Debaran Dua Puluh Enam
Midnight Kissing
“Don’t tell me you love Vion.”
“I do.”
Mulut Nero
terbuka lebar, persis seperti gua hantu, menganga. Dengan entengnya Zoe mengaku
sebagai gay, lalu mengatakan bahwa dia menyukai Vion tanpa ada adanya bantahan,
bahkan tak ada embel-embel apapun seakan hal itu merupakan sesuatu yang sudah
seharusnya.
Nero seakan
merasakan bahwa mobilnya tiba-tiba saja kehilangan kontrol, jatuh ke jurang,
menabrak pepohonan, lalu meledak begitu saja.
Benar-benar
kejutan.
Nero tak
bergerak selama satu menit penuh untuk mengolah informasi ini, kemudian
mengirimnya ke seluruh tubuh, memberikan reaksi total yang seharsnya dia
berikan saat terlihat olehnya Zoe tengah menutup mulutnya dengan tangan.
“Zoe?” kata Nero keheranan.
“I think I can’t hold it anymore.”
“What?”
Lalu meledaklah
tawa Zoe. Nero mengerjap melihat Zoe tertunduk, memegangi perutnya, tertawa
terpingkal-pingkal dengan bahu bergetar hebat dan tangan menutupi mulut. Air
matanya bahkan nyaris keluar karena tertawa.
“You should’ve seen your face. It’s friggin funny,” kata Zoe dalam
usahanya tertawa.
Nero mengerjap.
“How could you believe something like that, You
Idiot.”
Nero mengerjap,
lalu menganga tak percaya. Sial. Zoe membohonginya! Berani benar dia membohongi
Nero dengan sukses begitu?
“Zoe,” geram Nero dan menerjang Zoe.
Mata Zoe
melebar. “Oh no!”
Zoe berlari
menghindar, tapi Nero menyusul dari belakang. Dia berlari sekuat tenaga seperti
banteng gila dan berhasil menangkap leher Zoe, mengaitkannya dengan sempurna.
Zoe, yang secara refleks diajarkan untuk menjatuhkan lawan, memasang kuda-kuda,
mencari pijakan yang mantap, memegang lengan Nero, menunduk seketika, membawa
tubuh Nero ke atas dan membanting Nero seketika.
“Shit!” teriak Nero, dan sebelum Zoe mencerna
tindakan Nero, Nero sudah menarik dasinya, dan dengan satu tangan menjatuhkan
Zoe ke tanah, membantingnya ke sisi yang satunya. Zoe jatuh berguling ke bawah
bukit.
Zoe mengerjap.
Nero luar biasa.
“Tickling attack!” kata Nero.
“What the—aw aw aw! Stop it!”
Nero telah
berlari, naik ke punggung Zoe, mengambil kakinya, melepas sepatu beserta kaos
kakinya sekalain dan menggelitik telapak kakinya.
“Shit! Nero, no tic—hmphuahahahahahaha!” Zoe
terbahak-bahak.
“Apologize and surrender!” kata Nero.
“No way!” Zoe meraung dalam usahanya menarik
napas.
“Aw, what a waste,” gumam Nero. “Tickling!” lalu dia kembali menggelitik
Zoe.
“What are you? A kid?” kata Zoe,
kemudian tertawa lagi saat Nero menggelitikinya. “Stop it!”
“Say my name and surrender, bitch!”
“Zoe the Super Knight!”
“What a lame,” gumam Nero memutar bola matanya.
“KALIAN! APA
YANG KALIAN LAKUKAN?”
Garry meraung
dari ujung ruangan. Kepala mereka secara serentak melihat ke arah suara dan
mereka melotot bersama-sama.
“Minggir, Nero,”
Zoe menendang Nero, menyingkirnya dari tubuhnya. “Sial! Mana sepatuku?”
Nero berlari ke
ujung yang lain, mengambil ponselnya yang jatuh saat mengejar Zoe, sementara
Zoe terpincang-pincang antara berlari dan memakai sepatunya.
“BERHENTI!”
Tapi mereka
berdua tak berhenti dan malah melompati tembok sekolah, masih mendengar suara
Garry dari belakang.
“Tadi itu luar
biasa,” kata Nero menepuk bahu Zoe, yang sudah merosot ke tembok dengan napas
terengah-engah.
“Ya,” kata Zoe.
“Apa kau sudah baikan?”
Nero
mengerinyit. “Apa?”
Anehnya, Zoe
malah tersenyum. “Ayo kita pergi. Aku butuh hiburan daripada terus-terusan
mengawasimu.”
Nero setuju
walau masih sedikit bingung.
***The Flower
Boy Next Door***
Mr. Notion : Tolong bawa tasku.
Pesan Nero masuk
ke ponselku. Dari pesannya saja aku tahu bahwa Nero bolos. Untunglah dia tidak
mengungkit-ungkit kejadian pagi ini. Walau dia mungkin menghindariku pagi ini,
setidaknya siang ini dia tak akan melakukannya.
Maka setelah bel
tanda berakhirnya pelajaran hai ini berbunyi, aku pun memasukan buku-buku
pelajaran Nero ke dalam tasnya dan mengangkatnya dengan susah payah.
Dibandingkan dengan tasku, tas Nero ternyata lebih berat karena Nero selalu
membawa buku tambahan, bila dia bosan dengan pelajaran.
“Wah, sekarang
Niken berubah menjadi babunya Nero.”
“Sejak kapan sih
mereka pacaran?”
“Iya ya, Nero
kan cakep. Nggak mungkin mau sama—”
BRAK
Aku terkejut,
begitu juga dengan anak-anak yang tadi bergosip. Mereka terdiam saat melihat
Devon, berdiri di belakang punggungku, menjulang seperti raksasa, lengkap
dengan wajah garang dan ekspresi tak sama, dan tangan yang mengepal pada pintu
yang baru saja dia tinju.
“Hai, Niken,”
sapanya, mengerinyit pada murid-murid di sekeliling kami. “Aku paling tak suka
penggosip. Bagaimana menurutmu?”
Kuperhatikan
murid-murid itu menelan ludah dengan panik dan karena mereka tak ingin
berurusan dengan Devon, maka mereka cepat-cepat angkat kaki tanpa banyak
bicara. Bibirku tersenyum. “Aku juga.”
“Itu tas Nero?”
dia menunjuk tas yang kupeluk erat-erat. Aku mengangguk pelan, lalu tanpa
diduga, Devon mengambil tas itu. “Aku saja yang bawa. Tasnya kan berat.”
“Tapi—”
“Ini. Kau bawa
tas Zoe saja. Lebih ringan.” Devon memberikan tas Zoe yang ringan, tipis dan
tidak berisi. “Zoe hanya membawa sebuah buku catatan dan gadget ke sekolah. Tak
lebih.” Devon menjelaskan, melihat ekspresi keherananku. “Yuk. Mereka menunggu
kita di game centre.”
Aku melotot.
“Game centre?” ulangku tak percaqya. “Mereka bolos lalu ke game centre?”
Devon
mengangguk. “Kalau aku tahu mereka ke sana, aku pasti ikut.”
“Kalian tak
boleh bolos cuma karena—”
“Niken,
sudahlah,” Devon memotong. “Kejadiannya sudah lewat dan lebih baik, kita
nikmati saja permainannya.”
***The Flower
Boy Next Door***
Nero menyesap
minuman sodanya sampai habis, mengamati sekelilingnya dengan tidak antusias.
Zoe, yang duduk di hadapannya hanya melipat tangan, bersandar dengan nyaman,
dan tidak melakukan apa-apa selain menatap Nero lurus-lurus.
“Mereka
terlambat,” kata Nero, meletakan minumannya yang kosong.
Dengan santai
Zoe melirik arlojinya. “Masih 28 menit sejak kau mengirim pesan yang pertama.”
Nero memutar
bola matanya. “Berlama-lama denganmu bisa membuatku gila.”
“Mungkin.”
Lagi-lagi Zoe
memberikan komentar cerdas yang tak normal, membuat Nero memutar bola matanya.
Tanggapan Zoe—dengan wajah tanpa ekspresi—kadang-kadang membuat Nero ragu mana
yang jujur dan tidak, dan ngeri sendiri mengetahui kebenarannya.
Zoe benar-benar
seorang agen sejati.
“Kau tak
khawatir Devon tiba-tiba jatuh cinta pada Niken kan?”
Tuh kan, sebuah
komentar luar biasa yang membuat Nero mengerjap. “Tidak. Yang kutakutkan mereka
berterngkar di tengah jalan.”
“Atau nanti
Niken yang jatuh cinta pada Devon.”
Tangan Nero
dengan cepat melempar saputangan tepat ke wajah Zoe. “Diamlah, Zoe.”
“Kau terlalu
khawatir, Nero. Devon itu pria yang gentle.”
Nero mendesah.
“Aku tak terlalu menguatirkan itu.”
“Lalu apa?”
Karena aku kangen Niken.
Kalimat itu
nyaris meluncur begitu saja, sudah di ujung lidah. Sesuatu mengenai Niken
selalu membuat Nero gelisah, sehingga tidak bertemu Niken sebentar saja membuat
perasaannya kacau. Tadi pagi Niken sempat mengungkit-ungkit malam menyebalkan
itu, membuatnya mengingat Deborah—wanita mengerikan yang selalu menghantui
hidupnya. Padahal dia nyaris melupakan apa yang terjadi selama ini bersama
Niken, menggantik kenangan buruk dengan kenangan yang menyenangkan, mengubah
ketakutannya menjadi kebahagiaan, melupakan dirinya yang dulu sehingga bisa
menjadi sosok yang baru.
Hanya saja Niken
sepertinya masih ingin membuka gembok terlarang, kotak Pandora yang akan
memperburuk segalanya.
“Itu mereka
datang.” Zoe mengedikan kepalanya.
Nero cepat-cepat
menoleh. Devon, Niken dan Vion masuk melalui pintu otomatis. Zoe melambai
cepat, menyuruh mereka mendekat. Aura Devon tampat tidak menyenangkan dan
wajahnya masam. Ditinggal sendirian bersama dengan dua orang yang paling
dibencinya di muka bumi pasti membuatnya tersiksa. Sungguh keajaiban tidak ada
yang terluka dari antara mereka.
“Here, yours.”
Devon meletakan tas Nero ke atas meja, menyingkirkan Niken ke pinggir, lalu
duduk di kursi kosong di samping Nero.
“Devon, itu
tempatnya Niken,” kata Vion, menarik kursi.
“So what?” kata Devon tak peduli.
“Kau duduk di
sini dan biarkan Niken di samping Nero.”
Devon melirik
Niken yang memelototinya dengan jengkel. “No,”
kata Devon. “I need recharge,” tambahnya
dan dengan sengaja meletakan kepalanya ke bahu Nero, sambil menjulurkan
lidahnya pada Niken.
Niken
mengepalkan tangan dan Devon menikmatinya. Mengejek Niken adalah satu-satunya
hal yang mampu dilakukannya bila berada di dekat Nero. Kecemburuan gadis itu
pada dirinya bila didekat Nero tidak mampu disembunyikan dengan baik.
“Then,” Zoe angkat bicara. “You could sit on my lap, Niken.”
“Hell no!”
Secara serentak
Devon, Nero dan Vion berbicara berbarengan, membuat Zoe tertawa geli, begitu
pula dengan Niken.
“Zoe, stop it! It’s creepy,” desis Nero
jengkel.
“Aku pindah
saja,” gumam Devon bangkit dari kursinya dan—mau tak mau—duduk di samping Vion.
“Kalian sudah makan? Aku lapar.”
“Belum. Kita
makan saja. Niken, mau makan apa?”
***The Flower
Boy Next Door***
Nero tidak
mengatakan apa-apa mengenai kejadian pagi ini. Untunglah. Karena bila hal itu
sampai terjadi, aku yakin kami akan membahas masalah mengenai “malam” itu dan
juga alasan kenapa aku tidak mengenakan seragam. Kami akan bertengkar dan
mungkin akan lebih buruk daripada itu. Dan bila Nero tahu apa yang terjadi
sebenarnya, aku yakin Nero tidak akan membiarkan masalah ini. Tapi aku juga
bukan orang yang lemah. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
Kami mengobrol
berlima dengan seru, tertawa dan berbicara serius. Baru kali aku bisa merasa
santai seperti ini dan diantara cowok-cowok pula. Sekarang aku bisa mengerti
kenapa mereka berempat bisa sangat dekat walau tidak saling menyukai, mereka
memiliki Nero sebagai jembatan kedekatan mereka. Dan aku sadar bahwa karena
Nero-lah makanya mereka bisa saling mengenal seperti ini.
Awalnya Devon
hendak mengundak Audrey, tapi Audrey ada les balet sehingga baik Zoe dan Vion
menggodanya karena ini.
Pulangnya, Nero
menggenggam tanganku erat-erat seakan tak pernah terjadi sesuatu pada kami dan
seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja untuk kami berdua.
Tapi aku belum
bisa melupakan kejadian tadi pagi. Aku harus minta maaf karena membuat moodnya
tidak baik.
“Nero, mengenai
kejadian pagi ini…”
“Menganai kenapa
tubuhmu bau sekali dan kenapa kau tak pakai seragam?”
Kenapa setiap
kali aku membernikan diri mengatakan sesuatu, Nero selalu memotong dari
kubunya?
“Nero…”
“Niken…”
Tuh kan!
“Nero, aku…”
Dan tiba-tiba
saja Nero menunduk, memberikan ciuman lembut ke bibir sehingga aku tak bisa
menyambung perkataanku, bahkan aku lupa harus mengatakan apa.
“Aku tak ingin
mempermasalahkannya oke?” bisiknya perlahan, napasnya menyapu pipiku. “Kita tak
harus bertengkar hanya karena masalah sepele.”
“Bukannya kau
bilang aku bau?” kataku, mendorong Nero sedikit menjauh.
Nero tertawa kecil.
“Sedikit. Tapi hal itu tak menghapus rasa cintaku padamu,” ujarnya lalu
mengecup pipiku.
“Gombal.”
“Romantis.”
“Gombal.”
“Puitis.”
“Gombal,” kataku
keras kepala, sedikit jengah karena tiap kali aku melawan, bibir Nero malah
menyusuri bagian telingaku. “Nero, banyak orang,” desisku dengan wajah merah
padam saat merasakan Nero menggigit kecil bagian pinggir telingaku.
“Tidak ada
orang, Niken, jalanannya sepi,” katanya parau.
“Nero,” geramku.
Nero mendesah
tapi tidak membantah lagi. Dengan malas Nero menegakan tubuhnya, mengalihkan
pembicaraan menjadi, “Ada PR?” dan tidak mendebatku.
Aku mengangguk
cepat. “Ada. Tugas Pak Alfon. Gelombang.”
“Sepertinya
mudah,” gumam Nero dan aku menyikutnya.
“Jangan pamer,
Tuan Sok Pintar. Soal itu sulit sekali,” kataku lagi.
“Tak jadi soal.
Aku akan mengajarimu. Kita bisa mengerjakan PR di kamarmu malam ini.”
Aku melotot.
“Kamarku? Kenapa bukan kamarmu?”
Dia nyengir,
memberikan senyuman yang membuat siapapun bisa meleleh. “Aku tak akan
membiarkan pacarku manjat-manjat jendela.”
“Ada pintu,
Nero.”
“Aku malas
memutar.”
“Kalau begitu
aku saja yang lewat pintu kamarmu.”
“Dad sudah
memberikan titah langsung pada Mom untuk melarang gadis manapun masuk kamarku,
termasuk Ageha.”
Aku tak percaya
ini. “Kita bisa menyelesaikannya di ruang keluarga.”
“Oh, ya, ide
bagus, aku tak akan konsentrasi karena Mom pasti akan datang untuk memeriksa
keadaan setiap lima menit sekali dan itu belum termasuk adanya gangguan dari
Ageha yang akan meraung-raung tiap kali dicuekin.”
Rasanya mereka
terdengar seperti Abangku, Ray, yang pasti tak akan membiarkan kami duduk
dengan tenang, mengintip dengan curiga apa yang kami lakukan dan mengoceh tiap
ada kesempatan.
“Jadi,
bagaimana?” Nero bertanya, alisnya menaik.
Apa boleh buat.
Nero memang benar dalam kasus kali ini.
“Oke. Di kamarku
malam ini,” kataku pada akhirnya.
Semoga aku tak
menyesal.
***The Flower
Boy Next Door***
Pukul delapan
malam, selesai makan malam, Nero menyelempangkan tasnya kemudian melompat
keluar dari jendelanya, dan masuk ke kamar Niken.
Niken sudah
menunggu di meja belajar, mengenakan baju rajutan berwarna coklat berpotongan
longgar dan celana berkantong panjang melewati dengkulnya—stylenya Niken
banget. Rambutnya yang panjang dan hitam digulung ke atas, dengan tusukan
berwarna merah. Di jarinya sudah ada pensil dan di atas meja belajar, buku-buku
sains terbuka lebar-lebar.
“Selamat malam,”
kata Nero, memberikan ciuman sekilas ke dahi Niken lalu duduk di sampingnya.
“Sudah kau kerjakan sampai nomor berapa?”
“Nomor tiga.”
Sambil menarik
keluar bukunya, Nero melirik buku Niken. Kasihan. Buku itu sudah penuh dengan
coretan. Padahal masih ada lima belas soal lagi yang menunggu.
“Kau kesulitan
di nomor berapa?” Nero menarik sedikit buku Niken.
“Di nomor
empat,” jawab Niken, menggeser mendekat, menunjukan tulisan yang dia kerjakan.
“Aku kesulitan di bagian ini,” kata Niken, melirik Nero sedikit, memerhatikan
mata Nero yang tampaknya terpusat penuh pada tulisannya.
“Hmmm,” gumam
Nero, membaca soal dengan serius, tangannya menelusuri jawaban Niken. “Oh, ini
ya. Di bagian ini ada yang salah.”
Niken mengerjap,
mengalihkan pandangannya pada tulisannya. “Yang mana?”
“Nih. Di sini,”
kata Nero, mengambil pensil di tangan Niken. Lalu dia menjelaskan pada Niken.
Niken mendengarkan dengan sepenuh hati di sampingnya, mengamati penjelasan Nero
yang mudah dimengerti. Dalam sekejap, Niken mampu mengerjakan dua soal
sendirian sementara Nero menulis catatannya. Lalu, saat dia kesulitan lagi,
Nero mengalihkan perhatiannya kembali pada Niken dan mengajarinya lagi.
Nero menyadari
bahwa Niken kadang-kadang meliriknya jika dirinya mengalihkan pandangan pada
catatannya. Hal ini dianggapnya menarik, karena Niken jarang sekali bisa
meliriknya, bahkan saat di kelas saja, Niken lebih memilih untuk mendengarkan
guru daripada melihatnya.
Tersenyum kecil,
Nero menatap Niken, mengawasi gadis itu menyelesaikan soalnya yang terakhir
dengan ketertarikan baru. Nero sudah menyelesaikan PR-nya setengah jam lebih
awal daripada Niken karena—berbeda dengan Niken—Nero tak butuh kalkulator untuk
menghitung. Salah satu tangan Nero naik ke atas meja, menopang kepalanya,
menonton Niken. Dahi Niken mengerut dalam, bibirnya dikerucutkan, kadang
digigit, kadang komat-kamit tak jelas. Rambut Niken yang berjatuhan di sisi
lehernya membingkai wajahnya dengan apik, memungilkan wajahnya.
Siapa sih yang
bilang Niken jelek? Niken memiliki tubuh mungil, bahu yang kecil, kulit yang
sehat, membuatnya tampak lebih segar. Bibirnya berwarna merah mudah, mungil
dengan ekspresi menggelikan. Lehernya jenjang, kurus, hidung yang lurus panjang
dan melekuk indah, dan telinganya melingar lembut. Wangi Niken juga enak. Tidak
seperti tadi pagi, Niken sepertinya sudah mandi habis-habisan, karena bau dari
tubuh Niken menguar dengan begitu kuat antara wangi sabun dan shampoo. Mereka
sama sekali tak bisa melihat kecantikan Niken. Nero yang bisa dan hal
itu—mengherankan sekali—membuatnya bangga. Menjadi satu-satunya orang yang
melihat kecantikan Niken merupakan sesuatu yang menyenangkan. Nero tak berniat
membaginya pada orang lain. Itu hartanya yang berharga.
“Yes! Akhirnya!”
Niken memeluk bukunya erat-erat.
Nero tertawa,
kembali menegakan tubuhnya. “Masukan ke dalam tas supaya jangan ketinggalan.”
Dengan cepat
Niken mengangguk, memasukan PR-nya ke dalam tas, lalu menguncinya rapat-rapat.
“Nah, sekarang
kau bisa tidur dengan nyenyak. Besok pagi harus buka gerbang kan?” kata Nero,
memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Niken mengangguk semangat membuat Nero
senang sehingga dengan jahil dia berkata, “Ciuman terimakasih untukku mana?”
Rona merah
menjalar dengan cepat ke wajah Niken. Bahkan setelah mereka pacaran pun, Niken
tampaknya akan selalu merona untuknya.
Berniat untuk
menggoda Niken lagi, Nero mendekatkan wajahnya.
“Apa sih?” kata
Niken gelisah, mendorong Nero sedikit menjauh.
“Kiss me.”
“Nero.”
“Please,” Nero memasang tampang memelas
andalannya. “Kau kan pernah melakukan sekali.”
Niken menggigit bibir.
“Waktu itu otakku tak berpikir.”
Jika waktunya
tepat, Nero akan terbahak. “Malam ini otakmu juga sulit berpikir, Niken,
sampai-sampai kau butuh bantuanku mengerjakan PR.”
Ada kilauan
berbahaya di mata Niken. “Kau menye—” Niken terpekik kaget saat Nero memegang
tengkuknya, menariknya dan menciumnya tiba-tiba. Gadis itu mencoba melawan,
mendorong Nero menjauh tapi Nero tak melepasnya. Bibir Nero melumat bibir Niken
perlahan, menggoda dengan lembut, melunturkan perlawanan Niken sedikit demi
sedikit, membuat Niken mengerang kecil saat akhirnya menikmati ciumannya dan
tidak melawan lagi.
“Nero…”
Suara Niken tak
lebih hanya sekedar desahan saat Nero menarik mundur bibirnya hanya untuk
menarik napas lalu mencium Niken sekali lagi.
Kali ini
bukannya melawan, Niken malah membalas ciuman Nero, tak kalah bersemangat.
Tangannya menaik, memeluk Nero, sementara jemarinya menyusuri rambut coklat
Nero yang halus dan lembut.
Merasakan bahwa
Niken memberikan ciuman yang intens sepertinya, perlahan Nero memeluk pinggang
Niken, mengangkatnya dengan mudah tanpa menganggu ciuman mereka ke pangkuannya,
memeluk Niken dengan posesif.
“Nero,” bisik
Niken.
“Hmm?” gumam
Niken, menatap mata Niken dengan penuh cinta.
“Sudah malam.”
Sudah nyaris pukul sebelas malam.
“Mhm,” Nero mengangguk,
menutup mata.
Niken tersenyum,
mencium hidung Nero. “Kau harus melepas pelukanmu jadi aku bisa turun dan kau
bisa bangkit dari kursimu.”
Pelukan Nero
malah semakin erat. “Sebentar saja.”
“Nero,
lepaskan.”
“Aku baru saja
merasa bahagia. Jangan bangunkan aku, please.”
Niken mendesah
pelan, hendak memprotes, tapi saat telapak tangannya menyentuh dada Nero, dia
tahu bahwa Nero memang sedang bahagia.
“Jangan
dengarkan jantungku, Niken. Bunyinya berisik.”
“Lumayan merdu.”
Niken meletakan kepalanya ke bahu Nero. “Iramanya enak. Sama sepertiku. Dag dig
dug dag dig dug.”
Nero tersenyum.
Jantungnya dan
Niken memiliki ritme yang sama, berbunyi dalam nada yang sama, dengan hentakan
yang sama. Dan saat ini, memeluk gadis ini di pangkuannya tanpa melakukan apa-apa
terasa sangat menyenangkan, tanpa penganggu.
“Kapan Ayahmu
pulang?” tanya Niken.
Nero menarik
napas, mengambil tangan Niken, mencium telapak tangannya. “Entah.”
“Apa kau tak
pernah tanya?” Niken mengangkat kepalanya, menyingkirkan rambut di dahi Nero
dengan tangan yang satunya.
“Dad punya
kebiasaan pulang tiba-tiba. Tak ada gunanya bertanya padanya,” gumam Nero,
perlahan mencium urat nadi pergelengan tangan Niken yang berdenyut perlahan.
Niken
terkesikap. “Ya ampun, Nero, apa yang kau lakukan?”
“Menciummu,”
gumam Nero, tersenyum kecil.
“Kau nakal,”
Niken menempelkan dahinya ke dahi Nero, sedikit lebih keras daripada yang
seharusnya.
Nero
mengerinyit, tapi tetap tersenyum, sehingga Niken merendahkan kepalanya,
mencium Nero kembali.
“Niken, kau
belum tidur?”
Dan itu dia
pengganggunya.
“Goodbye, sweet dream,” gumam Nero,
setengah jengkel, tapi tetap tak melepas pelukannya walau Niken sudah berniat
untuk kabur.
“Nero,” desis
Niken, menggeliat melepaskan diri. “Lepaskan.”
Nero menegakan
tubuhnya, lalu mendekati telinganya, menghembuskan napasnya saat berbisik, “Aku
belum puas bermimpi, Niken.”
Terdengar suara
ketukan. “Niken?” suara Ray membuat Niken tak bergerak. Kesempatan dimanfaatkan
Nero dengan mencium leher Niken.
Niken berjengit.
“Niken, kau baik-baik
saja?” terdengar suara Ray lagi, kali ini lebih cemas.
“Aku…” Niken
tersedak saat merasakan lehernya digigit Nero perlahan. “Aku baik-baik saja,”
katanya agak terlalu cepat dan merintih pelan begitu Nero mengisap kulitnya
perlahan.
“Kalau begitu
buka pintunya. Papa nelepon nih.”
“Tunggu… aku…”
Niken tersenggal-senggal, merasakan jemari Nero menggelitik punggungnya,
membelai dengan lembut.
“Niken? Apa kau yakin
baik-baik saja?” Ray terdengar tak sabar.
“Aku lagi ganti
baju!” Niken mengerang kecil, mencengkram baju Nero, membenamkan wajahnya ke
bahu Nero, menghirup bau Nero, memeluknya untuk mempertahankan diri dari godaan
sentuhan Nero.
“Jeez, aku tunggu lima menit ya,” kata
Ray, lalu langkah kakinya terdengar menjauh.
Niken tidak
sepenuhnya menghela napas lega karena begitu suara langkah kaki Ray tak
terdengar lagi, Niken harus menjaga suaranya agar tidak mengerang karena Nero
menurunkan sedikit pergelangan bajunya, menunjukan bahunya yang kecil dan Nero
tengah menciumnya dengan lembut sementara tangannya memberikan pijatan nyaman
pada punggungnya.
“Nero,” ucap
Niken. “Hentikan.”
“Hmmm,” Nero
bergumam. Ciumannya menaik dari bahu ke lehernya, kemudian ke lekukan
rahangnya, menyusuri telinga Niken. Niken menggigil, memeluknya semakin erat.
Tersenyum kecil, Nero berkata, “Sepertinya kau yang tak rela melepasku, Niken.”
“Ini semua
salahmu… aku…” Niken mengerang lagi begitu Nero menjilat bagian leher Niken
yang tadi dia gigit. Lidahnya meluncur turun dengan lembut, menghisap kulit
Niken.
“Hmmm?” Nero
tersenyum kecil, meniup telinga Niken, membuat Niken semakin gemetar perlahan
di pangkuannya. “Kau tadi ingin bilang apa?”
“Aku… tadi…”
Niken tergagap, tak bisa berpikir.
“Lebih baik kita
lupakan apa yang ingin kau katakan, Niken. Kurasa itu tak terlalu penting,”
ucap Nero lagi, membelai punggung Niken, menggigit pelan ujung telinga Niken.
“Wangimu lebih enak dari tadi pagi, Niken.”
“Nero…” suara
Niken terdengar parau.
“Hmmm?” gumam
Nero, mencium bahu Niken, menghirup baunya, memeluk Niken semakin dekat
dengannya.
“Kurasa aku
tergila-gila padamu.”
Nero mengerjap,
lalu tertawa, membuat mereka berdua berguncang di atas kursi.
Niken
menatapnya, cemberut. “Kenapa kau tertawa?”
“Karena,” kata
Nero, salah satu telunjuknya menyusuri pipi Niken. “Aku juga merasakan hal yang
sama, Sayang.”
Niken masih
cemberut walau begitu wajahnya merona lagi.
“Niken!” suara
Ray terdengar lagi, menggedor pintu keras-keras. “Udah selesai belum ganti
bajunya?”
Niken segera
melompat dari pangkuan Nero, kali ini Nero melepasnya.
“Udah. Bentar,”
teriak Niken. Dia menarik tangan Nero agar berdiri, menyerahkan tasnya Nero dan
mendorongnya ke jendela.
“Buka pintunya
kalo gitu,” kata Ray. “Sambungan Internasional itu mahal tahu!”
“BAWEL!” raung
Niken jengkel.
Nero terkekeh.
“Cepat pergi,”
desis Niken, memaksa Nero memakai tasnya.
“Aku
bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Abangmu kalau dia melihatku di kamarmu,”
kata Nero jahil.
“NIKEN! Lama
amat sih buka pintunya? Ada siapa sih di dalam?”
Niken melotot.
“Nggak ada siapa-siapa kok!” teriak Niken, tapi dia mendesis pada Nero yang
menyeringai jahil. “Dia akan membunuhmu. Cepat pergi!”
“Tapi ini harus
diperbaiki,” kata Nero, menaikan kembali baju Niken. Wajah Niken berubah merah.
“Agar Abangmu tak tahu apa yang telah kita lakukan tadi.”
Niken kesal.
“Aku membencimu!”
“Aku
mencintaimu,” kata Nero, mengecup dahinya, lalu segera melompat keluar sebelum
Niken berhasil meninjunya. Dia tertawa saat sampai ke seberang jendelanya,
melihat Niken memberikan tinjunya padanya. Suara Ray masih bisa dia dengar.
“Niken, kau
menyembunyikan pacarmu di kamar kan?”
“Pacar apa?”
raung Niken, berjalan terhentak-hentak menuju pintu. Dia menoleh sekali lagi ke
jendela.
Sebelum terjadi
pertumpahan darah, Nero memutuskan untuk menutup jendela kamarnya agar Ray tak curiga.
Sebelum itu, dia memberikan ciuman selamat tinggal di udara pada Niken. Dia masih
bisa melihat Ray yang masuk, memberikan telepon pada Niken sambil
ngomel-ngomel.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar