RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 10 Mei 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Enam)


Debaran Dua Puluh Enam
Midnight Kissing

“Don’t tell me you love Vion.”
“I do.”
Mulut Nero terbuka lebar, persis seperti gua hantu, menganga. Dengan entengnya Zoe mengaku sebagai gay, lalu mengatakan bahwa dia menyukai Vion tanpa ada adanya bantahan, bahkan tak ada embel-embel apapun seakan hal itu merupakan sesuatu yang sudah seharusnya.
Nero seakan merasakan bahwa mobilnya tiba-tiba saja kehilangan kontrol, jatuh ke jurang, menabrak pepohonan, lalu meledak begitu saja.
Benar-benar kejutan.
Nero tak bergerak selama satu menit penuh untuk mengolah informasi ini, kemudian mengirimnya ke seluruh tubuh, memberikan reaksi total yang seharsnya dia berikan saat terlihat olehnya Zoe tengah menutup mulutnya dengan tangan.
“Zoe?” kata Nero keheranan.
“I think I can’t hold it anymore.”
“What?”
Lalu meledaklah tawa Zoe. Nero mengerjap melihat Zoe tertunduk, memegangi perutnya, tertawa terpingkal-pingkal dengan bahu bergetar hebat dan tangan menutupi mulut. Air matanya bahkan nyaris keluar karena tertawa.
“You should’ve seen your face. It’s friggin funny,” kata Zoe dalam usahanya tertawa.
Nero mengerjap.
“How could you believe something like that, You Idiot.”
Nero mengerjap, lalu menganga tak percaya. Sial. Zoe membohonginya! Berani benar dia membohongi Nero dengan sukses begitu?
“Zoe,” geram Nero dan menerjang Zoe.
Mata Zoe melebar. “Oh no!”
Zoe berlari menghindar, tapi Nero menyusul dari belakang. Dia berlari sekuat tenaga seperti banteng gila dan berhasil menangkap leher Zoe, mengaitkannya dengan sempurna. Zoe, yang secara refleks diajarkan untuk menjatuhkan lawan, memasang kuda-kuda, mencari pijakan yang mantap, memegang lengan Nero, menunduk seketika, membawa tubuh Nero ke atas dan membanting Nero seketika.
“Shit!” teriak Nero, dan sebelum Zoe mencerna tindakan Nero, Nero sudah menarik dasinya, dan dengan satu tangan menjatuhkan Zoe ke tanah, membantingnya ke sisi yang satunya. Zoe jatuh berguling ke bawah bukit.
Zoe mengerjap. Nero luar biasa.
“Tickling attack!” kata Nero.
“What the—aw aw aw! Stop it!”
Nero telah berlari, naik ke punggung Zoe, mengambil kakinya, melepas sepatu beserta kaos kakinya sekalain dan menggelitik telapak kakinya.
“Shit! Nero, no tic—hmphuahahahahahaha!” Zoe terbahak-bahak.
“Apologize and surrender!” kata Nero.
“No way!” Zoe meraung dalam usahanya menarik napas.
“Aw, what a waste,” gumam Nero. “Tickling!” lalu dia kembali menggelitik Zoe.
“What are you? A kid?” kata Zoe, kemudian tertawa lagi saat Nero menggelitikinya. “Stop it!”
“Say my name and surrender, bitch!”
“Zoe the Super Knight!”
“What a lame,” gumam Nero memutar bola matanya.
“KALIAN! APA YANG KALIAN LAKUKAN?”
Garry meraung dari ujung ruangan. Kepala mereka secara serentak melihat ke arah suara dan mereka melotot bersama-sama.
“Minggir, Nero,” Zoe menendang Nero, menyingkirnya dari tubuhnya. “Sial! Mana sepatuku?”
Nero berlari ke ujung yang lain, mengambil ponselnya yang jatuh saat mengejar Zoe, sementara Zoe terpincang-pincang antara berlari dan memakai sepatunya.
“BERHENTI!”
Tapi mereka berdua tak berhenti dan malah melompati tembok sekolah, masih mendengar suara Garry dari belakang.
“Tadi itu luar biasa,” kata Nero menepuk bahu Zoe, yang sudah merosot ke tembok dengan napas terengah-engah.
“Ya,” kata Zoe. “Apa kau sudah baikan?”
Nero mengerinyit. “Apa?”
Anehnya, Zoe malah tersenyum. “Ayo kita pergi. Aku butuh hiburan daripada terus-terusan mengawasimu.”
Nero setuju walau masih sedikit bingung.
***The Flower Boy Next Door***
Mr. Notion : Tolong bawa tasku.
Pesan Nero masuk ke ponselku. Dari pesannya saja aku tahu bahwa Nero bolos. Untunglah dia tidak mengungkit-ungkit kejadian pagi ini. Walau dia mungkin menghindariku pagi ini, setidaknya siang ini dia tak akan melakukannya.
Maka setelah bel tanda berakhirnya pelajaran hai ini berbunyi, aku pun memasukan buku-buku pelajaran Nero ke dalam tasnya dan mengangkatnya dengan susah payah. Dibandingkan dengan tasku, tas Nero ternyata lebih berat karena Nero selalu membawa buku tambahan, bila dia bosan dengan pelajaran.
“Wah, sekarang Niken berubah menjadi babunya Nero.”
“Sejak kapan sih mereka pacaran?”
“Iya ya, Nero kan cakep. Nggak mungkin mau sama—”
BRAK
Aku terkejut, begitu juga dengan anak-anak yang tadi bergosip. Mereka terdiam saat melihat Devon, berdiri di belakang punggungku, menjulang seperti raksasa, lengkap dengan wajah garang dan ekspresi tak sama, dan tangan yang mengepal pada pintu yang baru saja dia tinju.
“Hai, Niken,” sapanya, mengerinyit pada murid-murid di sekeliling kami. “Aku paling tak suka penggosip. Bagaimana menurutmu?”
Kuperhatikan murid-murid itu menelan ludah dengan panik dan karena mereka tak ingin berurusan dengan Devon, maka mereka cepat-cepat angkat kaki tanpa banyak bicara. Bibirku tersenyum. “Aku juga.”
“Itu tas Nero?” dia menunjuk tas yang kupeluk erat-erat. Aku mengangguk pelan, lalu tanpa diduga, Devon mengambil tas itu. “Aku saja yang bawa. Tasnya kan berat.”
“Tapi—”
“Ini. Kau bawa tas Zoe saja. Lebih ringan.” Devon memberikan tas Zoe yang ringan, tipis dan tidak berisi. “Zoe hanya membawa sebuah buku catatan dan gadget ke sekolah. Tak lebih.” Devon menjelaskan, melihat ekspresi keherananku. “Yuk. Mereka menunggu kita di game centre.”
Aku melotot. “Game centre?” ulangku tak percaqya. “Mereka bolos lalu ke game centre?”
Devon mengangguk. “Kalau aku tahu mereka ke sana, aku pasti ikut.”
“Kalian tak boleh bolos cuma karena—”
“Niken, sudahlah,” Devon memotong. “Kejadiannya sudah lewat dan lebih baik, kita nikmati saja permainannya.”
***The Flower Boy Next Door***
Nero menyesap minuman sodanya sampai habis, mengamati sekelilingnya dengan tidak antusias. Zoe, yang duduk di hadapannya hanya melipat tangan, bersandar dengan nyaman, dan tidak melakukan apa-apa selain menatap Nero lurus-lurus.
“Mereka terlambat,” kata Nero, meletakan minumannya yang kosong.
Dengan santai Zoe melirik arlojinya. “Masih 28 menit sejak kau mengirim pesan yang pertama.”
Nero memutar bola matanya. “Berlama-lama denganmu bisa membuatku gila.”
“Mungkin.”
Lagi-lagi Zoe memberikan komentar cerdas yang tak normal, membuat Nero memutar bola matanya. Tanggapan Zoe—dengan wajah tanpa ekspresi—kadang-kadang membuat Nero ragu mana yang jujur dan tidak, dan ngeri sendiri mengetahui kebenarannya.
Zoe benar-benar seorang agen sejati.
“Kau tak khawatir Devon tiba-tiba jatuh cinta pada Niken kan?”
Tuh kan, sebuah komentar luar biasa yang membuat Nero mengerjap. “Tidak. Yang kutakutkan mereka berterngkar di tengah jalan.”
“Atau nanti Niken yang jatuh cinta pada Devon.”
Tangan Nero dengan cepat melempar saputangan tepat ke wajah Zoe. “Diamlah, Zoe.”
“Kau terlalu khawatir, Nero. Devon itu pria yang gentle.”
Nero mendesah. “Aku tak terlalu menguatirkan itu.”
“Lalu apa?”
Karena aku kangen Niken.
Kalimat itu nyaris meluncur begitu saja, sudah di ujung lidah. Sesuatu mengenai Niken selalu membuat Nero gelisah, sehingga tidak bertemu Niken sebentar saja membuat perasaannya kacau. Tadi pagi Niken sempat mengungkit-ungkit malam menyebalkan itu, membuatnya mengingat Deborah—wanita mengerikan yang selalu menghantui hidupnya. Padahal dia nyaris melupakan apa yang terjadi selama ini bersama Niken, menggantik kenangan buruk dengan kenangan yang menyenangkan, mengubah ketakutannya menjadi kebahagiaan, melupakan dirinya yang dulu sehingga bisa menjadi sosok yang baru.
Hanya saja Niken sepertinya masih ingin membuka gembok terlarang, kotak Pandora yang akan memperburuk segalanya.
“Itu mereka datang.” Zoe mengedikan kepalanya.
Nero cepat-cepat menoleh. Devon, Niken dan Vion masuk melalui pintu otomatis. Zoe melambai cepat, menyuruh mereka mendekat. Aura Devon tampat tidak menyenangkan dan wajahnya masam. Ditinggal sendirian bersama dengan dua orang yang paling dibencinya di muka bumi pasti membuatnya tersiksa. Sungguh keajaiban tidak ada yang terluka dari antara mereka.
“Here, yours.” Devon meletakan tas Nero ke atas meja, menyingkirkan Niken ke pinggir, lalu duduk di kursi kosong di samping Nero.
“Devon, itu tempatnya Niken,” kata Vion, menarik kursi.
“So what?” kata Devon tak peduli.
“Kau duduk di sini dan biarkan Niken di samping Nero.”
Devon melirik Niken yang memelototinya dengan jengkel. “No,” kata Devon. “I need recharge,” tambahnya dan dengan sengaja meletakan kepalanya ke bahu Nero, sambil menjulurkan lidahnya pada Niken.
Niken mengepalkan tangan dan Devon menikmatinya. Mengejek Niken adalah satu-satunya hal yang mampu dilakukannya bila berada di dekat Nero. Kecemburuan gadis itu pada dirinya bila didekat Nero tidak mampu disembunyikan dengan baik.
“Then,” Zoe angkat bicara. “You could sit on my lap, Niken.”
“Hell no!”
Secara serentak Devon, Nero dan Vion berbicara berbarengan, membuat Zoe tertawa geli, begitu pula dengan Niken.
“Zoe, stop it! It’s creepy,” desis Nero jengkel.
“Aku pindah saja,” gumam Devon bangkit dari kursinya dan—mau tak mau—duduk di samping Vion. “Kalian sudah makan? Aku lapar.”
“Belum. Kita makan saja. Niken, mau makan apa?”
***The Flower Boy Next Door***
Nero tidak mengatakan apa-apa mengenai kejadian pagi ini. Untunglah. Karena bila hal itu sampai terjadi, aku yakin kami akan membahas masalah mengenai “malam” itu dan juga alasan kenapa aku tidak mengenakan seragam. Kami akan bertengkar dan mungkin akan lebih buruk daripada itu. Dan bila Nero tahu apa yang terjadi sebenarnya, aku yakin Nero tidak akan membiarkan masalah ini. Tapi aku juga bukan orang yang lemah. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
Kami mengobrol berlima dengan seru, tertawa dan berbicara serius. Baru kali aku bisa merasa santai seperti ini dan diantara cowok-cowok pula. Sekarang aku bisa mengerti kenapa mereka berempat bisa sangat dekat walau tidak saling menyukai, mereka memiliki Nero sebagai jembatan kedekatan mereka. Dan aku sadar bahwa karena Nero-lah makanya mereka bisa saling mengenal seperti ini.
Awalnya Devon hendak mengundak Audrey, tapi Audrey ada les balet sehingga baik Zoe dan Vion menggodanya karena ini.
Pulangnya, Nero menggenggam tanganku erat-erat seakan tak pernah terjadi sesuatu pada kami dan seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja untuk kami berdua.
Tapi aku belum bisa melupakan kejadian tadi pagi. Aku harus minta maaf karena membuat moodnya tidak baik.
“Nero, mengenai kejadian pagi ini…”
“Menganai kenapa tubuhmu bau sekali dan kenapa kau tak pakai seragam?”
Kenapa setiap kali aku membernikan diri mengatakan sesuatu, Nero selalu memotong dari kubunya?
“Nero…”
“Niken…”
Tuh kan!
“Nero, aku…”
Dan tiba-tiba saja Nero menunduk, memberikan ciuman lembut ke bibir sehingga aku tak bisa menyambung perkataanku, bahkan aku lupa harus mengatakan apa.
“Aku tak ingin mempermasalahkannya oke?” bisiknya perlahan, napasnya menyapu pipiku. “Kita tak harus bertengkar hanya karena masalah sepele.”
“Bukannya kau bilang aku bau?” kataku, mendorong Nero sedikit menjauh.
Nero tertawa kecil. “Sedikit. Tapi hal itu tak menghapus rasa cintaku padamu,” ujarnya lalu mengecup pipiku.
“Gombal.”
“Romantis.”
“Gombal.”
“Puitis.”
“Gombal,” kataku keras kepala, sedikit jengah karena tiap kali aku melawan, bibir Nero malah menyusuri bagian telingaku. “Nero, banyak orang,” desisku dengan wajah merah padam saat merasakan Nero menggigit kecil bagian pinggir telingaku.
“Tidak ada orang, Niken, jalanannya sepi,” katanya parau.
“Nero,” geramku.
Nero mendesah tapi tidak membantah lagi. Dengan malas Nero menegakan tubuhnya, mengalihkan pembicaraan menjadi, “Ada PR?” dan tidak mendebatku.
Aku mengangguk cepat. “Ada. Tugas Pak Alfon. Gelombang.”
“Sepertinya mudah,” gumam Nero dan aku menyikutnya.
“Jangan pamer, Tuan Sok Pintar. Soal itu sulit sekali,” kataku lagi.
“Tak jadi soal. Aku akan mengajarimu. Kita bisa mengerjakan PR di kamarmu malam ini.”
Aku melotot. “Kamarku? Kenapa bukan kamarmu?”
Dia nyengir, memberikan senyuman yang membuat siapapun bisa meleleh. “Aku tak akan membiarkan pacarku manjat-manjat jendela.”
“Ada pintu, Nero.”
“Aku malas memutar.”
“Kalau begitu aku saja yang lewat pintu kamarmu.”
“Dad sudah memberikan titah langsung pada Mom untuk melarang gadis manapun masuk kamarku, termasuk Ageha.”
Aku tak percaya ini. “Kita bisa menyelesaikannya di ruang keluarga.”
“Oh, ya, ide bagus, aku tak akan konsentrasi karena Mom pasti akan datang untuk memeriksa keadaan setiap lima menit sekali dan itu belum termasuk adanya gangguan dari Ageha yang akan meraung-raung tiap kali dicuekin.”
Rasanya mereka terdengar seperti Abangku, Ray, yang pasti tak akan membiarkan kami duduk dengan tenang, mengintip dengan curiga apa yang kami lakukan dan mengoceh tiap ada kesempatan.
“Jadi, bagaimana?” Nero bertanya, alisnya menaik.
Apa boleh buat. Nero memang benar dalam kasus kali ini.
“Oke. Di kamarku malam ini,” kataku pada akhirnya.
Semoga aku tak menyesal.
***The Flower Boy Next Door***
Pukul delapan malam, selesai makan malam, Nero menyelempangkan tasnya kemudian melompat keluar dari jendelanya, dan masuk ke kamar Niken.
Niken sudah menunggu di meja belajar, mengenakan baju rajutan berwarna coklat berpotongan longgar dan celana berkantong panjang melewati dengkulnya—stylenya Niken banget. Rambutnya yang panjang dan hitam digulung ke atas, dengan tusukan berwarna merah. Di jarinya sudah ada pensil dan di atas meja belajar, buku-buku sains terbuka lebar-lebar.
“Selamat malam,” kata Nero, memberikan ciuman sekilas ke dahi Niken lalu duduk di sampingnya. “Sudah kau kerjakan sampai nomor berapa?”
“Nomor tiga.”
Sambil menarik keluar bukunya, Nero melirik buku Niken. Kasihan. Buku itu sudah penuh dengan coretan. Padahal masih ada lima belas soal lagi yang menunggu.
“Kau kesulitan di nomor berapa?” Nero menarik sedikit buku Niken.
“Di nomor empat,” jawab Niken, menggeser mendekat, menunjukan tulisan yang dia kerjakan. “Aku kesulitan di bagian ini,” kata Niken, melirik Nero sedikit, memerhatikan mata Nero yang tampaknya terpusat penuh pada tulisannya.
“Hmmm,” gumam Nero, membaca soal dengan serius, tangannya menelusuri jawaban Niken. “Oh, ini ya. Di bagian ini ada yang salah.”
Niken mengerjap, mengalihkan pandangannya pada tulisannya. “Yang mana?”
“Nih. Di sini,” kata Nero, mengambil pensil di tangan Niken. Lalu dia menjelaskan pada Niken. Niken mendengarkan dengan sepenuh hati di sampingnya, mengamati penjelasan Nero yang mudah dimengerti. Dalam sekejap, Niken mampu mengerjakan dua soal sendirian sementara Nero menulis catatannya. Lalu, saat dia kesulitan lagi, Nero mengalihkan perhatiannya kembali pada Niken dan mengajarinya lagi.
Nero menyadari bahwa Niken kadang-kadang meliriknya jika dirinya mengalihkan pandangan pada catatannya. Hal ini dianggapnya menarik, karena Niken jarang sekali bisa meliriknya, bahkan saat di kelas saja, Niken lebih memilih untuk mendengarkan guru daripada melihatnya.
Tersenyum kecil, Nero menatap Niken, mengawasi gadis itu menyelesaikan soalnya yang terakhir dengan ketertarikan baru. Nero sudah menyelesaikan PR-nya setengah jam lebih awal daripada Niken karena—berbeda dengan Niken—Nero tak butuh kalkulator untuk menghitung. Salah satu tangan Nero naik ke atas meja, menopang kepalanya, menonton Niken. Dahi Niken mengerut dalam, bibirnya dikerucutkan, kadang digigit, kadang komat-kamit tak jelas. Rambut Niken yang berjatuhan di sisi lehernya membingkai wajahnya dengan apik, memungilkan wajahnya.
Siapa sih yang bilang Niken jelek? Niken memiliki tubuh mungil, bahu yang kecil, kulit yang sehat, membuatnya tampak lebih segar. Bibirnya berwarna merah mudah, mungil dengan ekspresi menggelikan. Lehernya jenjang, kurus, hidung yang lurus panjang dan melekuk indah, dan telinganya melingar lembut. Wangi Niken juga enak. Tidak seperti tadi pagi, Niken sepertinya sudah mandi habis-habisan, karena bau dari tubuh Niken menguar dengan begitu kuat antara wangi sabun dan shampoo. Mereka sama sekali tak bisa melihat kecantikan Niken. Nero yang bisa dan hal itu—mengherankan sekali—membuatnya bangga. Menjadi satu-satunya orang yang melihat kecantikan Niken merupakan sesuatu yang menyenangkan. Nero tak berniat membaginya pada orang lain. Itu hartanya yang berharga.
“Yes! Akhirnya!” Niken memeluk bukunya erat-erat.
Nero tertawa, kembali menegakan tubuhnya. “Masukan ke dalam tas supaya jangan ketinggalan.”
Dengan cepat Niken mengangguk, memasukan PR-nya ke dalam tas, lalu menguncinya rapat-rapat.
“Nah, sekarang kau bisa tidur dengan nyenyak. Besok pagi harus buka gerbang kan?” kata Nero, memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Niken mengangguk semangat membuat Nero senang sehingga dengan jahil dia berkata, “Ciuman terimakasih untukku mana?”
Rona merah menjalar dengan cepat ke wajah Niken. Bahkan setelah mereka pacaran pun, Niken tampaknya akan selalu merona untuknya.
Berniat untuk menggoda Niken lagi, Nero mendekatkan wajahnya.
“Apa sih?” kata Niken gelisah, mendorong Nero sedikit menjauh.
“Kiss me.”
“Nero.”
Please,” Nero memasang tampang memelas andalannya. “Kau kan pernah melakukan sekali.”
Niken menggigit bibir. “Waktu itu otakku tak berpikir.”
Jika waktunya tepat, Nero akan terbahak. “Malam ini otakmu juga sulit berpikir, Niken, sampai-sampai kau butuh bantuanku mengerjakan PR.”
Ada kilauan berbahaya di mata Niken. “Kau menye—” Niken terpekik kaget saat Nero memegang tengkuknya, menariknya dan menciumnya tiba-tiba. Gadis itu mencoba melawan, mendorong Nero menjauh tapi Nero tak melepasnya. Bibir Nero melumat bibir Niken perlahan, menggoda dengan lembut, melunturkan perlawanan Niken sedikit demi sedikit, membuat Niken mengerang kecil saat akhirnya menikmati ciumannya dan tidak melawan lagi.
“Nero…”
Suara Niken tak lebih hanya sekedar desahan saat Nero menarik mundur bibirnya hanya untuk menarik napas lalu mencium Niken sekali lagi.
Kali ini bukannya melawan, Niken malah membalas ciuman Nero, tak kalah bersemangat. Tangannya menaik, memeluk Nero, sementara jemarinya menyusuri rambut coklat Nero yang halus dan lembut.
Merasakan bahwa Niken memberikan ciuman yang intens sepertinya, perlahan Nero memeluk pinggang Niken, mengangkatnya dengan mudah tanpa menganggu ciuman mereka ke pangkuannya, memeluk Niken dengan posesif.
“Nero,” bisik Niken.
“Hmm?” gumam Niken, menatap mata Niken dengan penuh cinta.
“Sudah malam.” Sudah nyaris pukul sebelas malam.
“Mhm,” Nero mengangguk, menutup mata.
Niken tersenyum, mencium hidung Nero. “Kau harus melepas pelukanmu jadi aku bisa turun dan kau bisa bangkit dari kursimu.”
Pelukan Nero malah semakin erat. “Sebentar saja.”
“Nero, lepaskan.”
“Aku baru saja merasa bahagia. Jangan bangunkan aku, please.”
Niken mendesah pelan, hendak memprotes, tapi saat telapak tangannya menyentuh dada Nero, dia tahu bahwa Nero memang sedang bahagia.
“Jangan dengarkan jantungku, Niken. Bunyinya berisik.”
“Lumayan merdu.” Niken meletakan kepalanya ke bahu Nero. “Iramanya enak. Sama sepertiku. Dag dig dug dag dig dug.”
Nero tersenyum.
Jantungnya dan Niken memiliki ritme yang sama, berbunyi dalam nada yang sama, dengan hentakan yang sama. Dan saat ini, memeluk gadis ini di pangkuannya tanpa melakukan apa-apa terasa sangat menyenangkan, tanpa penganggu.
“Kapan Ayahmu pulang?” tanya Niken.
Nero menarik napas, mengambil tangan Niken, mencium telapak tangannya. “Entah.”
“Apa kau tak pernah tanya?” Niken mengangkat kepalanya, menyingkirkan rambut di dahi Nero dengan tangan yang satunya.
“Dad punya kebiasaan pulang tiba-tiba. Tak ada gunanya bertanya padanya,” gumam Nero, perlahan mencium urat nadi pergelengan tangan Niken yang berdenyut perlahan.
Niken terkesikap. “Ya ampun, Nero, apa yang kau lakukan?”
“Menciummu,” gumam Nero, tersenyum kecil.
“Kau nakal,” Niken menempelkan dahinya ke dahi Nero, sedikit lebih keras daripada yang seharusnya.
Nero mengerinyit, tapi tetap tersenyum, sehingga Niken merendahkan kepalanya, mencium Nero kembali.
“Niken, kau belum tidur?”
Dan itu dia pengganggunya.
“Goodbye, sweet dream,” gumam Nero, setengah jengkel, tapi tetap tak melepas pelukannya walau Niken sudah berniat untuk kabur.
“Nero,” desis Niken, menggeliat melepaskan diri. “Lepaskan.”
Nero menegakan tubuhnya, lalu mendekati telinganya, menghembuskan napasnya saat berbisik, “Aku belum puas bermimpi, Niken.”
Terdengar suara ketukan. “Niken?” suara Ray membuat Niken tak bergerak. Kesempatan dimanfaatkan Nero dengan mencium leher Niken.
Niken berjengit.
“Niken, kau baik-baik saja?” terdengar suara Ray lagi, kali ini lebih cemas.
“Aku…” Niken tersedak saat merasakan lehernya digigit Nero perlahan. “Aku baik-baik saja,” katanya agak terlalu cepat dan merintih pelan begitu Nero mengisap kulitnya perlahan.
“Kalau begitu buka pintunya. Papa nelepon nih.”
“Tunggu… aku…” Niken tersenggal-senggal, merasakan jemari Nero menggelitik punggungnya, membelai dengan lembut.
“Niken? Apa kau yakin baik-baik saja?” Ray terdengar tak sabar.
“Aku lagi ganti baju!” Niken mengerang kecil, mencengkram baju Nero, membenamkan wajahnya ke bahu Nero, menghirup bau Nero, memeluknya untuk mempertahankan diri dari godaan sentuhan Nero.
Jeez, aku tunggu lima menit ya,” kata Ray, lalu langkah kakinya terdengar menjauh.
Niken tidak sepenuhnya menghela napas lega karena begitu suara langkah kaki Ray tak terdengar lagi, Niken harus menjaga suaranya agar tidak mengerang karena Nero menurunkan sedikit pergelangan bajunya, menunjukan bahunya yang kecil dan Nero tengah menciumnya dengan lembut sementara tangannya memberikan pijatan nyaman pada punggungnya.
“Nero,” ucap Niken. “Hentikan.”
“Hmmm,” Nero bergumam. Ciumannya menaik dari bahu ke lehernya, kemudian ke lekukan rahangnya, menyusuri telinga Niken. Niken menggigil, memeluknya semakin erat. Tersenyum kecil, Nero berkata, “Sepertinya kau yang tak rela melepasku, Niken.”
“Ini semua salahmu… aku…” Niken mengerang lagi begitu Nero menjilat bagian leher Niken yang tadi dia gigit. Lidahnya meluncur turun dengan lembut, menghisap kulit Niken.
“Hmmm?” Nero tersenyum kecil, meniup telinga Niken, membuat Niken semakin gemetar perlahan di pangkuannya. “Kau tadi ingin bilang apa?”
“Aku… tadi…” Niken tergagap, tak bisa berpikir.
“Lebih baik kita lupakan apa yang ingin kau katakan, Niken. Kurasa itu tak terlalu penting,” ucap Nero lagi, membelai punggung Niken, menggigit pelan ujung telinga Niken. “Wangimu lebih enak dari tadi pagi, Niken.”
“Nero…” suara Niken terdengar parau.
“Hmmm?” gumam Nero, mencium bahu Niken, menghirup baunya, memeluk Niken semakin dekat dengannya.
“Kurasa aku tergila-gila padamu.”
Nero mengerjap, lalu tertawa, membuat mereka berdua berguncang di atas kursi.
Niken menatapnya, cemberut. “Kenapa kau tertawa?”
“Karena,” kata Nero, salah satu telunjuknya menyusuri pipi Niken. “Aku juga merasakan hal yang sama, Sayang.”
Niken masih cemberut walau begitu wajahnya merona lagi.
“Niken!” suara Ray terdengar lagi, menggedor pintu keras-keras. “Udah selesai belum ganti bajunya?”
Niken segera melompat dari pangkuan Nero, kali ini Nero melepasnya.
“Udah. Bentar,” teriak Niken. Dia menarik tangan Nero agar berdiri, menyerahkan tasnya Nero dan mendorongnya ke jendela.
“Buka pintunya kalo gitu,” kata Ray. “Sambungan Internasional itu mahal tahu!”
“BAWEL!” raung Niken jengkel.
Nero terkekeh.
“Cepat pergi,” desis Niken, memaksa Nero memakai tasnya.
“Aku bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Abangmu kalau dia melihatku di kamarmu,” kata Nero jahil.
“NIKEN! Lama amat sih buka pintunya? Ada siapa sih di dalam?”
Niken melotot. “Nggak ada siapa-siapa kok!” teriak Niken, tapi dia mendesis pada Nero yang menyeringai jahil. “Dia akan membunuhmu. Cepat pergi!”
“Tapi ini harus diperbaiki,” kata Nero, menaikan kembali baju Niken. Wajah Niken berubah merah. “Agar Abangmu tak tahu apa yang telah kita lakukan tadi.”
Niken kesal. “Aku membencimu!”
“Aku mencintaimu,” kata Nero, mengecup dahinya, lalu segera melompat keluar sebelum Niken berhasil meninjunya. Dia tertawa saat sampai ke seberang jendelanya, melihat Niken memberikan tinjunya padanya. Suara Ray masih bisa dia dengar.
“Niken, kau menyembunyikan pacarmu di kamar kan?”
“Pacar apa?” raung Niken, berjalan terhentak-hentak menuju pintu. Dia menoleh sekali lagi ke jendela.
Sebelum terjadi pertumpahan darah, Nero memutuskan untuk menutup jendela kamarnya agar Ray tak curiga. Sebelum itu, dia memberikan ciuman selamat tinggal di udara pada Niken. Dia masih bisa melihat Ray yang masuk, memberikan telepon pada Niken sambil ngomel-ngomel.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.