RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 18 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Dua)


Debaran Dua Puluh Dua
Blind Date
Aku memerhatikan penampilanku di depan cermin. Hari ini aku mengenakan pakaian nyaman yang tampil santai: kaos putih yang dihiasi dengan renda-renda di bagian leher, berwarna pink pucat, dipadukan dengan rompi merah manis, ditambah dengan celana jeans biru panjang dan sepatu boot pendek. Yeah, aku tak tampak seperti kencan dengan Nero kan?
Kencan…
Kedua tanganku memegang kedua pipiku yang panas dan merah padam setiap kali mengulang kata itu. Apa sih yang kupikirkan? Aku tak merasakan hal seperti ini pada kencan dengan Kak Vion sebelumnya. Aku kan sudah pernah kencan. Tapi kenapa rasanya seperti kencan pertama kali, ya?
DIN DIN DIN
“Niiiiiiken!”
Suara Nero terdengar dari luar, di dekat pintu rumahku. Buru-buru kuambil tas kecilku dan melesat keluar dari kamar. Begitu berjalan melewati tangga, jantungku berdetak tak karuan. Aku mulai gugup dan senang, bertanya-tanya apakah Nero akan menyukai penampilanku atau tidak.
Menguatirkan. Kenapa aku malah memikirkan apa pendapat Nero soal penampilanku? Akhir-akhir ini perasaanku sering tak menentu jika di samping Nero.
Saat aku melangkah menuju pintu gerbang, jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Kemudian, aku berhenti melangkah, terpesona dengan penampilan Nero.
Nero mengenakan kaos biru berlengan panjang—yang bisa kupastikan untuk menutupi lengannya yang diperban—dengan rompi bergaya yang membalut tubuhnya yang ramping. Celana jeansnya memiliki robekan dengan model yang baru kali ini kulihat dan ada rantai menggantung di pinggangnya. Yang membuat pemandangan ini semakin sempurna, dia tengah tersenyum padaku di atas motor besar metalik.
Nero keren sekali!
“Kau cantik sekali, Niken,” kata Nero.
Aku yakin wajahku kembali memerah, sementara aku menjawab, “Hmph! Aku tahu aku memang cantik!” Loh? Kenapa justru kalimat itu yang keluar? Aku ingin menimpuk kepalaku sendiri.
“Huahahaha,” Nero terbahak. “Naik, Niken.”
Untunglah Nero tidak membesar-besarkan perkataanku. Tapi, tunggu dulu, bukankah aku memang selalu bersikap seperti itu padanya? Begitu aku naik, Nero mengambil tanganku, melingkarkannya ke pinggangnya.
“Hei!” aku protes. Jantungku kembali berdegup-degup lagi karena bisa merasakan otot-otot perutnya dari balik pakaiannya.
“Pegangan yang erat, Niken. Aku suka ngebut loh.”
“Kau cuma mencari kesempatan kan?”
Lagi-lagi, Nero tertawa. “Benar sekali. Kapan lagi kau mesra denganku?”
“Menyebalkan!”
“Aku tahu. Tanganmu?”
Tak bisa berkata apa-apa, aku memeluknya dari belakang. Nero menghidupkan mesin motornya dan mesin motor menderu, berjalan perlahan-lahan meninggalkan rumahku menuju lokasi tempat kami kencan—ralat: tempat dia dan ceweknya kencan.
Lalu aku menyadari satu hal. Bukankah itu artinya aku justru jadi nyamuk di antara mereka berdua? Waduh, kenapa baru terpikir sekarang?
CKIIIIIIIIIIIIIIIIIIT
Saat menyadari itu, aku dikejutkan oleh rem mendadak yang dilakukan Nero. Aku terpekik kaget, mendekap Nero semakin erat dan dengan ngeri melihat pemandangan di depan kami. Nero membawa motornya menyelip di antara dua mobil. Aku menahan napas melihat motor Nero menambah kecepatan dan meninggalkan kedua mobil itu beserta dengan makian-makiannya.
“Nero! Pelan-pelan!”
Gigiku gemertakan sementara aku berteriak menyuruhnya pelan-pelan. Tanganku mencengkram erat rompinya. Dengan ngeri aku menunduk, menyandarkan kepalaku ke punggung Nero. Tapi Nero malah tertawa. Dia benar-benar tidak memikirkan nyawanya.
Kami sampai di tempat tujuan tak lama kemudian. Aku turun dengan terburu-buru, memelototinya, tangan di pinggang. Tapi, seperti yang sudah kuketahui, Nero tampak santai sekali. Seakan tak melihatku, dia turun, menarik tanganku menuju lokasi dia dan kencannya janjian.
“Lepaskan!” kataku. Aku tak ingin bersamanya dan melihatnya bermesraan dengan teman kencannya. Aku mau pulang saja.
“Nggak,” katanya santai.
Aku menggerutu, berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman Nero erat sekali. Akhirnya aku malah mengikutinya sambil mengomel. Kami berpegangan tangan mendekati pintu masuk dan aku mengerutkan dahi melihat sosok yang menunggu di depan sana. Seseorang yang berambut pirang.
Devon. Huh? Kok Devon sih?
“Hai, Devon,” sapa Nero.
Devon, sama sepertiku, melotot keheranan. “What the hell is this? Why is she here with you? Do you take her along?”
Nero tidak mengacuhkannya. “Your date hasn’t come yet?”
“My date?” Devon mengulang keheranan. “What do you mean by ‘My Date’?”
Lagi-lagi, Nero tidak menanggapinya dan menoleh ke sekitar. Devon menggertakan gigi saat berkata, “You set me up with someone, didn’t you?”
Nero mengangguk, masih melihat kesekitar.
“Fuck you, Nero. I don’t need this. I’m going home.”
“Noooo!” Nero segera merangkul tangannya. “You promised me!”
“I did, but I wanna go home now.”
“Don’t! She’s beauty!”
“I don’t care.”
“Don’t go,” kata Nero lagi. Wajahnya memelas andalannya muncul. Aku bisa melihat ada telinga muncul di kepalanya dan tengah melayu sempurna layaknya anjing paling imut yang patut dikasihani. “Please?”
Devon menatapnya, terdiam.
“Phhhhwwwwweeeeeesseeeee.” Nero memohon lagi, matanya mengedip sedih.
Dan hal itu membuat Devon, tak diragukan lagi, luluh begitu saja. “Shit, Nero! I don’t need you to do this.”
“Devon,” kata Nero memegang bahunya dengan penuh keyakinan. Seperti agen asuransi terlatih dia berkata menggebu-gebu, “She’s beauty, she’s great, she’s lovely and she’s already falling in love with you.”
“Uhu. Fuck you,” kata Devon jengkel.
“Watch you mouth, Devon or I’ll break your jaw,” kataku mengangkat tinju.
“Hmph!” dia membalikan tubuhnya. Ngambek.
“Be gentle and be nice, Devon,” kataku.
“I told you—”
“Oh, she’s here,” kata Nero tiba-tiba.
Aku melihat gadis yang ditunjuk Nero—atau yang mendekat ke arah kami. Gadis itu cantik sekali. Nero tidak berbohong mengenai yang satu itu. Nero punya mata yang bagus dalam hal memilih cewek.
Penampilan gadis itu juga manis. Tubuhnya mungil, berwajah oriental dan berambut panjang, mengenakan pakaian denim dan celana jeans pendek, memamerkan kakinya yang putih mulus dan cantik. Dia tampak mempesona.
Di sampingku, Devon terhipnotis dengan kedatangannya. Mulutnya terbuka lebar sementara matanya tak lepas dari gadis itu.
“Hi, Nero,” sapa gadis itu.
“Hi, Audrey. This is my boyfriend,” Nero menepuk bahu Devon.
“What?” Audrey mengerjap.
“Kidding,” Nero tertawa kecil. Gadis itu ikut tertawa bersamanya. “Devon, ini Audrey, tujuh belas tahun. Hobinya berenang. Favoritnya itu coklat, boneka dan bunga, ya kan?”
Audrey terkikik lagi. “Ya, begitulah. Hi, Devon.”
Devon menjawab gugup. “Hi, Audrey.” Lalu dia menoleh pada Nero, memberikan tatapan penuh pertanyaan. “Can we talk for a bit?” Dan tanpa menunggu jawaban, dia menarik Nero dan bergumam, “Excuse us, Ladies.”
Kami hanya melihat kepergian kedua orang itu dari jauh. Mereka membicarakan sesuatu yang tak bisa kami dengar.
“Kau siapanya Nero?” Audrey bertanya padaku.
“Aku temannya. Namaku Niken.” Dengan cepat aku menjulurkan tanganku. Audrey segera menjabat tanganku.
“Aku Audrey, senang bertemu denganmu.” Gadis itu tersenyum manis dan anggun sekali. Tak lama, dia mengalihkan pandangan pada Devon dan Nero lagi. “Apa kalian sekelas? Kau, Nero dan Devon?”
“Kami teman satu sekolah.”
“Oh, begitu. Kupikir tadi Nero mengajak pacarnya. Kau yakin bukan pacarnya, Niken?”
“Bukan,” jawabku. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa lidahku seakan mengatakan sesuatu yang salah, walau itu kebenaran.
“Tapi kau suka padanya kan?”
“H-h-huh?”
Audrey tersenyum penuh pengertian. “Nero cowok yang manis, Niken. Dia juga baik hati dan menyenangkan. Jangan serahkan dia pada gadis manapun.”
“Maksudnya?” aku bertanya keheranan.
“Maksudnya, mari kita jaga pasangan kita masing-masing.”
Aku mengerjap kebingungan, ingin bertanya apa maksud perkataan barusan. Tapi saat itu, Nero dan Devon sudah mendekat. Nero tersenyum lebar sementara Devon tersenyum gugup. Aha, tampaknya aku bisa menduga apa yang dibicarakan mereka.
“Mari kita mulai double date kita,” kata Nero, mengambil tanganku. Jantungku kembali berdetak tak karuan hanya karena sentuhan kecil. “Yuk?”
Kami berempat masuk melewati pintu masuk. Di dalam sana, taman bermain seluas lapangan golf terhampar luas, lengkap dengan fasilitas bermain memenuhi setiap sudutnya. Suasananya ramai dipenuhi pengunjung. Terdengar tawa dan suara teriakan penuh gairah di sana-sini. Musik-musik hiburan juga tak kalah ramainya.
“See you guys,” kata Nero.
Huh? See you guys?
Devon tersenyum, bersama-sama dengan Audrey, mereka berjalan berdua ke sisi lain sambil berpegangan tangan.
“Bukankah mereka kelihatan serasi?” tanya Nero. Dahiku mengerut dalam. “Ya kan?”
“Ya. Mereka serasi. Darimana kau tahu dia?”
“Audrey? Dari cara Devon memandang.”
“Apa?” kataku tak mengerti.
“Beberapa hari yang lalu, adik Devon ulang tahun. Di pesta itu, aku melihat dia berulang kali melirik Audrey. Devon terlalu pengecut berkenalan langsung. Jadi, anggaplah aku sebagai teman paling baik di dunia, dengan sepenuh hati berkenalan dengan Audrey. Kami ngobrol banyak dan dia bilang kalau dia naksur pada Devon.”
Bibirku langsung tersenyum kecil. “Kau teman yang baik, Nero.”
Nero nyengir lebar. “Puji lagi, dong.”
Senyumku langsung menghilang. “Nggak.”
Nero tertawa. “Sekarang, kau mau main kemana? Oh, ya, Niken, kuharap tangan kita tetap seperti ini.”
Dengan cepat aku melihat ke bawah, melihat tanganku dan tangan Nero yang masih berkaitan. Sejak tadi kami terus berpegangan tangan. Anehnya, aku merasa bahwa hal itu adalah yang biasa. Seolah di sanalah harusnya tempatku berada: di genggaman Nero.
Wajahku memanas. Buru-buru aku melepaskan tanganku. Tapi Nero keras kepala dan malah menggenggam tanganku erat-erat.
“Tak akan kulepas, Niken, nanti kita terpisah.”
Entah kenapa makna perkataannya mendalam sekali di telingaku. Jantungku kembali berdetak tak normal. Itu hanya kalimat biasa. Uh, kalau seperti ini terus, aku bisa cepat mati karena serangan jantung.
“Oke. Mari naik roller coster.”
“Huh? Apa? Nggak mau!”
Terlambat. Nero sudah memaksaku naik. Dengan ngeri aku melihat kursi kereta roller coster yang kosong. Aku menoleh pada Nero, memberinya petunjuk bahwa aku lebih baik menunggu di luar saja. Tapi Nero—yang suka sekali melihatku tersiksa—tersenyum penuh permohonan, membuatku tak bisa menolak, dan malah menghempaskan pantatku ke dalam kereta, di sampingnya.
“Pegangan yang erat, Niken.”
Hiks, Mama…
Kereta kami berjalan, semakin cepat… cepat… cepat… dan yang aku tahu, aku berteriak keras-keras, melihat jalur kereta yang berkelok-kelok, menghilang begitu saja dari pandangan menuju belokan yang lain. Suara pengunjung yang lain tidak kalah kerasnya dariku. Tapi, dari sampingku, kudengar Nero berteriak, “Woooohooooo!”
Selesai dengan roller coster, masih dengan jantung yang berdegup-degup ngeri, sementara adrenalinku berada di titik maksimal, dan wajahku memerah, Nero malah menarikku ke bungee jumping.
“Apa? Nggak mau!”
“Ayo, Niken. Ini seru banget!”
“Seru bagaimana?”
Tapi akhirnya aku malah melakukannya. Darahku masih di kepala, suaraku serak karena habis berteriak, dan mataku berkunang-kunang saat Nero kembali mengajakku ke permainan ekstrim yang lain.
Selama satu jam, aku menghabiskan suaraku.
“Nih, minum,” Nero menyodorkan soda padaku. Aku menatapnya dengan penuh kebencian sambil mengambil soda dan meminumnya. “Sori. Janji, sekarang aku akan ikut apa maumu.”
Menyesap sodaku, suaraku terdengar serak saat berkata, “Kau menyebalkan!”
“Aku tahu. Makanya aku minta maaf.”
Tapi aku belum mau memaafkannya. Aku akan membalasnya. Lihat saja.
“Aku mau naik komidi putar.”
Nero tersedak. Dia menatapku seolah aku sudah gila, tapi memutuskan untuk tidak protes karena dia sudah berjanji. “Ok.”
Saat kami naik komidi putar, beberapa orang melihat kami dengan perasaan ingin tahu dan berbisik-bisik. Kebanyakan dari mereka yang ada di sini adalah anak-anak dan para orang tua. Yang remaja cuma kami.
“Saya belum pernah naik komidi putar, Pak,” Nero menjawab pada Bapak di sampingnya.
“Oh, begitu. Memangnya waktu kecil belum pernah diajak orang tuanya?”
Nero menggeleng. “Yang ada cuma kuda-kudaan kayu, Pak. Di sini kan ada banyak jenisnya. Ada unicorn, ada kuda terbang, ada kucing, ada macan lagi, Pak. Tinggal pilih.” Nero bercanda dan beberapa orang di dekat kami tertawa.
Akulah yang mengajaknya naik komidi putar, tapi dia berhasil bersikap seakan dialah yang menginginkannya. Nero menerima permintaaku tanpa bantahan dan menikmatinya. Bahkan hanya dengan keberadaannya, suasana komidi putar justru terasa damai.
Nero memang anak ajaib.
Begitu petugas komidi putar mengijinkan kami masuk, Nero memegang seorang gadis kecil dan menaikannya terlebih dahulu. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya. Selesai dengan komidi putar, kencan kami terasa lebih menyenangkan. Kami menghabiskan waktu mencoba seluruh permainan, tertawa dan mengobrol dengan ringan, berpegangan tangan dengan akrab melewati kerumunan, bahkan aku merasa bahwa ini bukan kencan sama sekali, seolah aku dan Nero sudah terbiasa melakukannya. Aku nyaman sekali bersamanya.
“Ghost hunt!” Aku mencengkran tangan Nero begitu melihat ada rumah hantu. “Ayo masuk ke sana.”
“Kau serius?” Nero melotot.
Aku mengangguk mantap. “Aku suka horor, yuk?”
Tapi Nero tidak melangkah. Dengan heran aku melihat Nero menatap bangunan Ghost Hunt dengan gugup. Kurasa aku tahu kelemahan Nero.
“Urm, aku tunggu di luar saja.”
“Kau ingin aku masuk sendirian ke dalam sana?” kataku tak percaya.
Nero membasahi bibirnya. “Yaudah, yuk.” Dia menyerah dan melangkah mendekati pintu masuk. Aku tersenyum kecil melihat Nero tampak tidak begitu percaya diri begitu kami sudah memasuki Ghost Hunt dan pintu di belakang kami tertutup dengan sempurna. Kegelapan segera menyambut kami.
Tangan Nero segera menggenggam tanganku. Kulitnya dingin sekali. “Jangan bilang kalau kau takut hantu,” kataku padanya.
“Erm… sedikit,” jawabnya parau.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Ternyata Nero takut sama hantu. Ini yang namanya pembalasan. Aku akan menikmatinya pelan-pelan. Penuh percaya diri, aku melangkah, menarik tangan Nero melewati ketakutannya.
Nero melangkah dengan enggan, berjalan di dekatku sehingga aku bisa merasakan lengannya dan bahkan bau parfumnya. Begitu pula napasnya.
Brak! Terdengar benturan keras dan sesuatu muncul dari atas. Nero melonjak, mencengkram bahuku begitu melihat ada sebuah bantal buatan yang dibuat seperti pocong tergantung-gantung di udara. Aku terkikik geli.
“Niken, tidak lucu,” kata Nero.
“Oh, lucu sekali.”
Ini semakin menarik. Kutarik lagi tangan Nero untuk melangkah. Semakin jauh melangkah, Nero semakin sering kaget, melonjak dan berteriak melihat para hantu sewaan muncul begitu saja mengganggu kami. Saat mumi menyeret-nyeret kakinya melewati kami, Nero segera berlindung di belakangku. Begitu ada sadako muncul dari sumurnya yang suram itu, Nero mencengkram tanganku erat-erat. Yang paling menarik adalah saat ada zombie yang tiba-tiba muncul dari balik dinding dan menarik tangannya, Nero langsung berteriak ketakutan dan menyingkir jauh-jauh dari dinding sebisanya.
Dari sela-selaku tertawa, aku berkata, “Nero, itu cuma tipuan.”
“Erm… ya,” katanya lagi.
SRUK… SRUK… SRUKKKKKK
Itu dia si Suster Ngesot, muncul dari balik koridor yang terbuka otomatis. Dandanannya boleh juga.
“Niken,” suara Nero dekat sekali dengan telingaku. Dia berbisik pelan, tapi aku bisa merasakan napasnya tersenggal-senggal seakan dia berlari dari jarak berkilo-kilo meter. “K-k-kurasa aku tak sanggup lagi.”
Aku menatap Nero. Dia menutup matanya, tidak berani melihat lagi. Dari kegelapan seperti ini, dengan pencahayaan yang seadanya untuk mempersuram suasana, aku melihat Nero berkeringat. Baru kusadari bahwa tangannya sudah gemetaran. Tidak, sejak awal tangannya memang sudah gemetaran, aku saja yang tidak menyadarinya. Nero ketakutan. Tapi dia tetap maju untuk menemaniku, bahkan tidak berniat meninggalkanku sendirian di sini, walau lebih muda baginya untuk keluar dan melarikan diri. Dia bertahan untukku.
Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Aku sudah melakukan hal yang keterlaluan sekali pada anak muda ini. Sekarang hal ini jadi tidak menyenangkan lagi.
“Tutup matamu dan kita akan melewati ini,” kataku tenang, kemudian menggandeng tangannya erat-erat. Pelan-pelan, aku membimbingnya keluar dari tempat ini. Sialan. Kenapa jadi seperti ini sih? Aku berniat untuk membalasnya, tapi kenapa malah aku sendiri yang merasa bersalah? Ya ampun…
Begitu kami keluar, langit sudah gelap. Wajah Nero tampak pucat sekali. Dahinya penuh keringat dan punggungnya basah. Tangannya masih dingin dan gemetaran walau kami sudah keluar sejak lima menit lalu. Aku segera memberinya minuman dingin dan kami duduk di bawah pohon yang menghadap ke gerbang belakang pertunjukan kembang api yang akan muncul tak lama lagi.
“Sori,” kataku. “Aku tak akan memaksamu masuk ke rumah hantu lagi.”
Nero tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa, Niken. Itu tadi cukup menegangkan.”
“Kenapa kau tak suka horor?” aku bertanya penasaran.
“Dad pernah bercerita hal mengerikan saat aku berusia tiga tahun. Aku masih anak kecil yang polos saat itu dan percaya apa yang dia katakan sampai sekarang.”
Matt benar-benar mengerikan, batinku. “Apa sekarang kau sudah tak apa-apa?”
“Tak separah tadi.”
Aku tersenyum kecil. Lalu terciptalah kesunyian paling canggung di antara kami. Nero meneguk esnya pelan-pelan, menghela napas panjang. Jantungku kembali tak tenang. Aku merasa bersalah. Tapi aku juga tak tahu harus berkata apa.
“Aku—” baik aku dan Nero berbicara dalam waktu yang sama. Nero tersenyum, aku juga ikut tersenyum.
“Aku—”
“Sebenarnya—”
Lagi-lagi kami berbicara dalam waktu yang sama. Aku memberikan gerakan, menyuruh Nero duluan.
“Terima kasih, Niken. Hari ini seru sekali,” kata Nero sungguh-sungguh. “Aku tak pernah bermain sepuas ini.”
Rasanya aku bisa mengerti alasannya. “Aku juga berterima kasih karena sudah mengajakku. Hari ini menyenangkan. Tidak seburuh dugaanku. Setidaknya, aku sangat lega sekali karena berhasil melepaskan perasan berat selama ini. Sekarang, walau suaraku serak, pikiranku terasa lebih ringan.”
Nero tersenyum lagi. Aduh, baru kusadari alasan kenapa para fansnya memajunya. Dia benar-benar sangat memikat dalam beberapa kesempatan. Huh? Aku tersadar lagi. Aku ini ngapain sih? Lalu buru-buru melihat ke langit, menunggu kembang api.
“Kapan ya kembang apinya? Lama sekali,” kataku gugup, mencari topik pembicaraan. “Sudah jam berapa sekarang? Kalau terlalu larut pulang kita bisa…” Napasku terhenti melihat wajah Nero terlalu dekat dengan wajahku. Aku tak berani menarik kepalaku, juga tak berani berkedip melihat matanya yang coklat perlahan mendekat. Aku menelan ludah dengan panik.
Terlalu dekat… terlalu dekat…
“Niken,” katanya sehingga hanya aku yang bisa mendengar. Aku bahkan bisa merasakan setiap hembusan napasnya yang menyapu wajahku. Dahinya menempel ke dahiku, tapi aku belum berani menarik diri ataupun menutup mata. Aku merasa akan ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang luar biasa.
“Niken,” kali ini dia berbisik pelan sekali. Tapi telingaku merasa bahwa dia mengucapkannya dengan sangat jelas. “Sebenarnya aku—”
PSYUUUU BUM BLAR BLAR BLAR
Sisa kalimat Nero tak terdengar karena tepat saat ini kembang api menyala, berbunyi memekakan telinga, mewarnai langit-langit dengan indah. Tapi perhatianku tidak ada pada kembang api. Aku menatap mata Nero, melihat wajahnya yang berwarna karena diterangi oleh sinar kembang api berwarna-warni.
“Apa?” kataku. Nero mengerjap. “Kau bilang apa barusan?”
Nero menatapku, tapi pada akhirnya tersenyum dan terkekeh kecil. “Kau tidak dengar?” katanya dan menarik tubuhnya kembali.
Entah kenapa aku merasa kehilangan. “Kau bilang apa memangnya?”
“Bukan apa-apa, Niken. Lupakan saja,” katanya.
Aku memerhatikan ekspresi wajahnya. Nero tersenyum, mengadah melihat langit yang dipenuh dengan kembang api. Tidak… dia tidak tersenyum. Ada ekspresi kekecewaan di sana. Aku ingin tahu apa yang dia katakan. Tapi, aku juga tak mungkin menanyakannya.
Kurasa… kurasa aku baru saja melewatkan sesuatu yang luar biasa itu.
Semua karena kembang api sialan itu!
***The Flower Boy Next Door***
Nero mengantarku tepat di depan pintu gerbang.
“Erm, Nero,” kataku.
“Selamat malam, Niken,” kata Nero, kemudian dia membawa motornya dan masuk ke gerbang rumahnya.
Aku menelan ludah, kecewa dengan apa yang terjadi pada saat-saat terakhir. Apa sih yang sebenarnya ingin dikatakan Nero padaku?
“Niken… kenapa kau tak memberitahuku kalau kau sudah punya pacar?”
Aku terkaget mendengar ada suara di dekat telingaku, dan lebih kaget lagi melihat wajah jelek Abangku, Ray, muncul di sampingku. “Abang! Jangan bikin kaget!”
Tangannya mengadah. Aku mengerutkan dahi. “Pajak jadian,” katanya.
“Aku belum jadian dengan siapapun.” Dengan ganas aku menyingkirkannya. Abangku yang menyebalkan dan tak tahu terimakasih itu segera mengikuti dari belakang, memborbardirku dengan perkataannya.
“Masih ngeles lagi. Itu tadi siapa? Teman? Nggak mungkin kau jalan sama cowok sampai malam kalau nggak bareng pacar.”
“Tapi dia memang bukan pacarku!”
“Ihiy, Niken punya pacar! Mama, Niken pacaran sama anak tetangga sebelah yang ganteng banget!”
Karena aku tahu akan ada bencana, maka aku memilih melarikan diri ke kamar dan mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Memalukan!
Melemparkan tasku, aku segera merebahkan diri ke atas tempat tidur. Ponselku berdering, ada pesan masuk.
Mr. Notion: Selamat malam, Niken. Mimpi indah.
Bibirku tersenyum membaca pesan itu dan aku tidur sambil memeluk ponsel.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.