Debaran Tiga Puluh Satu
Green House
Jacob melirik
Nero. Sejak Nero dia bawa keluar dari sekolah, dia sama sekali tak mengucapkan
sepatah kata pun. Matanya juga meredup dengan seketika. Tapi tangannya gemetar
perlahan. Dia bisa melihat bagaimana jemari Nero gemetaran dan ujung-ujung
jarinya memucat.
Walau belum
mengatakan apa-apa pada Nero—karena Matt melarangnya, Jacob merasa bahwa Nero tahu apa yang terjadi.
Jacob menutup
pintu mobil dan hendak masuk begitu melihat Zoe berlari ke arahnya. Anak Muda
itu tampak tidak begitu puas dan penuh tuntutan.
“Apa yang
terjadi?” bisiknya.
“Kembalilah ke
sekolah,” perintah Jacob.
“Bukankah aku bodyguard-nya? Aku seharusnya ada di
sampingnya. Kau tak berhak memisahkanku dengannya,” kata Zoe lagi.
“Matt memintaku
untuk tidak membawamu,” kata Jacob tegas. “Dengar, kembali ke sekolah dan kau
akan tahu apa yang terjadi. Aku sudah memberitahu pihak sekolah. Mereka akan
mengumumkannya tak lama lagi.”
“Mengumumkan apa?” Zoe penuh tuntutan.
“Kau akan tahu jika kau kembali,” desis
Jacob berbahaya. “Aku sangat buru-buru. Aku harus segera membawanya ke Jerman
sebelum pesawat kami berangkat.”
“Jerman?” desah
Zoe tak percaya. Tapi Jacob sama sekali tak berniat untuk meladeni Zoe. Dia
masuk ke dalam mobil, membanting pintu mobil dan menatap Nero dengan cemas.
Nero masih tidak
memberikan reaksi yang dia inginkan.
Oh, Tuhan… aku tak ingin melihat ini.
***The Flower
Boy Next Door***
Setengah jam
terasa begitu lama. Aku masih bisa memutar jelas dalam memoriku bagaimana Nero
berbalik, tidak menoleh pada kami sedikitpun dan mengikuti Jacob tanpa bantahan
dengan pandangan mata seolah mendapatkan cobaan hidup paling berat. Dan aku
sama sekali tak bisa berbuat apa-apa karena sibuk bertanya-tanya pada diri
sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi sekarang
tidak lagi.
“Kami baru
mendapat kabar bahwa orang tua perempuan dari teman kalian, Nero, meninggal
dunia akibat kecelakaan.”
Aku tak
mendengar Pak Alfon lagi. Berita itu berdengung di telingaku.
Jennifer
meninggal? Ini pasti bohong kan? Tak mungkin Jennifer meninggal. Wanita lembut
dan baik hati itu tak mungkin meninggal. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana
dia memperhatikan Nero seperti anak kandungnya sendiri walau Nero bukan
anaknya. Dia menyayangi Nero sepenuh hati. Memberikan seluruh cinta kasihnya
pada Nero. Memberikan pelukan keibuan pada Nero yang tak dimilikinya dari
wanita manapun.
Dan sekarang…
Dan sekarang
wanita itu pergi.
Air mataku
menetes. Aku shock, aku kaget, aku sedih, dan aku bahkan tak bisa memeluk Nero
untuk menenangkannya.
Sekarang aku
bisa mengerti kenapa Nero tampak begitu rapuh. Dia memiliki ikatan batin pada
Jennifer yang mengatakan bahwa ada suatu hal yang tak beres telah terjadi.
Nero… Nero… apa kau baik-baik saja?
***The Flower
Boy Next Door***
Matt menyisir
rambutnya dengan jemarinya. Stress.
Dia sedih. Dia
hancur. Dia capek. Dan dia akan menyeret Nero dalam masalahnya. Bahkan air
matanya tak bisa lagi mengalir turun begitu memikirkan Nero dan memikirkan
bagaimana cara memberitahu Nero apa yang terjadi. Rasanya itu seakan memberikan
kembali teror pada Nero.
Sekarang
janjinya seakan seperti perkataan kosong yang tak ada artinya.
Dia sama sekali
tak bisa memenuhi janji dimana tak ada seorang pun yang akan melukai Nero.
Saat dia
mendengar kabar bahwa Jennifer mengalami kecelakaan, jantungnya seakan berhenti
berdetak, apalagi saat mendengar bahwa Ageha juga berada dalam mobil yang sama.
Dia seakan tak menemukan kembali napasnya begitu mengetahui bahwa Jennifer tak
lagi bisa diselamatkan.
Tapi, Ageha,
putri kecilnya itu sekarang sedang mendapat perawatan di rumah sakit. Lukanya
tidak begitu parah, tapi dia butuh perawatan ekstra di rumah sakit. Dan demi
Tuhan, Ageha juga sama sekali tak tahu apa yang terjadi pada Jennifer.
Yang lebih buruk
dari semuanya adalah bahwa Nero… Nero akan jadi korban berikutnya.
“Jenni Sayang,
kenapa kau melakukan ini padaku?” gumam Matt, duduk di samping peti mati
Jennifer, menatap wajah Jennifer yang tertidur. “Kenapa kau meninggalkan Nero
dan Ageha? Kau sudah janji akan menjaga mereka. Jangan lakukan ini pada Nero
dan Ageha.”
“Matt.” Seseorang menepuk bahunya, meremas
bahunya. Matt mengadah, melihat Jo Nathan Yudea, Ayah dari Dirrel berdiri di
sampingnya. Mata birunya menatap langsung matanya, menguatkannya. Dirrel
berdiri di samping Ayahnya, matanya menatap lurus pada Jennifer.
“I though you’re going to Everst,” kata Matt
serak, berusaha tersenyum pada Dirrel.
Dirrel
mengangguk kecil, matanya tak lepas dari Jennifer. “I changed my mind. I guess Nero needs me here. She’s beauty,”
katanya, “and always be. She’s kind, yet
so charm.”
Matt merasa air
matanya akan turun lagi. Jo meremas bahunya. “Thank you, Dirrel.”
“Where’s Nero?” kata Jo pelan.
“He’ll be coming,” desah Matt.
“He’ll be alright,” kata Dirrel,
akhirnya menatap Matt dan tersenyum kecil. “I
know him well. He’s strong enough to deal with it.”
“Matt, just hug him and everything will be fine,” kata Jo lagi.
“I wish,” gumam Matt menatap Jennifer. “Nero loved her.”
“We do,” kata Jo lagi. “You have the greatest wife, don’t forget it.”
Kali ini Matt
benar-benar tersenyum. “Thank you,”
ucapnya sungguh-sungguh.
“He’s here,” ucap Dirrel dan Matt merasakan dirinya
menegang karena ketakutan.
Mereka semua
melihat sebuah mobil hitam berhenti di selasar. Jacob turun dan membuka pintu.
Nero keluar dengan tubuh tegap, masih mengenakan seragam yang entah berapa lama
dia kenakan. Wajahnya tanpa ekspresi.
Matt menahap
napas. Dia sama sekali tak ingin Nero melihat ini.
Nero
menyingkirkan tangan Jacob yang hendak menuntunnya dan berjalan sendiri.
Awalnya langkahnya panjang-panjang. Tapi semakin dekat, langkahnya semakin
lambat dan kecil. Para pelayat memilih untuk memberikan ruang padanya,
membiarkannya lewat.
“Nero,” kata Dirrel.
Nero mengangkat
tangan, tidak melihatnya sama sekali dan berjalan mendekati peti mati Jennifer.
Matt bisa
melihat bagaimana pucatnya wajah Nero. Di sekeliling matanya ada lingkaran
hitam yang menandakan bahwa Nero sama sekali tak tidur. Anak itu lelah, sama
sepertinya, dan Matt curiga bahwa Jacob membeberkan segalanya sebelum Nero
sampai.
“Nero,” kata
Matt.
“Minggir, Dad,”
gumamnya, menatap peti mati itu.
Matt menelan
ludah dan melangkah mundur, membiarkan Nero berjalan ke sisi peti untuk melihat
Jennifer lebih jelas.
Nero sekarang
berdiri di samping peti mati Jennifer, melihat langsung Jennifer yang tidur
dalam damai. Wajah Nero masih datar, tidak memberikan ekspresi, yang membuat
Matt merasa bahwa jantungnya seakan diperas. Tidak lagi. Dia tahu dan mengenal
ekspresi itu dengan baik.
“Nero,” Matt mencoba menyadarkannya karena Nero
terlalu lama terdiam sambil menatap Jennifer. Dia memegang bahu Nero yang tak
memberi respon padanya. “Nero.”
“Mom,” gumam Nero pada akhirnya. “Mom, I’m hungry.”
Matt membeku di
tempatnya, memandang Nero dengan tak percaya.
Nero
membungkukan badannya, jemarinya menyentuh pipi Jennifer. “Mom, wake up. It’s bright already.”
“Nero,” kata Matt dengan suara gemetar. “Nero, stop it.”
Tapi Nero sama
sekali tak berhenti. “Mom, wake up. I’m
hungry. Please wake up. Don’t leave me alone.”
Oh, tidak! Nathan, dimana dia saat dibutuhkan?
Matt panik
sekarang dan bukan hanya dia yang merasakan itu. Dirrel segera ke sebelahnya,
melingkarkan tangannya ke bahu Nero, berbisik pelan, “It’s ok, Nero. She’s tired. I’ll cook something for you.”
“No. I want hers.”
“Nero, listen to me,” kata Dirrel
tegas. “She’s sleeping now.”
Nero menoleh
pada Matt, wajahnya tampak terpukul. “Dad, bangunkan dia.”
Permintaan
sederhana, yang tak mungkin bisa dikabulkan Matt atau siapapun yang ada di muka
bumi ini. Matt merasakan matanya berkaca-kaca dan dia memeluk Nero, merasakan
anak muda itu menangis.
“Dad, bangunkan
dia!”
“Maaf, Nero.
Maafkan aku, aku tak bisa melakukannya.”
Nero berusaha
melepaskan diri. “Jika kau tak mau membangunkannya, akan kulakukan sendiri!”
“Nero, tenangkan
dirimu!”
Nero
mendorongnya kuat-kuat, membuat Matt jatuh, terdorong dua meter. Ekspresi Nero
tidak lagi datar, tapi panik, ketakutan dan histeris. Dia menunduk, mencoba
membangunkan Jennifer.
Nero sama sekali
tak sadar dengan apa yang terjadi.
“Mom, jangan
lakukan ini padaku. Bangun. Bangun! Aku mohon padamu!” kata Nero dengan suara
gemetar. Air matanya menetes turun membasahi wajah Jennifer.
“Nero,
hentikan,” Jacob mencoba menenangkannya, tapi pada akhirnya juga berakhir sama
dengan Matt. Nero mendorongnya menjauh sampai menabrak dinding.
“Mom, kau janji
akan terus bersamaku kan? Bagaimana mungkin kau melakukan ini padaku? Jangan
mati, Mom. Mom, bangunlah.”
Dirrel
menariknya menjauh.
“Lepaskan!” Nero
meraung marah.
Dirrel
meninjunya dengan sekuat tenaga, membuat Matt ternganga. Nero terhuyung-huyung,
menabrak dinding dan jatuh merosot.
“Dirrel!” Jo berteriak kaget. “What the hell are you doing?”
“I’m trying my best to make him stop acting stupid,” jawab Dirrel
pelan. “And now he’s sleeping.”
“Nero!” Nathan yang baru datang dan hanya
melihat separuh kejadian, terkaget melihat Nero tergeletak di lantai. Dia
melotot pada Dirrel, tapi pada akhirnya menghela napas. “Jeez, Dirrel thank you.”
“You’re welcome,” Dirrel tersenyum kecil.
Sekarang. Matt
hanya perlu menenangkan Nero di tempat lain dan sebisa mungkin membuat Nero
tidak kehilangan kewarasannya.
***The Flower
Boy Next Door***
Nero bangun lima
belas menit kemudian. Tampak muram tapi tidak mengatakan apa-apa. Nathan dan
Dirrel yang memang sengaja menungguinya menatapnya, memberikan pandangan
penyemangat untuknya, walau rasanya itu tak berguna.
“Hey, Buddy, what’s up?” kata Dirrel
tersenyum kecil padanya.
“Tired,” gumam Nero, memaksa dirinya untuk
bangkit. Dirrel dan Nathan tidak memaksanya. “I though you’re going to Everst.”
“Yeah. I was in the airport when they called me and
told me what happened.”
“I see,” gumam Nero, menatap lantai.
Dirrel menepuk
bahunya. “Nero—”
“Don’t say everything will be ok to me, coz it never
hapend.”
Bibir Dirrel
tersenyum dan menggeleng kecil. “No. What
I am trying to say is we are for you. You’re not alone and never.”
Nero akhirnya
bisa tersenyum. “You know you’re such a
prince, don’t you? How could you say something as sweet as that in this
situation?”
Dirrel terkekeh
kecil. “Well, I figured out that both
woman and men need such a sweet words sometimes,” katanya sambil memutar
bola matanya.
“Thanks, Man.”
“I gotta go. My Dad is going to scold me for the
punched.”
Dirrel bangkit, memberikan pelukan bersahabat pada Nero sambil menepuk
punggungnya kemudian keluar dari kamarnya. “And
I should tell Matt that you’re fine even your handsome face got some bruises.”
Nero melambai
kecil begitu Dirrel menutup pintu.
“Good kid,” kata Nathan. “He doesn’t deserve the poor things.”
“Apakah mereka
semua datang?” Nero bertanya. Nathan mengangguk dalam diam. “Kuharap aku tak
bertemu dengan mereka. Walau rasanya mustahil.”
Nathan
menatapnya. “Apa kau sudah tak apa-apa?”
“Pipiku masih
nyeri, tapi aku sudah tak apa-apa,” Nero menghela napas. “Bagaimana
kejadiannya?”
“Matt bilang
Jennifer mengalami kecelakaan saat berbelanja buah bersama Ageha. Mobil mereka
tertabrak dari arah berlawanan. Karena supir hendak menghindari yang terburuk,
mereka keluar jalur dan menabrak pohon.”
Nero jadi
mengingat satu hal. “Ageha bagaimana?”
“Dia baik-baik
saja. Terluka, tapi tidak parah. Hanya shock,” Nathan duduk di samping tempat
tidurnya, melihat Nero tampak lega mendengarnya. “Matt belum mengatakan apapun
pada Ageha mengenai Jennifer.”
“Aku tak tahu
apakah itu kabar baik atau kabar buruk,” gumam Nero.
“Kuberitahu
padamu, jangan menyimpan rahasia padanya,” Nathan menepuk bahunya. “Ageha
berhak untuk mengetahui apa yang terjadi. Dia memang masih kecil. Tapi aku tahu
dia kuat, sama sepertimu.”
“Thanks,
Nathan.”
“Aku akan
membiarkanmu sendiri. Ganti bajumu dan hadapi para tamumu,” Nathan berdiri,
memperbaiki jas-nya sedikit. “Aku akan menemani Matt di bawah. Kuharap dia tak
segera histeris.”
Nero hanya mampu
terdiam, melihat Nathan menutup pintu dan meninggalkannya sendirian di kamar.
Matanya menelusuri sekelilingnya dan menyadari bahwa kamarnya tak pernah
berubah walau sudah lama dia tak kemari. Perapian masih berada di dinding,
dengan lukisan kecil di atasnya, dilengkapi dengan pot-pot bunga apik,
foto-foto pigura kecil sebagai penghiasnya.
Karpet merah
besar terbentang di dekat kaki tempat tidurnya. Di atasnya ada sofa dan meja
kecil tempat dia bisa minum teh. Tak jauh dari sana ada jendela besar, ditutupi
gorden berwarna emas yang serasi dengan batu-batu merah dinding rumah mereka.
Lemari buku terbuat dari kayu jati besar, berwarna coklat, diletakan di samping
meja minum teh, terisi dengan buku-buku tua dan tebal. Televisi menggantung di
dekatnya, lengkap dengan peralatan pendukung.
Nero menatap
rumah masa kecilnya dalam diam, lalu beralih ke tangannya yang mulai gemetaran.
Rumah ini mengingatkannya akan Theressa. Dan itu sangat menyakitkan. Sekarang
rumah ini juga akan mengingatkannya pada Jennifer. Semakin buruk saja.
Perlahan-lahan,
Nero bangkit, masuk ke kamar mandi luas dengan bak mandi besar berwarna
porselain, tampak mewah dengan keran berwarna emas. Westafelnya juga licin,
bersih dan berkilau.
Nero menemukan
dirinya tampak mengerikan di depan cermin.
Memutuskan untuk
terlihat baik-baik saja, Nero memilih mandi dan menenangkan pikirannya. Setelah
dia merasa cukup tenang, dia mengenakan pakaian terbaiknya: sebuah jas berwarna
hitam untuk pemakaman.
Sekarang, dia
siap menghadapi para pelayat.
***The Flower
Boy Next Door***
Matt mengadah
melihat Nero turun dari kamarnya dan melangkah tegap melewati anak tangga.
Walau wajahnya tampak lelah dan kurang tidur, Nero tetap mampu menjaga ekspresi
wajahnya menjadi lebih tenang daripada satu jam yang lalu. Jas Nero tampak
nyaman dan pas di tubuhnya, dengan sepatu hitam, dasi hitam dengan pin putih di
dasinya. Ada saputangan kecil muncul dari celah kantung jasnya. Rambutnya sudah
disisir menyamping dengan sangat rapi sehingga dia tampak berbeda daripada
biasanya.
Nero menunjukan
bagaimana harus berhadapan dengan teman-teman Matt. Hal yang membuat Matt
bangga padanya karena tahu kondisi yang harus dia temui.
“Hai, Dad,”
sapanya tersenyum kecil begitu sampai ke sisi Matt.
Matt merasa air
matanya nyaris jatuh lagi melihat bagaimana Nero mampu bertahan setelah
guncangan hebat. “Hai, Nak. Kau tampak keren.”
Bibir Nero
tersenyum kecil. “Aku memang keren.”
Matt tertawa
kecil. “I’m sorry.”
“It’s ok. It’s not your fault,” Nero menepuk
tangannya, tersenyum menyemangatinya. Dia menarik napas ketika beberapa orang
mendekat, memberikan ucapan turut berbelasungkawa. Beberapa di antara mereka
dikenali Matt sebagai teman-teman dan koleganya. Yang lain adalah anggota
keluarga Yudea. Matt kadang-kadang mengawasi Nero dan cemas tiap kali ada orang
yang menyebut-nyebut soal Theressa pada Nero sambil ikut-ikutan menangis
mengingat masa suram itu.
Otot-otot di
sekeliling rahang Nero berkedut-kedut, tapi dia berhasil membuat sebuah
senyuman kecil dan ucapan terimakasih yang singkat dengan nada halus.
Dan sesuatu terjadi
begitu cepat dan tanpa terduga begitu melihat seorang pria berjalan mendekati
Nero. Pria itu berambut hitam, tinggi, tampak luwes ketika berjalan mendekati
Nero, menjabat tangan Nero dengan penuh prihatin. Dia Ayah Ageha, Coline White,
mantan suaminya Jennifer.
“Excuse me, I think I—” Matt tidak
melanjutkan kata-katanya dan berjalan cepat mendekati Nero, meninggalkan dua
koleganya yang mencoba berbicara padanya.
“You what?” kata Nero tampak terkejut dengan apapun
itu yang dikatakan Coline padanya.
“I’m going to take Ageha with me.” Coline
mengulang dengan nada lambat sehingga tak mungkin bagi Nero atau Matt tidak
mendengarnya. Termasuk Nathan dan Dirrel yang ada beberapa meter dari tempat
mereka.
“Coline,” Matt berdiri di samping Nero. “What the hell are you talking about?”
Coline menatap
Matt dengan tenang dan tersenyum kecil penuh pengertian. “You know what I’m talking about, Matt,” katanya tenang. Dia
menatap Nero dengan muram. “I’m her
father. His biological father. And she’s my daughter.”
“She’s my daughter too,” bisik Matt
tajam. Beraninya dia membicarakan masalah ini pada saat seperti ini. Matt
menatap Nero dengan hati-hati. Sekali lagi, Matt bisa melihat bagaimana
putranya itu terluka dengan apa yang ada di hadapannya.
“Matt, please,” suara Coline terdengar lembut.
Dia tak ingin menyakiti Nero. Matt tahu itu, tapi—tapi… tetap saja Matt ingin
meninjunya sekarang. “I gave Ageha to you
coz she was with her mother. And after Jennifer passed away, I think it’s my
responsibility to take care of her, like the father always do.”
“We’re not going to talk about this now,” geram Matt,
mengalungkan tangannya ke bahu Nero. “Come
on, Nero.”
“Nero,” kata Coline, memegang tangan Nero. “Please, Nero, help me.”
Matt
menyingkirkan tangan Coline. “It has
nothing to do with my son.” Matt memperingatkan pada Coline. “Step back or I swear you’ll regret
everything you did. Come on, Nero.”
Tapi dia tidak
bergerak.
“Nero, come on.” Matt berkata frustasi.
“Dad, he’s right,” kata Nero dengan suara parau.
“Nero…”
Nero menyingkirkan
tangan Matt dan menghadapi Coline.
“Don’t worry, Coline. You’ll never be getting apart
with your daughter. I promise.” Nero menatapnya, berusaha tersenyum. “But you should’ve let me stay at your place
once in a while.”
Coline
tersenyum, matanya tampak berkaca-kaca. “Everytime
you want, Nero. Mine is yours. Ageha is your sister, and she’s really lucky to
have you as her big brother.”
Nero tersenyum
kecil dan Coline memeluknya.
“I’m sorry and thank you,” bisik Coline.
Matt hanya mampu
melihat bagaimana Nero sekali lagi harus sendirian. Keluarga yang berusaha dia
bangun sekarang musnah hanya dengan sebuah kecelakaan mobil. Jennifer tak ada.
Dan sekarang Ageha juga dibawa pergi. Bahkan Nero sama sekali tak berniat
mempertahankan sesuatu yang seharusnya menjadi milikinya.
Coline
memberikan ciuman singkat di dahi Nero lalu berjalan ke dekat Matt.
“Don’t say anything,” kata Matt saat
Coline menarik napas.
“You know how it feels, Matt.” Coline
mengangguk penuh pengertian.
Matt menarik
napas. Benar. Dia juga tak akan pernah mau berpisah dengan Nero karena dia tahu
bagaimana rasanya. Bahkan berpisah dengan Nero sebentar saja saat dia harus
mengurus pekerjaannya terasa begitu sulit. Dia merindukan Nero dan ingin
cepat-cepat bertemu dengannya. Hal yang dirasakan Coline untuk Ageha.
“Yeah. I’m sorry.”
***The Flower
Boy Next Door***
Bach - Well Tempered Clavier Prelude di C Major
Matt tak tahu
mengapa, tapi Nero memainkan lagu itu untuk ucapan selamat tinggal pada
Jennifer di upacara pemakaman. Lagu itu tak cocok untuk pemakaman, terlalu
mendamaikan, terlalu lembut, terlalu menyenangkan.
Nero menyentuh
tut tuts dengan lembut, memainkan melodi yang mengayun di udara. Ageha ada di
sampingnya, mendengarkan dengan sepenuh hati. Gadis kecil itu mengenakan gaun
hitam berenda putih dengan rok yang menjuntai-juntai. Matanya berkaca-kaca tiap
kali melihat Nero, tapi dia tak mengatakan apapun.
Begitu Nero
menyelesaikan permainannya, Ageha memeluk pinggangnya, menangis tersedu-sedu.
Nero balas memeluknya, mengelus punggungnya dengan sayang, sebelum akhirnya
menggendong Ageha.
Upacara
pemakaman berjalan dalam keheningan dan tangis dari beberapa orang. Tapi Nero
tidak. Dia menggendong Ageha erat-erat seakan menguatkan dirinya bahwa semua
dalam kendali. Begitu peti mati diturunkan, Matt meremas bahu Nero. Dia tak
tahan melihat isterinya akan tidur untuk selamanya di dalam sana setelah hal
yang mereka lalui berdua.
“Mommy,” Ageha terisak-isak, memeluk leher Nero.
“It’s ok, sweety,” bisik Nero di telinga Ageha. “You have us.”
Ageha mengangguk
kecil, menatap nanar ke makam Jennifer.
Begitu upacara
pemakaman selesai, Matt masih belum lega. Coline menunggu Ageha di depan pintu
pemakaman. Mereka sudah membicarakan ini pada Ageha. Dan Ageha setuju untuk
ikut Coline, walau dengan sangat berat hati.
“Baby, listen to me,” bisik Nero. “You’re and always my cute little sister,
kay?”
Ageha
mengangguk. Nero mencium dahinya dan memberikannya pada Coline.
“Thank you, Nero.” Coline tersenyum, memberikan
ciuman kecil ke dahinya. “Come over to
Chicago, I’ll be happy to serve you.”
“Sure,” Nero mengangguk kecil.
“And Matt,” Coline mengulurkan tangannya. Matt
menjabat tangannya. “Thank you for
everything you did. You’re really the great Dad that I ever known.”
“Thanks,” gumam Matt.
Mereka berdua
masuk ke dalam mobil. Matt merangkul bahu Nero, menatap lurus pada mobil
mereka. Ageha berbalik ke belakang. Kedua tangannya yang mungil memegang
jendela, air matanya bercucuran ke pipinya yang putih dan gemuk.
“Abang,” katanya
begitu mobil mereka berjalan. “Abang! Abang! ABANG!”
“It’s ok, Darling!” teriak Nero
dengan suara serak. “You’ll be fine.”
“Abang, I love you!” teriak Ageha
lagi.
“Love you too,” gumam Nero tak lagi mampu
menahan air matanya.
“It’s ok, Nero. I’m here,” gumam Matt
memeluk Nero. “I’m here for you.”
Dunia Nero tak
lagi sama.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar