Debaran Dua Puluh Lima
Boyfriend and Reality
Aku baru jadian
dengan Nero dan sekarang aku diberi kejutan sekelas dengannya. Berkat
pertengkaran kami, aku lupa sama sekali mengenai pengumuman ujian. Melihat
cowok yang kau cintai ada di hadapanmu, tersenyum manis padamu dan melambai
penuh cinta padamu, membuatku menyadari bahwa aku tak butuh apa-apa lagi di
dunia ini. Bahkan aku tak peduli gosip dan makian fans Nero di belakang punggungku.
Peduli amat soal
mereka, yang terpenting adalah Nero.
“Nero, kau bisa
duduk di samping Niken,” kata Pak Alfon.
Dan sekarang aku
diberikan bonus memiliki Nero di sebelahku. Rumah kami bersebelahan, kamar kami
bersebelahan, jendela kamar kami bersebelahan, dan sekarang kursi kamar kami
bersebelahan. Bukankah itu yang namanya takdir?
Murid-murid
wanita protes.
“Yah, masa Niken
sih?”
“Pak, di sini
kan kosong!”
“Dasar pilih
kasih!”
Tapi Pak Alfon
memilih untuk tidak mendengarkan. “Nero, silakan duduk.”
Anggukan kecil
dari Nero membuat cewek-cewek tidak protes lagi. Nero melangkah pelan dan duduk
di sebelahku. Dia meletakan ranselnya dan tersenyum manis.
“Hai, Niken.”
“Hai.” Ya Tuhan,
senyumannya! Aku bisa meleleh!
“Aku sudah
bilang kalau aku akan masuk kelas unggulan.”
Senyumku
menghilang. “Apa kau mau cari berantem?”
“Walau kita
pasangan, bukan berarti kita tak lagi jadi saingan.”
“Ehem!” Dehaman
Pak Alfon membuatku terpaksa menelan rasa jengkel yang hendak kukeluarkan pada
Nero. Dengan sangat terpaksa, kualihkan pandanganku ke depan kelas. “Hari ini
kita akan belajar gelombang. Buka buku teks halaman 192. Aku yakin kalian sudah
membaca buku kalian sebelum kemari, seperti yang biasanya kalian lakukan. Nero,
apa itu gelombang?”
“Gelombang
merupakan gejala perambatan energy yang merambat dalam satu medium.” Nero
menjawab lancar dari sebelahku.
“Jelaskan.”
“Contohnya, pada
sebuah gabus yang masuk ke permukaan air, dimana terbentuk pola yang membentuk
lingkaran. Pola yang dibentuk oleh air disebuh sebagai gelombang permukaan air.
Selain itu, kita juga dapat memperhatikan gabus yang berada di permukaan air
tidak bergerak mengikuti pola lingkaran air yang membesar, melainkan gabus
tersebut naik turun pada tempatnya. Yang terbawa oleh gelombang air itu adalah
bentuk penampang permukaan air yang tidak berubah setiap jarak yang tidak
terlalu besar. Bagian permukaan air yang dikenakan pola gelombang berarti
mendapatkan energy, yang merambatkan energy dari sumber ke seluruh permukaan
air, gelombang ini disebut gelombang tunggal, karena hanya dalam satu pola
gelombang, yaitu bentuk lingkaran yang membesar ke arah luar. Sedangkan
gelombang yang menyebabkan medium bergerah dan berubah secara periodik
merupakan gelombang periodik.”
Aku menganga
mendengar penjelasan panjang Nero—yang nyaris tak bisa kumengerti.
“Terimakasih,
Nero,” kata Pak Alfon. “Siapa yang mengerti?”
Tak ada yang
mengangkat tangan, termasuk aku. Benar-benar memalukan.
Dan Pak Alfon
pun kembali menjelaskan hal yang kurang lebih sama dengan apa yang dijelaskan
Nero, dalam bahasa yang lebih panjang. Aku menghabiskan waktu untuk mencoba
berkonsentrasi pada penjelasan panjang gelombang dan antek-anteknya. Tapi Nero
hanya menunduk, memandang mejanya, mencoret-coret bukunya dengan bosan.
Dari sudut
mataku, aku melihat Nero memberikan pita-pita indah berlekuk indah pada gambar
penemu yang kukenali sebagi Isaac Newton. Astaga. Aku nyaris terbahak-bahak.
“Nero, sebutkan
hubungan antara kelajuan bunyi terhadap suhu dan medium.”
Nero mengadah
dan menjawab cepat. “Kelajuan bunyi tergantung pada jenis medium dan suhu
medium. Kelajuan rambat bunyi bertambah bila suhu medium bertambah, atau bahan
medium lebih rapat. Berubahnya suhu dan karakter medium dapat menyebabkan
kelajuan rambat bunyi berubah. Jika demikian, maka arah rambat pun berubah, dan
hal seperti itu disebut peristiwa pembiasan bunyi.”
Lagi-lagi aku
tercengang dengan jawabannya. Pak Alfon yang ingin tahu sejauh apa kemampuan
Nero pun bertanya lagi.
“Berapa Taraf
Intensitas untuk 10^-5 W/m^2?”
“Tujuh puluh decibel.”
“Bila tingkat
kebisingan mobil 60 dB, berapa Taraf Intensitas 100 mobil?”
Nero hanya butuh
waktu tiga detik untuk menjawab, “Delapan puluh decibel.”
“Jika ada nada
masing-masing 456 Hz dan 459 Hz dan saling berinteraksi, berapa banyak layangan
bunyi yang terjadi selama lima menit?”
Satu detik
kemudian. “Sembilan ratus layangan.”
Pak Alfon tampak
terkesan. “Well, kurasa ada satu
orang yang harusnya sudah duduk di bangku universitas.”
Nero tidak
merespon, dengan tak peduli, dia kembali menunduk, mengerjakan kembali hiasan
kepala Isaac Newton. Sekarang sudah jelas kenapa aku tak mungkin mendepak Nero.
DIA JENIUS!
***The Flower
Boy Next Door***
Vion sudah
menunggu Niken dan Nero di depan pintu ruang musik saat kelas 2-1 selesai
praktik seni hari ini. Nero menatap langsung mata Vion sementara Niken yang ada
di sampingnya menggenggam erat tangannya.
“Hey,” sapa
Vion, tangan masih melipat sementara punggung bersandar di dinding.
Nero mengangguk
kaku. “’Sup?”
Sekarang
murid-murid yang keluar dari ruang musik berhenti di tengah jalan dan menunggu
apa yang bakal terjadi, karena tepat saat itu, Vion menegakan diri, melangkah
mendekati Nero dan meninju pelan perutnya.
“Hadiah karena
merebut incaranku,” kata Vion pelan. Dia tersenyum dan menepuk bahu Nero dengan
akrab.
Nero tertawa
kecil. “Yeah, I think I deserve it.”
Niken memandang
mereka berdua dengan keheranan. “Apa kalian sekarang sudah baikan?”
“Kami tak pernah
bermusuhan sebelumnya, ya kan, Vion?” kata Nero dan merangkul Vion dengan
akrab.
“Ya, kecuali saat
aku didorong paksa,” kata Vion.
“Atau saat kau
meninjuku di taman belakang?” balas Nero lagi.
“Apa kau
sekarang sadar bahwa tak enak rasanya melihat Niken dicium orang?”
Nero mengerutkan
dahi. Sialan. Vion sengaja melakukan itu untuk balas dendam. Ternyata sifatnya
tak sebaik tampangnya. “Kurasa aku tahu,” kata Nero pelan, kalah.
“Selamat ya,
Niken,” kata Vion.
Niken
mengangguk.
“Kalau kau buat
dia nangis, kau akan berhadapan denganku,” ancam Vion.
“Mengerikan.
Niken punya bodyguard ternyata,”
canda Nero.
“Jadi, sekarang
aku sudah bisa bergabung dalam kelompok kalian?”
“Devon tak akan
senang,” kata Nero.
“Sejak kapan dia
senang melihatku? Lagipula, aku suka melihatnya marah-marah, dia jadi tampak
lebih lucu daripadamu,” kata Vion.
Nero tertawa.
“Astaga, Vion, aku jadi ngeri berurusan denganmu.”
Benar saja,
begitu mereka bertiga bergabung dengan Devon dan Zoe di kantin, Devon
memberikan tatapan menusuk yang mampu membelah beton jadi dua. Zoe bersandar
dengan nyaman, meminum jusnya menonton dengan tenang.
“So,” kata Devon dengan nada tak senang. “What this fuck—OUCH!” Niken memukul
kepalanya. “Shit! What the hell are you
doing?”
“Jaga mulutmu
atau akan memberikanmu talak,” ancam Niken.
“Nero!” Devon
menoleh pada Nero.
Nero merebut jus
dari tangan Zoe, memasang tampang paling polos yang bisa dia buat. “I can’t do anything, Mother. It’s her duty.
I’m innocent.”
“That’s not what I am asking!”
“Just let it be,” Zoe menengahi.
“Yeah, just let it be, Mother,” kata Nero lagi.
“Who are you now? A traitor?” kata Devon tak
senang, dan semakin melotot begitu Vion menarik bangku di depannya.
“Hi, Devon.” Vion menyapa.
“Hi my ass,” gumam Devon jengkel.
“You know, your attitude getting on my nerves.”
“Deal with it, Shitface.”
“Shut up, Dickhead!”
Nero memukul
meja dengan tinjunya. Kantin sekarang sunyi senyap dengan seluruh mata melihat
pada Nero dan kelompoknya. Devon menggeram tapi tak mengatakan apa-apa. Zoe
menghela napas, melihat mata Nero yang menyala-nyala karena amarah. Dengan
segera dia bangkit, lalu menimpuk kepala Nero.
“Wake up, Nero,” katanya.
“Oh,” Nero mengerjap, mengelus-elus kepala. “Sorry.”
“I’ll take the order, what’d you like?” tanya Zoe.
“Anything is ok.” Nero tersenyum kecil, masih
mengelus kepalanya tapi matanya mengucapkan terimakasih karena sudah
disadarkan. Devon mengerutkan dahi, matanya menyipit penuh curiga dengan
komunikasi antara mereka berdua. Zoe berpaling menuju penjaga kantin, memesan
makanan.
“… I set fire to the rain…”
Ringtone ponsel Nero berbunyi. Dia bangkit dan
berkata, “Sorry, it’s my Mom.”
Setelah berkata itu, dia berjalan menjauh beberapa meter ke sudut ruangan.
Devon langsung
menyambar kesempatan. “Niken, kau jaga dia baik-baik,” bisik Devon sambil
memberi lirikan pada punggung Nero.
Gadis itu
mengerutkan dahi tanda tak mengerti, mencondongkan tubuhnya. “Apa maksudmu?”
Vion ikut-ikutan
merapatkan diri. Devon mendelik jengkel padanya, tapi lagi-lagi memilih tidak
peduli. “Apa kau tak pernah menyadari aura Nero sejak dia masuk ke sekolah ini
sampai sekarang?”
“Erm… tidak.”
Gadis ini benar-benar bodoh dan tidak sensitif, pikir Devon. Dan itu mungkin satu-satunya alasan kenapa
gadis ini mampu bertahan. “Dia tak mampu mengontrol emosinya dengan baik,
jadi jangan sampai kau membuatnya marah jika tak bisa menghentikannya.”
Vion mengerutkan
dahinya. “Ah, ternyata itu alasannya. Jika seperti itu, bukankah itu artinya
dia memiliki masalah kejiwaan?”
Nadi Devon
berdenyut-denyut berbahaya. “Shut up or
I’ll kick you, ass.”
***The Flower
Boy Next Door***
Peringatan Devon
sedikit mengusikku. Well, aku tahu
bahwa Devon benar-benar peduli pada Nero, tapi bukankah dia terlalu berlebihan? Aku tak terlalu
menguatirkan Nero kecuali mengenai “surat berdarah” yang waktu itu tak sengaja
kutemukan, dan kejadian sewaktu “malam berdarah” itu.
Nero belum
pernah mengungkit-ungkit lagi masalah itu dan aku juga tak berani bertanya. Aku
tak ingin menjadi orang yang membuka kembali bekas luka itu. Melihat Nero yang
ketakutan dengan tangan gemetaran membuatku sedih. Perasaanku terombang-ambing
antara apakah Nero sudah siap atau apakah dia tak ingin menceritakan apapun
padaku.
Nero memang menutup
diri tentang dirinya sendiri.
Hal itu
membuatku kecewa.
“Awas!”
Seseorang
berteriak dan aku tak beraksi dengan cepat karena dalam detik yang sama,
sesuatu yang basah, mengguyurku dari atas. Rambut dan seragamku basah sempurna.
Tercium bau tidak enak dari tubuhku, yang aku yakini sebagai air comberan dan
tawa segera membahana di sekitarku.
“Siapa yang
melakukan ini?” raungku jengkel.
Tapi anak-anak
yang tadi tertawa tidak menjawab dan pura-pura tidak melihatku—walau bahu
mereka bergetar menahan tawa. Aku mengepalkan tangan, mendelik jengkel.
Jangan bilang
bahwa aku menjadi sasaran fans Nero!
***The Flower
Boy Next Door***
“Niken, bamu tak
enak.”
Nero mengerutkan
dahi, sekaligus menutup hidungnya dan mundur beberapa senti dari bangkunya.
Niken
menatapnya, menyuruhnya diam.
“Apa tadi pagi
kau tak mandi?” tanya Nero lagi.
“Diam,” bisik
Niken jengkel.
“Kemana
seragammu?”
“Nero.” Niken
menggeram.
“Niken,” Nero
membalas. “Apa salahnya memberitahuku alasannya?”
Niken mendesah.
“Oke. Aku mau cerita kalau kau juga mau cerita apa yang terjadi malam itu.”
Wajah Nero
mengeras. “Aku tak ingin membicarakannya.”
“Apa salahnya
memberitahuku?” Niken membalikan kata-katanya.
“Aku sudah
bilang kalau aku belum siap menceritakannya. Kenapa sih kau keras kepala?” kata
Nero lagi.
“Tapi kau
bercerita pada Dokter Nathan,” Niken tampaknya tak mau kalah. “Kau tak siap
bercerita padaku atau kau tak ingin bercerita padaku?”
Nero tiba-tiba
berdiri. Para siswa sekelas yang sibuk mengobrol berhenti, menoleh pada mereka
dengan tatapan ingin tahu.
“Aku tak ingin
betengkar denganmu,” kata Nero, lalu berjalan keluar kelas.
***The Flower
Boy Next Door***
Bisik-bisik
terdengar di telingaku setelah Nero pergi. Mereka bahkan tak mau repot-repot
mengecilkan suaranya.
“Nero kenapa
tuh?”
“Biasa. Pertengkaran
suami-isteri.”
“Suami-isteri
apaan? Mimpi! Bentar lagi juga putus!”
“Nero berhak
mendapat yang lebih pantas.”
BRAK! Dengan
gemas aku memukul meja. Kutatap mereka dengan penuh kebencian. “Apa kalian
masih menyebarkan gosip tak bermutu? Mau kutalak?”
Salah satu dari
mereka mencibir. “Sepertinya ada yang menyalahgunakan jabatan.”
“Kau
menantangku?”
“Tak bertengkar,
kuharap, anak-anak.”
Suara Pak Julian
yang lembut, tapi tegas, membuat kami mematung. Beliau berdiri di ambang pintu
dengan buku di tangan. Bel berdering sedetik kemudian.
“Tadi Bapak
berpapasan dengan Nero. Dan dilihat dari ekspresi wajahnya, tampaknya Nero tak
akan masuk kelas hari ini. Ada yang terjadi?” kata Pak Julian melangkah
memasuki kelas, meletakan peralatannya.
“Bertengkar
dengan pacar.”
“Sebentar lagi
juga putus.”
“Mereka tak
cocok sih.”
Genggaman
tanganku semakin erat terhadap pensilku, nyaris mematahkannya menjadi dua. Aku
akan membalas mereka. Lihat saja!
“Oh, begitu,”
kata Pak Julian kalem. “Kalian yang berkomentar tadi, silakan maju ke depan dan
kerjakan soal halaman 187.”
Mereka protes.
“Tapi, Pak, itu kan belum dipelajari.”
“Kalian kelas
unggulan kan? Maju ke depan dan kerjakan soal halaman 187,” kata Paj Julian
lagi dengan nada tak peduli. “Pak Alfon pasti malu sekali jika kalian tidak
bisa menjawab pertanyaan semudah itu.”
Mereka
menggerutu tapi tak mampu membalas.
Haha! Rasakan!
Emang enak?
Saat aku melirik
Pak Julian, Pak Julian tengah menatapku, lalu mengedipkan sebelah matanya
padaku. Oh, Pak Julian! Thank you so
much! I love you full!!
***The Flower
Boy Next Door***
Zoe bosan
mengawasi Nero dalam radius seratus meter dan tidak melakukan apapun selain
melihat Nero yang tidur di atas Bukit Hijau, di bawah Pohon Hantu. Sesuatu
pasti telah terjadi pada anak muda itu karena wajahnya tampak tak menyenangkan.
Zoe merogoh
kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan.
Me_Z: sampai kapan kau mau tiduran di sana? Kalau
kau bolos terus, absenku juga sekarat.
Nero membalas
tak lama kemudian.
Mr. Notion: kau ada dimana?
Me_Z: memangnya aku mau memberi tahu?
Mr. Notion: aku baik-baik saja. Masuk kelas sana.
Zoe sangat
mengenal Nero dengan baik. Baik-baik saja untuk Nero bisa berarti amat buruk
bagi Zoe.
Me_Z: ah, aku tak percaya.
Zoe melihat Nero
bangkit dari posisinya, mengayunkan tangannya. Apakah itu keadaan yang dia
bilang baik-baik saja?
Me_Z: ponselmu itu mahal. Jangan dilempar begitu
saja. Dasar orang kaya!
Nero menunduk,
mengacak-acak rambutnya.
Mr. Notion: come here.
Zoe bangkit dari
tempat persembunyiannya dan melangkah pelan menuju Bukit Hijau. Untunglah hari
masih pagi dan matahari cerah tertutup awan dengan sempurna, sehingga Zoe tak
khawatir Nero bisa dehidrasi. Udaranya juga sejuk dan menyegarkan, bagus untuk
menenangkan diri. Dan didukung dengan lapangan yang luas, Zoe memiliki tempat
yang cukup untuk mengalahkan Nero jika dia mengamuk—atau membanting, atau melemparnya, jika perlu.
Melihat keadaan
Nero dari jarak lima meter membuat Zoe yakin Nero sedang jengkel. Posisi ini
cukup aman untuk berbicara dengannya dan sebelum Nero menyerang, Zoe bisa
membaca kondisi untuk membalik keadaan.
Hanya saja Nero
tampak tenang kali ini.
“Kenapa kau
berdiri sejauh itu?” Nero bertanya, menaikan alis.
“Keamanan.”
Nero memutar
bola matanya. “Kau tak harus mengawasiku, Zoe.”
“Oke. Tapi
ijinkan aku memasang pelacak ke tubuhmu.”
Nero berkata “Ya
Tuhan” tanpa suara. “Kau terlalu paranoid, persis sekali dengan Ayahku. Atau
jangan-jangan dia yang menyuntikan virus itu?”
“Mhm,” Zoe
mengangguk. “Terakhir kali aku melepaskan pengawasan, kau sudah menghilang dan
terluka.”
Nero segera
mengangkat tangan kirinya. “Tanganku baik-baik saja dan perbannya sudah
dilepas.”
“Tapi tetap saja
tak menghapus kenyataan, Nero.”
Nero mendesah
lagi, memasukan kedua tangannya ke saku celana. “Kurasa aku harus mencari cewek
untukmu, jadi perhatianmu bisa teralih.”
Salah satu alis
Zoe menaik curiga. “Aku orang yang berdedikasi.”
Nero tertawa,
nadanya penuh ejekan. “Oh ya? Kau menantangku?” katanya menatap Zoe. Tapi Zoe
hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. Sial. Nero jarang sekali melihat Zoe
menunjukan ekspresi yang membuat Nero penasaran ekspresi seperti apa yang Zoe
tunjukan bila bersama dengan orang yang disukainya.
“Oke,” kata Nero
menjilat bibirnya. “Coba beritahu aku kriteria gadis favoritmu.”
“Yang seperti
Vion.”
Untuk sepuluh
detik, Nero tak bergerak melainkan menatap Zoe lurus-lurus seakan mencari
kebenaran. Yang seperti Vion? Dia tak salah dengar kan? Apakah Zoe benar-benar
bilang “Yang seperti Vion”?
“Yang seperti
Vion?” Nero mengulang ragu-ragu.
“Yep. Yang
seperti Vion,” ulang Zoe lagi, lambat dan pelan, ditambahi dengan anggukan
kecil pula.
Apakah ada makna
dari kata-kata barusan?
Yang seperti Vion atau Vion?
Baru kali ini
Nero merasa otaknya tak bekerja cepat seperti yang diinginkannya. Perkataan Zoe
terdengar biasa-biasa saja, tapi ekspresi datar Zoe memiliki makna tersendiri.
Nero mencurigai
sesuatu.
“Zoe,” kata Nero hati-hati. “You aren’t gay, are you?”
Zoe menjawabnya
dalam dua detik tanpa berkedip, “I am.”
Shit. “You are not,” kata Nero lagi,
geleng-geleng.
“Am.”
“Not.”
“Yes.”
“No.”
“Fine, whatever.”
Ini tak bisa
dipercaya. “Zoe, kau tak mungkin gay!” kata Nero nyaris histeris. “It’s immposible.”
“Oh yeah?” Zoe
melipat tangannya. Wajah datar meminta penjelasan. “Why you say so?”
Kenapa, dia tanya? Tentu saja karena Zoe
terlalu keren sebagai gay! Teman-teman cewek di kelasnya mengidolakan Zoe. Tak
sedikit yang memberi surat cinta. Tapi ini… gay?
Kejutan luar biasa! Zoe tak tampak seperti gay. Dia bahkan tak pernah terlihat
memiliki hasrat pada pria manapun. Setidaknya,
Nero dan Devon akan sadar ada yang salah dari cara pandang Zoe.
… “Aku orang yang berdedikasi”…
Yeah. Omong
kosong. Zoe benar-benar poker face
sejati.
“Don’t tell me you love Vion,” kata Nero
setengah bercanda.
“I do.”
Nero menganga.
What?
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar