RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 10 Mei 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Lima)


Debaran Dua Puluh Lima
Boyfriend and Reality
Aku baru jadian dengan Nero dan sekarang aku diberi kejutan sekelas dengannya. Berkat pertengkaran kami, aku lupa sama sekali mengenai pengumuman ujian. Melihat cowok yang kau cintai ada di hadapanmu, tersenyum manis padamu dan melambai penuh cinta padamu, membuatku menyadari bahwa aku tak butuh apa-apa lagi di dunia ini. Bahkan aku tak peduli gosip dan makian fans Nero di belakang punggungku.
Peduli amat soal mereka, yang terpenting adalah Nero.
“Nero, kau bisa duduk di samping Niken,” kata Pak Alfon.
Dan sekarang aku diberikan bonus memiliki Nero di sebelahku. Rumah kami bersebelahan, kamar kami bersebelahan, jendela kamar kami bersebelahan, dan sekarang kursi kamar kami bersebelahan. Bukankah itu yang namanya takdir?
Murid-murid wanita protes.
“Yah, masa Niken sih?”
“Pak, di sini kan kosong!”
“Dasar pilih kasih!”
Tapi Pak Alfon memilih untuk tidak mendengarkan. “Nero, silakan duduk.”
Anggukan kecil dari Nero membuat cewek-cewek tidak protes lagi. Nero melangkah pelan dan duduk di sebelahku. Dia meletakan ranselnya dan tersenyum manis.
“Hai, Niken.”
“Hai.” Ya Tuhan, senyumannya! Aku bisa meleleh!
“Aku sudah bilang kalau aku akan masuk kelas unggulan.”
Senyumku menghilang. “Apa kau mau cari berantem?”
“Walau kita pasangan, bukan berarti kita tak lagi jadi saingan.”
“Ehem!” Dehaman Pak Alfon membuatku terpaksa menelan rasa jengkel yang hendak kukeluarkan pada Nero. Dengan sangat terpaksa, kualihkan pandanganku ke depan kelas. “Hari ini kita akan belajar gelombang. Buka buku teks halaman 192. Aku yakin kalian sudah membaca buku kalian sebelum kemari, seperti yang biasanya kalian lakukan. Nero, apa itu gelombang?”
“Gelombang merupakan gejala perambatan energy yang merambat dalam satu medium.” Nero menjawab lancar dari sebelahku.
“Jelaskan.”
“Contohnya, pada sebuah gabus yang masuk ke permukaan air, dimana terbentuk pola yang membentuk lingkaran. Pola yang dibentuk oleh air disebuh sebagai gelombang permukaan air. Selain itu, kita juga dapat memperhatikan gabus yang berada di permukaan air tidak bergerak mengikuti pola lingkaran air yang membesar, melainkan gabus tersebut naik turun pada tempatnya. Yang terbawa oleh gelombang air itu adalah bentuk penampang permukaan air yang tidak berubah setiap jarak yang tidak terlalu besar. Bagian permukaan air yang dikenakan pola gelombang berarti mendapatkan energy, yang merambatkan energy dari sumber ke seluruh permukaan air, gelombang ini disebut gelombang tunggal, karena hanya dalam satu pola gelombang, yaitu bentuk lingkaran yang membesar ke arah luar. Sedangkan gelombang yang menyebabkan medium bergerah dan berubah secara periodik merupakan gelombang periodik.”
Aku menganga mendengar penjelasan panjang Nero—yang nyaris tak bisa kumengerti.
“Terimakasih, Nero,” kata Pak Alfon. “Siapa yang mengerti?”
Tak ada yang mengangkat tangan, termasuk aku. Benar-benar memalukan.
Dan Pak Alfon pun kembali menjelaskan hal yang kurang lebih sama dengan apa yang dijelaskan Nero, dalam bahasa yang lebih panjang. Aku menghabiskan waktu untuk mencoba berkonsentrasi pada penjelasan panjang gelombang dan antek-anteknya. Tapi Nero hanya menunduk, memandang mejanya, mencoret-coret bukunya dengan bosan.
Dari sudut mataku, aku melihat Nero memberikan pita-pita indah berlekuk indah pada gambar penemu yang kukenali sebagi Isaac Newton. Astaga. Aku nyaris terbahak-bahak.
“Nero, sebutkan hubungan antara kelajuan bunyi terhadap suhu dan medium.”
Nero mengadah dan menjawab cepat. “Kelajuan bunyi tergantung pada jenis medium dan suhu medium. Kelajuan rambat bunyi bertambah bila suhu medium bertambah, atau bahan medium lebih rapat. Berubahnya suhu dan karakter medium dapat menyebabkan kelajuan rambat bunyi berubah. Jika demikian, maka arah rambat pun berubah, dan hal seperti itu disebut peristiwa pembiasan bunyi.”
Lagi-lagi aku tercengang dengan jawabannya. Pak Alfon yang ingin tahu sejauh apa kemampuan Nero pun bertanya lagi.
“Berapa Taraf Intensitas untuk 10^-5 W/m^2?”
“Tujuh puluh decibel.”
“Bila tingkat kebisingan mobil 60 dB, berapa Taraf Intensitas 100 mobil?”
Nero hanya butuh waktu tiga detik untuk menjawab, “Delapan puluh decibel.”
“Jika ada nada masing-masing 456 Hz dan 459 Hz dan saling berinteraksi, berapa banyak layangan bunyi yang terjadi selama lima menit?”
Satu detik kemudian. “Sembilan ratus layangan.”
Pak Alfon tampak terkesan. “Well, kurasa ada satu orang yang harusnya sudah duduk di bangku universitas.”
Nero tidak merespon, dengan tak peduli, dia kembali menunduk, mengerjakan kembali hiasan kepala Isaac Newton. Sekarang sudah jelas kenapa aku tak mungkin mendepak Nero.
DIA JENIUS!
***The Flower Boy Next Door***
Vion sudah menunggu Niken dan Nero di depan pintu ruang musik saat kelas 2-1 selesai praktik seni hari ini. Nero menatap langsung mata Vion sementara Niken yang ada di sampingnya menggenggam erat tangannya.
“Hey,” sapa Vion, tangan masih melipat sementara punggung bersandar di dinding.
Nero mengangguk kaku. “’Sup?
Sekarang murid-murid yang keluar dari ruang musik berhenti di tengah jalan dan menunggu apa yang bakal terjadi, karena tepat saat itu, Vion menegakan diri, melangkah mendekati Nero dan meninju pelan perutnya.
“Hadiah karena merebut incaranku,” kata Vion pelan. Dia tersenyum dan menepuk bahu Nero dengan akrab.
Nero tertawa kecil. “Yeah, I think I deserve it.”
Niken memandang mereka berdua dengan keheranan. “Apa kalian sekarang sudah baikan?”
“Kami tak pernah bermusuhan sebelumnya, ya kan, Vion?” kata Nero dan merangkul Vion dengan akrab.
“Ya, kecuali saat aku didorong paksa,” kata Vion.
“Atau saat kau meninjuku di taman belakang?” balas Nero lagi.
“Apa kau sekarang sadar bahwa tak enak rasanya melihat Niken dicium orang?”
Nero mengerutkan dahi. Sialan. Vion sengaja melakukan itu untuk balas dendam. Ternyata sifatnya tak sebaik tampangnya. “Kurasa aku tahu,” kata Nero pelan, kalah.
“Selamat ya, Niken,” kata Vion.
Niken mengangguk.
“Kalau kau buat dia nangis, kau akan berhadapan denganku,” ancam Vion.
“Mengerikan. Niken punya bodyguard ternyata,” canda Nero.
“Jadi, sekarang aku sudah bisa bergabung dalam kelompok kalian?”
“Devon tak akan senang,” kata Nero.
“Sejak kapan dia senang melihatku? Lagipula, aku suka melihatnya marah-marah, dia jadi tampak lebih lucu daripadamu,” kata Vion.
Nero tertawa. “Astaga, Vion, aku jadi ngeri berurusan denganmu.”
Benar saja, begitu mereka bertiga bergabung dengan Devon dan Zoe di kantin, Devon memberikan tatapan menusuk yang mampu membelah beton jadi dua. Zoe bersandar dengan nyaman, meminum jusnya menonton dengan tenang.
“So,” kata Devon dengan nada tak senang. “What this fuck—OUCH!” Niken memukul kepalanya. “Shit! What the hell are you doing?”
“Jaga mulutmu atau akan memberikanmu talak,” ancam Niken.
“Nero!” Devon menoleh pada Nero.
Nero merebut jus dari tangan Zoe, memasang tampang paling polos yang bisa dia buat. “I can’t do anything, Mother. It’s her duty. I’m innocent.”
“That’s not what I am asking!”
“Just let it be,” Zoe menengahi.
“Yeah, just let it be, Mother,” kata Nero lagi.
“Who are you now? A traitor?” kata Devon tak senang, dan semakin melotot begitu Vion menarik bangku di depannya.
“Hi, Devon.” Vion menyapa.
“Hi my ass,” gumam Devon jengkel.
“You know, your attitude getting on my nerves.”
“Deal with it, Shitface.”
“Shut up, Dickhead!”
Nero memukul meja dengan tinjunya. Kantin sekarang sunyi senyap dengan seluruh mata melihat pada Nero dan kelompoknya. Devon menggeram tapi tak mengatakan apa-apa. Zoe menghela napas, melihat mata Nero yang menyala-nyala karena amarah. Dengan segera dia bangkit, lalu menimpuk kepala Nero.
“Wake up, Nero,” katanya.
“Oh,” Nero mengerjap, mengelus-elus kepala. “Sorry.”
“I’ll take the order, what’d you like?” tanya Zoe.
“Anything is ok.” Nero tersenyum kecil, masih mengelus kepalanya tapi matanya mengucapkan terimakasih karena sudah disadarkan. Devon mengerutkan dahi, matanya menyipit penuh curiga dengan komunikasi antara mereka berdua. Zoe berpaling menuju penjaga kantin, memesan makanan.
“… I set fire to the rain…”
Ringtone ponsel Nero berbunyi. Dia bangkit dan berkata, “Sorry, it’s my Mom.” Setelah berkata itu, dia berjalan menjauh beberapa meter ke sudut ruangan.
Devon langsung menyambar kesempatan. “Niken, kau jaga dia baik-baik,” bisik Devon sambil memberi lirikan pada punggung Nero.
Gadis itu mengerutkan dahi tanda tak mengerti, mencondongkan tubuhnya. “Apa maksudmu?”
Vion ikut-ikutan merapatkan diri. Devon mendelik jengkel padanya, tapi lagi-lagi memilih tidak peduli. “Apa kau tak pernah menyadari aura Nero sejak dia masuk ke sekolah ini sampai sekarang?”
“Erm… tidak.”
Gadis ini benar-benar bodoh dan tidak sensitif, pikir Devon. Dan itu mungkin satu-satunya alasan kenapa gadis ini mampu bertahan. “Dia tak mampu mengontrol emosinya dengan baik, jadi jangan sampai kau membuatnya marah jika tak bisa menghentikannya.”
Vion mengerutkan dahinya. “Ah, ternyata itu alasannya. Jika seperti itu, bukankah itu artinya dia memiliki masalah kejiwaan?”
Nadi Devon berdenyut-denyut berbahaya. “Shut up or I’ll kick you, ass.”
***The Flower Boy Next Door***
Peringatan Devon sedikit mengusikku. Well, aku tahu bahwa Devon benar-benar peduli pada Nero, tapi bukankah dia terlalu berlebihan? Aku tak terlalu menguatirkan Nero kecuali mengenai “surat berdarah” yang waktu itu tak sengaja kutemukan, dan kejadian sewaktu “malam berdarah” itu.
Nero belum pernah mengungkit-ungkit lagi masalah itu dan aku juga tak berani bertanya. Aku tak ingin menjadi orang yang membuka kembali bekas luka itu. Melihat Nero yang ketakutan dengan tangan gemetaran membuatku sedih. Perasaanku terombang-ambing antara apakah Nero sudah siap atau apakah dia tak ingin menceritakan apapun padaku.
Nero memang menutup diri tentang dirinya sendiri.
Hal itu membuatku kecewa.
“Awas!”
Seseorang berteriak dan aku tak beraksi dengan cepat karena dalam detik yang sama, sesuatu yang basah, mengguyurku dari atas. Rambut dan seragamku basah sempurna. Tercium bau tidak enak dari tubuhku, yang aku yakini sebagai air comberan dan tawa segera membahana di sekitarku.
“Siapa yang melakukan ini?” raungku jengkel.
Tapi anak-anak yang tadi tertawa tidak menjawab dan pura-pura tidak melihatku—walau bahu mereka bergetar menahan tawa. Aku mengepalkan tangan, mendelik jengkel.
Jangan bilang bahwa aku menjadi sasaran fans Nero!
***The Flower Boy Next Door***
“Niken, bamu tak enak.”
Nero mengerutkan dahi, sekaligus menutup hidungnya dan mundur beberapa senti dari bangkunya.
Niken menatapnya, menyuruhnya diam.
“Apa tadi pagi kau tak mandi?” tanya Nero lagi.
“Diam,” bisik Niken jengkel.
“Kemana seragammu?”
“Nero.” Niken menggeram.
“Niken,” Nero membalas. “Apa salahnya memberitahuku alasannya?”
Niken mendesah. “Oke. Aku mau cerita kalau kau juga mau cerita apa yang terjadi malam itu.”
Wajah Nero mengeras. “Aku tak ingin membicarakannya.”
“Apa salahnya memberitahuku?” Niken membalikan kata-katanya.
“Aku sudah bilang kalau aku belum siap menceritakannya. Kenapa sih kau keras kepala?” kata Nero lagi.
“Tapi kau bercerita pada Dokter Nathan,” Niken tampaknya tak mau kalah. “Kau tak siap bercerita padaku atau kau tak ingin bercerita padaku?”
Nero tiba-tiba berdiri. Para siswa sekelas yang sibuk mengobrol berhenti, menoleh pada mereka dengan tatapan ingin tahu.
“Aku tak ingin betengkar denganmu,” kata Nero, lalu berjalan keluar kelas.
***The Flower Boy Next Door***
Bisik-bisik terdengar di telingaku setelah Nero pergi. Mereka bahkan tak mau repot-repot mengecilkan suaranya.
“Nero kenapa tuh?”
“Biasa. Pertengkaran suami-isteri.”
“Suami-isteri apaan? Mimpi! Bentar lagi juga putus!”
“Nero berhak mendapat yang lebih pantas.”
BRAK! Dengan gemas aku memukul meja. Kutatap mereka dengan penuh kebencian. “Apa kalian masih menyebarkan gosip tak bermutu? Mau kutalak?”
Salah satu dari mereka mencibir. “Sepertinya ada yang menyalahgunakan jabatan.”
“Kau menantangku?”
“Tak bertengkar, kuharap, anak-anak.”
Suara Pak Julian yang lembut, tapi tegas, membuat kami mematung. Beliau berdiri di ambang pintu dengan buku di tangan. Bel berdering sedetik kemudian.
“Tadi Bapak berpapasan dengan Nero. Dan dilihat dari ekspresi wajahnya, tampaknya Nero tak akan masuk kelas hari ini. Ada yang terjadi?” kata Pak Julian melangkah memasuki kelas, meletakan peralatannya.
“Bertengkar dengan pacar.”
“Sebentar lagi juga putus.”
“Mereka tak cocok sih.”
Genggaman tanganku semakin erat terhadap pensilku, nyaris mematahkannya menjadi dua. Aku akan membalas mereka. Lihat saja!
“Oh, begitu,” kata Pak Julian kalem. “Kalian yang berkomentar tadi, silakan maju ke depan dan kerjakan soal halaman 187.”
Mereka protes. “Tapi, Pak, itu kan belum dipelajari.”
“Kalian kelas unggulan kan? Maju ke depan dan kerjakan soal halaman 187,” kata Paj Julian lagi dengan nada tak peduli. “Pak Alfon pasti malu sekali jika kalian tidak bisa menjawab pertanyaan semudah itu.”
Mereka menggerutu tapi tak mampu membalas.
Haha! Rasakan! Emang enak?
Saat aku melirik Pak Julian, Pak Julian tengah menatapku, lalu mengedipkan sebelah matanya padaku. Oh, Pak Julian! Thank you so much! I love you full!!
***The Flower Boy Next Door***
Zoe bosan mengawasi Nero dalam radius seratus meter dan tidak melakukan apapun selain melihat Nero yang tidur di atas Bukit Hijau, di bawah Pohon Hantu. Sesuatu pasti telah terjadi pada anak muda itu karena wajahnya tampak tak menyenangkan.
Zoe merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan.
Me_Z: sampai kapan kau mau tiduran di sana? Kalau kau bolos terus, absenku juga sekarat.
Nero membalas tak lama kemudian.
Mr. Notion: kau ada dimana?
Me_Z: memangnya aku mau memberi tahu?
Mr. Notion: aku baik-baik saja. Masuk kelas sana.
Zoe sangat mengenal Nero dengan baik. Baik-baik saja untuk Nero bisa berarti amat buruk bagi Zoe.
Me_Z: ah, aku tak percaya.
Zoe melihat Nero bangkit dari posisinya, mengayunkan tangannya. Apakah itu keadaan yang dia bilang baik-baik saja?
Me_Z: ponselmu itu mahal. Jangan dilempar begitu saja. Dasar orang kaya!
Nero menunduk, mengacak-acak rambutnya.
Mr. Notion: come here.
Zoe bangkit dari tempat persembunyiannya dan melangkah pelan menuju Bukit Hijau. Untunglah hari masih pagi dan matahari cerah tertutup awan dengan sempurna, sehingga Zoe tak khawatir Nero bisa dehidrasi. Udaranya juga sejuk dan menyegarkan, bagus untuk menenangkan diri. Dan didukung dengan lapangan yang luas, Zoe memiliki tempat yang cukup untuk mengalahkan Nero jika dia mengamuk—atau membanting, atau melemparnya, jika perlu.
Melihat keadaan Nero dari jarak lima meter membuat Zoe yakin Nero sedang jengkel. Posisi ini cukup aman untuk berbicara dengannya dan sebelum Nero menyerang, Zoe bisa membaca kondisi untuk membalik keadaan.
Hanya saja Nero tampak tenang kali ini.
“Kenapa kau berdiri sejauh itu?” Nero bertanya, menaikan alis.
“Keamanan.”
Nero memutar bola matanya. “Kau tak harus mengawasiku, Zoe.”
“Oke. Tapi ijinkan aku memasang pelacak ke tubuhmu.”
Nero berkata “Ya Tuhan” tanpa suara. “Kau terlalu paranoid, persis sekali dengan Ayahku. Atau jangan-jangan dia yang menyuntikan virus itu?”
“Mhm,” Zoe mengangguk. “Terakhir kali aku melepaskan pengawasan, kau sudah menghilang dan terluka.”
Nero segera mengangkat tangan kirinya. “Tanganku baik-baik saja dan perbannya sudah dilepas.”
“Tapi tetap saja tak menghapus kenyataan, Nero.”
Nero mendesah lagi, memasukan kedua tangannya ke saku celana. “Kurasa aku harus mencari cewek untukmu, jadi perhatianmu bisa teralih.”
Salah satu alis Zoe menaik curiga. “Aku orang yang berdedikasi.”
Nero tertawa, nadanya penuh ejekan. “Oh ya? Kau menantangku?” katanya menatap Zoe. Tapi Zoe hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi. Sial. Nero jarang sekali melihat Zoe menunjukan ekspresi yang membuat Nero penasaran ekspresi seperti apa yang Zoe tunjukan bila bersama dengan orang yang disukainya.
“Oke,” kata Nero menjilat bibirnya. “Coba beritahu aku kriteria gadis favoritmu.”
“Yang seperti Vion.”
Untuk sepuluh detik, Nero tak bergerak melainkan menatap Zoe lurus-lurus seakan mencari kebenaran. Yang seperti Vion? Dia tak salah dengar kan? Apakah Zoe benar-benar bilang “Yang seperti Vion”?
“Yang seperti Vion?” Nero mengulang ragu-ragu.
“Yep. Yang seperti Vion,” ulang Zoe lagi, lambat dan pelan, ditambahi dengan anggukan kecil pula.
Apakah ada makna dari kata-kata barusan?
Yang seperti Vion atau Vion?
Baru kali ini Nero merasa otaknya tak bekerja cepat seperti yang diinginkannya. Perkataan Zoe terdengar biasa-biasa saja, tapi ekspresi datar Zoe memiliki makna tersendiri.
Nero mencurigai sesuatu.
“Zoe,” kata Nero hati-hati. “You aren’t gay, are you?”
Zoe menjawabnya dalam dua detik tanpa berkedip, “I am.”
Shit. “You are not,” kata Nero lagi, geleng-geleng.
“Am.”
“Not.”
“Yes.”
“No.”
“Fine, whatever.”
Ini tak bisa dipercaya. “Zoe, kau tak mungkin gay!” kata Nero nyaris histeris. “It’s immposible.”
“Oh yeah?” Zoe melipat tangannya. Wajah datar meminta penjelasan. “Why you say so?”
Kenapa, dia tanya? Tentu saja karena Zoe terlalu keren sebagai gay! Teman-teman cewek di kelasnya mengidolakan Zoe. Tak sedikit yang memberi surat cinta. Tapi ini… gay? Kejutan luar biasa! Zoe tak tampak seperti gay. Dia bahkan tak pernah terlihat memiliki hasrat pada pria manapun. Setidaknya, Nero dan Devon akan sadar ada yang salah dari cara pandang Zoe.
… “Aku orang yang berdedikasi”…
Yeah. Omong kosong. Zoe benar-benar poker face sejati.
“Don’t tell me you love Vion,” kata Nero setengah bercanda.
“I do.”
Nero menganga.
What?
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.