RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 06 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Sembilan Belas)


Debaran Sembilan Belas
Karpet Tanda Tanya
Aku ketakutan melihat Nero terluka parah seperti itu. Siapa yang membuat Nero jadi seperti itu? Tiba-tiba aku mengingat surat berdarah itu. Apakah orang yang melukai Nero adalah orang yang sama yang membuat surat itu?
Pria yang bernama Felix itu segera menggendong Nero yang tak sadarkan diri di punggungnya sementar kami berlari cepat menuju jeep yang sengaja diparkir di dekat situ. Alex—ya kan?—segera membuka pintu dan masuk terlebih dahulu untuk bisa menarik tubuh Nero dari belakang.
“Angkat tangan kanannya lebih tinggi dari jantung untuk mengurangi pendarahan,” perintah Felix.
Alex segera melakukan hal yang disuruh Felix dan aku segera duduk mengapit Nero di sisi yang satunya. Felix naik ke atas jeepnya. “Pegangan yang kuat. Kita akan ngebut,” katanya dan dia menginjak gas dengan kecepatan gila.
Lima belas menit kemudian kami sudah sampai ke sebuah rumah sakit besar. Felix dengan sigap segera turun dan menggendong Nero lagi dan berlari dengan cepat ke dalam. Aku dan Alex berlari di belakangnya.
“Ada orang sekarat!” teriak Felix dan suaranya segera menarik perhatian para suster.
Segera saja tiga orang suster datang, mendorong brankar dan Felix meletakan Nero yang tak sadarkan diri ke atasnya.
“Cepat periksa golongan darahnya dan ambil darahnya dari stok darah,” kata Felix sementara dia mendorong brankar Nero memasuki ruang UGD.
“Tunggu sebentar,” kataku ketakutan dan Alex menepuk bahuku.
“Jangan khawatir, Felix mahasiswa kedokteran. Dia tahu apa yang harus dia lakukan.”
Maka kami pun menunggu di luar ruang UGD dengan cemas. Alex berusaha menenangkanku, tapi aku sama sekali tak bisa tenang. Kemudian, seorang dokter keluar dari dalam bersama dengan Felix.
“Dia tak apa-apa,” kata Dokter itu tersenyum menenangkan. “Kau cekatan seperti biasa, Felix,” tambahnya menepuk bahu Felix. “Kalian sudah bisa menghubungi keluarganya sekarang. Mungkin mereka akan cemas melihat anak mereka terkena luka sabetan seperti itu.”
“Apakah lukanya parah?” tanya Alex.
“Tidak parah, tapi lebar. Ada beberapa otot yang cedera. Tapi jika istirahat yang cukup dia akan segera sembuh dan hal itu tak akan mempengaruhi tubuhnya.” Dokter itu tersenyum lagi. “Baiklah. Saya permisi dulu. Jangan lupa hubungi keluarganya.”
Aku lega mendengar bahwa dia baik-baik saja.
“Nero akan dipindahkan ke kamar biasa. Untuk sementara dia akan menginap dulu. Besok dia sudah boleh pulang,” kata Felix, tersenyum kecil.
“Makasih ya,” kataku sungguh-sungguh.
“Yah, kalau tidak karena dia, aku juga tak mungkin mau,” kata Felix melirik Alex. “Tolong jangan lakukan lagi, Alex. Kenapa kau selalu menolong orang di pinggir jalan sih?”
Alex memutar bola matanya. “Pacarmu pasti akan baik-baik saja, Niken,” katanya sungguh-sungguh.
Wajahku memerah. “Dia… dia bukan pacarku,” gumamku.
“Bullshit,” gumam Felix. Alex menyikutnya dan memelototinya. “Anyway, kami pulang dulu. Ini sudah terlalu malam. Kau tak perlu membayar biaya rumah sakit.”
“Huh? Kenapa?” aku terheran.
“Ini rumah sakitku.” Felix tersenyum kecil lagi dan menarik Alex untuk pergi dari tempat itu.
Aku menghela napas lagi. Syukurlah semuanya baik-baik saja.
Setelah dipindahkan ke kamar, Nero terus tidur tanpa membuka matanya. Aku cuma duduk di samping tempat tidurnya, memegangi tangannya yang satu lagi. Yang mengherankan, aku merasa tenang sekali melakukannya.
Apa yang terjadi pada Nero semalam seolah menjadi mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Aku ingin sekali tahu apa yang menyebabkan Nero terluka seperti itu. Apakah dia dikejar penjahat? Terlibat perkelahian? Jeez, aku sama sekali tak bisa memikirkan apapun. Nero tak mungkin bisa melakukan hal itu. Memang sih, aku terlalu cepat mengambil kesimpulan seperti itu. Tapi, entah mengapa, aku yakin bahwa Nero tak akan mampu menyakiti siapapun—karena Nero pastilah pernah tersakiti dan perasaan itu membekas sampai sekarang.
Beberapa saat kemudian, Nero merintih lagi.
Mother…” gumamnya dalam tidurnya. “… Mother… Mother…
“Sssshhh,” kataku mempererat genggamanku. Tanganku yang satu lagi mengelus lembut dahinya yang berkeringat. Tak lama kemudian dia kembali tidur dengan tenang. “Tak apa, Nero. Aku di sini,” gumamku mengelus pipinya. “Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?”
***The Flower Boy Next Door***
Aku merasa ada tangan lembut yang hangat membelai kepalaku. Tangannya menelusuri rambut panjangku, mengelus pipiku dengan nyaman. Aku merasa aman sekali saat Nero melakukan hal itu.
Hah? Nero? Mataku terbuka lebar.
“Selamat pagi, Niiiiiken,” sapanya riang.
Aku menegakan kepalaku, melihat ke sekeliling ruangan. Oh, benar juga. Kami masih di rumah sakit. Nero duduk di atas tempat tidurnya, tersenyum hangat memandangku.
“Nero, kau sudah sadar? Sudah tak apa-apa? Apakah masih ada yang sakit?” kataku panik melihat tangannya.
“Niken, tenanglah,” katanya santai. “Aku cuma luka kecil. Lihat? Tidak parah.”
“Luka kecil katamu? Kau berdarah banyak sekali tahu!” kataku lagi melihat balutan di tangan kanannya dan juga telapak tangan kirinya. “Kau bilang itu tidak parah? Apa yang sebenarnya terjadi semalam?”
Ada ketakutan di matanya. Tapi dengan cepat sinar itu menghilang begitu saja. “Erm, bukan masalah besar. Aku hanya dirampok.”
Ini justru lebih mengerikan. “Apa? Kita harus lapor polisi tahu.”
“Niken, jangan!” Nero memegang tanganku. Tangannya gemetaran dan dingin sekali, aku bisa merasakannya. “Aku baik-baik saja. Bisakah kita tak terlalu membesar-besarkan masalah?”
“Nero,” kataku terheran melihat dia masih bisa tersenyum tenang walau tangannya gemetar. “Wajahmu tak sama dengan perasaanmu yang sesungguhnya.”
Dia mengerjap bingung, lalu melihat tangannya yang memegang tanganku. Dengan cepat dia menarik tangannya. “Apa sih maksudmu? Aku tak apa-apa, Niken.” Ucapnya keras kepala sambil mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. “Wah, hari ini cerah sekali.”
Dengan jengkel, aku memegang kepalanya sehingga dia kembali melihatku. “Kau tidak baik-baik saja, tahu! Berhentilah bersikap keras kepala!” lalu aku meraih kedua tangannya. “Lihat ini? Kau gemetaran. Bisa kau jelaskan kenapa?”
Ketakutan itu muncul lagi di matanya. Dia ngeri pada sesuatu.
“Nero,” desahku sedih sekali melihat ekspresi itu darinya, “ada apa denganmu?”
“Niken,” katanya sambil memegang tanganku, “aku belum siap menceritakannya.”
Yang bisa dipastikan bahwa dia mengalami sesuatu yang buruk sekali. Kesedihan memengaruhiku karena aku tak bisa menjadi tempat dia bisa menceritakan masalahnya. Aku ingin sekali tahu apa yang terjadi. Aku ingin tahu apa yang ada dalam pikirannya. Aku ingin tahu apa isi hatinya. Aku ingin tahu emosi apa yang selama ini disimpannya. Tapi Nero memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Dia mendorongku untuk menjauh dari masalahnya. Dia tak ingin aku terlibat dengan kehidupan pribadinya.
Entah kenapa hatiku tak terima dia memperlakukanku seperti itu.
“Selamat pagi,” terdengar suara dari balik pintu. Kami berdua menoleh dengan cepat, mendapati seorang Dokter Muda berwajah tampan dan berambut hitam berdiri di sana. “Nero, kau sudah sadar?”
“Nathan,” desah Nero. Dia melompat dari tempat tidurnya dan memeluk Dokter itu dengan cepat. “Nathan. Nathan!”
Dokter Nathan mengerutkan dahi melihat terjangan itu. Dia menatapku yang juga keheranan dan tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Nero. Aku akan mendengarkan ceritamu nanti. Hari ini aku ingin memastikan bahwa kondisimu oke dan lukamu tidak parah.”
Tapi Nero sama sekali tidak melepas pelukannya dan masih terus memeluk Dokter Nathan erat-erat. Aku semakin terheran. Apa sih hubungan kedua orang ini?
“Nona, em…”
“Niken.”
“Ya. Niken,” Dokter Nathan tersenyum lagi. “Bisakah kau memberi kami sedikit privasi?”
Dengan berat hati aku mengangguk dan memilih keluar dari kamar. Saat aku melewati Nero aku melihat Dokter Nathan menutupi wajah Nero, tidak mengijinkanku untuk melihat ekspresi Nero.
Ugh. Aku tak suka ini!
Setengah jam kemudian Dokter Nathan sudah mengijinkanku masuk. Apa yang terjadi di dalam sana sampai membuatnya lama sekali? Walau aku sudah berusaha menguping, aku sama sekali tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Uuuuh, siapa sih Dokter Nathan? Kenapa dia bisa begitu akrab dengan Nero? Apakah Nero menceritakan segala hal yang terjadi semalam? Kenapa Nero tak menceritakannya padaku? Kenapa harus ke Dokter itu? Kenapa? Kenapa?
Nero tengah duduk di samping tempat tidurnya, merapikan dasi sekolahnya. Wajahnya sudah kembali tenang dan ekspresinya tampak lebih baik daripada setengah jam yang lalu. Dokter Nathan sepertinya memang melakukan sesuatu pada Nero. Tapi apa????
“Aku akan mengantar kalian berdua pulang,” kata Dokter Nathan.
Aku melotot. “Bukannya Dokter masih ada tugas lain di rumah sakit?”
“Aku bisa mengatur itu nanti,” kata Dokter Nathan tenang.
“Kami berdua bisa pulang sendiri, Dok. Naik taksi,” kataku mengarang alasan. Aku butuh privasi untuk menanyakan pada Nero tentang hubungannya dengan Dokter Nathan.
Dokter Nathan masih menjaga senyumannya. “Aku tetap akan mengantar Nero sendiri pulang ke rumah. Akan lebih aman.”
Akan lebih aman? Aku mengulangnya berulang-ulang. Dokter ini memang tahu sesuatu mengenai Nero. “Erm, baiklah jika begitu.” Jawaban apa lagi yang bisa kuberikan?
“Kalian berdua silakan menunggu di lobi sampai aku datang. Aku akan mengambil mobil dulu.” Setelah mengatakan itu, Dokter Nathan keluar dari kamar.
Nero segera turun dari tempat tidur, tersenyum hangat seperti manusia baru, “Yuk, Niken.”
“Erm, itu siapa?”
“Dia? Dokter Nathan,” jawabnya tenang saat kami keluar dari kamar.
“Aku tahu dia Dokter Nathan, tapi siapa dia?” ulangku lagi dengan nada sedikit jengkel. “Kenapa dia begitu dekat denganmu?” jelasku lagi saat Nero kebingungan dengan pertanyaanku.
“Oh, dia Dokter pribadi keluarga kami sejak empat tahun lalu,” jawab Nero dan tersenyum lagi. “Dia baik dan menyenangkan. Aku sangat dekat dengannya.”
“Mhm, bisa kulihat,” kataku tanpa sadar. “Kau memeluknya seperti seorang kekasih.”
Nero terbahak. “Niken, kau lucu sekali. Memangnya kenapa jika aku memeluknya? Dokter Nathan sendiri tidak keberatan tuh,” suara dan ekspresinya sudah kembali menjadi Nero yang menyebalkan—tapi lebih baik daripada wajah ketakutan itu. “Kau tahu Niken, aku suka sekali dipeluk olehnya. Soalnya dia wangi.”
Aku mengerjap dan menganga. Pernyataan macam apa itu? Mungkinkah… mungkinkah Nero itu…
“Muahahahahahaha,” Nero terpingkal-pingkal sampai sakit perut. “Kau membayangkan apa sih, Niken? Pikiranmu benar-benar kotor. Kotor sekali!”
Rahangku gemertakan, dengan gemas aku mencubit tangannya yang luka.
“AAAW,” dia berteriak kesakitan. “Sakit tahu.”
“Rasakan,” bisikku sebal.
Saat kami sampai di lobi, Dokter Nathan sudah menunggu di samping mobil ferari miliknya. Kami berdua masuk ke kursi penumpang sementara Dokter Nathan menjadi supir. Kami tidak bicara selama dalam perjalanan dan akhirnya mobil Dokter Nathan sampai di depan rumahku.
“Terimakasih, Dok,” kataku saat turun dari mobil.
“Sama-sama, Niken,” kata Dokter Nathan.
Aku tersenyum lagi dan menunggu di depan gerbang melihat mobil Dokter Nathan bergerak maju, maju, maju, dan melewati rumah Nero kemudian menghilang begitu saja di ujung jalan.
Tunggu sebentar. Apa dia tak mengantar Nero pulang? Rumah Nero kan tepat di samping rumahku!
***The Flower Boy Next Door***
Dokter Nathan membawa Nero ke salah satu toko pakaian. Nero turun dengan enggan. Tapi Dokter Nathan tersenyum hangat padanya, menepuk bahunya dan menggiringnya ke dalam.
“Pilih pakaian yang kau mau selagi aku mengarang alasan pada Jacob,” kata Dokter Nathan. Nero mengangguk pelan. Dokter Nathan tersenyum lagi, mengacak rambut. “Semuanya baik-baik saja, Nero. Aku di sini mendengarkanmu.”
Nero mengangguk kecil. Dokter Nathan membalikan badan dan menghubungi Jacob. Nero berkeliling, mencari kaos yang dia inginkan dan mendengarkan perkataan Dokter Nathan.
“Maaf, aku tidak menghubungi kalian semalam. Nero bersamaku. Benar. Aku memintanya untuk menemaniku di rumah semalaman. Bisa kau sampaikan pada Matt agar jangan mengerahkan seluruh satuan pengaman untuk menggrebek kediamanku nanti saat kalian menjemputnya pulang? Kau tahu dia seperti apa, Jacob. Aku tak akan mengulanginya lagi. Apa yang kami lakukan? Kami bermain dan berbicara dari hati ke hati, seperti biasa. Huh? Apa yang kami bicarakan? Kurasa itu tak penting. Ini bukan urusan kalian. Lagipula, aku tak butuh kalian yang suka mengekori kami kemanapun kami pergi.”
Nero mengambil kaos, jeket dan celana lalu meletakannya ke counter. Si kasir menghitung dengan cepat.
Masih berbicara di telepon, Dokter Nathan berjalan ke arah Nero dan menyerahkan dompetnya untuk membayar. “Dengar, bisakah kau tutup mulut Matt sementara? Aku tak bisa mendengar apa yang kau katakan. Nero? Dia ada bersamaku saat ini. Apa? Kau ingin berbicara padanya? Aku tak akan mengijinkan. Dia milikku hari ini. Sampaikan saja pada Matt bahwa aku akan mengembalikan Nero sore nanti. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengannya. Kami sudah lama tidak bertemu.”
Nero mengambil belanjaannya dan memberikan kembali dompet Dokter Nathan saat terdengar suara teriakan di telepon.
“I warned you!”
Itu suara Matt.
“Hello, Matt,” kata Dokter Nathan santai, mendekatkan kembali teleponnya di telinga. “Nope. Nope. Nope. Nope. I don’t wanna. Stop messing around. I already told you, Matt. He’s mine and no, I don’t wanna you ruin his mood. Ok, shitface, whatever.”
Lalu Dokter Nathan mematikan ponselnya. Nero tengah memandangnya dengan keheranan. “Ayahmu, seperti biasa, sulit diajak kompromi.”
Nero nyengir lebar.
“Sebaiknya segera ganti bajumu dan kita bisa sarapan dengan tenang,” kata Dokter Nathan.
Nero mengganti pakaiannya di kamar mandi dan makan di restoran cepat saji. Setelah mereka makan, Dokter Nathan membawanya lagi ke tempat lain, kali ini ke binatu. Dia dan Nero masuk ke dalam, menemui pemiliknya secara langsung.
“Nathan, my old friend!” kata pria muda yang menyambut mereka dengan senyum merekah. “Well, who is this boy? Your son?”
Dokter Nathan terkekeh kecil. “No,” ucapnya. “Would you help me, Carlo?”
“What is that, my dear friend?” kata Carlo.
“Please remove the blood stains from this,” Dokter Nathan menyodorkan seragam Nero yang berlumuran darah. “And one thing, sew the hole.”
“Someone was having the wild night,” kata Carlo sewaktu melihat noda darah dan robekan itu.
“I’ll pick it up during the day,” kata Dokter Nathan lagi.
“Don’t worry, my best friend. I’ll do something with this.”
“Thanks, Carlo.”
Setelah itu mereka segera ke apartemen Dokter Nathan.
“Dengar, Nero. Jangan buka pintu pada siapapun kecuali aku,” Dokter Nathan memperingatkannya. “Maaf, aku sedikit keras padamu, tapi aku benar-benar peduli padamu. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk menutupi kejadian yang sebenarnya.”
Nero mengangguk lagi.
“Nero, aku mengerti kau tak suka dengan orang suruhan Matt. Tapi yang dia lakukan tidak salah karena jika dia tak melakukannya, maka dia tak akan tenang. Dia takut kejadian seperti ini terjadi padamu. Kau harus mengerti keputusan Matt. Matt juga tahu bahwa kau tak ingin diikuti dan dia menghormati privasimu dengan tidak mengirimkan banyak orang untukmu.”
“Aku tahu, Nathan,” Nero mengangguk. “Aku tak akan lagi keluar sendirian.”
Dokter Nathan tersenyum kecil. “Aku terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini. Aku harus kembali ke rumah sakit. Kau bisa ambil makanan di dapur jika kau lapar. Setelah aku selesai dengan urusanku, aku akan datang dan kita bisa mengarang kebohongan untuk menutupi apa yang terjadi, pada Matt.” Dokter Nathan memutar bola matanya. “Dia akan marah-marah lagi. Percaya padaku.”
Nero tertawa. “Terimakasih, Nathan.”
Dokter Nathan mengacak rambutnya. “Kunci pintunya dan jangan biarkan siapapun masuk kecuali aku. Mengerti? Aku akan bilang pada keamanan untuk melapor padaku jika melihat ada orang yang mencurigakan.”
Nero mengangguk lagi saat Dokter Nathan keluar pintu. Nero segera mengunci pintu dan masuk ke kamar Dokter Nathan. Dia melempar jaketnya, mengambil buku Dokter Nathan dari lemari dan tiduran di atas tempat tidur sambil membaca. Well, dia bisa menghabiskan waktu seperti ini tanpa perlu mendengarkan sekitarnya sampai Dokter Nathan kembali dan menyelesaikan masalahnya.
Ide yang cemerlang.
***The Flower Boy Next Door***
Aku mondar-mandir dengan tak sabar di depan jendela kamar Nero yang tertutup. Sejak Dokter Nathan membawa Nero kabur, dengan cemas aku menunggu dan berjalan bolak-balik dari depan jendela kamar Nero ke balkon kamarku, siapa tahu mobil mereka muncul. Tapi tidak, sejak tadi pagi tak ada satupun mobil yang muncul dan ini sudah malam serta larut sekali.
Kemana sih mereka?
Akhirnya, setelah menunggu—yang rasanya berabad-abad—aku melihat ferari merah dari ujung jalan, meluncur memasuki gerbang. Menggigit bibir, aku melihat Nero turun bersama Dokter Nathan.
Syukurlah! Akhirnya mereka pulang! Kesabaranku sudah diambang batas.
Setelah Nero dan Dokter Nathan masuk ke dalam rumah, aku kembali melewati jendela kamar Nero, menunggu—
satu menit… dua menit… lima menit… dua puluh… tiga puluh…
Kenapa dia lama sekali? Aku nyaris mengerang frustasi.
Lalu, lampu kamar Nero menyala. Tapi Nero sama sekali tak mau repot-repot membuka jendela kamarnya.
“Nero,” panggilku tak sabar. “Nero! Nero!”
Jendela itu terbuka, menampakan Nero yang tengah melepas kancing kemejanya. “Apa sih, Niken?” katanya keheranan.
“Kau dari mana saja? Kemana Dokter Nathan membawamu?” sebelum Nero menjawab aku sudah memborbadirnya dengan pertanyaan lain. “Apa kau baik-baik saja? Tanganmu bagaimana? Kenapa kalian lama sekali pulangnya? Apakah ada pemeriksaan yang lain mengenai tanganmu? Apakah ada efek sampingnya?”
“Niken,” dia memotong dengan sabar sambil memutar bola matanya. “Aku tak apa-apa, oke?” lalu dia melepas kemejanya. Aku melirik luka sabetan yang sekarang diperban tebal di tangan kanannya.
“Tapi—”
“Dan itu bukan urusanmu, Niken,” ucapnya tegas. “Aku bisa menjaga diriku sendiri.” Kemudian dia menghilang ke sebelah kanan jendela kamarnya.
Uh, cukup sudah! Aku tak tahan lagi. Aku butuh penjelasan! Dan pemaksaan rasanya dibutuhkan dalam kasus ini karena aku begitu khawatir padanya.
Dengan semangat berapi-api dan amarah, aku memanjat jendela kamarku. Percaya padaku, aku tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Tapi, Nero harus diberi pelajaran.
Setelah salah satu kakiku berhasil menginjak tembok perbatasan jendela kamar kami, aku segera meraih jendela Nero. Berbeda dengan Nero yang kakinya panjang sekali sehingga cukup sekali lompat, aku butuh dua kali lompat dan kekuatan ekstra untuk melakukannya.
Badanku baru setengah keluar dari jendela saat Nero berteriak kaget, memegangi dadanya, matanya nyaris menggelinding keluar. Aku buru-buru menutup mata karena, eh, sepertinya aku masuk saat dia hendak memakai celana. Ini diluar perkiraanku. Aku sama sekali tak berpikir kalau dia sedang berganti pakaian. Percaya padaku.
“Niken!” gerutunya. “Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?”
“Aku tak lihat apa-apa. Suer!”
“Kau ini bodoh ya? Kalau kau jatuh bagaimana?”
“Oh, tenang saja, aku—”
Tubuhku seakan melayang, kakiku terangkat tak lagi menginjak tanah. Mataku terbuka lebar, berhadapan langsung dengan mata Nero. Nero mengangkatku, menarikku keluar dari jendela dengan begitu ringan seakan berat tubuhku bukan apa-apa baginya.
“Demi Tuhan, Niken, kau akan membuatku sakit jantung,” ucapnya melepas pelukan dari pinggangku kemudian berbalik menuju karpet kesayangannya dan menghidupkan televisi.
“Erm,” aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Duduk sini, Niken,” katanya menepuk-nepuk sisinya.
Aku menurut tanpa bantahan, menghempaskan pantatku ke karpet lembut penuh bantal. Nero mengenakan kaos putih lengan panjang dengan celana berpotongan pendek sedengkul berwarna coklat. Matanya menatap lurus ke layar televisi. Jelas sekali dia ingin menghindariku.
“Nero,” aku membuka pembicaraan dan Nero bergumam “Hmmm?” untuk membuktikan bahwa dia mendengar.
“Kalian tadi pergi kemana?”
“Ya ampun,” dia memutar bola matanya. “Kau akan terus bertanya walau aku tak mau menjawab?”
Aku mengangguk sekali. Mataku menatapnya dengan sungguh-sungguh.
Fine,” gumam Nero. “Aku ke rumahnya.”
“Untuk?”
“Untuk melindungiku dari pertanyaan Ayahku mengenai ini,” dia menunjukan telapak tangan kirinya yang diperban padaku.
“Maksudmu, kau tak ingin keluargamu tahu apa yang terjadi padamu kemarin?”
Dia mengangguk.
“Kenapa?”
“Niken,” Nero mengerang frustasi. “Aku belum siap bercerita padamu.”
“Oke. Lupakan itu. Pertanyaan selanjutnya.”
Dia menatapku dengan tak percaya. “You’re really stubborn, Niken. Aku seakan di pojok interogasi pihak kepolisian.”
“Memang,” aku membenarkan.
Oh, my God,” gumam Nero, merebahkan tubuhnya ke tumpukan bantal. “Ya sudah. Apa pertanyaanmu?”
“Siapa Dokter Nathan?”
“Sudah kubilang kan? Dia Dokter pribadi keluargaku.”
“Bagaimana kau mengenalnya?”
“Karena Dad berteman dengannya.”
“Kenapa kau sangat dekat dengannya”
“Dokter Nathan pernah menyelamatkanku saat ada kebakaran hebat di rumah masa kecilku di Yorkshire sana.”
Kebakaran? “Huh?” kataku terkejut. “Kapan?”
“Empat tahun lalu,” jawabnya, kemudian menguap pelan.
“Bagaimana ceritanya?” aku bertanya penasaran.
“Waktu itu terjadi arus pendek di dekat rumahku,” jawabnya pelan. “Api menjalar ke rumah dan masuk ke kamarku. Saat itu aku tidak menyadari kebakaran dan ada di kamar. Saat aku tahu ada kebakaran, apinya sudah membesar. Dokter Nathan menyelamatkanku dari jendela lantai dua, masuk dari kamar sebelah dan mengeluarkanku dari kobaran api.”
Bukankah itu sangat mengerikan? Aku menatap Nero yang tampak lelah tapi berusaha untuk tampak terjaga.
“Dokter Nathan sudah seperti Kakakku sendiri. Aku selalu cerita apapun padanya,” katanya pelan.
Termasuk apa yang terjadi semalam, tambahku dalam hati. Dan hal itu, entah kenapa, membuatku sangat jengkel. Kalau dia bisa menceritakannya pada Dokter Nathan—yang mungkin dilakukannya saat Dokter Nathan memeriksa kondisinya—kenapa Nero tak menceritakan apapun padaku.
Tunggu sebentar. Ada hubungan apa, memangnya, antara aku dan Nero sampai-sampai aku berhak mengetahui apa yang terjadi padanya kemarin?
Lalu, mengenai kebakaran itu. Aku sedikit curiga bahwa kebakaran itu bukan kecelakaan. Mungkinkah ada orang yang ingin mencelakai Nero? Ah, tidak. Itu tak mungkin. Tapi, siapa yang mengirim surat berdarah itu? Apakah punya hubungan dengan kebakaran empat tahun lalu?
“Nero, aku…” suaraku mengecil melihatnya sudah tertidur.
Tersenyum kecil, aku ikut merebahkan tubuh di sampingnya, memandangi wajah tenang Nero yang tertidur. Aku suka sekali melihatnya tertidur seperti ini. Dia tampak polos dan jujur. Berbeda sekali dengan saat dia sadar. Hanya saja, kepolosan dan kejujurannya saat tertidur seperti ini sering terganggu dengan mimpi buruk mengenai ibunya—ibu kandungnya, aku yakin sekali.
Siapa ya wanita yang berhasil melahirkan Nero sehingga nyaris sempurna seperti ini? Tidak ada satupun yang kurang dari wajahnya. Begitupula dengan kejeniusannya. Mungkin Nero sedikit bermasalah pada sifat aslirnya. Tapi, aku mungkin bisa membongkar sifat aslinya, nanti, sedikit demi sedikit.
“…ngh…”
Itu dia ekspresi wajah tak tenangnya. Kenangan mengerikan itu pasti muncul setiap kali dalam mimpinya.
“Ssshhhh,” ucapku menepuk-nepuk bahunya untuk menenangkannya.
Nero bergerak, mengubah posisi tidurnya yang menyamping. Dahinya berkeringat.
“… Mother…”
Jika waktu itu aku menertawakannya, maka kali ini aku merasa kasihan padanya. Apa yang dirasakan Nero, apa yang dia impikan saat ini, apa yang terjadi pada masa lalunya, tidak pantas ditertawakan. Dia sudah mengalami masa-masa pahit dan sedang berusaha untuk melewatinya.
Dengan berusaha tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
Aku menggenggam tangan Nero yang diperban.
“Semua akan baik-baik saja, Nero,” gumamku pelan.
Aku memerhatikan wajah Nero perlahan-lahan kembali tenang dalam tidurnya.
Ya, semua akan baik-baik saja.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.