Debaran Delapan Belas
Memori
Lagi-lagi
Nero tak ingat apa yang terjadi. Begitu dia membuka mata, Zoe tengah
memandangnya dari samping brankar UKS.
“Apa
yang terjadi?” kata Nero segera terduduk. “Mana Niken dan Devon?”
Zoe
menjawab pelan, “Mereka ada di kelas. Nero, kau tak ingat apa yang sudah kau
lakukan lagi?”
Nero
menelan ludah. “Apalagi yang kulakukan kali ini?”
Zoe
menghela napas. “Aku akan keluar sebentar. Kau tunggu di sini.”
“Apa
yang terjadi?” kata Nero.
“Kita
berdua akan pulang lebih awal, Nero. Aku akan mengantarmu pulang. Kau butuh
istirahat.” Zoe bangkit, membuka pintu dan keluar.
Tapi aku kan tak sakit!
Nero membatin jengkel. Dia mengepalkan tangannya, menoleh ke sekelilingnya
dengan tak sabar. Apa yang sebenarnya sudah kulakukan? Aku sama sekali tak bisa
mengingat apa yang terjadi sejak—sejak…
shit! Kenapa aku tak bisa mengingatnya?
Nero
menoleh tak sabar pada pintu yang tadi ditinggalkan Zoe. Beberapa detik
kepergiannya seakan seabad. Aku
membutuhkan penjelasan pada apa yang kulakukan! Tidak tahan dengan perasaan
bersalah yang mungkin saja dia lakukan, Nero melompat dari atas tempat tidurnya
dan keluar, menuju lokasi tempat dia berbicara pada Niken. Setidaknya hanya itu
memori yang bisa dia ingat. Begitu melewati loker, Nero berhenti melihat
penyokan dari loker besi itu. dengan segera Nero melihat tangannya yang masih
lebam.
Amarahnya
pastilah tak terkendali lagi sehingga dia tak bisa mengingat apa yang terjadi.
Nero melihat sekelilingnya. Koridor itu kosong. Dia harus keluar dari tempat
ini. Tanpa menunggu Zoe, Nero segera keluar sekolah dan melompati tembok
sekolah.
Untuk
sejenak Nero melihat sekelilingnya. Sekarang kemana? Dia tak mungkin pulang ke
rumah. Jennifer akan bertanya-tanya apa yang terjadi. Wanita itu akan khawatir,
kemudian Matt akan tahu apa yang terjadi—walau mungkin Zoe sudah memberitahunya
lebih dulu, dan tak lama lagi akan muncul Dokter beserta para Psikiater.
Demi
Tuhan, dia kan tak gila! Dia cuma… cuma… cuma memiliki sedikit masalah terhadap
kontrol emosinya dan itu semua berkat wanita sialan itu!
Nero
berjalan cepat meninggalkan sekolah. Kakinya melangkah tak tentu. Hal yang dia
ketahui adalah bahwa dia harus pergi jauh dari tempat itu, dari orang banyak,
menenangkan diri, mengarang kebohongan, dan berusaha untuk terlihat baik-baik
saja. Dia tak butuh Zoe yang akan menjaganya terhadap segala sesuatu.
Matahari
bersinar terik. Nero segera memilih duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan
melihat-lihat mobil-mobil yang berlalu-lalang di sekitarnya. Sialan. Kenapa
panas sekali sih hari ini? Nero membatin jengkel, menghapus keringat dari
dahinya. Sekarang sudah jam dua. Zoe pastilah sudah mencari-carinya. Semoga
saja Matt tak segera mengerahkan anggota kepolisian untuk mencarinya yang baru
saja menghilang selama dua jam. Matt memang paranoid sejak sepuluh tahun lalu.
Nero mengerti sekali tentang itu. Tapi tetap saja dia tak membutuhkan orang
sebanyak itu untuk mencarinya. Dia bisa menjaga dirinya sendiri!
Nero
menghela napas dan bangkit berdiri dari tempatnya saat matahari sudah tidak
lagi bersinar terik dan sore sudah menjelang. Jennifer pasti sudah khawatir.
Dia sebaiknya segera pulang. Matt pastilah tak akan senang jika melihatnya
muncul dalam keadaan sore begini—apalagi jika dia mendapat kabar dari Zoe.
Ya,
ampun! Nero mengerang jengkel. Dia sama sekali tak membutuhkan Zoe yang selalu
melapor seluruh tindakannya pada Matt. Siapa yang tak marah jika privasinya
diganggu?
Sambil
memasukan kedua tangannya ke saku celananya, Nero berjalan pelan di pinggir
jalan. Sudah lama sekali dia tak jalan-jalan sendiri seperti ini tanpa dipantau
orang lain. Melangkah pelan-pelan, Nero berbelok ke kanan gang—
—dan
mulutnya dibekap seseorang.
Nero
mencoba melawan, tapi bau yang tercium di sekitar hidungnya membuatnya
kehilangan kesadaran dan jatuh.
***The Flower
Boy Next Door***
Nero
terbangun di ruangan gelap dengan sinar lampu yang berkedip-kedip menyeramkan
di atas kepalanya. Jendela-jendela kotor tampak di depannya, tertutup dan
dipaku menyilang. Dari tempatnya berada Nero bisa melihat bahwa langit sudah
gelap dan terasa dekat. Dia pasti berada di sebuah gedung bertingkat kosong.
“Kau
sudah bangun?” terdengar suara di dekatnya. Suara yang sangat dia kenal baik
secara realita maupun imajinasi. Suara itulah yang menghantui mimpinya selama
sepuluh tahun.
Teror
itu kembali. Nero berusaha berdiri, tapi dia menyadari bahwa kedua tangan dan
kakinya terikat. Jantung Nero berdegup-degup tak karuan. Kepanikan mulai
melandanya. Tidak. Tidak lagi. Ini tidak mungkin terulang lagi. Dia tak ingin
mimpi buruk itu menjadi kenyataan. Dia sudah cukup melihat hal yang mengerikan
dalam hidupnya.
“Apakah
tidurmu nyenyak?” kata suara itu lagi.
Nero
menelan ludah. Sekarang dia dapat merasakan bahwa tubuhnya sendiri menggigil
mendengar suara itu.
“Pasti
nyenyak sekali. Untunglah aku tidak merobek lehermu saat kau tidur karena kau
pasti tidak merasakannya. Itu terlalu mudah untuk mati. Bukankah begitu, Nero?”
“Deborah,”
kata Nero dengan suara gemetar.
Wanita
cantik berambut emas itu memunculkan wajahnya ke cahaya lampu yang timbul
tenggelam. Pipinya tampak lebih kurus daripada saat mereka terakhir kali
bertemu. Tubuhnya tinggi langsing, mengenakan kaos merah muda dan celana pendek
katun. Wanita itu tampak seperti wanita normal andai saja matanya tak tampak
liar dan tangannya memegang pisau.
“Kau
masih mengenaliku?” kata Deborah, lalu tertawa. “Padahal kita sudah tak bertemu
selama sepuluh tahun! Aku nyaris saja salah mengenalimu, Nero dan aku bahkan
tak punya kesempatan mendekatimu. Tapi kali ini aku mendapatkan kesempatan.
Lihat? Tuhan begitu baik padaku kan? Itu artinya aku diijinkan untuk menghukum
kalian!”
Nero
menahan napas. Wanita itu tengah berjongkok melihatnya dengan penuh nafsu
membunuh.
“Deborah,”
kata Nero pelan, berusaha menenangkan suaranya walau dirinya ketakutan, “kau
tahu dengan pasti bahwa hal ini tak ada gunanya.”
Wanita
itu tertawa keras-keras. “Kau takut mati, hah?”
Nero
menahan ketakutannya untuk tetap berbicara dengan nada tenang. “Ayahku, Matt,
tak akan senang aku mati di tanganmu.”
Deborah
mengulurkan pisaunya, menyentuh ujung pisau itu ke sekitar lehernya, lalu
berhenti di urat nadi Nero yang berdenyut cepat. Nero menutup matanya, menunggu
hal terburuk.
“Itu
yang kuinginkan, Nero,” bisiknya berbahaya. “Aku akan membuat Matt menyesal
karena telah mencampakanku, kekasihnya! Aku akan membuat dia membayar rasa
sakit hatiku selama belasan tahun. Lalu dia akan datang padaku, berlutut di
hadapanku, memohon pengampunan dariku!”
“Itu
tak akan terjadi, Deborah,” kata Nero.
“Diam,
Anak Pelacur!” Deborah berteriak marah, menyabetkan pisaunya ke tangan Nero.
Nero mengerang pelan, merasakan kulitnya robek dan sesuatu yang hangat mengalir
turun dari tangannya. “Ah, lihat? Itulah yang akan terjadi bila kau banyak
bicara!”
“Deborah,
membunuhku tak akan membuatmu mendapatkan Ayahku kembali,” kata Nero lagi. “Kau
sudah membunuh Ibuku dan sekarang kau akan membunuhku. Pria waras mana yang
akan membiarkan dirinya jatuh hati pada wanita mengerikan sepertimu?”
“Apa
kau tak sadar posisimu sekarang?” wanita itu meraung marah.
“Aku
tak takut mati,” bisik Nero. “Jika mati dapat membuatku melupakan kejadian ini
dan membuatmu puas maka bunuh aku sekarang!”
Deborah
mengerang jengkel. Dia menarik dasi Nero dan menunduk. “Aku akan membunuhmu,
Nero. Tapi tidak seperti yang kau pikirkan. Ya, aku akan membunuhmu
pelan-pelan. Bagaimana menurutmu jika aku memotong satu jarimu dan
mengirimkannya pada Ayahmu yang tersayang itu?”
Nero
menelan ludah. “Kau tak akan melakukannya.”
“Setelah
jarimu, aku akan memotong telingamu,” bisiknya berbahaya. “Kemudian tanganmu.
Satu per satu anggota tubuhmu akan kupotong dan kukirim pada Ayahmu yang
brengsek itu. Dan kau tahu apa bagian yang menyenangkannya Nero?”
Nero
tak berani berbicara.
“Aku
akan mengambil videomu yang kusiksa pelan-pelan.” Deborah tertawa lagi. Dia
tampak begitu bahagia melihat Nero tak mampu bergerak karena diliputi
ketakutan. “Setiap jeritanmu akan terekam. Setiap adegan penyiksaanmu akan
menjadi memori Ayahmu. Dia akan merasakan apa yang kau rasakan, Nero. Dia pasti
akan senang sekali melihat cara kematian anak kebanggaannya. Dan, sama
sepertimu, setelah dia menonton saat kematianmu, dia tak akan melupakanku.
Bukankah itu sangat keren, Nero?”
“Kau
gila, Deborah.”
Anehnya,
wanita itu malah terbahak-bahak seakan mendengar bahwa itu pujian. “Wajahmu
mirip sekali seperti sepuluh tahun lalu, Nero. Sayang sekali aku tak berhasil
membunuhmu saat itu. Tapi ada bagusnya juga kau melihat cara kematian Pelacur
itu: menabraknya tepat di depan anaknya! HAHAHAHA!”
Nero
menggertakan giginya. Kedua tangannya berusaha melepaskan diri.
“Dan
kau tahu apa? Wajah Matt yang menangisi mayat itu benar-benar hiburan
tersendiri! HAHAHA! Dia menangisi seorang pelacur! Kasihan!”
Memori
itu kembali. Nero menggeram marah. Matanya berkilat berbahaya sementara kedua
tangannya yang berusaha melepaskan diri sudah tidak merasakan lagi darah yang
merembes keluar begitu saja.
“Nero
sayang, kasihan kau, kau akan menyusul Pelacur itu! Kau dan dia akan berkumpul
lagi!”
“Nero, Sayang, tunggu di sini, ya,
Mama ambil uang dulu.” Suara Theressa terdengar lembut di telinga Nero.
Nero kecil mengadah, mengangguk
kecil.
Wanita itu mengecup dahinya dan
berjalan pelan untuk menyebrangi jalan.
“Oh,
dan Nero sayang, aku benar-benar suka melihat wajah kosongmu saat itu!”
Dan sebuah mobil menabraknya bahkan
sebelum Theressa menginjak kaki ke jalan. Tubuh Theressa berguling naik ke atas
atap mobil seiring dengan suara teriakan panik dan histeris dari orang-orang di
jalanan. Lalu, tubuh Theressa jatuh ke jalanan sementara mobil itu mendecit,
berbalik arah dan kabur, nyaris menabrak Nero kecil yang tak bergerak melihat
adegan itu dengan mata kepalanya sendiri andai saja seseorang tidak
menyelamatkannya.
“Shock
dan terpukul karena darah Ibumu sendiri yang memuncrati wajahmu sendiri! Kau
bahkan tak mampu menangis karena itu! Kasihan! Hahahahaha!”
“Mother…” Nero melompat dari tubuh
orang yang menolongnya dan berlari menuju tubuh Theressa yang tak bergerak.
“Mother… Mother…”
Tapi tubuh itu tak bergerak.
“Mother… Mother…”
Tubuh itu bergerak perlahan dan
terbatuk, menyemburkan darah dari mulutnya dan mengenai pakaian Nero. Nero tak
bergerak, melihat Theressa menggelepar kesakitan, tidak menyadari keberadaannya
dan beberapa detik kemudian tak bergerak untuk selamanya
“Sekarang,
kau akan kukirim bersama Pelacur itu, Nero. Agak disayangkan karena kau punya
wajah yang tampan.”
“Bunuh,”
Nero bergumam pelan.
“Hm?
Apa katamu?”
“Akan
kubunuh kau!” Nero meraung dan saat itu pula ikatan di belakang Nero lepas,
terobek menjadi dua. Deborah memekik tak percaya dan detik berikutnya, Nero
sudah mencengkram lehernya dan membantingnya ke lantai.
“Akan
kubunuh kau, Pembunuh,” gumam Nero, mencekik leher Deborah dengan kebencian
yang memuncak. “Kau harus dibunuh, Pembunuh.”
“Nero…”
Deborah tercekat, memegang kedua tangan Nero.
“Nero, Putraku,
respon aku…”
“Matilah
kau, Deborah,” gumam Nero, mempererat genggamannya.
“Nero, aku tak akan
meninggalkanmu,” suara Matt terdengar begitu dekat. Laki-laki itu memeluk tubuh
kecil Nero yang tak merespon siapapun sejak kematian Theressa selama sebulan
penuh. “Nero, anakku, aku menyayangimu. Putraku… Neroku… jangan sampai dia
mengambilmu juga dariku… Nero…”
Nero
mengerjap, melihat Deborah yang kehabisan napas karena cekikannya. Dengan
segera Nero melepaskan tangannya.
Wanita
gila itu terbatuk-batuk.
“Apa
yang terjadi?” gumam Nero kebingungan.
Tapi
Deborah yang melihat Nero lengah segera mengambil kembali pisaunya yang tak
jauh dari jangkauan dan menyabetkannya pada Nero. Nero mengangkat tangan
kirinya, melindugi wajahnya dan sabetan itu mengenai telapak tangannya.
“Mati
kau sekarang!” Deborah mengangkat pisaunya.
Nero
menghindar dan meninju rahang wanita itu. Kepala wanita itu menghantam lantai.
Pisau di tangannya terlepas dan jatuh dengan bunyi berkelontang. Nero menunggu
untuk melihat apakah wanita itu bangkit lagi atau tidak. Tapi ternyata wanita
itu pingsan.
Ketakutan
kembali menjalar di seluruh tubuh Nero. Cepat-cepat dia melepas ikatan di
kakinya dan keluar dari ruangan itu. Yang Nero ingat adalah dia berhasil
melarikan diri dari tempat mengerikan itu dalam keadaan selamat. Yang Nero tahu
adalah bahwa dia harus mengambil jarak sejauh mungkin dari Deborah.
Jantungnya
berdegup-degup tak karuan. Trauma itu kembali diingatkan dengan cara sukses
yang membuat tulangnya menggigil. Dia bahkan tak merasakan lagi napasnya yang
sesak karena berlari, keringatnya yang turun terus membasahi dahi dan
punggungnya, ataupun darah yang mengucur deras dari kedua tangannya,
Ketakutannya
berhasil membuatnya melupakan semuanya.
Dan
begitu dia sadar, ada banyak orang yang melihat keadaan dan kepanikannya, Nero
segera bersembunyi ke balik gang sempit. Dia sama sekali tak tahu ada di mana
dia sekarang. Dia tersesat dan tak ada seorang pun yang bisa dia tanyai.
“Shit!”
gumamnya saat darah di tangan kanannya sama sekali tak mau berhenti mengalir.
Sekarang napasnya bukan tersenggal-senggal karena berlari, tapi karena rasa
sakit yang sekarang menjalar sampai ke kepalanya, berdenyut-denyut menyakitkan
dan mengaburkan penglihatannya.
Sambil
menggigit bibirnya, Nero mencoba mencengkram tangannya untuk menghentikan
pendarahan. Dia mengerang perlahan, tapi cara itu tak berhasil. Darahnya malah
semakin banyak yang keluar, apalagi tangan yang dia pakai untuk menghentikan
pendarahan juga berdarah.
Nero
mengerang jengkel, menahan kesakitannya. Dia membutuhkan pertolongan. Siapa
saja. Jika terus seperti ini dia bisa mati kehabisan darah. Dengan cepat Nero
merogoh kantongnya, mengerang kesakitan saat posisi duduknya berubah. Sial. Dia
tak punya ponsel! Bagaimana dia bisa menghubungi seseorang? Matt harus segera
membelikannya ponsel, jika tidak Nero sendiri yang akan membongkar brankasnya.
Tangan
Nero meraba-raba kantongnya.
“Shit! Where’s my damn wallet?”
Nero
mengerang lagi karena dia ingat bahwa dompetnya ketinggalan di dalam tasnya
yang dia tinggal di dalam kelas. Sialan. Jika seperti ini, dia bisa tewas.
“Nero?”
Dengan
cepat Nero menutup mulutnya, menahan ketakutan yang nyaris saja keluar. Apakah
wanita itu sudah sadar? Apakah dia berhasil mengejarnya sampai kemari?
“Nero?”
Nero
mengenal suara itu. Niken. Apa yang dia lakukan di sini? Mendesah pelan untuk
menenangkan suaranya, dia berkata, “Jangan mendekat, Niken.”
“Apaan
sih? Memangnya kau ngapain?”
Gadis
itu mendekat. Bayangannya yang berjalan masuk ke gang tampak jelas. Dia bahkan
menggunakan sinar ponselnya untuk melihat apa yang terjadi. Oh, tidak. Oh,
TIDAK.
“Niken,
kumohon, pergilah!”
“Bagaimana
mungkin aku—” dan Niken ternganga melihat luka Nero.
“Niken,
jangan lihat!” kata Nero berusaha menyembunyikan luka yang mengerikan. Tapi
Niken benar-benar keras kepala. Gadis itu berjongkok, melihat luka itu dan kali
ini, tak perlu diragukan lagi, dia benar-benar ketakutan.
“Apa
yang terjadi padamu? Kenapa kau bisa sampai berdarah seperti ini?”
“Aku
tak apa-apa, Niken,” katanya tenang. Seseorang harus bisa berpikir jernih,
walau orang yang terlukalah yang harus melakukannya.
“Mana
mungkin kau tak apa-apa. Oh, Tuhan, darahnya banyak sekali,” Niken benar-benar
panik dan cemas. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi Nero. Kenapa dari sekian banyak orang harus gadis
ini yang melihatku dalam keadaan seperti ini? Setiap kali… setiap waktu…
“Niken,
tenanglah,” Nero memegang tangannya yang gemetaran. “Ini hanya luka kecil.
Jangan panik oke? Aku tak apa-apa.”
Air
matanya jatuh saat mengangguk kecil. “Tunggu di sini. Aku akan cari bantuan,”
dia bangkit dengan cepat dan keluar gang.
Nero
mengerang pelan lagi, memegangi tangannya. Pandangan matanya terasa kabur.
Sialan. Ini tak akan bertahan lama. Tak akan ada orang yang bersedia membantu
orang yang sekarat sepertinya. Nero berusaha menguatkan dirinya. Energinya
habis. Dia tak akan bertahan lagi jika terlalu lama menunggu.
“Ini
dia. Di sini,” suara Niken terdengar seiring dengan langkah-langkah orang yang
mendekat. “Nero, Nero, aku mendapatkan bantuan. Bertahanlah sebentar.”
Seorang
memegangi tangan Nero.
“Bagaimana
dia, Felix?” tanya suara yang tak dikenal Nero. “Sepertinya parah sekali.”
“Kita
bawa dia ke rumah sakit. Dia butuh darah. Alex, buka pintu, aku akan
menggendongnya.”
Suara
mereka terdengar berdegung bagi Nero seiring dengan hilangnya kesadarannya.
“Nero!
Nero!”
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar