Debaran Dua Puluh Delapan
Bully
Mood Nero sedang sangat buruk.
Begitu kembali,
wajah Nero ditekuk dan dia tak membalas sapaan dari satu pun teman-temannya.
“Ada apa?”
tanyaku.
Namun begitu
matanya melihatku, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih baik. Dia tersenyum
manis, menggenggam tanganku, meremasnya perlahan dan berkata, “Melihatmu aku
jadi merasa baik-baik saja.”
“Apa terjadi
sesuatu?” Aku bertanya lagi.
“Devon hanya
sedikit menyebalkan hari ini,” katanya melihat lurus ke depan. “Tapi aku bisa
mengatasinya. Kadang dia bisa sangat menjengkelkan.”
Devon memang
sering menjengkelkan tapi Devon tak akan pernah menyakiti Nero, jadi mustahil
sekali Devon mampu melakukannya. Dengan kata lain, Nero berbohong. Apalagi
melihat matanya yang menoleh ke sekitar dengan tatapan dingin yang siap
membunuh orang membuatku yakin ada sesuatu yang terjadi.
Dan ini bukan
mengenai Devon.
“Nero—”
“Sepulang
sekolah kita akan menyelesaikan PR-mu di perpus, bagaimana menurutmu?” kata
Nero. Intonasinya suaranya kembali lembut dan menenangkan. Apakah ini ilusi
saja? Aku merasa dia tidak baik-baik saja.
Aku mengangguk
kecil. “Ya. Perpustakaan juga ok.”
Dia tersenyum
tipis dan kembali menoleh ke arah lain. Aku gelisah setengah mati, aku merasa
Nero seperti seekor singa betina yang mengincar mangsa dibalik rerumputan
kering dan ketika dia menemukannya, dia akan menyergap, menusukkan giginya yang
tajam ke leher sang korban. Semoga saja tidak.
Sepulang
sekolah, aku meminta Nero menungguku di perpustakaan sementara aku harus
mengambil buku-bukuku, menyiapkan beberapa hal di koridorku. Namun begitu aku
membuka koridorku, sesuatu jatuh dari dalam, berwarna merah, menetes-netes dari
dalam lokerku serentak dengan keluarnya seekor kucing hitam yang mengeong marah
dan berlari keluar.
Mataku membulat
kaget. Tenggorokanku kering.
Bukankah ini
sudah sangat keterlaluan?
Jantungku berdegup-degup
tak karuan. Dengan susah payah aku mencoba menenangkan diri sementara jemariku
gemetar. Lokerku sekarang dalam keadaan basah kuyup, begitu pula dengan seragam
olahragaku: berwarna merah seperti darah. Sebuah surat terselip di pintu
lokerku.
Aku mengambil,
membuka dengan takut dan semakin ketakutan melihat ancaman dari surat kaleng
menyebalkan itu.
CEPAT PUTUS
DENGAN NERO DAN JANGAN DEKATI DIA LAGI
Atau apa? Aku menantang dalam hati, melihat surat
yang ditempeli dengan potongan koran itu. Surat seperti ini hanya untuk
pengecut. Hal kecil seperti ini tak akan membuatku mundur begitu saja.
Memangnya mereka siapa sampai harus mengatur-atur aku? Aku, Niken, si
Koordinator Kedisplinan Siswa tak akan tinggal diam! Akan kuselidiki siapa
pelakunya dan membalasnya setimpal dengan apa yang dia lakukan!
Kuremas surat
itu dengan jengkel lalu melemparnya ke tong sampah.
Sekarang apa?
Aku memandang lokerku yang berwarna merah, penuh coretan yang tak enak dibaca.
Aku ingin sekali membanting lokerku keluar, tapi aku tak mungkin merusak
fasilitas sekolah seperti yang dilakukan Nero.
Lagipula, Nero
sedang menungguku di perpus.
“Niken.”
Terdengar suara
Zoe dan aku membanting pintu lokerku. Zoe mendekat, memandangku dengan
keheranan.
“Apa, Zoe?”
kataku gugup.
Dahinya sedikit
mengerut, matanya menatapku lurus-lurus, membuatku tak nyaman. “Apa kau melihat
Nero?” katanya setelah lima detik dalam hening.
“Dia ada di
perpustakaan,” aku menghela napas lega. “Aku dan dia akan belajar bersama di
sana.”
“Oh,” katanya,
masih menatapku lurus-lurus. “Baiklah. Bisakah kau sampaikan pesanku padanya
bahwa aku ada sedikit urusan. Dan jika kau tak keberatan, tolong jangan
jauh-jauh darinya dan antarkan dia sampai ke rumah.”
Sekarang justru
dahiku yang mengerut dalam. Bukankah seharusnya kalimat itu ditujukan pada Nero
yang mengantarku dan bukan sebaliknya? “Erm, ok,” kataku cepat. “Ka—kalau
begitu, aku… aku permisi dulu.”
Zoe mengangguk
sekali, menatapku yang pergi dengan buru-buru.
Jantungku
berdegup-degup tak karuan antara panik, takut, gelisah dan keheranan. Zoe,
bagaimana mengatakannya ya, sedikit membuatku takut. Berbeda dengan Devon, aku
bisa merasakan auranya yang tak biasa. Dia terlalu tenang untuk ukuran anak
berusia tujuh belas tahun dan terlalu dewasa menghadapi sikap Devon dan Kak
Vion. Bila aku memilih antara Zoe dan Devon, aku akan memilih Devon. Devon
memang menyebalkan, tapi dia tidak menyeramkan. Tapi Zoe… well, dia memang tidak banyak bicara tapi auranya membuatku harus
menjaga diri. Banyak yang bilang, lebih sulit menebak pikiran orang yang
pendiam. Itu benar sekali.
***The Flower
Boy Next Door***
Setelah Niken
pergi, Zoe memastikan bahwa Niken tak akan kembali dalam dua menit. Dia menoleh
ke sekitar, memastikan bahwa tak ada orang yang berada di dekatnya saat ini
ataupun ada orang yang mencurigai tingkahnya, dan beraksi.
Hari ini terlalu
banyak kebetulan dan dia tak suka bila Nero kehilangan kendali diri.
Mengambil kawat
kecil dari sakunya, Zoe menunduk kecil, memasukan kawat itu ke salah satu loker
bernama “Niken” dan membuka loker itu hanya dalam waktu sepuluh detik. Terdengar
bunyi “klik” kecil dan loker Niken terbuka dengan sendirinya.
“Oh my,” gumam Zoe melihat kondisi loker Niken. “They’re really cheeky, those stupid
annoying fans of yours, Nero. I’m gonna make them pay for all they did.”
Telunjuk Zoe
menyentuh cairan merah itu dan mencium baunya. Cat minyak dan tidak terlalu
kental.
Fans Nero, atau
orang-orang gila yang tergila-gila pada Nero, benar-benar tahu bagaimana
caranya memperlakukan seseorang dan Devon jelas membaca hal itu dengan cepat,
berbeda dengan Vion yang tololnya minta ampun. Zoe heran melihat kepolosan Vion
terhadap sekitarnya. Anak itu harus diajari seperti apa yang namanya “sosial”.
Nero juga sama saja, walau Zoe yakin bahwa Nero sudah tahu hal ini berkat Devon
yang berkata hal yang tidak-tidak padanya.
Jeez. Ini akan memperparah keadaan Nero. Sial
kau, Devon. Kenapa kau tak bisa menjaga mulutmu itu? Anak itu bahkan
terang-terangan berkata tentang dua kepribadian Nero yang bahkan Dokter Nathan sendiri
tak tahu apakah Nero memang memilikinya atau tidak.
Zoe akan
mengurus Devon nanti. Sekarang dia harus mengurus Niken dulu untuk mencegah
Nero membunuh, setidaknya, selusin orang yang berada di balik semua masalah
ini. Yang dibutuhkan Zoe saat ini adalah bukti.
Dia mengeluarkan
sarung tangan dari kantongnya, memakainya dengan cepat sambil mengawasi
sekitarnya. Orang-orang akan curiga apa yang dia lakukan jika dia berlama-lama
di sini. Apalagi di lokernya Niken.
Setelah memakai
sarung tangan, Zoe mengambil pelastik kecil dan sebuah spray kecil dari balik
jasnya. Dia menyemprot benda itu ke sekitar pintu loker Niken, begitu pula
dengan bagian dalamnya.
Cairan mini itu
bereaksi dalam beberapa detik, memunculkan lingkaran-lingkaran kecil yang
memenuhi nyaris setiap sudut dan bagian dalam loker. Zoe menempelkan selotipnya
ke setiap titik sidik jari yang menurutnya sangat penting, memasukan cat minyak
itu ke dalam botol kecil dan sehelai rambut halus yang terselip di balik pintu.
Dalam tiga
menit, dia mendapatkan apa yang dia butuhkan dan kembali menutup pintu loker
Niken. Menyimpan seluruh peralatan mata-matanya, Zoe berhenti melihat gulungan
yang tadi dilempar Niken dan mengambilnya.
“What a lame,” gumam Zoe membaca surat ancaman
itu tapi menyimpannya ke balik kantong jasnya.
Menyelesaikan
tugasnya, Zoe berjalan cepat meninggalkan koridor dengan cepat, sama sekali tak
menyadari bahwa Vion melihat semua itu dari balik jendela luar.
Zoe, mungkin
Vion tak sebodoh dugaanmu.
***The Flower
Boy Next Door***
Alfon mengatakan
bahwa Niken sudah dapat mengikuti kelasnya kembali setelah kami memberikan
tugas Niken. Tersenyum kecil, pria itu mengatakan bahwa dia tak marah pada
Niken. Dia hanya melakukan tugasnya sebagai guru.
Ha! Eat my shit.
“Makasih ya,”
kata Niken begitu mereka sampai di depan pintu gerbang.
Nero tersenyum. “Your welcome, My Lady.”
“Sampai jumpa
besok.”
“Sampai jumpa di
jendela,” Nero memperbaiki, membuat Niken merona tapi pada akhirnya melambai
untuk masuk ke rumahnya.
Nero berhenti di
depan gerbang, menoleh ke belakang dan heran tidak merasakan aura Zoe. Menaikan
alisnya, Nero hanya mengangkat bahu dengan tak peduli dan melangkah
panjang-panjang melewati taman depan. Zoe butuh waktu untuk dirinya sendiri.
Dia tak harus mengekorinya kemanapun.
“Abang!” Ageha
berteriak senang, memeluk pinggangnya.
“Ooops!” Nero
terbahak, mengangkat Ageha tinggi-tinggi melewati kepalanya, memberikan ciuman
pada leher Ageha yang membuat adik kecilnya itu terkikik geli, lalu
menggendongnya. “Apa kabar adik abang yang cantik jelita?”
“Ageha lagi
senang!” katanya.
“Oh ya?” Mata
Nero berbinar dan Ageha tertawa lagi saat Nero menggendongnya sambil
berputar-putar. “Coba bilang sama Abang apa yang membuatmu bahagia?”
“Daddy kangen
kita.”
Alis Nero menaik
tanda tak mengerti. “Dad memang selalu kangen kita.”
“Dia ada di
Jerman sekarang,” lanjut Ageha lagi.
Senyuman Nero
menghilang. “Jerman?”
“Dia meminta
kita kembali ke Jerman,” Jennifer tiba-tiba berbicara, mendekati mereka sambil
tersenyum menenangkan.
“Tolong jangan
bilang padaku bahwa ini soal Pesta Rumah Keluarga Yudea dan Petingginya,” kata
Nero sinis.
“Ini memang
tentang itu,” Jennifer mengangguk kecil.
“Well, kalau begitu aku tak mau ikut.”
“Nero,” kata
Jennifer lelah. “Kehadiranmu sangat dibutuhkan di sana.”
“Itu tak benar,”
Nero memperbaiki. “Yang dibutuhkan adalah kehadiran Dad. Aku sama sekali belum
memiliki kewajiban untuk hadir di acara-acara seperti itu. Demi Tuhan, Mom, aku
bahkan belum tujuh belas tahun.”
“Dirrel juga
akan hadir dan dia masih empat belas tahun.”
“Well, anak itu kan beda. Dia terpaksa harus menurut jika punya orang tua seperti itu.”
“Nero, jaga
ucapanmu. Itu sama sekali tidak baik. Jangan coba-coba berbicara seperti itu
tentang sepupumu di depanku, Anak Muda.”
“Dia sepupu
jauh, Mom,” Nero memutar bola matanya, menurunkan Ageha. “Sayang, main dulu
sebentar ya. Abang sama Mom mau berbicara serius.”
Ageha mengangguk
dan berlari kecil menuju kamarnya.
“Walaupun dia
sepupu jauh, dia tetap seorang Yudea,” Jennifer melanjutkan.
“Mom, ayolah.
Kita tak harus membicarakan ini,” Nero melipat tangan. “Kau tahu aku paling tak
suka berkumpul dengan orang-orang yang jelas-jelas tidak pernah masuk dalam
kehidupanku. Hanya karena mereka menyandang nama Yudea, bukan berarti aku harus
sok akrab dengan mereka.”
Jennifer menghela
napas. “Kita akan jadi Tuan Rumah, Nero.”
“Lalu?”
“Nero,” Jennifer
berharap mengulang nama anak itu akan membuatnya luluh. Pelan-pelan dia
melingkarkan tangannya bahu Nero, mengajaknya duduk di sofa. “Dengar, Sayang,
hidup tidak semudah yang kau pikirkan.”
“Aku tahu itu,
Mom. Aku mengalaminya setiap hari, bahkan dalam mimpi.”
“Sayang,”
Jennifer mengecup dahinya. “Pasti sulit sekali bagimu, setelah semua hal yang terjadi
selama ini.”
“Hidupku dan
Dirrel memang penuh drama.”
“Tidak lagi, Nero. Dia menyayangi
keluarganya.”
Nero nyaris
mengerang saat berkata, “Well, dia
memang bodoh untuk urusan hati. Jika aku punya orang tua seperti itu, aku sudah
membuangnya dari dulu. Aku tak akan membiarkan siapapun melukaiku.”
“Nero,” Jennifer mengingatkannya.
“Dengar, sekali ini saja, ikutlah dengan kami kembali ke Jerman.”
“Untuk berapa
lama?” Nero bertanya. “Dua hari? Seminggu? Sebulan?”
Jennifer
menatapnya. “Kuharap ini bukan mengenai Niken.”
Nero menoleh ke
arah lain, mengatupkan mulutnya.
Jennifer
menghela napas, mengelus punggung Nero. “Apa kau menyayanginya?”
“Cukup untuk
membuatku lupa bahwa Deborah ada di dunia ini,” gumam Nero.
“Aku tak bisa
meninggalkanmu sendirian di sini, Nero. Kau tahu bahwa Matt khawatir dengan
keselamatanmu.”
“Mom, aku tak sendirian. Dad menyewa seorang bodyguard yang mengintaiku kemana-mana.
Ke sekolah. Ke rumah. Bahkan ke acara kencanku. Aku heran kenapa hal itu pun
bisa membuat kalian panik. Dan aku sendiri terkejut karena tidak kehilangan
kendali diri dengan memasukannya ke rumah sakit seperti setiap hal yang terjadi
pada bodyguard suruhan Dad dan itu semua karena Niken. Aku bisa bersabar jika berada di dekatnya.”
Mata Jennifer
menatapnya dalam-dalam, memerhatikan Nero dengan sungguh-sungguh.
“Mom, jangan
memandangku seperti itu. Aku tak tahan melihatnya,” Nero mengerang jengkel.
“Aku juga tak
tahan melihatmu, Nero,” Jennifer mengecup dahinya. “Dan aku bahagia karena kau
berhasil menemukan hal yang membuatmu bahagia. Tapi kita tak mungkin membawa
Niken ke Jerman. Itu seolah-olah hendak memperkenalkan Niken sebagai calon
isterimu.”
“Ya Tuhan,
keluargaku sudah gila. Bawa seorang gadis dan dia akan jadi calon isterimu.
Bawa lima puluh gadis dan mereka akan jadi selirmu.”
“Nero, tidak
lucu,” Jennifer mencubit pipinya.
“Tapi itu benar,
ya kan? Aku sekarang mengerti kenapa seluruh keluarga Yudea menikah di usia
muda. Semoga Dirrel tidak mengalami hal yang sama mengingat seberapa populernya
dia.”
Jennifer kembali
mencubit pipinya. “Apa kau berani berbicara hal seperti itu pada Dirrel jika
kau berada di depannya?”
“Tidak karena
dia akan membunuhku.”
“Cukup
bicaranya. Jika kau tak ingin ikut, kau bicara pada Matt dan tanya pendapatnya.
Tapi kau harus memikirkan Dirrel, Sayang. Hanya kau orang dia andalkan.”
“Mom, dia sepupu
jarak jauh yang kebetulan saja menyandang nama Yudea, memiliki darah garis
keturunan bangsawan Inggris dan Yunani, menyedihkan dan punya orang tua
menyebalkan.”
Jennifer
mengangkat tangan, menghentikan omelan Nero. “Bicara pada Matt,” katanya sambil
bangkit dari sofa dan berjalan meninggalkannya.
Bicara pada Matt
tak akan menyelesaikan masalah apapun.
Nero naik ke
kamarnya, mengganti seragam dengan cepat dan tiduran di karpetnya. Dia terdiam
beberapa menit, memandang langit-langit dan mulai kesal. Harus ada seseorang
yang dia ajak bicara.
Dirrel.
Yeah. Kenapa dia
tak bicara pada anak itu saja? Mungkin dia bisa menghasutnya untuk tak perlu
datang ke acara itu dan itu akan jadi alasan menyenangkan untuk tetap tinggal
di kamarnya.
Menggigit
lidahnya, Nero mengambil telepon yang tergantung di dinding, membawanya ke
balkon, memencet nomor Dirrel dan meletakannya ke telinga.
“Hello?”
“Hello, Dirrel. It’s me Nero.”
Suara Dirrel
terdengar lembut, dalam, dan menenangkan, menjawab di seberang telepon. Nero
segera bisa memperkirakan seperti apa Dirrel sekarang: tinggi, dengan rambut
coklat terang, bermata biru indah dan tersenyum lembut.
“Oh, it’s you.”
“Ew, you sound bad.”
Dirrel mendesah.
“Is that so?”
Wow, rasanya Dirrel mulai sedikit cool. Bicaranya singkat dan tampak tidak
begitu tertarik.
“Ok, forget it. What’re you doing now?”
“Packing.”
Mata Nero
membulat. “Don’t tell me you’re trying to
say that you will be going to German cause I don’t fell like to go home and
being happy around the Yudea’s old man.”
Dirrel mendesah
lagi. “Don’t worry, Nero. I feel the same
things with you. Being around with old geez is an ewed.”
“Seriously?” Nero menganga takjub.
“Yep,” Dirrel menjawab cepat. “I’m going to Everst tomorrow.”
“You what? Everst? No way, man! It’s just—”
“Incredible? Indeed.”
“No! It’s dangerous!” Nero menegakan
tubuh. “Are you insane?”
“Nope,” Dirrel menjawab cepat.
“Dirrel, the cold will be killed you! You’re still a
kid!”
“I’m a teenege, you douche bag, and don’t worry, I
love cold.”
“You crazy! Don’t go! Seriously, Dirrel, I don’t
want you die.”
“I won’t, Nero. Stop that crap. You acted like my
old man.”
“Shut up.”
“Fine.” Click.
Dan dia
mematikan teleponnya. Nero hanya mampu melihat teleponnya berdenging dengan tak
percaya.
Sekarang
berbicara dengan Dirrel justru menambah tingkat stresnya. Dia dipaksa kembali
ke Jerman untuk menghadiri acara keluarga sebagai Tuan Rumah. Dia tak ingin
pergi karena tak akan ada Dirrel di sana dan sudah pasti membosankan sekali
bercakap-cakap dengan orang lain. Dia tak ingin meninggalkan Niken karena pasti
akan merindukannya. Belum lagi dia harus menemukan pelaku menyebalkan yang
mengerjai Niken dan hal itu justru lebih penting dari segudang pesta Rumah.
Dan, yang lebih parah, Dirrel sedang melakukan perjalanan bunuh diri paling
ekstrim ke Everst!
Hebat! Apa yang
lebih buruk dari itu semua?
***The Flower
Boy Next Door***
Aku menutup
lokerku setelah membersihkannya hari ini. Bisik-bisik terdengar tak lama
kemudian. Kuberikan tatapan paling sengit pada mereka. Dalam kamus kehidupanku,
aku tak akan pernah takut pada siapapun!
Karena hari ini
pelajaran olahraga, maka aku mengambil seragam olahragaku yang sudah kucuci
bersih lalu menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Para cewek itu melihatku
saat aku masuk ke kamar mandi.
“Apa?” kataku.
Lalu mereka
memalingkan wajah dan berduyun-duyun keluar setelah selesai.
Bagus. Aku
sendiri sekarang.
Cepat-cepat aku
mengganti pakaianku dan merapikan diri di depan cermin saat melihat Lisa masuk
ke kamar mandi.
“Hai, Niken,”
sapanya tersenyum lebar.
Aku tersenyum
kecil.
“Kelihatannya
akhir-akhir ini kau tampak murung,” ucap Lisa, mencuci tangannya. “Ada masalah
sama pacar?”
“Nggak kok. Aku
punya masalah terhadap para fansnya Nero.”
“Bisa
dimengerti,” Lisa mengangguk kecil. “Kemarin kami menangkap tiga cewek yang
mencoba masuk dari tembok sekolah cuma untuk melihat Nero. Bayangin. Gila
banget mereka kan?”
“Sepertinya
masalah kita makin bertambah sejak mereka berempat bersatu.”
Lisa tertawa.
“Mereka kan F4-nya sekolah.”
Aku memutar bola
mata, mengikat rambutku ke belakang.
“Niken, apa itu
di lehermu?”
Ops! Aku lupa!
Dengan wajah merah padam, aku segera menutup bekas ciuman Nero dengan tanganku.
Lisa tampak terkejut dan bengong, lalu dia tersenyum penuh arti.
“Tampaknya ada
yang sangat mesra dengan pacarnya,” katanya sambil bernyanyi.
“Lisa,” geramku.
“Well, itu benar kan?” Lisa
mengibas-kibaskan tangannya. Lalu dengan sangat tertarik dia melihatku dan
bertanya dengan ingin tahu. “Apa saja yang sudah kau lakukan dengan Nero?
Apakah dia sudah menciummu? Itu pertanyaan bodoh, tentu saja dia sudah
menciummu, kalau tidak tak mungkin ada bekas ciuman. Tapi, apakah kalian sudah
melakukan hal-hal lain?”
“Lisa!” kataku
jengkel. “Ini tak seperti yang kau pikirkan!”
Dia masih
senyam-senyum. “Tampaknya itu seperti yang kupikirkan. Wajahmu itu merah
seperti kepiting rebus loh. So cute.”
“Aku tak ingin
membicarakan masalah itu dan aku melarangmu membicarakannya pada cewek-cewek
yang lain,” ancamku.
“Aku tak akan
berani kena talak,” Lisa mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.
Aku mengambil
peralatanku, membiarkan rambutku dilepas menutupi leherku dan berharap bahwa
Lisa akan menepati janjinya. Ugh. Ini semua karena Nero!
***The Flower
Boy Next Door***
Nero menghela
napas, kupingnya panas menghadapi permohonan Matt yang tampaknya belum menyerah
untuk memintanya ikut ke Jerman.
“Dad, aku tak
mau pergi.”
“Nero, aku akan
memberikanmu pesawat jet jika kau mau pergi.”
Menyebalkan. Apa
setiap kali harus pergi pesta, Matt harus mengeluarkan pesawat jet untuknya?
“Dad, walau kau beri aku seribu pesawat jet sekalipun, aku tetap tak mau
pergi.”
“Baiklah.
Bagaimana jika aku memberikan sebuah pesawat untuk kau kemudikan setiap hari?
Aku janji kali ini tak akan melarangmu terbang. Jacob benar. Kau jago terbang.”
“Percuma saja
membujukku.”
“Nero,” erang
Matt jengkel. “Dirrel tak punya teman nanti.”
“Untuk itu, kau
tak perlu khawatir, karena dia pergi ke Everst.”
“Hah? Darimana
kau tahu?”
“Kemarin aku
meneleponnya. Aku sudah selangkah lebih awal darimu, Dad, jadi menyerah saja.
Aku tak mau ikut dan aku ingin hidup tenang di sini sampai tiba waktunya
untukku menggantikanmu. Lagipula, Mom dan Ageha sudah berangkat sejak tadi pagi
kan? Jadi aku tak punya alasan untuk pergi.”
“Aku curiga
jangan-jangan dia melakukannya karena menuruti keinginanmu.”
Nero tersenyum
licin. “She loves me.”
“Fine. Kau menang. Tapi aku masih tetap
cemas.”
Lagi-lagi Nero
memutar bola matanya. “Ada Zoe, Dad.”
“Yah… dan
Nathan. Kau harus tinggal bersamanya untuk sementara.”
Yang benar saja.
“Kau ingin aku mengganggunya hidupnya dengan tunangannya?”
Matt terdiam di
ujung telepon. “Baiklah. Tapi bersumpahlah padaku kalau kau akan baik-baik saja
saat kami pulang nanti.”
“Aku akan baik-baik
saja, Dad. Jangan khawatir.”
Nero bisa
merasakan Matt tersenyum di sana walau masih sedikit cemas. “Aku percaya
padamu, Nero, jadi jangan hancurkan kepercayaan itu.”
“Aku tak akan
berani.”
“Bagus. Karena
jika kau berani melakukannya, aku akan menguncimu rapat-rapat.”
“Ew.”
Matt tertawa.
“Lalu, bagaimana kabar Niken, pacarmu yang kebetulan juga tetangga kita?”
katanya menggoda Nero.
Jennifer pasti
telah menceritakan segalanya pada Matt. “Kami baik-baik saja dan mesra sekali.”
Matt ber-oooh
dan aaah tanda mengerti. “Jadi, apa kau sudah menetapkan hati untuk
mencintainya selamanya?”
“Dad, kau tak
bermaksud memanggil pendeta dari sana kan?”
“Pendeta di Jakarta
juga banyak.”
“Dad!”
Matt tertawa. “Sori,
Nero, aku tak tahan jika tak menggodamu. Ya Tuhan, aku benar-benar
merindukanmu. Kupikir aku bisa bertemu denganmu di Jerman.”
“Aku janji akan
memelukmu sampai puas jika kita bertemu.”
“Aku tak sabar
menunggu.”
Nero tertawa
kecil. Matt benar-benar menyenangkan.
“Oops, time’s fly. Padahal aku
masih ingin ngobrol denganmu.”
“Kita punya
banyak waktu, Dad.”
“Tentu saja. I love you, son. Jaga kesehatan dan
berhati-hatilah.”
“Dad juga.”
Nero memandang
teleponnya dan menghela napas. Matanya menelusuri taman depan rumahnya yang
sunyi. Malam sudah mulai muncul dengan bintang dan bulan separoh di langit yang
berawan. Kesepian melandanya karena Ageha dan Jennifer tak ada di rumah.
Padahal biasanya dia bisa bermain dengan Ageha dan menghabiskan waktu memakan
kue buatan Jennifer.
“Ketemu Niken,
ah,” gumam Nero bangkit dari kursi kayu tamannya.
“Nero!”
Seseorang
memanggilnya. Mata Nero menyipit melihat ke balik gerbang rumah. Satpam segera
mendatangi gerbang.
“Biarkan aja
masuk, Pak,” kata Nero setelah mengenali siapa yang ada di depan gerbang sana.
Ray, Abangnya Niken.
Si Satpam
membuka pintu dan Ray segera berlari masuk, mendapatinya. Wajahnya tampak
cemas.
“Hay, Nero, aku
Ray, Abangnya Niken,” dia mengulurkan tangannya.
Nero menjabat
tangannya. “Nero. Ini pertama kalinya kita bertemu ya.”
“Ya. Dan aku
khawatir waktunya sungguh tak tepat untuk mengobrol.”
“Memangnya
kenapa?”
“Niken tak
kembali juga. Apa kau tahu dimana dia?”
Nero mengerutkan
dahi. “Dia bilang kalau dia ada rapat Osis, membahas masalah pergantian Ketua
Osis. Masa dia belum kembali?”
“Kami sudah
mencoba menghubungi ponselnya tapi dia tak bisa dihubungi.”
Nero menatap Ray
dalam beberapa detik. “Aku akan mencarinya.”
“Aku ikut.”
“Tidak usah. Kau
bisa menghubungi teman-temannya untuk menanyakan keadaannya, terutama
teman-teman Osisnya.” Nero melangkah panjang-panjang keluar dari gerbang. Ray
mengikuti dari belakang.
“Tuan Muda, Anda
mau kemana malam-malam begini?”
“Keluar
sebentar.”
“Tapi—”
“Aku akan
kembali dalam waktu satu jam.”
Ray
menyejajarkan langkahnya ke samping Nero. “Mana aku tahu nomor telepon teman-teman
Niken.”
“Ada memo di
laci belajarnya. Semua nomor telepon para siswa ada di sana.”
Ray mengerutkan
dahi. “Oh… ok. Jadi aku akan menyerahkan pencarian Niken padamu kan?”
“Jangan
khawatir, aku akan menemukannya.”
Nero melambai
kecil pada Ray yang berhenti melangkah di depan pintu gerbang, tak jadi
mengikuti Nero lagi. Anak muda itu masih menatapnya dari jauh dengan dahi
mengerut keheranan. Nero tahu bahwa Ray pasti akan bertanya macam-macam. Tapi
Nero tak ingin memikirkan hal itu saat ini.
Dia harus
mencari Niken dan menemukannya. Secepatnya.
Langkah kakinya
semakin cepat saat melangkah. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya.
Matanya menatap lurus ke depan dan pelipisnya berdenyut berbahaya. Dia bisa
menduga para fansnya berada di balik semua ini. Semoga saja tak terjadi apapun
pada Niken.
Jika terjadi
sesuatu padanya… Nero akan membunuh orang yang melakukannya. Lihat saja!
“Kau mau kemana
malam-malam begini?”
“Hai, Zoe,” sapa
Nero tidak mengalihkan pandangannya dari jalan. “Aku mau mengobrak-abrik
sekolah.”
“Untuk?”
“Untuk menemukan
Niken.”
“Dan apakah kau
yakin bahwa Niken ada di sana?”
“Instingku
mengatakan dia ada di sana.”
Zoe menatapnya
beberapa detik. “Aku ikut denganmu.”
“Tidak usah.
Pulang sana.”
“Mana mungkin.
Aku tak akan membiarkanmu melakukan hal yang bodoh.” Zoe tersenyum kecil. “Jika
kau membunuh orang, Matt dan Jacob akan membunuhku.”
“What a tragedy.”
Lalu mereka
berdua berjalan cepat tanpa suara menuju sekolah. Tidak memedulikan kegelapan
dan rasa dingin yang menggantung di udara.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar