Debaran Sembilan Belas
Karpet Tanda Tanya
Aku
ketakutan melihat Nero terluka parah seperti itu. Siapa yang membuat Nero jadi
seperti itu? Tiba-tiba aku mengingat surat berdarah itu. Apakah orang yang
melukai Nero adalah orang yang sama yang membuat surat itu?
Pria
yang bernama Felix itu segera menggendong Nero yang tak sadarkan diri di
punggungnya sementar kami berlari cepat menuju jeep yang sengaja diparkir di
dekat situ. Alex—ya kan?—segera membuka pintu dan masuk terlebih dahulu untuk
bisa menarik tubuh Nero dari belakang.
“Angkat
tangan kanannya lebih tinggi dari jantung untuk mengurangi pendarahan,”
perintah Felix.
Alex
segera melakukan hal yang disuruh Felix dan aku segera duduk mengapit Nero di
sisi yang satunya. Felix naik ke atas jeepnya. “Pegangan yang kuat. Kita akan
ngebut,” katanya dan dia menginjak gas dengan kecepatan gila.
Lima
belas menit kemudian kami sudah sampai ke sebuah rumah sakit besar. Felix
dengan sigap segera turun dan menggendong Nero lagi dan berlari dengan cepat ke
dalam. Aku dan Alex berlari di belakangnya.
“Ada
orang sekarat!” teriak Felix dan suaranya segera menarik perhatian para suster.
Segera
saja tiga orang suster datang, mendorong brankar dan Felix meletakan Nero yang
tak sadarkan diri ke atasnya.
“Cepat
periksa golongan darahnya dan ambil darahnya dari stok darah,” kata Felix
sementara dia mendorong brankar Nero memasuki ruang UGD.
“Tunggu
sebentar,” kataku ketakutan dan Alex menepuk bahuku.
“Jangan
khawatir, Felix mahasiswa kedokteran. Dia tahu apa yang harus dia lakukan.”
Maka
kami pun menunggu di luar ruang UGD dengan cemas. Alex berusaha menenangkanku,
tapi aku sama sekali tak bisa tenang. Kemudian, seorang dokter keluar dari
dalam bersama dengan Felix.
“Dia
tak apa-apa,” kata Dokter itu tersenyum menenangkan. “Kau cekatan seperti
biasa, Felix,” tambahnya menepuk bahu Felix. “Kalian sudah bisa menghubungi
keluarganya sekarang. Mungkin mereka akan cemas melihat anak mereka terkena
luka sabetan seperti itu.”
“Apakah
lukanya parah?” tanya Alex.
“Tidak
parah, tapi lebar. Ada beberapa otot yang cedera. Tapi jika istirahat yang
cukup dia akan segera sembuh dan hal itu tak akan mempengaruhi tubuhnya.”
Dokter itu tersenyum lagi. “Baiklah. Saya permisi dulu. Jangan lupa hubungi
keluarganya.”
Aku
lega mendengar bahwa dia baik-baik saja.
“Nero
akan dipindahkan ke kamar biasa. Untuk sementara dia akan menginap dulu. Besok
dia sudah boleh pulang,” kata Felix, tersenyum kecil.
“Makasih
ya,” kataku sungguh-sungguh.
“Yah,
kalau tidak karena dia, aku juga tak mungkin mau,” kata Felix melirik Alex.
“Tolong jangan lakukan lagi, Alex. Kenapa kau selalu menolong orang di pinggir
jalan sih?”
Alex
memutar bola matanya. “Pacarmu pasti akan baik-baik saja, Niken,” katanya
sungguh-sungguh.
Wajahku
memerah. “Dia… dia bukan pacarku,” gumamku.
“Bullshit,”
gumam Felix. Alex menyikutnya dan memelototinya. “Anyway, kami pulang dulu. Ini sudah terlalu malam. Kau tak perlu
membayar biaya rumah sakit.”
“Huh?
Kenapa?” aku terheran.
“Ini
rumah sakitku.” Felix tersenyum kecil lagi dan menarik Alex untuk pergi dari
tempat itu.
Aku
menghela napas lagi. Syukurlah semuanya baik-baik saja.
Setelah
dipindahkan ke kamar, Nero terus tidur tanpa membuka matanya. Aku cuma duduk di
samping tempat tidurnya, memegangi tangannya yang satu lagi. Yang mengherankan,
aku merasa tenang sekali melakukannya.
Apa
yang terjadi pada Nero semalam seolah menjadi mimpi buruk yang menjadi
kenyataan. Aku ingin sekali tahu apa yang menyebabkan Nero terluka seperti itu.
Apakah dia dikejar penjahat? Terlibat perkelahian? Jeez, aku sama sekali tak bisa memikirkan apapun. Nero tak mungkin
bisa melakukan hal itu. Memang sih, aku terlalu cepat mengambil kesimpulan
seperti itu. Tapi, entah mengapa, aku yakin bahwa Nero tak akan mampu menyakiti
siapapun—karena Nero pastilah pernah tersakiti dan perasaan itu membekas sampai
sekarang.
Beberapa
saat kemudian, Nero merintih lagi.
“Mother…” gumamnya dalam tidurnya. “… Mother… Mother…”
“Sssshhh,”
kataku mempererat genggamanku. Tanganku yang satu lagi mengelus lembut dahinya
yang berkeringat. Tak lama kemudian dia kembali tidur dengan tenang. “Tak apa,
Nero. Aku di sini,” gumamku mengelus pipinya. “Apa yang sebenarnya terjadi
denganmu?”
***The Flower
Boy Next Door***
Aku
merasa ada tangan lembut yang hangat membelai kepalaku. Tangannya menelusuri
rambut panjangku, mengelus pipiku dengan nyaman. Aku merasa aman sekali saat
Nero melakukan hal itu.
Hah?
Nero? Mataku terbuka lebar.
“Selamat
pagi, Niiiiiken,” sapanya riang.
Aku
menegakan kepalaku, melihat ke sekeliling ruangan. Oh, benar juga. Kami masih
di rumah sakit. Nero duduk di atas tempat tidurnya, tersenyum hangat
memandangku.
“Nero,
kau sudah sadar? Sudah tak apa-apa? Apakah masih ada yang sakit?” kataku panik
melihat tangannya.
“Niken,
tenanglah,” katanya santai. “Aku cuma luka kecil. Lihat? Tidak parah.”
“Luka
kecil katamu? Kau berdarah banyak sekali tahu!” kataku lagi melihat balutan di
tangan kanannya dan juga telapak tangan kirinya. “Kau bilang itu tidak parah?
Apa yang sebenarnya terjadi semalam?”
Ada
ketakutan di matanya. Tapi dengan cepat sinar itu menghilang begitu saja. “Erm,
bukan masalah besar. Aku hanya dirampok.”
Ini
justru lebih mengerikan. “Apa? Kita harus lapor polisi tahu.”
“Niken,
jangan!” Nero memegang tanganku. Tangannya gemetaran dan dingin sekali, aku
bisa merasakannya. “Aku baik-baik saja. Bisakah kita tak terlalu
membesar-besarkan masalah?”
“Nero,”
kataku terheran melihat dia masih bisa tersenyum tenang walau tangannya
gemetar. “Wajahmu tak sama dengan perasaanmu yang sesungguhnya.”
Dia
mengerjap bingung, lalu melihat tangannya yang memegang tanganku. Dengan cepat
dia menarik tangannya. “Apa sih maksudmu? Aku tak apa-apa, Niken.” Ucapnya
keras kepala sambil mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. “Wah, hari
ini cerah sekali.”
Dengan
jengkel, aku memegang kepalanya sehingga dia kembali melihatku. “Kau tidak
baik-baik saja, tahu! Berhentilah bersikap keras kepala!” lalu aku meraih kedua
tangannya. “Lihat ini? Kau gemetaran. Bisa kau jelaskan kenapa?”
Ketakutan
itu muncul lagi di matanya. Dia ngeri pada sesuatu.
“Nero,”
desahku sedih sekali melihat ekspresi itu darinya, “ada apa denganmu?”
“Niken,”
katanya sambil memegang tanganku, “aku belum siap menceritakannya.”
Yang
bisa dipastikan bahwa dia mengalami sesuatu yang buruk sekali. Kesedihan
memengaruhiku karena aku tak bisa menjadi tempat dia bisa menceritakan
masalahnya. Aku ingin sekali tahu apa yang terjadi. Aku ingin tahu apa yang ada
dalam pikirannya. Aku ingin tahu apa isi hatinya. Aku ingin tahu emosi apa yang
selama ini disimpannya. Tapi Nero memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Dia
mendorongku untuk menjauh dari masalahnya. Dia tak ingin aku terlibat dengan
kehidupan pribadinya.
Entah
kenapa hatiku tak terima dia memperlakukanku seperti itu.
“Selamat
pagi,” terdengar suara dari balik pintu. Kami berdua menoleh dengan cepat,
mendapati seorang Dokter Muda berwajah tampan dan berambut hitam berdiri di
sana. “Nero, kau sudah sadar?”
“Nathan,”
desah Nero. Dia melompat dari tempat tidurnya dan memeluk Dokter itu dengan
cepat. “Nathan. Nathan!”
Dokter
Nathan mengerutkan dahi melihat terjangan itu. Dia menatapku yang juga
keheranan dan tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Nero. Aku akan mendengarkan
ceritamu nanti. Hari ini aku ingin memastikan bahwa kondisimu oke dan lukamu
tidak parah.”
Tapi
Nero sama sekali tidak melepas pelukannya dan masih terus memeluk Dokter Nathan
erat-erat. Aku semakin terheran. Apa sih hubungan kedua orang ini?
“Nona,
em…”
“Niken.”
“Ya.
Niken,” Dokter Nathan tersenyum lagi. “Bisakah kau memberi kami sedikit
privasi?”
Dengan
berat hati aku mengangguk dan memilih keluar dari kamar. Saat aku melewati Nero
aku melihat Dokter Nathan menutupi wajah Nero, tidak mengijinkanku untuk
melihat ekspresi Nero.
Ugh.
Aku tak suka ini!
Setengah
jam kemudian Dokter Nathan sudah mengijinkanku masuk. Apa yang terjadi di dalam
sana sampai membuatnya lama sekali? Walau aku sudah berusaha menguping, aku
sama sekali tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Uuuuh, siapa sih
Dokter Nathan? Kenapa dia bisa begitu akrab dengan Nero? Apakah Nero
menceritakan segala hal yang terjadi semalam? Kenapa Nero tak menceritakannya
padaku? Kenapa harus ke Dokter itu? Kenapa? Kenapa?
Nero
tengah duduk di samping tempat tidurnya, merapikan dasi sekolahnya. Wajahnya
sudah kembali tenang dan ekspresinya tampak lebih baik daripada setengah jam
yang lalu. Dokter Nathan sepertinya memang melakukan sesuatu pada Nero. Tapi
apa????
“Aku
akan mengantar kalian berdua pulang,” kata Dokter Nathan.
Aku
melotot. “Bukannya Dokter masih ada tugas lain di rumah sakit?”
“Aku
bisa mengatur itu nanti,” kata Dokter Nathan tenang.
“Kami
berdua bisa pulang sendiri, Dok. Naik taksi,” kataku mengarang alasan. Aku
butuh privasi untuk menanyakan pada Nero tentang hubungannya dengan Dokter
Nathan.
Dokter
Nathan masih menjaga senyumannya. “Aku tetap akan mengantar Nero sendiri pulang
ke rumah. Akan lebih aman.”
Akan
lebih aman? Aku mengulangnya berulang-ulang. Dokter ini memang tahu sesuatu
mengenai Nero. “Erm, baiklah jika begitu.” Jawaban apa lagi yang bisa
kuberikan?
“Kalian
berdua silakan menunggu di lobi sampai aku datang. Aku akan mengambil mobil
dulu.” Setelah mengatakan itu, Dokter Nathan keluar dari kamar.
Nero
segera turun dari tempat tidur, tersenyum hangat seperti manusia baru, “Yuk,
Niken.”
“Erm,
itu siapa?”
“Dia?
Dokter Nathan,” jawabnya tenang saat kami keluar dari kamar.
“Aku
tahu dia Dokter Nathan, tapi siapa
dia?” ulangku lagi dengan nada sedikit jengkel. “Kenapa dia begitu dekat
denganmu?” jelasku lagi saat Nero kebingungan dengan pertanyaanku.
“Oh,
dia Dokter pribadi keluarga kami sejak empat tahun lalu,” jawab Nero dan
tersenyum lagi. “Dia baik dan menyenangkan. Aku sangat dekat dengannya.”
“Mhm,
bisa kulihat,” kataku tanpa sadar. “Kau memeluknya seperti seorang kekasih.”
Nero
terbahak. “Niken, kau lucu sekali. Memangnya kenapa jika aku memeluknya? Dokter
Nathan sendiri tidak keberatan tuh,” suara dan ekspresinya sudah kembali
menjadi Nero yang menyebalkan—tapi lebih baik daripada wajah ketakutan itu.
“Kau tahu Niken, aku suka sekali dipeluk olehnya. Soalnya dia wangi.”
Aku
mengerjap dan menganga. Pernyataan macam apa itu? Mungkinkah… mungkinkah Nero
itu…
“Muahahahahahaha,”
Nero terpingkal-pingkal sampai sakit perut. “Kau membayangkan apa sih, Niken?
Pikiranmu benar-benar kotor. Kotor sekali!”
Rahangku
gemertakan, dengan gemas aku mencubit tangannya yang luka.
“AAAW,”
dia berteriak kesakitan. “Sakit tahu.”
“Rasakan,”
bisikku sebal.
Saat
kami sampai di lobi, Dokter Nathan sudah menunggu di samping mobil ferari
miliknya. Kami berdua masuk ke kursi penumpang sementara Dokter Nathan menjadi
supir. Kami tidak bicara selama dalam perjalanan dan akhirnya mobil Dokter
Nathan sampai di depan rumahku.
“Terimakasih,
Dok,” kataku saat turun dari mobil.
“Sama-sama,
Niken,” kata Dokter Nathan.
Aku
tersenyum lagi dan menunggu di depan gerbang melihat mobil Dokter Nathan
bergerak maju, maju, maju, dan melewati rumah Nero kemudian menghilang begitu
saja di ujung jalan.
Tunggu
sebentar. Apa dia tak mengantar Nero pulang? Rumah Nero kan tepat di samping
rumahku!
***The Flower
Boy Next Door***
Dokter
Nathan membawa Nero ke salah satu toko pakaian. Nero turun dengan enggan. Tapi
Dokter Nathan tersenyum hangat padanya, menepuk bahunya dan menggiringnya ke
dalam.
“Pilih
pakaian yang kau mau selagi aku mengarang alasan pada Jacob,” kata Dokter
Nathan. Nero mengangguk pelan. Dokter Nathan tersenyum lagi, mengacak rambut.
“Semuanya baik-baik saja, Nero. Aku di sini mendengarkanmu.”
Nero
mengangguk kecil. Dokter Nathan membalikan badan dan menghubungi Jacob. Nero
berkeliling, mencari kaos yang dia inginkan dan mendengarkan perkataan Dokter
Nathan.
“Maaf,
aku tidak menghubungi kalian semalam. Nero bersamaku. Benar. Aku memintanya
untuk menemaniku di rumah semalaman. Bisa kau sampaikan pada Matt agar jangan
mengerahkan seluruh satuan pengaman untuk menggrebek kediamanku nanti saat
kalian menjemputnya pulang? Kau tahu dia seperti apa, Jacob. Aku tak akan
mengulanginya lagi. Apa yang kami lakukan? Kami bermain dan berbicara dari hati
ke hati, seperti biasa. Huh? Apa yang kami bicarakan? Kurasa itu tak penting.
Ini bukan urusan kalian. Lagipula, aku tak butuh kalian yang suka mengekori
kami kemanapun kami pergi.”
Nero
mengambil kaos, jeket dan celana lalu meletakannya ke counter. Si kasir menghitung dengan cepat.
Masih
berbicara di telepon, Dokter Nathan berjalan ke arah Nero dan menyerahkan
dompetnya untuk membayar. “Dengar, bisakah kau tutup mulut Matt sementara? Aku
tak bisa mendengar apa yang kau katakan. Nero? Dia ada bersamaku saat ini. Apa?
Kau ingin berbicara padanya? Aku tak akan mengijinkan. Dia milikku hari ini.
Sampaikan saja pada Matt bahwa aku akan mengembalikan Nero sore nanti. Ada
banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya. Kami sudah lama tidak bertemu.”
Nero
mengambil belanjaannya dan memberikan kembali dompet Dokter Nathan saat
terdengar suara teriakan di telepon.
“I warned you!”
Itu
suara Matt.
“Hello, Matt,”
kata Dokter Nathan santai, mendekatkan kembali teleponnya di telinga. “Nope. Nope. Nope. Nope. I don’t wanna. Stop
messing around. I already told you, Matt. He’s mine and no, I don’t wanna you
ruin his mood. Ok, shitface, whatever.”
Lalu
Dokter Nathan mematikan ponselnya. Nero tengah memandangnya dengan keheranan. “Ayahmu,
seperti biasa, sulit diajak kompromi.”
Nero
nyengir lebar.
“Sebaiknya
segera ganti bajumu dan kita bisa sarapan dengan tenang,” kata Dokter Nathan.
Nero
mengganti pakaiannya di kamar mandi dan makan di restoran cepat saji. Setelah
mereka makan, Dokter Nathan membawanya lagi ke tempat lain, kali ini ke binatu.
Dia dan Nero masuk ke dalam, menemui pemiliknya secara langsung.
“Nathan, my old friend!”
kata pria muda yang menyambut mereka dengan senyum merekah. “Well, who is this boy? Your son?”
Dokter
Nathan terkekeh kecil. “No,” ucapnya.
“Would you help me, Carlo?”
“What is that, my dear friend?”
kata Carlo.
“Please remove the blood stains
from this,” Dokter Nathan menyodorkan seragam Nero
yang berlumuran darah. “And one thing,
sew the hole.”
“Someone was having the wild
night,” kata Carlo sewaktu melihat noda darah dan robekan
itu.
“I’ll pick it up during the day,”
kata Dokter Nathan lagi.
“Don’t worry, my best friend. I’ll
do something with this.”
“Thanks, Carlo.”
Setelah
itu mereka segera ke apartemen Dokter Nathan.
“Dengar,
Nero. Jangan buka pintu pada siapapun kecuali aku,” Dokter Nathan
memperingatkannya. “Maaf, aku sedikit keras padamu, tapi aku benar-benar peduli
padamu. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk menutupi kejadian yang sebenarnya.”
Nero
mengangguk lagi.
“Nero,
aku mengerti kau tak suka dengan orang suruhan Matt. Tapi yang dia lakukan
tidak salah karena jika dia tak melakukannya, maka dia tak akan tenang. Dia
takut kejadian seperti ini terjadi padamu. Kau harus mengerti keputusan Matt.
Matt juga tahu bahwa kau tak ingin diikuti dan dia menghormati privasimu dengan
tidak mengirimkan banyak orang untukmu.”
“Aku
tahu, Nathan,” Nero mengangguk. “Aku tak akan lagi keluar sendirian.”
Dokter
Nathan tersenyum kecil. “Aku terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini. Aku
harus kembali ke rumah sakit. Kau bisa ambil makanan di dapur jika kau lapar.
Setelah aku selesai dengan urusanku, aku akan datang dan kita bisa mengarang
kebohongan untuk menutupi apa yang terjadi, pada Matt.” Dokter Nathan memutar
bola matanya. “Dia akan marah-marah lagi. Percaya padaku.”
Nero
tertawa. “Terimakasih, Nathan.”
Dokter
Nathan mengacak rambutnya. “Kunci pintunya dan jangan biarkan siapapun masuk
kecuali aku. Mengerti? Aku akan bilang pada keamanan untuk melapor padaku jika
melihat ada orang yang mencurigakan.”
Nero
mengangguk lagi saat Dokter Nathan keluar pintu. Nero segera mengunci pintu dan
masuk ke kamar Dokter Nathan. Dia melempar jaketnya, mengambil buku Dokter
Nathan dari lemari dan tiduran di atas tempat tidur sambil membaca. Well, dia bisa menghabiskan waktu
seperti ini tanpa perlu mendengarkan sekitarnya sampai Dokter Nathan kembali
dan menyelesaikan masalahnya.
Ide
yang cemerlang.
***The Flower
Boy Next Door***
Aku
mondar-mandir dengan tak sabar di depan jendela kamar Nero yang tertutup. Sejak
Dokter Nathan membawa Nero kabur, dengan cemas aku menunggu dan berjalan
bolak-balik dari depan jendela kamar Nero ke balkon kamarku, siapa tahu mobil
mereka muncul. Tapi tidak, sejak tadi pagi tak ada satupun mobil yang muncul
dan ini sudah malam serta larut sekali.
Kemana
sih mereka?
Akhirnya,
setelah menunggu—yang rasanya berabad-abad—aku melihat ferari merah dari ujung
jalan, meluncur memasuki gerbang. Menggigit bibir, aku melihat Nero turun
bersama Dokter Nathan.
Syukurlah!
Akhirnya mereka pulang! Kesabaranku sudah diambang batas.
Setelah
Nero dan Dokter Nathan masuk ke dalam rumah, aku kembali melewati jendela kamar
Nero, menunggu—
satu
menit… dua menit… lima menit… dua puluh… tiga puluh…
Kenapa
dia lama sekali? Aku nyaris mengerang frustasi.
Lalu,
lampu kamar Nero menyala. Tapi Nero sama sekali tak mau repot-repot membuka
jendela kamarnya.
“Nero,”
panggilku tak sabar. “Nero! Nero!”
Jendela
itu terbuka, menampakan Nero yang tengah melepas kancing kemejanya. “Apa sih,
Niken?” katanya keheranan.
“Kau
dari mana saja? Kemana Dokter Nathan membawamu?” sebelum Nero menjawab aku
sudah memborbadirnya dengan pertanyaan lain. “Apa kau baik-baik saja? Tanganmu
bagaimana? Kenapa kalian lama sekali pulangnya? Apakah ada pemeriksaan yang
lain mengenai tanganmu? Apakah ada efek sampingnya?”
“Niken,”
dia memotong dengan sabar sambil memutar bola matanya. “Aku tak apa-apa, oke?”
lalu dia melepas kemejanya. Aku melirik luka sabetan yang sekarang diperban
tebal di tangan kanannya.
“Tapi—”
“Dan
itu bukan urusanmu, Niken,” ucapnya tegas. “Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Kemudian dia menghilang ke sebelah kanan jendela kamarnya.
Uh,
cukup sudah! Aku tak tahan lagi. Aku butuh penjelasan! Dan pemaksaan rasanya
dibutuhkan dalam kasus ini karena aku begitu khawatir padanya.
Dengan
semangat berapi-api dan amarah, aku memanjat jendela kamarku. Percaya padaku,
aku tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Tapi, Nero harus diberi
pelajaran.
Setelah
salah satu kakiku berhasil menginjak tembok perbatasan jendela kamar kami, aku
segera meraih jendela Nero. Berbeda dengan Nero yang kakinya panjang sekali
sehingga cukup sekali lompat, aku butuh dua kali lompat dan kekuatan ekstra
untuk melakukannya.
Badanku
baru setengah keluar dari jendela saat Nero berteriak kaget, memegangi dadanya,
matanya nyaris menggelinding keluar. Aku buru-buru menutup mata karena, eh,
sepertinya aku masuk saat dia hendak memakai celana. Ini diluar perkiraanku.
Aku sama sekali tak berpikir kalau dia sedang berganti pakaian. Percaya padaku.
“Niken!”
gerutunya. “Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?”
“Aku
tak lihat apa-apa. Suer!”
“Kau
ini bodoh ya? Kalau kau jatuh bagaimana?”
“Oh,
tenang saja, aku—”
Tubuhku
seakan melayang, kakiku terangkat tak lagi menginjak tanah. Mataku terbuka
lebar, berhadapan langsung dengan mata Nero. Nero mengangkatku, menarikku
keluar dari jendela dengan begitu ringan seakan berat tubuhku bukan apa-apa
baginya.
“Demi
Tuhan, Niken, kau akan membuatku sakit jantung,” ucapnya melepas pelukan dari
pinggangku kemudian berbalik menuju karpet kesayangannya dan menghidupkan
televisi.
“Erm,”
aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Duduk
sini, Niken,” katanya menepuk-nepuk sisinya.
Aku
menurut tanpa bantahan, menghempaskan pantatku ke karpet lembut penuh bantal.
Nero mengenakan kaos putih lengan panjang dengan celana berpotongan pendek
sedengkul berwarna coklat. Matanya menatap lurus ke layar televisi. Jelas
sekali dia ingin menghindariku.
“Nero,”
aku membuka pembicaraan dan Nero bergumam “Hmmm?” untuk membuktikan bahwa dia
mendengar.
“Kalian
tadi pergi kemana?”
“Ya
ampun,” dia memutar bola matanya. “Kau akan terus bertanya walau aku tak mau
menjawab?”
Aku
mengangguk sekali. Mataku menatapnya dengan sungguh-sungguh.
“Fine,” gumam Nero. “Aku ke rumahnya.”
“Untuk?”
“Untuk
melindungiku dari pertanyaan Ayahku mengenai ini,” dia menunjukan telapak
tangan kirinya yang diperban padaku.
“Maksudmu,
kau tak ingin keluargamu tahu apa yang terjadi padamu kemarin?”
Dia
mengangguk.
“Kenapa?”
“Niken,”
Nero mengerang frustasi. “Aku belum siap bercerita padamu.”
“Oke.
Lupakan itu. Pertanyaan selanjutnya.”
Dia
menatapku dengan tak percaya. “You’re really
stubborn, Niken. Aku seakan di pojok interogasi pihak kepolisian.”
“Memang,”
aku membenarkan.
“Oh, my God,” gumam Nero, merebahkan
tubuhnya ke tumpukan bantal. “Ya sudah. Apa pertanyaanmu?”
“Siapa
Dokter Nathan?”
“Sudah
kubilang kan? Dia Dokter pribadi keluargaku.”
“Bagaimana
kau mengenalnya?”
“Karena
Dad berteman dengannya.”
“Kenapa
kau sangat dekat dengannya”
“Dokter
Nathan pernah menyelamatkanku saat ada kebakaran hebat di rumah masa kecilku di
Yorkshire sana.”
Kebakaran?
“Huh?” kataku terkejut. “Kapan?”
“Empat
tahun lalu,” jawabnya, kemudian menguap pelan.
“Bagaimana
ceritanya?” aku bertanya penasaran.
“Waktu
itu terjadi arus pendek di dekat rumahku,” jawabnya pelan. “Api menjalar ke
rumah dan masuk ke kamarku. Saat itu aku tidak menyadari kebakaran dan ada di
kamar. Saat aku tahu ada kebakaran, apinya sudah membesar. Dokter Nathan
menyelamatkanku dari jendela lantai dua, masuk dari kamar sebelah dan
mengeluarkanku dari kobaran api.”
Bukankah
itu sangat mengerikan? Aku menatap Nero yang tampak lelah tapi berusaha untuk
tampak terjaga.
“Dokter
Nathan sudah seperti Kakakku sendiri. Aku selalu cerita apapun padanya,”
katanya pelan.
Termasuk
apa yang terjadi semalam, tambahku dalam hati. Dan hal itu, entah kenapa,
membuatku sangat jengkel. Kalau dia bisa menceritakannya pada Dokter
Nathan—yang mungkin dilakukannya saat Dokter Nathan memeriksa kondisinya—kenapa
Nero tak menceritakan apapun padaku.
Tunggu
sebentar. Ada hubungan apa, memangnya, antara aku dan Nero sampai-sampai aku
berhak mengetahui apa yang terjadi padanya kemarin?
Lalu,
mengenai kebakaran itu. Aku sedikit curiga bahwa kebakaran itu bukan
kecelakaan. Mungkinkah ada orang yang ingin mencelakai Nero? Ah, tidak. Itu tak
mungkin. Tapi, siapa yang mengirim surat berdarah itu? Apakah punya hubungan
dengan kebakaran empat tahun lalu?
“Nero,
aku…” suaraku mengecil melihatnya sudah tertidur.
Tersenyum
kecil, aku ikut merebahkan tubuh di sampingnya, memandangi wajah tenang Nero
yang tertidur. Aku suka sekali melihatnya tertidur seperti ini. Dia tampak
polos dan jujur. Berbeda sekali dengan saat dia sadar. Hanya saja, kepolosan
dan kejujurannya saat tertidur seperti ini sering terganggu dengan mimpi buruk
mengenai ibunya—ibu kandungnya, aku yakin sekali.
Siapa
ya wanita yang berhasil melahirkan Nero sehingga nyaris sempurna seperti ini?
Tidak ada satupun yang kurang dari wajahnya. Begitupula dengan kejeniusannya.
Mungkin Nero sedikit bermasalah pada sifat aslirnya. Tapi, aku mungkin bisa
membongkar sifat aslinya, nanti, sedikit demi sedikit.
“…ngh…”
Itu
dia ekspresi wajah tak tenangnya. Kenangan mengerikan itu pasti muncul setiap
kali dalam mimpinya.
“Ssshhhh,”
ucapku menepuk-nepuk bahunya untuk menenangkannya.
Nero
bergerak, mengubah posisi tidurnya yang menyamping. Dahinya berkeringat.
“…
Mother…”
Jika
waktu itu aku menertawakannya, maka kali ini aku merasa kasihan padanya. Apa
yang dirasakan Nero, apa yang dia impikan saat ini, apa yang terjadi pada masa
lalunya, tidak pantas ditertawakan. Dia sudah mengalami masa-masa pahit dan
sedang berusaha untuk melewatinya.
Dengan
berusaha tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
Aku
menggenggam tangan Nero yang diperban.
“Semua
akan baik-baik saja, Nero,” gumamku pelan.
Aku
memerhatikan wajah Nero perlahan-lahan kembali tenang dalam tidurnya.
Ya,
semua akan baik-baik saja.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar