RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 26 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Lima Belas)


Debaran Lima Belas
Surat Berdarah
Semua orang begitu terpukau pada Devon yang membawa bola dan detik-detik terakhir saat Devon memasukan bola. Tapi mataku sejak pertandingan dimulai sama sekali tak lepas dari Nero. Benar, Nero. Mungkin ini cuma perasaanku saja, tapi sejak dia menjadi pemain di tim bola, Nero tampak pucat sekali. Memang sih, biasanya juga dia pucat. Tapi ini lebih pucat lagi.
Dan semakin lama bermain, wajahnya justru semakin pucat. Aku tak tahu apakah Devon yang bermain dengannya di lapangan menyadari hal ini atau tidak. Tapi aku sendiri terheran bagaimana aku bisa melihat wajah Nero dengan jelas bahkan dari jarak sejauh ini. Padahal mataku tidak terbuat dari teleskop dan kacamataku belum juga diganti.
Lalu terjadilah yang sudah kuperkirakan. Aku melihat Nero jatuh begitu saja di lapangan tepat saat Devon menendang bolanya ke gawang. Bram, yang ada di dekatnya, segera berlari ke arahnya dan melihat kondisinya.
Apakah kali ini bercanda?
Dan terakhir, terjadilah kemarahan di lapangan yang menyuruh Nero untuk bangun. Tapi aku merasa bahwa Nero tidak sedang bercanda.
“Aaaah, sudah kuduga!” salah seorang anak lelaki yang menonton segera melompat dari tempatnya dan berlari ke lapangan. Dia kemudian segera membawa Nero yang tetap tak sadarkan diri ke UKS. Tanpa banyak tanya lagi, aku bangkit dan segera ke UKS juga. Devon juga mengekor di belakang. Sama sepertiku, dia juga tampak cemas.
“Dehidrasi,” kata Bu Moni setelah memeriksa keadaan Nero. “Dari catatan kesehatannya tertulis bahwa Nero tak bisa lama-lama di bawah sinar matahari.”
Kami bertiga mengangguk dalam diam dan sekali lagi melihat wajah pucat Nero yang tertidur di brankar UKS.
“Dia tak apa-apa. Cukup dikompres dengan handuk dingin. Saat dia sadar, dia hanya butuh minum cairan yang mengandung elektrolit.”
Kami mengangguk lagi. Bu Moni meletakan handuk ke dahi Nero, kemudian meletakan kantong es ke atas handuk itu. “Baiklah, Ibu tinggal dulu. Kalian juga sudah bisa kembali ke kelas.”
“Aku akan menjaganya,” kata Devon. “Niken dan kau—” Devon mendelik jengkel pada cowok yang memperkenalkan diri sebagai Zoe pada kami, “—sudah bisa kembali.”
Zoe menaikan alis. “Ok. Jaga dia.” Setelah itu dia keluar.
“Aku tetap di sini.” Aku masih khawatir pada Nero.
“Niken, tak ada gunanya kau di sini,” kata Devon.
“Yang tak berguna itu kau. Harusnya kau ada di lapangan kan? Aku cuma jadi penonton, jadi lebih baik aku yang menjaganya,” kataku pelan dan menarik bangku di dekat Devon.
Devon memutar bola matanya. “Aku tak akan bisa bermain jika Nero belum sadar.”
Niken menaikan alisnya. “Kau perhatian sekali pada Nero ya?”
“Aku suka padanya.”
Hah? Aku menganga. “Apa katamu?” kataku tergagap.
“Aku bilang aku suka padanya,” Devon mengulang sambil memutar bola matanya.
Apakah “suka” yang dikatakan Devon sama seperti “suka” yang kudeskripsikan dalam kepalaku? Ataukah “suka” dalam arti berbeda? Oh, tidak. Aku malah memikirkan yang tidak-tidak.
“Erm… seperti apa?” kataku. Devon memandangku keheranan. Sialan. Apa sih yang sebenarnya ingin kutanyakan? “Seperti apa rasa sukamu padanya?”
Devon mencerna pertanyaanku dalam beberapa detik dan tersenyum menyebalkan. “Menurutmu?”
Aku paling tak suka main tebak-tebakan. “Lupakan saja!”
“Kau memikirkan sesuatu ya, kan?” kata Devon lagi.
“Tidak.” Aku menjawabnya dengan gusar.
“Takut jika Nero jatuh cinta padaku?”
“Yang benar saja!”
Devon menutup mulutnya, terkekeh geli. Aku mengerjap. Ini pertama kalinya aku melihat Devon tertawa. Devon—si Preman—bisa tertawa juga ya?
“Kau benar-benar suka pada Nero ya?” Devon bertanya lagi.
“Aku tidak suka padanya,” bantahku cepat.
“Kalau kau tidak suka, kenapa mau repot-repot menjaganya di sini, hmm?”
Sialan. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” kataku.
“Rasa sukaku padanya juga tidak seperti yang kau pikirkan,” balas Devon manggut-manggut.
“Maumu apa sih?” aku benar-benar sebal sekarang. Perkataannya membuatku merinding. Dari tadi yang dia katakan cuma suka, suka, suka dan suka. Menyebalkan!
“Tidak ada maksud apa-apa. Kau duluan yang memulai pembicaraan ini kan?” Devon membalas. Aku sudah tak tahan ingin menyumpal mulutnya.
“Baiklah. Aku kalah.” Daripada aku terjebak dalam pembicaraan tak bermutu ini, lebih baik aku menyerah. “Bisa kita hentikan pembicaraan ini?”
“Dengan senang hati.” Devon manggut-manggut dan kembali mengalihkan perhatiannya pada Nero. Aku melirik Devon dengan penasaran. Cara dia menatap Nero benar-benar berbeda, begitu lembut, begitu penuh perasaan. Aku tak mengerti apakah itu cara yang biasa dilakukan oleh seorang teman pada temannya, apalagi pada teman laki-lakinya. Apalagi… heloooo, ini Devon yang sedang kita bicarakan. Devon tak pernah memberikan perhatian sebelumnya pada siapapun, dan kali ini dia memberikan perhatiannya pada Nero. Nero! Seorang murid baru yang baru saja dia kenal! Dan… dan tadi dia bilang bahwa dia suka pada Nero.
DEVON SUKA PADA NERO?
Oh, tidak! Mungkinkah—
Nero bergerak, membuat imajinasiku pudar begitu saja.
“Hey, Moron, you made me worry,” kata Devon saat Nero membuka matanya.
Nero tersenyum kecil, masih pucat. “Water,” katanya serak.
“Ok,” Devon bangkit dengan segera.
“Niken, kau di sini juga?” kata Nero, menatapku dengan mata coklatnya.
Aku refleks tersenyum. “Ya. Sudah tidak apa-apa?”
Dia mengangguk kecil. Devon duduk kembali, membawa air botol dan Pocari. Dia membuka air dulu, membantu Nero duduk dan memberikan botol itu padanya. “Habiskan itu, lalu kau habiskan yang ini. Sialan. Padahal kau pernah bilang bahwa kau tak suka di bawah sinar matahari. Kok aku bisa lupa ya?” Devon ngomel-ngomel.
Nero memutar bola matanya dan meminum air botolnya.
“Habiskan,” kata Devon saat Nero hanya meminum separuh.
“Sudah cukup,” kata Nero.
“Habiskan,” ulang Devon jengkel. “Kau akan pingsan lagi jika tak mengisi tubuhmu dengan cairan yang cukup.”
Nero mengerang jengkel. Tapi menuruti perkataan Devon. Aku hanya mengamati mereka berdua dalam diam. Setelah menghabiskan air botolnya, Devon menyodorkan Pocari padanya.
“Kau tahu Niken,” kata Nero sebelum meminum Pocarinya. “Devon sering kali bertingkah seperti Ibuku.”
“Itu karena kau tak bisa menjaga dirimu sendiri,” balas Devon.
“Kenapa aku harus melakukannya? Kau jelas-jelas akan mengatur segalanya.”
Aku mengerjap, melihat bergantian antara Nero dan Devon. Tidak… Devon memang bena-benar menyukai Nero. Tapi bukan seperti yang kupikirkan. Devon menyukai Nero sebagai…(aku sendiri tak percaya dengan kesimpulan ini)… anak kecil… dan Devon bertingkah sebagai seorang nanny
“Hmmmft…” aku menutup mulut, berusaha menahan tawa.
“Ada apa dengannya?” Nero menaikan alis.
Devon hanya mengangkat bahu.
Ya ampun… kedua orang ini… benar-benar lucu!!!
***The Flower Boy Next Door***
Aku tersenyum otomatis begitu Jennifer membuka pintu rumahnya. Ini pertama kalinya aku memasuki rumah Victoria Nero dan—demi Tuhan!—rumahnya besar sekali. Selama ini aku hanya melihat rumahnya dari balkon rumah dan tak menyangka bakal menginjakan kaki ke rumah Nero.
“Halo, Niken,” kata Jennifer, memasang senyum manis di wajahnya yang cantik sempurna. Nero benar-benar memiliki seorang Mama yang cantik. “Ada apa kemari?”
Setelah satpam mengijinkanku masuk, aku digiring kemari, padahal aku cuma mau mengembalikan rapor Nero yang tadi dititipkan Pak Julian padaku. Kok bisa Pak Julian tahu aku tetanggaan sama Nero ya?
“Cuma mau mengembalikan rapor Nero, Tante,” kataku cepat.
Jennifer menaikan alisnya. “Loh? Kenapa wali kelasnya tidak langsung memberikannya pada Nero ya?” katanya terheran.
Nah, itu juga yang jadi pertanyaanku.
“Masuk dulu, Niken, kebetulan Tante baru saja memanggang kue,” katanya.
“Oooh, nggak usah Tante,” kataku lagi.
“Nggak apa, Niken, temani Tante minum teh. Nero dan yang lain pergi memancing. Tante ditinggal sendirian.”
Dengan kata lain tak ada Nero di rumah ini. Bagus. Aku bisa mengorek informasi mengenai Nero langsung pada Ibunya. Huahahahah! Kesempatan ini jarang ada! Aku harus memanfaatkannya!
Jennifer menggiringku masuk ke dalam rumah Nero. Mulutku langsung menganga seperti gua hantu melihat seberapa luas, mewah, dan antiknya rumah Nero. Napasku tertahan sejenak melihat cantiknya lampu-lampu kristal, lukisan-lukisan mahal dan keramik-keramik yang tertata. Kemudian, aku melihat grandpiano porcelain di tengah ruangan, menambah keapikan ruangan itu menjadi rumah kalangan bangsawan.
Istana. Rumah Nero seperti istana!
“Kamu bisa meletakan rapor Nero ke kamarnya kan? Tante siapin teh dan kuenya dulu.”
Huh? Aku melotot. Tapi tak mengucapkan sepatah katapun karena begitu terkejut.
“Kamar Nero ada di lantai dua, naik tangga sebelah kanan pintu pertama yang berwarna perak. Kamarnya biasanya tak terkunci,” ucapnya lagi lalu pergi.
Aku mengerjap kebingungan. Apakah hal yang biasa bagi orang kaya membiarkan orang asing berkeliaran sendiri di rumah mereka? Terbengong-bengong, aku cuma bisa pasrah dan menurut karena Jennifer sendiri sudah menghilang entah kemana. Karena mungkin saja aku bisa tersesat, maka aku lebih memilih menuruti saran Jennifer dan naik menuju kamar Nero.
Benarkah yang kulakukan? Aku sama sekali tak menyangka akan masuk sendiri ke kamar cowok untuk pertama kalinya dalam hidupku. Untunglah, penghuninya tak ada. Jika tidak, aku bisa menduga tingkahnya nanti jika aku muncul di kamarnya begitu saja.
Akhirnya aku sampai di depan pintu yang dimaksud Jennifer: kamarnya Nero—kamarnya anak perempuan pasakitan yang masih bergentayangan. Aku bertanya-tanya sendiri apakah Nero pernah diganggu oleh anak itu apa tidak. Selama ini aku juga belum pernah berkunjung ke kamar ini, jadi tidak tahu seperti apa bentuk kamar ini.
Saat aku membuka pintu dan masuk ke kamar Nero, aku ternganga lagi melihat betapa luasnya kamar Nero. Kamar Nero bagus sekali. Dua kali lebih luas daripada kamarku. Sebuah tempat tidur ada di depan, tertempel di sudut sebelah kiri—yang kemungkinan dekat sekali dengan jendela balkon kamarku. Meja belajarnya ada di sebelah kanan jendela tempat dia biasanya menggodaku. Ada lemari besar di sudut yang lain dekat pintu yang kuduga pastilah kamar mandi. Di bawah undakan, tepat di tengah ruangan terdapat karpet dan bantal-bantal tersusun rapi beserta televisi dan perlatana elektronik lainnya—tempat ini adalah tempat Nero selalu menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Di belakangnya ada lemari yang terusun dengan buku-buku.
Kamar ini tidak seperti kamarku. Aku bisa merasakan aura Nero di kamar ini. Tapi aku tak menyangka bakal serapi ini. Aku hanya melihat sedikit dari celah jendelaku yang sempit jadi aku hanya menebak-nebak. Kali ini aku tahu bahwa Nero benar-benar sangat teliti, pembersih sekali dan disiplin. Sangat berbeda dengan sifat aslinya. Aku tak tahu apakah dia memiliki dua kepribadian atau tidak, itu masih jadi tanda tanya besar.
Dan lagi-lagi, aku membayangkan wajahnya yang menangis waktu itu, dan… dan…
“Goblok!” aku memukul kepalaku sendiri. Aku jadi mengingat yang tidak-tidak. Wajahku memanas setiap kali aku mengingat adegan itu.
Buru-buru aku meletakan rapor Nero ke atas meja belajarnya dan saat itulah aku melihat ada sebuah surat, terselip di celah buku. Surat itu mencurigakan sekali karena di simpan di tempat seperti itu. Mungkinkah surat cinta? Kalau memang surat cinta, dari siapa? Memangnya ada gadis yang dekat dengan Nero? Kalau ada siapa gadis itu? Apa dia tak tahu Nero seperti apa? Para cewek itu buta ya tak bisa melihat bahwa Nero—
Tunggu sebentar. Memangnya aku punya urusan apa jika itu surat cinta apa bukan! Dia mau punya segunung surat cinta, setumpuk cewek dan mencium siapa saja itu bukan urusanku! Kenapa justru aku yang marah-marah?
Menghela napas, aku berbalik, hendak meninggalkan kamar Nero. Tapi belum lagi aku melangkah, aku berbalik lagi, mengambil surat itu dengan kecepatan yang mengejutkan dan membacanya.
Dendam ini akan terbalas! Kau dan keluargamu akan merasakan apa yang kurasakan! Tak akan kubiarkan kalian hidup tenang! Tak akan pernah! Kalian mungkin bisa kabur, tapi kalian tak akan bisa lari dariku! Dasar manusia-manusia tidak punya perasaan! Aku bersumpah kalian akan mendapatkan balasannya!
Aku menelan ludah.  Surat itu terbuat dari tulisan merah penuh dendam. Jantungku berdegup-degup tak karuan. Siapa yang mengirim surat mengerikan ini? Siapa yang dendam pada Nero? Apa yang dilakukan Nero sampai-sampai dia mendapat surat seperti ini? Mungkinkah Nero sudah melakukan hal yang diluar kebiasaan?
Well, jika dilihat dari cara dia bersikap selama ini, ada kemungkinan Nero melakukan hal-hal yang membuatku ngeri. Tapi, apa?
“Niken! Kenapa lama sekali?”
Aku melonjak dan terpekik. Surat di tanganku buru-buru kuselipkan kembali ke dalam amplop dan meletakannya dengan segera ke tempatnya. Jantungku berdegup-degup saat keluar dari kamar Nero menuju Jennifer yang sudah menunggu di bawah.
Wanita itu tersenyum. Apakah dia tahu mengenai surat ancaman itu?
“Kamu kenapa, Niken? Wajahmu pucat sekali,” kata Jennifer.
Aku menelan ludah dengan gugup. “Tidak apa-apa kok, Tante.”
Mata Jennifer menyipit. “Kamu tidak menyentuh barang Nero kan? Nero sangat sensitif terhadap barang-barangnya.” Oh, tidak. Tapi karena Jennifer melihat ekspresi panikku, maka dia menenangkanku dengan cepat. “Aku tak akan mengatakan apa-apa, Niken. Ini akan jadi rahasia kita berdua. Oke?”
“Terimakasih, Tante,” kataku sedikit lega. Aku masih khawatir dengan surat berdarah itu. Benarkah Nero yang menerima surat itu?
“Ayo, Niken, duduk dulu dan minum teh.”
Aku mengangguk pelan dan duduk di sofa empuk. Jika Nero melakukan sesuatu, aku harus meyakinkan diri bahwa Jennifer dan keluarganya tahu. Tapi, apa yang akan terjadi pada Nero? Kurasa mereka akan membantu Nero keluar dari situasi ini karena aku tahu bahwa surat berdarah itu tidak main-main.
“Niken, sebenarnya ada yang ingin Tante tanyakan,” suara Jennifer mengalihkan perhatianku.
“Apa itu Tante?” kataku penasaran.
“Apakah Nero bahagia di sekolahnya?” tanyanya dan hal itu membuat dahiku mengerut dalam. Pertanyaan macam apa itu? Bagaimana keadaan anak Tante di sekolah itu wajar. Apakah anak Tante, Nero, sangat nakal, bisa ditolerir. Tapi, apakah Nero bahagia di sekolah bukannya sangat aneh? Sejak kapan ada orang yang bahagia di sekolah?
“Ermmm.”
“Nero kami sangat tertutup dan sangat dingin terhadap orang asing,” katanya.
Huh? Tertutup? Nero? Dengan begitu banyaknya orang-orang yang selalu berbicara di dekatnya, dia bilang tertutup dan dingin?
“Saat kami pindah kemari, Nero sempat bertengkar dengan Daddy-nya. Dia menjadi pendiam sekali dan susah diajak bicara. Tapi, saat dia pindah kemari, dia jadi lebih sering tersenyum.”
Huh, benarkah itu? Bukankah Nero selalu tersenyum seperti orang bodoh? Setiap hari? Setiap waktu? Selalu…
“Coba katakan pada Tante, apakah dia punya pacar?”
“Aku tak tahu apakah dia punya pacar… tapi kalau teman sih ada.”
“Siapa?”
“Devon,” kataku cepat. Kak Vion rasanya tidak cukup dekat dengan Nero.
“Laki-laki?” Jennifer tampak kecewa. “Kupikir dia memiliki teman wanita. Aku ingin tahu selera gadis yang dia inginkan seperti apa.”
“Memangnya Nero tidak pernah punya pacar, Tante?” godaku.
“Nero? Punya pacar? Haha, kami mengharapkannya, tapi tak pernah kejadian,” kata Jennifer lagi, melipat tangannya. “Setiap kali membahas soal wanita, Nero pura-pura tak memiliki kuping. Tapi, si Devon ini, apakah benar-benar dekat dengannya?”
“Jika mengingat cara Devon yang perhatian, kurasa ya.”
Jennifer menutup bibirnya dengan kedua tangannya, tampak terkejut. “Devon perhatian dan Nero tidak menyingkirkannya?”
“Maksud Tante?” aku kebingungan.
“Kau tahu, seperti berkata kasar pada Devon jika Devon dekat-dekat?”
Aku mengerutkan dahi. Rasanya, Nero-lah yang dekat-dekat Devon terlebih dahulu. Tapi, karena aku menduga jawabanku akan mengarah ke hal yang tidak-tidak dan berbahaya, aku menjawab, “Tidak.” Tanpa penjelasan.
“Devon pastilah sangat penyabar menghadapi pribadi seperti Nero,” kata Jennifer lagi.
Huh? Devon penyabar? Aku mengingat kejadian di UKS. Sepertinya sih iya.
“Tante ini gimana sih, masa anak sendiri dikata-katai,” kataku berusaha bercanda.
Jennifer tersenyum lembut. “Nero anak tiri Tante, Niken.”
Aku melongo. “Hah?” kataku.
Jennifer mengambil tehnya dan meneguk sedikit. Matanya menerawang saat bercerita. “Tante dan Ayahnya Nero menikah dua tahun lalu.”
“Jadi, Ageha…”
“Ageha bukan adik kandung Nero.”
HAAAAAAAAAAAAAH?
“Tapi Nero menyayangi Ageha sepenuh hati,” kata Jennifer tersenyum bahagia. “Dan Ageha juga menyayanginya. Apalagi yang kurang jika keluargaku kembali utuh? Bukankah itu yang namanya surga, Niken?”
Aku mengangguk dalam diam, sama sekali tak tahu harus menanggapi apa.
Ini berita yang sangat mengejutkan.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.