RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 06 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Delapan Belas)


Debaran Delapan Belas
Memori
Lagi-lagi Nero tak ingat apa yang terjadi. Begitu dia membuka mata, Zoe tengah memandangnya dari samping brankar UKS.
“Apa yang terjadi?” kata Nero segera terduduk. “Mana Niken dan Devon?”
Zoe menjawab pelan, “Mereka ada di kelas. Nero, kau tak ingat apa yang sudah kau lakukan lagi?”
Nero menelan ludah. “Apalagi yang kulakukan kali ini?”
Zoe menghela napas. “Aku akan keluar sebentar. Kau tunggu di sini.”
“Apa yang terjadi?” kata Nero.
“Kita berdua akan pulang lebih awal, Nero. Aku akan mengantarmu pulang. Kau butuh istirahat.” Zoe bangkit, membuka pintu dan keluar.
Tapi aku kan tak sakit! Nero membatin jengkel. Dia mengepalkan tangannya, menoleh ke sekelilingnya dengan tak sabar. Apa yang sebenarnya sudah kulakukan? Aku sama sekali tak bisa mengingat apa yang terjadi sejak—sejak… shit! Kenapa aku tak bisa mengingatnya?
Nero menoleh tak sabar pada pintu yang tadi ditinggalkan Zoe. Beberapa detik kepergiannya seakan seabad. Aku membutuhkan penjelasan pada apa yang kulakukan! Tidak tahan dengan perasaan bersalah yang mungkin saja dia lakukan, Nero melompat dari atas tempat tidurnya dan keluar, menuju lokasi tempat dia berbicara pada Niken. Setidaknya hanya itu memori yang bisa dia ingat. Begitu melewati loker, Nero berhenti melihat penyokan dari loker besi itu. dengan segera Nero melihat tangannya yang masih lebam.
Amarahnya pastilah tak terkendali lagi sehingga dia tak bisa mengingat apa yang terjadi. Nero melihat sekelilingnya. Koridor itu kosong. Dia harus keluar dari tempat ini. Tanpa menunggu Zoe, Nero segera keluar sekolah dan melompati tembok sekolah.
Untuk sejenak Nero melihat sekelilingnya. Sekarang kemana? Dia tak mungkin pulang ke rumah. Jennifer akan bertanya-tanya apa yang terjadi. Wanita itu akan khawatir, kemudian Matt akan tahu apa yang terjadi—walau mungkin Zoe sudah memberitahunya lebih dulu, dan tak lama lagi akan muncul Dokter beserta para Psikiater.
Demi Tuhan, dia kan tak gila! Dia cuma… cuma… cuma memiliki sedikit masalah terhadap kontrol emosinya dan itu semua berkat wanita sialan itu!
Nero berjalan cepat meninggalkan sekolah. Kakinya melangkah tak tentu. Hal yang dia ketahui adalah bahwa dia harus pergi jauh dari tempat itu, dari orang banyak, menenangkan diri, mengarang kebohongan, dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Dia tak butuh Zoe yang akan menjaganya terhadap segala sesuatu.
Matahari bersinar terik. Nero segera memilih duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan melihat-lihat mobil-mobil yang berlalu-lalang di sekitarnya. Sialan. Kenapa panas sekali sih hari ini? Nero membatin jengkel, menghapus keringat dari dahinya. Sekarang sudah jam dua. Zoe pastilah sudah mencari-carinya. Semoga saja Matt tak segera mengerahkan anggota kepolisian untuk mencarinya yang baru saja menghilang selama dua jam. Matt memang paranoid sejak sepuluh tahun lalu. Nero mengerti sekali tentang itu. Tapi tetap saja dia tak membutuhkan orang sebanyak itu untuk mencarinya. Dia bisa menjaga dirinya sendiri!
Nero menghela napas dan bangkit berdiri dari tempatnya saat matahari sudah tidak lagi bersinar terik dan sore sudah menjelang. Jennifer pasti sudah khawatir. Dia sebaiknya segera pulang. Matt pastilah tak akan senang jika melihatnya muncul dalam keadaan sore begini—apalagi jika dia mendapat kabar dari Zoe.
Ya, ampun! Nero mengerang jengkel. Dia sama sekali tak membutuhkan Zoe yang selalu melapor seluruh tindakannya pada Matt. Siapa yang tak marah jika privasinya diganggu?
Sambil memasukan kedua tangannya ke saku celananya, Nero berjalan pelan di pinggir jalan. Sudah lama sekali dia tak jalan-jalan sendiri seperti ini tanpa dipantau orang lain. Melangkah pelan-pelan, Nero berbelok ke kanan gang—
—dan mulutnya dibekap seseorang.
Nero mencoba melawan, tapi bau yang tercium di sekitar hidungnya membuatnya kehilangan kesadaran dan jatuh.
***The Flower Boy Next Door***
Nero terbangun di ruangan gelap dengan sinar lampu yang berkedip-kedip menyeramkan di atas kepalanya. Jendela-jendela kotor tampak di depannya, tertutup dan dipaku menyilang. Dari tempatnya berada Nero bisa melihat bahwa langit sudah gelap dan terasa dekat. Dia pasti berada di sebuah gedung bertingkat kosong.
“Kau sudah bangun?” terdengar suara di dekatnya. Suara yang sangat dia kenal baik secara realita maupun imajinasi. Suara itulah yang menghantui mimpinya selama sepuluh tahun.
Teror itu kembali. Nero berusaha berdiri, tapi dia menyadari bahwa kedua tangan dan kakinya terikat. Jantung Nero berdegup-degup tak karuan. Kepanikan mulai melandanya. Tidak. Tidak lagi. Ini tidak mungkin terulang lagi. Dia tak ingin mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Dia sudah cukup melihat hal yang mengerikan dalam hidupnya.
“Apakah tidurmu nyenyak?” kata suara itu lagi.
Nero menelan ludah. Sekarang dia dapat merasakan bahwa tubuhnya sendiri menggigil mendengar suara itu.
“Pasti nyenyak sekali. Untunglah aku tidak merobek lehermu saat kau tidur karena kau pasti tidak merasakannya. Itu terlalu mudah untuk mati. Bukankah begitu, Nero?”
“Deborah,” kata Nero dengan suara gemetar.
Wanita cantik berambut emas itu memunculkan wajahnya ke cahaya lampu yang timbul tenggelam. Pipinya tampak lebih kurus daripada saat mereka terakhir kali bertemu. Tubuhnya tinggi langsing, mengenakan kaos merah muda dan celana pendek katun. Wanita itu tampak seperti wanita normal andai saja matanya tak tampak liar dan tangannya memegang pisau.
“Kau masih mengenaliku?” kata Deborah, lalu tertawa. “Padahal kita sudah tak bertemu selama sepuluh tahun! Aku nyaris saja salah mengenalimu, Nero dan aku bahkan tak punya kesempatan mendekatimu. Tapi kali ini aku mendapatkan kesempatan. Lihat? Tuhan begitu baik padaku kan? Itu artinya aku diijinkan untuk menghukum kalian!”
Nero menahan napas. Wanita itu tengah berjongkok melihatnya dengan penuh nafsu membunuh.
“Deborah,” kata Nero pelan, berusaha menenangkan suaranya walau dirinya ketakutan, “kau tahu dengan pasti bahwa hal ini tak ada gunanya.”
Wanita itu tertawa keras-keras. “Kau takut mati, hah?”
Nero menahan ketakutannya untuk tetap berbicara dengan nada tenang. “Ayahku, Matt, tak akan senang aku mati di tanganmu.”
Deborah mengulurkan pisaunya, menyentuh ujung pisau itu ke sekitar lehernya, lalu berhenti di urat nadi Nero yang berdenyut cepat. Nero menutup matanya, menunggu hal terburuk.
“Itu yang kuinginkan, Nero,” bisiknya berbahaya. “Aku akan membuat Matt menyesal karena telah mencampakanku, kekasihnya! Aku akan membuat dia membayar rasa sakit hatiku selama belasan tahun. Lalu dia akan datang padaku, berlutut di hadapanku, memohon pengampunan dariku!”
“Itu tak akan terjadi, Deborah,” kata Nero.
“Diam, Anak Pelacur!” Deborah berteriak marah, menyabetkan pisaunya ke tangan Nero. Nero mengerang pelan, merasakan kulitnya robek dan sesuatu yang hangat mengalir turun dari tangannya. “Ah, lihat? Itulah yang akan terjadi bila kau banyak bicara!”
“Deborah, membunuhku tak akan membuatmu mendapatkan Ayahku kembali,” kata Nero lagi. “Kau sudah membunuh Ibuku dan sekarang kau akan membunuhku. Pria waras mana yang akan membiarkan dirinya jatuh hati pada wanita mengerikan sepertimu?”
“Apa kau tak sadar posisimu sekarang?” wanita itu meraung marah.
“Aku tak takut mati,” bisik Nero. “Jika mati dapat membuatku melupakan kejadian ini dan membuatmu puas maka bunuh aku sekarang!”
Deborah mengerang jengkel. Dia menarik dasi Nero dan menunduk. “Aku akan membunuhmu, Nero. Tapi tidak seperti yang kau pikirkan. Ya, aku akan membunuhmu pelan-pelan. Bagaimana menurutmu jika aku memotong satu jarimu dan mengirimkannya pada Ayahmu yang tersayang itu?”
Nero menelan ludah. “Kau tak akan melakukannya.”
“Setelah jarimu, aku akan memotong telingamu,” bisiknya berbahaya. “Kemudian tanganmu. Satu per satu anggota tubuhmu akan kupotong dan kukirim pada Ayahmu yang brengsek itu. Dan kau tahu apa bagian yang menyenangkannya Nero?”
Nero tak berani berbicara.
“Aku akan mengambil videomu yang kusiksa pelan-pelan.” Deborah tertawa lagi. Dia tampak begitu bahagia melihat Nero tak mampu bergerak karena diliputi ketakutan. “Setiap jeritanmu akan terekam. Setiap adegan penyiksaanmu akan menjadi memori Ayahmu. Dia akan merasakan apa yang kau rasakan, Nero. Dia pasti akan senang sekali melihat cara kematian anak kebanggaannya. Dan, sama sepertimu, setelah dia menonton saat kematianmu, dia tak akan melupakanku. Bukankah itu sangat keren, Nero?”
“Kau gila, Deborah.”
Anehnya, wanita itu malah terbahak-bahak seakan mendengar bahwa itu pujian. “Wajahmu mirip sekali seperti sepuluh tahun lalu, Nero. Sayang sekali aku tak berhasil membunuhmu saat itu. Tapi ada bagusnya juga kau melihat cara kematian Pelacur itu: menabraknya tepat di depan anaknya! HAHAHAHA!”
Nero menggertakan giginya. Kedua tangannya berusaha melepaskan diri.
“Dan kau tahu apa? Wajah Matt yang menangisi mayat itu benar-benar hiburan tersendiri! HAHAHA! Dia menangisi seorang pelacur! Kasihan!”
Memori itu kembali. Nero menggeram marah. Matanya berkilat berbahaya sementara kedua tangannya yang berusaha melepaskan diri sudah tidak merasakan lagi darah yang merembes keluar begitu saja.
“Nero sayang, kasihan kau, kau akan menyusul Pelacur itu! Kau dan dia akan berkumpul lagi!”
“Nero, Sayang, tunggu di sini, ya, Mama ambil uang dulu.” Suara Theressa terdengar lembut di telinga Nero.
Nero kecil mengadah, mengangguk kecil.
Wanita itu mengecup dahinya dan berjalan pelan untuk menyebrangi jalan.
“Oh, dan Nero sayang, aku benar-benar suka melihat wajah kosongmu saat itu!”
Dan sebuah mobil menabraknya bahkan sebelum Theressa menginjak kaki ke jalan. Tubuh Theressa berguling naik ke atas atap mobil seiring dengan suara teriakan panik dan histeris dari orang-orang di jalanan. Lalu, tubuh Theressa jatuh ke jalanan sementara mobil itu mendecit, berbalik arah dan kabur, nyaris menabrak Nero kecil yang tak bergerak melihat adegan itu dengan mata kepalanya sendiri andai saja seseorang tidak menyelamatkannya.
“Shock dan terpukul karena darah Ibumu sendiri yang memuncrati wajahmu sendiri! Kau bahkan tak mampu menangis karena itu! Kasihan! Hahahahaha!”
“Mother…” Nero melompat dari tubuh orang yang menolongnya dan berlari menuju tubuh Theressa yang tak bergerak. “Mother… Mother…”
Tapi tubuh itu tak bergerak.
“Mother… Mother…”
Tubuh itu bergerak perlahan dan terbatuk, menyemburkan darah dari mulutnya dan mengenai pakaian Nero. Nero tak bergerak, melihat Theressa menggelepar kesakitan, tidak menyadari keberadaannya dan beberapa detik kemudian tak bergerak untuk selamanya
“Sekarang, kau akan kukirim bersama Pelacur itu, Nero. Agak disayangkan karena kau punya wajah yang tampan.”
“Bunuh,” Nero bergumam pelan.
“Hm? Apa katamu?”
“Akan kubunuh kau!” Nero meraung dan saat itu pula ikatan di belakang Nero lepas, terobek menjadi dua. Deborah memekik tak percaya dan detik berikutnya, Nero sudah mencengkram lehernya dan membantingnya ke lantai.
“Akan kubunuh kau, Pembunuh,” gumam Nero, mencekik leher Deborah dengan kebencian yang memuncak. “Kau harus dibunuh, Pembunuh.”
“Nero…” Deborah tercekat, memegang kedua tangan Nero.
 “Nero, Putraku, respon aku…”
“Matilah kau, Deborah,” gumam Nero, mempererat genggamannya.
“Nero, aku tak akan meninggalkanmu,” suara Matt terdengar begitu dekat. Laki-laki itu memeluk tubuh kecil Nero yang tak merespon siapapun sejak kematian Theressa selama sebulan penuh. “Nero, anakku, aku menyayangimu. Putraku… Neroku… jangan sampai dia mengambilmu juga dariku… Nero…”
Nero mengerjap, melihat Deborah yang kehabisan napas karena cekikannya. Dengan segera Nero melepaskan tangannya.
Wanita gila itu terbatuk-batuk.
“Apa yang terjadi?” gumam Nero kebingungan.
Tapi Deborah yang melihat Nero lengah segera mengambil kembali pisaunya yang tak jauh dari jangkauan dan menyabetkannya pada Nero. Nero mengangkat tangan kirinya, melindugi wajahnya dan sabetan itu mengenai telapak tangannya.
“Mati kau sekarang!” Deborah mengangkat pisaunya.
Nero menghindar dan meninju rahang wanita itu. Kepala wanita itu menghantam lantai. Pisau di tangannya terlepas dan jatuh dengan bunyi berkelontang. Nero menunggu untuk melihat apakah wanita itu bangkit lagi atau tidak. Tapi ternyata wanita itu pingsan.
Ketakutan kembali menjalar di seluruh tubuh Nero. Cepat-cepat dia melepas ikatan di kakinya dan keluar dari ruangan itu. Yang Nero ingat adalah dia berhasil melarikan diri dari tempat mengerikan itu dalam keadaan selamat. Yang Nero tahu adalah bahwa dia harus mengambil jarak sejauh mungkin dari Deborah.
Jantungnya berdegup-degup tak karuan. Trauma itu kembali diingatkan dengan cara sukses yang membuat tulangnya menggigil. Dia bahkan tak merasakan lagi napasnya yang sesak karena berlari, keringatnya yang turun terus membasahi dahi dan punggungnya, ataupun darah yang mengucur deras dari kedua tangannya,
Ketakutannya berhasil membuatnya melupakan semuanya.
Dan begitu dia sadar, ada banyak orang yang melihat keadaan dan kepanikannya, Nero segera bersembunyi ke balik gang sempit. Dia sama sekali tak tahu ada di mana dia sekarang. Dia tersesat dan tak ada seorang pun yang bisa dia tanyai.
“Shit!” gumamnya saat darah di tangan kanannya sama sekali tak mau berhenti mengalir. Sekarang napasnya bukan tersenggal-senggal karena berlari, tapi karena rasa sakit yang sekarang menjalar sampai ke kepalanya, berdenyut-denyut menyakitkan dan mengaburkan penglihatannya.
Sambil menggigit bibirnya, Nero mencoba mencengkram tangannya untuk menghentikan pendarahan. Dia mengerang perlahan, tapi cara itu tak berhasil. Darahnya malah semakin banyak yang keluar, apalagi tangan yang dia pakai untuk menghentikan pendarahan juga berdarah.
Nero mengerang jengkel, menahan kesakitannya. Dia membutuhkan pertolongan. Siapa saja. Jika terus seperti ini dia bisa mati kehabisan darah. Dengan cepat Nero merogoh kantongnya, mengerang kesakitan saat posisi duduknya berubah. Sial. Dia tak punya ponsel! Bagaimana dia bisa menghubungi seseorang? Matt harus segera membelikannya ponsel, jika tidak Nero sendiri yang akan membongkar brankasnya.
Tangan Nero meraba-raba kantongnya.
“Shit! Where’s my damn wallet?”
Nero mengerang lagi karena dia ingat bahwa dompetnya ketinggalan di dalam tasnya yang dia tinggal di dalam kelas. Sialan. Jika seperti ini, dia bisa tewas.
“Nero?”
Dengan cepat Nero menutup mulutnya, menahan ketakutan yang nyaris saja keluar. Apakah wanita itu sudah sadar? Apakah dia berhasil mengejarnya sampai kemari?
 “Nero?”
Nero mengenal suara itu. Niken. Apa yang dia lakukan di sini? Mendesah pelan untuk menenangkan suaranya, dia berkata, “Jangan mendekat, Niken.”
“Apaan sih? Memangnya kau ngapain?”
Gadis itu mendekat. Bayangannya yang berjalan masuk ke gang tampak jelas. Dia bahkan menggunakan sinar ponselnya untuk melihat apa yang terjadi. Oh, tidak. Oh, TIDAK.
“Niken, kumohon, pergilah!”
“Bagaimana mungkin aku—” dan Niken ternganga melihat luka Nero.
“Niken, jangan lihat!” kata Nero berusaha menyembunyikan luka yang mengerikan. Tapi Niken benar-benar keras kepala. Gadis itu berjongkok, melihat luka itu dan kali ini, tak perlu diragukan lagi, dia benar-benar ketakutan.
“Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau bisa sampai berdarah seperti ini?”
“Aku tak apa-apa, Niken,” katanya tenang. Seseorang harus bisa berpikir jernih, walau orang yang terlukalah yang harus melakukannya.
“Mana mungkin kau tak apa-apa. Oh, Tuhan, darahnya banyak sekali,” Niken benar-benar panik dan cemas. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi Nero. Kenapa dari sekian banyak orang harus gadis ini yang melihatku dalam keadaan seperti ini? Setiap kali… setiap waktu
“Niken, tenanglah,” Nero memegang tangannya yang gemetaran. “Ini hanya luka kecil. Jangan panik oke? Aku tak apa-apa.”
Air matanya jatuh saat mengangguk kecil. “Tunggu di sini. Aku akan cari bantuan,” dia bangkit dengan cepat dan keluar gang.
Nero mengerang pelan lagi, memegangi tangannya. Pandangan matanya terasa kabur. Sialan. Ini tak akan bertahan lama. Tak akan ada orang yang bersedia membantu orang yang sekarat sepertinya. Nero berusaha menguatkan dirinya. Energinya habis. Dia tak akan bertahan lagi jika terlalu lama menunggu.
“Ini dia. Di sini,” suara Niken terdengar seiring dengan langkah-langkah orang yang mendekat. “Nero, Nero, aku mendapatkan bantuan. Bertahanlah sebentar.”
Seorang memegangi tangan Nero.
“Bagaimana dia, Felix?” tanya suara yang tak dikenal Nero. “Sepertinya parah sekali.”
“Kita bawa dia ke rumah sakit. Dia butuh darah. Alex, buka pintu, aku akan menggendongnya.”
Suara mereka terdengar berdegung bagi Nero seiring dengan hilangnya kesadarannya.
“Nero! Nero!”
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.