Debaran Dua Puluh Satu
Feeling
Jennifer
hanya mampu tersenyum melihat Nero menggandeng tangan Ageha, meladeni Ageha
bernyanyi-nyanyi, tidak memedulikan orang-orang yang melihat mereka berdua.
Nero memang selalu cuek pada sekitarnya jika sudah bersama Ageha. Jika bisa
membuat Ageha tertawa dan tersenyum, Nero akan melakukan apapun.
My
bonie is over the ocean
My
bonie is over the sea
My
bonie is over the ocean
Ooh
bring back my bonie to me
Bring
back bring back oh, bring back my bonie to me to me
Bring
back bring back oh, bring back my bonie to me to me
Setelah
selesai dengan lagu My Bonie, Ageha menyanyikan lagu lain lagi:
I
live in a beautiful house
I
live with my family
We
all are happy together
Because
we are loving each other
Home
sweet home is a best place
To
sleep to eat to do anything
And
no matter about the price
Cause
happiness can’t be bought
Matt
tertawa kecil saat Ageha melompat-lompat, kemudian berputar, memegangi tangan
Nero seolah dia berdansa dengan seorang pangeran tampan, lalu mengedip-ngedip.
“Abang,
lagi dong, lagi!” kata Ageha, menarik-narik tangan Nero. Sekarang seluruh
pengunjung mengawasi Nero. Melihat bagaimana sabarnya anak muda itu menghadapi
iblis kecil seperti Ageha. Beberapa cewek mengikik geli melihat Nero tersenyum.
“Aaah,
Nero benar-benar menarik perhatian,” kata Matt.
“Dan
dia tak sadar,” kata Jennifer setuju.
“When you feel so sad, I’ll make
happy. When you feel lonely, I’ll accompany. When you feel afraid, I’ll make
you feel peace. Do you know why?” Nero bernyanyi.
Ageha
menyambung bersemangat. “Because we are
family.”
“Right. Say again.”
“Because we are family!”
Ageha
tertawa saat Nero menggendongnya dan mendaratkan ciuman ke pipinya. Matt dan
Jennifer saling pandang, tersenyum bahagia melihat keluarga mereka. Tiba-tiba
seorang laki-laki berambut pirang datang ke hadapan Nero.
“Devon! Shit, don’t surprise me!”
kata Nero.
Devon
menaikan alisnya. “You’ll be running
again if I don’t.”
“What are you doing here?”
Nero bertanya keheranan.
“My little sister has a birthday
party. I wanna invite you since this morning but you did keep running from me.
What a coincidence. Come join us. We’ve
already booked a restaurant. And who's this little lady?”
Devon menunduk, menatap Ageha.
“My sister, Ageha.”
Nero tersenyum kecil.
Devon
tersenyum bersahabat, membuat Nero mengerjap keheranan. “Hallo, little princess, nice to meet you. I’m Devon. You’re
brother’s bestfriend.”
“H-h-h-hello,”
kata Ageha, memeluk leher Nero.
“She’s cute,”
kata Devon lagi. “Are they your parents?”
Devon melihat pada Matt dan Jennifer yang menatapnya keheranan.
“Oh, yeah. Mom, Dad, let me
introduce you guys. This is Devon,” kata Nero.
Dengan
sopan Devon berkata, “Hi, my name is
Devon.”
Jennifer
menutup mulutnya. “Devon? Oh, my God! I
never know you're quite handsome and gentle!”
"Uhu?"
Devon menaikan alis, menatap Nero, meminta penjelasan. Nero hanya menaikan bahu.
“Erm, there’s my sister party inside. Do
you want to join us, Mr and Mrs. Yudea?”
“Sure!”
kata Matt.
Devon
membimbing mereka masuk ke salah satu restoran yang tampak kosong tapi juga
sudah ramai dengan anak-anak dan beberapa keluarga mereka. Ada juga yang
seumuran mereka.
“Devon!”
seorang wanita berambut pirang dan duduk di kursi roda menyambut mereka di
depan pintu. “Where did you go? Oh my,
who are they?”
