Debaran Dua Puluh Tiga
Galau
Aku
sedang menyisir rambutku begitu Abangku, Ray, memunculkan kepalanya dari balik
pintu dan tersenyum manis. Aku tak tersenyum, aku balas memelototinya.
“Apa?”
kataku tak senang melihat senyumannya.
“Pacarmu
datang,” katanya.
“Hah?”
kataku.
“Aku
bilang pacarmu datang,” ulangnya sabar.
Pacarku?
Siapa? “Aku nggak punya pacar, Abang,” kataku dan kembali menyisir rambutku,
melihat cermin yang memunculkan wajahku.
“Pacarmu,
Nero, anak tetangga sebelah yang luar biasa kaya dan juga tampan itu, datang
dan sudah menunggu di depan pintu gerbang seperti anjing penjaga setia.”
Tulang
leherku berderik begitu melihat Abangku lagi. Terlalu cepat sampai aku bisa
merasakan nyeri di leherku.
“Apa?”
kataku. “Nero di sini?”
“Yep,”
dia mengangguk.
Aku
mengerjap beberapa kali, kemudian segera melempar sisir, mengambil tasku dan
berlari menuju pintu setelah menyingkirkan Abangku dari sana. Aku tak
memedulikan gerutuannya yang mengatakan, “Niken! Tega benar!” padaku. Dengan
kecepatan luar biasa, aku menuruni tangga spiralku. Bahkan aku tak mau
repot-repot pamit pada orang tuaku begitu sampai di depan pintu dan mendapati
Nero ada di luar sana, bermain dengan anjing kecil putihku.
“Selamat
pagi, Niken,” sapanya sambil tersenyum.
“Uh,
apa yang kau lakukan di sini?” kataku keheranan.
“Menjemputmu
ke sekolah,” jawabnya, kemudian melirik jamnya. “Sudah saatnya membuka gerbang
sekolah kan?”
Kebingunganku
menjadi-jadi, tapi aku memilih untuk mengangguk. Dia bangkit perlahan,
mengikutiku keluar dari gerbang. Kami berdua menuju sekolah dengan kecanggungan
yang sangat kental. Tiap kali aku berusah membuka pembicaraan, masalahnya,
suaraku malah tak keluar.
Aku
ingin menanyakan apa yang kemarin ingin dia katakan padaku. Tapi aku tak
berani. Uh, sial. Kemana sih perginya rasa beraniku dulu yang sering
kuagung-agungkan? Kenapa sekarang aku malah lemah banget menghadapi Nero
seperti ini? Apa sih yang dia lakukan sampai memberikan pengaruh yang begitu
besar dalam hidupku? Padahal, jika dipikir-pikir, anak muda ini cuma tahu
bagaimana membuat hidupku susah. Tidak lebih.
“Biasanya
kalau sekolah kita camping gabungan,
apa aja acara yang dilakukan, Niken?” Nero tiba-tiba membuka pembicaraan.
“Camping, api unggun, cari harta dan
jerit malam,” kataku
Di
sebelahku, Nero manggut-manggut. “Sepertinya seru. Mudah-mudahan kita bisa
sekelompok ya. Pasti seru juga tuh. Haha.”
Kami
berdua mengobrol lagi. Berdua, beriringan dengan Nero, seakan memenuhi ruangan
di sebelahku yang terasa hangat dan juga menenangkan. Nero banyak bercerita
tentang teman-temannya di luar negeri sana, dan aku menduga—sama seperti di
sini—Nero adalah anak yang suka bersosialisasi. Melihat Nero bercerita banyak
tentang kehidupannya dulu membuatku senang karena seolah-olah, aku mengenalnya
sudah begitu lama.
Begitu
kami tiba di depan gerbang sekolah, sekolah masih sunyi. Kami kembali
bercakap-cakap lagi, membahas banyak hal, dan aku tertawa mendengar leluconnya.
Nero anak yang menyenangkan dan lucu dengan caranya sendiri. Aku bahkan tak
menyadari bahwa sedikit demi sedikit, para siswa sudah mulai berdatangan dan
aku tak lagi memperhatikan apa yang terjadi sampai kemudian Devon berlari
menghampiri kami dengan wajah yang berbinar bahagia.
“Nero,”
katanya, dan sebelum Nero mengucapkan sepatah kata, Devon sudah memeluknya
dengan kekuatan penuh dan menciumnya tepat di bibir dengan bunyi “Muuuuuuuach!”
yang nyaris terdengar oleh seluruh orang.
Mulutku
ternganga lebar, begitu pula dengan seluruh murid yang berkumpul di depan
gerbang.
“I LOVE YOU!”
teriak Devon lagi kemudian memeluk Nero erat-erat. “You’re the best!”
Nero
masih diam terpaku, terlalu terkejut dengan tindakan Devon.
“Devon!
Nero!”
Devon
tersentak, melepas pelukannya dengan segera. Seluruh kepala sekarang menoleh ke
arah dimana suara itu berasal.
Kepala
Sekolah kami, Pak Owen, tengah berdiri di depan gerbang. Wajahnya merah padam
antara marah dan malu. Oh, tidak. Dia melihat apa yang terjadi! Ini sih sudah
pasti akan menjadi bencana.
“You two come with me,”
kata Pak Owen dalam bisikan berbahaya.
Devon
menoleh pada Nero. Dahinya mengerut penuh pertanyaan. “Did we do something?” tanyanya dan tanpa diduga, Nero meninjunya,
tepat di dagu sampai membuat Devon terjengkang dan jatuh.
“Shit, what the hell are you
doing?”
Nero
tersenyum kecil. “Pay back for the kiss.
Shit, Devon. It was my first kiss with guy and it feels disgusting.”
Devon
mengerjap. “I what?”
Nero
memutar bola matanya. “Come on. You made
us in the middle of this.” Sambil menunduk, Nero membantu Devon berdiri,
lalu menariknya dengan paksa mengikuti Pak Owen menuju kantornya, meninggalkan
kami yang masih shock dengan pemandangan barusan dan bertanya-tanya apa yang
terjadi.
Namun,
mungkin hanya aku yang merasa ingin membunuh Devon karena berani mencium Nero
tepat di depanku. Uh, aku tak terima Nero lebih memilih Devon jadi kekasihnya
ketimbang perempuan lain. Rasanya itu lebih menyakitkan!
***The Flower
Boy Next Door***
“Sorry,”
kata Devon. “I didn’t realize I kissed you.”
“I knew you was too happy back
then. Don’t worry. It doesn’t matter anymore.”
Nero menghela napas. Meski dia mengatakan itu, Nero tak yakin. Gosip ini akan
menyebar begitu saja seperti wabah yang menjangkit semua orang. Seperti yang
diketahui manusia manapun, hal yang negatif lebih mudah diingat dan disebarkan
ketimbang hal yang positif. Dan akan sulit sekali menghapus memori itu dalam
pikiran setiap orang. Terutama ada begitu banyak penonton tadi.
“Nero,”
kata Devon lagi, memasukan kain pelnya ke ember dan airnya memuncrati aula
sekolah yang kali ini mereka bersihkan, hukuman karena tindakan memalukan
mereka.
“What?”
kata Nero, menggosok lantai.
“Thank you.”
“For what?”
“For setting me up with Audrey. It was
the best thing that ever happened in my life.”
Nero
tersenyum. “Damn, man, I just helped you
out.”
“You’re the best.”
“I know.”
“The coolest.”
“Yeah.”
“The greatest!”
“Shit, Devon, stop it.”
Devon
tertawa. “So, how’s Miss Grumpy doing?”
walau Devon mengatakannya sambil lalu, Nero curiga Devon mencari kesempatan
untuk mengorek informasi. Nero kembali menduga-duga apa maksud perkataannya,
hanya saja Devon memilih untuk mengepel pada ujung yang lain.
“You love her, don’t you?”
tanya Devon lagi.
“Mostly.”
“Mostly?”
Devon berbalik, tampak keheranan. Dan karena Nero mengangguk, Devon bertanya, “Why?”
Nero
mengangkat bahu lagi. “I don’t know,”
katanya kemudian menggosok lantai sampai mengkilap. “God just gave a sign to think it over. I’d figure it leter.”
Devon
mendengus. “God has nothing to do to your
feeling. It’s you.”
“Or someone’s like me, in your
case.” Nero nyengir lebar.
“Yeah, whatever,”
kata Devon terkekeh. “But, seriously, you
guys are falling in love to each other.”
“Niken loves Vion.”
“Niken loved Vion,”
Devon memperbaiki. “Niken already falling
in love with you.”
Nero
tersenyum lagi. “Are you sure?”
“Without hesitation,”
katanya Devon segera.
Nero
tersenyum lagi. “I’ll think about it
leter.”
***The Flower
Boy Next Door***
Aku
jengkel setengah mati. Kemarahanku seakan meledak sewaktu-waktu. Perasaanku
saat ini adalah ingin menghakimi Devon secepatnya. Dari lubuk hatiku yang
paling dalam, aku ingin sekali menenggelamkannya ke lautan, menguburnya ke
dalam tanah, kalau bisa menerbangkannya ke angkasa—kemanapun, asalkan dapat
menjauhkannya dari Nero.
Uh,
kenapa sih aku bersikap posesif seperti ini pada Nero?
Menghela
napasku, aku menyingkirkan buku dan berjalan keluar kelas. Para cewek sekarang
bergosip dengan kejadian tadi pagi. Masalahnya, dari cengiran mereka, tak ada
satupun dari mereka yang merasa bahwa ciuman itu memalukan. Justru sebaliknya,
mereka malah berfantasi yang tidak-tidak antara Nero dan Devon.
Sial.
Ada apa sih dengan cewek-cewek zaman sekarang?
“Shit, Devon. You owe me that.”
Tiba-tiba
saja terdengar suara Nero. Dari tempatku berada, aku bisa melihat Nero meninju
pelan tangan Devon, sementara Devon sendiri tertawa kecil. Bisik-bisik mengenai
keakraban mereka segera berdengung. Kejadian tadi pagi kembali memanas.
Kakiku
cepat-cepat melangkah. Aku tidak menginginkan Nero dekat-dekat dengan Devon.
Devon kan sudah punya pacar—Audrey—kenapa malah nempel-nempel Nero?
“Really, man. It—what?”
Devon mengerutkan dahi saat aku menarik tangannya.
Sekarang,
aku mengerjap—dan keheranan sendiri. Aku ini mau apa sebenarnya? Bukankah Nero
dan Devon memang selalu akrab? Mereka berdua memang selalu seperti ini. Tapi
kenapa aku malah terganggu sekarang?
Devon
melirik Nero, memberikan tatapan yang aku tak tahu apa artinya. Tapi Nero malah
kebingungan dengan ekspresi Devon.
“Kalian
butuh privasi?” tanya Devon.
Aku
tergagap.
“See you, Baby,” kata
Devon dan mencium pipi Nero. Mulutku ternganga lebar dan para siswa di belakang
kami menarik napas, nyaris histeris. “Good
luck not fucking each other.” Seringai lebar muncul di wajah Devon saat dia
berlalu, menghindari tinju Nero.
Nero
memaki, menggosok-gosok pipinya yang dicium Devon. “Ada apa, Niken?”
“Kalian
pasangan serasi,” kataku sinis.
“Kami
tidak pacaran, oke? Kau tahu kalau Devon cuma menggodaku,” kata Nero setengah
jengkel.
Aku
tak ingin membahas masalah percintaan mereka. Uh!
“Niken,”
kali ini terdengar suara Kak Vion. Kami berdua melihat Kak Vion mendekat. Ada
pancaran rasa tak suka yang muncul di wajah Kak Vion. Dia melirik Nero sejenak,
tapi memilih untuk tidak mengucapkan apapun, ataupun menyapanya. Malah
sepertinya, Kak Vion berprinsip bahwa dia tidak melihat Nero sedikitpun—atau
berusaha tidak melihatnya.
“Kau
sudah memikirkan yang kukatakan beberapa hari lalu?”
“Uh…
ya,” jawabku walau aku masih bertanya-tanya apa maksud perkataannya barusan.
“Jadi,
bagaimana?” tanya Kak Vion lagi.
“Bagaimana—”
aku mengulang kebingungan.
“Jawabanmu,
Niken,” kata Kak Vion lagi. “Ya atau tidak?”
Apakah
ini soal pengakuan? Aku tak bisa menebak apa jawabannya. Tapi aku tak bisa
membuat wajah penuh harap Kak Vion putus begitu saja. Dia pasti menginginkan
jawaban “ya” pada apapun itu yang dia tanyakan. Lagipula, seberapa
berbahanyanya kata “ya”?
“Ya.
Sangat ya,” jawabku tegas sampai mengangguk segala.
Saat
itu pula, wajah Kak Vion cerah ceria. Aku pasti sudah memberikan jawaban yang
membuatnya senang. Aku ikut tersenyum padanya dan tiba-tiba saja, kedua
tangannya menangkup wajahku dan mencium bibirku. Mataku masih terbuka lebar dan
penuh keterkejutan. Lalu saat itu pula, sebelum aku bisa mencerna apa yang
sebenarnya terjadi, Nero menyingkirkan Kak Vion dan mendorongnya ke dinding.
“Nero!”
aku menjerit kaget melihat tangan Nero naik ke atas, hendak meninju Kak Vion.
Dengan gerakan refleks yag luar biasa, aku berhasil mengambil tangannya.
“Minggir,
Niken,” kata Nero. Wajahnya menunjukan kebencian teramat sangat pada Kak Vion.
“Aku
tak akan membiarkan kau memukulnya,” kataku lagi, menggenggam erat tangannya.
Aku bisa merasakan kekuatan Nero dan kemarahannya.
“Apa
masalahmu?” kata Vion menyingkirkan cengkraman tangan Nero dari seragamnya.
“Dia pacarku. Apa masalahnya kalau aku menciumnya?”
Huh?
HUH???? APA???? Aku? Pacar Kak Vion? KAPAN AKU BILANG KALAU AKU BERSEDIA JADI
PACARNYA?
Aku
melihat Nero sambil menelan ludah. Panik. Saat ini aku seakan ketahuan sedang
selingkuh. Nero sedang menunduk memandangku. Mata coklatnya tampak dingin
sekali saat melihatku walau rahangnya mengeras menahan amarah. Perlahan, aku
menyingkirkan tangannya dari peganganku. Seluruh udara dalam paru-paruku seakan
tersedot begitu saja melihat cara Nero memandangku. Bisa kurasakan kekecewaan
yang ada dalam pancaran matanya.
“Oh,”
kata Nero tiba-tiba. “Sori.” Dia menatap Kak Vion. “Selamat,” katanya lagi,
kemudian tanpa melihatku, dia berbalik pergi.
“Nero,”
kataku. Aku ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa aku sama
sekali tak tahu apapun mengenai pernyataan yang dilontarkan Kak Vion, dan juga
karena aku begitu terkejut dengan apa yang terjadi. Tapi dia tidak mendengarkan
dan terus berjalan. Dan aku yang merasa bahwa harapanku pupus begitu saja, tak
lagi mengejarnya bahkan pada saat langkah kedua.
“Ada
apa sih dengannya?” suara Kak Vion terdengar di telingaku, membuat perhatianku
sekarang mengarah padanya. Kak Vion tengah memperbaiki seragamnya yang kusut.
“Dia bertingkah seperti pacarmu yang super cemburu.”
“Kak
Vion, kapan aku—”
Lalu
aku sadar kami ada dimana saat ini. Murid-murid tengah menonton kami dengan
sangat serius. Mata mereka berbinat bahagia. Mereka menunggu gosip. Menjilat
bibirku dengan gelisah, aku menarik tangan Kak Vion menjauh, mencari tempat
lain untuk berbicara berdua tanpa diganggu orang lain—dan didengarkan orang
lain. Aku butuh penjelasan panjang soal masalah ini. Aku punya firasat jelek
bahwa hubungku dengan Nero akan kacau tak lama lagi.
Dan
sialnya, aku tak menginginkan itu.
***The Flower
Boy Next Door***
Zoe
mengikuti Nero dari belakang. Kedua tangan siap sedia di sisi tubuhnya,
menunggu yang terburuk dari gerakan Nero yang tiba-tiba. Perkataan Ayah Nero,
Matt, terngiang di telinganya seakan sebuah alarm peringatan akan adanya badai.
“Zoe, berhati-hatilah pada Nero
saat emosinya tidak terkontrol. Neroku sering tidak tahu apa yang dia perbuat
jika dia sedang marah. Bukan satu dua kali dia membuat teman-temannya masuk
rumah sakit jika dia marah. Oleh sebab itu, aku ingin kau mengawasinya dengan
hati-hati untuk menghindari terjadinya kemungkinan terburuk.”
Sepertinya
kondisi kali ini sangat pas dengan apa yang dikatakan Matt.
Nero
menaiki anak tangga menuju atap. Aura gelap Nero menguar begitu cepat. Zoe bisa
merasakan kemarahannya yang tak terbendung lagi. Berbeda dengan saat Nero
meninju koridor waktu itu, kali ini kemarahan Nero sepertinya lebih berbahaya.
Buktinya, Nero menghindari teman-temannya, bahkan memberikan tatapan menusuk
yang mampu membungkam teman-teman yang biasanya ada di sekitarnya.
“Stop following me!”
raung Nero begitu dia sampai di atap. Zoe menutup pintu dan dengan tenang
menghadapinya.
“Calm down, Nero.”
“Get out!”
katanya.
“No.”
“I don’t need you!”
“I know, but still, I’m here for
you.”
Lalu
tibalah yang dimaksud Matt. Nero berjalan cepat, menerjangnya dengan kedua
tangan yang nyaris menghantamnya ke dinding. Zoe bergerak gesit, memegang
tangan Nero, memelintirnya ke belakang punggung Nero. Dengan kecepatan intens
yang sama, Zoe menendang bagian belakang lutut Nero, membuat anak muda itu
berlutut, dan saat itu pula, Zoe menjatuhkan tubuh Nero ke bawah, menguncinya
sehingga tak bergerak.
Sayang
sekali, dia salah. Dengan kakinya, Nero berhasil menjatuhkan Zoe dengan
menjengel kakinya. Zoe kehilangan keseimbangan dan jatuh. Nero berguling,
tangannya mencengkram dasi Zoe, menariknya ke bawah dan menjatuhkannya dengan
cepat.
Punggung
Zoe terkena lantai dengan hentakan keras yang membuat tulang Zoe berderik. Kedua
tangan Nero memegang tangannya, nyaris meremukan kedua tulangnya saat Nero
menahannya di kedua sisi tubuhnya.
“I told you to leave,”
bisik Nero dengan nada berbahaya.
Zoe
menelan ludah. “I won’t.”
Genggaman
Nero mengeras. Zoe mengerutkan dahi, menahan rasa sakit yang sekarang mulai
menjalar. Sial. Zoe tak mengerti kenapa Nero membutuhkan bodyguard untuk mengawalnya. Nero, jelas-jelas, memiliki kekuatan
untuk melindungi dirinya sendiri. Apakah Matt tak pernah menyadari bahwa Nero
memiliki keahlian untuk menjatuhkan lawan dengan cepat bahkan walau itu hanya
gerakan relfeks?
Zoe
menatap Nero, tidak memberikan reaksi yang diingkan Nero. Dia harus tenang
untuk menangani Nero. Apabila dia salah mengambil tindakan, sudah bisa
dipastikan bahwa dirinya sendirilah yang akan menjadi salah satu dari sekian
banyak orang yang masuk rumah sakit karena ulah Nero. Bukan berarti Zoe tidak
ingin membahayakan dirinya. Dia akan memberikan nyawanya bagi Nero. Tapi tidak
sekarang. Nero sedang tidak tahu apa yang dia perbuat. Dan bisa dipastikan Nero
akan menyesal dengan apa yang dia perbuat jika dia tahu nanti.
Nero
masih tidak bergerak di tempatnya. Tapi genggamannya semakin lama semakin
mengeras. Matanya tampak dingin dan tidak hidup walau ada emosi yang keluar
dari dalam sana. Nero kelihatan berekspresi datar, tapi Zoe bisa melihat urat
nadi di leher Nero berdenyut cepat. Emosinya pasti sedang dalam puncaknya.
“Nero,”
kata Zoe. Suaranya tenang dan tidak menuntut. “It hurts.”
Nero
masih tidak meresponnya.
“You hurt me, Nero.”
Saat
itu pula, Nero mengerjap. Ekspresi kemarahannya hilang menjadi ekspresi
kebingungan. Genggaman di kedua tangan Zoe mengendur, menyisakan denyutan
perlahan di bawah kulitnya.
“Zoe,”
desahnya kebingungan. “Apa yang—”
“Bukan
masalah besar. Emosimu hanya tidak terkontrol,” kata Zoe mencoba duduk
sementara Nero menyingkir ke sebelahnya.
“Sori,”
kata Nero lagi, memegang bagian belakang lehernya. “Aku tak bisa berpikir
dengan jernih. Untung kau tidak segera melawanku, Zoe.”
Zoe
menghela napas, memijit pelan pergelangan tangannya yang membiru. “Itu sebabnya
aku tidak melawanmu, Nero. Semakin dipaksa kau semakin keras. Aku dengar itu
dari Jacob.”
Nero
menaikan alis. “Apa lagi yang dikatakan kedua orang tua itu padamu?”
Zoe
tersenyum kecil. “Bukan masalah besar. Tak sebanyak dugaanmu. Sebagiannya
kutemukan setelah bertemu denganmu Nero. Jadi tidak usah dipikirkan.”
“Haruskah
kita ke UKS?” tanya Nero.
“Aku
tak apa-apa, Nero.”
“Sepertinya
tidak juga.”
Zoe
memutar bola matanya, pertanda bahwa anak itu sedikit bosan dengan pembicaraan
mereka. “Hei, apa tak sebaiknya bagimu segera merebut Niken dari tangan Vion
daripada marah-marah tak jelas?”
“Aku tak akan merebut Niken dari Vion,” kata
Nero tegas, mengadah melihat langit.
“Apa
kau yakin? Bukankah sebaiknya kau menyatakan perasaanmu untuk tahu apa yang
sebenarnya terjadi?”
“Sudah.”
“Sudah?”
Zoe terkejut. Ini tidak seperti yang dipikirkannya. “Kapan? Lalu apa
jawabannya? Jangan-jangan, kau ditolak ya?”
Kedua
bahu Nero terangkat tak peduli. “Ada sedikit kecelakaan waktu itu, jadi aku tak
bisa menduga apa jawabannya. Tapi, karena hasilnya seperti ini, sepertinya aku
ditolak.”
Zoe
mendengus. “Dia suka padamu. Percaya padaku.”
Lagi-lagi
Nero mengangkat bahu. Entah itu jawaban bahwa dia setuju atau tidak.
***The Flower
Boy Next Door***
Aku
menarik Kak Vion ke belakang sekolah. Kedua tanganku di pinggang sementara
kepalaku mengadah ke atas. Kupelototi dia, meminta penjelasan. Tapi Kak Vion
malah balik menatapku dengan kebingungan seolah tidak tahu apa maksudku. Jadi
aku, yang sadar bahwa akulah akar dari masalah ini, memulai pembicaraan.
“Kapan
aku bilang bahwa aku bersedia jadi pacar Kak Vion?”
“Tadi,”
jawabnya tenang. “Bukankah kau tadi bilang ya?”
Jadi
jawaban ya yang dia maksud itu adalah mengenai pembicaraan kemarin?
“Aku
tak tahu kalau Kak Vion membicarakan masalah waktu itu.” Aku menjelaskan dengan
nada tak sabar. “Aku tak bermaksud mengucapkan ya yang itu. Aku—”
Kak
Vion memotong cepat menggunakan kalimat, “Jadi, kau menolakku?”
Dalam
sedetik aku terdiam dan berpikir. Aku tak mengerti—sungguh-sungguh tak mengerti—kenapa aku malah protes mengenai
jadiannya diriku dengan dirinya. Dan itu kusadari karena Nero. Semua karena
Nero. Sial. Kenapa Nero sekarang menjadi bagian yang sering menjadi akar
masalah dalam hidupku? Aku penasaran kenapa Nero memiliki teman kencan. Aku
marah karena Devon terlalu dekat dengan Nero. Dan sekarang, aku kebingunan
karena aku tak menginginkan Nero salah paham karena aku pacaran dengan Kak
Vion.
Heh.
Benar-benar luar biasa.
“Kau
tidak menyukaiku?” suara Kak Vion terdengar lagi. Matanya menatapku dengan rasa
ingin tahu.
Kuhindari
pandangan matanya. “Bukan berarti aku tak menyukai Kak Vion.”
“Lalu?”
dia menuntut penjelasan.
“Aku
sendiri tak mengerti kenapa aku tak siap untuk jadi pacar Kak Vion.”
Dengan
cemas kugigit bibir bawahku sementara kakiku bergerak-gerak gelisah. Aku tak
ingin melihat wajah kecewa Kak Vion. Aku tak ingin dia marah padaku karena diriku
yang plin-plan. Tapi aku juga tak mau membuatnya kecewa.
“Kurasa
aku mengerti kenapa kau bersikap seperti ini padaku, Niken,” katanya lembut.
Dan aku mengadah keheranan, melihat langsung ke dalam matanya yang teduh.
Kak
Vion tengah menunduk menatapku. Bibirnya tersenyum tenang. Perlahan, dia
memegang kedua kepalaku dan mendekatkan dahinya dengan dahiku sampai kedua dahi
kami bertemu.
Aku
menatapnya dengan keheranan. Cara dia yang seperti ini sama seperti yang
dilakukan Nero padaku sewaktu di taman hiburan. Tapi, berbeda dengan Nero, aku
sama sekali tidak merasakan jantungku berdegup kencang. Aku merasa bahwa aku
biasa saja menghadapi pendekataan yang dilakukan olehnya.
“Kau
menyukai Nero, Niken,” kata Kak Vion.
Perkataan
Kak Vion terdengar jelas dan terus diulang tiada henti.
“Kau
menyukai Nero sampai-sampai tidak bisa melirikku lagi. Kau menyukai Nero
sehingga tak mau membaginya bersama orang lain. Kau menyukai Nero sepenuh
hatimu, Niken, dan aku bersedia mundur untuk menghormati pilihanmu.”
Aku
masih menatap Kak Vion, kebingungan. Walau aku tidak terlalu mengerti dengan
ucapannya barusan, aku tahu yang dia katakan benar. Perasaan ini bukan untuk
Kak Vion. Tapi untuk Nero. Dan aku telah jatuh cinta padanya dengan sepenuh
hatiku.
“Berbahagialah
dengannya, ya,” kata Kak Vion lagi, tersenyum kecil dan mencium dahiku dengan
sayang.
“Urm.”
“Tidak
apa-apa, Niken. Kita tetap teman baik,” Kak Vion melepasku, tersenyum lagi dan
berbalik pergi. Kulihat punggungnya yang tegar dari belakang. Dan aku merasa
bahwa dia keren sekali saat itu.
Itulah
Kak Vion, Ketua Osis kami. Dia orang yang sangat baik hati. Terlepas dari
segala hal yang terjadi selama ini, Kak Vion sudah menjadi bagian dari masa
laluku. Aku memang pernah mencintai orang itu. Tapi keberadaannya terganti dengan
Nero yang berhasil mengisi setiap hari-hariku dengan keusilannya dan tawanya.
Dan sungguh tak ada gunanya menyesali apa yang terjadi hari ini.
Aku
menyukai Nero. Itu sudah pasti.
Saatnya
memperbaiki hubungan kami dan menyatakan padanya mengenai perasaanku.
Tapi…
BAGAIMANA CARANYA?
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar