RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 18 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Satu)


Debaran Dua Puluh Satu
Feeling
Jennifer hanya mampu tersenyum melihat Nero menggandeng tangan Ageha, meladeni Ageha bernyanyi-nyanyi, tidak memedulikan orang-orang yang melihat mereka berdua. Nero memang selalu cuek pada sekitarnya jika sudah bersama Ageha. Jika bisa membuat Ageha tertawa dan tersenyum, Nero akan melakukan apapun.
My bonie is over the ocean
My bonie is over the sea
My bonie is over the ocean
Ooh bring back my bonie to me
Bring back bring back oh, bring back my bonie to me to me
Bring back bring back oh, bring back my bonie to me to me

Setelah selesai dengan lagu My Bonie, Ageha menyanyikan lagu lain lagi:
I live in a beautiful house
I live with my family
We all are happy together
Because we are loving each other
Home sweet home is a best place
To sleep to eat to do anything
And no matter about the price
Cause happiness can’t be bought

Matt tertawa kecil saat Ageha melompat-lompat, kemudian berputar, memegangi tangan Nero seolah dia berdansa dengan seorang pangeran tampan, lalu mengedip-ngedip.
“Abang, lagi dong, lagi!” kata Ageha, menarik-narik tangan Nero. Sekarang seluruh pengunjung mengawasi Nero. Melihat bagaimana sabarnya anak muda itu menghadapi iblis kecil seperti Ageha. Beberapa cewek mengikik geli melihat Nero tersenyum.
“Aaah, Nero benar-benar menarik perhatian,” kata Matt.
“Dan dia tak sadar,” kata Jennifer setuju.
“When you feel so sad, I’ll make happy. When you feel lonely, I’ll accompany. When you feel afraid, I’ll make you feel peace. Do you know why?” Nero bernyanyi.
Ageha menyambung bersemangat. “Because we are family.”
“Right. Say again.”
“Because we are family!”
Ageha tertawa saat Nero menggendongnya dan mendaratkan ciuman ke pipinya. Matt dan Jennifer saling pandang, tersenyum bahagia melihat keluarga mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki berambut pirang datang ke hadapan Nero.
“Devon! Shit, don’t surprise me!” kata Nero.
Devon menaikan alisnya. “You’ll be running again if I don’t.”
“What are you doing here?” Nero bertanya keheranan.
“My little sister has a birthday party. I wanna invite you since this morning but you did keep running from me. What a  coincidence. Come join us. We’ve already booked a restaurant. And who's this little lady?” Devon menunduk, menatap Ageha.
“My sister, Ageha.” Nero tersenyum kecil.
Devon tersenyum bersahabat, membuat Nero mengerjap keheranan. “Hallo, little princess, nice to meet you. I’m Devon. You’re brother’s bestfriend.”
“H-h-h-hello,” kata Ageha, memeluk leher Nero.
“She’s cute,” kata Devon lagi. “Are they your parents?” Devon melihat pada Matt dan Jennifer yang menatapnya keheranan.
“Oh, yeah. Mom, Dad, let me introduce you guys. This is Devon,” kata Nero.
Dengan sopan Devon berkata, “Hi, my name is Devon.”
Jennifer menutup mulutnya. “Devon? Oh, my God! I never know you're quite handsome and gentle!”
"Uhu?" Devon menaikan alis, menatap Nero, meminta penjelasan. Nero hanya menaikan bahu. “Erm, there’s my sister party inside. Do you want to join us, Mr and Mrs. Yudea?”
“Sure!” kata Matt.
Devon membimbing mereka masuk ke salah satu restoran yang tampak kosong tapi juga sudah ramai dengan anak-anak dan beberapa keluarga mereka. Ada juga yang seumuran mereka.
“Devon!” seorang wanita berambut pirang dan duduk di kursi roda menyambut mereka di depan pintu. “Where did you go? Oh my, who are they?”
“Mom, I told you don’t hang around here. Let me handle the rest.” Devon mendorong kursi roda dan mereka masuk ke dalam restoran, mendekati sebuah meja yang ditempati seorang pria berwajah ceria dan berambut keperakan. “This way, Mr and Mrs Yudea. They are my parents. That’s Dad and this is Mom.”
Ayah Devon tertawa. “It’s Ronald and Flowna,” katanya pada Matt dan Jennifer lalu memberikan tangannya.
“Matt and Jennifer.” Matt menjabat tangan Ronald.
“Devon told us about your son. Thanks to you, Nero. He is gentler than before.”
Devon memutar bola matanya. “Come on,” katanya pada Nero. “I’d rather eat pizza than hear his crap.”
Nero tertawa, kemudian menurunkan Ageha. “Have fun, Ageha.”
Ageha segera melompat dan bermain dengan anak-anak seusianya, yang segera menyambutnya dengan antusias. Nero mengikuti Devon mengambil makanan yang sudah tersedia di meja.
“Jadi, sejak kapan Flowna di kursi roda?” tanya Nero.
“Sejak aku SMP,” jawab Devon menaikan bahunya. “Ke sini. Aku tak ingin terlibat gosip dengan mereka,” dia mengedikan pandangan ke meja yang penuh diisi dengan remaja wanita.
“Dan mereka?”
“Salah satu dari mereka Kakak-ku.”
Nero duduk menghadap meja yang ditunjuk Devon. “Berapa saudaramu?”
“Enam.”
“Dan kau anak ke?”
“Tiga.”
Itu menjelaskan kenapa Devon begitu bersikap seperti seorang pengasuh. Punya begitu banyak saudara dengan kondisi seorang Ibu yang sedang sakit membuat Devon membangun kepribadian yang sedikit unik di dalam dirinya.
Well, dimana putri yang sedang ulang tahun?” kata Nero melihat sekeliling.
Devon menunjuk ke tengah ruangan. Di dekat meja bundar duduk seorang gadis kecil mengenakan gaun yang indah dan tengah mengacung-acungkan tongkatnya seolah dia penyihir yang luar biasa. Rambut pirangnya diikat dengan mahkota bertengger di kepalanya dan nyaris miring seluruhnya.
“She’s cute,” kata Nero lagi.
“Yeah,” Devon mengangguk. “Nero, you need phone. It sucks to catch you.”
“Sorry,” Nero nyengir lebar. “I already bought one.” Dengan cepat Nero mengeluarkan ponselnya dan memberikan nomornya pada Devon. “You owe me.”
“Shut up,” kata Devon. “Do you really love her?”
“Devon…”
“I have no idea why you love her so much. It doesn’t make sense,” Devon bergumam, melirik meja remaja itu lagi. “She’s not pretty, neither cute, and all the worst, she’s grumpy.”
Nero menusuk tangannya dengan garpu.
“Ouch!” Devon mengibas-ngibaskan tangannya. “What the hell was that for?”
“Shut up, Devon.”
“She doesn’t deserve you.” Devon tidak mendengarkan. “Wake up, Dreamer.”
Nero memutar bola matanya. “That’s not your business, Devon. Don’t get jealous.”
“I don’t. I just pity on you.” Devon geleng-geleng kepala. Sekali lagi, Nero menusuk tangannya yang satu lagi dengan garpu.
“Shit, Nero! That’s hurt!” menggeram jengkel, Devon mengambil garpunya dan menusuk tangan Nero yang lengah di atas meja.
“Aw! Bad dog!” gerutu Nero mengelus-elus tangannya.
Dan dengan begitu, mereka lupa sama sekali dengan kejadian tadi pagi.
***The Flower Boy Next Door***
Setelah pulang dari pestanya Devon, Nero segera naik ke kamarnya, mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman untuk tidur, kemudian mengambil buku, lalu tiduran di karpet empuknya—surga dari kamarnya.
Tapi, belum lagi satu lembar buku selesai dibaca, ponselnya berdering. Sebuah pesan baru saja masuk.
Ms. Lovely: Hi.
Tersenyum, Nero menyingkirkan bukunya, membalas cepat, mengetik “Hi” dan menunggu. Benar saja, baru sedetik, pesan lain muncul.
Ms. Lovely: Masih ingat aku kan?
Mr. Notion: Cewek cantik, susah dilupain.
Ms. Lovely: Bisa aja :”)
Mr. Notion: J
Ms. Lovely: Kamu keren deh. Bareng siapa tuh?
Mr. Notion: teman. Ada apa nih?
Ms. Lovely: emang ngobrol nggak boleh?
Mr. Notion: Lebih suka face to face
Ms. Lovely: Ketemuan yuk
Mr. Notion: Ok. Dimana?
Setelah mengatur dan memastikan tempat, jawdal dan kondisi pertemuan mereka, Nero meletakan kembali ponselnya. Tapi pikirannya kembali melayang pada Ms. Lovely yang baru dikenalnya sekitar dua jam lalu. Gadis itu cantik, manis, mempesona dan baik hati. Tapi, bila dibandingkan dengan Niken—
“Nero.”
Perhatian Nero teralih melihat Matt yang berdiri di depan pintu. Pria itu sudah mengenakan piyama. Alis Nero naik sebelah melihatnya mendekat dan segera merebahkan diri di samping Nero.
“Ada apa, Dad? Bertengkar dengan Mom?”
“Tsk tsk tsk. Hubungan kami selalu romantis. Kami Romeo dan Juliet modern. Lebih keren dari Jack dan Rose.”
Nero mendengus. “Keduanya berakhir dengan kematian tragis.”
“No shit, Sherlock,” Matt memutar bola matanya. “You kill the mood.”
“Sorry, Romeo,” gumam Nero, membaca bukunya kembali.
Matt melirik Nero sedikit dan menunggu dalam diam. Tapi dalam detik kesepuluh, dia bosan. “Ada yang menarik?”
“Tidak juga. Dumbledore hanya kebetulan mati.”
“Oh, begitu.”
Hening lagi. Tapi kali ini lebih canggung.
“Nero.”
“Hmmm?”
“Kau suka di sini?”
“Mhm.”
“Tak berniat untuk pindah lagi?”
Nero menghela napas, menyingkirkan bukunya, kemudian memutar tubuhnya, menghadap Matt. “Ok, mari kita bicara dari hati ke kati. Dad ingin menyampaikan apa sebenarnya?”
Matt menatapnya beberapa detik. “Kau sangat sensitif, ya kan Nero? Kau bisa merasakan kekuatiranku. Aku tahu kau bisa.”
“Aku akan baik-baik saja saat kau ke Denmark. Ada Zoe.”
“Benar.” Matt tersenyum. “Berjanjilah padaku kalau kau tak boleh terluka lagi. Jangan pegang-pegang beling atau pecahan apapun lagi.”
“Oke,” kata Nero. Dokter Nathan berhasil meyakinkan Matt bahwa dia terluka akibat pecahan beling. “Aku janji akan baik-baik saja. Oh, ya, Dad, hari ini Julian membagikan formulir pendaftaran camping tahunan. Kau harus menandatanganinya.”
“Nero—”
“Ada Zoe.” Itu mantranya.
Yeah, right,” gumam Matt. “Aku berpikir untuk menambah—” dia berhenti, melihat wajah Nero yang siap meluapkan emosi. “Oke. Zoe sudah cukup.”
Nero segera tersenyum. “Nah, karena semua sudah jelas, Dad sudah bisa kembali ke kamar dan tidur dengan tenang.”
“Aku tidur denganmu,” kata Matt, merangkul Nero.
“Dad, aku bukan anak kecil lagi.”
“Kau tetap putra kecilku, Nero, seberapa besarnya pun kau.”
“Ya ampun,” gumam Nero.
Matt memeluk Nero, merasakan tubuh Nero yang sedikit berubah saat terakhir kali mereka tidur bersama. Dulu, tubuh Nero begitu kecil, dengan mudah dapat dia angkat dan selalu mendapatkan posisi di bahunya tiap kali mereka pergi ke festifal. Sekarang, Nero sudah remaja, nyaris dewasa dengan bahu yang bidang, suara yang sedikit berat dan ototnya yang keras. Tapi, Nero, tetaplah Nero, putra kecilnya.
“Akan kubacakan dongeng untukmu,” kata Matt tiba-tiba.
Nero mengerang jengkel. “Dad, aku bukan Ageha!”
“Memang. Tapi aku rindu membacakan dongeng untukmu. Aku terlalu sibuk bekerja sehingga tak punya waktu melakukannya.”
“Dan aku bersyukur kau tak mengulanginya pada Ageha.”
“Benar sekali,” Matt mengangguk setuju. “Ini dia. Aku dapat dongeng yang bagus,” katanya bergairah. Nero menaikan alisnya, tidak berkata apa-apa dan memilih mendengarkan Matt—seperti yang sudah kalian ketahui, Nero-lah orang dewasa di rumah ini.
“Pada suatu hari, ada seorang Pangeran Tampan yang tinggal di istana,” Matt memulai. “Selama beberapa tahun, sang Pangeran hidup seorang diri. Karena bosan, dia keluar dari istana dan berjalan-jalan di hutan. Hanya saja, semakin lama berjalan, si Pangeran semakin tersesat. Semakin masuk… masuk… dan masuk… dia menemukan pondok tua gelap penuh tengkorak, tampak rapuh dan menyeramkan. Dari dalam terdengar suara—”
“Dad!” Nero menyalak jengkel karena suara Matt berubah menjadi lebih dramatis daripada menyenangkan. “Aku tak suka cerita horor! Kau ingin membuatku mimpi buruk ya?”
Yang mengherankan, Matt malah tertawa. “Kau masih percaya hantu itu ada?”
“Dad,” geram Nero.
“Ok, sori sori, aku tak akan berdongeng lagi.”
“Kau pendongeng yang buruk. Aku curiga kau mendongengkan hal yang sama pada Ageha.”
Matt tertawa dan kembali memeluk Nero. Tak lama, Matt bergumam, bernyanyi kecil pada Nero. Nero menutup matanya, tersenyum sedikit.
“Nero.”
“Hmm?”
“Aku suka pada Devon.”
“Aku juga suka padanya,” kata Nero tak jelas.
Sambil menepuk-nepuk bahu Nero, Matt kembali bernyanyi kecil. Dia mengamati baik-baik putra kecilnya itu tertidur pulas di sampingnya. Nero semakin lama semakin mirip dengan Theressa, begitu murni, begitu rapuh, tapi berusaha untuk tampak tegar di luar.
“Mother…”
Tubuh Matt membeku seketika mendengar Nero mengigau.
“Mother… Mother…”
Luka itu belum sembuh sepenuhnya. Kejadian itu masih membekas di benak Nero, menghantui mimpinya, menjadi teror dalam hidupnya, berulang kali, setiap hari.
“Mother…”
Matt memeluk Nero semakin erat. Tidak lagi. Dia tak akan membuat Nero tersakiti lebih dari ini. Dengan sekuat tenaga, dia akan menjaganya, melindunginya dari psikopat gila yang sekarang berkeliaran.
“Maafkan aku, Nero,” bisik Matt. “Aku telah membuatmu menghadapi masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawabku.”
Perasaan bersalah yang menggantung di dada Matt, tak akan bisa menghapus dosanya pada Nero.
***The Flower Boy Next Door***
Pagi-pagi sekali, aku sudah di sekolah, seperti biasa, sebagai pembuka gerbang. Lisa dan beberapa anggota OSIS yang berada dalam naunganku juga sudah ada. Mereka sibuk bergosip sementara para fans Nero and the gank sedikit demi sedikit bertambah banyak. Uh, apa mereka tak bisa dengan rutinitas itu?
“Niken.”
Suara itu, suaranya Kak Vion. Aku langsung tersenyum. “Pagi, Kak.”
Bibirnya segera tersenyum, manis sekali!
“Niken, boleh bicara sebentar?” katanya.
Dahiku mengerut dalam, tapi aku mengangguk. Dengan gugup, aku mengikutinya dari belakang, melihat punggungnya, bertanya-tanya pembicaraan apa yang akan dia katakan nanti. Beberapa hari ini terjadi beberapa kasus yang membuatku keheranan tentang Kak Vion, dan Nero berhasil mengalihkan duniaku karena sibuk mencemaskannya.
Uh, sebenarnya apa sih yang kupikirkan beberapa hari ini?
Kak Vion membawaku ke Ruang Musik—satu-satunya tempat paling aman karena jarang dikunjungi. Piano yang diperbaiki Nero masih di sana. Aku ingat saat Nero memainkan Un Suspiro padaku. Jujur saja, dia keren sekali saat itu. sekarang, piano itu kembali dipakai di pelajaran seni. Tapi, tak ada yang bisa menandingi kemampuan Nero.
Loh? Tuh, kan, aku memikirkan Nero lagi. Akhir-akhir ini kepalaku dipenuhi bayangan Nero dan semakin lama semakin menguatirkan.
“Niken,” suara Kak Vion kembali mengalihkanku ke dunia nyata.
“Ya?”
“Ada yang ingin kukatakan.”
Aku mengangguk kecil dan menunggu dia bicara.
“Niken, aku suka padamu.”
Aku mengerjap. Huh? “Maaf?”
“Aku bilang, aku suka padamu, Niken.”
Aku menatapnya dalam beberapa detik. Bengong, heran, bingung, bercampur menjadi satu. Apa ini? Apa yang kudengar barusan? Benarkah Kak Vion menyatakan perasaannya padaku? Saat ini?
“Niken, aku suka padamu dan tidak, kau tidak bermimpi. Ini kenyataan.”
Dia mengulanginya dengan sangat sabar.
Itu justru tidak lebih baik karena aku, bukannya merasa senang, malah bingung, keheranan dan merasa—entahlah—aneh?
Bukankah aku menyukai Kak Vion? Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa saat ini? Bukankah ini yang kuharapkan? Aku sudah mengikat perjanjian dengan Nero bahwa aku akan mendapatkan Kak Vion sebelum Nero masuk ke kelasku. Walau tanpa usaha, aku berhasil, ya kan?
Kak Vion menyukaiku dan aku menyukai Kak Vion, ya kan? Ya kan? Bukankah itu artinya perasaanku dibalas? Kami saling menyukai.
Lalu, kenapa aku merasa datar-datar saja?
Aku menyukai Kak Vion, iya kan? Tapi kenapa aku malah mencari pembenaran dalam pernyataanku barusan? Seolah aku menyangkal segala hal yang terjadi selama setahun ini mengenai perasaanku padanya.
“Niken, aku akan memberimu waktu untuk berpikir,” suara Kak Vion terdengar sayup-sayup di telingaku.
Yang aku rasakan adalah aku terjebak di sebuah ruangan kosong luas yang tak tahu ujungnya ada di mana. Aku tak tahu harus berjalan kemana. Aku tak tahu arah mana yang benar. Aku takut melangkah. Dan tindakanku justru tidak membawaku kemana-mana,
Ini tak benar sama sekali.
Aku suka Kak Vion. Kepalaku mengulang kalimat itu sebagai mantra paling dahsyat dalam hidupku dulu.
Aku suka Kak Vion. Aku suka Vion. Aku menyukainya. Aku sangat menyukainya!
Sial. Kenapa rasanya aneh sekali mengulang kalimat itu?
Aku suka Kak Vion. Aku suka Kak Vion. Aku suka…
“Niken!”
Hanya dengan memanggil namaku saja, jantungku langsung berdetak tak karuan. Seolah tahu letak suara itu, instingku menggerakan kepalaku untuk menoleh cepat dan mendapati Nero tengah berdiri di pintu ruang musik. Sejak kapan dia ada di sini?
Wajahnya tampak bahagia. Matanya bersinar jenaka dan senyumnya membuatku menegang.
Ini tak normal. Kenapa aku bersikap seperti ini pada Nero?
“Niken! Oi, Niken!”
“Apa?” dengan jengkel aku menjawab. Harus ada penjelasan yang masuk akal kenapa aku bersikap seperti ini padanya.
“Cewek biasanya suka jalan kemana?”
“Kenapa tanya aku? Kau kan bisa tanya Devon!”
Nero memutar bola matanya. “Devon belum pernah kencan dan dia ditakuti cewek-cewek. Zoe juga sama saja. Kau satu-satunya cewek yang dekat denganku. Beri aku inspirasi! Aku kan tak tahu lokasi kencan yang bagus!”
Deg! Jantungku… seakan baru saja ditindih bebatuan besar.
“Memangnya kau mau kencan?” suaraku terdengar aneh sekali. Nero mengangguk. “Dengan siapa?”
“Kalaupun aku bilang, kau tak akan kenal.”
Itu benar. Tapi enah kenapa aku ingin tahu? Walau ada kekecewaan yang terasa pahit sekali saat ini di dadaku, aku tak ingin dia kencan. Aku ini kenapa sih?
“Kecuali kau ikutan, Niken. Mau ikut?”
Tanpa sadar, aku menjawab, “Mau! Aku mau ikut!” dengan begitu bersemangat, membuat Nero mengerjap lalu terbahak. Loh? Apa-apan ini? Kenapa aku jadi begini?
“Oke. Sabtu siang tunggu di depan gerbang rumah ya. Oh, ya, minta nomormu dong. Aku baru beli ponsel baru.”
“Ok.”
Begitu kami berdua saling tukar nomor, Nero tersenyum lagi.
“Apa? Jangan senyam-senyum begitu.”
“Daddy baru pergi tadi pagi. Tch! Aku tak punya teman main. Boleh aku main ke rumahmu bareng Ageha?”
“Nggak boleh.”
“Pelit.”
Sambil menjulurkan lidahnya, Nero keluar dari ruang musik. Ya Tuhan… kurasa aku mulai bisa menduga apa yang kurasakan. Tidak tidak tidak tidak tidak. Ini tak mungkin.
Aku tak mungkin jatuh cinta pada Nero kan?
***The Flower Boy Next Door***
Ini pertama kalinya Nero makan di kantin. Devon menaikan alisnya tiap kali Nero—dengan begitu bersemangat—mengambil makanan. Zoe ada di belakangnya, menjaga dengan sepenuh hati—tidak banyak bicara, tidak banyak bergerak dan tidak banyak ekspresi. Hmph! Bodyguard Nero yang satu itu lebih diterima Devon untuk berkeliaran di sekitar Nero daripada Vion. Setidaknya, dia tak akan melakukan sesuatu yang melukai Nero. Nero masih belum memberitahu kenapa tangan kirinya diperban begitu dan Devon merasa ada luka lain di tubuhnya. Yep, tangan kanannya.
Devon mengambil nampan Nero dengan cepat begitu melihat tangan kanan Nero bergetar pelan. Alis Nero menaik.
“I’ll take this for you,” kata Devon pelan.
“Thank you,” kata Nero dan dia merogoh ponselnya, melihat ada pesan yang masuk. Devon memperhatikan, setiap kali ponselnya berbunyi, Nero selalu cengar-cengir sendiri, membalas pesan dengan cepat, lalu beralih ke dunia nyata. Tapi, yang membuat Devon jengkel adalah karena ponsel itu berbunyi setiap saat seperti jam alarm. Nero tidak pernah begitu sibuk meladeni orang sebelumnya—bahkan dengan begitu banyak kerumunan temannya—tapi sejak dia punya ponsel menyebalkan itu, Nero sepertinya melupakan orang di sekitarnya.
Devon segera mengambil ponsel itu.
Nero protes. “Devon!” katanya jengkel.
“I take a look for a minute,” kata Devon, menjauhkan ponsel Nero dari jangkauan. Tingkah mereka menarik perhatian penghuni kantin. Nero berusaha mengambil ponselnya, tapi Devon berhasil menyingkirkannya.
“Father, do something!” Nero mengadu pada Zoe.
Zoe menaikan alisnya. “Since when I gave a birth for you?”
“Just snatch my phone!” perintah Nero.
Zoe menghela napas. Kalah. “Devon, give his damn phone—ouch!” Devon menempeleng kepalanya, menyuruhnya diam. “Shit. You dead meat.”
“Who’s Miss Lovely?” Devon tidak memedulikannya dan memilih menatap Nero. “Your girlfriend?”
“I won’t tell you anything,” kata Nero, mengambil ponselnya dengan segera.
“You guys plan a date,” kata Devon.
Nero memelototinya. “Mo-ther-shut-it.”
“I’m not your mother,” kata Devon.
“Then, my nanny.” Nero membalas, tampak jengkel sewaktu duduk di meja dekat jendela dan kembali sibuk dengan ponselnya lagi.
“Ok. Cut it out,” Devon menyerah, mengikuti Nero duduk. Zoe menyusul di belakang.
Nero mendelik jengkel sedetik padanya, tapi segera mengambil nampan yang disodorkan Devon padanya. Dalam dua menit, Nero nyaris menghabiskan makanannya tanpa bicara. Dia melampiaskan kemarahannya pada makanan. Devon dan Zoe hanya saling lirik melihat tingkahnya, tapi memilih tidak mengatakan apapun.
Ponsel Nero begetar lagi. Dengan cepat Nero mengangakatnya. Wajahnya berubah cerah dalam seketika.
“Devon,” katanya, menatap Devon.
“What?” kata Devon memakan rotinya, sementara Zoe meminum jus soft drink.
“Have a date with me,” katanya.
Zoe segera menyemburkan jusnya sementara Devon terbatuk-batuk karena menelan roti tanpa ditelan terlebih dahulu. Tidak memedulikan mereka berdua, Nero malah melanjutkan seakan tidak ada interupsi.
“Be my boyfriend, please?”
“Nero, what the hell are you thinking? Do you realize what are you saying?” kata Zoe yang berhasil mendapatkan kesadarannya terlebih dahulu.
“Of course I do,” katanya sambil tersenyum lebar dan kembali melihat Devon. “Please?”
Baik Devon dan Zoe segera merinding.
“Sorry, Nero. I don’t swing that way,” kata Devon pada akhirnya. Tenang dan tegas.
“Tch,” gumam Nero. “Then I’ll ask Vion—”
“Ok. Fine! Shit! Why’d you always saying his name?” kata Devon cepat. Zoe memandangnya dengan keheranan. “You won, Jerk. Damn, what the hell am I thinking?”
“You thinking nothing, fool,” gumam Zoe.
“Yeah, nice try, Asshole,” balas Devon.
“Don’t worry, Devon. I’ll try not to kiss you,” kata Nero, matanya masih saja pada ponselnya.
“It doesn’t make me feel any better, Shit. Stop saying nonsense. You creeping me out,” kata Devon lagi, melemparkan kacangnya pada Nero.
Nero tidak memedulikannya, jarinya dengan cepat membalas pesan pada siapapun itu yang ada di ponselnya, lalu setelah selesai dia mengadah. “Be handsome and gantle, Devon. We have a blind date.”
“Ow, shit,” gumam Zoe. Devon tak bisa berkata-kata. Dia ingin mencekik Nero saat ini juga.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.