RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 06 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tujuh Belas)


Debaran Tujuh Belas
Confused
Ketakutan? Ya. Nero sudah pasti membuatku ketakutan setengah mati. Dia masuk ke kamarku dalam keadaan setengah telanjang, lalu menyerangku dengan ciuman. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan dia lakukan. Untunglah tidak terjadi apapun. Tapi aku tak menyangka bahwa aku merasa bahwa ciuman tadi tidak buruk.
Setelah mampu bernapas, aku berusaha duduk. Tubuhku gemetaran dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku masih bisa merasakan napasnya Nero yang berhembus pelan di wajahku; bagaimana suaranya berbisik rendah di telingaku; tatapan matanya saat melihatku, begitu coklat dan penuh percaya diri; dan ciumannya yang membakar leherku, aku bisa merasakan panas itu masih berada di kulitku, begitu pula dengan ciuman itu.
BLAK
Aku melonjak, menoleh cepat pada jendela kamarku. Nero baru saja menutup jendela kamarnya. Pipiku kembali memanas mengingat saat Nero yang begitu dekat dengan wajahku.
“Tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak,” gumamku memegang kedua pipiku. Sadarlah, Niken, dia cuma mempermainkanmu. Ya, Nero hanya mempermainkanmu. Dan sekarang anak muda itu pasti sedang tertawa melihat penderitaanmu!
…. Niiiiiiken….
Aku mengerang begitu mendengar suara Nero yang berbisik di telingaku. Pergi sana. Jauh-jauh!
“Jika kau memberitahu orang lain soal surat itu, Niken, aku akan melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman.”
Ini semua karena surat sialan itu. Jika aku tidak menyentuh surat itu aku tak akan mengalami hal seperti ini. Sama seperti saat aku membangunkan diri beberapa hari lalu. Mengingat hal itu membuatku mengerang lagi. Kenapa setiap kali aku berdekatan pada Nero selalu saja tertimpa nasib sial? Aku seharusnya tak memikirkan Nero. Aku sudah menyukai orang lain. Kak Vion. Benar. KAK VION. Harusnya Nero tak mampu membuatku kacau begini. Dan harusnya ciumanku juga bersama Kak Vion. Tapi Nero malah mengambil seluruh ciumanku! Dengan pemaksaan pula!
“By the way, Niken, Vion sudah punya pacar.”
Huh?
Aku terbengong saat mengingat perkataan Nero yang terakhir. Kak Vion sudah punya pacar? SIAPA??
***The Flower Boy Next Door***
Devon mengerutkan dahinya melihat Nero yang hanya berjalan dalam diam dengan tatapan kosong tanpa ekspresi. Biasanya Nero selalu berisik, tertawa-tawa seperti orang bodoh, dan menggodanya. Tapi kali ini ada yang salah padanya.
“Did something happen?” tanya Devon, menepuk dahi Nero keras-keras untuk menyadarkannya.
“Huh?” Nero mengerjap kebingungan.
“Kau kenapa sih? Bengong terus sepanjang jalan.”
Nero mengerjap lagi. “Aku nggak bengong.”
“Pain in my ass,” gumam Devon jengkel. “Aku bisa melihat dengan jelas bahwa kau tidak baik-baik saja.”
“Nggak ada apa-apa.” Nero mengangguk mantap, yang bisa dipastikan kebohongan besar.
“Ok, kalau begitu coba jelaskan padaku apa tadi yang telah kuceritakan padamu,” Devon melipat tangannya, memandang Nero dengan alis menaik.
“Erm…” Nero melihat ke segala arah kecuali melihatnya. “Memangnya kau tadi bilang apa? Rasanya aku tak mendengar kau bicara.”
Devon memutar bola matanya. “Apa ada masalah dengan Niken?” Nero mengerjap sekali dan sudah bisa dipastikan bahwa dugaannya tepat tanpa Nero menjawabnya. “Apa lagi yang sudah kau lakukan padanya?”
“Aku tak melakukan apa-apa,” Nero menjawab cepat.
“Liar,” ucap Devon sambil menggetok kepalanya. Nero meringis. “Kali ini ulah apa lagi yang sudah kau lakukan selain menggoda dan mendepaknya dari juara satu? Menciumnya?”
Nero menggeleng dan berjalan meninggalkannya.
“Bukankah itu pelecehan? Menciumnya secara paksa?” kata Devon lagi.
Nero berhenti melangkah, menoleh ke belakang sambil memasang tampang jengkel.
“Jadi benar kau menciumnya?” kata Devon terkejut. “Dan dia tidak meninjumu?”
“Mother, stop your bullshit, please,” kata Nero.
“Say wha—”
“Mother,” kata Nero, menjulurkan lidahnya dan berlari cepat.
Devon mengepalkan tangannya. “NERO, I’LL KILL YOU!” teriaknya mengejar Nero.
“NOOOOOO!”
Nero berlari menghindarinya. Devon menggerutu setiap kali Nero berhasil lolos dari cengkramannya. Nero benar-benar cepat. Untuk seorang anak laki-laki yang jarang berolah raga, Nero benar-benar memiliki stamina tubuh yang bagus.
“Stop, you Moron!”
Devon berteriak lagi, menghindari lautan siswa yang menunggu di depan gerbang. Para siswa itu membuka jalan bagi mereka karena terkejut, seakan mereka adalah Musa yang membelah lautan menjadi dua.
Akhirnya, Nero mampu tertangkap. Devon berhasil menarik kerah seragamnya dari belakang dan menjerat lehernya dengan tangannya.
“Ow ow ow ow,” Nero mengerang, mencoba melepaskan diri.
“Mati kau sekarang,” gerutu Devon, terengah. “Kau tadi memanggilku apa?”
“Erm… Mothe—ow ow ow! Damn you! It hurts!” Nero berteriak-teriak saat Devon memperat pitingannya pada lehernya.
“Apologize, Scum!”
“NOOO WAAAAAYAAAAH! OW! Lemme go!”
“Apologize!”
“NOOOO! HEEEELP MEEE! ZOEEEEEEE!!”
Huh? Devon terbengong. Tepat saat itu, Zoe muncul dari belakang, memegang tangan Devon dan melepaskan Nero dari cengkramannya.
“Are you okay?” kata Zoe pada Nero.
Nero mengangguk dan melompat ke belakang punggung Zoe.
“What the hell?” Devon menggeram, memelototi Zoe dan Nero bergantian. “Who the hell is he?”
“Hallo, I’m Zoe,” kata Zoe. “Nice to meet you—again.”
Devon tidak memedulikan Zoe dan memilih memelototi Nero lagi.
“He’s my Father, MO-THER,” goda Nero, menjulurkan lidahnya dan kabur saat Devon mencoba mencengkramnya lagi.
“Jangan lari kau, sialan!”
Zoe mengerjap kebingungan. Sejak kapan aku menikah sama Devon dan punya anak semengerikan Nero?
***The Flower Boy Next Door***
Insiden di depan gerbang sekolah menjadi pembicaraan lagi. Kabar mengenai kemunculan Zoe untuk menggantikan posisi Kak Vion menjadi santer dibicarakan. Sekarang 3 Hot Guys kembali lengkap berkat Zoe. Malah sekarang pembicaraannya menjadi lebih gila lagi. Zoe sebagai Ayah, Nero sebagai anak dan Devon sebagai Ibu? Wahahahaha, semua orang terbahak mendengar kegemparan ini.
Dan akibat itu pula aku tak konsentrasi mengerjakan ujian keduaku. Aku nyaris saja memukulkan kepalaku ke dinding begitu mengetahui bahwa aku tidak mengerjakan soalku dengan baik kali ini.
Berkat kemarin, aku lupa sama sekali dengan targetku.
“Niken,” seseorang menegurku dari belakang dan begitu terkejutnya aku saat berbalik menemukan orang yang menegurku tak lain dan tak bukan adalah Kak Vion.
Kak Vion. Malaikatku! Entah kenapa aku jadi takut dan malu bertemu dengannya. Aku membiarkan diriku yang suci terkena ciuman mengerikan dari Nero. Padahal aku berniat bahwa dialah satu-satunya pria di dunia ini yang akan menciumku. Wajahku merah padam begitu mengingat kejadian di kamarku—dan kejadian sebelumnya.
“Niken, wajahmu merah, kau sakit?” tanyanya dan mengulurkan tangannya, memegang dahiku. Dengan cepat aku menepis tangannya. “Niken?” katanya terkejut.
Huh? Apa yang kulakukan? Aku terkejut dengan gerakan tanganku yang lebih cepat dari otakku. “Ma-ma-maaf, Kak Vion. Nggak sengaja.”
Kak Vion menatapku dengan lembut. Aduh… kenapa dia menatapku dengan pandangan seperti itu? Aku bisa meleleh!
“Niken besok ada waktu?” tanyanya. Untunglah dia tak mengungkit-ungkit masalah tadi.
“Huh?” aku mengadah kebingungan. “Erm… nggak ada, sih.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita nonton besok?” katanya dan aku mengerjap kebingungan. “Aku ada dua tiket nonton. Bagaimana jika nonton bersama?”
Aku mengerjap lagi. “Rasanya seperti ajakan kencan,” gumamku tanpa sadar dan aku buru-buru menutup mulutku. Aku ini ngomong apa sih barusan?
Kak Vion tertawa kecil. “Ini memang ajakan kencan, Niken.”
“H-h-huh?” aku terkejut. “T-t-tapi, bukankah Kak Vion sudah punya pacar?”
Kali ini Kak Vion yang mengerjap. “Hah? Aku? Punya pacar? Nggak tuh.”
Terus apa maksud Nero mengatakan bahwa Kak Vion punya pacar? Sialan dia! Dia pasti ingin menggodaku lagi kan? Berusaha membuatku patah hati begitu? Dia memang menyebalkan! Berani sekali dia mengatakan hal yang tidak benar seperti itu padaku!
“Jadi, gimana, Niken?”
Aku akan meninju Nero jika bertemu dengannya nanti. “Ok.” Kataku.
“Kalo gitu kujemput besok di rumahmu ya?”
“Iya.”
“Sampai jumpa, Niken.”
Aku melambai pada Kak Vion. Besok aku kencan dengan Kak Vion. Kencan! Kencan! Akhirnya aku punya kesempatan untuk mendekati Kak Vion! Sekarang aku bisa membuktikan pada Nero bahwa aku mampu mendapatkan Kak Vion dengan caraku sendiri! Urusan dengan Nero nanti urusan tak penting. Sekarang yang kupentingkan adalah bahwa aku akan ada kencan dengan Kak Vion!
Oh, Tuhan, terima kasih!
***The Flower Boy Next Door***
Keesokan harinya aku bahkan tak mempermasalahkan nama Nero yang berhasil mendepakku dari juara satu. Malah aku tersenyum lebar begitu dia menyindirku. Yang kuingat adalah bahwa hari ini aku akan punya kencan dengan Kak Vion!
“Hmmm,” Nero menempelkan dahinya ke dahiku. Aku mengerjap, membelalak melihat mata coklatnya. “Normal kok.”
Sambil berteriak, aku meninju rahangnya. “Jangan dekat-dekat, Mesum!”
Devon dan Zoe yang ada di belakangnya kulihat geleng-geleng kepala. Nero sendiri terbahak-bahak, memegang dagunya yang baru saja kutinju.
“Lumayan juga, Niken,” katanya. “Sedikit lagi kau pasti mampu menyamai kekuatan Devon.”
“Mau apa?” kataku jengkel, mengambil langkah ke belakang saat dia maju ke depan.
“Kau kenapa sih, Niken?” Nero terheran-heran melihat aku mundur lagi saat dia mendekat.
“Mundur atau aku akan meninjumu lagi!” kataku mengepalkan kedua tinjuku.
“Nero,” Zoe menepuk bahunya. “Jangan menggodanya lagi, nanti pacarnya marah. Kau bisa terkena tinju lagi seperti waktu itu.”
“Huh?” aku terbengong.
“Apa maksudmu?” Devon berbicara, mencengkram baju Zoe. “Kau tahu siapa yang memukulnya waktu itu?”
“Ya.” Zoe menyingkirkan tangan Devon dengan tenang.
“Siapa?” kata Devon.
“Zoe, diam!” Nero mengancam. “Jangan katakan apapun!”
“Apa maksudnya?” aku kebingungan. Aku punya pacar? Hah? Aku? Dan pacarku itu menghajar Nero karena ciuman waktu itu? Siapa yang melakukannya?
“Tidak ada apa-apa, Niken. Ini hanya salah paham,” kata Nero tersenyum.
“Salah paham bagaimana jika membuatmu terluka?” kataku cepat. Aku tak bisa membiarkan perkelahian terjadi di lingkungan sekolah. Aku harus melakukan sesuatu. Bisa saja kejadian ini akan terulang lagi. Dan aku tak mau hal itu sampai terjadi.
“Rasanya aku tahu siapa,” kata Devon dan berjalan meninggalkan mereka. Nero cepat-cepat mengejarnya.
“Devon, mau kemana kau?” kata Nero.
“Tentu saja menghajar orang yang membuatmu babak belur.”
“Tenangkan dirimu,” Nero memegang bahunya. “Aku sudah tak apa-apa. Lupakan kejadian itu dan hiduplah dengan tenang.”
“Mana mungkin kulakukan! Aku akan membalas Vion!”
Hah? Vion? KAK VION? Jadi maksudmu Kak Vion-lah yang memukuli Nero waktu itu dan—dan—dan Kak Vion melihatku berciuman dengan Nero?
Oh, tidak…
“Siapa bilang Vion pelakunya?” kata Nero lagi. Devon menatapnya dengan geram. “Tenangkan dirimu, Devon, please? Aku baik-baik saja. Simpan energimu untuk hal lain yang lebih berguna.”
Aku melihat Devon menarik napas, menutup matanya dan menenangkan emosinya. “Ok. Kau menang. Tapi bukan berarti aku memaafkannya. Jika kejadian ini terulang, aku tak akan membiarkannya.”
Nero tersenyum kecil. “Ini tak akan terulang lagi. Waktu itu cuma ada kesalahpahaman kecil di antara kami.”
“Ya. Dan itu karena kau menciumnya,” Devon menunjukku. “Berhentilah menggodanya. Apa kau tak kasihan melihatnya salah tingkah terus-menerus digoda olehmu? Dia punya orang yang dia sukai. Dan candaanmu sama sekali tak lucu jika kau mempermainkan perasaannya. Berhenti memperlakukan dia seperti mainan, Nero. Kau bisa mendapat gadis yang lebih baik dari dia.”
Ok. Aku tersinggung walau dia membelaku.
“Apa sih masalahmu?” kataku tak senang. “Kalau kau mau membelaku ya bela saja aku, jangan menjelek-jelekanku juga dong. Dasar kau Preman Pirang!”
Devon melotot. “Ini rambut asli tahu!”
“Tidak akan ada yang percaya mengenai hal itu!”
BRAK!
Kami melonjak kaget dan menoleh cepat. Nero baru saja meninju loker sampai bengkok dengan tangan kosong. Aku menganga.
“Nero,” desahku tak percaya. “Nero, apa yang kau lakukan pada infrastruktur sekolah?”
Aku melihat kilatan penuh murka di mata coklatnya. Dengan segera aku menelan ludah. Ada sesuatu yang membuatku takut untuk mendekatinya. Zoe segera menutup matanya dari belakang dengan tangan kanannya.
“Sori, kurasa aku akan membawanya ke UKS,” kata Zoe pelan. Salah satu tangannya mengambil tangan Nero yang masih berada di loker. Tak lama dia membimbing Nero keluar dari koridor.
“Ada apa dengannya?” Devon bertanya setelah kami diliputi keheningan.
 “Entahlah,” aku juga bertanya-tanya.
***The Flower Boy Next Door***
Kencanku tak berjalan sukses. Mau tahu kenapa? Karena aku memikirkan Nero. Sejak Zoe membawanya ke UKS, mereka berdua sama sekali tidak kembali ke kelas dan malah pulang lebih awal. Aku cemas melihat ekspresi matanya. Dia seperti hendak meledak. Begitu melihat loker besi yang kini bengkok karena tinjunya membuatku takut jika nanti dia meledak marah dan malah akan melampiaskannya pada Zoe.
“Niken, kau mendengarku?” suara Kak Vion menyadarkanku.
“Eh, iya,” kataku tergagap, melihat sekelilingku. Setelah selesai nonton, kami berdua pergi makan. Bukan makan malam sih, hanya makan di café biasa. Aku hanya mengaduk-aduk minumanku dengan tidak berselera.
“Tampaknya kau tidak terlalu suka jalan denganku ya?” kata Kak Vion.
“Oh, nggak. Nggak kok,” kataku cepat. Sialan. Kenapa sih aku malah memikirkan Nero di saat seperti ini? Perasaanku mengatakan bahwa ada yang terjadi pada Nero. Jika aku mengingat surat berdarah yang waktu itu, aku ngeri sekali.
“Kita pulang saja, ya,” kata Kak Vion.
Aku mengadah lagi. Kak Vion tengah tersenyum penuh pengertian padaku.
“Dari tadi kau melirik jam tangan. Kau pasti ingin cepat pulang kan?”
Demi Tuhan! Kak Vion benar-benar sangat baik. Aku tak tega mengatakan bahwa aku ingin cepat pulang untuk memastikan bahwa Nero baik-baik saja dari jendela kamarku!
Kak Vion membayar makanan dan kami sedang keluar dari café saat aku melihat sosok yang jauh di depan sana—hanya sekilas—tampak seperti Nero.
“Niken, ayo masuk,” kata Kak Vion.
“Maaf, Kak. Aku buru-buru,” kataku dan tanpa menunggu jawabannya aku berlari cepat menuju arah orang itu pergi. Aku bahkan tak mendengar lagi suara teriakannya yang memanggil namaku. Aku berlari sekencang-kencangnya. Ini gila. Kenapa aku mengejar sesorang yang mungkin saja bukan Nero? Aku mengutuki pikiranku yang sungguh tak rasional. Tapi tetap saja melakukannya.
Aku terengah begitu berhenti di depan jalan raya tapi tidak menemukan Nero. Orang-orang yang baru pulang kantor malah berjalan di pinggir trotoar, membawa tas-tas kantor mereka, ada yang mengobrol seru, ada yang menelepon, ada yang cuma jalan saja.
Membasahi bibirku, aku berusaha memanjangkan leher untuk memastikan bahwa sosok yang kulihat seperti Nero tidak kelihatan.
“Bodohnya kau, Niken,” gumamku memukul kepalaku sendiri. Aku ini kenapa sih? Sudah pasti Nero tak mungkin berkeliaran di jalanan. Pertama dia pasti ada di kamarnya. Kedua, dia tak pernah keluar dari gerbang rumah sekalipum. Ketiga, anak seperti Nero tak akan tahu jalan dan tersesat, jika dia pintar dia tak akan keluar dari rumahnya. Keempat, jika Nero memilih keluar maka Nero akan pergi dengan mobil, orang kaya seperti dia tak mungkin jalan kaki.
Nah kan, sekarang otakku mampu berpikir realistis.
Aku memukul kepalaku lagi. Memikirkan Nero sama sekali tak berguna. Kencan hari ini malah terbuang sia-sia padahal hari ini adalah kencan pertama seumur hidupku dan dengan orang yang kusukai pula! Aku malah mengacaukannya dengan memikirkan Nero, malah meninggalkan teman kencanku untuk mencari seseorang yang bahkan bukan Nero!
Menggerutu, aku berjalan di pinggir jalan, memunggungi gang sempit gelap yang mengapit dua gedung besar. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul delapan malam. Satu jam lagi Nero bakal tidur. Aku tak mungkin bisa sampai rumah dalam waktu satu jam.
Tapi, pikirku, jika melihat jendelanya yang tertutup dan lampunya yang sudah padam, mungkin aku bisa tenang. Aku bisa bertanya padanya besok pagi.
“Shit!”
Aku mengerutkan dahi mendengar ada suara di dekatku. Tak lama kemudian aku mendengar ada suara erangan kecil dan napas yang terengah-engah. Perlahan-lahan, aku menoleh ke belakang. Di gang sempit itu ada seseorang. Aku bisa melihat ada bayangan gelap yang bergerak di sana.
Jantungku berdegup-degup tak karuan. Jangan lihat. Jangan lihat. Jangan lihat, Niken! Anggap saja kau tak melihat atau mendengar apapun!
Terdengar suara erangan lagi. Ya, Tuhan, aku lebih baik menghindari tempat ini. Entah apa yang terjadi di belakangku. Mungkinkah ada seseorang diperkosa? Mataku membelalak ngeri. Ya ampun, jika hal itu sampai terjadi, maka aku lebih baik kabur saja.
Tunggu, sebelum itu telepon polisi dulu.
“Shit! Where’s my damn wallet?”
Aku berhenti memencet nomor telepon darurat dan cepat-cepat menoleh ke belakang. Aku mengenal suara itu!
“Nero?” kataku tanpa sadar.
Tapi tidak ada yang menjawab. Malah ada keheningan yang tak wajar di sana. Aku tak mungkin salah lagi. Itu suara Nero. Ternyata aku tadi memang melihat Nero. Aku berajalan menuju gang itu.
“Nero?” kataku.
Terdengar suara desahannya. “Jangan mendekat, Niken,” katanya.
“Apaan sih? Memangnya kau ngapain?”
“Niken, kumohon, pergilah!”
“Bagaimana mungkin aku—” dengan sinar dari layar ponselku, aku menerangi tubuh yang terduduk di gang gelap itu. Punggung Nero bersandar di tembok. Rambutnya berantakan, keringatan dan masih terengah-engah, mungkin karena berlari. Dia masih mengenakan seragam sekolah dengan tangan kirinya memegangi tangan kanannya.
“Niken, jangan lihat!”
Tapi aku terlanjur melihat ada darah merembes keluar dari tangan kanannya, membasahi jari-jari tangan kirinya dan darah itu tidak berhenti.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.