RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 25 Mei 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Sembilan)


Debaran Dua Puluh Sembilan
Culprit

Aku ketakutan setengah mati. Dikunci di gudang dalam keadaan gelap gulita selama beberapa jam dengan semut yang mengerumuni benar-benar mengerikan. Ada orang gila yang mengunciku di tempat ini. Bodohnya aku yang percaya bahwa si psikopat gila itu akan memunculkan diri di tempat seperti ini. Harusnya aku tahu bisa sedikit lebih pintar dengan trik murahan ini. Tapi sayangnya tidak.
Kakiku disengat lagi. Semut-semut tidak tahu diri!
Memaki jengkel, aku menghentak-hentakan kaki ke lantai sambil mengusap-usap kaki dan tanganku yang sekarang mulai dirayapi semut. Dengan cepat aku menabrak lagi saat melangkah menjauh, menjatuhi kardus. Brengsek! Tiap kali aku melangkah, aku selalu menabrak dan jatuh sendiri.
“Nero.”
Tanpa aku sadari air mata menggenang dan jatuh begitu saja. Semut-semut sialan itu kembali menggigit tanganku. Rasa gatal kembali memanas di tanganku. Gatal sekali!
Sinar rembulan merayap masuk dari celah-celah kecil ventilasi. Dan karena suaraku juga sudah habis, maka aku tak bisa lagi berteriak. Lagipula tidak berguna. Tak ada yang mendengar.
Tapi aku mengharapkan Nero datang. Aku ingin Nero yang datang.
Rasanya mustahil. Dia kan tak tahu kalau aku ada di sini. Memangnya Nero punya jaringan parabola luar biasa yang menghubungkan aku dengannya? Kami hanya punya ikatan hati. Yang tulus dan saling menghangatkan. Juga sangat mengerikan jika mengingat para fansnya.
Putus asa dengan para semut dan juga gatal-gatal yang semakin menjadi-jadi, aku naik ke atas lemari menggunakan pijakan dari papan-papan rapuh di ujung ruangan, membuatku jatuh dan kakiku keseleo. Rasa sakitnya menjalar begitu rupa. Tapi aku belum menyerah. Dengan kaki yang tidak sakit, aku memanjat ke atas lemari dengan susah payah.
Masih menggaruk-garuk geram kulitku dan mengutuki pelakunya, lalu sedih dengan kesendirianku, aku mencoba menenangkan diri. Aku akan baik-baik saja. Seseorang pasti menolongku. Tidak hari ini, mungkin saja besok.
Tapi jika tidak sama sekali?
Uh, aku tak ingin memikirkan hal itu sama sekali.
Kulipat kakiku, menghapus air mataku yang kembali jatuh. Apakah memang begini rasanya pacaran dengan cowok populer? Aku kan tak melakukan hal yang jahat. Apa aku salah menyayangi seseorang?
“Uh… Nero…”
“NIKEN!”
Kuangkat wajahku. Aku tak salah dengar kan? Aku mendengar suara Nero.
“NIKEN! NIKEN! Apa kau ada di dalam?”
Itu Nero! Nero! Bagaimana mungkin?
Terdengar suara gedoran pada pintu gudang.
“Biar aku dobrak. Kau mundur saja,” kali ini suara Zoe.
Kau yang mundur.” Suara Nero terdengar kasar. Lalu brak! Pintu gudang terbuka begitu saja, menampakan dua siluet manusia. Salah satu dari mereka masuk begitu saja dan aku yakin bahwa itu Nero.
“Nero!” kataku. “Nero… Nero!” Ya Tuhan, aku terharu sekali.
“Nero, ada banyak semut,” kata Zoe.
“Persetan!” katanya tidak peduli dan melangkah begitu saja. “Kau tetap di sana dan jangan bergerak!” ancamnya berhenti di tengah ruangan, menelusuri sekeliling dan akhirnya menemukanku. Jantungku berdegup-degup tak karuan saat dia menoleh padaku.
Walau dalam kegelapan, aku bisa melihat Nero melihatku secara langsung seakan dia tahu dimana aku berada.
Nero mendekat. Naik ke atas kursi dan langsung menggendongku, yang tanpa banyak bicara segera melingkarkan tanganku ke lehernya, memeluknya erat-erat.
“Nero,” kataku terisak-isak.
“Kau sudah aman, Niken. Aku di sini,” bisiknya lembut.
Dia membawaku keluar dari gudang dengan langkah tegap. Dadanya, bisa kurasakan berdenyut cepat dan panik. Dan punggungnya basah oleh keringat.
“Ya Tuhan,” kata Zoe begitu kami berhasil mencapai cahaya. “Dia digigiti semut.”
“Aku akan menghubungi Nathan dan memintanya membawa salep untuk Niken,” kata Nero melangkah keluar. “Manusia-manusia brengsek itu sudah keterlaluan. Akan kubuat mereka membayar setimpal dengan apa yang dirasakan Niken.”
“Aku nggak apa-apa kok,” kataku parau.
“Kau parah sekali.”
Setelah itu aku tak banyak bicara dan hanya diam saat Nero mambawaku pulang dalam gendongannya.
***The Flower Boy Next Door***
Ray menunggu dengan cemas di depan gerbang rumah mereka. Sudah satu jam dan Nero belum juga kembali. Dia sudah menghubungi seluruh teman-teman Niken yang tercantum dalam memonya dan tak satupun yang mengatakan bahwa mereka bersama Niken atau melihatnya.
Sebuah mobil ferari merah mendekat. Ray ternganga lebar melihat betapa mengkilap dan anggunnya mobil itu. Gila. Baru kali ini dia melihat ferari dalam jarak begitu dekat.
Pria berambut hitam yang luar biasa tampan turun dan langsung menyapanya.
“Selamat malam,” sapanya.
“Erm, selamat malam,” kata Ray keheranan.
“Saya Dokter Nathan, diminta Nero untuk datang. Apa Nero sudah kembali?”
Ray mengerutkan dahi. “Belum. Kenapa Nero—ah, itu dia. Niken!” Dia mendatangi Nero yang menggendong Niken, di sebelahnya Zoe hanya mengangguk kecil. “Ada apa dengannya? Dan kenapa dengan tangan dan kakinya?”
“Seseorang sepertinya mengunci Niken di gudang sekolah dan kakinya terkilir.” Nero menjawab tenang, menatap Dokter Nathan.
“Kakinya tidak parah kok. Tapi akan lebih baik jika aku memeriksanya lebih lanjut,” ucap Dokter Nathan.
“Berikan dia padaku.” Ray mengambil alih gendongan Nero. Tapi Niken memeluk lehernya erat sekali. “Niken?”
“Tidak apa-apa, Sayang,” Nero mengecup dahinya. “Kita akan bertemu lagi.”
Dengan begitu Niken melepas pelukannya dan mau digendong Ray.
“Aku akan menunggu di rumah saja. Zoe?” Nero melirik Zoe.
Zoe menatap Dokter Nathan. “Aku pulang saja. Mungkin ada beberapa hal yang harus aku pikirkan.”
Anggukan kecil dari Nero membuat mereka berpencar.
***The Flower Boy Next Door***
“Dia tak apa-apa,” kata Dokter Nathan setelah selesai memeriksa Niken. “Dia hanya butuh istirahat selama dua hari penuh agar kakinya baikan. Dan jika dia tidak menggaruk, bekasnya akan menghilang. Cukup diberi salep dan dia akan baikan. Saya juga sudah menyiapkan obat penghilang rasa sakit.”
“Oh,” kata Ray. “Baguslah.”
“Ingat ya, jangan digaruk.” Dokter Nathan tersenyum kecil begitu Niken menggaruk tangannya.
Wajah gadis itu merona. “Uh… ya.”
“Nah, kalau begitu saya permisi dulu.”
Dengan begitu Dokter Nathan pamit dan masuk ke mobilnya. Dia mengirim pesan pada Nero bahwa semua baik-baik saja dan meminta Nero agar tidur dengan tenang. Hanya saja, saat dia membawa mobilnya melewati tikungan di ujung jalan, dia melihat Zoe, berdiri di samping tiang dengan tangan melipat.
Mobilnya berhenti.
“Kemarin siang kau datang menemuiku untuk menyelidiki soal sidik jari itu. Sekarang apa?” kata Dokter Nathan begitu dia menurunkan jendelanya.
“Aku mau tanya soal masa lalu Nero.” Zoe bicara langsung. “Kau pasti tahu kan? Kau sudah mengenalnya sejak dia berusia enam tahun bukan 12 tahun seperti yang diceritakan Matt.”
“Perjanjianmu dengan Matt tak mencakup urusan pribadi Nero.” Dokter Nathan meletakan tangannya ke ujung jendela.
“Malam ini dia menghancurkan sebuah pintu gudang dengan tangan kosong. Besok besok dia akan meremukan tangan seseorang.”
Dokter Nathan menatapnya lurus-lurus. “Apa yang ingin kau katakan Zoe?”
“Aku akan jadi salah satu orang yang mungkin akan masuk rumah sakit besok,” kata Zoe. “Dia sudah kehilangan kendali diri dan dengan menghajarnya justru akan menambah bahaya saja. Besok dia akan balas dendam.”
Dokter Nathan terdiam sejenak. “Masuklah. Kita bicara di tempatmu.”
Zoe menegakkan tubuh, memutar dan masuk ke dalam mobil, duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Tanpa banyak bicara, Dokter Nathan membawa mobilnya menuju sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat itu, hanya satu belokan dari rumah Nero dan tepat sekali menghadap ke rumah Nero, yang bisa dipastikan mampu mengawasi keadaan rumah itu dengan baik.
Mereka masuk ke dalam rumah kecil yang nyaman. Zoe masuk ke dapur, mengambil minuman kaleng dari kulkas dan masuk ke ruang tengah tempat Dokter Nathan duduk dan menunggu dengan tenang.
“Tempat yang diberikan Matt sangat nyaman. Kau pasti betah.”
“Tidak juga.” Zoe mengangkat bahu, meletakan minumannya.
“Nah,” Dokter Nathan mengambil minuman kaleng itu dan membukanya. “Sekarang bicara.”
“Ceritakan masa lalu Nero.”
“Tidak basa-basi ya, langsung tepat sasaran.”
Zoe memutar bola matanya. “Ceritakan saja.”
“Aku tak akan menceritakan seluruhnya karena aku tahu Matt tidak membayarmu untuk tahu lebih banyak.”
Zoe mengangguk setuju. “Aku mengerti.”
Dokter Nathan menghela napas. “Saat Nero berusia enam tahun, Nero pernah membisu selama sebulan karena shock berat. Kami sebisa mungkin membuatnya merespon dan berhasil walau tidak secepat itu. Di minggu-minggu pertama, matanya merespon, lalu perlahan tangannya, kemudian suaranya. Matt berpengaruh besar dalam perubahan hidupnya. Setelah beberapa bulan, ada keganjilan yang muncul.”
“Apa itu?” Zoe mengerutkan dahi.
“Dia mulai berbicara sendiri.”
Zoe merasakan kalau bulu kuduknya meremang. “Bicara sendiri?”
“Ya,” Nathan mengangguk kecil. “Awalnya kami pikir itu hal yang wajar. Mungkin dia punya teman imajinasi. Setiap anak kecil punya teman imajinasi. Tapi yang ini berbeda. Kami semakin khawatir saat Nero mencekik seekor burung dengan tangannya sendiri, katanya temannya itu tak suka, dan semakin lama semakin parah. Kami lalu menyadari bahwa teman imajinasinya itu lama-kelamaan masuk ke dalam pikiran Nero dan menganggap dirinya adalah Nero. Dia berusaha melindungi Nero dan tak akan membiarkan siapapun menyakiti Nero. Matt segera membawanya ke psikiater dan berusaha menekan sisi jahat Nero.”
“Sepertinya tidak begitu berhasil.”
“Tidak separah dulu.” Nathan kembali mengangguk setuju.
“Dan itu menjelaskan kenapa dia bisa sangat kuat,” ucap Zoe.
Alis Nathan menaik penuh tanda tanya. “Jika kau mengangat seorang gadis kecil dengan berat 15-20 kg dengan kedua tanganmu setiap hari dan berulang-ulang, aku yakin kau tak perlu ke gym cuma untuk angkat barbel.”
Kali ini justru alis Zoe yang menaik. “Rasanya aku bisa mengerti. Dan bagaimana caranya untuk menghentikan Nero yang mengamuk?”
Nathan menghela napas. “Kami juga bertanya-tanya.”
Itu menjelaskan segalanya. Hebat.
***The Flower Boy Next Door***
Mr. Notion: Buka jendela kamarmu.
Aku segera turun dari tempat tidur, mengunci pintu sebelum membuka jendela dalam keadaan terpincang-pincang. Nero sudah menunggu di depan jendelanya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Nero. Wajahnya tampak cemas sekali.
“Sudah lebih baikan,” kataku menggaruk leherku.
“Sepertinya tidak begitu,” kata Nero. “Minggir dari sana.”
“Kau tak boleh masuk kamarku,” kataku jengkel. “Terakhir kali kita—”
Seringai jahil muncul di wajah Nero. “Apa, Sayang? Kau masih mengingatnya?”
Wajahku memanas. “Aku membencimu,” rutukku, tapi memilih untuk minggir dan menonton Nero memanjat dari jendelanya lalu melompat menuju jendelaku. Dia berdiri di depanku, mengamati wajahku lekat-lekat.
“Ada banyak bintik-bintik jelek di wajahmu. Lebih parah daripada jerawat,” katanya.
Aku mencubit tangannya dan dia meringis.
“Apa kau sudah memakai obatmu?” tanya Nero dan saat aku mengangguk, dia mengangkatku lagi dalam gendongannya. Aku terkesikap kaget. “Begini lebih mudah. Kakimu sakit kan?”
“Sekarang tak lagi,” kataku.
Dia membawaku ke tempat tidur, menarik selimut dan duduk di sampingku.
“Sori, ini pasti karenaku kan?” katanya, mengusap lembut pipiku. “Kau jadi terkena imbasnya.”
“Nggak apa-apa kok,” kataku, memegang tangannya. Rasanya hangat halus. Nero benar-benar tahu bagaimana caranya membuatku tenang.
“Nathan bilang kau harus istirahat selama dua hari,” kata Nero, tersenyum kecil. “Baguslah. Kakimu juga tak bisa diajak kompromi.”
Aku cemberut. “Aku memikirkan gerbang.”
Ada sorot mata geli di wajah Nero. “Tenang. Vion akan melakukan sesuatu mengenai itu. Kau tak harus di sana lebih awal. Apakah rasanya gatal sekali?” kata Nero memegang tanganku yang hendak menggaruk pipiku.
Dengan cepat aku mengangguk. “Gatal sekali.”
“Kalau kau terus menggaruknya, nanti malah ada bekasnya. Mana salep yang dikasih Nathan? Ah, ini dia,” Nero melihat kesekeliling, mengambil botol salep putih yang ada di samping tempat tidur, memencet isinya dan mengusapkannya ke wajahku. “Ya Tuhan, Niken, jangan digaruk.” Dia memegang tanganku yang satu lagi.
Aku merengut dan meringis. “Tapi rasanya gatal sekali.”
“Sebentar,” kata Nero.
Aku mengerutkan dahi dan menganga melihatnya masuk ke dalam selimutku, dan duduk dengan nyaman di sampingku.
“Nero—”
“Sssh, kau mau membangunkan Ray?” katanya. Dia menarik tubuhku mendekat ke sampingnya sehingga punggungku bersandar di dadanya. Salah satu tangannya melingkar di sisi yang lain, memegangi tangan kananku, sementara tangan yang satu lagi memegang tangan kiriku.
“Aku akan memegang tanganmu begini jadi kau tak perlu garuk-garuk kayak monyet ragunan.” Nero menghela napas.
Kusikut dia dengan sekuat tenaga tapi dia hanya terkekeh. “Kau kan tidak merasakannya!”
“Aku merasakannya,” katanya, mengecup kepalaku. “Sekarang tidur dan aku akan mengawasi tanganmu.”
Mataku menyipit berbahaya, menatap mata coklatnya. “Apa itu artinya kau akan mengawasi tanganmu juga?”
Ada kilatan jahil lagi di wajahnya dan dia terkekeh kecil. “Itu sih aku tak berani jamin.”
“Kalau begitu kau sangat berbahaya untuk berdua di kamar ini, di atas tempat tidur pula, denganku. Jadi akan lebih baik bila kau kembali ke kamarmu.”
“Aku tak mau,” katanya meletakan kepalanya ke kepalaku. “Menjagamu lebih penting.”
“Nero,” aku menggeram jengkel. Tapi Nero menggenggam erat telapak tanganku dan tidak bergerak walau aku bergerak-gerak. Dia malah semakin merapatkan tubuhnya, membuatku bisa merasakan hembusan napasnya di leherku, membuatku tak bergerak karena gugup. “Kau belum tidur kan?”
Nero menarik napas. “Belum. Tapi aku sedang mencoba tidur.”
“Katanya kau mau mengawasi tanganku.”
“Aku yakinkan kau, Niken, aku akan menepati janjiku. Sekarang tidurlah.”
Aku beringsut sedikit, menatap Nero yang menutup matanya. Bulu matanya yang panjang sekarang bisa kulihat dengan jelas, betapa aku terpesona melihat wajahnya yang seperti ini. Tampak damai dan begitu jujur.
Kucium matanya dan dia tersenyum kecil.
Dengan nyaman kusandarkan kepalaku ke dadanya, di dekat lehernya. Betapa menyenangkannya bersama Nero seperti ini walau kami tak melakukan apa-apa dan tidak bicara. Dan berbagi kehangatan dengan Nero selalu menjadi hal yang paling luar biasa dalam hidupku sampai aku lupa menggaruk.
***The Flower Boy Next Door***
Niken tertidur. Wajahnya tampak damai dalam mimpi.
Tersenyum kecil, Nero bergerak perlahan, berusaha selembut mungkin agar tidak membangunkan Niken, dan meletakan kepala Niken ke atas bantal. Niken meringis kecil, tangannya terangkat dan Nero menangkap tangannya tepat pada waktunya sebelum menggaruk pipinya.
“Ssssh,” bisik Nero, pelan-pelan menurunkan tangan Niken. Dia mengambil salep dan mengusapnya perlahan ke titik-titik merah di wajah Niken. Kemarahan memuncrati dirinya melihat Niken yang seperti ini sekaligus juga dengan rasa bersalah yang tertumpuk dalam dada.
“I’m sorry,” Nero mengecup dahi Niken. “I really am sorry.”
Niken bergerak mendekat, memeluk pinggangnya. Kepalanya bergerak gelisah. Nero segera melebarkan tangannya dan kepala Niken dengan segera naik ke lengan Nero, setelah itu dia kembali tenang.
Nero tersenyum. “Niken, apa kau berniat memberi makan singa yang kelaparan?” bisik Nero menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Niken. “Kau benar-benar percaya sepenuhnya padaku ya?”
Tapi Niken hanya menjawab dengan keheningan dalam tidurnya.
Nero menghela napas, mengawasi wajah Niken. Mengamati bulu matanya. Bagaimana matanya bergerak-gerak dalam mimpi. Menghitung napas Niken yang bergerak perlahan. Bagaimana eratnya Niken memeluknya tiap kali Nero bergerak.
“Nero…”
“Hmmm? Apa kau memimpikanku?” jawab Nero pelan dari sampingnya.
“… love you…”
Nero mengerjap.
“Niken, are you trying to seduce me?” bisik Nero. Tapi Niken sudah tidak mengigau lagi. “I’ll take it as yes,” gumam Nero lalu mencium lembut bibir Niken.
“Hmmm,” gumam Niken tapi Nero bisa merasakan bibir Niken bergerak sendiri membalas ciumannya.
Nero berusaha selembut mungkin menciumnya untuk tidak membangunkannya sampai kemudian bibir Niken tak lagi bergerak.
“Sleep well, Niken,” bisik Nero mengecup dahinya. “Have a nice dream.”
***The Flower Boy Next Door***
Rasanya lembut dan manis. Ini mimpi paling enak dalam tidurku. Di bibirku masih bisa merasakan betapa lembut, nyaman, sekaligus menggoda sesuatu yang menyentuh bibirku. Dan hal itu membuatku ketagihan. Hanya saja, segala hal tak berlangsung lama. Tapi kali ini diganti dengan kehangatan selimutku dan nyamannya guling yang kupeluk.
Namun, ada yang aneh. Gulingku tentunya tak bergerak dan berukuran sebesar ini kan? Lagipula, aku merasakan bahwa gulingku ini mengeluarkan suara desahan dan bernapas. Bahkan dari balik telapak tanganku, aku bisa merasakan detak jantung.
Huh? Detak jantung?
Kubuka mataku perlahan. Tubuhku tak bisa bergerak, seakan terperangkap oleh jaring besar, hanya saja lebih berat dan empuk. Begitu kuangkat kepalaku sedikit, aku mendapati wajah Nero di sampingku, tertidur dengan posisi memelukku. Kepalaku terangkat dari dadanya sementara tangannya memegang tanganku yang ada di dadanya.
Mataku melotot dan sebelum aku menyadari apa yang terjadi, aku sudah menjerit dan menendangnya sampai jatuh dari tempat tidur.
“Aduh!” terdengar suara Nero setelah suara gedebuk dan jatuhnya hiasan kecil di samping tempat tidurku. Nero muncul dari sisi tempat tidur, memegang wajahnya yang terhantam sisi meja.
Aku langsung menyesal. “K-k-kau tak apa-apa?”
Nero meringis, menurunkan sedikit tangannya dan aku bisa melihat lebam muncul di pipinya. Mulutku ternganga.
“Ya Tuhan, Nero…”
“Niken!” Abangku Ray menggedor pintu. “Apa kau tak apa-apa? Kenapa berteriak?”
Jantungku seakan keluar dari mulut melihat Nero masih belum bangkit dan memegangi pipinya.
“Nggak apa-apa,” kataku segera. “Hanya ada tikus.” Aku merangkak ke sisi tempat tidur, melihat keadaan Nero.
“Tikusnya bukan Nero kan?” hardik Ray dari balik pintu.
Aku membeku di tempatku. Oh, tidak. Jangan bilang kalau Abangku tahu!
“Buka pintunya Niken, aku tahu kalau Nero pasti ada di dalam sana. Dia kan tinggal di sebelah kamarmu!” Ray menggedor pintu. “Jika kau tak buka, akan kudobrak!”
Mataku melotot. Apa?
Tidak mengucapkan apa-apa, Nero bangkit, memberikan ciuman singkat di dahiku lalu berlari ke jendela. Dia melompat tepat pada waktunya saat terdengar suara “gebeduk” pertanda Ray sedang berusaha mendobrak pintu.
“Pintuku bisa rusak! Jangan didobrak!” raungku marah.
“Lebih baik rusak daripada kau menyimpan cowok di kamarmu!”
“Nggak ada siapapun, tahu!”
“Kalau begitu kenapa kau kunci? Buka sekarang juga!”
“Kakiku terkilir idiot! Sabar sedikit!”
Aku menyingkirkan selimut dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Begitu pintu menjeblak terbuka, Ray masuk dan berjalan kesana-kemari. Dia segera melihat jendela Nero yang tertutup, memeriksa bawah tempat tidur, kamar mandi, semuanya.
“Lihat kan? Tak ada orang!” kataku sebal.
“Sepertinya Mama harus memberikan teralis pada jendelamu,” katanya berapi-api. “Aku tahu Nero itu baik tapi dia juga berbahaya untuk seorang gadis.”
Mataku berkilat-kilat. “Kau menyebalkan dan asal kau tahu saja, tak ada yang terjadi. Sekarang keluar dari kamarku sebelum aku menendangmu keluar!”
Aku tak tahu apakah harus senang atau marah jika teralis benar-benar bakal dipasang di jendela kamarku.
***The Flower Boy Next Door***
“What the hell, Nero? Where did you get this bruise?” Devon mengerutkan dahi, menotol memar di pipi Nero tanpa ampun.
Nero menampar tangannya. “Stop it. Niken just kicked me out from her bed.”
Devon mengerjap. “You wha—did you sleep with her?”
“All night,” Nero memutar bola matanya.
Devon mencengkram kedua bahunya, matanya berkilat berbahaya. “How dare you sleep with girl when you’re still sixteen and not marr—”
“For your information, we didn’t have sex, you moron,” Nero menyingkirkan tangannya. “She’s still virgin. We just sleep, hugging each other and nothing more.”
“Oh,” kata Devon, menghela napas lega. “Thanks God, you still have your mind.”
“She’s lucky to have me, and I’m pitty on Audrey coz you never kiss her.”
Wajah Devon memerah. “Shut up! I’m not ready.”
“But you kissed me,” kata Nero kalem.
“Forget it, ok?” kata Devon gusar.
“Hey, guys, please stop your chit chat. I got goosebumps.” Zoe muncul di ujung jalan.
“And here’s the cold human in the world,” ujar Nero.
“He needs fire, a little bit.” Devon menambahi sambil mengangguk setuju.
Zoe memutar bola matanya. “Cut it out. I’ll get girl when I want to.”
Baik Devon dan Nero mengangkat bahu seakan mereka tak percaya bahwa Zoe mampu mendapatkan seorang gadis. Zoe tak pernah menunjukan ketertarikan pada orang-orang di sekitarnya karena dia, seperti yang sudah dia katakan pada Nero, berdedikasi.
Karena hari ini Niken harus istirahat penuh di rumah, maka Nero menghabiskan waktu sendirian di mejanya, malas meladeni teman-temannya dan hanya menatap papan tulis dengan tatapan kosong.
Alfon tidak banyak berkomentar mengenai hal ini. Dan dia memanggil Nero ke ruang guru setelah bel pelajaran berakhir berbunyi.
“Nero, aku sedikit terganggu dengan tingkahmu di kelas,” kata Alfon. “Banyak guru yang melaporkan tingkahmu padaku.”
Nero mengerinyitkan dahi. “Tapi, Pak, aku kan tidak melakukan apapun.”
Alfon mengangguk. “Benar. Lisa, gantungkan lagi kuncinya di tempat yang benar, terima kasih,” katanya saat Lisa meletakkan kunci ke meja Pak Garry. Gadis itu mengangguk kecil, mengambil kunci itu dan menggantungnya ke kumpulan kunci di ujung ruangan setelah itu keluar dari ruangan. “Kau tahu kenapa aku membiarkanmu duduk dengan Niken?”
Nero menggeleng kecil, mengalihkan pandangan pada Alfon lagi.
“Karena dengan begitu perhatianmu akan lebih fokus,” jelas Alfon. “Sedikit berhasil, tapi tidak terus-terusan. Apa kau memikirkan sesuatu? Bosan dengan pelajarannya?”
Nero menggeleng lagi.
Alfon menghela napas. “Aku ingin kau konsentrasi pada sekitarmu, Nero. Teman-temanmu akan tidak nyaman jika kau menghayal terus-terusan. Walau aku tidak mengomentari kepintaranmu, tapi aku rasa kau perlu memperbaiki sosialmu.”
“Tapi kupikir itu bukan hak guru mengatur kehidupan sosial tiap siswanya.”
Komentar yang pedas. Kali ini bukan hanya Alfon yang menatap Nero, tapi juga Gerry, Penny dan Julian, yang ternganga lebar karena terkejut. Ini pertama kalinya ada seseorang yang berani membantah Alfon, bahkan menantangnya langsung dengan menatap matanya tanpa berkedip, seakan mengajak perang.
“Kau benar,” Alfon mengangguk lambat-lambat. “Aku hanya menasehatimu.”
Nero tidak bergerak selama beberapa detik, lalu pada akhirnya mengangguk kecil, tanpa mengucapkan apa-apa.
Alfon mengalihkan pembicaraan, “Kau tahu kenapa Niken tak masuk kelas?”
“Erm… kakinya terkilir dan butuh istirahat dua hari penuh,” jawab Nero.
Kali ini Alfon tersenyum dan dengan tulus berkata, “Kau pacar yang tepat untuknya.”
Wajah Nero memerah. “Erm… terima kasih, Pak.”
Alfon mengangguk kecil. “Kau sudah bisa kembali.”
Nero mengangguk kecil, begitu dia mendekati pintu, dia berbalik lagi dan mendatangi Alfon.
“Ya, Nero?” kata Alfon.
“Maaf jika tadi cara bicara saya kasar.”
Alfon mengerjap, tapi tersenyum juga. “Tidak masalah, Nero. Aku bisa mengerti.”
Nero keluar dari ruang guru, menuntup pintu di belakang punggungnya. Baru kali ini dia dinasehati seperti ini oleh seorang guru. Tak pernah, dalam sejarah hidupnya, ada guru yang menegornya hanya karena masalah sosial.
“Yang benar?” salah satu gadis tampak bersemangat, berbicara pada grup gosipnya. Nero melewati mereka dengan tak berminat.
“Benar. Aku lihat Zoe tadi memanggil Lisa. Dia bahkan menunggu Lisa di kelasnya.”
“Aku tadi lihat mereka ke belakang sekolah.”
Nero berhenti, menoleh pada mereka.
Grup gadis-gadis penggosip itu cekikikan.
“Masa sih Zoe berniat nembak Lisa?”
“Akhir-akhir ini Zoe kan nanyain Lisa melulu.”
“Oh iya! Benar tuh. Bahkan aku dengar anak-anak cowok juga heboh karena itu.”
“Oh, ya ampun! Nggak nyangka seleranya Zoe itu Lisa!”
… I’ll get girl when I want to…
Wow, he really did it,” gumam Nero kagum. Dengan cepat dia mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan pada Devon dan Vion mengenai kabar ini dan—luar biasa—mungkin saja Zoe bakal punya pacar.
Ini tak boleh dilewatkan.
Lalu Nero menyusul Zoe yang saat ini, mungkin, ada di belakang sekolah.
***The Flower Boy Next Door***
Zoe memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya, menatap Lisa tanpa berkedip. Gadis yang ada di depannya sungguh cantik, dengan rambut panjang lurus dan tampak halus, wajah manis dan pribumi, tidak terlalu tinggi dan tampak seperti gadis baik-baik yang lembut dan sopan.
Lisa tampak gugup diawasi Zoe, wajahnya memerah. Tadi Zoe tiba-tiba memintanya untuk bicara berdua, mengajaknya ke belakang sekolah dan kali ini mereka malah terdiam entah sudah berapa lama. Beberapa hari belakangan ini dia mendengar Zoe menanyakan tentang dirinya dari teman-temannya. Ada desiran aneh di hati Lisa.
“Lisa,” kata Zoe, pada akhirnya bicara.
“Erm… ya?” kata Lisa gugup.
“Kuharap kau menghentikan aksimu mengerjai Niken.”
Lisa mengangkat wajahnya. Dia menatap Zoe dengan terkejut. “Zoe.. apa…”
“Tolong jangan berbohong lagi,” kata Zoe tenang. “Aku mendapati sidik jarimu di bagian dalam loker Niken, yang tak mungkin disentuh orang lain selain Niken, juga sehelai rambutmu yang tertinggal. Sidik jarimu juga tertempel pada surat kaleng yang kau kirimkan pada Niken. Dan jangan katakan aku juga menemukan sidik jari yang sama pada buku Niken. Karena kau berbeda kelas dengan Niken, kau tak punya hak menyentuh buku Niken.”
“Aku tak mengerti apa yang kau katakan,” kata Lisa, tertawa gugup. “Kau memanggilku hanya untuk ini?”
“Oh, kau ingin aku melanjutkan? Pak Gerry bisa jadi saksi bahwa kau meminjam kuncinya semalam, kunci gudang tempat kau menyekap Niken,” kata Zoe lagi.
Lisa menelan ludah dengan panik, meremas tangannya sekuat tenaga agar tak gemetar.
“Kau sudah sangat keterlaluan pada Niken. Ingatkan teman-temanmu agar tidak melakukan hal yang sama. Jika kalian masih meneruskan, aku tak berani jamin Nero akan tinggal diam mengenai hal ini. Percayalah, dia sangat mengerikan.”
“Tak perlu. Aku mendengar semuanya.”
Lisa berjengit dan Zoe berbalik cepat.
Dan terkejut melihat Nero berdiri di belakangnya dengan tatapan siap membunuh.
“Lari, Lisa,” kata Zoe melindungi Lisa di belakang punggungnya. “Selamatkan dirimu.”
Tapi Lisa tak bergerak sementara Nero melangkah mendekat.
“LARI KUBILANG!” teriak Zoe. Saat itu pula Lisa bergerak, berlari dengan panik.
Nero juga ikut bergerak, tapi Zoe menghalanginya.
“Minggir,” kata Nero dengan nada sedingin es.
“Langkahi dulu mayatku,” kata Zoe.
“As you wish,” ucapnya dan Nero menerjangnya.
Zoe menangkap tangan Nero, memelintirnya ke belakang punggung Nero, mengaitkan tangan yang satu lagi ke leher Nero.
“Tenangkan dirimu!” teriak Zoe.
Tapi tangan Nero yang satu lagi masih bebas, menyikut perut Zoe sekuat tenaga. Pegangan Zoe terlepas. Perutnya mengejang dengan rasa nyeri dan sakit yang luar biasa.
Nero berbalik menyerang, memegangi tangan Zoe, membanting kepalanya ke tanah. Kedua tangannya memegang lengan Zoe sementara kakinya menginjak bahu Zoe.
Zoe menutup mata, menggertakan gigi untuk hal yang terburuk.
Nero siap mematahkan tangannya.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.