“Mom, I told you don’t hang around
here. Let me handle the rest.” Devon mendorong kursi
roda dan mereka masuk ke dalam restoran, mendekati sebuah meja yang ditempati
seorang pria berwajah ceria dan berambut keperakan. “This way, Mr and Mrs Yudea. They are my parents. That’s Dad and this
is Mom.”
Ayah
Devon tertawa. “It’s Ronald and Flowna,”
katanya pada Matt dan Jennifer lalu memberikan tangannya.
“Matt and Jennifer.”
Matt menjabat tangan Ronald.
“Devon told us about your son.
Thanks to you, Nero. He is gentler than before.”
Devon
memutar bola matanya. “Come on,”
katanya pada Nero. “I’d rather eat pizza
than hear his crap.”
Nero
tertawa, kemudian menurunkan Ageha. “Have
fun, Ageha.”
Ageha
segera melompat dan bermain dengan anak-anak seusianya, yang segera
menyambutnya dengan antusias. Nero mengikuti Devon mengambil makanan yang sudah
tersedia di meja.
“Jadi,
sejak kapan Flowna di kursi roda?” tanya Nero.
“Sejak
aku SMP,” jawab Devon menaikan bahunya. “Ke sini. Aku tak ingin terlibat gosip
dengan mereka,” dia mengedikan pandangan ke meja yang penuh diisi dengan remaja
wanita.
“Dan
mereka?”
“Salah
satu dari mereka Kakak-ku.”
Nero
duduk menghadap meja yang ditunjuk Devon. “Berapa saudaramu?”
“Enam.”
“Dan
kau anak ke?”
“Tiga.”
Itu
menjelaskan kenapa Devon begitu bersikap seperti seorang pengasuh. Punya begitu
banyak saudara dengan kondisi seorang Ibu yang sedang sakit membuat Devon
membangun kepribadian yang sedikit unik di dalam dirinya.
“Well, dimana putri yang sedang ulang
tahun?” kata Nero melihat sekeliling.
Devon
menunjuk ke tengah ruangan. Di dekat meja bundar duduk seorang gadis kecil
mengenakan gaun yang indah dan tengah mengacung-acungkan tongkatnya seolah dia
penyihir yang luar biasa. Rambut pirangnya diikat dengan mahkota bertengger di
kepalanya dan nyaris miring seluruhnya.
“She’s cute,”
kata Nero lagi.
“Yeah,”
Devon mengangguk. “Nero, you need phone.
It sucks to catch you.”
“Sorry,”
Nero nyengir lebar. “I already bought
one.” Dengan cepat Nero mengeluarkan ponselnya dan memberikan nomornya pada
Devon. “You owe me.”
“Shut up,” kata
Devon. “Do you really love her?”
“Devon…”
“I have no idea why you love her so
much. It doesn’t make sense,” Devon bergumam,
melirik meja remaja itu lagi. “She’s not
pretty, neither cute, and all the worst, she’s grumpy.”
Nero
menusuk tangannya dengan garpu.
“Ouch!”
Devon mengibas-ngibaskan tangannya. “What
the hell was that for?”
“Shut up, Devon.”
“She doesn’t deserve you.”
Devon tidak mendengarkan. “Wake up,
Dreamer.”
Nero
memutar bola matanya. “That’s not your
business, Devon. Don’t get jealous.”
“I don’t. I just pity on you.”
Devon geleng-geleng kepala. Sekali lagi, Nero menusuk tangannya yang satu lagi
dengan garpu.
“Shit, Nero! That’s hurt!”
menggeram jengkel, Devon mengambil garpunya dan menusuk tangan Nero yang lengah
di atas meja.
“Aw! Bad dog!”
gerutu Nero mengelus-elus tangannya.
Dan
dengan begitu, mereka lupa sama sekali dengan kejadian tadi pagi.
***The Flower
Boy Next Door***
Setelah
pulang dari pestanya Devon, Nero segera naik ke kamarnya, mengganti pakaiannya
dengan yang lebih nyaman untuk tidur, kemudian mengambil buku, lalu tiduran di
karpet empuknya—surga dari kamarnya.
Tapi,
belum lagi satu lembar buku selesai dibaca, ponselnya berdering. Sebuah pesan
baru saja masuk.
Ms. Lovely: Hi.
Tersenyum,
Nero menyingkirkan bukunya, membalas cepat, mengetik “Hi” dan menunggu. Benar
saja, baru sedetik, pesan lain muncul.
Ms. Lovely: Masih ingat aku kan?
Mr. Notion: Cewek cantik, susah
dilupain.
Ms. Lovely: Bisa aja :”)
Mr. Notion: J
Ms. Lovely: Kamu keren deh. Bareng
siapa tuh?
Mr. Notion: teman. Ada apa nih?
Ms. Lovely: emang ngobrol nggak
boleh?
Mr. Notion: Lebih suka face to face
Ms. Lovely: Ketemuan yuk
Mr. Notion: Ok. Dimana?
Setelah
mengatur dan memastikan tempat, jawdal dan kondisi pertemuan mereka, Nero
meletakan kembali ponselnya. Tapi pikirannya kembali melayang pada Ms. Lovely
yang baru dikenalnya sekitar dua jam lalu. Gadis itu cantik, manis, mempesona
dan baik hati. Tapi, bila dibandingkan dengan Niken—
“Nero.”
Perhatian
Nero teralih melihat Matt yang berdiri di depan pintu. Pria itu sudah
mengenakan piyama. Alis Nero naik sebelah melihatnya mendekat dan segera
merebahkan diri di samping Nero.
“Ada
apa, Dad? Bertengkar dengan Mom?”
“Tsk
tsk tsk. Hubungan kami selalu romantis. Kami Romeo dan Juliet modern. Lebih
keren dari Jack dan Rose.”
Nero
mendengus. “Keduanya berakhir dengan kematian tragis.”
“No shit, Sherlock,”
Matt memutar bola matanya. “You kill the
mood.”
“Sorry, Romeo,” gumam
Nero, membaca bukunya kembali.
Matt
melirik Nero sedikit dan menunggu dalam diam. Tapi dalam detik kesepuluh, dia
bosan. “Ada yang menarik?”
“Tidak
juga. Dumbledore hanya kebetulan mati.”
“Oh,
begitu.”
Hening
lagi. Tapi kali ini lebih canggung.
“Nero.”
“Hmmm?”
“Kau
suka di sini?”
“Mhm.”
“Tak
berniat untuk pindah lagi?”
Nero
menghela napas, menyingkirkan bukunya, kemudian memutar tubuhnya, menghadap
Matt. “Ok, mari kita bicara dari hati ke kati. Dad ingin menyampaikan apa
sebenarnya?”
Matt
menatapnya beberapa detik. “Kau sangat sensitif, ya kan Nero? Kau bisa
merasakan kekuatiranku. Aku tahu kau bisa.”
“Aku
akan baik-baik saja saat kau ke Denmark. Ada Zoe.”
“Benar.”
Matt tersenyum. “Berjanjilah padaku kalau kau tak boleh terluka lagi. Jangan
pegang-pegang beling atau pecahan apapun lagi.”
“Oke,”
kata Nero. Dokter Nathan berhasil meyakinkan Matt bahwa dia terluka akibat
pecahan beling. “Aku janji akan baik-baik saja. Oh, ya, Dad, hari ini Julian
membagikan formulir pendaftaran camping
tahunan. Kau harus menandatanganinya.”
“Nero—”
“Ada
Zoe.” Itu mantranya.
“Yeah, right,” gumam Matt. “Aku berpikir
untuk menambah—” dia berhenti, melihat wajah Nero yang siap meluapkan emosi.
“Oke. Zoe sudah cukup.”
Nero
segera tersenyum. “Nah, karena semua sudah jelas, Dad sudah bisa kembali ke
kamar dan tidur dengan tenang.”
“Aku
tidur denganmu,” kata Matt, merangkul Nero.
“Dad,
aku bukan anak kecil lagi.”
“Kau
tetap putra kecilku, Nero, seberapa besarnya pun kau.”
“Ya
ampun,” gumam Nero.
Matt
memeluk Nero, merasakan tubuh Nero yang sedikit berubah saat terakhir kali
mereka tidur bersama. Dulu, tubuh Nero begitu kecil, dengan mudah dapat dia
angkat dan selalu mendapatkan posisi di bahunya tiap kali mereka pergi ke
festifal. Sekarang, Nero sudah remaja, nyaris dewasa dengan bahu yang bidang,
suara yang sedikit berat dan ototnya yang keras. Tapi, Nero, tetaplah Nero,
putra kecilnya.
“Akan
kubacakan dongeng untukmu,” kata Matt tiba-tiba.
Nero
mengerang jengkel. “Dad, aku bukan Ageha!”
“Memang.
Tapi aku rindu membacakan dongeng untukmu. Aku terlalu sibuk bekerja sehingga
tak punya waktu melakukannya.”
“Dan
aku bersyukur kau tak mengulanginya pada Ageha.”
“Benar
sekali,” Matt mengangguk setuju. “Ini dia. Aku dapat dongeng yang bagus,”
katanya bergairah. Nero menaikan alisnya, tidak berkata apa-apa dan memilih
mendengarkan Matt—seperti yang sudah kalian ketahui, Nero-lah orang dewasa di
rumah ini.
“Pada
suatu hari, ada seorang Pangeran Tampan yang tinggal di istana,” Matt memulai.
“Selama beberapa tahun, sang Pangeran hidup seorang diri. Karena bosan, dia
keluar dari istana dan berjalan-jalan di hutan. Hanya saja, semakin lama
berjalan, si Pangeran semakin tersesat. Semakin masuk… masuk… dan masuk… dia
menemukan pondok tua gelap penuh tengkorak, tampak rapuh dan menyeramkan. Dari
dalam terdengar suara—”
“Dad!”
Nero menyalak jengkel karena suara Matt berubah menjadi lebih dramatis daripada
menyenangkan. “Aku tak suka cerita horor! Kau ingin membuatku mimpi buruk ya?”
Yang
mengherankan, Matt malah tertawa. “Kau masih percaya hantu itu ada?”
“Dad,”
geram Nero.
“Ok,
sori sori, aku tak akan berdongeng lagi.”
“Kau
pendongeng yang buruk. Aku curiga kau mendongengkan hal yang sama pada Ageha.”
Matt
tertawa dan kembali memeluk Nero. Tak lama, Matt bergumam, bernyanyi kecil pada
Nero. Nero menutup matanya, tersenyum sedikit.
“Nero.”
“Hmm?”
“Aku
suka pada Devon.”
“Aku
juga suka padanya,” kata Nero tak jelas.
Sambil
menepuk-nepuk bahu Nero, Matt kembali bernyanyi kecil. Dia mengamati baik-baik
putra kecilnya itu tertidur pulas di sampingnya. Nero semakin lama semakin
mirip dengan Theressa, begitu murni, begitu rapuh, tapi berusaha untuk tampak
tegar di luar.
“Mother…”
Tubuh
Matt membeku seketika mendengar Nero mengigau.
“Mother… Mother…”
Luka
itu belum sembuh sepenuhnya. Kejadian itu masih membekas di benak Nero,
menghantui mimpinya, menjadi teror dalam hidupnya, berulang kali, setiap hari.
“Mother…”
Matt
memeluk Nero semakin erat. Tidak lagi. Dia tak akan membuat Nero tersakiti
lebih dari ini. Dengan sekuat tenaga, dia akan menjaganya, melindunginya dari
psikopat gila yang sekarang berkeliaran.
“Maafkan
aku, Nero,” bisik Matt. “Aku telah membuatmu menghadapi masalah yang seharusnya
menjadi tanggung jawabku.”
Perasaan
bersalah yang menggantung di dada Matt, tak akan bisa menghapus dosanya pada
Nero.
***The Flower
Boy Next Door***
Pagi-pagi
sekali, aku sudah di sekolah, seperti biasa, sebagai pembuka gerbang. Lisa dan
beberapa anggota OSIS yang berada dalam naunganku juga sudah ada. Mereka sibuk
bergosip sementara para fans Nero and the
gank sedikit demi sedikit bertambah banyak. Uh, apa mereka tak bisa dengan
rutinitas itu?
“Niken.”
Suara
itu, suaranya Kak Vion. Aku langsung tersenyum. “Pagi, Kak.”
Bibirnya
segera tersenyum, manis sekali!
“Niken,
boleh bicara sebentar?” katanya.
Dahiku
mengerut dalam, tapi aku mengangguk. Dengan gugup, aku mengikutinya dari
belakang, melihat punggungnya, bertanya-tanya pembicaraan apa yang akan dia
katakan nanti. Beberapa hari ini terjadi beberapa kasus yang membuatku
keheranan tentang Kak Vion, dan Nero berhasil mengalihkan duniaku karena sibuk
mencemaskannya.
Uh,
sebenarnya apa sih yang kupikirkan beberapa hari ini?
Kak
Vion membawaku ke Ruang Musik—satu-satunya tempat paling aman karena jarang
dikunjungi. Piano yang diperbaiki Nero masih di sana. Aku ingat saat Nero
memainkan Un Suspiro padaku. Jujur
saja, dia keren sekali saat itu. sekarang, piano itu kembali dipakai di
pelajaran seni. Tapi, tak ada yang bisa menandingi kemampuan Nero.
Loh?
Tuh, kan, aku memikirkan Nero lagi. Akhir-akhir ini kepalaku dipenuhi bayangan
Nero dan semakin lama semakin menguatirkan.
“Niken,”
suara Kak Vion kembali mengalihkanku ke dunia nyata.
“Ya?”
“Ada
yang ingin kukatakan.”
Aku
mengangguk kecil dan menunggu dia bicara.
“Niken,
aku suka padamu.”
Aku
mengerjap. Huh? “Maaf?”
“Aku
bilang, aku suka padamu, Niken.”
Aku
menatapnya dalam beberapa detik. Bengong, heran, bingung, bercampur menjadi
satu. Apa ini? Apa yang kudengar barusan? Benarkah Kak Vion menyatakan
perasaannya padaku? Saat ini?
“Niken,
aku suka padamu dan tidak, kau tidak bermimpi. Ini kenyataan.”
Dia
mengulanginya dengan sangat sabar.
Itu
justru tidak lebih baik karena aku, bukannya merasa senang, malah bingung,
keheranan dan merasa—entahlah—aneh?
Bukankah
aku menyukai Kak Vion? Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa saat ini?
Bukankah ini yang kuharapkan? Aku sudah mengikat perjanjian dengan Nero bahwa
aku akan mendapatkan Kak Vion sebelum Nero masuk ke kelasku. Walau tanpa usaha,
aku berhasil, ya kan?
Kak
Vion menyukaiku dan aku menyukai Kak Vion, ya kan? Ya kan? Bukankah itu artinya
perasaanku dibalas? Kami saling menyukai.
Lalu,
kenapa aku merasa datar-datar saja?
Aku
menyukai Kak Vion, iya kan? Tapi kenapa aku malah mencari pembenaran dalam
pernyataanku barusan? Seolah aku menyangkal segala hal yang terjadi selama
setahun ini mengenai perasaanku padanya.
“Niken,
aku akan memberimu waktu untuk berpikir,” suara Kak Vion terdengar sayup-sayup
di telingaku.
Yang
aku rasakan adalah aku terjebak di sebuah ruangan kosong luas yang tak tahu
ujungnya ada di mana. Aku tak tahu harus berjalan kemana. Aku tak tahu arah
mana yang benar. Aku takut melangkah. Dan tindakanku justru tidak membawaku
kemana-mana,
Ini
tak benar sama sekali.
Aku suka Kak Vion.
Kepalaku mengulang kalimat itu sebagai mantra paling dahsyat dalam hidupku
dulu.
Aku
suka Kak Vion. Aku suka Vion. Aku menyukainya. Aku sangat menyukainya!
Sial.
Kenapa rasanya aneh sekali mengulang kalimat itu?
Aku
suka Kak Vion. Aku suka Kak Vion. Aku suka…
“Niken!”
Hanya
dengan memanggil namaku saja, jantungku langsung berdetak tak karuan. Seolah
tahu letak suara itu, instingku menggerakan kepalaku untuk menoleh cepat dan
mendapati Nero tengah berdiri di pintu ruang musik. Sejak kapan dia ada di
sini?
Wajahnya
tampak bahagia. Matanya bersinar jenaka dan senyumnya membuatku menegang.
Ini
tak normal. Kenapa aku bersikap seperti ini pada Nero?
“Niken!
Oi, Niken!”
“Apa?”
dengan jengkel aku menjawab. Harus ada penjelasan yang masuk akal kenapa aku
bersikap seperti ini padanya.
“Cewek
biasanya suka jalan kemana?”
“Kenapa
tanya aku? Kau kan bisa tanya Devon!”
Nero
memutar bola matanya. “Devon belum pernah kencan dan dia ditakuti cewek-cewek.
Zoe juga sama saja. Kau satu-satunya cewek yang dekat denganku. Beri aku
inspirasi! Aku kan tak tahu lokasi kencan yang bagus!”
Deg!
Jantungku… seakan baru saja ditindih bebatuan besar.
“Memangnya
kau mau kencan?” suaraku terdengar aneh sekali. Nero mengangguk. “Dengan
siapa?”
“Kalaupun
aku bilang, kau tak akan kenal.”
Itu
benar. Tapi enah kenapa aku ingin tahu? Walau ada kekecewaan yang terasa pahit
sekali saat ini di dadaku, aku tak ingin dia kencan. Aku ini kenapa sih?
“Kecuali
kau ikutan, Niken. Mau ikut?”
Tanpa
sadar, aku menjawab, “Mau! Aku mau ikut!” dengan begitu bersemangat, membuat
Nero mengerjap lalu terbahak. Loh? Apa-apan ini? Kenapa aku jadi begini?
“Oke.
Sabtu siang tunggu di depan gerbang rumah ya. Oh, ya, minta nomormu dong. Aku
baru beli ponsel baru.”
“Ok.”
Begitu
kami berdua saling tukar nomor, Nero tersenyum lagi.
“Apa?
Jangan senyam-senyum begitu.”
“Daddy
baru pergi tadi pagi. Tch! Aku tak punya teman main. Boleh aku main ke rumahmu
bareng Ageha?”
“Nggak
boleh.”
“Pelit.”
Sambil
menjulurkan lidahnya, Nero keluar dari ruang musik. Ya Tuhan… kurasa aku mulai
bisa menduga apa yang kurasakan. Tidak tidak tidak tidak tidak. Ini tak
mungkin.
Aku
tak mungkin jatuh cinta pada Nero kan?
***The Flower
Boy Next Door***
Ini
pertama kalinya Nero makan di kantin. Devon menaikan alisnya tiap kali
Nero—dengan begitu bersemangat—mengambil makanan. Zoe ada di belakangnya,
menjaga dengan sepenuh hati—tidak banyak bicara, tidak banyak bergerak dan
tidak banyak ekspresi. Hmph! Bodyguard
Nero yang satu itu lebih diterima Devon untuk berkeliaran di sekitar Nero
daripada Vion. Setidaknya, dia tak akan melakukan sesuatu yang melukai Nero.
Nero masih belum memberitahu kenapa tangan kirinya diperban begitu dan Devon
merasa ada luka lain di tubuhnya. Yep, tangan kanannya.
Devon
mengambil nampan Nero dengan cepat begitu melihat tangan kanan Nero bergetar
pelan. Alis Nero menaik.
“I’ll take this for you,”
kata Devon pelan.
“Thank you,”
kata Nero dan dia merogoh ponselnya, melihat ada pesan yang masuk. Devon
memperhatikan, setiap kali ponselnya berbunyi, Nero selalu cengar-cengir
sendiri, membalas pesan dengan cepat, lalu beralih ke dunia nyata. Tapi, yang
membuat Devon jengkel adalah karena ponsel itu berbunyi setiap saat seperti jam
alarm. Nero tidak pernah begitu sibuk meladeni orang sebelumnya—bahkan dengan
begitu banyak kerumunan temannya—tapi sejak dia punya ponsel menyebalkan itu,
Nero sepertinya melupakan orang di sekitarnya.
Devon
segera mengambil ponsel itu.
Nero
protes. “Devon!” katanya jengkel.
“I take a look for a minute,”
kata Devon, menjauhkan ponsel Nero dari jangkauan. Tingkah mereka menarik
perhatian penghuni kantin. Nero berusaha mengambil ponselnya, tapi Devon
berhasil menyingkirkannya.
“Father, do something!”
Nero mengadu pada Zoe.
Zoe
menaikan alisnya. “Since when I gave a
birth for you?”
“Just snatch my phone!”
perintah Nero.
Zoe
menghela napas. Kalah. “Devon, give his
damn phone—ouch!” Devon menempeleng kepalanya, menyuruhnya diam. “Shit. You dead meat.”
“Who’s Miss Lovely?”
Devon tidak memedulikannya dan memilih menatap Nero. “Your girlfriend?”
“I won’t tell you anything,”
kata Nero, mengambil ponselnya dengan segera.
“You guys plan a date,”
kata Devon.
Nero
memelototinya. “Mo-ther-shut-it.”
“I’m not your mother,”
kata Devon.
“Then, my nanny.”
Nero membalas, tampak jengkel sewaktu duduk di meja dekat jendela dan kembali
sibuk dengan ponselnya lagi.
“Ok. Cut it out,”
Devon menyerah, mengikuti Nero duduk. Zoe menyusul di belakang.
Nero
mendelik jengkel sedetik padanya, tapi segera mengambil nampan yang disodorkan
Devon padanya. Dalam dua menit, Nero nyaris menghabiskan makanannya tanpa
bicara. Dia melampiaskan kemarahannya pada makanan. Devon dan Zoe hanya saling
lirik melihat tingkahnya, tapi memilih tidak mengatakan apapun.
Ponsel
Nero begetar lagi. Dengan cepat Nero mengangakatnya. Wajahnya berubah cerah
dalam seketika.
“Devon,”
katanya, menatap Devon.
“What?”
kata Devon memakan rotinya, sementara Zoe meminum jus soft drink.
“Have a date with me,”
katanya.
Zoe
segera menyemburkan jusnya sementara Devon terbatuk-batuk karena menelan roti
tanpa ditelan terlebih dahulu. Tidak memedulikan mereka berdua, Nero malah melanjutkan
seakan tidak ada interupsi.
“Be my boyfriend, please?”
“Nero, what the hell are you
thinking? Do you realize what are you saying?”
kata Zoe yang berhasil mendapatkan kesadarannya terlebih dahulu.
“Of course I do,”
katanya sambil tersenyum lebar dan kembali melihat Devon. “Please?”
Baik
Devon dan Zoe segera merinding.
“Sorry, Nero. I don’t swing that
way,” kata Devon pada akhirnya. Tenang dan tegas.
“Tch,”
gumam Nero. “Then I’ll ask Vion—”
“Ok. Fine! Shit! Why’d you always saying
his name?” kata Devon cepat. Zoe memandangnya dengan
keheranan. “You won, Jerk. Damn, what the
hell am I thinking?”
“You thinking nothing, fool,”
gumam Zoe.
“Yeah, nice try, Asshole,”
balas Devon.
“Don’t worry, Devon. I’ll try not
to kiss you,” kata Nero, matanya masih saja pada
ponselnya.
“It doesn’t make me feel any
better, Shit. Stop saying nonsense. You creeping me out,”
kata Devon lagi, melemparkan kacangnya pada Nero.
Nero
tidak memedulikannya, jarinya dengan cepat membalas pesan pada siapapun itu
yang ada di ponselnya, lalu setelah selesai dia mengadah. “Be handsome and gantle, Devon. We have a blind date.”
“Ow, shit,”
gumam Zoe. Devon tak bisa berkata-kata. Dia ingin mencekik Nero saat ini juga.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar