Debaran Dua Puluh Tujuh
Another Nero
Pagi hari tampak
cerah dengan matahari bersinar terik dan langit biru tanpa awan, padahal masih
jam setengah tujuh pagi. Hanya saja, aku tak memikirkan hal itu sama sekali.
Menurutku cuaca yang cerah tak memberikan nilai apa-apa bagiku karena begitu
aku melihat diriku di cermin kamar mandi, dengan handuk masih melilit di tubuh,
aku melihat bekas ciuman Nero masih menempel di sana—di leherku, lebih tepatnya
dan lebih dari satu.
Wajahku kembali
memerah dan memanas. Berkat bekas ciuman Nero, aku jadi mengingat apa yang kami
lakukan semalam. Hangat tubuh Nero, bibirnya dan tentu saja napasnya masih
tertinggal di kulitku.
Abangku, Ray,
adalah orang yang pertama yang menyadari bekas ciuman itu. Dengan mata menyipit
curiga dia bertanya kenapa aku punya bekas-bekas aneh di leherku. Tapi karena
dia bodoh, dia bilang kalau aku digigit serangga besar.
Yep. Aku tak
bisa membantahnya. Nero memang bukan serangga, tapi dia jelas sangat berbahaya.
Aku tak akan berduaan dengannya lagi bila malam tiba. Kami berdua jelas bukan
dalam kondisi yang bisa berpikir jernih jika ditinggal berdua. Untunglah
kemarin ada Abangku yang mengganggu.
Bersiap-siap,
aku mengenakan seragamku. Untunglah seragam itu berhasil menutup sempurna bekas
ciuman Nero, kalau tidak aku pasti akan jadi bahan tertawaan dan gosip satu
sekolah. Aku tak menginginkannya.
Saat aku turun
dari kamar, jendela kamar Nero masih tertutup. Sepertinya Nero masih tidur. Dan
tak mungkin bagiku untuk menunggunya lebih lama. Aku seorang pembuka gerbang.
Maka, dengan
berat hati aku turun dari kamar dan berangkat menuju sekolah. Para anggota Osis
sudah berdatangan seperti biasa, termasuk Kak Vion.
“Selamat pagi,
Niken,” sapanya.
“Selamat pagi,”
kataku sedikit kebingungan. “Kok Kak Vion ada di sini?” Biasanya dia akan
berangkat bersama dengan Nero dan Devon—oh, Zoe juga termasuk di dalamnya.
“Sebentar lagi
aku kan tamat. Sebagai Ketua Osis, aku harus melihat calon yang kuat untuk
menggantikanku.”
Oh iya ya. Aku
baru ingat kalau Kak Vion kelas sudah kelas tiga dan empat minggu lagi akan
menjalani UN. Wah, tak disangka, cepat sekali waktu berjalan.
“Aku berniat
mencalonkan Devon sebagai Ketua Osis.” Kak Vion menelusuri daftar keterlambatan
siswa dengan jarinya. Pernyataannya barusan membuatku melotot, nyaris tersedak
dan membuat anak-anak Osis lainnya kaget.
“Loh? Kenapa
Devon?”
“Bukankah Nero
lebih baik daripada Devon?”
“Nero populer,
pintar dan juga menyenangkan. Temannya banyak dan guru-guru suka padanya.”
Kak Vion menutup
daftar. “Catatan latar belakang Nero yang membuatku berpikir ulang untuk
mencalonkannya. Pak Alfon juga setuju karena Nero tak cocok menjadi Ketua Osis.
Yang lebih berkompeten itu Devon.”
“Kenapa bukan
Zoe?”
Begitu nama Zoe
disebut-sebuh, mereka pun ramai membahasnya.
“Benar juga. Zoe
cool dan berkharisma. Lebih cocok.”
“Dia juga nggak
kalah ganteng dari Devon.”
Kalian ini mau
pilih Ketua Osis atau Model sih? Sindirku jengkel.
Yang
mengherankan Kak Vion menggeleng. “Zoe tak bisa dimasukan menjadi kandidat kuat
karena nilainya kritis.”
Itu benar. Nilai
Zoe benar-benar sekarat. Aku bahkan tak akan terkejut bila dia tinggal kelas.
Zoe selalu mendapat peringkat paling akhir—156—yang sangat berbeda dengan Nero
yang selalu di peringkat pertama—peringkatnya juara, atau Devon yang peringkat
45. Dengan kata lain, Devon, kemungkinan besar akan menjadi Ketua Osis tahun
ini.
“Kita lupa, ada
satu nama yang pas untuk jadi Ketua Osis.” Lisa berkata tiba-tiba. “Niken!”
teriaknya kegirangan, menunjukku.
“Hah? Aku?” aku
terkaget-kaget. Aku? Jadi Ketua Osis? Aku bahkan tak pernah memikirkan ataupun
bermimpi jadi ketua Osis. Yang benar saja!
“Iya ya, Niken
kan cocok.”
“Gimana Kak
Vion? cocok kan?”
“Dia lebih
berkualitas ketimbang Devon.”
Eh eh eh! Tunggu
sebentar! Aku belum bersedia menjadi Ketua Osis. Kenapa mereka malah memilihku?
“Sayang sekali,
Pak Alfon tak akan menggusur Niken dari jabatannya.” Kak Vion mendesah.
“Itu artinya aku
harus jadi Koordinator Kedisiplinan Siswa lagi?” ulangku tak percaya.
Kak Vion
mengangguk dan tubuhku lemas seketika.
“Niken, letakin
tasmu ke kelas sana. Biar di sini aku yang urus,” kata Kak Vion.
Aku menurut.
Menjadi Ketua
Kedisiplinan Siswa sekali lagi? Benar-benar mimpi buruk!
***The Flower
Boy Next Door***
Nero
terbahak-bahak mendengar ceritanya.
“Kok malah
ketawa sih?” gerutu Niken.
“Soalnya jabatan
itu cocok untukmu,” kata Nero jujur, kemudian berbisik ke telinga Niken. “Kau
kan seperti Nenek Sihir. Menakutkan.”
Tangan Niken
meninju pelan lengannya.
“Dasar jahat!”
“Selamat siang,
anak-anak.”
Alfon memasuki
kelas, melangkah ringan seperti angin. Tanpa suara, dia meletakan tasnya dengan
elegan, lalu perlahan melihat ke sekitar.
“Kumpul PR-nya.”
Dengan sigap dan
secara serentak, para siswa mengeluarkan buku tugas mereka, meletakannya ke
sudut kanan meja sementara Alfon bergerak dari meja ke meja. Nero meletakan
bukunya dan melirik Niken.
“Niken, ada
apa?” kata Nero.
Wajah Niken
tampak pucat dan panik. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, memeriksa kembali
isi tasnya dan tak menjawab pertanyaannya.
“Niken?”
Dia mengadah,
menelan ludah dengan panik. Suaranya serak, nyaris seperti hendak menangis saat
bilang, “PR-ku tak ada.”
“Tidak lucu,
Niken,” kata Nero. “Jangan bercanda. Kemarin aku melihatmu memasukan buku itu
ke dalam tas.”
“Tapi aku tak
bercanda,” desis Niken. “PR-ku tak ada.”
Suaranya panik,
nyaris berteriak dan tangannya gemetar ketakutan. Niken tak mungkin berbohong.
“Niken, PR-mu?”
tanya Alfon, yang ternyata sudah sampai di meja mereka.
Mulut Niken
terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
“Silakan keluar
dari kelas saya, Niken, sampai kamu menyelesaikan tugas hari ini kamu dilarang
masuk mata pelajaran saya.”
“Niken sudah
menyelesaikan PR-nya,” kata Nero.
Alfon
pelan-pelan menatap Nero. Untuk dua detik dia diam, memilih kata-kata dengan
hati-hati tapi juga bernada tegas. “Kalau begitu, seharusnya Niken bersedia
mengumpulkan PR-nya.”
Nero menoleh
pada Niken, melihat wajah Niken yang kecewa dan terluka, meninju Nero langsung
ke dadanya. Sangat telak sampai membuatnya tak bisa bergerak ataupun membalas
perkataan Alfon. Niken mengerjakan PR itu dengan sungguh-sungguh. Dia sendiri
yang mengajarinya sampai jam sepuluh lewat, dan Nero melihat sendiri bagaiaman
Niken meletakan PR itu ke dalam tasnya. Bagaimana mungkin PR itu tak ada
sekarang?
“Niken, keluar
dari kelas.”
Suara Alfon
membangunkan Niken. Terdengar sangat tegas walau menggunakan nada yang halus.
Mau tak mau, Niken bangkit dan berjalan keluar kelas. Gadis itu bahkan tak
berpaling. Nero hanya mampu melihat punggung Niken, melihat bahu Niken yang
lesu.
Seseorang pasti
telah mengambil PR itu.
Tuduhan yang
sangat tidak beralasan. Tapi kecurigaan itu muncul begitu saja di dalam kepala
Nero layaknya bohlam yang menyala tiba-tiba dan terang-benderang. Tapi, siapa
yang berani mengerjai Niken sampai separah ini?
Kejadian ini
menjadi bahan bisik-bisik para siswa, membuat Nero tak bisa berkonsentrasi.
Yang ingin dia lakukan saat ini adalah berlari keluar kelas, mencari Niken dan
memeluknya, mengatakan bahwa semua baik-baik saja.
Sial. Harus ada
penjelasan masuk akal kenapa PR Niken tiba-tiba hilang.
Bel—yang bagi
Nero seakan berabad-abad—akhirnya berdering. Sebelum Alfon sempat mengucapkan
sepatah kata lagi, Nero sudah bangkit dari kursinya seakan kursi itu terbakar
dan berlari keluar kelas, mencari Niken.
Dia berlari ke
seluruh penjuru sekolah, memeriksa seluruh ruangan satu per satu, membanting
pintu dengan tak sabar, menyingkirkan orang-orang yang menabraknya dan nyaris
frustasi karena tak menemukan Niken sewaktu Devon menegurnya.
“Nero,” Devon memanggilnya. “Can we talk for a bit?”
“Not now, Zoe.”
“I am Devon,” Devon memperbaiki dengan nada
jengkel. “Listen—”
Nero mengibaskan
tangannya, menyuruhnya diam sementara kepalanya melihat kesana-kemari, sama
sekali tak fokus pada Devon.
“What’s wrong?” Devon memilih mengalah.
“Nothing.”
“Really?”
“Damn, Vi—”
“I-AM-DEVON!” Devon meraung, memegang wajah Nero
sehingga menoleh padanya seketika. Nero terkejut, mengerjap kebingungan.
“Hi, Devon. Sorry, Devon.”
“Damn,” Devon melepas pegangannya. “Are you looking for Niken?”
Mata Nero
membulat. “Did you see her?”
“I already want to tell you where she is now. She’s
crying alone on the roof-top and—”
“Thanks, Devon.”
Nero menepuk
bahu Devon lalu berlalu begitu saja.
“I just want to ask you about your annoying fans,
but you’re welcome,”
gumam Devon, melambai kecil pada punggung Nero yang menghilang di belokan lain.
***The Flower
Boy Next Door***
Aku menyeka
mata, memandang langit kebiruan yang membentang dengan indah di depan mataku.
Langit itu ditutupi oleh awan-awan putih indah yang berjalan perlahan, melewati
kepalaku. Kejadian hari ini membuatku tak bisa berhenti menangis. Berulang kali
aku mengintopeksi diriku sendiri apakah ada yang salah pada diriku. Masalahnya,
melakukan intropeksi malah makin membuatku menangis.
Sial.
Baru kali ini
aku merasakan hal memalukan seperti ini: diusir keluar oleh wali kelas sendiri
karena tidak memberikan PR, PR-ku hilang dan sia-sia, dan ada Nero yang melihat
kejadian memalukan ini.
Aku tahu bahwa
Nero sama terkejutnya sepertiku dan dia mungkin tidak akan mempermasalahkannya,
tapi tetap saja rasanya memalukan.
Tiba-tiba
terdengar suara pintu menjeblak terbuka. Kulihat Nero berdiri di ambang pintu,
tereng-engah kehabisan napas. Dia pasti mencariku.
“Niken,”
katanya. Pada akhirnya dia melihat kearahku setelah menoleh kesana-kemari.
Dengan cepat aku
menoleh ke arah lain, cepat-cepat menghapus air mataku yang nyaris berjatuhan
lagi. Entah kenapa aku merasa terharu karena Nero mencariku. Langkah kaki Nero
mendekat, dan aku bisa merasakan panas tubuhnya yang duduk di sampingku.
Bahunya menyentuh bahuku.
“Hei, kau tak
mau melihatku?” tanyanya.
Tampangku pasti
jelek sekali karena habis menangis. Wajah merengut. Mata memerah. Pelupuk mata
membesar. Kelenjar air mata bengkak. Ya ampun… seram sekali. Mana mungkin aku
membiarkan Nero melihat tampangku yang seperti itu?
Nero mendesah
pelan, lalu meletakan kepalanya ke bahuku. “Sampai kapan mau ngambek terus?”
Aku tak
menjawab, tapi menggerakan bahuku menyuruhnya menyingkir dengan segera. Dengan
keras kepala aku masih tak ingin melihatnya. Namun tak lama kurasakan lengan
Nero melingkari bahuku dan meremasnya dengan pelan.
“Semua akan
baik-baik saja, Niken,” kata Nero. “Aku bisa membantumu mengerjakan PR itu
lagi. Kau kan tak terlalu bodoh untuk diajari.”
“Apa sih
maksudmu?” kataku jengkel, menoleh padanya dengan sebal. Kenapa sih dia tak
pernah memberikan kata-kata penghiburan yang manis tanpa perlu mencelaku? Yang
menyebalkan lagi, kenapa aku bisa jatuh cinta padanya?
Nero tersenyum.
“Akhirnya kau melihatku.”
“Iiiiiiiih.”
Kedua tanganku
memukulnya dengan sebal. Tak terlalu keras sih, tapi mampu membuat Nero
menyingkir sedikit sambil mengaduh, mengangkat kedua tangannya untuk melindungi
kepalanya.
“Niken, kau
menganiaya pacarmu sendiri,” kata Nero. “Aw-aw-aw.”
“Me-nye-bal-kan!”
Setiap suku kata
kujadikan tinju luar biasa, membenamkan kepalan tanganku yang kecil ke
punggungnya. Yang mengherankanku dia justru tertawa! Tertawa! Terbahak-bahak
pula!
“Kenapa
tertawa?” kataku jengkel dan tesinggung.
“Aku tertawa
karena lucu.”
“Tidak ada yang
lucu.”
“Ada,” katanya
mengangguk sok pintar. “Wajahmu.”
Mataku
mengerjap, lalu aku sadar apa maksudnya. Cepat-cepat kusembunyikan wajahku
dengan membenamkannya ke kedua tanganku dan berbalik, memunggungi Nero. Uh, aku
sudah menduga bahwa tampangku pasti jelek sekali!
“Niken,” kata
Nero lagi, memelukku dari belakang. “Kau cantik kok.”
“Nggak percaya!”
Siapa sih yang bakal percaya ucapan itu? Sudah pasti itu kebohongan besar! Aku
kan tahu diri siapa diriku. Aku memang
ingin cantik. Tapi aku tahu aku tak bisa.
“Kalau kau tak
percaya perkataan pacarmu sendiri, lalu perkataan siapa yang kau percaya?”
Aku tak menjawab
walau dalam hati membenarkan sekaligus memaki Nero karena apa yang dia katakan
memang benar. Lagi-lagi aku luluh hanya dengan perkataannya. Bagaimana bisa sih
seorang Nero mampu mengucapkan kata-kata manis yang membuatku lupa pada apa yang
menggangguku hari ini? Aku membencinya tadi, sebal padanya, dan kemudian aku
dibuatnya meleleh hanya dengan sebuah kalimat.
Sial. Cowok ini
tampaknya tak hanya pintar dalam pelajaran tapi juga pintar dalam mengucapkan
kata-kata di saat yang tepat. Yang pasti membuatku memujanya lagi.
“Aku
membencimu!” kataku sebal, pada akhirnya menurunkan tanganku, kalah.
“Aku juga
mencintaimu,” katanya lembut.
Nah kan? Siapa
yang tak jatuh cinta pada cowok seperti ini? Memelukku dari belakang,
mengatakan bahwa semua baik-baik saja, menawarkan bantuan saat aku butuh,
bahkan mengerti perasaanku walau aku bilang benci padanya.
Lalu aku
menggigil, merasakan tengkukku dicium Nero.
Wajahku memanas
dalam sekejap.
“Nero,
hentikan,” desisku, memegang lengan Nero yang memelukku. Ciuman Nero tidak
berhenti. Perutku seakan jungkir balik, seakan ada kupu-kupu yang terbang di
dalamnya dan hendak keluar ke alam bebas. Setiap ciuman Nero membakar kulitku.
Dan kali ini, rasa panasnya kurang lebih sama dengan apa yang aku rasakan malam
itu.
Bibirku
mengeluarkan rintikan kecil, sesuatu yang bukan rasa sakit, melainkan rasa
nikmat. Ciuman Nero selalu, dan akan selalu, membuatku tak berdaya.
“Rasanya tak
enak dicuekin pacar sendiri,” kata Nero, lalu mendesah.
Mulutku terkatup
rapat. “Sori,” kataku lambat-lambat.
Nero melepaskan
pelukannya, menarikku untuk menghadapi wajahnya. Dia tersenyum menenangkan.
“Kita bisa menyelesaikan PR-mu sepulang sekolah,” katanya sambil mengacak
rambutku. “Lalu memberikannya pada Alfon dan besok kau sudah bisa masuk
kelasnya.”
Setelah sekian
lama, akhirnya aku tersenyum juga. “Iya.”
Nero tak akan
pernah lari meninggalkanku. Dia akan selalu ada di sampingku saat aku
membutuhkannya.
Dia pahlawanku.
***The Flower
Boy Next Door***
“Bisa kita
bicara sebentar?”
Nero mengadah
mendapati Devon berdiri di depannya. Tampang Devon sama sekali tak
menyenangkan. Dahinya mengerut dalam, ekspresinya serius, bahunya tegak seakan
hendak pergi berperang, matanya tajam sekali dan suaranya, baru kali ini Devon
menggunakan nada suara itu, seakan-akan dia hendak berbicara pada petinggi
kerajaan atau orang-orang penting atau sedang pidato di parlemen, formal
dan dalam.
“Devon, wajahmu
seperti seseorang yang dipaksa menelan racun,” kata Nero.
“Ini penting
sekali.”
Lagi-lagi Devon
menggunakan nada bicara yang sama sehingga mau tak mau Nero pun mengikuti apa
maunya.
“Ok.”
Nero bangkit
dari kursinya, mengikuti Devon dari belakang. Pastilah Devon akan membahas
masalah tadi siang dimana waktu itu dia salah mengenali Devon.
Ya ampun. Masa
sih Devon tersinggung hanya karena masalah itu?
Yang membuat
Nero keheranan, Devon membawanya ke tempat pembuangan sampah sekolah yang
letaknya jauh sekali dari gedung sekolah jadi mustahil sekali ada orang yang
akan mendengarkan pembicaraan mereka. Apakah Devon ingin berkelahi dengannya?
Kenapa dia memilih tempat seperti ini sih? Nero bertanya-tanya dalam hati.
“Nero,” Devon
tiba-tiba berbalik.
Nero berhenti.
“Apa?”
“Terjadi sesuatu
pada Niken.”
Alis Nero
menaik. “Aku tahu.” Devon benar-benar sangat sensitif.
Devon terdiam
beberapa detik, lalu mengangguk kecil. “Dan kau tahu karena apa?”
Pertanyaan ini
mencurigakan. “Aku?” tebak Nero.
“Benar.” Dia
mengangguk lagi. “Apa kau tahu apa yang terjadi?”
Sepertinya Devon
mengetahui sesuatu yang tak Nero tahu. “Tidak. Kau tahu sesuatu?”
Devon menoleh ke
sekitar. “Fansmu, sepertinya, bergotong-royong mengerjai Niken.”
Nero merasakan
jantungnya seakan ditusuk.
“Dengar, kau tak
boleh emosi dulu. Aku tak ingin kau mengamuk tanpa adanya bukti yang cukup.
Kita harus menyelidiki masalah ini lebih lanjut.” Devon memerhatikan ekspresi
wajah Nero.
Nero tidak
menjawab, tapi menatapnya lurus-lurus, hanya saja sinar keheranan yang
terpancar dari mata Nero berubah menjadi lebih gelap.
Ini tidak bagus.
Devon bisa menangkap ada hal yang ganjil.
“Nero, kau bisa
mendengarku kan?” kata Devon lagi.
“Tentu saja aku
bisa mendengarmu,” kata Nero dengan nada dingin.
Devon menarik
napas. Dia punya dugaan. Tapi semoga saja salah. “Baik, kalau begitu kau pasti
tahu namaku.”
Nero menatap
Devon dengan sengit. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. Devon tidak mundur.
Dia tahu ada sesuatu yang salah pada Nero tapi dia tak menyangka bakal separah
ini. Entah Zoe mengetahui hal ini atau tidak, tapi tampaknya Nero…
“Siapa kau?”
kata Devon dengan mata menyipit. “Apakah kau benar-benar Nero?”
Kali ini Devon
bisa melihat kebencian di matanya dan rasa tak suka yang amat dalam muncul
begitu saja, terang-terangan menantang Devon.
“Aku Nero.
Namaku Nero!”
“Bukan. Kau
bukan Nero!” Devon melangkah cepat, mencengkram kerah bajunya. “Kau masa lalu
Nero yang tak mau melepasnya dari bayang-bayang mengerikan dan menyiksanya
perlahan-lahan sampai dia tak bisa mengenal dirinya!”
Nero menggenggam
tangannya, menggertakan gigi tapi tak membantah. “Apa yang kau tahu hah? Aku
yang mengawasinya! Aku melindunginya! Apa kau tahu rasanya menjadiku? Wanita
itu… suatu saat akan kubunuh dia!”
Devon menatapnya
dengan tak percaya. “Jangan bercanda!” raung Devon. “Tak akan kubiarkan Nero
menanggung beban yang dilakukan olehmu!”
Sebuah senyuman
sinis muncul di wajah Nero. Licik dan kejam. Dia bukan Nero. Orang yang ada di
depannya bukan Nero. Dan ini salah satu alasan kenapa Devon tak nyaman dengan
senyuman Nero. Nero memiliki beban yang disembunyikan dengan rapat, ditanggung
oleh jiwa yang haus darah.
“Apa masalahmu?
Aku hanya melakukan apa yang diharapkan oleh Nero,” katanya pelan. “Dan kau
jelas tak memiliki hubungan apapun denganku.”
Cukup.
“Sadarlah, NERO!” teriak Devon.
Nero mengerjap.
“Devon,” katanya
keheranan. “Kenapa kau mencengkram bajuku?”
Devon
mengerutkan dahi, tapi lega karena Nero sudah kembali. Nero yang satu lagi
membuatnya marah dan ngeri. Orang itu gila. Dan dia tak ingin Nero juga
terkontaminasi oleh pemikiran gilanya.
“Devon, bajuku,”
ulang Nero.
“Sori,” gumam
Devon, melepaskan genggamannya.
Nero mengerutkan
dahi, menatapnya lekat-lekat. “Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Tidak ada.”
“Jangan
berbohong denganku, Devon. Aku tahu kau berbohong.”
Benar. Dan tak
ada gunanya bagi Devon untuk menyembunyikan hal itu lebih lama. Agar bisa
mengenal Nero dan mengatasi Nero yang satu lagi, Devon harus tahu apa yang
terjadi.
“Nero,” katanya
lambat-lambat. “Apa kau tahu kalau kau punya kepribadian ganda?”
Nero mengerjap
terkejut. “Apa?”
Shit. Devon sepertinya melangkahi batas.
Berusaha mengatur wajahnya agar tidak terlalu mencurigakan, dia bertanya dengan
nada biasa, “Kau terlihat tak bisa mengatasi emosimu sendiri, seperti… seperti
bukan dirimu. Yeah. Aku pikir tadi aku bicara dengan orang lain.”
“Oh.” Nero
menoleh ke arah lain. “Apa tadi aku marah padamu? Aku tak bisa mengingat dengan
jelas. Emosiku sering membuatku tak sadar apa yang aku lakukan.”
“Sepertinya
memang begitu.” Devon mengangguk setuju.
“Dengar, bisakah
kau memberitahu padaku apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya sangat menyebalkan
tak bisa mengingat apapun yang telah kulakukan,” Nero melangkah mendekat.
Devon tidak
mengacuhkannya. “Saat kau marah atau kehilangan kendali, pernahkah kau ingat
apa yang kau lakukan?”
“Terkadang. Tapi
tak terlalu sering,” Nero menjawab cepat, belum bisa mengalihkan pembicaraan
dari masalah ini. “Devon, aku—” Tapi Nero tidak jadi melanjutkan kalimatnya,
sebagai gantinya, dia malah mendorong minggir Devon, berjalan melewatinya
menuju kotak besar sampah yang akan dibakar.
“Nero, ada apa?”
Nero tak
menjawab. Devon mengerinyitkan dahi, mengikuti Nero dari belakang dengan
penasaran. Langkah Nero semakin lambat kala dia mendekati kotak sampah sekolah
yang berjarak hanya tiga puluh senti dari tubuhnya.
“Nero, tempat
itu bau, kembali kemari.”
Dia tidak
melakukannya. Sebaliknya tanpa ragu Nero malah melompat masuk ke dalam,
memanjat menuju tumpukan sampah yang menggunung antara ranting, botol-botol
bekas minuman, kertas dan plastik.
Devon melihatnya
dengan ternganga. “Nero! Kembali kemari sekarang juga!”
Tangan Nero
sudah masuk ke dalam sampah, yang jatuh di sisinya, lalu mengambil sesuatu yang
ada di atas tumpukan.
“NERO!” Devon
meraung tak sabar.
Jemari Nero
berhasil meraih sebuah buku berwarna biru bersampul plastik yang sekarang
coming-comeng. Dia kembali membawa buku itu, membawa semerbak keharuman sampah
yang luar biasa.
“Apa itu? Buku?
Buku siapa?” Devon bertanya.
“Niken,”
jawabnya cepat. Intonasi suaranya kembali menjadi bermusuhan.
“Huh? Masa?”
“Ini buku PR
Niken. Seseorang membuangnya kemari dengan sengaja dan karena itu pula dia
dilarang Alfon masuk kelas.”
O-ow, ini tak
bagus. Sama sekali tak bagus.
“Nero—”
“Kalau aku tahu
siapa yang melakukan ini, jangan harap dia akan hidup dengan tenang.” Lalu
dengan begitu pula, Nero melangkah pergi, menuju sekolah. Devon mengikuti dari
belakang, tak tahu apakah harus senang atau tidak.
Seseorang baru
saja menarik tuas bom waktu yang akan meledak. Fans Nero atau siapapun itu yang
berada dibalik semua ini akan menghadapi bahaya.
Devon merasa
bahwa perkataan Nero tak akan main-main.
Ini gawat. Zoe
sepertinya harus sering berada di samping Nero untuk melindungi orang-orang
yang akan dihabisi Nero, bukan untuk
melindungi Nero—atau mungkin harus menawarkan diri untuk melindungi Niken
juga.
***The Flower
Boy Next Door***
1 komentar:
kereeen^^ penasaraaan nunggu next chapt
Posting Komentar