Debaran Dua Puluh
Love… huh?
Nero
membuka matanya pelan-pelan. Badannya terasa sakit sekali karena tidur dalam
posisi yang sama sepanjang malam. Tapi genggaman tangan seseorang yang saat ini
ada di sampingnya terasa sangat menenangkan.
Tidak
menggerakan tubuhnya, Nero melihat ke sekelilingnya. Tubuh mereka berdua
sekarang sudah dibalut dengan selimut yang diambil dari atas tempat tidur.
Televisi yang semalam menyala sudah mati. Mungkin Niken-lah yang sudah mematikannya.
Tapi Nero agak curiga dengan posisi selimut.
Nero
kembali mengalihkan pandangannya pada Niken yang tidur di sampingnya. Ini kali
kedua dia melihat wajah Niken di pagi hari. Hatinya merasa tersentuh, hangat
dan bahagia mengetahi bahwa Niken peduli padanya dan menunjukan kepedulian itu
dengan caranya sendiri dan sedikit terlalu berani.
Tersenyum,
Nero mengelus pelan tangan Niken, merasakan kulit Niken dari jari-jarinya yang
tidak tertutup perban. Dia bisa saja memandangi wajah Niken seperti ini,
sepanjang hari, jika dia tak ingat bahwa nanti Jennifer akan mengetuk pintu
kamarnya, membangunkannya untuk pergi ke sekolah.
Sekolah.
Benar juga. Devon tak akan melepaskannya jika dia tak memberi alasan masuk akal
kenapa dia tak datang kemarin. Dan—Nero baru ingat—apakah Zoe baik-baik saja?
Nero tak ingin dia dipecat karena kesalahannya. Lagipula, dia menyukai Zoe.
Anak itu cukup menyenangkan dan penurut sekali.
“Niken.
Niken,” kata Nero. “Ini sudah pagi.”
Niken
membuka matanya pelan-pelan dan saat melihat Nero, matanya terbuka kaget.
“Selamat
pagi,” kata Nero, tersenyum lebar.
“Eh,
kenapa kau ada di sini?” Niken terduduk kaget.
Nero
menaikan alis. “Semalam kau masuk ke kamarku melalui jendela. Ingat?” Nero
menunjuk jendela kamarnya yang sudah tertutup. Nero mengerutkan dahinya,
melihat lampu kamarnya juga sudah padam semua.
“Aku
ketiduran,” gumam Niken.
“Sepertinya
begitu,” kata Nero tak jelas.
“Aku
harus ke sekolah. Aku tak mau dua kali absen. Dan oh, Tuhan, aku akan terlambat
membuka gerbang! Sudah jam berapa ini?” Niken ternganga melihat jam di dinding
kamar Nero. Dengan cepat gadis itu melesat ke jendela, membuka jendela dan
melompat keluar.
“Niken,”
panggil Nero.
Kepala
Niken berbalik. “Ya?”
“Terimakasih.”
Wajah
gadis itu merona. “Erm, sama-sama.” Kemudian dia melesat masuk ke kamarnya
dengan kecepatan luar biasa.
Nero
segera bangkit dari tempatnya, menarik selimut dan melemparnya kembali ke atas
tempat tidur. Menggaruk-garuk belakang kepalanya, Nero masuk ke kamar mandi
untuk bersiap ke sekolah.
Lima
belas menit kemudian, Nero sudah rapi dan siap turun untuk sarapan.
“Morning,”
kata Nero.
“Morning, Baby,”
kata Jennifer, tersenyum lembut padanya.
“Pagi,
Abang!” kata Ageha semangat saat Nero mencium pipinya.
Nero
menarik bangku dan duduk di dekat Matt yang menyesap kopi. Kemarin Matt
marah-marah mengenai masalah itu. Kelihatannya kemarahannya belum juga reda.
“Dad,”
kata Nero menatap Matt. “Stop moping.
Your pouting made me sick.”
“Hmph!” kata Matt,
mengalihkan pandangannya dari Nero.
Nero
menghela napas. Untung saja Dokter Nathan tahu menangani Matt. Jika dia tahu
apa yang terjadi semalam, mungkin saja Matt akan benar-benar marah.
“It’s morning already.” Nero
mencoba lagi.
“Deal with it,”
katanya, masih tidak mau melihat Nero.
Matt
memang tampak seperti anak-anak daripada orang dewasa jika berhadapannya
dengannya. Sudahlah.
Jennifer
membagi sarapan. Dia tersenyum menyemangati Nero dan memberi kode bahwa
semuanya dalam kendali. Nero percaya dan memilih diam dalam sarapan kali ini.
Setelah Nero menghabiskan makanannya, Nero segera menyelempangkan tas
sandangnya ke bahu.
“Berangkat
dulu, Mom,” kata Nero.
“Aku
mau bicara, Nero,” kata Matt tiba-tiba.
Nero
menaikan alisnya. “Oke.”
Matt
bangkit dari meja makan dan mendelik padanya untuk mengikutinya ke ruangan
kerjanya. Nero mengikuti dalam diam. Apalagi kali ini? Bukankah kemarin Matt
sudah marah sepuasnya? Apalagi yang mau dibicarakan?
“Tutup
pintunya,” kata Matt saat Nero masuk.
Nero
menutup pintunya dan menatap mata Matt yang berdiri di dekat meja kerjanya
dengan tangan melipat.
“Aku
kecewa padamu,” dia memulai.
Oke.
Sebuah kalimat pembukaan yang berhasil membuat Nero menyesal. “Dad, aku
benar-benar menyesal. Tak akan kuulangi lagi.”
Matt
tidak mendengarkan dan kembali berbicara seakan tidak ada interupsi. “Padahal
aku sudah bilang padamu untuk membawanya kemari, kenalkan padaku dan bukannya
kau selundupkan ke kamarmu dari jendela kamarmu.”
Nero
mengerjap kebingungan. Mereka sedang membicarakan apa tepatnya? Bukannya kejadian kemarin ya?
“Errr…
apa?” kata Nero kehabisan kata-kata.
“Pacarmu,” kata Matt dan sebuah seringai
menyebalkan muncul di wajahnya.
“Pacar
apa?”
“Jangan
coba-coba bohong lagi, Nero. Aku melihat kalian berdua tidur sambil berpegangan
tangan,” kata Matt, masih tersenyum lebar, malah memain-mainkan alisnya. “Gadis
itu cantik. Aku suka padanya. Kalau saja aku tidak terbangun tengah malam
karena mendengar suara televisimu itu, aku mungkin tak akan pernah tahu apa
yang kau lakukan di kamarmu semalaman. Pantas saja kau betah tinggal di kamar itu.
Ternyata setiap malam kau membawanya masuk ke kamarmu.”
Oh,
sekarang terjawab sudah kecurigaan Nero mengenai televisi yang mati sendiri,
lampu yang padam, jendela yang tertutup dan selimut itu. Ternyata Matt-lah yang
masuk ke kamarnya.
“Dad,
dia bukan pacarku!”
Alis
Matt menaik. “Tidak? Well, sayang
sekali. Tapi tetap saja kau tak boleh membawa seorang gadis masuk ke kamarmu.
Aku sudah bilang kalau aku lebih suka kau menikah muda. Tapi tetap saja, aku
ingin bertemu gadis ini. Undang dia makan malam ke rumah kita, Nero. Aku akan
menjamunya dengan senang hati sebagai calon menantu.”
“Dad!”
Nero menggerutu. “Dia-bukan-pacarku!”
“Belum-menjadi-pacarmu,” Matt
memperbaiki, benar-benar tutup kuping pada setiap bantahan Nero. “Dan aku sudah
terlanjur suka padanya. Aku mungkin menginginkan gadis yang lebih cantik
daripada dia, tapi jika itu bisa membuatmu bahagia, model seperti dia boleh
juga. Dan bisa dipastikan bahwa putraku bukan seorang gay yang selama ini
kupikirkan karena tak ada satupun wanita yang dekat denganmu. Oh, puji Tuhan!
Akhirnya aku yakin bahwa putraku akan memiliki keturunan!”
“Dad!”
kata Nero frustasi. “Berapa kali aku harus bilang kalau dia—”
“Siapa
nama gadis ini?”
“Apa?”
“Siapa
namanya?” Matt bertanya penasaran. “Aku akan langsung datang pada orang tuanya,
melamarnya untukmu.”
Nero
melongo. “Are you mad?”
“Nope. I do realize what I am
talking about. And yes, I do like that girl. What’s her name?”
Nero
menggeleng pasrah. “Aku tak akan mengatakannya padamu.”
“Baiklah.
Terserah. Aku bisa mencari tahunya sendiri,” lalu Matt mengambil sesuatu dari
laci meja kerjanya, menunjukan sebuah foto padanya. “Dengan foto ini, aku yakin
Jenniferku sayang akan memberitahuku siapa namanya.”
Nero
menganga melihat foto-foto dia dan Niken yang tidur sambil berpegangan tangan.
Ternyata Matt memotret mereka. “Dad, kau sudah gila!” katanya kemudian keluar
dari ruang kerja, tak mau mendengarkan lagi pembicaraan tak penting bersama
Matt.
“Hati-hati
di sekolah, Nero. Kita lanjutkan lagi pembicaraan kita yang tertunda saat kau
pulang sekolah nanti. Pasti menyenangkan sekali!”
Nero
jadi ngeri sendiri pulang ke rumah.
Seperti
orang kesetanan, Nero melangkah keluar rumah cepat-cepat, melewati Jennifer
yang menaikan alis melihat tingkahnya, bahkan tidak menggubris Ageha. Begitu
sampai di depan pintu gerbang, Nero berlari dengan kecepatan luar biasa sambil
berteriak jengkel.
“Ada
apa denganmu?” Devon yang menunggu di depan gerbang menaikan alis melihat Nero
yang tersenggal-senggal. “Kenapa kau lari-lari? Dikejar anjing?” dia menoleh ke
belakang tapi tidak menemukan apapun. “Kenapa kau tak datang semalam? Dan kenapa dengan tanganmu itu?”
Nero
langsung memeluknya. “Devon, my hero! Help
me!”
“Huh?”
Devon terheran-heran. “What happened?”
“My Dad! He’s crazy!”
kata Nero lagi.
“What?” Devon
mengerutkan dahi “ Ok. Calm down and tell
me slowly.”
“Guys, could you stop embrace each
other, please?” Zoe muncul dari jalan yang lain.
Alisnya menaik. “It’s disgusting.”
“Zoe!”
kali ini Nero ganti memeluk Zoe. “You
should help me!”
“Ok. But first, let me go,”
Zoe melepaskan pelukan Nero. “You can
tell us when we’re walking to school.”
“Actually, this morning my Dad
found me—” Nero berhenti. Dia tak mungkin menceritakan apa
yang terjadi semalam. Jika dia menceritakan bahwa Matt memaksanya untuk
menikahkannya dengan seorang gadis, itu artinya akan ditanya alasannya—berarti
menarik-narik nama Niken. Saat nama Niken muncul, Devon akan mencari tahu
kenapa Niken bisa ada di kamarnya, kemudian masalah kemarin akan sedikit
terungkap melalui Niken. Dan jika Niken tak bisa mengucapkan alasan yang
sebenarnya, maka Devon akan memaksa Nero yang cerita sendiri.
Itu
namanya bunuh diri, kan?
“Yes?”
kata Devon dan Zoe berbarengan.
“It’s okay. I can handle it,”
kata Nero dan kabur cepat-cepat.
Devon
dan Zoe saling pandang kemudian mengejar Nero dari belakang.
“Nero! Tell us!”
“Nooooooooooo!”
“Nero! Stop running!”
“I don’t wanna! Nooooooo! Don’t catch
me!”
Suara
teriakan Nero berhasil menarik perhatian cewek-cewek fansnya yang sudah
menunggu di depan gerbang dengan setia. Mereka berteriak-teriak seru melihat
pahlawan mereka sedang menghindari dua monster yang hendak menangkapnya.
Devon
berlari cepat, berhasil menangkap leher Nero sebelum memasuki gerbang.
“Ow ow ow ow, hurt! Damn, let me
go!”
teriak Nero.
“Tell us the truth and Devon will
release you.” Zoe terengah.
“Don’t wanna! Help me! Ow ow ow ow!
Hand! My hand!” teriak Nero lagi dan Niken segera
menimpuk kepala Devon dengan papan tulis kecilnya.
“What the hell are you doing?”
Devon memelototi Niken.
“Bullying is now allowed around the
school, pigheaded!” raung Niken. “Leave him alone or you’ll regret it!”
Devon
segera melepas pitingannya pada leher Nero. Matanya masih tampak marah pada
Niken.
“Makasih,
Niken,” kata Nero, menepuk-nepuk tangan kanannya. “Aku nggak apa-apa. Jangan
khawatir,” ucapnya saat Niken hendak menanyakan keadaan tangan kanannya.
“Semalam
kau juga tak datang kan?” kata Devon pada Niken. Lalu dia melirik Nero. “Apakah
itu kebetulan atau kalian berdua memang bersama waktu itu?”
“Itu—”
“Bukan
urusanmu,” Nero memotong Devon, kali ini suaranya tegas. “Dan aku tak akan
menceritakan apapun.”
Devon
menggertakan gigi.
Nero
segera berbalik menuju kelasnya, masih memegangi tangan kanannya.
“Kenapa
tanganmu?” tanya Zoe.
“Bukan
apa-apa,” jawab Nero. Devon mengikuti dari belakang, masih marah.
“Nero,
apa kau berpacaran dengan Niken?” tanya Devon tiba-tiba.
“Huh?”
Nero menoleh padanya. “Tidak.”
“Kalau
begitu kau suka padanya?” katanya lagi.
Jeez,
Devon memang blak-blakan! Dia bertanya tanpa melihat sekitar. “Ya. Aku suka
padanya. Aku sudah pernah bilang kan?”
Mata
Devon menyipit. “How about love?”
Nero
tidak menjawab dan terus melangkah maju. Tapi Devon dan Zoe sudah melihat
wajahnya yang memerah dengan cepat, bahkan menjalar sampai ke telinganya.
“Did he say yes?” Zoe bertanya.
“I guess?” Devon menaikan bahu.
***The Flower
Boy Next Door***
Julian
berdiri di depan kelas, tersenyum seperti biasa. “Kita akan mengadakan camping dua bulan lagi, dua minggu
sebelum ujian semester.” Matanya menyelusuri ruangan kelas sebentar dan
melanjutkan. “Ini lembaran surat ijin kalian. Bagi yang tidak dapat tanda
tangan orang tua tak berhak untuk ikut camping.”
Kemudian dia membagikan lembaran surat ijin itu pada tiap siswa. “Kumpulkan
pada Ketua Kelas dua minggu sebelum jadwal.”
Bram
mengangkat tangannya. “Campingnya
campuran lagi, Pak?”
Julian
mengangguk pelan. “Ya. Bagi siswa yang belum tahu, tiap tahun sekolah kita
mengadakan camping gabungan seluruh
angkatan. Tapi berbeda dengan tahun
lalu, kali ini kita akan camping di
sekolah.”
Para
siswa tampak tak antusias.
“Hah?
Di sekolah?”
“Masa
di sekolah sih?”
“Ya
ampun. Di sekolah? Cuma dua puluh menit dari rumah.”
“Semuanya
tenang!” Julian mengambil alih keadaan. “Seperti yang kita ketahui, tahun lalu
ada banyak gangguan karena kurangnya persiapan. Kali ini agar aman, kita akan
menginap di sekolah. Selain mengurangi biaya, juga lebih fleksibel dan aman
sehingga keluarga kalian mudah memantau. Benarkan, Nero?”
Nero
yang sedari tadi hanya menatap keluar jendela tersentak sesaat lalu mengangguk.
“Apa
dulu di luar negeri sana kau pernah camping
juga, Nero?” tanyanya dan Nero mengangguk pelan lagi. “Kau sudah pernah camping kemana?”
“Zeeburg
di Belanda, Eze di Jerman, Alba D’Oro di Italia—”
“Terima
kasih, Nero,” Julian memotong, menyesal bertanya. “Aku yakin kau pasti sudah
berkeliling dunia,” candanya saat murid-muridnya menatap Nero dengan mulut
terbuka lebar karena terkejut. “Nah, untuk amannya, akan ada pembagian kelompok
untuk mengawasi keadaan setiap orang. Daftarnya akan diberikan nanti saat camping.”
Setelah
mengatakan itu, pelajaran dimulai lagi.
***The Flower
Boy Next Door***
Devon
menggeram jengkel setiap kali Nero kabur dan meninggalkannya begitu saja saat
mereka tatap muka. Ada yang disembunyikan Nero—selain fakta bahwa Nero juga
tidak menjelaskan soal tangannya yang luka.
“Nero!”
Devon memanggil Nero yang buru-buru berbalik arah saat melihatnya. “Don’t run you bastard!”
Tapi
Nero malah ambil langkah seribu, tidak mendengarkan panggilannya. Ada apa sih
dengannya? Ada hal penting yang harus dikatakan Devon, waktunya sudah sangat
mepet. Sialnya, Nero benar-benar menghindarinya. Nero punya kemampuan aneh
untuk menghilang begitu saja di sekolahan tanpa terdeteksi. Luar biasa. Nero
bisa jadi seorang agen rahasia bila memiliki kemampuan itu.
Devon
bahkan tak bisa berbicara padanya bahkan saat pulang sekolah walau sudah
menunggu di gerbang lebih awal.
“Niken,”
kata Devon saat Niken lewat.
“Apa?”
gadis itu menaikan alis.
“Kau
lihat Nero?”
Niken
menggeleng. “Mungkin sudah pulang.”
“Tapi
dia tak ada lewat gerbang,” kata Devon lagi.
Alis
Niken naik sebelah. “Mungkin dia melewati tembok belakang sekolah.”
Devon
menganga takjub. Sialan. Kalau sudah seperti ini, sudah bisa dipastikan bahwa
dia gagal mengajak Nero pergi. Well,
sudahlah. Hari ini akan jadi hari paling membosankan.
***The Flower
Boy Next Door***
Matt
sudah menunggu Nero di depan pintu rumah, wajah tampak bahagia dengan senyum
lebar sumringah seakan mendapat harta karun.
“Nero,”
katanya riang. “Mari kita lanjutkan pembicaraan kita yang tertunda tadi pagi!”
“Aku
tak ingin membicarakannya,” Nero menyingkirkan Matt dan masuk ke dalam rumah.
“Ayolah,
Nak. Jarang-jarang aku melihatmu tidur bersama seorang gadis. Mari kita
bicarakan perasaanmu dari hati ke hati.” Matt mengekori dari belakang, wajah
tampak seperti malaikat.
“Hanya
karena ini pertama kalinya Dad melihatku tidur bersama gadis, bukan berarti aku
tak pernah tidur bersama gadis manapun.” Nero berjalan cepat-cepat melewati
ruangan depan.
Matt
menaikan alis. “Tunggu sebentar, Anak Muda! Apa maksud ucapanmu barusan?” Matt
memegang bahu Nero. “Apa kau ingin mengatakan bahwa kau sudah sering tidur
bersama para gadis sebelumnya?”
Nero
memutar bola matanya. “Dad, aku sudah enam belas tahun, tidur dengan dua tiga
gadis tak masalah kan? Aku kan tak membuat mereka hamil.”
“Anak
Muda, apa kau tahu apa yang kau katakan?” Matt menggeram shock.
“Aku
tahu dan kau marah karena kau tak tahu kan?” Nero geleng-geleng kepala. “Aku
sudah bilang kan Dad kalau para bodyguard
itu tak akan mampu mengawasiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Tapi bukan
berarti kau harus memecat Zoe. Aku suka padanya. Jangan pecat dia.”
“Nero,
kita harus membicarakan perilakumu ini. Aku tak suka—” Matt berhenti bicara
saat Nero terbahak-bahak. “Nero! Aku serius!”
Nero
menghela napas dan mendekati Matt, memegang lengannya dan berkata, “Aku
bercanda, Dad. Aku belum pernah tidur dengan gadis manapun, hanya mencium
mereka.”
“Apa
kau serius dan tidak bercanda?” Matt menaikan alis curiga.
Nero
mengangkat tangan kanannya dan tangan kirinya memegang dada kanannya, lalu
berkata, “Aku bersumpah kalau aku belum pernah menodai gadis manapun sampai
detik ini.”
“Well, itu sedikit membuatku tenang,”
kata Matt dan dia merangkul Nero, mengajaknya duduk di dekat tangga. “Sekarang
jawab beberapa pertanyaanku. Aku hanya ingin memastikan bahwa tidak ada gadis
manapun yang tiba-tiba datang kemari untuk menagih pertanggung-jawabanmu,” kata
Matt cepat-cepat saat Nero hendak membantah.
“Ok,”
Nero menyerah.
“Sudah
berapa banyak gadis yang kau cium?” Matt bertanya penasaran.
Ya
ampun, Ayahnya benar-benar ingin tahu kehidupan cintanya. “Lima belas.”
Mata
Matt membesar kaget, tapi dia tidak ingin mengungkit-ungkit masalah itu lebih
jauh. “Eh, kapan ciuman pertamamu kalau begitu?”
“Waktu
usiaku 12 tahun.”
Matt
melongo. “Dengan siapa? Eloise?”
“Siapa
lagi? Dia satu-satunya gadis yang ada di dekatku waktu itu.”
“Apa
kau tidak jatuh cinta padanya?”
“Yang
benar saja, Dad,” Nero memutar bola matanya. “Aku tak tertarik padanya.”
“Tapi
sekarang dia sudah tumbuh sebagai gadis cantik seksi yang—” Matt menutup mulut
saat Nero menaikan alis. “Ok, anggap aku tak mengatakan apapun. Lalu, apa kau
suka gadis yang tidur denganmu kemarin malam?”
Nero
tidak menjawab dan Matt, merasa, tahu jawabannya.
“Well, aku juga tak akan memaksamu, Nak—”
“Dia
suka orang lain,” Nero memotong perkataan Matt. “Aku tak punya kesempatan.”
“Oh
ya?” Matt mengacak rambut Nero. “Kurasa tidak. Tak ada gadis yang mau tidur di
samping seorang cowok dan memegang tangannya sepanjang malam jika dia tidak
peduli dan suka pada cowok itu.”
Nero
mendengus. “Hidup tak segampang itu.”
“Benar,”
Matt mengangguk setuju. “Tapi, jika kau butuh nasehat, aku akan bersedia
membantumu.”
Nero
menatap Matt beberapa detik lalu mendengus. “Dad bahkan butuh waktu setahun
untuk menarik perhatian Mom sebelum kalian menikah. Itu pun dengan bantuanku.
Akulah pakar cinta di sini, bukan Dad. Ada-ada aja.” Kemudian Nero bangkit dari
tempatnya.
“Nero,
nanti sore kita akan keluar.”
Nero
menaikan alisnya. “Aku di rumah saja.”
Matt
menggeleng. “Kau butuh udara segar. Aku juga harus membelikanmu ponsel. Jacob
benar, kau butuh ponsel. Aku bisa memantau dan menghubungimu. Kita akan beli
ponsel sesuai pilihanmu.”
Nero
tersenyum, memeluk Matt dari belakang dan memberikan ciuman di pipinya. “Thank you, Dad. I love you.”
“I know and yeah, I love you too.”
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar