RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 10 Mei 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Tujuh)


Debaran Dua Puluh Tujuh
Another Nero

Pagi hari tampak cerah dengan matahari bersinar terik dan langit biru tanpa awan, padahal masih jam setengah tujuh pagi. Hanya saja, aku tak memikirkan hal itu sama sekali. Menurutku cuaca yang cerah tak memberikan nilai apa-apa bagiku karena begitu aku melihat diriku di cermin kamar mandi, dengan handuk masih melilit di tubuh, aku melihat bekas ciuman Nero masih menempel di sana—di leherku, lebih tepatnya dan lebih dari satu.
Wajahku kembali memerah dan memanas. Berkat bekas ciuman Nero, aku jadi mengingat apa yang kami lakukan semalam. Hangat tubuh Nero, bibirnya dan tentu saja napasnya masih tertinggal di kulitku.
Abangku, Ray, adalah orang yang pertama yang menyadari bekas ciuman itu. Dengan mata menyipit curiga dia bertanya kenapa aku punya bekas-bekas aneh di leherku. Tapi karena dia bodoh, dia bilang kalau aku digigit serangga besar.
Yep. Aku tak bisa membantahnya. Nero memang bukan serangga, tapi dia jelas sangat berbahaya. Aku tak akan berduaan dengannya lagi bila malam tiba. Kami berdua jelas bukan dalam kondisi yang bisa berpikir jernih jika ditinggal berdua. Untunglah kemarin ada Abangku yang mengganggu.
Bersiap-siap, aku mengenakan seragamku. Untunglah seragam itu berhasil menutup sempurna bekas ciuman Nero, kalau tidak aku pasti akan jadi bahan tertawaan dan gosip satu sekolah. Aku tak menginginkannya.
Saat aku turun dari kamar, jendela kamar Nero masih tertutup. Sepertinya Nero masih tidur. Dan tak mungkin bagiku untuk menunggunya lebih lama. Aku seorang pembuka gerbang.
Maka, dengan berat hati aku turun dari kamar dan berangkat menuju sekolah. Para anggota Osis sudah berdatangan seperti biasa, termasuk Kak Vion.
“Selamat pagi, Niken,” sapanya.
“Selamat pagi,” kataku sedikit kebingungan. “Kok Kak Vion ada di sini?” Biasanya dia akan berangkat bersama dengan Nero dan Devon—oh, Zoe juga termasuk di dalamnya.
“Sebentar lagi aku kan tamat. Sebagai Ketua Osis, aku harus melihat calon yang kuat untuk menggantikanku.”
Oh iya ya. Aku baru ingat kalau Kak Vion kelas sudah kelas tiga dan empat minggu lagi akan menjalani UN. Wah, tak disangka, cepat sekali waktu berjalan.
“Aku berniat mencalonkan Devon sebagai Ketua Osis.” Kak Vion menelusuri daftar keterlambatan siswa dengan jarinya. Pernyataannya barusan membuatku melotot, nyaris tersedak dan membuat anak-anak Osis lainnya kaget.
“Loh? Kenapa Devon?”
“Bukankah Nero lebih baik daripada Devon?”
“Nero populer, pintar dan juga menyenangkan. Temannya banyak dan guru-guru suka padanya.”
Kak Vion menutup daftar. “Catatan latar belakang Nero yang membuatku berpikir ulang untuk mencalonkannya. Pak Alfon juga setuju karena Nero tak cocok menjadi Ketua Osis. Yang lebih berkompeten itu Devon.”
“Kenapa bukan Zoe?”
Begitu nama Zoe disebut-sebuh, mereka pun ramai membahasnya.
“Benar juga. Zoe cool dan berkharisma. Lebih cocok.”
“Dia juga nggak kalah ganteng dari Devon.”
Kalian ini mau pilih Ketua Osis atau Model sih? Sindirku jengkel.
Yang mengherankan Kak Vion menggeleng. “Zoe tak bisa dimasukan menjadi kandidat kuat karena nilainya kritis.”
Itu benar. Nilai Zoe benar-benar sekarat. Aku bahkan tak akan terkejut bila dia tinggal kelas. Zoe selalu mendapat peringkat paling akhir—156—yang sangat berbeda dengan Nero yang selalu di peringkat pertama—peringkatnya juara, atau Devon yang peringkat 45. Dengan kata lain, Devon, kemungkinan besar akan menjadi Ketua Osis tahun ini.
“Kita lupa, ada satu nama yang pas untuk jadi Ketua Osis.” Lisa berkata tiba-tiba. “Niken!” teriaknya kegirangan, menunjukku.
“Hah? Aku?” aku terkaget-kaget. Aku? Jadi Ketua Osis? Aku bahkan tak pernah memikirkan ataupun bermimpi jadi ketua Osis. Yang benar saja!
“Iya ya, Niken kan cocok.”
“Gimana Kak Vion? cocok kan?”
“Dia lebih berkualitas ketimbang Devon.”
Eh eh eh! Tunggu sebentar! Aku belum bersedia menjadi Ketua Osis. Kenapa mereka malah memilihku?
“Sayang sekali, Pak Alfon tak akan menggusur Niken dari jabatannya.” Kak Vion mendesah.
“Itu artinya aku harus jadi Koordinator Kedisiplinan Siswa lagi?” ulangku tak percaya.
Kak Vion mengangguk dan tubuhku lemas seketika.
“Niken, letakin tasmu ke kelas sana. Biar di sini aku yang urus,” kata Kak Vion.
Aku menurut.
Menjadi Ketua Kedisiplinan Siswa sekali lagi? Benar-benar mimpi buruk!
***The Flower Boy Next Door***
Nero terbahak-bahak mendengar ceritanya.
“Kok malah ketawa sih?” gerutu Niken.
“Soalnya jabatan itu cocok untukmu,” kata Nero jujur, kemudian berbisik ke telinga Niken. “Kau kan seperti Nenek Sihir. Menakutkan.”
Tangan Niken meninju pelan lengannya.
“Dasar jahat!”
“Selamat siang, anak-anak.”
Alfon memasuki kelas, melangkah ringan seperti angin. Tanpa suara, dia meletakan tasnya dengan elegan, lalu perlahan melihat ke sekitar.
“Kumpul PR-nya.”
Dengan sigap dan secara serentak, para siswa mengeluarkan buku tugas mereka, meletakannya ke sudut kanan meja sementara Alfon bergerak dari meja ke meja. Nero meletakan bukunya dan melirik Niken.
“Niken, ada apa?” kata Nero.
Wajah Niken tampak pucat dan panik. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, memeriksa kembali isi tasnya dan tak menjawab pertanyaannya.
“Niken?”
Dia mengadah, menelan ludah dengan panik. Suaranya serak, nyaris seperti hendak menangis saat bilang, “PR-ku tak ada.”
“Tidak lucu, Niken,” kata Nero. “Jangan bercanda. Kemarin aku melihatmu memasukan buku itu ke dalam tas.”
“Tapi aku tak bercanda,” desis Niken. “PR-ku tak ada.”
Suaranya panik, nyaris berteriak dan tangannya gemetar ketakutan. Niken tak mungkin berbohong.
“Niken, PR-mu?” tanya Alfon, yang ternyata sudah sampai di meja mereka.
Mulut Niken terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
“Silakan keluar dari kelas saya, Niken, sampai kamu menyelesaikan tugas hari ini kamu dilarang masuk mata pelajaran saya.”
“Niken sudah menyelesaikan PR-nya,” kata Nero.
Alfon pelan-pelan menatap Nero. Untuk dua detik dia diam, memilih kata-kata dengan hati-hati tapi juga bernada tegas. “Kalau begitu, seharusnya Niken bersedia mengumpulkan PR-nya.”
Nero menoleh pada Niken, melihat wajah Niken yang kecewa dan terluka, meninju Nero langsung ke dadanya. Sangat telak sampai membuatnya tak bisa bergerak ataupun membalas perkataan Alfon. Niken mengerjakan PR itu dengan sungguh-sungguh. Dia sendiri yang mengajarinya sampai jam sepuluh lewat, dan Nero melihat sendiri bagaiaman Niken meletakan PR itu ke dalam tasnya. Bagaimana mungkin PR itu tak ada sekarang?
“Niken, keluar dari kelas.”
Suara Alfon membangunkan Niken. Terdengar sangat tegas walau menggunakan nada yang halus. Mau tak mau, Niken bangkit dan berjalan keluar kelas. Gadis itu bahkan tak berpaling. Nero hanya mampu melihat punggung Niken, melihat bahu Niken yang lesu.
Seseorang pasti telah mengambil PR itu.
Tuduhan yang sangat tidak beralasan. Tapi kecurigaan itu muncul begitu saja di dalam kepala Nero layaknya bohlam yang menyala tiba-tiba dan terang-benderang. Tapi, siapa yang berani mengerjai Niken sampai separah ini?
Kejadian ini menjadi bahan bisik-bisik para siswa, membuat Nero tak bisa berkonsentrasi. Yang ingin dia lakukan saat ini adalah berlari keluar kelas, mencari Niken dan memeluknya, mengatakan bahwa semua baik-baik saja.
Sial. Harus ada penjelasan masuk akal kenapa PR Niken tiba-tiba hilang.
Bel—yang bagi Nero seakan berabad-abad—akhirnya berdering. Sebelum Alfon sempat mengucapkan sepatah kata lagi, Nero sudah bangkit dari kursinya seakan kursi itu terbakar dan berlari keluar kelas, mencari Niken.
Dia berlari ke seluruh penjuru sekolah, memeriksa seluruh ruangan satu per satu, membanting pintu dengan tak sabar, menyingkirkan orang-orang yang menabraknya dan nyaris frustasi karena tak menemukan Niken sewaktu Devon menegurnya.
“Nero,” Devon memanggilnya. “Can we talk for a bit?”
“Not now, Zoe.”
“I am Devon,” Devon memperbaiki dengan nada jengkel. “Listen—”
Nero mengibaskan tangannya, menyuruhnya diam sementara kepalanya melihat kesana-kemari, sama sekali tak fokus pada Devon.
“What’s wrong?” Devon memilih mengalah.
“Nothing.”
“Really?”
“Damn, Vi—”
“I-AM-DEVON!” Devon meraung, memegang wajah Nero sehingga menoleh padanya seketika. Nero terkejut, mengerjap kebingungan.
“Hi, Devon. Sorry, Devon.”
“Damn,” Devon melepas pegangannya. “Are you looking for Niken?”
Mata Nero membulat. “Did you see her?”
“I already want to tell you where she is now. She’s crying alone on the roof-top and—”
“Thanks, Devon.”
Nero menepuk bahu Devon lalu berlalu begitu saja.
“I just want to ask you about your annoying fans, but you’re welcome,” gumam Devon, melambai kecil pada punggung Nero yang menghilang di belokan lain.
***The Flower Boy Next Door***
Aku menyeka mata, memandang langit kebiruan yang membentang dengan indah di depan mataku. Langit itu ditutupi oleh awan-awan putih indah yang berjalan perlahan, melewati kepalaku. Kejadian hari ini membuatku tak bisa berhenti menangis. Berulang kali aku mengintopeksi diriku sendiri apakah ada yang salah pada diriku. Masalahnya, melakukan intropeksi malah makin membuatku menangis.
Sial.
Baru kali ini aku merasakan hal memalukan seperti ini: diusir keluar oleh wali kelas sendiri karena tidak memberikan PR, PR-ku hilang dan sia-sia, dan ada Nero yang melihat kejadian memalukan ini.
Aku tahu bahwa Nero sama terkejutnya sepertiku dan dia mungkin tidak akan mempermasalahkannya, tapi tetap saja rasanya memalukan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu menjeblak terbuka. Kulihat Nero berdiri di ambang pintu, tereng-engah kehabisan napas. Dia pasti mencariku.
“Niken,” katanya. Pada akhirnya dia melihat kearahku setelah menoleh kesana-kemari.
Dengan cepat aku menoleh ke arah lain, cepat-cepat menghapus air mataku yang nyaris berjatuhan lagi. Entah kenapa aku merasa terharu karena Nero mencariku. Langkah kaki Nero mendekat, dan aku bisa merasakan panas tubuhnya yang duduk di sampingku. Bahunya menyentuh bahuku.
“Hei, kau tak mau melihatku?” tanyanya.
Tampangku pasti jelek sekali karena habis menangis. Wajah merengut. Mata memerah. Pelupuk mata membesar. Kelenjar air mata bengkak. Ya ampun… seram sekali. Mana mungkin aku membiarkan Nero melihat tampangku yang seperti itu?
Nero mendesah pelan, lalu meletakan kepalanya ke bahuku. “Sampai kapan mau ngambek terus?”
Aku tak menjawab, tapi menggerakan bahuku menyuruhnya menyingkir dengan segera. Dengan keras kepala aku masih tak ingin melihatnya. Namun tak lama kurasakan lengan Nero melingkari bahuku dan meremasnya dengan pelan.
“Semua akan baik-baik saja, Niken,” kata Nero. “Aku bisa membantumu mengerjakan PR itu lagi. Kau kan tak terlalu bodoh untuk diajari.”
“Apa sih maksudmu?” kataku jengkel, menoleh padanya dengan sebal. Kenapa sih dia tak pernah memberikan kata-kata penghiburan yang manis tanpa perlu mencelaku? Yang menyebalkan lagi, kenapa aku bisa jatuh cinta padanya?
Nero tersenyum. “Akhirnya kau melihatku.”
“Iiiiiiiih.”
Kedua tanganku memukulnya dengan sebal. Tak terlalu keras sih, tapi mampu membuat Nero menyingkir sedikit sambil mengaduh, mengangkat kedua tangannya untuk melindungi kepalanya.
“Niken, kau menganiaya pacarmu sendiri,” kata Nero. “Aw-aw-aw.”
“Me-nye-bal-kan!”
Setiap suku kata kujadikan tinju luar biasa, membenamkan kepalan tanganku yang kecil ke punggungnya. Yang mengherankanku dia justru tertawa! Tertawa! Terbahak-bahak pula!
“Kenapa tertawa?” kataku jengkel dan tesinggung.
“Aku tertawa karena lucu.”
“Tidak ada yang lucu.”
“Ada,” katanya mengangguk sok pintar. “Wajahmu.”
Mataku mengerjap, lalu aku sadar apa maksudnya. Cepat-cepat kusembunyikan wajahku dengan membenamkannya ke kedua tanganku dan berbalik, memunggungi Nero. Uh, aku sudah menduga bahwa tampangku pasti jelek sekali!
“Niken,” kata Nero lagi, memelukku dari belakang. “Kau cantik kok.”
“Nggak percaya!” Siapa sih yang bakal percaya ucapan itu? Sudah pasti itu kebohongan besar! Aku kan tahu diri siapa diriku. Aku memang ingin cantik. Tapi aku tahu aku tak bisa.
“Kalau kau tak percaya perkataan pacarmu sendiri, lalu perkataan siapa yang kau percaya?”
Aku tak menjawab walau dalam hati membenarkan sekaligus memaki Nero karena apa yang dia katakan memang benar. Lagi-lagi aku luluh hanya dengan perkataannya. Bagaimana bisa sih seorang Nero mampu mengucapkan kata-kata manis yang membuatku lupa pada apa yang menggangguku hari ini? Aku membencinya tadi, sebal padanya, dan kemudian aku dibuatnya meleleh hanya dengan sebuah kalimat.
Sial. Cowok ini tampaknya tak hanya pintar dalam pelajaran tapi juga pintar dalam mengucapkan kata-kata di saat yang tepat. Yang pasti membuatku memujanya lagi.
“Aku membencimu!” kataku sebal, pada akhirnya menurunkan tanganku, kalah.
“Aku juga mencintaimu,” katanya lembut.
Nah kan? Siapa yang tak jatuh cinta pada cowok seperti ini? Memelukku dari belakang, mengatakan bahwa semua baik-baik saja, menawarkan bantuan saat aku butuh, bahkan mengerti perasaanku walau aku bilang benci padanya.
Lalu aku menggigil, merasakan tengkukku dicium Nero.
Wajahku memanas dalam sekejap.
“Nero, hentikan,” desisku, memegang lengan Nero yang memelukku. Ciuman Nero tidak berhenti. Perutku seakan jungkir balik, seakan ada kupu-kupu yang terbang di dalamnya dan hendak keluar ke alam bebas. Setiap ciuman Nero membakar kulitku. Dan kali ini, rasa panasnya kurang lebih sama dengan apa yang aku rasakan malam itu.
Bibirku mengeluarkan rintikan kecil, sesuatu yang bukan rasa sakit, melainkan rasa nikmat. Ciuman Nero selalu, dan akan selalu, membuatku tak berdaya.
“Rasanya tak enak dicuekin pacar sendiri,” kata Nero, lalu mendesah.
Mulutku terkatup rapat. “Sori,” kataku lambat-lambat.
Nero melepaskan pelukannya, menarikku untuk menghadapi wajahnya. Dia tersenyum menenangkan. “Kita bisa menyelesaikan PR-mu sepulang sekolah,” katanya sambil mengacak rambutku. “Lalu memberikannya pada Alfon dan besok kau sudah bisa masuk kelasnya.”
Setelah sekian lama, akhirnya aku tersenyum juga. “Iya.”
Nero tak akan pernah lari meninggalkanku. Dia akan selalu ada di sampingku saat aku membutuhkannya.
Dia pahlawanku.
***The Flower Boy Next Door***
“Bisa kita bicara sebentar?”
Nero mengadah mendapati Devon berdiri di depannya. Tampang Devon sama sekali tak menyenangkan. Dahinya mengerut dalam, ekspresinya serius, bahunya tegak seakan hendak pergi berperang, matanya tajam sekali dan suaranya, baru kali ini Devon menggunakan nada suara itu, seakan-akan dia hendak berbicara pada petinggi kerajaan atau orang-orang penting atau sedang pidato di parlemen, formal dan dalam.
“Devon, wajahmu seperti seseorang yang dipaksa menelan racun,” kata Nero.
“Ini penting sekali.”
Lagi-lagi Devon menggunakan nada bicara yang sama sehingga mau tak mau Nero pun mengikuti apa maunya.
“Ok.”
Nero bangkit dari kursinya, mengikuti Devon dari belakang. Pastilah Devon akan membahas masalah tadi siang dimana waktu itu dia salah mengenali Devon.
Ya ampun. Masa sih Devon tersinggung hanya karena masalah itu?
Yang membuat Nero keheranan, Devon membawanya ke tempat pembuangan sampah sekolah yang letaknya jauh sekali dari gedung sekolah jadi mustahil sekali ada orang yang akan mendengarkan pembicaraan mereka. Apakah Devon ingin berkelahi dengannya? Kenapa dia memilih tempat seperti ini sih? Nero bertanya-tanya dalam hati.
“Nero,” Devon tiba-tiba berbalik.
Nero berhenti. “Apa?”
“Terjadi sesuatu pada Niken.”
Alis Nero menaik. “Aku tahu.” Devon benar-benar sangat sensitif.
Devon terdiam beberapa detik, lalu mengangguk kecil. “Dan kau tahu karena apa?”
Pertanyaan ini mencurigakan. “Aku?” tebak Nero.
“Benar.” Dia mengangguk lagi. “Apa kau tahu apa yang terjadi?”
Sepertinya Devon mengetahui sesuatu yang tak Nero tahu. “Tidak. Kau tahu sesuatu?”
Devon menoleh ke sekitar. “Fansmu, sepertinya, bergotong-royong mengerjai Niken.”
Nero merasakan jantungnya seakan ditusuk.
“Dengar, kau tak boleh emosi dulu. Aku tak ingin kau mengamuk tanpa adanya bukti yang cukup. Kita harus menyelidiki masalah ini lebih lanjut.” Devon memerhatikan ekspresi wajah Nero.
Nero tidak menjawab, tapi menatapnya lurus-lurus, hanya saja sinar keheranan yang terpancar dari mata Nero berubah menjadi lebih gelap.
Ini tidak bagus. Devon bisa menangkap ada hal yang ganjil.
“Nero, kau bisa mendengarku kan?” kata Devon lagi.
“Tentu saja aku bisa mendengarmu,” kata Nero dengan nada dingin.
Devon menarik napas. Dia punya dugaan. Tapi semoga saja salah. “Baik, kalau begitu kau pasti tahu namaku.”
Nero menatap Devon dengan sengit. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. Devon tidak mundur. Dia tahu ada sesuatu yang salah pada Nero tapi dia tak menyangka bakal separah ini. Entah Zoe mengetahui hal ini atau tidak, tapi tampaknya Nero…
“Siapa kau?” kata Devon dengan mata menyipit. “Apakah kau benar-benar Nero?”
Kali ini Devon bisa melihat kebencian di matanya dan rasa tak suka yang amat dalam muncul begitu saja, terang-terangan menantang Devon.
“Aku Nero. Namaku Nero!”
“Bukan. Kau bukan Nero!” Devon melangkah cepat, mencengkram kerah bajunya. “Kau masa lalu Nero yang tak mau melepasnya dari bayang-bayang mengerikan dan menyiksanya perlahan-lahan sampai dia tak bisa mengenal dirinya!”
Nero menggenggam tangannya, menggertakan gigi tapi tak membantah. “Apa yang kau tahu hah? Aku yang mengawasinya! Aku melindunginya! Apa kau tahu rasanya menjadiku? Wanita itu… suatu saat akan kubunuh dia!”
Devon menatapnya dengan tak percaya. “Jangan bercanda!” raung Devon. “Tak akan kubiarkan Nero menanggung beban yang dilakukan olehmu!”
Sebuah senyuman sinis muncul di wajah Nero. Licik dan kejam. Dia bukan Nero. Orang yang ada di depannya bukan Nero. Dan ini salah satu alasan kenapa Devon tak nyaman dengan senyuman Nero. Nero memiliki beban yang disembunyikan dengan rapat, ditanggung oleh jiwa yang haus darah.
“Apa masalahmu? Aku hanya melakukan apa yang diharapkan oleh Nero,” katanya pelan. “Dan kau jelas tak memiliki hubungan apapun denganku.”
Cukup. “Sadarlah, NERO!” teriak Devon.
Nero mengerjap.
“Devon,” katanya keheranan. “Kenapa kau mencengkram bajuku?”
Devon mengerutkan dahi, tapi lega karena Nero sudah kembali. Nero yang satu lagi membuatnya marah dan ngeri. Orang itu gila. Dan dia tak ingin Nero juga terkontaminasi oleh pemikiran gilanya.
“Devon, bajuku,” ulang Nero.
“Sori,” gumam Devon, melepaskan genggamannya.
Nero mengerutkan dahi, menatapnya lekat-lekat. “Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Tidak ada.”
“Jangan berbohong denganku, Devon. Aku tahu kau berbohong.”
Benar. Dan tak ada gunanya bagi Devon untuk menyembunyikan hal itu lebih lama. Agar bisa mengenal Nero dan mengatasi Nero yang satu lagi, Devon harus tahu apa yang terjadi.
“Nero,” katanya lambat-lambat. “Apa kau tahu kalau kau punya kepribadian ganda?”
Nero mengerjap terkejut. “Apa?”
Shit. Devon sepertinya melangkahi batas. Berusaha mengatur wajahnya agar tidak terlalu mencurigakan, dia bertanya dengan nada biasa, “Kau terlihat tak bisa mengatasi emosimu sendiri, seperti… seperti bukan dirimu. Yeah. Aku pikir tadi aku bicara dengan orang lain.”
“Oh.” Nero menoleh ke arah lain. “Apa tadi aku marah padamu? Aku tak bisa mengingat dengan jelas. Emosiku sering membuatku tak sadar apa yang aku lakukan.”
“Sepertinya memang begitu.” Devon mengangguk setuju.
“Dengar, bisakah kau memberitahu padaku apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya sangat menyebalkan tak bisa mengingat apapun yang telah kulakukan,” Nero melangkah mendekat.
Devon tidak mengacuhkannya. “Saat kau marah atau kehilangan kendali, pernahkah kau ingat apa yang kau lakukan?”
“Terkadang. Tapi tak terlalu sering,” Nero menjawab cepat, belum bisa mengalihkan pembicaraan dari masalah ini. “Devon, aku—” Tapi Nero tidak jadi melanjutkan kalimatnya, sebagai gantinya, dia malah mendorong minggir Devon, berjalan melewatinya menuju kotak besar sampah yang akan dibakar.
“Nero, ada apa?”
Nero tak menjawab. Devon mengerinyitkan dahi, mengikuti Nero dari belakang dengan penasaran. Langkah Nero semakin lambat kala dia mendekati kotak sampah sekolah yang berjarak hanya tiga puluh senti dari tubuhnya.
“Nero, tempat itu bau, kembali kemari.”
Dia tidak melakukannya. Sebaliknya tanpa ragu Nero malah melompat masuk ke dalam, memanjat menuju tumpukan sampah yang menggunung antara ranting, botol-botol bekas minuman, kertas dan plastik.
Devon melihatnya dengan ternganga. “Nero! Kembali kemari sekarang juga!”
Tangan Nero sudah masuk ke dalam sampah, yang jatuh di sisinya, lalu mengambil sesuatu yang ada di atas tumpukan.
“NERO!” Devon meraung tak sabar.
Jemari Nero berhasil meraih sebuah buku berwarna biru bersampul plastik yang sekarang coming-comeng. Dia kembali membawa buku itu, membawa semerbak keharuman sampah yang luar biasa.
“Apa itu? Buku? Buku siapa?” Devon bertanya.
“Niken,” jawabnya cepat. Intonasi suaranya kembali menjadi bermusuhan.
“Huh? Masa?”
“Ini buku PR Niken. Seseorang membuangnya kemari dengan sengaja dan karena itu pula dia dilarang Alfon masuk kelas.”
O-ow, ini tak bagus. Sama sekali tak bagus.
“Nero—”
“Kalau aku tahu siapa yang melakukan ini, jangan harap dia akan hidup dengan tenang.” Lalu dengan begitu pula, Nero melangkah pergi, menuju sekolah. Devon mengikuti dari belakang, tak tahu apakah harus senang atau tidak.
Seseorang baru saja menarik tuas bom waktu yang akan meledak. Fans Nero atau siapapun itu yang berada dibalik semua ini akan menghadapi bahaya.
Devon merasa bahwa perkataan Nero tak akan main-main.
Ini gawat. Zoe sepertinya harus sering berada di samping Nero untuk melindungi orang-orang yang akan dihabisi Nero, bukan untuk melindungi Nero—atau mungkin harus menawarkan diri untuk melindungi Niken juga.
***The Flower Boy Next Door***

1 komentar:

Unknown mengatakan...

kereeen^^ penasaraaan nunggu next chapt

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.