Debaran Dua Puluh Sembilan
Culprit
Aku ketakutan
setengah mati. Dikunci di gudang dalam keadaan gelap gulita selama beberapa jam
dengan semut yang mengerumuni benar-benar mengerikan. Ada orang gila yang
mengunciku di tempat ini. Bodohnya aku yang percaya bahwa si psikopat gila itu
akan memunculkan diri di tempat seperti ini. Harusnya aku tahu bisa sedikit
lebih pintar dengan trik murahan ini. Tapi sayangnya tidak.
Kakiku disengat
lagi. Semut-semut tidak tahu diri!
Memaki jengkel,
aku menghentak-hentakan kaki ke lantai sambil mengusap-usap kaki dan tanganku
yang sekarang mulai dirayapi semut. Dengan cepat aku menabrak lagi saat
melangkah menjauh, menjatuhi kardus. Brengsek! Tiap kali aku melangkah, aku
selalu menabrak dan jatuh sendiri.
“Nero.”
Tanpa aku sadari
air mata menggenang dan jatuh begitu saja. Semut-semut sialan itu kembali
menggigit tanganku. Rasa gatal kembali memanas di tanganku. Gatal sekali!
Sinar rembulan
merayap masuk dari celah-celah kecil ventilasi. Dan karena suaraku juga sudah
habis, maka aku tak bisa lagi berteriak. Lagipula tidak berguna. Tak ada yang
mendengar.
Tapi aku
mengharapkan Nero datang. Aku ingin Nero
yang datang.
Rasanya
mustahil. Dia kan tak tahu kalau aku ada di sini. Memangnya Nero punya jaringan
parabola luar biasa yang menghubungkan aku dengannya? Kami hanya punya ikatan
hati. Yang tulus dan saling menghangatkan. Juga sangat mengerikan jika
mengingat para fansnya.
Putus asa dengan
para semut dan juga gatal-gatal yang semakin menjadi-jadi, aku naik ke atas
lemari menggunakan pijakan dari papan-papan rapuh di ujung ruangan, membuatku
jatuh dan kakiku keseleo. Rasa sakitnya menjalar begitu rupa. Tapi aku belum
menyerah. Dengan kaki yang tidak sakit, aku memanjat ke atas lemari dengan
susah payah.
Masih
menggaruk-garuk geram kulitku dan mengutuki pelakunya, lalu sedih dengan
kesendirianku, aku mencoba menenangkan diri. Aku akan baik-baik saja. Seseorang
pasti menolongku. Tidak hari ini, mungkin saja besok.
Tapi jika tidak
sama sekali?
Uh, aku tak
ingin memikirkan hal itu sama sekali.
Kulipat kakiku,
menghapus air mataku yang kembali jatuh. Apakah memang begini rasanya pacaran
dengan cowok populer? Aku kan tak melakukan hal yang jahat. Apa aku salah
menyayangi seseorang?
“Uh… Nero…”
“NIKEN!”
Kuangkat
wajahku. Aku tak salah dengar kan? Aku mendengar suara Nero.
“NIKEN! NIKEN!
Apa kau ada di dalam?”
Itu Nero! Nero!
Bagaimana mungkin?
Terdengar suara
gedoran pada pintu gudang.
“Biar aku
dobrak. Kau mundur saja,” kali ini suara Zoe.
“Kau yang mundur.” Suara Nero terdengar
kasar. Lalu brak! Pintu gudang terbuka begitu saja, menampakan dua siluet
manusia. Salah satu dari mereka masuk begitu saja dan aku yakin bahwa itu Nero.
“Nero!” kataku.
“Nero… Nero!” Ya Tuhan, aku terharu sekali.
“Nero, ada
banyak semut,” kata Zoe.
“Persetan!”
katanya tidak peduli dan melangkah begitu saja. “Kau tetap di sana dan jangan
bergerak!” ancamnya berhenti di tengah ruangan, menelusuri sekeliling dan
akhirnya menemukanku. Jantungku berdegup-degup tak karuan saat dia menoleh
padaku.
Walau dalam
kegelapan, aku bisa melihat Nero melihatku secara langsung seakan dia tahu
dimana aku berada.
Nero mendekat.
Naik ke atas kursi dan langsung menggendongku, yang tanpa banyak bicara segera
melingkarkan tanganku ke lehernya, memeluknya erat-erat.
“Nero,” kataku
terisak-isak.
“Kau sudah aman,
Niken. Aku di sini,” bisiknya lembut.
Dia membawaku
keluar dari gudang dengan langkah tegap. Dadanya, bisa kurasakan berdenyut
cepat dan panik. Dan punggungnya basah oleh keringat.
“Ya Tuhan,” kata
Zoe begitu kami berhasil mencapai cahaya. “Dia digigiti semut.”
“Aku akan
menghubungi Nathan dan memintanya membawa salep untuk Niken,” kata Nero
melangkah keluar. “Manusia-manusia brengsek itu sudah keterlaluan. Akan kubuat
mereka membayar setimpal dengan apa yang dirasakan Niken.”
“Aku nggak
apa-apa kok,” kataku parau.
“Kau parah
sekali.”
Setelah itu aku
tak banyak bicara dan hanya diam saat Nero mambawaku pulang dalam gendongannya.
***The Flower
Boy Next Door***
Ray menunggu
dengan cemas di depan gerbang rumah mereka. Sudah satu jam dan Nero belum juga
kembali. Dia sudah menghubungi seluruh teman-teman Niken yang tercantum dalam
memonya dan tak satupun yang mengatakan bahwa mereka bersama Niken atau
melihatnya.
Sebuah mobil
ferari merah mendekat. Ray ternganga lebar melihat betapa mengkilap dan
anggunnya mobil itu. Gila. Baru kali ini dia melihat ferari dalam jarak begitu
dekat.
Pria berambut
hitam yang luar biasa tampan turun dan langsung menyapanya.
“Selamat malam,”
sapanya.
“Erm, selamat
malam,” kata Ray keheranan.
“Saya Dokter
Nathan, diminta Nero untuk datang. Apa Nero sudah kembali?”
Ray mengerutkan
dahi. “Belum. Kenapa Nero—ah, itu dia. Niken!” Dia mendatangi Nero yang
menggendong Niken, di sebelahnya Zoe hanya mengangguk kecil. “Ada apa
dengannya? Dan kenapa dengan tangan dan kakinya?”
“Seseorang
sepertinya mengunci Niken di gudang sekolah dan kakinya terkilir.” Nero
menjawab tenang, menatap Dokter Nathan.
“Kakinya tidak
parah kok. Tapi akan lebih baik jika aku memeriksanya lebih lanjut,” ucap
Dokter Nathan.
“Berikan dia
padaku.” Ray mengambil alih gendongan Nero. Tapi Niken memeluk lehernya erat
sekali. “Niken?”
“Tidak apa-apa,
Sayang,” Nero mengecup dahinya. “Kita akan bertemu lagi.”
Dengan begitu
Niken melepas pelukannya dan mau digendong Ray.
“Aku akan
menunggu di rumah saja. Zoe?” Nero melirik Zoe.
Zoe menatap
Dokter Nathan. “Aku pulang saja. Mungkin ada beberapa hal yang harus aku
pikirkan.”
Anggukan kecil
dari Nero membuat mereka berpencar.
***The Flower
Boy Next Door***
“Dia tak
apa-apa,” kata Dokter Nathan setelah selesai memeriksa Niken. “Dia hanya butuh
istirahat selama dua hari penuh agar kakinya baikan. Dan jika dia tidak
menggaruk, bekasnya akan menghilang. Cukup diberi salep dan dia akan baikan.
Saya juga sudah menyiapkan obat penghilang rasa sakit.”
“Oh,” kata Ray.
“Baguslah.”
“Ingat ya,
jangan digaruk.” Dokter Nathan tersenyum kecil begitu Niken menggaruk
tangannya.
Wajah gadis itu
merona. “Uh… ya.”
“Nah, kalau
begitu saya permisi dulu.”
Dengan begitu
Dokter Nathan pamit dan masuk ke mobilnya. Dia mengirim pesan pada Nero bahwa
semua baik-baik saja dan meminta Nero agar tidur dengan tenang. Hanya saja,
saat dia membawa mobilnya melewati tikungan di ujung jalan, dia melihat Zoe,
berdiri di samping tiang dengan tangan melipat.
Mobilnya
berhenti.
“Kemarin siang
kau datang menemuiku untuk menyelidiki soal sidik jari itu. Sekarang apa?” kata
Dokter Nathan begitu dia menurunkan jendelanya.
“Aku mau tanya
soal masa lalu Nero.” Zoe bicara langsung. “Kau pasti tahu kan? Kau sudah
mengenalnya sejak dia berusia enam tahun bukan 12 tahun seperti yang
diceritakan Matt.”
“Perjanjianmu
dengan Matt tak mencakup urusan pribadi Nero.” Dokter Nathan meletakan
tangannya ke ujung jendela.
“Malam ini dia
menghancurkan sebuah pintu gudang dengan tangan kosong. Besok besok dia akan
meremukan tangan seseorang.”
Dokter Nathan
menatapnya lurus-lurus. “Apa yang ingin kau katakan Zoe?”
“Aku akan jadi
salah satu orang yang mungkin akan masuk rumah sakit besok,” kata Zoe. “Dia
sudah kehilangan kendali diri dan dengan menghajarnya justru akan menambah
bahaya saja. Besok dia akan balas dendam.”
Dokter Nathan
terdiam sejenak. “Masuklah. Kita bicara di tempatmu.”
Zoe menegakkan
tubuh, memutar dan masuk ke dalam mobil, duduk dengan nyaman di kursi penumpang.
Tanpa banyak bicara, Dokter Nathan membawa mobilnya menuju sebuah rumah yang
tidak jauh dari tempat itu, hanya satu belokan dari rumah Nero dan tepat sekali
menghadap ke rumah Nero, yang bisa dipastikan mampu mengawasi keadaan rumah itu
dengan baik.
Mereka masuk ke
dalam rumah kecil yang nyaman. Zoe masuk ke dapur, mengambil minuman kaleng
dari kulkas dan masuk ke ruang tengah tempat Dokter Nathan duduk dan menunggu
dengan tenang.
“Tempat yang
diberikan Matt sangat nyaman. Kau pasti betah.”
“Tidak juga.”
Zoe mengangkat bahu, meletakan minumannya.
“Nah,” Dokter
Nathan mengambil minuman kaleng itu dan membukanya. “Sekarang bicara.”
“Ceritakan masa
lalu Nero.”
“Tidak basa-basi
ya, langsung tepat sasaran.”
Zoe memutar bola
matanya. “Ceritakan saja.”
“Aku tak akan
menceritakan seluruhnya karena aku tahu Matt tidak membayarmu untuk tahu lebih
banyak.”
Zoe mengangguk
setuju. “Aku mengerti.”
Dokter Nathan
menghela napas. “Saat Nero berusia enam tahun, Nero pernah membisu selama
sebulan karena shock berat. Kami sebisa mungkin membuatnya merespon dan
berhasil walau tidak secepat itu. Di minggu-minggu pertama, matanya merespon,
lalu perlahan tangannya, kemudian suaranya. Matt berpengaruh besar dalam perubahan
hidupnya. Setelah beberapa bulan, ada keganjilan yang muncul.”
“Apa itu?” Zoe
mengerutkan dahi.
“Dia mulai
berbicara sendiri.”
Zoe merasakan
kalau bulu kuduknya meremang. “Bicara sendiri?”
“Ya,” Nathan
mengangguk kecil. “Awalnya kami pikir itu hal yang wajar. Mungkin dia punya
teman imajinasi. Setiap anak kecil punya teman imajinasi. Tapi yang ini berbeda. Kami semakin khawatir saat
Nero mencekik seekor burung dengan tangannya sendiri, katanya temannya itu tak
suka, dan semakin lama semakin parah. Kami lalu menyadari bahwa teman
imajinasinya itu lama-kelamaan masuk ke dalam pikiran Nero dan menganggap dirinya adalah Nero. Dia berusaha melindungi
Nero dan tak akan membiarkan siapapun menyakiti Nero. Matt segera membawanya ke
psikiater dan berusaha menekan sisi jahat Nero.”
“Sepertinya
tidak begitu berhasil.”
“Tidak separah
dulu.” Nathan kembali mengangguk setuju.
“Dan itu
menjelaskan kenapa dia bisa sangat kuat,” ucap Zoe.
Alis Nathan
menaik penuh tanda tanya. “Jika kau mengangat seorang gadis kecil dengan berat
15-20 kg dengan kedua tanganmu setiap hari dan berulang-ulang, aku yakin kau
tak perlu ke gym cuma untuk angkat
barbel.”
Kali ini justru
alis Zoe yang menaik. “Rasanya aku bisa mengerti. Dan bagaimana caranya untuk
menghentikan Nero yang mengamuk?”
Nathan menghela
napas. “Kami juga bertanya-tanya.”
Itu menjelaskan
segalanya. Hebat.
***The Flower
Boy Next Door***
Mr. Notion: Buka jendela kamarmu.
Aku segera turun
dari tempat tidur, mengunci pintu sebelum membuka jendela dalam keadaan
terpincang-pincang. Nero sudah menunggu di depan jendelanya.
“Bagaimana keadaanmu?”
tanya Nero. Wajahnya tampak cemas sekali.
“Sudah lebih
baikan,” kataku menggaruk leherku.
“Sepertinya
tidak begitu,” kata Nero. “Minggir dari sana.”
“Kau tak boleh
masuk kamarku,” kataku jengkel. “Terakhir kali kita—”
Seringai jahil
muncul di wajah Nero. “Apa, Sayang? Kau masih mengingatnya?”
Wajahku memanas.
“Aku membencimu,” rutukku, tapi memilih untuk minggir dan menonton Nero
memanjat dari jendelanya lalu melompat menuju jendelaku. Dia berdiri di
depanku, mengamati wajahku lekat-lekat.
“Ada banyak
bintik-bintik jelek di wajahmu. Lebih parah daripada jerawat,” katanya.
Aku mencubit
tangannya dan dia meringis.
“Apa kau sudah
memakai obatmu?” tanya Nero dan saat aku mengangguk, dia mengangkatku lagi
dalam gendongannya. Aku terkesikap kaget. “Begini lebih mudah. Kakimu sakit
kan?”
“Sekarang tak
lagi,” kataku.
Dia membawaku ke
tempat tidur, menarik selimut dan duduk di sampingku.
“Sori, ini pasti
karenaku kan?” katanya, mengusap lembut pipiku. “Kau jadi terkena imbasnya.”
“Nggak apa-apa
kok,” kataku, memegang tangannya. Rasanya hangat halus. Nero benar-benar tahu
bagaimana caranya membuatku tenang.
“Nathan bilang
kau harus istirahat selama dua hari,” kata Nero, tersenyum kecil. “Baguslah.
Kakimu juga tak bisa diajak kompromi.”
Aku cemberut.
“Aku memikirkan gerbang.”
Ada sorot mata
geli di wajah Nero. “Tenang. Vion akan melakukan sesuatu mengenai itu. Kau tak
harus di sana lebih awal. Apakah rasanya gatal sekali?” kata Nero memegang
tanganku yang hendak menggaruk pipiku.
Dengan cepat aku
mengangguk. “Gatal sekali.”
“Kalau kau terus
menggaruknya, nanti malah ada bekasnya. Mana salep yang dikasih Nathan? Ah, ini
dia,” Nero melihat kesekeliling, mengambil botol salep putih yang ada di
samping tempat tidur, memencet isinya dan mengusapkannya ke wajahku. “Ya Tuhan,
Niken, jangan digaruk.” Dia memegang tanganku yang satu lagi.
Aku merengut dan
meringis. “Tapi rasanya gatal sekali.”
“Sebentar,” kata
Nero.
Aku mengerutkan
dahi dan menganga melihatnya masuk ke dalam selimutku, dan duduk dengan nyaman
di sampingku.
“Nero—”
“Sssh, kau mau
membangunkan Ray?” katanya. Dia menarik tubuhku mendekat ke sampingnya sehingga
punggungku bersandar di dadanya. Salah satu tangannya melingkar di sisi yang
lain, memegangi tangan kananku, sementara tangan yang satu lagi memegang tangan
kiriku.
“Aku akan
memegang tanganmu begini jadi kau tak perlu garuk-garuk kayak monyet ragunan.”
Nero menghela napas.
Kusikut dia
dengan sekuat tenaga tapi dia hanya terkekeh. “Kau kan tidak merasakannya!”
“Aku
merasakannya,” katanya, mengecup kepalaku. “Sekarang tidur dan aku akan
mengawasi tanganmu.”
Mataku menyipit
berbahaya, menatap mata coklatnya. “Apa itu artinya kau akan mengawasi tanganmu
juga?”
Ada kilatan
jahil lagi di wajahnya dan dia terkekeh kecil. “Itu sih aku tak berani jamin.”
“Kalau begitu
kau sangat berbahaya untuk berdua di kamar ini, di atas tempat tidur pula,
denganku. Jadi akan lebih baik bila kau kembali ke kamarmu.”
“Aku tak mau,”
katanya meletakan kepalanya ke kepalaku. “Menjagamu lebih penting.”
“Nero,” aku
menggeram jengkel. Tapi Nero menggenggam erat telapak tanganku dan tidak
bergerak walau aku bergerak-gerak. Dia malah semakin merapatkan tubuhnya,
membuatku bisa merasakan hembusan napasnya di leherku, membuatku tak bergerak
karena gugup. “Kau belum tidur kan?”
Nero menarik
napas. “Belum. Tapi aku sedang mencoba tidur.”
“Katanya kau mau
mengawasi tanganku.”
“Aku yakinkan
kau, Niken, aku akan menepati janjiku. Sekarang tidurlah.”
Aku beringsut
sedikit, menatap Nero yang menutup matanya. Bulu matanya yang panjang sekarang
bisa kulihat dengan jelas, betapa aku terpesona melihat wajahnya yang seperti
ini. Tampak damai dan begitu jujur.
Kucium matanya
dan dia tersenyum kecil.
Dengan nyaman
kusandarkan kepalaku ke dadanya, di dekat lehernya. Betapa menyenangkannya
bersama Nero seperti ini walau kami tak melakukan apa-apa dan tidak bicara. Dan
berbagi kehangatan dengan Nero selalu menjadi hal yang paling luar biasa dalam
hidupku sampai aku lupa menggaruk.
***The Flower
Boy Next Door***
Niken tertidur.
Wajahnya tampak damai dalam mimpi.
Tersenyum kecil,
Nero bergerak perlahan, berusaha selembut mungkin agar tidak membangunkan
Niken, dan meletakan kepala Niken ke atas bantal. Niken meringis kecil,
tangannya terangkat dan Nero menangkap tangannya tepat pada waktunya sebelum
menggaruk pipinya.
“Ssssh,” bisik
Nero, pelan-pelan menurunkan tangan Niken. Dia mengambil salep dan mengusapnya
perlahan ke titik-titik merah di wajah Niken. Kemarahan memuncrati dirinya
melihat Niken yang seperti ini sekaligus juga dengan rasa bersalah yang tertumpuk
dalam dada.
“I’m sorry,” Nero mengecup dahi Niken. “I really am sorry.”
Niken bergerak
mendekat, memeluk pinggangnya. Kepalanya bergerak gelisah. Nero segera
melebarkan tangannya dan kepala Niken dengan segera naik ke lengan Nero,
setelah itu dia kembali tenang.
Nero tersenyum.
“Niken, apa kau berniat memberi makan singa yang kelaparan?” bisik Nero
menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Niken. “Kau benar-benar percaya
sepenuhnya padaku ya?”
Tapi Niken hanya
menjawab dengan keheningan dalam tidurnya.
Nero menghela
napas, mengawasi wajah Niken. Mengamati bulu matanya. Bagaimana matanya
bergerak-gerak dalam mimpi. Menghitung napas Niken yang bergerak perlahan.
Bagaimana eratnya Niken memeluknya tiap kali Nero bergerak.
“Nero…”
“Hmmm? Apa kau
memimpikanku?” jawab Nero pelan dari sampingnya.
“… love you…”
Nero mengerjap.
“Niken, are you trying to seduce me?” bisik Nero.
Tapi Niken sudah tidak mengigau lagi. “I’ll
take it as yes,” gumam Nero lalu mencium lembut bibir Niken.
“Hmmm,” gumam
Niken tapi Nero bisa merasakan bibir Niken bergerak sendiri membalas ciumannya.
Nero berusaha
selembut mungkin menciumnya untuk tidak membangunkannya sampai kemudian bibir
Niken tak lagi bergerak.
“Sleep well, Niken,” bisik Nero mengecup
dahinya. “Have a nice dream.”
***The Flower
Boy Next Door***
Rasanya lembut
dan manis. Ini mimpi paling enak dalam tidurku. Di bibirku masih bisa merasakan
betapa lembut, nyaman, sekaligus menggoda sesuatu yang menyentuh bibirku. Dan
hal itu membuatku ketagihan. Hanya saja, segala hal tak berlangsung lama. Tapi
kali ini diganti dengan kehangatan selimutku dan nyamannya guling yang kupeluk.
Namun, ada yang
aneh. Gulingku tentunya tak bergerak dan berukuran sebesar ini kan? Lagipula,
aku merasakan bahwa gulingku ini mengeluarkan suara desahan dan bernapas.
Bahkan dari balik telapak tanganku, aku bisa merasakan detak jantung.
Huh? Detak
jantung?
Kubuka mataku
perlahan. Tubuhku tak bisa bergerak, seakan terperangkap oleh jaring besar,
hanya saja lebih berat dan empuk. Begitu kuangkat kepalaku sedikit, aku
mendapati wajah Nero di sampingku, tertidur dengan posisi memelukku. Kepalaku
terangkat dari dadanya sementara tangannya memegang tanganku yang ada di
dadanya.
Mataku melotot
dan sebelum aku menyadari apa yang terjadi, aku sudah menjerit dan menendangnya
sampai jatuh dari tempat tidur.
“Aduh!”
terdengar suara Nero setelah suara gedebuk dan jatuhnya hiasan kecil di samping
tempat tidurku. Nero muncul dari sisi tempat tidur, memegang wajahnya yang
terhantam sisi meja.
Aku langsung
menyesal. “K-k-kau tak apa-apa?”
Nero meringis,
menurunkan sedikit tangannya dan aku bisa melihat lebam muncul di pipinya.
Mulutku ternganga.
“Ya Tuhan,
Nero…”
“Niken!” Abangku
Ray menggedor pintu. “Apa kau tak apa-apa? Kenapa berteriak?”
Jantungku seakan
keluar dari mulut melihat Nero masih belum bangkit dan memegangi pipinya.
“Nggak apa-apa,”
kataku segera. “Hanya ada tikus.” Aku merangkak ke sisi tempat tidur, melihat
keadaan Nero.
“Tikusnya bukan
Nero kan?” hardik Ray dari balik pintu.
Aku membeku di
tempatku. Oh, tidak. Jangan bilang kalau Abangku tahu!
“Buka pintunya
Niken, aku tahu kalau Nero pasti ada di dalam sana. Dia kan tinggal di sebelah
kamarmu!” Ray menggedor pintu. “Jika kau tak buka, akan kudobrak!”
Mataku melotot.
Apa?
Tidak
mengucapkan apa-apa, Nero bangkit, memberikan ciuman singkat di dahiku lalu
berlari ke jendela. Dia melompat tepat pada waktunya saat terdengar suara
“gebeduk” pertanda Ray sedang berusaha mendobrak pintu.
“Pintuku bisa
rusak! Jangan didobrak!” raungku marah.
“Lebih baik
rusak daripada kau menyimpan cowok di kamarmu!”
“Nggak ada
siapapun, tahu!”
“Kalau begitu
kenapa kau kunci? Buka sekarang juga!”
“Kakiku terkilir
idiot! Sabar sedikit!”
Aku
menyingkirkan selimut dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Begitu pintu
menjeblak terbuka, Ray masuk dan berjalan kesana-kemari. Dia segera melihat
jendela Nero yang tertutup, memeriksa bawah tempat tidur, kamar mandi,
semuanya.
“Lihat kan? Tak
ada orang!” kataku sebal.
“Sepertinya Mama
harus memberikan teralis pada jendelamu,” katanya berapi-api. “Aku tahu Nero
itu baik tapi dia juga berbahaya untuk seorang gadis.”
Mataku
berkilat-kilat. “Kau menyebalkan dan asal kau tahu saja, tak ada yang terjadi.
Sekarang keluar dari kamarku sebelum aku menendangmu keluar!”
Aku tak tahu
apakah harus senang atau marah jika teralis benar-benar bakal dipasang di
jendela kamarku.
***The Flower
Boy Next Door***
“What the hell, Nero? Where did you get this
bruise?” Devon
mengerutkan dahi, menotol memar di pipi Nero tanpa ampun.
Nero menampar
tangannya. “Stop it. Niken just kicked me
out from her bed.”
Devon mengerjap.
“You wha—did you sleep with her?”
“All night,” Nero memutar bola matanya.
Devon
mencengkram kedua bahunya, matanya berkilat berbahaya. “How dare you sleep with girl when you’re still sixteen and not marr—”
“For your information, we didn’t have sex, you moron,” Nero
menyingkirkan tangannya. “She’s still
virgin. We just sleep, hugging each other and nothing more.”
“Oh,” kata Devon, menghela napas lega. “Thanks God, you still have your mind.”
“She’s lucky to have me, and I’m pitty on Audrey coz
you never kiss her.”
Wajah Devon
memerah. “Shut up! I’m not ready.”
“But you kissed me,” kata Nero kalem.
“Forget it, ok?” kata Devon gusar.
“Hey, guys, please stop your chit chat. I got
goosebumps.”
Zoe muncul di ujung jalan.
“And here’s the cold human in the world,” ujar Nero.
“He needs fire, a little bit.” Devon menambahi
sambil mengangguk setuju.
Zoe memutar bola
matanya. “Cut it out. I’ll get girl when
I want to.”
Baik Devon dan
Nero mengangkat bahu seakan mereka tak percaya bahwa Zoe mampu mendapatkan
seorang gadis. Zoe tak pernah menunjukan ketertarikan pada orang-orang di
sekitarnya karena dia, seperti yang sudah dia katakan pada Nero, berdedikasi.
Karena hari ini
Niken harus istirahat penuh di rumah, maka Nero menghabiskan waktu sendirian di
mejanya, malas meladeni teman-temannya dan hanya menatap papan tulis dengan
tatapan kosong.
Alfon tidak
banyak berkomentar mengenai hal ini. Dan dia memanggil Nero ke ruang guru
setelah bel pelajaran berakhir berbunyi.
“Nero, aku
sedikit terganggu dengan tingkahmu di kelas,” kata Alfon. “Banyak guru yang
melaporkan tingkahmu padaku.”
Nero
mengerinyitkan dahi. “Tapi, Pak, aku kan tidak melakukan apapun.”
Alfon
mengangguk. “Benar. Lisa, gantungkan lagi kuncinya di tempat yang benar, terima
kasih,” katanya saat Lisa meletakkan kunci ke meja Pak Garry. Gadis itu
mengangguk kecil, mengambil kunci itu dan menggantungnya ke kumpulan kunci di
ujung ruangan setelah itu keluar dari ruangan. “Kau tahu kenapa aku membiarkanmu
duduk dengan Niken?”
Nero menggeleng
kecil, mengalihkan pandangan pada Alfon lagi.
“Karena dengan
begitu perhatianmu akan lebih fokus,” jelas Alfon. “Sedikit berhasil, tapi
tidak terus-terusan. Apa kau memikirkan sesuatu? Bosan dengan pelajarannya?”
Nero menggeleng
lagi.
Alfon menghela
napas. “Aku ingin kau konsentrasi pada sekitarmu, Nero. Teman-temanmu akan
tidak nyaman jika kau menghayal terus-terusan. Walau aku tidak mengomentari
kepintaranmu, tapi aku rasa kau perlu memperbaiki sosialmu.”
“Tapi kupikir
itu bukan hak guru mengatur kehidupan sosial tiap siswanya.”
Komentar yang
pedas. Kali ini bukan hanya Alfon yang menatap Nero, tapi juga Gerry, Penny dan
Julian, yang ternganga lebar karena terkejut. Ini pertama kalinya ada seseorang
yang berani membantah Alfon, bahkan menantangnya langsung dengan menatap
matanya tanpa berkedip, seakan mengajak perang.
“Kau benar,”
Alfon mengangguk lambat-lambat. “Aku hanya menasehatimu.”
Nero tidak
bergerak selama beberapa detik, lalu pada akhirnya mengangguk kecil, tanpa
mengucapkan apa-apa.
Alfon
mengalihkan pembicaraan, “Kau tahu kenapa Niken tak masuk kelas?”
“Erm… kakinya
terkilir dan butuh istirahat dua hari penuh,” jawab Nero.
Kali ini Alfon
tersenyum dan dengan tulus berkata, “Kau pacar yang tepat untuknya.”
Wajah Nero
memerah. “Erm… terima kasih, Pak.”
Alfon mengangguk
kecil. “Kau sudah bisa kembali.”
Nero mengangguk
kecil, begitu dia mendekati pintu, dia berbalik lagi dan mendatangi Alfon.
“Ya, Nero?” kata
Alfon.
“Maaf jika tadi
cara bicara saya kasar.”
Alfon mengerjap,
tapi tersenyum juga. “Tidak masalah, Nero. Aku bisa mengerti.”
Nero keluar dari
ruang guru, menuntup pintu di belakang punggungnya. Baru kali ini dia
dinasehati seperti ini oleh seorang guru. Tak pernah, dalam sejarah hidupnya,
ada guru yang menegornya hanya karena masalah sosial.
“Yang benar?”
salah satu gadis tampak bersemangat, berbicara pada grup gosipnya. Nero
melewati mereka dengan tak berminat.
“Benar. Aku
lihat Zoe tadi memanggil Lisa. Dia bahkan menunggu Lisa di kelasnya.”
“Aku tadi lihat
mereka ke belakang sekolah.”
Nero berhenti,
menoleh pada mereka.
Grup gadis-gadis
penggosip itu cekikikan.
“Masa sih Zoe
berniat nembak Lisa?”
“Akhir-akhir ini
Zoe kan nanyain Lisa melulu.”
“Oh iya! Benar
tuh. Bahkan aku dengar anak-anak cowok juga heboh karena itu.”
“Oh, ya ampun!
Nggak nyangka seleranya Zoe itu Lisa!”
… I’ll get girl when I want to…
“Wow, he really did it,” gumam Nero
kagum. Dengan cepat dia mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan pada Devon dan
Vion mengenai kabar ini dan—luar biasa—mungkin saja Zoe bakal punya pacar.
Ini tak boleh
dilewatkan.
Lalu Nero
menyusul Zoe yang saat ini, mungkin, ada di belakang sekolah.
***The Flower
Boy Next Door***
Zoe memasukan
kedua tangannya ke dalam saku celananya, menatap Lisa tanpa berkedip. Gadis
yang ada di depannya sungguh cantik, dengan rambut panjang lurus dan tampak
halus, wajah manis dan pribumi, tidak terlalu tinggi dan tampak seperti gadis
baik-baik yang lembut dan sopan.
Lisa tampak
gugup diawasi Zoe, wajahnya memerah. Tadi Zoe tiba-tiba memintanya untuk bicara
berdua, mengajaknya ke belakang sekolah dan kali ini mereka malah terdiam entah
sudah berapa lama. Beberapa hari belakangan ini dia mendengar Zoe menanyakan
tentang dirinya dari teman-temannya. Ada desiran aneh di hati Lisa.
“Lisa,” kata
Zoe, pada akhirnya bicara.
“Erm… ya?” kata
Lisa gugup.
“Kuharap kau
menghentikan aksimu mengerjai Niken.”
Lisa mengangkat
wajahnya. Dia menatap Zoe dengan terkejut. “Zoe.. apa…”
“Tolong jangan
berbohong lagi,” kata Zoe tenang. “Aku mendapati sidik jarimu di bagian dalam
loker Niken, yang tak mungkin disentuh orang lain selain Niken, juga sehelai
rambutmu yang tertinggal. Sidik jarimu juga tertempel pada surat kaleng yang
kau kirimkan pada Niken. Dan jangan katakan aku juga menemukan sidik jari yang
sama pada buku Niken. Karena kau berbeda kelas dengan Niken, kau tak punya hak
menyentuh buku Niken.”
“Aku tak
mengerti apa yang kau katakan,” kata Lisa, tertawa gugup. “Kau memanggilku
hanya untuk ini?”
“Oh, kau ingin
aku melanjutkan? Pak Gerry bisa jadi saksi bahwa kau meminjam kuncinya semalam,
kunci gudang tempat kau menyekap Niken,” kata Zoe lagi.
Lisa menelan
ludah dengan panik, meremas tangannya sekuat tenaga agar tak gemetar.
“Kau sudah
sangat keterlaluan pada Niken. Ingatkan teman-temanmu agar tidak melakukan hal
yang sama. Jika kalian masih meneruskan, aku tak berani jamin Nero akan tinggal
diam mengenai hal ini. Percayalah, dia sangat mengerikan.”
“Tak perlu. Aku
mendengar semuanya.”
Lisa berjengit
dan Zoe berbalik cepat.
Dan terkejut
melihat Nero berdiri di belakangnya dengan tatapan siap membunuh.
“Lari, Lisa,”
kata Zoe melindungi Lisa di belakang punggungnya. “Selamatkan dirimu.”
Tapi Lisa tak
bergerak sementara Nero melangkah mendekat.
“LARI KUBILANG!”
teriak Zoe. Saat itu pula Lisa bergerak, berlari dengan panik.
Nero juga ikut
bergerak, tapi Zoe menghalanginya.
“Minggir,” kata
Nero dengan nada sedingin es.
“Langkahi dulu
mayatku,” kata Zoe.
“As you wish,” ucapnya dan Nero menerjangnya.
Zoe menangkap
tangan Nero, memelintirnya ke belakang punggung Nero, mengaitkan tangan yang
satu lagi ke leher Nero.
“Tenangkan
dirimu!” teriak Zoe.
Tapi tangan Nero
yang satu lagi masih bebas, menyikut perut Zoe sekuat tenaga. Pegangan Zoe
terlepas. Perutnya mengejang dengan rasa nyeri dan sakit yang luar biasa.
Nero berbalik
menyerang, memegangi tangan Zoe, membanting kepalanya ke tanah. Kedua tangannya
memegang lengan Zoe sementara kakinya menginjak bahu Zoe.
Zoe menutup mata,
menggertakan gigi untuk hal yang terburuk.
Nero siap
mematahkan tangannya.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar