RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 25 Mei 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Delapan)


Debaran Dua Puluh Delapan
Bully

Mood Nero sedang sangat buruk.
Begitu kembali, wajah Nero ditekuk dan dia tak membalas sapaan dari satu pun teman-temannya.
“Ada apa?” tanyaku.
Namun begitu matanya melihatku, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih baik. Dia tersenyum manis, menggenggam tanganku, meremasnya perlahan dan berkata, “Melihatmu aku jadi merasa baik-baik saja.”
“Apa terjadi sesuatu?” Aku bertanya lagi.
“Devon hanya sedikit menyebalkan hari ini,” katanya melihat lurus ke depan. “Tapi aku bisa mengatasinya. Kadang dia bisa sangat menjengkelkan.”
Devon memang sering menjengkelkan tapi Devon tak akan pernah menyakiti Nero, jadi mustahil sekali Devon mampu melakukannya. Dengan kata lain, Nero berbohong. Apalagi melihat matanya yang menoleh ke sekitar dengan tatapan dingin yang siap membunuh orang membuatku yakin ada sesuatu yang terjadi.
Dan ini bukan mengenai Devon.
“Nero—”
“Sepulang sekolah kita akan menyelesaikan PR-mu di perpus, bagaimana menurutmu?” kata Nero. Intonasinya suaranya kembali lembut dan menenangkan. Apakah ini ilusi saja? Aku merasa dia tidak baik-baik saja.
Aku mengangguk kecil. “Ya. Perpustakaan juga ok.”
Dia tersenyum tipis dan kembali menoleh ke arah lain. Aku gelisah setengah mati, aku merasa Nero seperti seekor singa betina yang mengincar mangsa dibalik rerumputan kering dan ketika dia menemukannya, dia akan menyergap, menusukkan giginya yang tajam ke leher sang korban. Semoga saja tidak.
Sepulang sekolah, aku meminta Nero menungguku di perpustakaan sementara aku harus mengambil buku-bukuku, menyiapkan beberapa hal di koridorku. Namun begitu aku membuka koridorku, sesuatu jatuh dari dalam, berwarna merah, menetes-netes dari dalam lokerku serentak dengan keluarnya seekor kucing hitam yang mengeong marah dan berlari keluar.
Mataku membulat kaget. Tenggorokanku kering.
Bukankah ini sudah sangat keterlaluan?
Jantungku berdegup-degup tak karuan. Dengan susah payah aku mencoba menenangkan diri sementara jemariku gemetar. Lokerku sekarang dalam keadaan basah kuyup, begitu pula dengan seragam olahragaku: berwarna merah seperti darah. Sebuah surat terselip di pintu lokerku.
Aku mengambil, membuka dengan takut dan semakin ketakutan melihat ancaman dari surat kaleng menyebalkan itu.
CEPAT PUTUS DENGAN NERO DAN JANGAN DEKATI DIA LAGI
Atau apa? Aku menantang dalam hati, melihat surat yang ditempeli dengan potongan koran itu. Surat seperti ini hanya untuk pengecut. Hal kecil seperti ini tak akan membuatku mundur begitu saja. Memangnya mereka siapa sampai harus mengatur-atur aku? Aku, Niken, si Koordinator Kedisplinan Siswa tak akan tinggal diam! Akan kuselidiki siapa pelakunya dan membalasnya setimpal dengan apa yang dia lakukan!
Kuremas surat itu dengan jengkel lalu melemparnya ke tong sampah.
Sekarang apa? Aku memandang lokerku yang berwarna merah, penuh coretan yang tak enak dibaca. Aku ingin sekali membanting lokerku keluar, tapi aku tak mungkin merusak fasilitas sekolah seperti yang dilakukan Nero.
Lagipula, Nero sedang menungguku di perpus.
“Niken.”
Terdengar suara Zoe dan aku membanting pintu lokerku. Zoe mendekat, memandangku dengan keheranan.
“Apa, Zoe?” kataku gugup.
Dahinya sedikit mengerut, matanya menatapku lurus-lurus, membuatku tak nyaman. “Apa kau melihat Nero?” katanya setelah lima detik dalam hening.
“Dia ada di perpustakaan,” aku menghela napas lega. “Aku dan dia akan belajar bersama di sana.”
“Oh,” katanya, masih menatapku lurus-lurus. “Baiklah. Bisakah kau sampaikan pesanku padanya bahwa aku ada sedikit urusan. Dan jika kau tak keberatan, tolong jangan jauh-jauh darinya dan antarkan dia sampai ke rumah.”
Sekarang justru dahiku yang mengerut dalam. Bukankah seharusnya kalimat itu ditujukan pada Nero yang mengantarku dan bukan sebaliknya? “Erm, ok,” kataku cepat. “Ka—kalau begitu, aku… aku permisi dulu.”
Zoe mengangguk sekali, menatapku yang pergi dengan buru-buru.
Jantungku berdegup-degup tak karuan antara panik, takut, gelisah dan keheranan. Zoe, bagaimana mengatakannya ya, sedikit membuatku takut. Berbeda dengan Devon, aku bisa merasakan auranya yang tak biasa. Dia terlalu tenang untuk ukuran anak berusia tujuh belas tahun dan terlalu dewasa menghadapi sikap Devon dan Kak Vion. Bila aku memilih antara Zoe dan Devon, aku akan memilih Devon. Devon memang menyebalkan, tapi dia tidak menyeramkan. Tapi Zoe… well, dia memang tidak banyak bicara tapi auranya membuatku harus menjaga diri. Banyak yang bilang, lebih sulit menebak pikiran orang yang pendiam. Itu benar sekali.
***The Flower Boy Next Door***
Setelah Niken pergi, Zoe memastikan bahwa Niken tak akan kembali dalam dua menit. Dia menoleh ke sekitar, memastikan bahwa tak ada orang yang berada di dekatnya saat ini ataupun ada orang yang mencurigai tingkahnya, dan beraksi.
Hari ini terlalu banyak kebetulan dan dia tak suka bila Nero kehilangan kendali diri.
Mengambil kawat kecil dari sakunya, Zoe menunduk kecil, memasukan kawat itu ke salah satu loker bernama “Niken” dan membuka loker itu hanya dalam waktu sepuluh detik. Terdengar bunyi “klik” kecil dan loker Niken terbuka dengan sendirinya.
“Oh my,” gumam Zoe melihat kondisi loker Niken. “They’re really cheeky, those stupid annoying fans of yours, Nero. I’m gonna make them pay for all they did.”
Telunjuk Zoe menyentuh cairan merah itu dan mencium baunya. Cat minyak dan tidak terlalu kental.
Fans Nero, atau orang-orang gila yang tergila-gila pada Nero, benar-benar tahu bagaimana caranya memperlakukan seseorang dan Devon jelas membaca hal itu dengan cepat, berbeda dengan Vion yang tololnya minta ampun. Zoe heran melihat kepolosan Vion terhadap sekitarnya. Anak itu harus diajari seperti apa yang namanya “sosial”. Nero juga sama saja, walau Zoe yakin bahwa Nero sudah tahu hal ini berkat Devon yang berkata hal yang tidak-tidak padanya.
Jeez. Ini akan memperparah keadaan Nero. Sial kau, Devon. Kenapa kau tak bisa menjaga mulutmu itu? Anak itu bahkan terang-terangan berkata tentang dua kepribadian Nero yang bahkan Dokter Nathan sendiri tak tahu apakah Nero memang memilikinya atau tidak.
Zoe akan mengurus Devon nanti. Sekarang dia harus mengurus Niken dulu untuk mencegah Nero membunuh, setidaknya, selusin orang yang berada di balik semua masalah ini. Yang dibutuhkan Zoe saat ini adalah bukti.
Dia mengeluarkan sarung tangan dari kantongnya, memakainya dengan cepat sambil mengawasi sekitarnya. Orang-orang akan curiga apa yang dia lakukan jika dia berlama-lama di sini. Apalagi di lokernya Niken.
Setelah memakai sarung tangan, Zoe mengambil pelastik kecil dan sebuah spray kecil dari balik jasnya. Dia menyemprot benda itu ke sekitar pintu loker Niken, begitu pula dengan bagian dalamnya.
Cairan mini itu bereaksi dalam beberapa detik, memunculkan lingkaran-lingkaran kecil yang memenuhi nyaris setiap sudut dan bagian dalam loker. Zoe menempelkan selotipnya ke setiap titik sidik jari yang menurutnya sangat penting, memasukan cat minyak itu ke dalam botol kecil dan sehelai rambut halus yang terselip di balik pintu.
Dalam tiga menit, dia mendapatkan apa yang dia butuhkan dan kembali menutup pintu loker Niken. Menyimpan seluruh peralatan mata-matanya, Zoe berhenti melihat gulungan yang tadi dilempar Niken dan mengambilnya.
“What a lame,” gumam Zoe membaca surat ancaman itu tapi menyimpannya ke balik kantong jasnya.
Menyelesaikan tugasnya, Zoe berjalan cepat meninggalkan koridor dengan cepat, sama sekali tak menyadari bahwa Vion melihat semua itu dari balik jendela luar.
Zoe, mungkin Vion tak sebodoh dugaanmu.
***The Flower Boy Next Door***
Alfon mengatakan bahwa Niken sudah dapat mengikuti kelasnya kembali setelah kami memberikan tugas Niken. Tersenyum kecil, pria itu mengatakan bahwa dia tak marah pada Niken. Dia hanya melakukan tugasnya sebagai guru.
Ha! Eat my shit.
“Makasih ya,” kata Niken begitu mereka sampai di depan pintu gerbang.
Nero tersenyum. “Your welcome, My Lady.”
“Sampai jumpa besok.”
“Sampai jumpa di jendela,” Nero memperbaiki, membuat Niken merona tapi pada akhirnya melambai untuk masuk ke rumahnya.
Nero berhenti di depan gerbang, menoleh ke belakang dan heran tidak merasakan aura Zoe. Menaikan alisnya, Nero hanya mengangkat bahu dengan tak peduli dan melangkah panjang-panjang melewati taman depan. Zoe butuh waktu untuk dirinya sendiri. Dia tak harus mengekorinya kemanapun.
“Abang!” Ageha berteriak senang, memeluk pinggangnya.
“Ooops!” Nero terbahak, mengangkat Ageha tinggi-tinggi melewati kepalanya, memberikan ciuman pada leher Ageha yang membuat adik kecilnya itu terkikik geli, lalu menggendongnya. “Apa kabar adik abang yang cantik jelita?”
“Ageha lagi senang!” katanya.
“Oh ya?” Mata Nero berbinar dan Ageha tertawa lagi saat Nero menggendongnya sambil berputar-putar. “Coba bilang sama Abang apa yang membuatmu bahagia?”
“Daddy kangen kita.”
Alis Nero menaik tanda tak mengerti. “Dad memang selalu kangen kita.”
“Dia ada di Jerman sekarang,” lanjut Ageha lagi.
Senyuman Nero menghilang. “Jerman?”
“Dia meminta kita kembali ke Jerman,” Jennifer tiba-tiba berbicara, mendekati mereka sambil tersenyum menenangkan.
“Tolong jangan bilang padaku bahwa ini soal Pesta Rumah Keluarga Yudea dan Petingginya,” kata Nero sinis.
“Ini memang tentang itu,” Jennifer mengangguk kecil.
Well, kalau begitu aku tak mau ikut.”
“Nero,” kata Jennifer lelah. “Kehadiranmu sangat dibutuhkan di sana.”
“Itu tak benar,” Nero memperbaiki. “Yang dibutuhkan adalah kehadiran Dad. Aku sama sekali belum memiliki kewajiban untuk hadir di acara-acara seperti itu. Demi Tuhan, Mom, aku bahkan belum tujuh belas tahun.”
“Dirrel juga akan hadir dan dia masih empat belas tahun.”
Well, anak itu kan beda. Dia terpaksa harus menurut jika punya orang tua seperti itu.”
“Nero, jaga ucapanmu. Itu sama sekali tidak baik. Jangan coba-coba berbicara seperti itu tentang sepupumu di depanku, Anak Muda.”
“Dia sepupu jauh, Mom,” Nero memutar bola matanya, menurunkan Ageha. “Sayang, main dulu sebentar ya. Abang sama Mom mau berbicara serius.”
Ageha mengangguk dan berlari kecil menuju kamarnya.
“Walaupun dia sepupu jauh, dia tetap seorang Yudea,” Jennifer melanjutkan.
“Mom, ayolah. Kita tak harus membicarakan ini,” Nero melipat tangan. “Kau tahu aku paling tak suka berkumpul dengan orang-orang yang jelas-jelas tidak pernah masuk dalam kehidupanku. Hanya karena mereka menyandang nama Yudea, bukan berarti aku harus sok akrab dengan mereka.”
Jennifer menghela napas. “Kita akan jadi Tuan Rumah, Nero.”
“Lalu?”
“Nero,” Jennifer berharap mengulang nama anak itu akan membuatnya luluh. Pelan-pelan dia melingkarkan tangannya bahu Nero, mengajaknya duduk di sofa. “Dengar, Sayang, hidup tidak semudah yang kau pikirkan.”
“Aku tahu itu, Mom. Aku mengalaminya setiap hari, bahkan dalam mimpi.”
“Sayang,” Jennifer mengecup dahinya. “Pasti sulit sekali bagimu, setelah semua hal yang terjadi selama ini.”
“Hidupku dan Dirrel memang penuh drama.”
Tidak lagi, Nero. Dia menyayangi keluarganya.”
Nero nyaris mengerang saat berkata, “Well, dia memang bodoh untuk urusan hati. Jika aku punya orang tua seperti itu, aku sudah membuangnya dari dulu. Aku tak akan membiarkan siapapun melukaiku.”
Nero,” Jennifer mengingatkannya. “Dengar, sekali ini saja, ikutlah dengan kami kembali ke Jerman.”
“Untuk berapa lama?” Nero bertanya. “Dua hari? Seminggu? Sebulan?”
Jennifer menatapnya. “Kuharap ini bukan mengenai Niken.”
Nero menoleh ke arah lain, mengatupkan mulutnya.
Jennifer menghela napas, mengelus punggung Nero. “Apa kau menyayanginya?”
“Cukup untuk membuatku lupa bahwa Deborah ada di dunia ini,” gumam Nero.
“Aku tak bisa meninggalkanmu sendirian di sini, Nero. Kau tahu bahwa Matt khawatir dengan keselamatanmu.”
“Mom, aku tak sendirian. Dad menyewa seorang bodyguard yang mengintaiku kemana-mana. Ke sekolah. Ke rumah. Bahkan ke acara kencanku. Aku heran kenapa hal itu pun bisa membuat kalian panik. Dan aku sendiri terkejut karena tidak kehilangan kendali diri dengan memasukannya ke rumah sakit seperti setiap hal yang terjadi pada bodyguard suruhan Dad dan itu semua karena Niken. Aku bisa bersabar jika berada di dekatnya.”
Mata Jennifer menatapnya dalam-dalam, memerhatikan Nero dengan sungguh-sungguh.
“Mom, jangan memandangku seperti itu. Aku tak tahan melihatnya,” Nero mengerang jengkel.
“Aku juga tak tahan melihatmu, Nero,” Jennifer mengecup dahinya. “Dan aku bahagia karena kau berhasil menemukan hal yang membuatmu bahagia. Tapi kita tak mungkin membawa Niken ke Jerman. Itu seolah-olah hendak memperkenalkan Niken sebagai calon isterimu.”
“Ya Tuhan, keluargaku sudah gila. Bawa seorang gadis dan dia akan jadi calon isterimu. Bawa lima puluh gadis dan mereka akan jadi selirmu.”
“Nero, tidak lucu,” Jennifer mencubit pipinya.
“Tapi itu benar, ya kan? Aku sekarang mengerti kenapa seluruh keluarga Yudea menikah di usia muda. Semoga Dirrel tidak mengalami hal yang sama mengingat seberapa populernya dia.”
Jennifer kembali mencubit pipinya. “Apa kau berani berbicara hal seperti itu pada Dirrel jika kau berada di depannya?”
“Tidak karena dia akan membunuhku.”
“Cukup bicaranya. Jika kau tak ingin ikut, kau bicara pada Matt dan tanya pendapatnya. Tapi kau harus memikirkan Dirrel, Sayang. Hanya kau orang dia andalkan.”
“Mom, dia sepupu jarak jauh yang kebetulan saja menyandang nama Yudea, memiliki darah garis keturunan bangsawan Inggris dan Yunani, menyedihkan dan punya orang tua menyebalkan.”
Jennifer mengangkat tangan, menghentikan omelan Nero. “Bicara pada Matt,” katanya sambil bangkit dari sofa dan berjalan meninggalkannya.
Bicara pada Matt tak akan menyelesaikan masalah apapun.
Nero naik ke kamarnya, mengganti seragam dengan cepat dan tiduran di karpetnya. Dia terdiam beberapa menit, memandang langit-langit dan mulai kesal. Harus ada seseorang yang dia ajak bicara.
Dirrel.
Yeah. Kenapa dia tak bicara pada anak itu saja? Mungkin dia bisa menghasutnya untuk tak perlu datang ke acara itu dan itu akan jadi alasan menyenangkan untuk tetap tinggal di kamarnya.
Menggigit lidahnya, Nero mengambil telepon yang tergantung di dinding, membawanya ke balkon, memencet nomor Dirrel dan meletakannya ke telinga.
“Hello?”
“Hello, Dirrel. It’s me Nero.”
Suara Dirrel terdengar lembut, dalam, dan menenangkan, menjawab di seberang telepon. Nero segera bisa memperkirakan seperti apa Dirrel sekarang: tinggi, dengan rambut coklat terang, bermata biru indah dan tersenyum lembut.
“Oh, it’s you.”
“Ew, you sound bad.”
Dirrel mendesah. “Is that so?”
Wow, rasanya Dirrel mulai sedikit cool. Bicaranya singkat dan tampak tidak begitu tertarik.
“Ok, forget it. What’re you doing now?”
“Packing.”
Mata Nero membulat. “Don’t tell me you’re trying to say that you will be going to German cause I don’t fell like to go home and being happy around the Yudea’s old man.”
Dirrel mendesah lagi. “Don’t worry, Nero. I feel the same things with you. Being around with old geez is an ewed.”
“Seriously?” Nero menganga takjub.
“Yep,” Dirrel menjawab cepat. “I’m going to Everst tomorrow.”
“You what? Everst? No way, man! It’s just—”
“Incredible? Indeed.”
“No! It’s dangerous!” Nero menegakan tubuh. “Are you insane?”
“Nope,” Dirrel menjawab cepat.
“Dirrel, the cold will be killed you! You’re still a kid!”
“I’m a teenege, you douche bag, and don’t worry, I love cold.”
“You crazy! Don’t go! Seriously, Dirrel, I don’t want you die.”
“I won’t, Nero. Stop that crap. You acted like my old man.”
“Shut up.”
“Fine.” Click.
Dan dia mematikan teleponnya. Nero hanya mampu melihat teleponnya berdenging dengan tak percaya.
Sekarang berbicara dengan Dirrel justru menambah tingkat stresnya. Dia dipaksa kembali ke Jerman untuk menghadiri acara keluarga sebagai Tuan Rumah. Dia tak ingin pergi karena tak akan ada Dirrel di sana dan sudah pasti membosankan sekali bercakap-cakap dengan orang lain. Dia tak ingin meninggalkan Niken karena pasti akan merindukannya. Belum lagi dia harus menemukan pelaku menyebalkan yang mengerjai Niken dan hal itu justru lebih penting dari segudang pesta Rumah. Dan, yang lebih parah, Dirrel sedang melakukan perjalanan bunuh diri paling ekstrim ke Everst!
Hebat! Apa yang lebih buruk dari itu semua?
***The Flower Boy Next Door***
Aku menutup lokerku setelah membersihkannya hari ini. Bisik-bisik terdengar tak lama kemudian. Kuberikan tatapan paling sengit pada mereka. Dalam kamus kehidupanku, aku tak akan pernah takut pada siapapun!
Karena hari ini pelajaran olahraga, maka aku mengambil seragam olahragaku yang sudah kucuci bersih lalu menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Para cewek itu melihatku saat aku masuk ke kamar mandi.
“Apa?” kataku.
Lalu mereka memalingkan wajah dan berduyun-duyun keluar setelah selesai.
Bagus. Aku sendiri sekarang.
Cepat-cepat aku mengganti pakaianku dan merapikan diri di depan cermin saat melihat Lisa masuk ke kamar mandi.
“Hai, Niken,” sapanya tersenyum lebar.
Aku tersenyum kecil.
“Kelihatannya akhir-akhir ini kau tampak murung,” ucap Lisa, mencuci tangannya. “Ada masalah sama pacar?”
“Nggak kok. Aku punya masalah terhadap para fansnya Nero.”
“Bisa dimengerti,” Lisa mengangguk kecil. “Kemarin kami menangkap tiga cewek yang mencoba masuk dari tembok sekolah cuma untuk melihat Nero. Bayangin. Gila banget mereka kan?”
“Sepertinya masalah kita makin bertambah sejak mereka berempat bersatu.”
Lisa tertawa. “Mereka kan F4-nya sekolah.”
Aku memutar bola mata, mengikat rambutku ke belakang.
“Niken, apa itu di lehermu?”
Ops! Aku lupa! Dengan wajah merah padam, aku segera menutup bekas ciuman Nero dengan tanganku. Lisa tampak terkejut dan bengong, lalu dia tersenyum penuh arti.
“Tampaknya ada yang sangat mesra dengan pacarnya,” katanya sambil bernyanyi.
“Lisa,” geramku.
Well, itu benar kan?” Lisa mengibas-kibaskan tangannya. Lalu dengan sangat tertarik dia melihatku dan bertanya dengan ingin tahu. “Apa saja yang sudah kau lakukan dengan Nero? Apakah dia sudah menciummu? Itu pertanyaan bodoh, tentu saja dia sudah menciummu, kalau tidak tak mungkin ada bekas ciuman. Tapi, apakah kalian sudah melakukan hal-hal lain?”
“Lisa!” kataku jengkel. “Ini tak seperti yang kau pikirkan!”
Dia masih senyam-senyum. “Tampaknya itu seperti yang kupikirkan. Wajahmu itu merah seperti kepiting rebus loh. So cute.”
“Aku tak ingin membicarakan masalah itu dan aku melarangmu membicarakannya pada cewek-cewek yang lain,” ancamku.
“Aku tak akan berani kena talak,” Lisa mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.
Aku mengambil peralatanku, membiarkan rambutku dilepas menutupi leherku dan berharap bahwa Lisa akan menepati janjinya. Ugh. Ini semua karena Nero!
***The Flower Boy Next Door***
Nero menghela napas, kupingnya panas menghadapi permohonan Matt yang tampaknya belum menyerah untuk memintanya ikut ke Jerman.
“Dad, aku tak mau pergi.”
“Nero, aku akan memberikanmu pesawat jet jika kau mau pergi.”
Menyebalkan. Apa setiap kali harus pergi pesta, Matt harus mengeluarkan pesawat jet untuknya? “Dad, walau kau beri aku seribu pesawat jet sekalipun, aku tetap tak mau pergi.”
“Baiklah. Bagaimana jika aku memberikan sebuah pesawat untuk kau kemudikan setiap hari? Aku janji kali ini tak akan melarangmu terbang. Jacob benar. Kau jago terbang.”
“Percuma saja membujukku.”
“Nero,” erang Matt jengkel. “Dirrel tak punya teman nanti.”
“Untuk itu, kau tak perlu khawatir, karena dia pergi ke Everst.”
“Hah? Darimana kau tahu?”
“Kemarin aku meneleponnya. Aku sudah selangkah lebih awal darimu, Dad, jadi menyerah saja. Aku tak mau ikut dan aku ingin hidup tenang di sini sampai tiba waktunya untukku menggantikanmu. Lagipula, Mom dan Ageha sudah berangkat sejak tadi pagi kan? Jadi aku tak punya alasan untuk pergi.”
“Aku curiga jangan-jangan dia melakukannya karena menuruti keinginanmu.”
Nero tersenyum licin. “She loves me.”
Fine. Kau menang. Tapi aku masih tetap cemas.”
Lagi-lagi Nero memutar bola matanya. “Ada Zoe, Dad.”
“Yah… dan Nathan. Kau harus tinggal bersamanya untuk sementara.”
Yang benar saja. “Kau ingin aku mengganggunya hidupnya dengan tunangannya?”
Matt terdiam di ujung telepon. “Baiklah. Tapi bersumpahlah padaku kalau kau akan baik-baik saja saat kami pulang nanti.”
“Aku akan baik-baik saja, Dad. Jangan khawatir.”
Nero bisa merasakan Matt tersenyum di sana walau masih sedikit cemas. “Aku percaya padamu, Nero, jadi jangan hancurkan kepercayaan itu.”
“Aku tak akan berani.”
“Bagus. Karena jika kau berani melakukannya, aku akan menguncimu rapat-rapat.”
“Ew.”
Matt tertawa. “Lalu, bagaimana kabar Niken, pacarmu yang kebetulan juga tetangga kita?” katanya menggoda Nero.
Jennifer pasti telah menceritakan segalanya pada Matt. “Kami baik-baik saja dan mesra sekali.”
Matt ber-oooh dan aaah tanda mengerti. “Jadi, apa kau sudah menetapkan hati untuk mencintainya selamanya?”
“Dad, kau tak bermaksud memanggil pendeta dari sana kan?”
“Pendeta di Jakarta juga banyak.”
“Dad!”
Matt tertawa. “Sori, Nero, aku tak tahan jika tak menggodamu. Ya Tuhan, aku benar-benar merindukanmu. Kupikir aku bisa bertemu denganmu di Jerman.”
“Aku janji akan memelukmu sampai puas jika kita bertemu.”
“Aku tak sabar menunggu.”
Nero tertawa kecil. Matt benar-benar menyenangkan.
“Oops, time’s fly. Padahal aku masih ingin ngobrol denganmu.”
“Kita punya banyak waktu, Dad.”
“Tentu saja. I love you, son. Jaga kesehatan dan berhati-hatilah.”
“Dad juga.”
Nero memandang teleponnya dan menghela napas. Matanya menelusuri taman depan rumahnya yang sunyi. Malam sudah mulai muncul dengan bintang dan bulan separoh di langit yang berawan. Kesepian melandanya karena Ageha dan Jennifer tak ada di rumah. Padahal biasanya dia bisa bermain dengan Ageha dan menghabiskan waktu memakan kue buatan Jennifer.
“Ketemu Niken, ah,” gumam Nero bangkit dari kursi kayu tamannya.
“Nero!”
Seseorang memanggilnya. Mata Nero menyipit melihat ke balik gerbang rumah. Satpam segera mendatangi gerbang.
“Biarkan aja masuk, Pak,” kata Nero setelah mengenali siapa yang ada di depan gerbang sana. Ray, Abangnya Niken.
Si Satpam membuka pintu dan Ray segera berlari masuk, mendapatinya. Wajahnya tampak cemas.
“Hay, Nero, aku Ray, Abangnya Niken,” dia mengulurkan tangannya.
Nero menjabat tangannya. “Nero. Ini pertama kalinya kita bertemu ya.”
“Ya. Dan aku khawatir waktunya sungguh tak tepat untuk mengobrol.”
“Memangnya kenapa?”
“Niken tak kembali juga. Apa kau tahu dimana dia?”
Nero mengerutkan dahi. “Dia bilang kalau dia ada rapat Osis, membahas masalah pergantian Ketua Osis. Masa dia belum kembali?”
“Kami sudah mencoba menghubungi ponselnya tapi dia tak bisa dihubungi.”
Nero menatap Ray dalam beberapa detik. “Aku akan mencarinya.”
“Aku ikut.”
“Tidak usah. Kau bisa menghubungi teman-temannya untuk menanyakan keadaannya, terutama teman-teman Osisnya.” Nero melangkah panjang-panjang keluar dari gerbang. Ray mengikuti dari belakang.
“Tuan Muda, Anda mau kemana malam-malam begini?”
“Keluar sebentar.”
“Tapi—”
“Aku akan kembali dalam waktu satu jam.”
Ray menyejajarkan langkahnya ke samping Nero. “Mana aku tahu nomor telepon teman-teman Niken.”
“Ada memo di laci belajarnya. Semua nomor telepon para siswa ada di sana.”
Ray mengerutkan dahi. “Oh… ok. Jadi aku akan menyerahkan pencarian Niken padamu kan?”
“Jangan khawatir, aku akan menemukannya.”
Nero melambai kecil pada Ray yang berhenti melangkah di depan pintu gerbang, tak jadi mengikuti Nero lagi. Anak muda itu masih menatapnya dari jauh dengan dahi mengerut keheranan. Nero tahu bahwa Ray pasti akan bertanya macam-macam. Tapi Nero tak ingin memikirkan hal itu saat ini.
Dia harus mencari Niken dan menemukannya. Secepatnya.
Langkah kakinya semakin cepat saat melangkah. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Matanya menatap lurus ke depan dan pelipisnya berdenyut berbahaya. Dia bisa menduga para fansnya berada di balik semua ini. Semoga saja tak terjadi apapun pada Niken.
Jika terjadi sesuatu padanya… Nero akan membunuh orang yang melakukannya. Lihat saja!
“Kau mau kemana malam-malam begini?”
“Hai, Zoe,” sapa Nero tidak mengalihkan pandangannya dari jalan. “Aku mau mengobrak-abrik sekolah.”
“Untuk?”
“Untuk menemukan Niken.”
“Dan apakah kau yakin bahwa Niken ada di sana?”
“Instingku mengatakan dia ada di sana.”
Zoe menatapnya beberapa detik. “Aku ikut denganmu.”
“Tidak usah. Pulang sana.”
“Mana mungkin. Aku tak akan membiarkanmu melakukan hal yang bodoh.” Zoe tersenyum kecil. “Jika kau membunuh orang, Matt dan Jacob akan membunuhku.”
“What a tragedy.”
Lalu mereka berdua berjalan cepat tanpa suara menuju sekolah. Tidak memedulikan kegelapan dan rasa dingin yang menggantung di udara.
***The Flower Boy Next Door***



0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.