Debaran Dua Puluh Dua
Blind Date
Aku
memerhatikan penampilanku di depan cermin. Hari ini aku mengenakan pakaian
nyaman yang tampil santai: kaos putih yang dihiasi dengan renda-renda di bagian
leher, berwarna pink pucat, dipadukan dengan rompi merah manis, ditambah dengan
celana jeans biru panjang dan sepatu boot pendek. Yeah, aku tak tampak seperti
kencan dengan Nero kan?
Kencan…
Kedua
tanganku memegang kedua pipiku yang panas dan merah padam setiap kali mengulang
kata itu. Apa sih yang kupikirkan? Aku tak merasakan hal seperti ini pada
kencan dengan Kak Vion sebelumnya. Aku kan sudah pernah kencan. Tapi kenapa
rasanya seperti kencan pertama kali, ya?
DIN
DIN DIN
“Niiiiiiken!”
Suara
Nero terdengar dari luar, di dekat pintu rumahku. Buru-buru kuambil tas kecilku
dan melesat keluar dari kamar. Begitu berjalan melewati tangga, jantungku
berdetak tak karuan. Aku mulai gugup dan senang, bertanya-tanya apakah Nero
akan menyukai penampilanku atau tidak.
Menguatirkan.
Kenapa aku malah memikirkan apa pendapat Nero soal penampilanku? Akhir-akhir
ini perasaanku sering tak menentu jika di samping Nero.
Saat
aku melangkah menuju pintu gerbang, jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
Kemudian, aku berhenti melangkah, terpesona dengan penampilan Nero.
Nero
mengenakan kaos biru berlengan panjang—yang bisa kupastikan untuk menutupi
lengannya yang diperban—dengan rompi bergaya yang membalut tubuhnya yang
ramping. Celana jeansnya memiliki robekan dengan model yang baru kali ini
kulihat dan ada rantai menggantung di pinggangnya. Yang membuat pemandangan ini
semakin sempurna, dia tengah tersenyum padaku di atas motor besar metalik.
Nero
keren sekali!
“Kau
cantik sekali, Niken,” kata Nero.
Aku
yakin wajahku kembali memerah, sementara aku menjawab, “Hmph! Aku tahu aku
memang cantik!” Loh? Kenapa justru kalimat itu yang keluar? Aku ingin menimpuk
kepalaku sendiri.
“Huahahaha,”
Nero terbahak. “Naik, Niken.”
Untunglah
Nero tidak membesar-besarkan perkataanku. Tapi, tunggu dulu, bukankah aku
memang selalu bersikap seperti itu padanya? Begitu aku naik, Nero mengambil
tanganku, melingkarkannya ke pinggangnya.
“Hei!”
aku protes. Jantungku kembali berdegup-degup lagi karena bisa merasakan
otot-otot perutnya dari balik pakaiannya.
“Pegangan
yang erat, Niken. Aku suka ngebut loh.”
“Kau
cuma mencari kesempatan kan?”
Lagi-lagi,
Nero tertawa. “Benar sekali. Kapan lagi kau mesra denganku?”
“Menyebalkan!”
“Aku
tahu. Tanganmu?”
Tak
bisa berkata apa-apa, aku memeluknya dari belakang. Nero menghidupkan mesin
motornya dan mesin motor menderu, berjalan perlahan-lahan meninggalkan rumahku
menuju lokasi tempat kami kencan—ralat: tempat dia dan ceweknya kencan.
Lalu
aku menyadari satu hal. Bukankah itu artinya aku justru jadi nyamuk di antara
mereka berdua? Waduh, kenapa baru terpikir sekarang?
CKIIIIIIIIIIIIIIIIIIT
Saat
menyadari itu, aku dikejutkan oleh rem mendadak yang dilakukan Nero. Aku
terpekik kaget, mendekap Nero semakin erat dan dengan ngeri melihat pemandangan
di depan kami. Nero membawa motornya menyelip di antara dua mobil. Aku menahan
napas melihat motor Nero menambah kecepatan dan meninggalkan kedua mobil itu
beserta dengan makian-makiannya.
“Nero!
Pelan-pelan!”
Gigiku
gemertakan sementara aku berteriak menyuruhnya pelan-pelan. Tanganku
mencengkram erat rompinya. Dengan ngeri aku menunduk, menyandarkan kepalaku ke
punggung Nero. Tapi Nero malah tertawa. Dia benar-benar tidak memikirkan
nyawanya.
Kami
sampai di tempat tujuan tak lama kemudian. Aku turun dengan terburu-buru,
memelototinya, tangan di pinggang. Tapi, seperti yang sudah kuketahui, Nero
tampak santai sekali. Seakan tak melihatku, dia turun, menarik tanganku menuju
lokasi dia dan kencannya janjian.
“Lepaskan!”
kataku. Aku tak ingin bersamanya dan melihatnya bermesraan dengan teman
kencannya. Aku mau pulang saja.
“Nggak,”
katanya santai.
Aku
menggerutu, berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman Nero erat sekali. Akhirnya
aku malah mengikutinya sambil mengomel. Kami berpegangan tangan mendekati pintu
masuk dan aku mengerutkan dahi melihat sosok yang menunggu di depan sana.
Seseorang yang berambut pirang.
Devon.
Huh? Kok Devon sih?
“Hai,
Devon,” sapa Nero.
Devon,
sama sepertiku, melotot keheranan. “What
the hell is this? Why is she here with you? Do you take her along?”
Nero
tidak mengacuhkannya. “Your date hasn’t
come yet?”
“My date?”
Devon mengulang keheranan. “What do you
mean by ‘My Date’?”
Lagi-lagi,
Nero tidak menanggapinya dan menoleh ke sekitar. Devon menggertakan gigi saat
berkata, “You set me up with someone,
didn’t you?”
Nero
mengangguk, masih melihat kesekitar.
“Fuck you, Nero. I don’t need this.
I’m going home.”
“Noooo!” Nero
segera merangkul tangannya. “You promised
me!”
“I did, but I wanna go home now.”
“Don’t! She’s beauty!”
“I don’t care.”
“Don’t go,”
kata Nero lagi. Wajahnya memelas andalannya muncul. Aku bisa melihat ada
telinga muncul di kepalanya dan tengah melayu sempurna layaknya anjing paling
imut yang patut dikasihani. “Please?”
Devon
menatapnya, terdiam.
“Phhhhwwwwweeeeeesseeeee.”
Nero memohon lagi, matanya mengedip sedih.
Dan
hal itu membuat Devon, tak diragukan lagi, luluh begitu saja. “Shit, Nero! I don’t need you to do this.”
“Devon,”
kata Nero memegang bahunya dengan penuh keyakinan. Seperti agen asuransi
terlatih dia berkata menggebu-gebu, “She’s
beauty, she’s great, she’s lovely and she’s already falling in love with you.”
“Uhu. Fuck you,”
kata Devon jengkel.
“Watch you mouth, Devon or I’ll
break your jaw,” kataku mengangkat tinju.
“Hmph!”
dia membalikan tubuhnya. Ngambek.
“Be gentle and be nice, Devon,”
kataku.
“I told you—”
“Oh, she’s here,” kata
Nero tiba-tiba.
Aku
melihat gadis yang ditunjuk Nero—atau yang mendekat ke arah kami. Gadis itu
cantik sekali. Nero tidak berbohong mengenai yang satu itu. Nero punya mata
yang bagus dalam hal memilih cewek.
Penampilan
gadis itu juga manis. Tubuhnya mungil, berwajah oriental dan berambut panjang,
mengenakan pakaian denim dan celana jeans pendek, memamerkan kakinya yang putih
mulus dan cantik. Dia tampak mempesona.
Di
sampingku, Devon terhipnotis dengan kedatangannya. Mulutnya terbuka lebar
sementara matanya tak lepas dari gadis itu.
“Hi, Nero,”
sapa gadis itu.
“Hi, Audrey. This is my boyfriend,”
Nero
menepuk bahu Devon.
“What?”
Audrey mengerjap.
“Kidding,”
Nero tertawa kecil. Gadis itu ikut tertawa bersamanya. “Devon, ini Audrey,
tujuh belas tahun. Hobinya berenang. Favoritnya itu coklat, boneka dan bunga,
ya kan?”
Audrey
terkikik lagi. “Ya, begitulah. Hi, Devon.”
Devon
menjawab gugup. “Hi, Audrey.” Lalu
dia menoleh pada Nero, memberikan tatapan penuh pertanyaan. “Can we talk for a bit?” Dan tanpa
menunggu jawaban, dia menarik Nero dan bergumam, “Excuse us, Ladies.”
Kami
hanya melihat kepergian kedua orang itu dari jauh. Mereka membicarakan sesuatu
yang tak bisa kami dengar.
“Kau
siapanya Nero?” Audrey bertanya padaku.
“Aku
temannya. Namaku Niken.” Dengan cepat aku menjulurkan tanganku. Audrey segera
menjabat tanganku.
“Aku
Audrey, senang bertemu denganmu.” Gadis itu tersenyum manis dan anggun sekali.
Tak lama, dia mengalihkan pandangan pada Devon dan Nero lagi. “Apa kalian
sekelas? Kau, Nero dan Devon?”
“Kami
teman satu sekolah.”
“Oh,
begitu. Kupikir tadi Nero mengajak pacarnya. Kau yakin bukan pacarnya, Niken?”
“Bukan,”
jawabku. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa lidahku seakan mengatakan sesuatu
yang salah, walau itu kebenaran.
“Tapi
kau suka padanya kan?”
“H-h-huh?”
Audrey
tersenyum penuh pengertian. “Nero cowok yang manis, Niken. Dia juga baik hati
dan menyenangkan. Jangan serahkan dia pada gadis manapun.”
“Maksudnya?”
aku bertanya keheranan.
“Maksudnya,
mari kita jaga pasangan kita masing-masing.”
Aku
mengerjap kebingungan, ingin bertanya apa maksud perkataan barusan. Tapi saat
itu, Nero dan Devon sudah mendekat. Nero tersenyum lebar sementara Devon
tersenyum gugup. Aha, tampaknya aku bisa menduga apa yang dibicarakan mereka.
“Mari
kita mulai double date kita,” kata
Nero, mengambil tanganku. Jantungku kembali berdetak tak karuan hanya karena
sentuhan kecil. “Yuk?”
Kami
berempat masuk melewati pintu masuk. Di dalam sana, taman bermain seluas
lapangan golf terhampar luas, lengkap dengan fasilitas bermain memenuhi setiap
sudutnya. Suasananya ramai dipenuhi pengunjung. Terdengar tawa dan suara teriakan
penuh gairah di sana-sini. Musik-musik hiburan juga tak kalah ramainya.
“See you guys,”
kata Nero.
Huh? See you guys?
Devon
tersenyum, bersama-sama dengan Audrey, mereka berjalan berdua ke sisi lain
sambil berpegangan tangan.
“Bukankah
mereka kelihatan serasi?” tanya Nero. Dahiku mengerut dalam. “Ya kan?”
“Ya.
Mereka serasi. Darimana kau tahu dia?”
“Audrey?
Dari cara Devon memandang.”
“Apa?”
kataku tak mengerti.
“Beberapa
hari yang lalu, adik Devon ulang tahun. Di pesta itu, aku melihat dia berulang
kali melirik Audrey. Devon terlalu pengecut berkenalan langsung. Jadi,
anggaplah aku sebagai teman paling baik di dunia, dengan sepenuh hati
berkenalan dengan Audrey. Kami ngobrol banyak dan dia bilang kalau dia naksur
pada Devon.”
Bibirku
langsung tersenyum kecil. “Kau teman yang baik, Nero.”
Nero
nyengir lebar. “Puji lagi, dong.”
Senyumku
langsung menghilang. “Nggak.”
Nero
tertawa. “Sekarang, kau mau main kemana? Oh, ya, Niken, kuharap tangan kita
tetap seperti ini.”
Dengan
cepat aku melihat ke bawah, melihat tanganku dan tangan Nero yang masih
berkaitan. Sejak tadi kami terus berpegangan tangan. Anehnya, aku merasa bahwa
hal itu adalah yang biasa. Seolah di sanalah harusnya tempatku berada: di
genggaman Nero.
Wajahku
memanas. Buru-buru aku melepaskan tanganku. Tapi Nero keras kepala dan malah
menggenggam tanganku erat-erat.
“Tak
akan kulepas, Niken, nanti kita terpisah.”
Entah
kenapa makna perkataannya mendalam sekali di telingaku. Jantungku kembali
berdetak tak normal. Itu hanya kalimat biasa. Uh, kalau seperti ini terus, aku
bisa cepat mati karena serangan jantung.
“Oke.
Mari naik roller coster.”
“Huh?
Apa? Nggak mau!”
Terlambat.
Nero sudah memaksaku naik. Dengan ngeri aku melihat kursi kereta roller coster yang kosong. Aku menoleh
pada Nero, memberinya petunjuk bahwa aku lebih baik menunggu di luar saja. Tapi
Nero—yang suka sekali melihatku tersiksa—tersenyum penuh permohonan, membuatku
tak bisa menolak, dan malah menghempaskan pantatku ke dalam kereta, di
sampingnya.
“Pegangan
yang erat, Niken.”
Hiks,
Mama…
Kereta
kami berjalan, semakin cepat… cepat… cepat… dan yang aku tahu, aku berteriak
keras-keras, melihat jalur kereta yang berkelok-kelok, menghilang begitu saja
dari pandangan menuju belokan yang lain. Suara pengunjung yang lain tidak kalah
kerasnya dariku. Tapi, dari sampingku, kudengar Nero berteriak, “Woooohooooo!”
Selesai
dengan roller coster, masih dengan
jantung yang berdegup-degup ngeri, sementara adrenalinku berada di titik
maksimal, dan wajahku memerah, Nero malah menarikku ke bungee jumping.
“Apa?
Nggak mau!”
“Ayo,
Niken. Ini seru banget!”
“Seru
bagaimana?”
Tapi
akhirnya aku malah melakukannya. Darahku masih di kepala, suaraku serak karena
habis berteriak, dan mataku berkunang-kunang saat Nero kembali mengajakku ke
permainan ekstrim yang lain.
Selama
satu jam, aku menghabiskan suaraku.
“Nih,
minum,” Nero menyodorkan soda padaku. Aku menatapnya dengan penuh kebencian
sambil mengambil soda dan meminumnya. “Sori. Janji, sekarang aku akan ikut apa
maumu.”
Menyesap
sodaku, suaraku terdengar serak saat berkata, “Kau menyebalkan!”
“Aku
tahu. Makanya aku minta maaf.”
Tapi
aku belum mau memaafkannya. Aku akan membalasnya. Lihat saja.
“Aku
mau naik komidi putar.”
Nero
tersedak. Dia menatapku seolah aku sudah gila, tapi memutuskan untuk tidak
protes karena dia sudah berjanji. “Ok.”
Saat
kami naik komidi putar, beberapa orang melihat kami dengan perasaan ingin tahu
dan berbisik-bisik. Kebanyakan dari mereka yang ada di sini adalah anak-anak
dan para orang tua. Yang remaja cuma kami.
“Saya
belum pernah naik komidi putar, Pak,” Nero menjawab pada Bapak di sampingnya.
“Oh,
begitu. Memangnya waktu kecil belum pernah diajak orang tuanya?”
Nero
menggeleng. “Yang ada cuma kuda-kudaan kayu, Pak. Di sini kan ada banyak
jenisnya. Ada unicorn, ada kuda terbang, ada kucing, ada macan lagi, Pak.
Tinggal pilih.” Nero bercanda dan beberapa orang di dekat kami tertawa.
Akulah
yang mengajaknya naik komidi putar, tapi dia berhasil bersikap seakan dialah
yang menginginkannya. Nero menerima permintaaku tanpa bantahan dan
menikmatinya. Bahkan hanya dengan keberadaannya, suasana komidi putar justru
terasa damai.
Nero
memang anak ajaib.
Begitu
petugas komidi putar mengijinkan kami masuk, Nero memegang seorang gadis kecil
dan menaikannya terlebih dahulu. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.
Selesai dengan komidi putar, kencan kami terasa lebih menyenangkan. Kami
menghabiskan waktu mencoba seluruh permainan, tertawa dan mengobrol dengan
ringan, berpegangan tangan dengan akrab melewati kerumunan, bahkan aku merasa
bahwa ini bukan kencan sama sekali, seolah aku dan Nero sudah terbiasa
melakukannya. Aku nyaman sekali bersamanya.
“Ghost hunt!”
Aku mencengkran tangan Nero begitu melihat ada rumah hantu. “Ayo masuk ke
sana.”
“Kau
serius?” Nero melotot.
Aku
mengangguk mantap. “Aku suka horor, yuk?”
Tapi
Nero tidak melangkah. Dengan heran aku melihat Nero menatap bangunan Ghost Hunt dengan gugup. Kurasa
aku tahu kelemahan Nero.
“Urm,
aku tunggu di luar saja.”
“Kau
ingin aku masuk sendirian ke dalam sana?” kataku tak percaya.
Nero
membasahi bibirnya. “Yaudah, yuk.” Dia menyerah dan melangkah mendekati pintu
masuk. Aku tersenyum kecil melihat Nero tampak tidak begitu percaya diri begitu
kami sudah memasuki Ghost Hunt dan pintu di belakang kami tertutup dengan
sempurna. Kegelapan segera menyambut kami.
Tangan
Nero segera menggenggam tanganku. Kulitnya dingin sekali. “Jangan bilang kalau kau
takut hantu,” kataku padanya.
“Erm…
sedikit,” jawabnya parau.
Aku
tersenyum penuh kemenangan. Ternyata Nero takut sama hantu. Ini yang namanya
pembalasan. Aku akan menikmatinya pelan-pelan. Penuh percaya diri, aku
melangkah, menarik tangan Nero melewati ketakutannya.
Nero
melangkah dengan enggan, berjalan di dekatku sehingga aku bisa merasakan
lengannya dan bahkan bau parfumnya. Begitu pula napasnya.
Brak!
Terdengar benturan keras dan sesuatu muncul dari atas. Nero melonjak, mencengkram
bahuku begitu melihat ada sebuah bantal buatan yang dibuat seperti pocong
tergantung-gantung di udara. Aku terkikik geli.
“Niken,
tidak lucu,” kata Nero.
“Oh,
lucu sekali.”
Ini
semakin menarik. Kutarik lagi tangan Nero untuk melangkah. Semakin jauh
melangkah, Nero semakin sering kaget, melonjak dan berteriak melihat para hantu
sewaan muncul begitu saja mengganggu kami. Saat mumi menyeret-nyeret kakinya
melewati kami, Nero segera berlindung di belakangku. Begitu ada sadako muncul
dari sumurnya yang suram itu, Nero mencengkram tanganku erat-erat. Yang paling
menarik adalah saat ada zombie yang tiba-tiba muncul dari balik dinding dan
menarik tangannya, Nero langsung berteriak ketakutan dan menyingkir jauh-jauh
dari dinding sebisanya.
Dari
sela-selaku tertawa, aku berkata, “Nero, itu cuma tipuan.”
“Erm…
ya,” katanya lagi.
SRUK…
SRUK… SRUKKKKKK
Itu
dia si Suster Ngesot, muncul dari balik koridor yang terbuka otomatis.
Dandanannya boleh juga.
“Niken,”
suara Nero dekat sekali dengan telingaku. Dia berbisik pelan, tapi aku bisa
merasakan napasnya tersenggal-senggal seakan dia berlari dari jarak
berkilo-kilo meter. “K-k-kurasa aku tak sanggup lagi.”
Aku
menatap Nero. Dia menutup matanya, tidak berani melihat lagi. Dari kegelapan
seperti ini, dengan pencahayaan yang seadanya untuk mempersuram suasana, aku
melihat Nero berkeringat. Baru kusadari bahwa tangannya sudah gemetaran. Tidak,
sejak awal tangannya memang sudah gemetaran, aku saja yang tidak menyadarinya.
Nero ketakutan. Tapi dia tetap maju untuk menemaniku, bahkan tidak berniat
meninggalkanku sendirian di sini, walau lebih muda baginya untuk keluar dan
melarikan diri. Dia bertahan untukku.
Ya
Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Aku sudah melakukan hal yang keterlaluan
sekali pada anak muda ini. Sekarang hal ini jadi tidak menyenangkan lagi.
“Tutup
matamu dan kita akan melewati ini,” kataku tenang, kemudian menggandeng
tangannya erat-erat. Pelan-pelan, aku membimbingnya keluar dari tempat ini.
Sialan. Kenapa jadi seperti ini sih? Aku berniat untuk membalasnya, tapi kenapa
malah aku sendiri yang merasa bersalah? Ya ampun…
Begitu
kami keluar, langit sudah gelap. Wajah Nero tampak pucat sekali. Dahinya penuh
keringat dan punggungnya basah. Tangannya masih dingin dan gemetaran walau kami
sudah keluar sejak lima menit lalu. Aku segera memberinya minuman dingin dan
kami duduk di bawah pohon yang menghadap ke gerbang belakang pertunjukan
kembang api yang akan muncul tak lama lagi.
“Sori,”
kataku. “Aku tak akan memaksamu masuk ke rumah hantu lagi.”
Nero
tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa, Niken. Itu tadi cukup menegangkan.”
“Kenapa
kau tak suka horor?” aku bertanya penasaran.
“Dad
pernah bercerita hal mengerikan saat aku berusia tiga tahun. Aku masih anak
kecil yang polos saat itu dan percaya apa yang dia katakan sampai sekarang.”
Matt
benar-benar mengerikan, batinku. “Apa sekarang kau sudah tak apa-apa?”
“Tak
separah tadi.”
Aku
tersenyum kecil. Lalu terciptalah kesunyian paling canggung di antara kami.
Nero meneguk esnya pelan-pelan, menghela napas panjang. Jantungku kembali tak
tenang. Aku merasa bersalah. Tapi aku juga tak tahu harus berkata apa.
“Aku—”
baik aku dan Nero berbicara dalam waktu yang sama. Nero tersenyum, aku juga
ikut tersenyum.
“Aku—”
“Sebenarnya—”
Lagi-lagi
kami berbicara dalam waktu yang sama. Aku memberikan gerakan, menyuruh Nero
duluan.
“Terima
kasih, Niken. Hari ini seru sekali,” kata Nero sungguh-sungguh. “Aku tak pernah
bermain sepuas ini.”
Rasanya
aku bisa mengerti alasannya. “Aku juga berterima kasih karena sudah mengajakku.
Hari ini menyenangkan. Tidak seburuh dugaanku. Setidaknya, aku sangat lega
sekali karena berhasil melepaskan perasan berat selama ini. Sekarang, walau
suaraku serak, pikiranku terasa lebih ringan.”
Nero
tersenyum lagi. Aduh, baru kusadari alasan kenapa para fansnya memajunya. Dia
benar-benar sangat memikat dalam beberapa kesempatan. Huh? Aku tersadar lagi.
Aku ini ngapain sih? Lalu buru-buru melihat ke langit, menunggu kembang api.
“Kapan
ya kembang apinya? Lama sekali,” kataku gugup, mencari topik pembicaraan.
“Sudah jam berapa sekarang? Kalau terlalu larut pulang kita bisa…” Napasku
terhenti melihat wajah Nero terlalu dekat dengan wajahku. Aku tak berani
menarik kepalaku, juga tak berani berkedip melihat matanya yang coklat perlahan
mendekat. Aku menelan ludah dengan panik.
Terlalu
dekat… terlalu dekat…
“Niken,”
katanya sehingga hanya aku yang bisa mendengar. Aku bahkan bisa merasakan
setiap hembusan napasnya yang menyapu wajahku. Dahinya menempel ke dahiku, tapi
aku belum berani menarik diri ataupun menutup mata. Aku merasa akan ada sesuatu
yang terjadi, sesuatu yang luar biasa.
“Niken,”
kali ini dia berbisik pelan sekali. Tapi telingaku merasa bahwa dia
mengucapkannya dengan sangat jelas. “Sebenarnya aku—”
PSYUUUU
BUM BLAR BLAR BLAR
Sisa
kalimat Nero tak terdengar karena tepat saat ini kembang api menyala, berbunyi
memekakan telinga, mewarnai langit-langit dengan indah. Tapi perhatianku tidak
ada pada kembang api. Aku menatap mata Nero, melihat wajahnya yang berwarna
karena diterangi oleh sinar kembang api berwarna-warni.
“Apa?”
kataku. Nero mengerjap. “Kau bilang apa barusan?”
Nero
menatapku, tapi pada akhirnya tersenyum dan terkekeh kecil. “Kau tidak dengar?”
katanya dan menarik tubuhnya kembali.
Entah
kenapa aku merasa kehilangan. “Kau bilang apa memangnya?”
“Bukan
apa-apa, Niken. Lupakan saja,” katanya.
Aku
memerhatikan ekspresi wajahnya. Nero tersenyum, mengadah melihat langit yang
dipenuh dengan kembang api. Tidak… dia tidak tersenyum. Ada ekspresi kekecewaan
di sana. Aku ingin tahu apa yang dia katakan. Tapi, aku juga tak mungkin
menanyakannya.
Kurasa…
kurasa aku baru saja melewatkan sesuatu yang luar biasa itu.
Semua
karena kembang api sialan itu!
***The Flower
Boy Next Door***
Nero
mengantarku tepat di depan pintu gerbang.
“Erm,
Nero,” kataku.
“Selamat
malam, Niken,” kata Nero, kemudian dia membawa motornya dan masuk ke gerbang
rumahnya.
Aku
menelan ludah, kecewa dengan apa yang terjadi pada saat-saat terakhir. Apa sih
yang sebenarnya ingin dikatakan Nero padaku?
“Niken…
kenapa kau tak memberitahuku kalau kau sudah punya pacar?”
Aku
terkaget mendengar ada suara di dekat telingaku, dan lebih kaget lagi melihat
wajah jelek Abangku, Ray, muncul di sampingku. “Abang! Jangan bikin kaget!”
Tangannya
mengadah. Aku mengerutkan dahi. “Pajak jadian,” katanya.
“Aku
belum jadian dengan siapapun.” Dengan ganas aku menyingkirkannya. Abangku yang
menyebalkan dan tak tahu terimakasih itu segera mengikuti dari belakang,
memborbardirku dengan perkataannya.
“Masih
ngeles lagi. Itu tadi siapa? Teman? Nggak mungkin kau jalan sama cowok sampai
malam kalau nggak bareng pacar.”
“Tapi
dia memang bukan pacarku!”
“Ihiy,
Niken punya pacar! Mama, Niken pacaran sama anak tetangga sebelah yang ganteng
banget!”
Karena
aku tahu akan ada bencana, maka aku memilih melarikan diri ke kamar dan
mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Memalukan!
Melemparkan
tasku, aku segera merebahkan diri ke atas tempat tidur. Ponselku berdering, ada
pesan masuk.
Mr. Notion: Selamat malam, Niken.
Mimpi indah.
Bibirku
tersenyum membaca pesan itu dan aku tidur sambil memeluk ponsel.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar