Debaran Tujuh Belas
Confused
Ketakutan?
Ya. Nero sudah pasti membuatku ketakutan setengah mati. Dia masuk ke kamarku
dalam keadaan setengah telanjang, lalu menyerangku dengan ciuman. Aku sudah
pasrah dengan apa yang akan dia lakukan. Untunglah tidak terjadi apapun. Tapi
aku tak menyangka bahwa aku merasa bahwa ciuman tadi tidak buruk.
Setelah
mampu bernapas, aku berusaha duduk. Tubuhku gemetaran dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Aku masih bisa merasakan napasnya Nero yang berhembus pelan di
wajahku; bagaimana suaranya berbisik rendah di telingaku; tatapan matanya saat
melihatku, begitu coklat dan penuh percaya diri; dan ciumannya yang membakar
leherku, aku bisa merasakan panas itu masih berada di kulitku, begitu pula
dengan ciuman itu.
BLAK
Aku
melonjak, menoleh cepat pada jendela kamarku. Nero baru saja menutup jendela
kamarnya. Pipiku kembali memanas mengingat saat Nero yang begitu dekat dengan
wajahku.
“Tidak
tidak tidak tidak tidak tidak tidak,” gumamku memegang kedua pipiku. Sadarlah,
Niken, dia cuma mempermainkanmu. Ya, Nero hanya mempermainkanmu. Dan sekarang
anak muda itu pasti sedang tertawa melihat penderitaanmu!
…. Niiiiiiken….
Aku
mengerang begitu mendengar suara Nero yang berbisik di telingaku. Pergi sana.
Jauh-jauh!
“Jika kau memberitahu orang lain
soal surat itu, Niken, aku akan melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman.”
Ini
semua karena surat sialan itu. Jika aku tidak menyentuh surat itu aku tak akan
mengalami hal seperti ini. Sama seperti saat aku membangunkan diri beberapa
hari lalu. Mengingat hal itu membuatku mengerang lagi. Kenapa setiap kali aku
berdekatan pada Nero selalu saja tertimpa nasib sial? Aku seharusnya tak
memikirkan Nero. Aku sudah menyukai orang lain. Kak Vion. Benar. KAK VION.
Harusnya Nero tak mampu membuatku kacau begini. Dan harusnya ciumanku juga bersama
Kak Vion. Tapi Nero malah mengambil seluruh ciumanku! Dengan pemaksaan pula!
“By the way, Niken, Vion sudah
punya pacar.”
Huh?
Aku
terbengong saat mengingat perkataan Nero yang terakhir. Kak Vion sudah punya
pacar? SIAPA??
***The Flower
Boy Next Door***
Devon
mengerutkan dahinya melihat Nero yang hanya berjalan dalam diam dengan tatapan
kosong tanpa ekspresi. Biasanya Nero selalu berisik, tertawa-tawa seperti orang
bodoh, dan menggodanya. Tapi kali ini ada yang salah padanya.
“Did something happen?” tanya
Devon, menepuk dahi Nero keras-keras untuk menyadarkannya.
“Huh?”
Nero mengerjap kebingungan.
“Kau
kenapa sih? Bengong terus sepanjang jalan.”
Nero
mengerjap lagi. “Aku nggak bengong.”
“Pain in my ass,”
gumam Devon jengkel. “Aku bisa melihat dengan jelas bahwa kau tidak baik-baik
saja.”
“Nggak
ada apa-apa.” Nero mengangguk mantap, yang bisa dipastikan kebohongan besar.
“Ok,
kalau begitu coba jelaskan padaku apa tadi yang telah kuceritakan padamu,”
Devon melipat tangannya, memandang Nero dengan alis menaik.
“Erm…”
Nero melihat ke segala arah kecuali melihatnya. “Memangnya kau tadi bilang apa?
Rasanya aku tak mendengar kau bicara.”
Devon
memutar bola matanya. “Apa ada masalah dengan Niken?” Nero mengerjap sekali dan
sudah bisa dipastikan bahwa dugaannya tepat tanpa Nero menjawabnya. “Apa lagi
yang sudah kau lakukan padanya?”
“Aku
tak melakukan apa-apa,” Nero menjawab cepat.
“Liar,”
ucap Devon sambil menggetok kepalanya. Nero meringis. “Kali ini ulah apa lagi
yang sudah kau lakukan selain menggoda dan mendepaknya dari juara satu?
Menciumnya?”
Nero
menggeleng dan berjalan meninggalkannya.
“Bukankah
itu pelecehan? Menciumnya secara paksa?” kata Devon lagi.
Nero
berhenti melangkah, menoleh ke belakang sambil memasang tampang jengkel.
“Jadi
benar kau menciumnya?” kata Devon terkejut. “Dan dia tidak meninjumu?”
“Mother, stop your bullshit,
please,” kata Nero.
“Say wha—”
“Mother,”
kata Nero, menjulurkan lidahnya dan berlari cepat.
Devon
mengepalkan tangannya. “NERO, I’LL KILL
YOU!” teriaknya mengejar Nero.
“NOOOOOO!”
Nero
berlari menghindarinya. Devon menggerutu setiap kali Nero berhasil lolos dari
cengkramannya. Nero benar-benar cepat. Untuk seorang anak laki-laki yang jarang
berolah raga, Nero benar-benar memiliki stamina tubuh yang bagus.
“Stop, you Moron!”
Devon
berteriak lagi, menghindari lautan siswa yang menunggu di depan gerbang. Para
siswa itu membuka jalan bagi mereka karena terkejut, seakan mereka adalah Musa
yang membelah lautan menjadi dua.
Akhirnya,
Nero mampu tertangkap. Devon berhasil menarik kerah seragamnya dari belakang
dan menjerat lehernya dengan tangannya.
“Ow
ow ow ow,” Nero mengerang, mencoba melepaskan diri.
“Mati
kau sekarang,” gerutu Devon, terengah. “Kau tadi memanggilku apa?”
“Erm… Mothe—ow ow ow! Damn you! It
hurts!” Nero berteriak-teriak saat Devon memperat
pitingannya pada lehernya.
“Apologize, Scum!”
“NOOO WAAAAAYAAAAH! OW! Lemme go!”
“Apologize!”
“NOOOO! HEEEELP MEEE! ZOEEEEEEE!!”
Huh?
Devon terbengong. Tepat saat itu, Zoe muncul dari belakang, memegang tangan
Devon dan melepaskan Nero dari cengkramannya.
“Are you okay?”
kata Zoe pada Nero.
Nero
mengangguk dan melompat ke belakang punggung Zoe.
“What the hell?”
Devon menggeram, memelototi Zoe dan Nero bergantian. “Who the hell is he?”
“Hallo, I’m Zoe,”
kata Zoe. “Nice to meet you—again.”
Devon
tidak memedulikan Zoe dan memilih memelototi Nero lagi.
“He’s my Father,
MO-THER,” goda Nero, menjulurkan lidahnya dan kabur saat Devon mencoba
mencengkramnya lagi.
“Jangan
lari kau, sialan!”
Zoe
mengerjap kebingungan. Sejak kapan aku menikah sama Devon dan punya anak
semengerikan Nero?
***The Flower
Boy Next Door***
Insiden
di depan gerbang sekolah menjadi pembicaraan lagi. Kabar mengenai kemunculan
Zoe untuk menggantikan posisi Kak Vion menjadi santer dibicarakan. Sekarang 3
Hot Guys kembali lengkap berkat Zoe. Malah sekarang pembicaraannya menjadi
lebih gila lagi. Zoe sebagai Ayah, Nero sebagai anak dan Devon sebagai Ibu?
Wahahahaha, semua orang terbahak mendengar kegemparan ini.
Dan
akibat itu pula aku tak konsentrasi mengerjakan ujian keduaku. Aku nyaris saja
memukulkan kepalaku ke dinding begitu mengetahui bahwa aku tidak mengerjakan
soalku dengan baik kali ini.
Berkat
kemarin, aku lupa sama sekali dengan targetku.
“Niken,”
seseorang menegurku dari belakang dan begitu terkejutnya aku saat berbalik
menemukan orang yang menegurku tak lain dan tak bukan adalah Kak Vion.
Kak
Vion. Malaikatku! Entah kenapa aku jadi takut dan malu bertemu dengannya. Aku
membiarkan diriku yang suci terkena ciuman mengerikan dari Nero. Padahal aku
berniat bahwa dialah satu-satunya pria di dunia ini yang akan menciumku.
Wajahku merah padam begitu mengingat kejadian di kamarku—dan kejadian
sebelumnya.
“Niken,
wajahmu merah, kau sakit?” tanyanya dan mengulurkan tangannya, memegang dahiku.
Dengan cepat aku menepis tangannya. “Niken?” katanya terkejut.
Huh?
Apa yang kulakukan? Aku terkejut dengan gerakan tanganku yang lebih cepat dari
otakku. “Ma-ma-maaf, Kak Vion. Nggak sengaja.”
Kak
Vion menatapku dengan lembut. Aduh… kenapa dia menatapku dengan pandangan
seperti itu? Aku bisa meleleh!
“Niken
besok ada waktu?” tanyanya. Untunglah dia tak mengungkit-ungkit masalah tadi.
“Huh?”
aku mengadah kebingungan. “Erm… nggak ada, sih.”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita nonton besok?” katanya dan aku mengerjap
kebingungan. “Aku ada dua tiket nonton. Bagaimana jika nonton bersama?”
Aku
mengerjap lagi. “Rasanya seperti ajakan kencan,” gumamku tanpa sadar dan aku
buru-buru menutup mulutku. Aku ini ngomong apa sih barusan?
Kak
Vion tertawa kecil. “Ini memang ajakan kencan, Niken.”
“H-h-huh?”
aku terkejut. “T-t-tapi, bukankah Kak Vion sudah punya pacar?”
Kali
ini Kak Vion yang mengerjap. “Hah? Aku? Punya pacar? Nggak tuh.”
Terus
apa maksud Nero mengatakan bahwa Kak Vion punya pacar? Sialan dia! Dia pasti
ingin menggodaku lagi kan? Berusaha membuatku patah hati begitu? Dia memang
menyebalkan! Berani sekali dia mengatakan hal yang tidak benar seperti itu
padaku!
“Jadi,
gimana, Niken?”
Aku
akan meninju Nero jika bertemu dengannya nanti. “Ok.” Kataku.
“Kalo
gitu kujemput besok di rumahmu ya?”
“Iya.”
“Sampai
jumpa, Niken.”
Aku
melambai pada Kak Vion. Besok aku kencan dengan Kak Vion. Kencan! Kencan!
Akhirnya aku punya kesempatan untuk mendekati Kak Vion! Sekarang aku bisa
membuktikan pada Nero bahwa aku mampu mendapatkan Kak Vion dengan caraku
sendiri! Urusan dengan Nero nanti urusan tak penting. Sekarang yang
kupentingkan adalah bahwa aku akan ada kencan dengan Kak Vion!
Oh,
Tuhan, terima kasih!
***The Flower
Boy Next Door***
Keesokan
harinya aku bahkan tak mempermasalahkan nama Nero yang berhasil mendepakku dari
juara satu. Malah aku tersenyum lebar begitu dia menyindirku. Yang kuingat
adalah bahwa hari ini aku akan punya kencan dengan Kak Vion!
“Hmmm,”
Nero menempelkan dahinya ke dahiku. Aku mengerjap, membelalak melihat mata
coklatnya. “Normal kok.”
Sambil
berteriak, aku meninju rahangnya. “Jangan dekat-dekat, Mesum!”
Devon
dan Zoe yang ada di belakangnya kulihat geleng-geleng kepala. Nero sendiri
terbahak-bahak, memegang dagunya yang baru saja kutinju.
“Lumayan
juga, Niken,” katanya. “Sedikit lagi kau pasti mampu menyamai kekuatan Devon.”
“Mau
apa?” kataku jengkel, mengambil langkah ke belakang saat dia maju ke depan.
“Kau
kenapa sih, Niken?” Nero terheran-heran melihat aku mundur lagi saat dia
mendekat.
“Mundur
atau aku akan meninjumu lagi!” kataku mengepalkan kedua tinjuku.
“Nero,”
Zoe menepuk bahunya. “Jangan menggodanya lagi, nanti pacarnya marah. Kau bisa
terkena tinju lagi seperti waktu itu.”
“Huh?”
aku terbengong.
“Apa
maksudmu?” Devon berbicara, mencengkram baju Zoe. “Kau tahu siapa yang
memukulnya waktu itu?”
“Ya.”
Zoe menyingkirkan tangan Devon dengan tenang.
“Siapa?”
kata Devon.
“Zoe,
diam!” Nero mengancam. “Jangan katakan apapun!”
“Apa
maksudnya?” aku kebingungan. Aku punya pacar? Hah? Aku? Dan pacarku itu
menghajar Nero karena ciuman waktu itu? Siapa yang melakukannya?
“Tidak
ada apa-apa, Niken. Ini hanya salah paham,” kata Nero tersenyum.
“Salah
paham bagaimana jika membuatmu terluka?” kataku cepat. Aku tak bisa membiarkan
perkelahian terjadi di lingkungan sekolah. Aku harus melakukan sesuatu. Bisa
saja kejadian ini akan terulang lagi. Dan aku tak mau hal itu sampai terjadi.
“Rasanya
aku tahu siapa,” kata Devon dan berjalan meninggalkan mereka. Nero cepat-cepat
mengejarnya.
“Devon,
mau kemana kau?” kata Nero.
“Tentu
saja menghajar orang yang membuatmu babak belur.”
“Tenangkan
dirimu,” Nero memegang bahunya. “Aku sudah tak apa-apa. Lupakan kejadian itu
dan hiduplah dengan tenang.”
“Mana
mungkin kulakukan! Aku akan membalas Vion!”
Hah?
Vion? KAK VION? Jadi maksudmu Kak Vion-lah yang memukuli Nero waktu itu
dan—dan—dan Kak Vion melihatku berciuman dengan Nero?
Oh,
tidak…
“Siapa
bilang Vion pelakunya?” kata Nero lagi. Devon menatapnya dengan geram.
“Tenangkan dirimu, Devon, please? Aku
baik-baik saja. Simpan energimu untuk hal lain yang lebih berguna.”
Aku
melihat Devon menarik napas, menutup matanya dan menenangkan emosinya. “Ok. Kau
menang. Tapi bukan berarti aku memaafkannya. Jika kejadian ini terulang, aku
tak akan membiarkannya.”
Nero
tersenyum kecil. “Ini tak akan terulang lagi. Waktu itu cuma ada kesalahpahaman
kecil di antara kami.”
“Ya.
Dan itu karena kau menciumnya,” Devon menunjukku. “Berhentilah menggodanya. Apa
kau tak kasihan melihatnya salah tingkah terus-menerus digoda olehmu? Dia punya
orang yang dia sukai. Dan candaanmu sama sekali tak lucu jika kau mempermainkan
perasaannya. Berhenti memperlakukan dia seperti mainan, Nero. Kau bisa mendapat
gadis yang lebih baik dari dia.”
Ok.
Aku tersinggung walau dia membelaku.
“Apa
sih masalahmu?” kataku tak senang. “Kalau kau mau membelaku ya bela saja aku,
jangan menjelek-jelekanku juga dong. Dasar kau Preman Pirang!”
Devon
melotot. “Ini rambut asli tahu!”
“Tidak
akan ada yang percaya mengenai hal itu!”
BRAK!
Kami
melonjak kaget dan menoleh cepat. Nero baru saja meninju loker sampai bengkok
dengan tangan kosong. Aku menganga.
“Nero,”
desahku tak percaya. “Nero, apa yang kau lakukan pada infrastruktur sekolah?”
Aku
melihat kilatan penuh murka di mata coklatnya. Dengan segera aku menelan ludah.
Ada sesuatu yang membuatku takut untuk mendekatinya. Zoe segera menutup matanya
dari belakang dengan tangan kanannya.
“Sori,
kurasa aku akan membawanya ke UKS,” kata Zoe pelan. Salah satu tangannya
mengambil tangan Nero yang masih berada di loker. Tak lama dia membimbing Nero
keluar dari koridor.
“Ada
apa dengannya?” Devon bertanya setelah kami diliputi keheningan.
“Entahlah,” aku juga bertanya-tanya.
***The Flower
Boy Next Door***
Kencanku
tak berjalan sukses. Mau tahu kenapa? Karena aku memikirkan Nero. Sejak Zoe
membawanya ke UKS, mereka berdua sama sekali tidak kembali ke kelas dan malah
pulang lebih awal. Aku cemas melihat ekspresi matanya. Dia seperti hendak
meledak. Begitu melihat loker besi yang kini bengkok karena tinjunya membuatku
takut jika nanti dia meledak marah dan malah akan melampiaskannya pada Zoe.
“Niken,
kau mendengarku?” suara Kak Vion menyadarkanku.
“Eh,
iya,” kataku tergagap, melihat sekelilingku. Setelah selesai nonton, kami
berdua pergi makan. Bukan makan malam sih, hanya makan di café biasa. Aku hanya
mengaduk-aduk minumanku dengan tidak berselera.
“Tampaknya
kau tidak terlalu suka jalan denganku ya?” kata Kak Vion.
“Oh,
nggak. Nggak kok,” kataku cepat. Sialan. Kenapa sih aku malah memikirkan Nero
di saat seperti ini? Perasaanku mengatakan bahwa ada yang terjadi pada Nero.
Jika aku mengingat surat berdarah yang waktu itu, aku ngeri sekali.
“Kita
pulang saja, ya,” kata Kak Vion.
Aku
mengadah lagi. Kak Vion tengah tersenyum penuh pengertian padaku.
“Dari
tadi kau melirik jam tangan. Kau pasti ingin cepat pulang kan?”
Demi
Tuhan! Kak Vion benar-benar sangat baik. Aku tak tega mengatakan bahwa aku
ingin cepat pulang untuk memastikan bahwa Nero baik-baik saja dari jendela
kamarku!
Kak
Vion membayar makanan dan kami sedang keluar dari café saat aku melihat sosok
yang jauh di depan sana—hanya sekilas—tampak seperti Nero.
“Niken,
ayo masuk,” kata Kak Vion.
“Maaf,
Kak. Aku buru-buru,” kataku dan tanpa menunggu jawabannya aku berlari cepat
menuju arah orang itu pergi. Aku bahkan tak mendengar lagi suara teriakannya
yang memanggil namaku. Aku berlari sekencang-kencangnya. Ini gila. Kenapa aku
mengejar sesorang yang mungkin saja bukan Nero? Aku mengutuki pikiranku yang
sungguh tak rasional. Tapi tetap saja melakukannya.
Aku
terengah begitu berhenti di depan jalan raya tapi tidak menemukan Nero.
Orang-orang yang baru pulang kantor malah berjalan di pinggir trotoar, membawa
tas-tas kantor mereka, ada yang mengobrol seru, ada yang menelepon, ada yang
cuma jalan saja.
Membasahi
bibirku, aku berusaha memanjangkan leher untuk memastikan bahwa sosok yang
kulihat seperti Nero tidak kelihatan.
“Bodohnya
kau, Niken,” gumamku memukul kepalaku sendiri. Aku ini kenapa sih? Sudah pasti
Nero tak mungkin berkeliaran di jalanan. Pertama dia pasti ada di kamarnya.
Kedua, dia tak pernah keluar dari gerbang rumah sekalipum. Ketiga, anak seperti
Nero tak akan tahu jalan dan tersesat, jika dia pintar dia tak akan keluar dari
rumahnya. Keempat, jika Nero memilih keluar maka Nero akan pergi dengan mobil,
orang kaya seperti dia tak mungkin jalan kaki.
Nah
kan, sekarang otakku mampu berpikir realistis.
Aku
memukul kepalaku lagi. Memikirkan Nero sama sekali tak berguna. Kencan hari ini
malah terbuang sia-sia padahal hari ini adalah kencan pertama seumur hidupku
dan dengan orang yang kusukai pula! Aku malah mengacaukannya dengan memikirkan
Nero, malah meninggalkan teman kencanku untuk mencari seseorang yang bahkan
bukan Nero!
Menggerutu,
aku berjalan di pinggir jalan, memunggungi gang sempit gelap yang mengapit dua
gedung besar. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul delapan malam. Satu jam
lagi Nero bakal tidur. Aku tak mungkin bisa sampai rumah dalam waktu satu jam.
Tapi,
pikirku, jika melihat jendelanya yang tertutup dan lampunya yang sudah padam,
mungkin aku bisa tenang. Aku bisa bertanya padanya besok pagi.
“Shit!”
Aku
mengerutkan dahi mendengar ada suara di dekatku. Tak lama kemudian aku
mendengar ada suara erangan kecil dan napas yang terengah-engah.
Perlahan-lahan, aku menoleh ke belakang. Di gang sempit itu ada seseorang. Aku
bisa melihat ada bayangan gelap yang bergerak di sana.
Jantungku
berdegup-degup tak karuan. Jangan lihat. Jangan lihat. Jangan lihat, Niken!
Anggap saja kau tak melihat atau mendengar apapun!
Terdengar
suara erangan lagi. Ya, Tuhan, aku lebih baik menghindari tempat ini. Entah apa
yang terjadi di belakangku. Mungkinkah ada seseorang diperkosa? Mataku
membelalak ngeri. Ya ampun, jika hal itu sampai terjadi, maka aku lebih baik
kabur saja.
Tunggu,
sebelum itu telepon polisi dulu.
“Shit! Where’s my damn wallet?”
Aku
berhenti memencet nomor telepon darurat dan cepat-cepat menoleh ke belakang.
Aku mengenal suara itu!
“Nero?”
kataku tanpa sadar.
Tapi
tidak ada yang menjawab. Malah ada keheningan yang tak wajar di sana. Aku tak
mungkin salah lagi. Itu suara Nero. Ternyata aku tadi memang melihat Nero. Aku
berajalan menuju gang itu.
“Nero?”
kataku.
Terdengar
suara desahannya. “Jangan mendekat, Niken,” katanya.
“Apaan
sih? Memangnya kau ngapain?”
“Niken,
kumohon, pergilah!”
“Bagaimana
mungkin aku—” dengan sinar dari layar ponselku, aku menerangi tubuh yang
terduduk di gang gelap itu. Punggung Nero bersandar di tembok. Rambutnya
berantakan, keringatan dan masih terengah-engah, mungkin karena berlari. Dia
masih mengenakan seragam sekolah dengan tangan kirinya memegangi tangan
kanannya.
“Niken,
jangan lihat!”
Tapi
aku terlanjur melihat ada darah merembes keluar dari tangan kanannya, membasahi
jari-jari tangan kirinya dan darah itu tidak berhenti.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar