tuhan!
Suaraku tak bisa keluar melihat dari sini bagaimana Nero melihat Zoe ditusuk. Kemudian bagaimana wanita berpisau itu mendatangi Nero, siap menggorok leher Nero dengan pisau yang sudah menusuk Zoe. Lalu segalanya terjadi begitu cepat di depan mata kami saat Nero meninju wanita itu, kemudian berjalan ke arahnya dengan tangan di atas atas leher wanita itu. Nero siap mencekiknya. Nero akan membunuh orang!
“Nero!”
Suara Devon samar-samar terdengar di telingaku saat aku berlari dengan susah payah menuju bukit, melihat Devon mendatangi Nero, memegangi Nero dari belakang dan berusaha untuk melepaskan genggaman Nero dari leher wanita itu. Kak Vion di lain tempat, berlari menyusul Zoe yang tergeletak tak berdaya. Wajahnya tampak penuh horor begitu dia berhasil menjangkau Pemuda itu dan membalik tubuhnya. Aku bisa melihat darah mengotori pakaian Zoe, membasahi kaos dan jaketnya.
“Let her go!” Devon berteriak lagi.
Tapi Nero seakan tak mendengarnya. Matanya hanya terkonsentrasi pada waniat, seakan hal yang paling ditakutkannya adalah melihat wanita itu lenyap dari pandangannya. Tangannya masih di leher si Penusuk, yang sudah lemas kehabisan napas dan tak bisa lagi melawan. Tangan Devon mencoba melepaskan Nero, berusaha menyadarkan Nero dengan teriakannya, hanya saja Nero tidak mendengarkannya.
Hal yang paling penting bagi Nero adalah membunuh wanita itu.
Aku berhasil menjangkau mereka dengan susah payah. Tanganku memegang lengan Nero sementara air mataku bergulir. Ini bukan Nero yang kukenal.
“Nero,” kataku dengan suara gemetar. “Nero, lepaskan dia.”
Dia tak mendengarkan. Kulihat lagi wanita itu sudah tak mampu bergerak.
“Nero, kau tak ingin melakukan ini. Kumohon.” Aku memeluknya, satu-satunya cara yang bisa kulakukan padanya. “Nero, ini bukan kau. Jangan lakukan ini. Kau memiliki hati yang bersih, Nero. Lepaskan dia.”
Walau belum melepaskan pegangannya, dia menoleh padaku. Aku pernah melihat ekspresi itu sebelumnya. Itu mata yang sama saat Nero terjaga dari mimpi buruknya ketika aku menemukannya tertidur di bawah pohon. Itu juga mata yang sama saat melihatnya ketakutan karena terluka di gang kosong.
“Niken…”
“Maafkan dia,” kataku tanpa sadar. “Apapun yang dia lakukan padamu, maafkan dia. Itu memang tak akan membuatmu lupa, tak akan mengubah apa yang terjadi selama ini, tapi kau akan merasa lebih baik. Kau pantas mendapatkan hal yang lebih baik daripada sekadar balas dendam.”
Dia menatapku, pandangannya sulit ditebak.
“Plis…” mohonku. “Plis… demi aku.”
Dan pegangan Nero meregang. Wanita itu terbatuk-batuk, mengambil napas dalam-dalam. Devon menarik tangan Nero agar bangkit dari tempatnya, sama sekali tak sadar dengan apa yang dia lakukan.
“Niken…”
Aku memeluknya, terisak-isak. Oh, Tuhan. Dia sudah mengalami hal yang berat selama ini. Selama ini dia dikejar-kejar orang gila yang ingin membunuhnya. Sekarang aku tahu kenapa dia tak bisa mengatakannya padaku. Dia takut aku akan menjauhinya. Dia takut aku akan khawatir padanya. Seberapa banyak sebenarnya beban yang harus dia tanggung?
Nero memelukku erat-erat. Tubuhnya gemetaran. Lalu dia sadar.
“Zoe,” katanya. Dengan cepat dia menyingkirkanku, berlari menuju Zoe dan Kak Vion.
Kami berlari seperti orang gila mendatangi Zoe. Zoe berdarah. Banyak sekali. seluruh tangan, baju, dipenuhi oleh darah. Bahkan Kak Vion juga terkena darahnya. Kak Vion memeluknya dalam pangkuannya. Air matanya bergulir shock. Tapi dia tak bisa berbuat apapun.
“Zoe… Zoe!” Nero memanggilnya, suaranya bergetar. “Zoe.”
Aku tak bisa bernapas. Zoe… tidak mungkin. Dia tadi baik-baik saja. Setengah jam lalu dia masih baik-baik saja. Kami tadi masih ada di lantai dansa, dan dia masih tersenyum menyebalkan seperti playboy sejati saat berganti pasangan dansa.
Dan sekarang Zoe tak bergerak dengan mata terututup.
Berlumuran darah.
“Get away,” suara Devon bergetar. Tapi dialah yang paling tenang di antara kami. Dia mengambil Zoe dari tangan Kak Vion, mengangkatnya dengan susah payah. “Call ambulance.”
“No!” Nero membantah, membuka ponselnya.
“CALL AMBULANCE!” Devon berteriak.
Nero mengacuhkannya. Tangannya gemetar saat memencet nomor. Kami sudah bangkit dan sekarang berlari secepat kilat menuju rumah sakit.
“Aku ingin mobil ada di depan gerbang sekolah dalam waktu lima menit!” Nero berteriak dan menutup teleponnya, kemudian menelepon lagi.
Air mataku terus mengalir turun, sementara tanganku terus memegang dadaku. Kejadian ini mengerikan. Aku mencemaskan Zoe. Bagaimana jika ambulance tak datang? Bagaimana jika Zoe tak sampai ke rumah sakit? Bagaimana Zoe jika tak selamat?
Oh Tuhan, rasanya mengerikan sekali.
“Nathan,” suara Nero gemetar saat mengikuti Devon menuruni bukit. Kak Vion mengikuti di belakang. “Siapkan UGD. Zoe… Zoe sekarat. Kami akan tiba di sana dalam waktu lima belas menit.” Kemudian dia mematikan ponselnya
Kami berlari seperti orang gila. Napas kami tersenggal-senggal begitu kami berhasil melewati sekolah, menuju sekolah di mana lapangan depan, tempat dimana para siswa masih menggila dengan musik dan api unggun. Tapi begitu melihat kami yang berlari seperti orang gila, apalagi setelah melihat Devon yang membawa Zoe, yang berlumuran darah.
“What the—”
“Devon, kenapa dengan Zoe?” Pak Alfon memotong perkataan Pak Owen, melihat Zoe dan wajahnya tampak shock.
“Kenapa dia berdarah?” Pak Owen kehabisan suara sementara Pak Julian dan guru yang lain mulai merasakan ada hal yang tak beres. Sekarang mata semua anak menoleh ke arah kami.
MOVE!” Nero meraung, menyingkirkan seluruh siswa sehingga Devon dapat membawa Zoe menuju gerbang.
Sebuah mobil mahal berwarna putih porselain sudah terparkir di depan gerbang. Itu mobil Nero. Nero pernah bilang kalau itu adalah mobil pribadi yang diberikan Matt untuknya. Dan sekarang mobil itu sudah ada di sini, dengan pintu segera terbuka saat si supir membukakannya dengan segera begitu melihat apa yang terjadi.
Nero masuk terlebih dahulu. Dia mengambil Zoe yang disodorkan Devon dengan hati-hati. Kemudian Devon masuk ke dalam, menutup pintu.
“Apa yang kalian lakukan? Masuk!” kata Devon.
“Kami akan menyusul belakangan,” suara Kak Vion tercekat di belakangku. Dia meremas bahuku untuk menenangkanku.
Devon mengangguk kecil dan aku hanya bisa melihat mobil Nero melaju pergi dengan kecepatan maksimal.
Semoga dia baik-baik saja. Semoga Zoe selamat.
***The Flower Boy Next Door***
Perjalanan menuju rumah sakit seperti mimpi buruk bagi Nero. Air matanya tak berhenti dari matanya saat melihat kondisi Zoe. Salah satu tangannya memegangi baju Zoe, tepat dimana luka itu berada dan berusaha menghentikan pendarahannya, namun tak berhasil. Darah Zoe mengalir turun melewati jari-jari tangannya, membuat tangannya basah dan membekasi seluruh pakaiannya, seperti air terjun yang tak pernah berhenti. Setiap tetes darah yang jatuh membuat Zoe merintih kesakitan.
Tapi Nero tak peduli. Dia ingin Zoe hidup. Dia ingin Zoe selamat. Tidak sepantasnya Zoe menanggung hal yang bukan kesalahannya. Harusnya Nerolah yang mengalami hal ini.
Bukan Zoe.
“Nero,” desah Zoe, berusaha membuka matanya dan berbicara padanya.
“Kita akan sampai ke rumah sakit. Bertahanlah,” kata Nero.
Zoe tersenyum. Bagaimana mungkin di saat seperti ini dia masih bisa tersenyum? Tapi inilah Zoe. Dia selalu melanggar batas. Dia tak pernah bertingkah normal. Dia selalu melakukan hal yang diluar kebiasaan, membuat Nero tertegun, dan tanpa sadar tersenyum kecil.
“Hi, Handsome,” kata Nero parau.
“I am an orphan.” Zoe tiba-tiba berbicara lagi. Kali ini suaranya lebih jernih. Nero mengerjap. Zoe tak pernah membicarakan kehidupan pribadinya pada siapapun. Nero tahu itu dengan baik. Zoe orang yang berdedikasi terhadap pekerjaannya sehingga tak pernah melibatkan perasaannya.
Devon, yang ada bagian kaki Zoe, menggeram, memegang tangan Zoe. “So what? It doesn‘t matter.
Zoe tersenyum lagi ketika melanjutkan. “I don’t have anyone. I have nothing. I learned everything by myself. I did everything alone”. Lalu dia berhenti untuk menarik napas di antara usahanya menahan rasa perih di perutnya. “I thought it was ok. I thought I‘ll never feel lonely.”
Zoe..”
I was wrong. Our first meet changed everything.
Air mata Nero mengalir lagi. Zoe sedang berusaha mengatakan apa yang ada di dalam hatinya—seakan dia tak akan bisa melakukannya lagi. Seakan ini akan jadi perjalanan terakhirnya.
“I knew you’re special to me,” kata Zoe lagi. “You changed everything. You made friends for me. I barely couldn‘t believe that you have care for me.”
Nero berusaha tersenyum. “I have the ability to be loved.”
Zoe mengangguk. “You’re my master I knew it but I love you more than it. You’re my friend my best friend ever. You’re my brother. You‘re my family. I could die for you.
No. You—”
And what I did today was nothing.” Zoe memotong lagi. “I‘m alright. You don‘t need to cry for me. I‘ll be fine. No need to worry. I‘m sorry I couldn‘t protect you. I couldn‘t be your hero but still I wished I were.
Stop talking.”
I may not good with words but I‘m sorry for the tears. Please don‘t cry. It hurts me more than anything.”
Don‘t die.”
Zoe tersenyum lagi. “I never plan to die. I promised to protect you. I‘m strong enough. I‘ll be alive. I‘ll be saved. You. Me. Even Matt and everyone around you.”
Zoe...”
I said I‘m okay, Nero.”
Nero memeluk Zoe seakan tak ingin melepasnya. Suara Zoe berbisik di telinganya.
I‘m fine Nero. I‘m fine. Don‘t cry.”
Mobil mereka akhirnya berhenti di rumah sakit. Nathan dan tim paramedis sudah menunggu di depan. Begitu Devon membuka pintu dan keluar—bahkan sebelum mobil benar-benar berhenti—paramedis segera bergerak cepat, mengeluarkan Zoe dari dalam mobil dengan sigap, membawanya ke brankar, dan mendorongnya menuju ruang UGD.
Nathan melarang Nero masuk.
“Minggir!” Nero menyingkirkan Nathan, tapi Dokter itu memegangnya erat-erat, kemudian memeluknya, berusaha menghentikan Nero yang hendak menerjang UGD.
“Nero, tenangkan dirimu!”
“Zoe tak boleh mati!”
“Dia tak akan mati! Aku bersumpah aku tak akan membiarkannya mati!”
Mendengar itu Nero tak lagi melawan. “Save him.”
I will, Nero.” Dia mengangguk kemudian melepas pelukannya dan masuk ke ruang UGD. Pintu ruang UGD menutup sosok Dokter Nathan ketika dia melangkah sambil memperbaiki letak jasnya.
Nero terhenyak. Kakinya lemas seketika. Dia duduk di salah satu kursi tunggu. Tak bisa berkata apapun. Zoe sekarat. Ini kesalahannya. Bila dia menuruti perkataan Zoe untuk tak pergi sendiri, hal ini tak akan terjadi. Jika dia mati saja ketika Deborah mencekiknya, atau setidaknya Devon dan yang lainnya terlambat sedikit untuk menyelamatkannya, Zoe tak akan mengalami hal seperti ini. Mereka pasti masih di sekolah. Berpesta di dekat api unggun seperti anak-anak lain. Tertawa dan bergembira.
“Nero,” Devon merangkul Nero dan duduk di sampingnya. Kondisi Nero sedikit aneh. Matanya sedari tadi hanya memandang lurus sepatunya. Pakaiannya tampak kacau. Belum lagi ekspresinya sulit ditebak.
“Nero, kau bisa mendengarku?” Devon berkata lembut, mencoba menyadarkan Nero. Tapi Nero sama sekali tak meresponnya.
Ya Tuhan sekarang apa lagi? Devon nyaris meledak. Malam ini dia melihat Nero tergeletak nyaris mati karena dicekik, kemudian melihat Zoe ditusuk oleh wanita gila, yang nyaris saja dibunuh Nero, dan sekarang Nero tak mereseponnya. Dia terlihat sangat rapuh. Seperti boneka porselain tipis yang kecil menyedihkan dan bila disentuh sedikit saja akan hancur berkeping-keping.
Devon tak suka melihat Nero semenyedihkan ini. Dan rasanya sangat menyakitkan melihat kondisi Nero.
“Nero,” kata Devon lagi. “Please, katakan sesuatu.”
Air mata Nero menetes begitu saja. “Why me?” Bisik Nero. “Why him? Why her?”
Devon tak mengerti apa maksud perkataan Nero.
“Devon! Nero!”
Niken dan Vion berlari mendekat, disusul dengan Alfon dan Owen di belakang. Rupanya mereka berdua mengantarkan Niken dan Vion. Devon segera berdiri dan sama sekali tak memiliki waktu untuk keberatan atau marah-marah saat Vion memeluknya. Niken langsung ke arah Nero, memeluknya erat-erat.
“Kalian harus menjelaskan padaku apa yang terjadi di sekolahku.” Owen berkata dengan nada yang bisa membekukan Pasifik.
Devon menatap Vion. “Kau tak mengatakan apapun?”
“Aku tak berhak mengatakan apapun,” jawabnya cepat. “Lagipula—” Vion tersedak ketika mengingat kondisi Zoe. “Bagaimana keadaan Zoe? Apa dia baik-baik saja? Dia tak apa-apa kan? Dia akan selamat kan?”
“Dia sedang di UGD.”
He looks weird.” Alfon tiba-tiba berbicara. Pria tampan itu melangkah mendekati Nero dan berlutut di depan Nero. Kondisi Nero menguatrikan. Dia bahkan sama sekali tak merespon setiap patah kata yang diucapkan Niken. Malah Nero, sepertinya, tidak berada bersama mereka seolah yang duduk di tempat itu adalah orang lain.
“Nero,” gumam Niken, dengan suara gemetar. “Nero, lihat aku.”
“Tidak ada respon.”
“Apa yang terjadi Devon?” Owen tampak tak sabar. “Salah satu muridku terluka parah dan ada di UGD, sementara yang satu lagi dalam kondisi seperti itu. Harus ada penjelasan yang detail dan spesifik. Aku tak ingin kejadian seperti ini terulang.”
“Aku—sebenarnya—” Devon tergagap. Dia tak tahu harus mulai dari mana. Dia juga tak tahu apakah dia mampu menceritakannya. Kejadian itu begitu mengerikan. Devon tak ingin mengingatnya lagi.
“Devon,” Owen memegang bahunya. Kau harus memberitahuku. Aku tak akan memarahimu.
“Seorang wanita,” kata Devon, tergagap. “Dia mencoba membunuh Nero. Dia mencekekik Nero, lalu dia menusuk Zoe.”
Owen ternganga. “Apa? Tunggu. Apa kau tak melihat wajahnya?”
Devon menggeleng. “Terlalu gelap.”
“Dan, orang ini, apakah dia yang menusuk Zoe?”
Devon mengangguk kaku.
Owen menggeram jengkel. Ada orang gila masuk ke sekolahnya. Mencoba membunuh siswanya. That‘s it! Mulai detik ini Owen akan menyiapkan keamanan pada sekolahnya. Kamera pengawas. Satpam dua puluh empat jam. Gerbang otomatis. Apapun!
“Nero!” Niken menjerit, mengalihkan perhatian mereka. Gadis itu memegang bahu Nero, mencoba menyadarkan Nero dengan mengguncang-guncangkannya. Air matanya bergulir turun dengan deras. “Lihat aku! Nero!”
“Niken,” Alfon mencoba menenangkan Niken. “Dia mengalami hari yang buruk. Kau harus membiarkannya tenang terlebih dahulu.”
Tapi Nero menengadah menatap mereka berdua dan bertanya seperti anak kecil tersesat “Who are you?
Niken terpaku, begitu pula dengan Alfon.
What?” Devonlah yang berbicara.
Where‘s my Daddy?” Dia bertanya lagi dengan nada seperti itu. “Why am I here? Is this blood? Am I bleeding?” Nero mengangkat kedua tangannya. Kedua tangan itu berdarah, sudah mulai agak menghitam. Matanya dipenuhi dengan ketakutan.
“Dia terpukul,” gumam Vion.
Niken melepas pelukan Alfon dan memeluk Nero. “It‘s ok, Nero.” Gadis itu memeluknya begitu erat. “Kumohon jangan begini, Nero. Kau kuat. Kau bisa melewati ini. Tak ada yang menyalahkanmu. Zoe akan baik-baik saja. Dia akan selamat.”
“Zoe...” Nero mengulang.
“Ya. Zoe.”
“Nero!”
Mereka melonjak. Matt tengah berlari dari koridor, mengenakan pakaian kantor formal yang dibalut dengan mantel. Bagaimana dia bisa tahu bahwa Nero ada di rumah sakit masih menjadi pertanyaan besar. Wajahnya tampak khawatir dan cemas. Tapi, begitu mendekati Nero yang berlumuran darah, pria itu langsung pucat pasi.
“A-apa itu darah?” Matt menjangkau tangan Nero. “Apa kau terluka? Apa kau baik-baik saja?”
“Dia tak apa-apa.” Niken menjawab. “Tapi Zoe terluka parah.”
“Zoe...” Matt bergumam. Seakan sudah menerima cukup informasi, Matt kembali mengalihkan perhatiannya pada Nero. Kedua tangannya menangkup pipi Nero, memaksa Nero melihat ke arahnya. “Nero, are you alright?”
Nero mengangguk dalam diam.
Everything is gonna be ok,” bisik Matt.
Nero berusaha tersenyum. “I know.” Kemudian dia memeluk Matt. “I‘m scared.”
Sssh. I know. I‘m here. You saved.” Matt mengangguk penuh pengertian, menepuk punggung Nero beberapa kali untuk menenangkannya, sambil mengusap kepalanya, dan mencium kepalanya. Tentu saja dia ketakutan. Wanita itu muncul dan menusuk Zoe. Matt nyaris tak percaya bahwa Nero tak terbunuh.
“Matt,” Jacob muncul, berjalan melewati kedua guru itu, seakan tak melihat mereka sama sekali. “Aku sudah menyelesaikan seluruh biaya rumah sakit. Aku juga sudah menghubungi polisi mengenai masalah ini. Mereka berjanji akan menemukan Deborah.”
“Tunggu sebentar!” Owen menghardik, menghampiri Jacob dengan wajah tak puas. “Aku punya hak untuk mengetahui apa yang terjadi di sini. Kau harus menjelaskan padaku apa yang terjadi.”
Jacob mengangguk. “Anda akan mendapatkan informasi, Kepala Sekolah Owen. Tapi nanti. Aku harus mengurus beberapa hal.” Dia kembali melihat Matt yang masih memeluk Nero, yang tak mau melepasnya. “Matt, kau harus membawa Nero pulang. Dia butuh istirahat yang cukup dan membersihkan diri. Malam ini terlalu berat untuknya.”
“Aku tak ingin nama Nero disebut-sebut dalam masalah ini.” Matt berkata dengan nada memerintah.
Jacob mengangguk.
“Aku juga tak mau para polisi itu meminta kesaksian dari Nero. Nero sudah cukup mengalaminya sekali. Tak perlu mengungkitnya lagi.”
“Aku mengerti.”
“Tapi Nero harus memberitahu seluruh hal yang dia ketahui,” Owen memotong. “Jika dia tak memberi kesaksian, apa yang akan dipakai Polisi terhadap kasus ini?”
“Dan diamkan Kepala Sekolah itu. Suaranya membuat kepalaku sakit!” bentak Matt jengkel. Dia tak mengacuhkan pelototan Owen karena Nero berjengit mendengar suaranya, sehingga Matt harus mengalihkan pandangan dan mencurahkan seluruh perhatiannya pada Nero.
“Tuan Yudea, apa Anda tahu seberapa seriusnya masalah ini? Seseorang baru saja ditusuk. Muridku. Dan kemudian yang satu lagi nyaris terbunuh. Nero nyaris dicekik. Dia muridku dan akan kupastikan polisi mencari wanita gila, yang kau bilang bernama Deborah itu.”
Matt mengeraskan rahang, melihat Owen karena saat Nero mendengar suara Owen yang berteriak, Nero berjengkit lagi, gemetar memeluknya semakin erat.
“Kau, Tuan, akan berurusan denganku bila kau tak menuruti apa yang kukatakan padamu,” geram Matt diantara gigi-giginya.
“Apa? Berani benar kau berkata seperti itu padaku?” Owen tak kalah garang. “Aku berkata seperti ini karena aku mencemaskan muridku dan tak ingin hal ini terulang!”
Jacob memotong saat Matt hendak membalas. “Matt, Nero butuh istirahat.”
Mata Matt berkilat berbahaya ketika memandang Owen. Tapi Matt tahu betul apa yang lebih penting hari ini. Begitu dia menoleh, kemarahannya menguap begitu cepat dan suaranya penuh kasih, berbicara pada Nero.
“Nak, kita pulang sekarang.”
Nero menggeleng. “Zoe. Aku tak mau meninggalkan Zoe.”
Kami akan menjaganya Vion berbicara, menatap Devon. “Masih ada waktu semalam sebelum malam kamping berakhir. “
“Aku juga tinggal.” Devon mengangguk. “Niken, kau pulang saja bersama mereka.”
Niken mengangguk.
“Matt, aku tak bisa menemanimu. Tapi, akan kupastikan untuk memberikan perkembangan masalah ini setiap saat.” Jacob tersenyum kecil padanya.
Matt mengangguk. Tersenyum penuh terimakasih padanya. Dia berbisik pada Nero, sepertinya mencoba membujuk Nero lagi, sampai Nero akhirnya setuju untuk bangkit.
Niken mengikuti dari belakang. Lalu masuk ke dalam mobil Marcedes milik Matt, yang berwarna hijau. Mereka bertiga berkendara dalam diam. Bahkan saat sampai ke rumah pun Matt dan Nero tak berkata apapun.
“Sampai besok,” kata Niken dan melambai kecil.
Matt mengangguk, dan mobil mereka masuk ke pekarangan. Matt membimbing Nero masuk ke kamarnya.
“Nak, Zoe akan baik-baik saja,” kata Matt mengusap rambutnya. “Ada Jacob yang menjaganya. Ada Nathan di sampingnya. Haruskah kubilang bahwa ada dua guru dan dua sahabatmu pula di sana?”
Nero menatapnya. “Kenapa Dad tak bilang kalau Zoe yatim piatu?”
Matt mendesah. “Itu karena Zoe tak ingin aku mengatakannya. Masalah keluarganya tak ada hubungannya dengan pekerjaannya.”
“Apa yang terjadi pada keluarganya?”
“Nero—” Matt berhenti, melihat tatapan Nero, dan mendesah lagi. “Ayahnya seorang agen. Mereka sedang liburan di Oklohama saat para pembunuh bayaran mendatangi mereka.”
“Lalu?” Nero mendesak lagi.
“Mereka terbunuh dalam baku tembak.” Matt mencoba mencari apa makna dari kilatan di mata Nero. Ketakutan? Cemas? Shock? Penasaran? Marah? “Ayah dan Kakak laki-laki Zoe tewas di tempat dalam insiden itu. Zoe dan Ibunya terluka parah. Mereka berhasil selamat.”
“Dan apa yang terjadi pada Ibunya?”
“Nero—”
“Apa yang terjadi, Dad?” Nero memaksa, mencengkram kerah baju Matt. “Beri tahu aku!”
“Dia bunuh diri,” bisik Matt. “Dia melompat dari lantai atas rumah sakit walau Zoe sudah berusaha menghentikannya.” Cengkraman Nero terlepas. “Dengar, Nak, aku tahu apa yang kau pikirkan,” kata Matt cepat. “Tapi ini bukan seperti itu. Zoe melakukan ini bukan karena dia ingin menyusul keluarganya. Dia mengambil tugas ini bukan karena itu. Dia tak memiliki prinsip seperti itu. Zoe itu punya gairah untuk hidup. Kau jangan berpikiran macam-macam.”
Nero berdiri. “Aku mau mandi.”
Matt menyisir rambutnya dengan jemari tangan, lalu menarik napas dalam-dalam. Dia ingat saat pertama kali bertemu Zoe. Anak itu mirip sekali dengan yang di foto. Wajah datar tanpa ekspresi, tidak banyak bicara, dan sopan sekali. Latar belakangnya sedikit bermasalah pada Matt tapi Zoe menenangkannya dengan “Jangan khawatir Mr Yudea. Saya orang yang berdedikasi.“
Kali kedua bertemu dengannya, ada emosi di wajahnya ketika memberitahunya bahwa Nero menghilang. Dan kali ketiga, di rumah Devon, Zoe jauh lebih hidup.
“Nero seorang Master yang menyenangkan Mr Yudea.”
“Bukan teman, tapi Master?”
Wajah Zoe merona. “Saya tak akan berani memanggilnya teman.”
“Sayang sekali, Nero selalu menyebutmu temannya, ah tidak, lebih dari itu, tapi sahabat.”
Dan Zoe tak bisa menyimpan kebahagiaan di wajahnya.
Matt, sejujurnya, menyukai anak itu. Dia teman yang baik bagi Nero. Tapi kemampuannya masih minim untuk menjaga Nero dari seorang wanita psikopat, yang pandai menyamar dan berkeliaran di sekitar Nero, seperti bayangan di kegelapan.
Lalu dia mendengarnya. Suara jeritan Nero. Perhatian Matt terpecah saat itu juga dari Zoe. Darah Matt membeku dalam sekejap.
“Nero!” Matt segera meraih pintu kamar mandi. “Nero, buka pintunya!”
“Aaargh!”
“Nero!” Matt mendobrak pintu. Persetan soal pintunya. Begitu pintu mengayun terbuka, dia melihat Nero terduduk di bathtub, dengan pakaian yang masih utuh, memeluk lututnya dengan tangan gemetar. Air meluncur turun dari shower membasahinya. Warna merah darah menetes-netes dari tangannya.
Nero menangis, memegangi kepalanya. Dia tak sekacau ini saat kematian Jennifer. Dia juga tak pernah menangis atau meneteskan air mata saat kematian Theressa. Tapi Zoe—
Matt memeluk Nero.
Nero frustasi, stress, marah dan kecewa. Pada dirinya sendiri. Karena setiap orang mengorbankan diri untuknya. Dan Matt tahu bahwa Nero membencinya.
Melihat putranya seperti ini membuat Matt merasakan ada sebuah gunung berapi besar dipaksa masuk ke dadanya. Dan itu sama sekali tak mendingin walau sudah dibanjiri shower. Meski dia memeluk Nero itu sama sekali tak membantu. Malah semakin dia memeluk Nero semakin gunung itu hendak meletus karena amarah.
***The Flower Boy Next Door***
Aku hanya duduk, melihat jendela kamar Nero yang tertutup sejak tiga jam lalu, dan sama sekali tak berniat melakukan apapun. Tapi aku masih bisa mendengar teriakan Nero di telingaku terus-terusan.
Nero sedang bersedih di seberang sana. Dan aku sama sekali tak bisa melakukan apapun. Rasanya benar-benar menyedihkan.
“Ada apa?”
Aku merasakan sentuhan kecil di bahuku. Ketika aku menoleh, aku melihat Abangku, tengah menatapku. Tangannya memegang bahuku. Perhatiannya terpusat padaku. Wajah yang biasanya selalu jahil itu, kini menjadi serius melihatnya tampak seperti Papaku.
Dan aku tanpa kusadari, aku memeluknya, kemudian menangis.
Abangku tak mengatakan apapun, seolah dia mengerti apa yang terjadi. Dia hanya memelukku, mengusap rambutku, dan mencium dahiku dengan sayang, yang rasanya sangat kubutuhkan saat ini. Dan bertahun-tahun kebersamaan kami, aku tahu bahwa Abangku ini tak seburuk tingkahnya. Dia luar biasa berpengaruh dalam hidupku.
Begitu aku bangun keesokan paginya, dia masih ada di sampingku, menjagaku dalam pelukannya. Jam berapa aku selesai menangis sampai ketiduran aku sama sekali tak tahu.
“Kau sudah bangun?” Ray menguap, menggeliat seperti kucing. Aku mengangguk. Matanya menatapku dengan kasih sayang. “Sudah lebih baik?”
“Sedikit.”
Dia tersenyum. “Akan kubawakan makanan untukmu.” Dia turun dari tempat tidur dengan ogah-ogahan. “Niken.”
“Hmmm?”
“Kau tahu kau bisa menceritakan apapun padaku kan?”
Aku mengerjap.
Dia mengecup dahiku. “Kau bisa mengandalkanku bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun karena aku abangmu. Aku akan mengerti. Kemudian, aku akan ada di depanmu untuk melindungimu.”
Aku berusaha tersenyum. Rasanya air mataku akan keluar lagi. “Terimakasih,” kataku parau.
Ray berjalan menuju pintu.
“Kau yang terbaik!” Aku berseru mengangkat kedua jempolku padanya.
Ray tertawa. “Udah pasti,” katanya dan keluar dari kamarku.
Aku menghela napas lega. Ini hari yang baru. Kulihat lagi jendela kamar Nero. Jendela itu masih tertutup. Apa dia masih tidur?
Aku meraih ponsel, hendak mengirimnya pesan, begitu aku melihat ada pesan yang belum dibuka.
Vi__on: Zoe sudah sadar. Dia baik-baik saja.
Pesan itu dikirim jam dua malam. Bibirku langsung tersenyum. Perasaanku langsung lega.
Ms. Genius: kau sudah dapat kabar? Zoe sudah sadar!
Jawabannya muncul tak lama.
Mr. Notion: ya
Ms Genius: kau ada dimana? Ayo kita lihat dia.
Mr Notion: bandara
Hatiku mencelos. Bandara? Apa maksudnya dengan bandara? Jari-jari tanganku gemetar begitu mengirim pesan yang baru.
Ms Genius: kau mau kemana?
Aku menunggu selama lima detik—yang rasanya bagai seabad—ketika Nero meneleponku, dan bukannya membalas pesan.
“N-Nero.”
“Niken,” suaranya terdengar lembut tapi juga lemah. “Kau sudah bangun?”
“Mau apa kau di bandara? Kau mau kemana? Kenapa kau tak mengatakan apapun?”
“Niken, kau pernah tanya apa yang sebenarnya terjadi kan?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan!”
“Aku melihat wanita itu membunuh Mom.”
Aku tercekat. “Apa?”
“Namanya Deborah. Dia mantan kekasih Dad saat masih SMA. Ketika Dad putus dengannya, wanita itu tak terima. Dan kau tahu apa yang dia lakukan setelahnya? Dia membunuh keluarga Dad. Satu per satu.”
“Nero, apa yang kau katakan?” suaraku gemetar.
“Dia pertama-tama membunuh Granpa. Polisi bilang itu hanya kecelakaan pesawat. Lalu dia membunuh Mother. Yang kata polisi hanya kecelakaan lalu lintas biasa. Kemudian dia membunuh Granma. Yang kata detekektif bilang karena kebakaran akibat arus pendek. Setelah itu dia membunuh Mom dalam aksi kecelakaan luar biasa.”
Mulutku kering. “Ya Tuhan...”
“Kemarin aku melihat Zoe tertusuk. Mungkin besok aku akan melihatmu mati di depanku.”
“Nero—”
“Niken, aku mencintaimu.”
Air mataku mengalir. “Aku tak percaya. Kalau kau benar-benar mencintaiku, katakan itu di depanku sekarang juga.”
Terdengar desahan napasnya di sana bergetar parau. “Fine,” bisiknya.
Aku mengerjap. Dia akan datang?
“Kalau kau tak percaya, maka biarlah,” bisiknya lagi. “Aku pergi.”
“N-Nero—”
Tut tut tut
Telepon seakan menempel selamanya di telingaku. Aku tak tahu berapa lama aku terpaku di tempat. Tak tahu harus berbuat apa. Nyawaku seakan diambil. Napasku seakan terenggut.  Seluruh rasaku menghilang. Kebahagiaan yang sempat menjalar karena Zoe selamat, musnah sudah.
Nero pergi.
Nero telah pergi.
Dan dia tak akan kembali.
Ponselku bergetar lagi. Ada pesan masuk.
Pesan itu dikirim untuk kami berempat dan aku menemukan diriku menangis membacanya.
Mr Notion to Ms Genius:
Niken, maafkan aku. Aku memilih untuk jadi pecundang, sampai-sampai tak bisa mengucapkan hal ini secara langsung padamu. Hari ini, aku akan pergi ke suatu tempat, yang aku tak tahu dimana. Tapi, yakinlah aku akan mencintaimu selamanya.
Kumohon, jangan menangis, karena aku pasti merasakannya. Jika suatu hari nanti kita bertemu, aku akan memberitahumu alasan kepergianku. Berbahagialah untukku. Jadilah Niken yang tegar, yang cuek, yang pemarah, dan yang membuatku jatuh cinta.
I love you. Sayonara.

Mr Notion to Me__Z:
You‘re my brother, my family, my best friend, and my super hore. You protected me well more than yours. I was happy. But I couldn‘t stay with you any longer. I don‘t wanna see you sacrifice for me again. Pleas,e be happy, please be cared, please be loved, for me ok?
Coz I know you don‘t deserve the bad.

Mr Notion to Vi__on:
Aku tahu kau akan meninjuku suatu hari nanti bila kau berhasil menemukanku, karena aku membuat Niken menangis. Aku pantas menerimanya. Kau satu-satunya orang yang kuhormati dan aku tak akan melanggarnya. Plis, jaga juniormu baik-baik. Mereka membutuhkanmu. Ah, dan hati-hati pada Devon bila kau berniat mengencani Gill.
Ps: Gill bilang dia suka coklat dan puisi romantis. Dan tolong hentikan aksi mereka untuk menguliti Bram. Dia tak bersalah.

Mr Notion to Mr Bad:
Devon, I am sorry, this stupid best friend of yours decided to leave you all alone, but promise me you‘ll still act good boy. I know who you are. You‘re the best gentlemen I ever met. You‘re the leader. You‘re the taiton. You‘re the Mother. I knew you‘d be loved. Please let Vion having a good time with Gill or Gill‘s gonna kill you and that‘s not cool to find you dead when we meet someday. And try to smilling more you have the charming killer smile ever.
Ps: Audrey asked me when will you kiss her. I have no idea why you didn‘t kiss her yet. Are you Davy?
***The Flower Boy Next Door***

1 komentar:

ney's opinion mengatakan...

Hua huhu..Nero pergi.. T.T
untungnya Nero dan Zoe gak mati..
peyuuuk Niken... *bearhug*

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.