RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 26 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Tiga)


Debaran Dua Puluh Tiga
Galau
Aku sedang menyisir rambutku begitu Abangku, Ray, memunculkan kepalanya dari balik pintu dan tersenyum manis. Aku tak tersenyum, aku balas memelototinya.
“Apa?” kataku tak senang melihat senyumannya.
“Pacarmu datang,” katanya.
“Hah?” kataku.
“Aku bilang pacarmu datang,” ulangnya sabar.
Pacarku? Siapa? “Aku nggak punya pacar, Abang,” kataku dan kembali menyisir rambutku, melihat cermin yang memunculkan wajahku.
“Pacarmu, Nero, anak tetangga sebelah yang luar biasa kaya dan juga tampan itu, datang dan sudah menunggu di depan pintu gerbang seperti anjing penjaga setia.”
Tulang leherku berderik begitu melihat Abangku lagi. Terlalu cepat sampai aku bisa merasakan nyeri di leherku.
“Apa?” kataku. “Nero di sini?”
“Yep,” dia mengangguk.
Aku mengerjap beberapa kali, kemudian segera melempar sisir, mengambil tasku dan berlari menuju pintu setelah menyingkirkan Abangku dari sana. Aku tak memedulikan gerutuannya yang mengatakan, “Niken! Tega benar!” padaku. Dengan kecepatan luar biasa, aku menuruni tangga spiralku. Bahkan aku tak mau repot-repot pamit pada orang tuaku begitu sampai di depan pintu dan mendapati Nero ada di luar sana, bermain dengan anjing kecil putihku.
“Selamat pagi, Niken,” sapanya sambil tersenyum.
“Uh, apa yang kau lakukan di sini?” kataku keheranan.
“Menjemputmu ke sekolah,” jawabnya, kemudian melirik jamnya. “Sudah saatnya membuka gerbang sekolah kan?”
Kebingunganku menjadi-jadi, tapi aku memilih untuk mengangguk. Dia bangkit perlahan, mengikutiku keluar dari gerbang. Kami berdua menuju sekolah dengan kecanggungan yang sangat kental. Tiap kali aku berusah membuka pembicaraan, masalahnya, suaraku malah tak keluar.
Aku ingin menanyakan apa yang kemarin ingin dia katakan padaku. Tapi aku tak berani. Uh, sial. Kemana sih perginya rasa beraniku dulu yang sering kuagung-agungkan? Kenapa sekarang aku malah lemah banget menghadapi Nero seperti ini? Apa sih yang dia lakukan sampai memberikan pengaruh yang begitu besar dalam hidupku? Padahal, jika dipikir-pikir, anak muda ini cuma tahu bagaimana membuat hidupku susah. Tidak lebih.
“Biasanya kalau sekolah kita camping gabungan, apa aja acara yang dilakukan, Niken?” Nero tiba-tiba membuka pembicaraan.
Camping, api unggun, cari harta dan jerit malam,” kataku

Di sebelahku, Nero manggut-manggut. “Sepertinya seru. Mudah-mudahan kita bisa sekelompok ya. Pasti seru juga tuh. Haha.”
Kami berdua mengobrol lagi. Berdua, beriringan dengan Nero, seakan memenuhi ruangan di sebelahku yang terasa hangat dan juga menenangkan. Nero banyak bercerita tentang teman-temannya di luar negeri sana, dan aku menduga—sama seperti di sini—Nero adalah anak yang suka bersosialisasi. Melihat Nero bercerita banyak tentang kehidupannya dulu membuatku senang karena seolah-olah, aku mengenalnya sudah begitu lama.
Begitu kami tiba di depan gerbang sekolah, sekolah masih sunyi. Kami kembali bercakap-cakap lagi, membahas banyak hal, dan aku tertawa mendengar leluconnya. Nero anak yang menyenangkan dan lucu dengan caranya sendiri. Aku bahkan tak menyadari bahwa sedikit demi sedikit, para siswa sudah mulai berdatangan dan aku tak lagi memperhatikan apa yang terjadi sampai kemudian Devon berlari menghampiri kami dengan wajah yang berbinar bahagia.
“Nero,” katanya, dan sebelum Nero mengucapkan sepatah kata, Devon sudah memeluknya dengan kekuatan penuh dan menciumnya tepat di bibir dengan bunyi “Muuuuuuuach!” yang nyaris terdengar oleh seluruh orang.
Mulutku ternganga lebar, begitu pula dengan seluruh murid yang berkumpul di depan gerbang.
“I LOVE YOU!” teriak Devon lagi kemudian memeluk Nero erat-erat. “You’re the best!”
Nero masih diam terpaku, terlalu terkejut dengan tindakan Devon.
“Devon! Nero!”
Devon tersentak, melepas pelukannya dengan segera. Seluruh kepala sekarang menoleh ke arah dimana suara itu berasal.
Kepala Sekolah kami, Pak Owen, tengah berdiri di depan gerbang. Wajahnya merah padam antara marah dan malu. Oh, tidak. Dia melihat apa yang terjadi! Ini sih sudah pasti akan menjadi bencana.
“You two come with me,” kata Pak Owen dalam bisikan berbahaya.
Devon menoleh pada Nero. Dahinya mengerut penuh pertanyaan. “Did we do something?” tanyanya dan tanpa diduga, Nero meninjunya, tepat di dagu sampai membuat Devon terjengkang dan jatuh.
“Shit, what the hell are you doing?”
Nero tersenyum kecil. “Pay back for the kiss. Shit, Devon. It was my first kiss with guy and it feels disgusting.”
Devon mengerjap. “I what?”
Nero memutar bola matanya. “Come on. You made us in the middle of this.” Sambil menunduk, Nero membantu Devon berdiri, lalu menariknya dengan paksa mengikuti Pak Owen menuju kantornya, meninggalkan kami yang masih shock dengan pemandangan barusan dan bertanya-tanya apa yang terjadi.
Namun, mungkin hanya aku yang merasa ingin membunuh Devon karena berani mencium Nero tepat di depanku. Uh, aku tak terima Nero lebih memilih Devon jadi kekasihnya ketimbang perempuan lain. Rasanya itu lebih menyakitkan!
***The Flower Boy Next Door***
“Sorry,” kata Devon. “I didn’t realize I kissed you.”
“I knew you was too happy back then. Don’t worry. It doesn’t matter anymore.” Nero menghela napas. Meski dia mengatakan itu, Nero tak yakin. Gosip ini akan menyebar begitu saja seperti wabah yang menjangkit semua orang. Seperti yang diketahui manusia manapun, hal yang negatif lebih mudah diingat dan disebarkan ketimbang hal yang positif. Dan akan sulit sekali menghapus memori itu dalam pikiran setiap orang. Terutama ada begitu banyak penonton tadi.
“Nero,” kata Devon lagi, memasukan kain pelnya ke ember dan airnya memuncrati aula sekolah yang kali ini mereka bersihkan, hukuman karena tindakan memalukan mereka.
“What?” kata Nero, menggosok lantai.
“Thank you.”
“For what?”
“For setting me up with Audrey. It was the best thing that ever happened in my life.”
Nero tersenyum. “Damn, man, I just helped you out.”
“You’re the best.”
“I know.”
“The coolest.”
“Yeah.”
“The greatest!”
“Shit, Devon, stop it.”
Devon tertawa. “So, how’s Miss Grumpy doing?” walau Devon mengatakannya sambil lalu, Nero curiga Devon mencari kesempatan untuk mengorek informasi. Nero kembali menduga-duga apa maksud perkataannya, hanya saja Devon memilih untuk mengepel pada ujung yang lain.
“You love her, don’t you?” tanya Devon lagi.
“Mostly.”
“Mostly?” Devon berbalik, tampak keheranan. Dan karena Nero mengangguk, Devon bertanya, “Why?”
Nero mengangkat bahu lagi. “I don’t know,” katanya kemudian menggosok lantai sampai mengkilap. “God just gave a sign to think it over. I’d figure it leter.”
Devon mendengus. “God has nothing to do to your feeling. It’s you.”
“Or someone’s like me, in your case.” Nero nyengir lebar.
“Yeah, whatever,” kata Devon terkekeh. “But, seriously, you guys are falling in love to each other.”
“Niken loves Vion.”
“Niken loved Vion,” Devon memperbaiki. “Niken already falling in love with you.”
Nero tersenyum lagi. “Are you sure?”
“Without hesitation,” katanya Devon segera.
Nero tersenyum lagi. “I’ll think about it leter.”
***The Flower Boy Next Door***
Aku jengkel setengah mati. Kemarahanku seakan meledak sewaktu-waktu. Perasaanku saat ini adalah ingin menghakimi Devon secepatnya. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin sekali menenggelamkannya ke lautan, menguburnya ke dalam tanah, kalau bisa menerbangkannya ke angkasa—kemanapun, asalkan dapat menjauhkannya dari Nero.
Uh, kenapa sih aku bersikap posesif seperti ini pada Nero?
Menghela napasku, aku menyingkirkan buku dan berjalan keluar kelas. Para cewek sekarang bergosip dengan kejadian tadi pagi. Masalahnya, dari cengiran mereka, tak ada satupun dari mereka yang merasa bahwa ciuman itu memalukan. Justru sebaliknya, mereka malah berfantasi yang tidak-tidak antara Nero dan Devon.
Sial. Ada apa sih dengan cewek-cewek zaman sekarang?
“Shit, Devon. You owe me that.”
Tiba-tiba saja terdengar suara Nero. Dari tempatku berada, aku bisa melihat Nero meninju pelan tangan Devon, sementara Devon sendiri tertawa kecil. Bisik-bisik mengenai keakraban mereka segera berdengung. Kejadian tadi pagi kembali memanas.
Kakiku cepat-cepat melangkah. Aku tidak menginginkan Nero dekat-dekat dengan Devon. Devon kan sudah punya pacar—Audrey—kenapa malah nempel-nempel Nero?
“Really, man. It—what?” Devon mengerutkan dahi saat aku menarik tangannya.
Sekarang, aku mengerjap—dan keheranan sendiri. Aku ini mau apa sebenarnya? Bukankah Nero dan Devon memang selalu akrab? Mereka berdua memang selalu seperti ini. Tapi kenapa aku malah terganggu sekarang?
Devon melirik Nero, memberikan tatapan yang aku tak tahu apa artinya. Tapi Nero malah kebingungan dengan ekspresi Devon.
“Kalian butuh privasi?” tanya Devon.
Aku tergagap.
“See you, Baby,” kata Devon dan mencium pipi Nero. Mulutku ternganga lebar dan para siswa di belakang kami menarik napas, nyaris histeris. “Good luck not fucking each other.” Seringai lebar muncul di wajah Devon saat dia berlalu, menghindari tinju Nero.
Nero memaki, menggosok-gosok pipinya yang dicium Devon. “Ada apa, Niken?”
“Kalian pasangan serasi,” kataku sinis.
“Kami tidak pacaran, oke? Kau tahu kalau Devon cuma menggodaku,” kata Nero setengah jengkel.
Aku tak ingin membahas masalah percintaan mereka. Uh!
“Niken,” kali ini terdengar suara Kak Vion. Kami berdua melihat Kak Vion mendekat. Ada pancaran rasa tak suka yang muncul di wajah Kak Vion. Dia melirik Nero sejenak, tapi memilih untuk tidak mengucapkan apapun, ataupun menyapanya. Malah sepertinya, Kak Vion berprinsip bahwa dia tidak melihat Nero sedikitpun—atau berusaha tidak melihatnya.
“Kau sudah memikirkan yang kukatakan beberapa hari lalu?”
“Uh… ya,” jawabku walau aku masih bertanya-tanya apa maksud perkataannya barusan.
“Jadi, bagaimana?” tanya Kak Vion lagi.
“Bagaimana—” aku mengulang kebingungan.
“Jawabanmu, Niken,” kata Kak Vion lagi. “Ya atau tidak?”
Apakah ini soal pengakuan? Aku tak bisa menebak apa jawabannya. Tapi aku tak bisa membuat wajah penuh harap Kak Vion putus begitu saja. Dia pasti menginginkan jawaban “ya” pada apapun itu yang dia tanyakan. Lagipula, seberapa berbahanyanya kata “ya”?
“Ya. Sangat ya,” jawabku tegas sampai mengangguk segala.
Saat itu pula, wajah Kak Vion cerah ceria. Aku pasti sudah memberikan jawaban yang membuatnya senang. Aku ikut tersenyum padanya dan tiba-tiba saja, kedua tangannya menangkup wajahku dan mencium bibirku. Mataku masih terbuka lebar dan penuh keterkejutan. Lalu saat itu pula, sebelum aku bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi, Nero menyingkirkan Kak Vion dan mendorongnya ke dinding.
“Nero!” aku menjerit kaget melihat tangan Nero naik ke atas, hendak meninju Kak Vion. Dengan gerakan refleks yag luar biasa, aku berhasil mengambil tangannya.
“Minggir, Niken,” kata Nero. Wajahnya menunjukan kebencian teramat sangat pada Kak Vion.
“Aku tak akan membiarkan kau memukulnya,” kataku lagi, menggenggam erat tangannya. Aku bisa merasakan kekuatan Nero dan kemarahannya.
“Apa masalahmu?” kata Vion menyingkirkan cengkraman tangan Nero dari seragamnya. “Dia pacarku. Apa masalahnya kalau aku menciumnya?”
Huh? HUH???? APA???? Aku? Pacar Kak Vion? KAPAN AKU BILANG KALAU AKU BERSEDIA JADI PACARNYA?
Aku melihat Nero sambil menelan ludah. Panik. Saat ini aku seakan ketahuan sedang selingkuh. Nero sedang menunduk memandangku. Mata coklatnya tampak dingin sekali saat melihatku walau rahangnya mengeras menahan amarah. Perlahan, aku menyingkirkan tangannya dari peganganku. Seluruh udara dalam paru-paruku seakan tersedot begitu saja melihat cara Nero memandangku. Bisa kurasakan kekecewaan yang ada dalam pancaran matanya.
“Oh,” kata Nero tiba-tiba. “Sori.” Dia menatap Kak Vion. “Selamat,” katanya lagi, kemudian tanpa melihatku, dia berbalik pergi.
“Nero,” kataku. Aku ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa aku sama sekali tak tahu apapun mengenai pernyataan yang dilontarkan Kak Vion, dan juga karena aku begitu terkejut dengan apa yang terjadi. Tapi dia tidak mendengarkan dan terus berjalan. Dan aku yang merasa bahwa harapanku pupus begitu saja, tak lagi mengejarnya bahkan pada saat langkah kedua.
“Ada apa sih dengannya?” suara Kak Vion terdengar di telingaku, membuat perhatianku sekarang mengarah padanya. Kak Vion tengah memperbaiki seragamnya yang kusut. “Dia bertingkah seperti pacarmu yang super cemburu.”
“Kak Vion, kapan aku—”
Lalu aku sadar kami ada dimana saat ini. Murid-murid tengah menonton kami dengan sangat serius. Mata mereka berbinat bahagia. Mereka menunggu gosip. Menjilat bibirku dengan gelisah, aku menarik tangan Kak Vion menjauh, mencari tempat lain untuk berbicara berdua tanpa diganggu orang lain—dan didengarkan orang lain. Aku butuh penjelasan panjang soal masalah ini. Aku punya firasat jelek bahwa hubungku dengan Nero akan kacau tak lama lagi.
Dan sialnya, aku tak menginginkan itu.
***The Flower Boy Next Door***
Zoe mengikuti Nero dari belakang. Kedua tangan siap sedia di sisi tubuhnya, menunggu yang terburuk dari gerakan Nero yang tiba-tiba. Perkataan Ayah Nero, Matt, terngiang di telinganya seakan sebuah alarm peringatan akan adanya badai.
“Zoe, berhati-hatilah pada Nero saat emosinya tidak terkontrol. Neroku sering tidak tahu apa yang dia perbuat jika dia sedang marah. Bukan satu dua kali dia membuat teman-temannya masuk rumah sakit jika dia marah. Oleh sebab itu, aku ingin kau mengawasinya dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya kemungkinan terburuk.”
Sepertinya kondisi kali ini sangat pas dengan apa yang dikatakan Matt.
Nero menaiki anak tangga menuju atap. Aura gelap Nero menguar begitu cepat. Zoe bisa merasakan kemarahannya yang tak terbendung lagi. Berbeda dengan saat Nero meninju koridor waktu itu, kali ini kemarahan Nero sepertinya lebih berbahaya. Buktinya, Nero menghindari teman-temannya, bahkan memberikan tatapan menusuk yang mampu membungkam teman-teman yang biasanya ada di sekitarnya.
“Stop following me!” raung Nero begitu dia sampai di atap. Zoe menutup pintu dan dengan tenang menghadapinya.
“Calm down, Nero.”
“Get out!” katanya.
“No.”
“I don’t need you!”
“I know, but still, I’m here for you.”
Lalu tibalah yang dimaksud Matt. Nero berjalan cepat, menerjangnya dengan kedua tangan yang nyaris menghantamnya ke dinding. Zoe bergerak gesit, memegang tangan Nero, memelintirnya ke belakang punggung Nero. Dengan kecepatan intens yang sama, Zoe menendang bagian belakang lutut Nero, membuat anak muda itu berlutut, dan saat itu pula, Zoe menjatuhkan tubuh Nero ke bawah, menguncinya sehingga tak bergerak.
Sayang sekali, dia salah. Dengan kakinya, Nero berhasil menjatuhkan Zoe dengan menjengel kakinya. Zoe kehilangan keseimbangan dan jatuh. Nero berguling, tangannya mencengkram dasi Zoe, menariknya ke bawah dan menjatuhkannya dengan cepat.
Punggung Zoe terkena lantai dengan hentakan keras yang membuat tulang Zoe berderik. Kedua tangan Nero memegang tangannya, nyaris meremukan kedua tulangnya saat Nero menahannya di kedua sisi tubuhnya.
“I told you to leave,” bisik Nero dengan nada berbahaya.
Zoe menelan ludah. “I won’t.”
Genggaman Nero mengeras. Zoe mengerutkan dahi, menahan rasa sakit yang sekarang mulai menjalar. Sial. Zoe tak mengerti kenapa Nero membutuhkan bodyguard untuk mengawalnya. Nero, jelas-jelas, memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya sendiri. Apakah Matt tak pernah menyadari bahwa Nero memiliki keahlian untuk menjatuhkan lawan dengan cepat bahkan walau itu hanya gerakan relfeks?
Zoe menatap Nero, tidak memberikan reaksi yang diingkan Nero. Dia harus tenang untuk menangani Nero. Apabila dia salah mengambil tindakan, sudah bisa dipastikan bahwa dirinya sendirilah yang akan menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang masuk rumah sakit karena ulah Nero. Bukan berarti Zoe tidak ingin membahayakan dirinya. Dia akan memberikan nyawanya bagi Nero. Tapi tidak sekarang. Nero sedang tidak tahu apa yang dia perbuat. Dan bisa dipastikan Nero akan menyesal dengan apa yang dia perbuat jika dia tahu nanti.
Nero masih tidak bergerak di tempatnya. Tapi genggamannya semakin lama semakin mengeras. Matanya tampak dingin dan tidak hidup walau ada emosi yang keluar dari dalam sana. Nero kelihatan berekspresi datar, tapi Zoe bisa melihat urat nadi di leher Nero berdenyut cepat. Emosinya pasti sedang dalam puncaknya.
“Nero,” kata Zoe. Suaranya tenang dan tidak menuntut. “It hurts.”
Nero masih tidak meresponnya.
“You hurt me, Nero.”
Saat itu pula, Nero mengerjap. Ekspresi kemarahannya hilang menjadi ekspresi kebingungan. Genggaman di kedua tangan Zoe mengendur, menyisakan denyutan perlahan di bawah kulitnya.
“Zoe,” desahnya kebingungan. “Apa yang—”
“Bukan masalah besar. Emosimu hanya tidak terkontrol,” kata Zoe mencoba duduk sementara Nero menyingkir ke sebelahnya.
“Sori,” kata Nero lagi, memegang bagian belakang lehernya. “Aku tak bisa berpikir dengan jernih. Untung kau tidak segera melawanku, Zoe.”
Zoe menghela napas, memijit pelan pergelangan tangannya yang membiru. “Itu sebabnya aku tidak melawanmu, Nero. Semakin dipaksa kau semakin keras. Aku dengar itu dari Jacob.”
Nero menaikan alis. “Apa lagi yang dikatakan kedua orang tua itu padamu?”
Zoe tersenyum kecil. “Bukan masalah besar. Tak sebanyak dugaanmu. Sebagiannya kutemukan setelah bertemu denganmu Nero. Jadi tidak usah dipikirkan.”
“Haruskah kita ke UKS?” tanya Nero.
“Aku tak apa-apa, Nero.”
“Sepertinya tidak juga.”
Zoe memutar bola matanya, pertanda bahwa anak itu sedikit bosan dengan pembicaraan mereka. “Hei, apa tak sebaiknya bagimu segera merebut Niken dari tangan Vion daripada marah-marah tak jelas?”
 “Aku tak akan merebut Niken dari Vion,” kata Nero tegas, mengadah melihat langit.
“Apa kau yakin? Bukankah sebaiknya kau menyatakan perasaanmu untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
“Sudah.”
“Sudah?” Zoe terkejut. Ini tidak seperti yang dipikirkannya. “Kapan? Lalu apa jawabannya? Jangan-jangan, kau ditolak ya?”
Kedua bahu Nero terangkat tak peduli. “Ada sedikit kecelakaan waktu itu, jadi aku tak bisa menduga apa jawabannya. Tapi, karena hasilnya seperti ini, sepertinya aku ditolak.”
Zoe mendengus. “Dia suka padamu. Percaya padaku.”
Lagi-lagi Nero mengangkat bahu. Entah itu jawaban bahwa dia setuju atau tidak.
***The Flower Boy Next Door***
Aku menarik Kak Vion ke belakang sekolah. Kedua tanganku di pinggang sementara kepalaku mengadah ke atas. Kupelototi dia, meminta penjelasan. Tapi Kak Vion malah balik menatapku dengan kebingungan seolah tidak tahu apa maksudku. Jadi aku, yang sadar bahwa akulah akar dari masalah ini, memulai pembicaraan.
“Kapan aku bilang bahwa aku bersedia jadi pacar Kak Vion?”
“Tadi,” jawabnya tenang. “Bukankah kau tadi bilang ya?”
Jadi jawaban ya yang dia maksud itu adalah mengenai pembicaraan kemarin?
“Aku tak tahu kalau Kak Vion membicarakan masalah waktu itu.” Aku menjelaskan dengan nada tak sabar. “Aku tak bermaksud mengucapkan ya yang itu. Aku—”
Kak Vion memotong cepat menggunakan kalimat, “Jadi, kau menolakku?”
Dalam sedetik aku terdiam dan berpikir. Aku tak mengerti—sungguh-sungguh tak mengerti—kenapa aku malah protes mengenai jadiannya diriku dengan dirinya. Dan itu kusadari karena Nero. Semua karena Nero. Sial. Kenapa Nero sekarang menjadi bagian yang sering menjadi akar masalah dalam hidupku? Aku penasaran kenapa Nero memiliki teman kencan. Aku marah karena Devon terlalu dekat dengan Nero. Dan sekarang, aku kebingunan karena aku tak menginginkan Nero salah paham karena aku pacaran dengan Kak Vion.
Heh. Benar-benar luar biasa.
“Kau tidak menyukaiku?” suara Kak Vion terdengar lagi. Matanya menatapku dengan rasa ingin tahu.
Kuhindari pandangan matanya. “Bukan berarti aku tak menyukai Kak Vion.”
“Lalu?” dia menuntut penjelasan.
“Aku sendiri tak mengerti kenapa aku tak siap untuk jadi pacar Kak Vion.”
Dengan cemas kugigit bibir bawahku sementara kakiku bergerak-gerak gelisah. Aku tak ingin melihat wajah kecewa Kak Vion. Aku tak ingin dia marah padaku karena diriku yang plin-plan. Tapi aku juga tak mau membuatnya kecewa.
“Kurasa aku mengerti kenapa kau bersikap seperti ini padaku, Niken,” katanya lembut. Dan aku mengadah keheranan, melihat langsung ke dalam matanya yang teduh.
Kak Vion tengah menunduk menatapku. Bibirnya tersenyum tenang. Perlahan, dia memegang kedua kepalaku dan mendekatkan dahinya dengan dahiku sampai kedua dahi kami bertemu.
Aku menatapnya dengan keheranan. Cara dia yang seperti ini sama seperti yang dilakukan Nero padaku sewaktu di taman hiburan. Tapi, berbeda dengan Nero, aku sama sekali tidak merasakan jantungku berdegup kencang. Aku merasa bahwa aku biasa saja menghadapi pendekataan yang dilakukan olehnya.
“Kau menyukai Nero, Niken,” kata Kak Vion.
Perkataan Kak Vion terdengar jelas dan terus diulang tiada henti.
“Kau menyukai Nero sampai-sampai tidak bisa melirikku lagi. Kau menyukai Nero sehingga tak mau membaginya bersama orang lain. Kau menyukai Nero sepenuh hatimu, Niken, dan aku bersedia mundur untuk menghormati pilihanmu.”
Aku masih menatap Kak Vion, kebingungan. Walau aku tidak terlalu mengerti dengan ucapannya barusan, aku tahu yang dia katakan benar. Perasaan ini bukan untuk Kak Vion. Tapi untuk Nero. Dan aku telah jatuh cinta padanya dengan sepenuh hatiku.
“Berbahagialah dengannya, ya,” kata Kak Vion lagi, tersenyum kecil dan mencium dahiku dengan sayang.
“Urm.”
“Tidak apa-apa, Niken. Kita tetap teman baik,” Kak Vion melepasku, tersenyum lagi dan berbalik pergi. Kulihat punggungnya yang tegar dari belakang. Dan aku merasa bahwa dia keren sekali saat itu.
Itulah Kak Vion, Ketua Osis kami. Dia orang yang sangat baik hati. Terlepas dari segala hal yang terjadi selama ini, Kak Vion sudah menjadi bagian dari masa laluku. Aku memang pernah mencintai orang itu. Tapi keberadaannya terganti dengan Nero yang berhasil mengisi setiap hari-hariku dengan keusilannya dan tawanya. Dan sungguh tak ada gunanya menyesali apa yang terjadi hari ini.
Aku menyukai Nero. Itu sudah pasti.
Saatnya memperbaiki hubungan kami dan menyatakan padanya mengenai perasaanku.
Tapi… BAGAIMANA CARANYA?
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.