RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 06 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh)


Debaran Dua Puluh
Love… huh?
Nero membuka matanya pelan-pelan. Badannya terasa sakit sekali karena tidur dalam posisi yang sama sepanjang malam. Tapi genggaman tangan seseorang yang saat ini ada di sampingnya terasa sangat menenangkan.
Tidak menggerakan tubuhnya, Nero melihat ke sekelilingnya. Tubuh mereka berdua sekarang sudah dibalut dengan selimut yang diambil dari atas tempat tidur. Televisi yang semalam menyala sudah mati. Mungkin Niken-lah yang sudah mematikannya. Tapi Nero agak curiga dengan posisi selimut.
Nero kembali mengalihkan pandangannya pada Niken yang tidur di sampingnya. Ini kali kedua dia melihat wajah Niken di pagi hari. Hatinya merasa tersentuh, hangat dan bahagia mengetahi bahwa Niken peduli padanya dan menunjukan kepedulian itu dengan caranya sendiri dan sedikit terlalu berani.
Tersenyum, Nero mengelus pelan tangan Niken, merasakan kulit Niken dari jari-jarinya yang tidak tertutup perban. Dia bisa saja memandangi wajah Niken seperti ini, sepanjang hari, jika dia tak ingat bahwa nanti Jennifer akan mengetuk pintu kamarnya, membangunkannya untuk pergi ke sekolah.
Sekolah. Benar juga. Devon tak akan melepaskannya jika dia tak memberi alasan masuk akal kenapa dia tak datang kemarin. Dan—Nero baru ingat—apakah Zoe baik-baik saja? Nero tak ingin dia dipecat karena kesalahannya. Lagipula, dia menyukai Zoe. Anak itu cukup menyenangkan dan penurut sekali.
“Niken. Niken,” kata Nero. “Ini sudah pagi.”
Niken membuka matanya pelan-pelan dan saat melihat Nero, matanya terbuka kaget.
“Selamat pagi,” kata Nero, tersenyum lebar.
“Eh, kenapa kau ada di sini?” Niken terduduk kaget.
Nero menaikan alis. “Semalam kau masuk ke kamarku melalui jendela. Ingat?” Nero menunjuk jendela kamarnya yang sudah tertutup. Nero mengerutkan dahinya, melihat lampu kamarnya juga sudah padam semua.
“Aku ketiduran,” gumam Niken.
“Sepertinya begitu,” kata Nero tak jelas.
“Aku harus ke sekolah. Aku tak mau dua kali absen. Dan oh, Tuhan, aku akan terlambat membuka gerbang! Sudah jam berapa ini?” Niken ternganga melihat jam di dinding kamar Nero. Dengan cepat gadis itu melesat ke jendela, membuka jendela dan melompat keluar.
“Niken,” panggil Nero.
Kepala Niken berbalik. “Ya?”
“Terimakasih.”
Wajah gadis itu merona. “Erm, sama-sama.” Kemudian dia melesat masuk ke kamarnya dengan kecepatan luar biasa.
Nero segera bangkit dari tempatnya, menarik selimut dan melemparnya kembali ke atas tempat tidur. Menggaruk-garuk belakang kepalanya, Nero masuk ke kamar mandi untuk bersiap ke sekolah.
Lima belas menit kemudian, Nero sudah rapi dan siap turun untuk sarapan.
“Morning,” kata Nero.
“Morning, Baby,” kata Jennifer, tersenyum lembut padanya.
“Pagi, Abang!” kata Ageha semangat saat Nero mencium pipinya.
Nero menarik bangku dan duduk di dekat Matt yang menyesap kopi. Kemarin Matt marah-marah mengenai masalah itu. Kelihatannya kemarahannya belum juga reda.
“Dad,” kata Nero menatap Matt. “Stop moping. Your pouting made me sick.”
 “Hmph!” kata Matt, mengalihkan pandangannya dari Nero.
Nero menghela napas. Untung saja Dokter Nathan tahu menangani Matt. Jika dia tahu apa yang terjadi semalam, mungkin saja Matt akan benar-benar marah.
“It’s morning already.” Nero mencoba lagi.
“Deal with it,” katanya, masih tidak mau melihat Nero.
Matt memang tampak seperti anak-anak daripada orang dewasa jika berhadapannya dengannya. Sudahlah.
Jennifer membagi sarapan. Dia tersenyum menyemangati Nero dan memberi kode bahwa semuanya dalam kendali. Nero percaya dan memilih diam dalam sarapan kali ini. Setelah Nero menghabiskan makanannya, Nero segera menyelempangkan tas sandangnya ke bahu.
“Berangkat dulu, Mom,” kata Nero.
“Aku mau bicara, Nero,” kata Matt tiba-tiba.
Nero menaikan alisnya. “Oke.”
Matt bangkit dari meja makan dan mendelik padanya untuk mengikutinya ke ruangan kerjanya. Nero mengikuti dalam diam. Apalagi kali ini? Bukankah kemarin Matt sudah marah sepuasnya? Apalagi yang mau dibicarakan?
“Tutup pintunya,” kata Matt saat Nero masuk.
Nero menutup pintunya dan menatap mata Matt yang berdiri di dekat meja kerjanya dengan tangan melipat.
“Aku kecewa padamu,” dia memulai.
Oke. Sebuah kalimat pembukaan yang berhasil membuat Nero menyesal. “Dad, aku benar-benar menyesal. Tak akan kuulangi lagi.”
Matt tidak mendengarkan dan kembali berbicara seakan tidak ada interupsi. “Padahal aku sudah bilang padamu untuk membawanya kemari, kenalkan padaku dan bukannya kau selundupkan ke kamarmu dari jendela kamarmu.”
Nero mengerjap kebingungan. Mereka sedang membicarakan apa tepatnya? Bukannya kejadian kemarin ya?
“Errr… apa?” kata Nero kehabisan kata-kata.
Pacarmu,” kata Matt dan sebuah seringai menyebalkan muncul di wajahnya.
“Pacar apa?”
“Jangan coba-coba bohong lagi, Nero. Aku melihat kalian berdua tidur sambil berpegangan tangan,” kata Matt, masih tersenyum lebar, malah memain-mainkan alisnya. “Gadis itu cantik. Aku suka padanya. Kalau saja aku tidak terbangun tengah malam karena mendengar suara televisimu itu, aku mungkin tak akan pernah tahu apa yang kau lakukan di kamarmu semalaman. Pantas saja kau betah tinggal di kamar itu. Ternyata setiap malam kau membawanya masuk ke kamarmu.”
Oh, sekarang terjawab sudah kecurigaan Nero mengenai televisi yang mati sendiri, lampu yang padam, jendela yang tertutup dan selimut itu. Ternyata Matt-lah yang masuk ke kamarnya.
“Dad, dia bukan pacarku!”
Alis Matt menaik. “Tidak? Well, sayang sekali. Tapi tetap saja kau tak boleh membawa seorang gadis masuk ke kamarmu. Aku sudah bilang kalau aku lebih suka kau menikah muda. Tapi tetap saja, aku ingin bertemu gadis ini. Undang dia makan malam ke rumah kita, Nero. Aku akan menjamunya dengan senang hati sebagai calon menantu.”
“Dad!” Nero menggerutu. “Dia-bukan-pacarku!”
Belum-menjadi-pacarmu,” Matt memperbaiki, benar-benar tutup kuping pada setiap bantahan Nero. “Dan aku sudah terlanjur suka padanya. Aku mungkin menginginkan gadis yang lebih cantik daripada dia, tapi jika itu bisa membuatmu bahagia, model seperti dia boleh juga. Dan bisa dipastikan bahwa putraku bukan seorang gay yang selama ini kupikirkan karena tak ada satupun wanita yang dekat denganmu. Oh, puji Tuhan! Akhirnya aku yakin bahwa putraku akan memiliki keturunan!”
“Dad!” kata Nero frustasi. “Berapa kali aku harus bilang kalau dia—”
“Siapa nama gadis ini?”
“Apa?”
“Siapa namanya?” Matt bertanya penasaran. “Aku akan langsung datang pada orang tuanya, melamarnya untukmu.”
Nero melongo. “Are you mad?”
“Nope. I do realize what I am talking about. And yes, I do like that girl. What’s her name?”
Nero menggeleng pasrah. “Aku tak akan mengatakannya padamu.”
“Baiklah. Terserah. Aku bisa mencari tahunya sendiri,” lalu Matt mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya, menunjukan sebuah foto padanya. “Dengan foto ini, aku yakin Jenniferku sayang akan memberitahuku siapa namanya.”
Nero menganga melihat foto-foto dia dan Niken yang tidur sambil berpegangan tangan. Ternyata Matt memotret mereka. “Dad, kau sudah gila!” katanya kemudian keluar dari ruang kerja, tak mau mendengarkan lagi pembicaraan tak penting bersama Matt.
“Hati-hati di sekolah, Nero. Kita lanjutkan lagi pembicaraan kita yang tertunda saat kau pulang sekolah nanti. Pasti menyenangkan sekali!”
Nero jadi ngeri sendiri pulang ke rumah.
Seperti orang kesetanan, Nero melangkah keluar rumah cepat-cepat, melewati Jennifer yang menaikan alis melihat tingkahnya, bahkan tidak menggubris Ageha. Begitu sampai di depan pintu gerbang, Nero berlari dengan kecepatan luar biasa sambil berteriak jengkel.
“Ada apa denganmu?” Devon yang menunggu di depan gerbang menaikan alis melihat Nero yang tersenggal-senggal. “Kenapa kau lari-lari? Dikejar anjing?” dia menoleh ke belakang tapi tidak menemukan apapun. “Kenapa kau tak datang semalam? Dan kenapa dengan tanganmu itu?”
Nero langsung memeluknya. “Devon, my hero! Help me!”
“Huh?” Devon terheran-heran. “What happened?”
“My Dad! He’s crazy!” kata Nero lagi.
“What?” Devon mengerutkan dahi “ Ok. Calm down and tell me slowly.”
“Guys, could you stop embrace each other, please?” Zoe muncul dari jalan yang lain. Alisnya menaik. “It’s disgusting.”
“Zoe!” kali ini Nero ganti memeluk Zoe. “You should help me!”
“Ok. But first, let me go,” Zoe melepaskan pelukan Nero. “You can tell us when we’re walking to school.”
“Actually, this morning my Dad found me—” Nero berhenti. Dia tak mungkin menceritakan apa yang terjadi semalam. Jika dia menceritakan bahwa Matt memaksanya untuk menikahkannya dengan seorang gadis, itu artinya akan ditanya alasannya—berarti menarik-narik nama Niken. Saat nama Niken muncul, Devon akan mencari tahu kenapa Niken bisa ada di kamarnya, kemudian masalah kemarin akan sedikit terungkap melalui Niken. Dan jika Niken tak bisa mengucapkan alasan yang sebenarnya, maka Devon akan memaksa Nero yang cerita sendiri.
Itu namanya bunuh diri, kan?
“Yes?” kata Devon dan Zoe berbarengan.
“It’s okay. I can handle it,” kata Nero dan kabur cepat-cepat.
Devon dan Zoe saling pandang kemudian mengejar Nero dari belakang.
“Nero! Tell us!”
“Nooooooooooo!”
“Nero! Stop running!”
“I don’t wanna! Nooooooo! Don’t catch me!”
Suara teriakan Nero berhasil menarik perhatian cewek-cewek fansnya yang sudah menunggu di depan gerbang dengan setia. Mereka berteriak-teriak seru melihat pahlawan mereka sedang menghindari dua monster yang hendak menangkapnya.
Devon berlari cepat, berhasil menangkap leher Nero sebelum memasuki gerbang.
“Ow ow ow ow, hurt! Damn, let me go!” teriak Nero.
“Tell us the truth and Devon will release you.” Zoe terengah.
“Don’t wanna! Help me! Ow ow ow ow! Hand! My hand!” teriak Nero lagi dan Niken segera menimpuk kepala Devon dengan papan tulis kecilnya.
“What the hell are you doing?” Devon memelototi Niken.
“Bullying is now allowed around the school, pigheaded!” raung Niken. “Leave him alone or you’ll regret it!”
Devon segera melepas pitingannya pada leher Nero. Matanya masih tampak marah pada Niken.
“Makasih, Niken,” kata Nero, menepuk-nepuk tangan kanannya. “Aku nggak apa-apa. Jangan khawatir,” ucapnya saat Niken hendak menanyakan keadaan tangan kanannya.
“Semalam kau juga tak datang kan?” kata Devon pada Niken. Lalu dia melirik Nero. “Apakah itu kebetulan atau kalian berdua memang bersama waktu itu?”
“Itu—”
“Bukan urusanmu,” Nero memotong Devon, kali ini suaranya tegas. “Dan aku tak akan menceritakan apapun.”
Devon menggertakan gigi.
Nero segera berbalik menuju kelasnya, masih memegangi tangan kanannya.
“Kenapa tanganmu?” tanya Zoe.
“Bukan apa-apa,” jawab Nero. Devon mengikuti dari belakang, masih marah.
“Nero, apa kau berpacaran dengan Niken?” tanya Devon tiba-tiba.
“Huh?” Nero menoleh padanya. “Tidak.”
“Kalau begitu kau suka padanya?” katanya lagi.
Jeez, Devon memang blak-blakan! Dia bertanya tanpa melihat sekitar. “Ya. Aku suka padanya. Aku sudah pernah bilang kan?”
Mata Devon menyipit. “How about love?”
Nero tidak menjawab dan terus melangkah maju. Tapi Devon dan Zoe sudah melihat wajahnya yang memerah dengan cepat, bahkan menjalar sampai ke telinganya.
Did he say yes?” Zoe bertanya.
I guess?” Devon menaikan bahu.
***The Flower Boy Next Door***
Julian berdiri di depan kelas, tersenyum seperti biasa. “Kita akan mengadakan camping dua bulan lagi, dua minggu sebelum ujian semester.” Matanya menyelusuri ruangan kelas sebentar dan melanjutkan. “Ini lembaran surat ijin kalian. Bagi yang tidak dapat tanda tangan orang tua tak berhak untuk ikut camping.” Kemudian dia membagikan lembaran surat ijin itu pada tiap siswa. “Kumpulkan pada Ketua Kelas dua minggu sebelum jadwal.”
Bram mengangkat tangannya. “Campingnya campuran lagi, Pak?”
Julian mengangguk pelan. “Ya. Bagi siswa yang belum tahu, tiap tahun sekolah kita mengadakan camping gabungan seluruh angkatan.  Tapi berbeda dengan tahun lalu, kali ini kita akan camping di sekolah.”
Para siswa tampak tak antusias.
“Hah? Di sekolah?”
“Masa di sekolah sih?”
“Ya ampun. Di sekolah? Cuma dua puluh menit dari rumah.”
“Semuanya tenang!” Julian mengambil alih keadaan. “Seperti yang kita ketahui, tahun lalu ada banyak gangguan karena kurangnya persiapan. Kali ini agar aman, kita akan menginap di sekolah. Selain mengurangi biaya, juga lebih fleksibel dan aman sehingga keluarga kalian mudah memantau. Benarkan, Nero?”
Nero yang sedari tadi hanya menatap keluar jendela tersentak sesaat lalu mengangguk.
“Apa dulu di luar negeri sana kau pernah camping juga, Nero?” tanyanya dan Nero mengangguk pelan lagi. “Kau sudah pernah camping kemana?”
“Zeeburg di Belanda, Eze di Jerman, Alba D’Oro di Italia—”
“Terima kasih, Nero,” Julian memotong, menyesal bertanya. “Aku yakin kau pasti sudah berkeliling dunia,” candanya saat murid-muridnya menatap Nero dengan mulut terbuka lebar karena terkejut. “Nah, untuk amannya, akan ada pembagian kelompok untuk mengawasi keadaan setiap orang. Daftarnya akan diberikan nanti saat camping.”
Setelah mengatakan itu, pelajaran dimulai lagi.
***The Flower Boy Next Door***
Devon menggeram jengkel setiap kali Nero kabur dan meninggalkannya begitu saja saat mereka tatap muka. Ada yang disembunyikan Nero—selain fakta bahwa Nero juga tidak menjelaskan soal tangannya yang luka.
“Nero!” Devon memanggil Nero yang buru-buru berbalik arah saat melihatnya. “Don’t run you bastard!”
Tapi Nero malah ambil langkah seribu, tidak mendengarkan panggilannya. Ada apa sih dengannya? Ada hal penting yang harus dikatakan Devon, waktunya sudah sangat mepet. Sialnya, Nero benar-benar menghindarinya. Nero punya kemampuan aneh untuk menghilang begitu saja di sekolahan tanpa terdeteksi. Luar biasa. Nero bisa jadi seorang agen rahasia bila memiliki kemampuan itu.
Devon bahkan tak bisa berbicara padanya bahkan saat pulang sekolah walau sudah menunggu di gerbang lebih awal.
“Niken,” kata Devon saat Niken lewat.
“Apa?” gadis itu menaikan alis.
“Kau lihat Nero?”
Niken menggeleng. “Mungkin sudah pulang.”
“Tapi dia tak ada lewat gerbang,” kata Devon lagi.
Alis Niken naik sebelah. “Mungkin dia melewati tembok belakang sekolah.”
Devon menganga takjub. Sialan. Kalau sudah seperti ini, sudah bisa dipastikan bahwa dia gagal mengajak Nero pergi. Well, sudahlah. Hari ini akan jadi hari paling membosankan.
***The Flower Boy Next Door***
Matt sudah menunggu Nero di depan pintu rumah, wajah tampak bahagia dengan senyum lebar sumringah seakan mendapat harta karun.
“Nero,” katanya riang. “Mari kita lanjutkan pembicaraan kita yang tertunda tadi pagi!”
“Aku tak ingin membicarakannya,” Nero menyingkirkan Matt dan masuk ke dalam rumah.
“Ayolah, Nak. Jarang-jarang aku melihatmu tidur bersama seorang gadis. Mari kita bicarakan perasaanmu dari hati ke hati.” Matt mengekori dari belakang, wajah tampak seperti malaikat.
“Hanya karena ini pertama kalinya Dad melihatku tidur bersama gadis, bukan berarti aku tak pernah tidur bersama gadis manapun.” Nero berjalan cepat-cepat melewati ruangan depan.
Matt menaikan alis. “Tunggu sebentar, Anak Muda! Apa maksud ucapanmu barusan?” Matt memegang bahu Nero. “Apa kau ingin mengatakan bahwa kau sudah sering tidur bersama para gadis sebelumnya?”
Nero memutar bola matanya. “Dad, aku sudah enam belas tahun, tidur dengan dua tiga gadis tak masalah kan? Aku kan tak membuat mereka hamil.”
“Anak Muda, apa kau tahu apa yang kau katakan?” Matt menggeram shock.
“Aku tahu dan kau marah karena kau tak tahu kan?” Nero geleng-geleng kepala. “Aku sudah bilang kan Dad kalau para bodyguard itu tak akan mampu mengawasiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Tapi bukan berarti kau harus memecat Zoe. Aku suka padanya. Jangan pecat dia.”
“Nero, kita harus membicarakan perilakumu ini. Aku tak suka—” Matt berhenti bicara saat Nero terbahak-bahak. “Nero! Aku serius!”
Nero menghela napas dan mendekati Matt, memegang lengannya dan berkata, “Aku bercanda, Dad. Aku belum pernah tidur dengan gadis manapun, hanya mencium mereka.”
“Apa kau serius dan tidak bercanda?” Matt menaikan alis curiga.
Nero mengangkat tangan kanannya dan tangan kirinya memegang dada kanannya, lalu berkata, “Aku bersumpah kalau aku belum pernah menodai gadis manapun sampai detik ini.”
Well, itu sedikit membuatku tenang,” kata Matt dan dia merangkul Nero, mengajaknya duduk di dekat tangga. “Sekarang jawab beberapa pertanyaanku. Aku hanya ingin memastikan bahwa tidak ada gadis manapun yang tiba-tiba datang kemari untuk menagih pertanggung-jawabanmu,” kata Matt cepat-cepat saat Nero hendak membantah.
“Ok,” Nero menyerah.
“Sudah berapa banyak gadis yang kau cium?” Matt bertanya penasaran.
Ya ampun, Ayahnya benar-benar ingin tahu kehidupan cintanya. “Lima belas.”
Mata Matt membesar kaget, tapi dia tidak ingin mengungkit-ungkit masalah itu lebih jauh. “Eh, kapan ciuman pertamamu kalau begitu?”
“Waktu usiaku 12 tahun.”
Matt melongo. “Dengan siapa? Eloise?”
“Siapa lagi? Dia satu-satunya gadis yang ada di dekatku waktu itu.”
“Apa kau tidak jatuh cinta padanya?”
“Yang benar saja, Dad,” Nero memutar bola matanya. “Aku tak tertarik padanya.”
“Tapi sekarang dia sudah tumbuh sebagai gadis cantik seksi yang—” Matt menutup mulut saat Nero menaikan alis. “Ok, anggap aku tak mengatakan apapun. Lalu, apa kau suka gadis yang tidur denganmu kemarin malam?”
Nero tidak menjawab dan Matt, merasa, tahu jawabannya.
Well, aku juga tak akan memaksamu, Nak—”
“Dia suka orang lain,” Nero memotong perkataan Matt. “Aku tak punya kesempatan.”
“Oh ya?” Matt mengacak rambut Nero. “Kurasa tidak. Tak ada gadis yang mau tidur di samping seorang cowok dan memegang tangannya sepanjang malam jika dia tidak peduli dan suka pada cowok itu.”
Nero mendengus. “Hidup tak segampang itu.”
“Benar,” Matt mengangguk setuju. “Tapi, jika kau butuh nasehat, aku akan bersedia membantumu.”
Nero menatap Matt beberapa detik lalu mendengus. “Dad bahkan butuh waktu setahun untuk menarik perhatian Mom sebelum kalian menikah. Itu pun dengan bantuanku. Akulah pakar cinta di sini, bukan Dad. Ada-ada aja.” Kemudian Nero bangkit dari tempatnya.
“Nero, nanti sore kita akan keluar.”
Nero menaikan alisnya. “Aku di rumah saja.”
Matt menggeleng. “Kau butuh udara segar. Aku juga harus membelikanmu ponsel. Jacob benar, kau butuh ponsel. Aku bisa memantau dan menghubungimu. Kita akan beli ponsel sesuai pilihanmu.”
Nero tersenyum, memeluk Matt dari belakang dan memberikan ciuman di pipinya. “Thank you, Dad. I love you.”
“I know and yeah, I love you too.”
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.