RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 25 Mei 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Satu)


Debaran Tiga Puluh Satu
Green House

Jacob melirik Nero. Sejak Nero dia bawa keluar dari sekolah, dia sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya juga meredup dengan seketika. Tapi tangannya gemetar perlahan. Dia bisa melihat bagaimana jemari Nero gemetaran dan ujung-ujung jarinya memucat.
Walau belum mengatakan apa-apa pada Nero—karena Matt melarangnya, Jacob merasa bahwa Nero tahu apa yang terjadi.
Jacob menutup pintu mobil dan hendak masuk begitu melihat Zoe berlari ke arahnya. Anak Muda itu tampak tidak begitu puas dan penuh tuntutan.
“Apa yang terjadi?” bisiknya.
“Kembalilah ke sekolah,” perintah Jacob.
“Bukankah aku bodyguard-nya? Aku seharusnya ada di sampingnya. Kau tak berhak memisahkanku dengannya,” kata Zoe lagi.
“Matt memintaku untuk tidak membawamu,” kata Jacob tegas. “Dengar, kembali ke sekolah dan kau akan tahu apa yang terjadi. Aku sudah memberitahu pihak sekolah. Mereka akan mengumumkannya tak lama lagi.”
“Mengumumkan apa?” Zoe penuh tuntutan.
Kau akan tahu jika kau kembali,” desis Jacob berbahaya. “Aku sangat buru-buru. Aku harus segera membawanya ke Jerman sebelum pesawat kami berangkat.”
“Jerman?” desah Zoe tak percaya. Tapi Jacob sama sekali tak berniat untuk meladeni Zoe. Dia masuk ke dalam mobil, membanting pintu mobil dan menatap Nero dengan cemas.
Nero masih tidak memberikan reaksi yang dia inginkan.
Oh, Tuhan… aku tak ingin melihat ini.
***The Flower Boy Next Door***
Setengah jam terasa begitu lama. Aku masih bisa memutar jelas dalam memoriku bagaimana Nero berbalik, tidak menoleh pada kami sedikitpun dan mengikuti Jacob tanpa bantahan dengan pandangan mata seolah mendapatkan cobaan hidup paling berat. Dan aku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa karena sibuk bertanya-tanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi sekarang tidak lagi.
“Kami baru mendapat kabar bahwa orang tua perempuan dari teman kalian, Nero, meninggal dunia akibat kecelakaan.”
Aku tak mendengar Pak Alfon lagi. Berita itu berdengung di telingaku.
Jennifer meninggal? Ini pasti bohong kan? Tak mungkin Jennifer meninggal. Wanita lembut dan baik hati itu tak mungkin meninggal. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana dia memperhatikan Nero seperti anak kandungnya sendiri walau Nero bukan anaknya. Dia menyayangi Nero sepenuh hati. Memberikan seluruh cinta kasihnya pada Nero. Memberikan pelukan keibuan pada Nero yang tak dimilikinya dari wanita manapun.
Dan sekarang…
Dan sekarang wanita itu pergi.
Air mataku menetes. Aku shock, aku kaget, aku sedih, dan aku bahkan tak bisa memeluk Nero untuk menenangkannya.
Sekarang aku bisa mengerti kenapa Nero tampak begitu rapuh. Dia memiliki ikatan batin pada Jennifer yang mengatakan bahwa ada suatu hal yang tak beres telah terjadi.
Nero… Nero… apa kau baik-baik saja?
***The Flower Boy Next Door***
Matt menyisir rambutnya dengan jemarinya. Stress.
Dia sedih. Dia hancur. Dia capek. Dan dia akan menyeret Nero dalam masalahnya. Bahkan air matanya tak bisa lagi mengalir turun begitu memikirkan Nero dan memikirkan bagaimana cara memberitahu Nero apa yang terjadi. Rasanya itu seakan memberikan kembali teror pada Nero.
Sekarang janjinya seakan seperti perkataan kosong yang tak ada artinya.
Dia sama sekali tak bisa memenuhi janji dimana tak ada seorang pun yang akan melukai Nero.
Saat dia mendengar kabar bahwa Jennifer mengalami kecelakaan, jantungnya seakan berhenti berdetak, apalagi saat mendengar bahwa Ageha juga berada dalam mobil yang sama. Dia seakan tak menemukan kembali napasnya begitu mengetahui bahwa Jennifer tak lagi bisa diselamatkan.
Tapi, Ageha, putri kecilnya itu sekarang sedang mendapat perawatan di rumah sakit. Lukanya tidak begitu parah, tapi dia butuh perawatan ekstra di rumah sakit. Dan demi Tuhan, Ageha juga sama sekali tak tahu apa yang terjadi pada Jennifer.
Yang lebih buruk dari semuanya adalah bahwa Nero… Nero akan jadi korban berikutnya.
“Jenni Sayang, kenapa kau melakukan ini padaku?” gumam Matt, duduk di samping peti mati Jennifer, menatap wajah Jennifer yang tertidur. “Kenapa kau meninggalkan Nero dan Ageha? Kau sudah janji akan menjaga mereka. Jangan lakukan ini pada Nero dan Ageha.”
“Matt.” Seseorang menepuk bahunya, meremas bahunya. Matt mengadah, melihat Jo Nathan Yudea, Ayah dari Dirrel berdiri di sampingnya. Mata birunya menatap langsung matanya, menguatkannya. Dirrel berdiri di samping Ayahnya, matanya menatap lurus pada Jennifer.
“I though you’re going to Everst,” kata Matt serak, berusaha tersenyum pada Dirrel.
Dirrel mengangguk kecil, matanya tak lepas dari Jennifer. “I changed my mind. I guess Nero needs me here. She’s beauty,” katanya, “and always be. She’s kind, yet so charm.”
Matt merasa air matanya akan turun lagi. Jo meremas bahunya. “Thank you, Dirrel.”
“Where’s Nero?” kata Jo pelan.
“He’ll be coming,” desah Matt.
“He’ll be alright,” kata Dirrel, akhirnya menatap Matt dan tersenyum kecil. “I know him well. He’s strong enough to deal with it.”
“Matt, just hug him and everything will be fine,” kata Jo lagi.
“I wish,” gumam Matt menatap Jennifer. “Nero loved her.”
“We do,” kata Jo lagi. “You have the greatest wife, don’t forget it.”
Kali ini Matt benar-benar tersenyum. “Thank you,” ucapnya sungguh-sungguh.
“He’s here,” ucap Dirrel dan Matt merasakan dirinya menegang karena ketakutan.
Mereka semua melihat sebuah mobil hitam berhenti di selasar. Jacob turun dan membuka pintu. Nero keluar dengan tubuh tegap, masih mengenakan seragam yang entah berapa lama dia kenakan. Wajahnya tanpa ekspresi.
Matt menahap napas. Dia sama sekali tak ingin Nero melihat ini.
Nero menyingkirkan tangan Jacob yang hendak menuntunnya dan berjalan sendiri. Awalnya langkahnya panjang-panjang. Tapi semakin dekat, langkahnya semakin lambat dan kecil. Para pelayat memilih untuk memberikan ruang padanya, membiarkannya lewat.
“Nero,” kata Dirrel.
Nero mengangkat tangan, tidak melihatnya sama sekali dan berjalan mendekati peti mati Jennifer.
Matt bisa melihat bagaimana pucatnya wajah Nero. Di sekeliling matanya ada lingkaran hitam yang menandakan bahwa Nero sama sekali tak tidur. Anak itu lelah, sama sepertinya, dan Matt curiga bahwa Jacob membeberkan segalanya sebelum Nero sampai.
“Nero,” kata Matt.
“Minggir, Dad,” gumamnya, menatap peti mati itu.
Matt menelan ludah dan melangkah mundur, membiarkan Nero berjalan ke sisi peti untuk melihat Jennifer lebih jelas.
Nero sekarang berdiri di samping peti mati Jennifer, melihat langsung Jennifer yang tidur dalam damai. Wajah Nero masih datar, tidak memberikan ekspresi, yang membuat Matt merasa bahwa jantungnya seakan diperas. Tidak lagi. Dia tahu dan mengenal ekspresi itu dengan baik.
“Nero,” Matt mencoba menyadarkannya karena Nero terlalu lama terdiam sambil menatap Jennifer. Dia memegang bahu Nero yang tak memberi respon padanya. “Nero.”
“Mom,” gumam Nero pada akhirnya. “Mom, I’m hungry.”
Matt membeku di tempatnya, memandang Nero dengan tak percaya.
Nero membungkukan badannya, jemarinya menyentuh pipi Jennifer. “Mom, wake up. It’s bright already.”
“Nero,” kata Matt dengan suara gemetar. “Nero, stop it.”
Tapi Nero sama sekali tak berhenti. “Mom, wake up. I’m hungry. Please wake up. Don’t leave me alone.”
Oh, tidak! Nathan, dimana dia saat dibutuhkan?
Matt panik sekarang dan bukan hanya dia yang merasakan itu. Dirrel segera ke sebelahnya, melingkarkan tangannya ke bahu Nero, berbisik pelan, “It’s ok, Nero. She’s tired. I’ll cook something for you.”
“No. I want hers.”
“Nero, listen to me,” kata Dirrel tegas. “She’s sleeping now.”
Nero menoleh pada Matt, wajahnya tampak terpukul. “Dad, bangunkan dia.”
Permintaan sederhana, yang tak mungkin bisa dikabulkan Matt atau siapapun yang ada di muka bumi ini. Matt merasakan matanya berkaca-kaca dan dia memeluk Nero, merasakan anak muda itu menangis.
“Dad, bangunkan dia!”
“Maaf, Nero. Maafkan aku, aku tak bisa melakukannya.”
Nero berusaha melepaskan diri. “Jika kau tak mau membangunkannya, akan kulakukan sendiri!”
“Nero, tenangkan dirimu!”
Nero mendorongnya kuat-kuat, membuat Matt jatuh, terdorong dua meter. Ekspresi Nero tidak lagi datar, tapi panik, ketakutan dan histeris. Dia menunduk, mencoba membangunkan Jennifer.
Nero sama sekali tak sadar dengan apa yang terjadi.
“Mom, jangan lakukan ini padaku. Bangun. Bangun! Aku mohon padamu!” kata Nero dengan suara gemetar. Air matanya menetes turun membasahi wajah Jennifer.
“Nero, hentikan,” Jacob mencoba menenangkannya, tapi pada akhirnya juga berakhir sama dengan Matt. Nero mendorongnya menjauh sampai menabrak dinding.
“Mom, kau janji akan terus bersamaku kan? Bagaimana mungkin kau melakukan ini padaku? Jangan mati, Mom. Mom, bangunlah.”
Dirrel menariknya menjauh.
“Lepaskan!” Nero meraung marah.
Dirrel meninjunya dengan sekuat tenaga, membuat Matt ternganga. Nero terhuyung-huyung, menabrak dinding dan jatuh merosot.
“Dirrel!” Jo berteriak kaget. “What the hell are you doing?”
“I’m trying my best to make him stop acting stupid,” jawab Dirrel pelan. “And now he’s sleeping.”
“Nero!” Nathan yang baru datang dan hanya melihat separuh kejadian, terkaget melihat Nero tergeletak di lantai. Dia melotot pada Dirrel, tapi pada akhirnya menghela napas. “Jeez, Dirrel thank you.”
“You’re welcome,” Dirrel tersenyum kecil.
Sekarang. Matt hanya perlu menenangkan Nero di tempat lain dan sebisa mungkin membuat Nero tidak kehilangan kewarasannya.
***The Flower Boy Next Door***
Nero bangun lima belas menit kemudian. Tampak muram tapi tidak mengatakan apa-apa. Nathan dan Dirrel yang memang sengaja menungguinya menatapnya, memberikan pandangan penyemangat untuknya, walau rasanya itu tak berguna.
“Hey, Buddy, what’s up?” kata Dirrel tersenyum kecil padanya.
“Tired,” gumam Nero, memaksa dirinya untuk bangkit. Dirrel dan Nathan tidak memaksanya. “I though you’re going to Everst.”
“Yeah. I was in the airport when they called me and told me what happened.”
“I see,” gumam Nero, menatap lantai.
Dirrel menepuk bahunya. “Nero—”
“Don’t say everything will be ok to me, coz it never hapend.”
Bibir Dirrel tersenyum dan menggeleng kecil. “No. What I am trying to say is we are for you. You’re not alone and never.”
Nero akhirnya bisa tersenyum. “You know you’re such a prince, don’t you? How could you say something as sweet as that in this situation?”
Dirrel terkekeh kecil. “Well, I figured out that both woman and men need such a sweet words sometimes,” katanya sambil memutar bola matanya.
“Thanks, Man.”
“I gotta go. My Dad is going to scold me for the punched.” Dirrel bangkit, memberikan pelukan bersahabat pada Nero sambil menepuk punggungnya kemudian keluar dari kamarnya. “And I should tell Matt that you’re fine even your handsome face got some bruises.”
Nero melambai kecil begitu Dirrel menutup pintu.
“Good kid,” kata Nathan. “He doesn’t deserve the poor things.”
“Apakah mereka semua datang?” Nero bertanya. Nathan mengangguk dalam diam. “Kuharap aku tak bertemu dengan mereka. Walau rasanya mustahil.”
Nathan menatapnya. “Apa kau sudah tak apa-apa?”
“Pipiku masih nyeri, tapi aku sudah tak apa-apa,” Nero menghela napas. “Bagaimana kejadiannya?”
“Matt bilang Jennifer mengalami kecelakaan saat berbelanja buah bersama Ageha. Mobil mereka tertabrak dari arah berlawanan. Karena supir hendak menghindari yang terburuk, mereka keluar jalur dan menabrak pohon.”
Nero jadi mengingat satu hal. “Ageha bagaimana?”
“Dia baik-baik saja. Terluka, tapi tidak parah. Hanya shock,” Nathan duduk di samping tempat tidurnya, melihat Nero tampak lega mendengarnya. “Matt belum mengatakan apapun pada Ageha mengenai Jennifer.”
“Aku tak tahu apakah itu kabar baik atau kabar buruk,” gumam Nero.
“Kuberitahu padamu, jangan menyimpan rahasia padanya,” Nathan menepuk bahunya. “Ageha berhak untuk mengetahui apa yang terjadi. Dia memang masih kecil. Tapi aku tahu dia kuat, sama sepertimu.”
“Thanks, Nathan.”
“Aku akan membiarkanmu sendiri. Ganti bajumu dan hadapi para tamumu,” Nathan berdiri, memperbaiki jas-nya sedikit. “Aku akan menemani Matt di bawah. Kuharap dia tak segera histeris.”
Nero hanya mampu terdiam, melihat Nathan menutup pintu dan meninggalkannya sendirian di kamar. Matanya menelusuri sekelilingnya dan menyadari bahwa kamarnya tak pernah berubah walau sudah lama dia tak kemari. Perapian masih berada di dinding, dengan lukisan kecil di atasnya, dilengkapi dengan pot-pot bunga apik, foto-foto pigura kecil sebagai penghiasnya.
Karpet merah besar terbentang di dekat kaki tempat tidurnya. Di atasnya ada sofa dan meja kecil tempat dia bisa minum teh. Tak jauh dari sana ada jendela besar, ditutupi gorden berwarna emas yang serasi dengan batu-batu merah dinding rumah mereka. Lemari buku terbuat dari kayu jati besar, berwarna coklat, diletakan di samping meja minum teh, terisi dengan buku-buku tua dan tebal. Televisi menggantung di dekatnya, lengkap dengan peralatan pendukung.
Nero menatap rumah masa kecilnya dalam diam, lalu beralih ke tangannya yang mulai gemetaran. Rumah ini mengingatkannya akan Theressa. Dan itu sangat menyakitkan. Sekarang rumah ini juga akan mengingatkannya pada Jennifer. Semakin buruk saja.
Perlahan-lahan, Nero bangkit, masuk ke kamar mandi luas dengan bak mandi besar berwarna porselain, tampak mewah dengan keran berwarna emas. Westafelnya juga licin, bersih dan berkilau.
Nero menemukan dirinya tampak mengerikan di depan cermin.
Memutuskan untuk terlihat baik-baik saja, Nero memilih mandi dan menenangkan pikirannya. Setelah dia merasa cukup tenang, dia mengenakan pakaian terbaiknya: sebuah jas berwarna hitam untuk pemakaman.
Sekarang, dia siap menghadapi para pelayat.
***The Flower Boy Next Door***
Matt mengadah melihat Nero turun dari kamarnya dan melangkah tegap melewati anak tangga. Walau wajahnya tampak lelah dan kurang tidur, Nero tetap mampu menjaga ekspresi wajahnya menjadi lebih tenang daripada satu jam yang lalu. Jas Nero tampak nyaman dan pas di tubuhnya, dengan sepatu hitam, dasi hitam dengan pin putih di dasinya. Ada saputangan kecil muncul dari celah kantung jasnya. Rambutnya sudah disisir menyamping dengan sangat rapi sehingga dia tampak berbeda daripada biasanya.
Nero menunjukan bagaimana harus berhadapan dengan teman-teman Matt. Hal yang membuat Matt bangga padanya karena tahu kondisi yang harus dia temui.
“Hai, Dad,” sapanya tersenyum kecil begitu sampai ke sisi Matt.
Matt merasa air matanya nyaris jatuh lagi melihat bagaimana Nero mampu bertahan setelah guncangan hebat. “Hai, Nak. Kau tampak keren.”
Bibir Nero tersenyum kecil. “Aku memang keren.”
Matt tertawa kecil. “I’m sorry.”
“It’s ok. It’s not your fault,” Nero menepuk tangannya, tersenyum menyemangatinya. Dia menarik napas ketika beberapa orang mendekat, memberikan ucapan turut berbelasungkawa. Beberapa di antara mereka dikenali Matt sebagai teman-teman dan koleganya. Yang lain adalah anggota keluarga Yudea. Matt kadang-kadang mengawasi Nero dan cemas tiap kali ada orang yang menyebut-nyebut soal Theressa pada Nero sambil ikut-ikutan menangis mengingat masa suram itu.
Otot-otot di sekeliling rahang Nero berkedut-kedut, tapi dia berhasil membuat sebuah senyuman kecil dan ucapan terimakasih yang singkat dengan nada halus.
Dan sesuatu terjadi begitu cepat dan tanpa terduga begitu melihat seorang pria berjalan mendekati Nero. Pria itu berambut hitam, tinggi, tampak luwes ketika berjalan mendekati Nero, menjabat tangan Nero dengan penuh prihatin. Dia Ayah Ageha, Coline White, mantan suaminya Jennifer.
“Excuse me, I think I—” Matt tidak melanjutkan kata-katanya dan berjalan cepat mendekati Nero, meninggalkan dua koleganya yang mencoba berbicara padanya.
“You what?” kata Nero tampak terkejut dengan apapun itu yang dikatakan Coline padanya.
“I’m going to take Ageha with me.” Coline mengulang dengan nada lambat sehingga tak mungkin bagi Nero atau Matt tidak mendengarnya. Termasuk Nathan dan Dirrel yang ada beberapa meter dari tempat mereka.
“Coline,” Matt berdiri di samping Nero. “What the hell are you talking about?”
Coline menatap Matt dengan tenang dan tersenyum kecil penuh pengertian. “You know what I’m talking about, Matt,” katanya tenang. Dia menatap Nero dengan muram. “I’m her father. His biological father. And she’s my daughter.”
“She’s my daughter too,” bisik Matt tajam. Beraninya dia membicarakan masalah ini pada saat seperti ini. Matt menatap Nero dengan hati-hati. Sekali lagi, Matt bisa melihat bagaimana putranya itu terluka dengan apa yang ada di hadapannya.
“Matt, please,” suara Coline terdengar lembut. Dia tak ingin menyakiti Nero. Matt tahu itu, tapi—tapi… tetap saja Matt ingin meninjunya sekarang. “I gave Ageha to you coz she was with her mother. And after Jennifer passed away, I think it’s my responsibility to take care of her, like the father always do.”
“We’re not going to talk about this now,” geram Matt, mengalungkan tangannya ke bahu Nero. “Come on, Nero.”
“Nero,” kata Coline, memegang tangan Nero. “Please, Nero, help me.”
Matt menyingkirkan tangan Coline. “It has nothing to do with my son.” Matt memperingatkan pada Coline. “Step back or I swear you’ll regret everything you did. Come on, Nero.”
Tapi dia tidak bergerak.
“Nero, come on.” Matt berkata frustasi.
“Dad, he’s right,” kata Nero dengan suara parau.
“Nero…”
Nero menyingkirkan tangan Matt dan menghadapi Coline.
“Don’t worry, Coline. You’ll never be getting apart with your daughter. I promise.” Nero menatapnya, berusaha tersenyum. “But you should’ve let me stay at your place once in a while.”
Coline tersenyum, matanya tampak berkaca-kaca. “Everytime you want, Nero. Mine is yours. Ageha is your sister, and she’s really lucky to have you as her big brother.”
Nero tersenyum kecil dan Coline memeluknya.
“I’m sorry and thank you,” bisik Coline.
Matt hanya mampu melihat bagaimana Nero sekali lagi harus sendirian. Keluarga yang berusaha dia bangun sekarang musnah hanya dengan sebuah kecelakaan mobil. Jennifer tak ada. Dan sekarang Ageha juga dibawa pergi. Bahkan Nero sama sekali tak berniat mempertahankan sesuatu yang seharusnya menjadi milikinya.
Coline memberikan ciuman singkat di dahi Nero lalu berjalan ke dekat Matt.
“Don’t say anything,” kata Matt saat Coline menarik napas.
“You know how it feels, Matt.” Coline mengangguk penuh pengertian.
Matt menarik napas. Benar. Dia juga tak akan pernah mau berpisah dengan Nero karena dia tahu bagaimana rasanya. Bahkan berpisah dengan Nero sebentar saja saat dia harus mengurus pekerjaannya terasa begitu sulit. Dia merindukan Nero dan ingin cepat-cepat bertemu dengannya. Hal yang dirasakan Coline untuk Ageha.
“Yeah. I’m sorry.”
***The Flower Boy Next Door***
Bach - Well Tempered Clavier Prelude di C Major
Matt tak tahu mengapa, tapi Nero memainkan lagu itu untuk ucapan selamat tinggal pada Jennifer di upacara pemakaman. Lagu itu tak cocok untuk pemakaman, terlalu mendamaikan, terlalu lembut, terlalu menyenangkan.
Nero menyentuh tut tuts dengan lembut, memainkan melodi yang mengayun di udara. Ageha ada di sampingnya, mendengarkan dengan sepenuh hati. Gadis kecil itu mengenakan gaun hitam berenda putih dengan rok yang menjuntai-juntai. Matanya berkaca-kaca tiap kali melihat Nero, tapi dia tak mengatakan apapun.
Begitu Nero menyelesaikan permainannya, Ageha memeluk pinggangnya, menangis tersedu-sedu. Nero balas memeluknya, mengelus punggungnya dengan sayang, sebelum akhirnya menggendong Ageha.
Upacara pemakaman berjalan dalam keheningan dan tangis dari beberapa orang. Tapi Nero tidak. Dia menggendong Ageha erat-erat seakan menguatkan dirinya bahwa semua dalam kendali. Begitu peti mati diturunkan, Matt meremas bahu Nero. Dia tak tahan melihat isterinya akan tidur untuk selamanya di dalam sana setelah hal yang mereka lalui berdua.
“Mommy,” Ageha terisak-isak, memeluk leher Nero.
“It’s ok, sweety,” bisik Nero di telinga Ageha. “You have us.”
Ageha mengangguk kecil, menatap nanar ke makam Jennifer.
Begitu upacara pemakaman selesai, Matt masih belum lega. Coline menunggu Ageha di depan pintu pemakaman. Mereka sudah membicarakan ini pada Ageha. Dan Ageha setuju untuk ikut Coline, walau dengan sangat berat hati.
“Baby, listen to me,” bisik Nero. “You’re and always my cute little sister, kay?”
Ageha mengangguk. Nero mencium dahinya dan memberikannya pada Coline.
“Thank you, Nero.” Coline tersenyum, memberikan ciuman kecil ke dahinya. “Come over to Chicago, I’ll be happy to serve you.”
“Sure,” Nero mengangguk kecil.
“And Matt,” Coline mengulurkan tangannya. Matt menjabat tangannya. “Thank you for everything you did. You’re really the great Dad that I ever known.”
“Thanks,” gumam Matt.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Matt merangkul bahu Nero, menatap lurus pada mobil mereka. Ageha berbalik ke belakang. Kedua tangannya yang mungil memegang jendela, air matanya bercucuran ke pipinya yang putih dan gemuk.
“Abang,” katanya begitu mobil mereka berjalan. “Abang! Abang! ABANG!”
“It’s ok, Darling!” teriak Nero dengan suara serak. “You’ll be fine.”
“Abang, I love you!” teriak Ageha lagi.
“Love you too,” gumam Nero tak lagi mampu menahan air matanya.
“It’s ok, Nero. I’m here,” gumam Matt memeluk Nero. “I’m here for you.”
Dunia Nero tak lagi sama.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.