Debaran Lima Belas
Surat Berdarah
Semua
orang begitu terpukau pada Devon yang membawa bola dan detik-detik terakhir
saat Devon memasukan bola. Tapi mataku sejak pertandingan dimulai sama sekali
tak lepas dari Nero. Benar, Nero. Mungkin ini cuma perasaanku saja, tapi sejak
dia menjadi pemain di tim bola, Nero tampak pucat sekali. Memang sih, biasanya
juga dia pucat. Tapi ini lebih pucat lagi.
Dan
semakin lama bermain, wajahnya justru semakin pucat. Aku tak tahu apakah Devon
yang bermain dengannya di lapangan menyadari hal ini atau tidak. Tapi aku
sendiri terheran bagaimana aku bisa melihat wajah Nero dengan jelas bahkan dari
jarak sejauh ini. Padahal mataku tidak terbuat dari teleskop dan kacamataku
belum juga diganti.
Lalu
terjadilah yang sudah kuperkirakan. Aku melihat Nero jatuh begitu saja di
lapangan tepat saat Devon menendang bolanya ke gawang. Bram, yang ada di
dekatnya, segera berlari ke arahnya dan melihat kondisinya.
Apakah
kali ini bercanda?
Dan
terakhir, terjadilah kemarahan di lapangan yang menyuruh Nero untuk bangun.
Tapi aku merasa bahwa Nero tidak sedang bercanda.
“Aaaah,
sudah kuduga!” salah seorang anak lelaki yang menonton segera melompat dari
tempatnya dan berlari ke lapangan. Dia kemudian segera membawa Nero yang tetap
tak sadarkan diri ke UKS. Tanpa banyak tanya lagi, aku bangkit dan segera ke
UKS juga. Devon juga mengekor di belakang. Sama sepertiku, dia juga tampak
cemas.
“Dehidrasi,”
kata Bu Moni setelah memeriksa keadaan Nero. “Dari catatan kesehatannya
tertulis bahwa Nero tak bisa lama-lama di bawah sinar matahari.”
Kami
bertiga mengangguk dalam diam dan sekali lagi melihat wajah pucat Nero yang
tertidur di brankar UKS.
“Dia
tak apa-apa. Cukup dikompres dengan handuk dingin. Saat dia sadar, dia hanya
butuh minum cairan yang mengandung elektrolit.”
Kami
mengangguk lagi. Bu Moni meletakan handuk ke dahi Nero, kemudian meletakan
kantong es ke atas handuk itu. “Baiklah, Ibu tinggal dulu. Kalian juga sudah
bisa kembali ke kelas.”
“Aku
akan menjaganya,” kata Devon. “Niken dan kau—”
Devon mendelik jengkel pada cowok yang memperkenalkan diri sebagai Zoe pada
kami, “—sudah bisa kembali.”
Zoe
menaikan alis. “Ok. Jaga dia.” Setelah itu dia keluar.
“Aku
tetap di sini.” Aku masih khawatir pada Nero.
“Niken,
tak ada gunanya kau di sini,” kata Devon.
“Yang
tak berguna itu kau. Harusnya kau ada di lapangan kan? Aku cuma jadi penonton,
jadi lebih baik aku yang menjaganya,” kataku pelan dan menarik bangku di dekat
Devon.
Devon
memutar bola matanya. “Aku tak akan bisa bermain jika Nero belum sadar.”
Niken
menaikan alisnya. “Kau perhatian sekali pada Nero ya?”
“Aku
suka padanya.”
Hah?
Aku menganga. “Apa katamu?” kataku tergagap.
“Aku
bilang aku suka padanya,” Devon mengulang sambil memutar bola matanya.
Apakah
“suka” yang dikatakan Devon sama seperti “suka” yang kudeskripsikan dalam
kepalaku? Ataukah “suka” dalam arti berbeda? Oh, tidak. Aku malah memikirkan
yang tidak-tidak.
“Erm…
seperti apa?” kataku. Devon memandangku keheranan. Sialan. Apa sih yang
sebenarnya ingin kutanyakan? “Seperti apa rasa sukamu padanya?”
Devon
mencerna pertanyaanku dalam beberapa detik dan tersenyum menyebalkan.
“Menurutmu?”
Aku
paling tak suka main tebak-tebakan. “Lupakan saja!”
“Kau
memikirkan sesuatu ya, kan?” kata Devon lagi.
“Tidak.”
Aku menjawabnya dengan gusar.
“Takut
jika Nero jatuh cinta padaku?”
“Yang
benar saja!”
Devon
menutup mulutnya, terkekeh geli. Aku mengerjap. Ini pertama kalinya aku melihat
Devon tertawa. Devon—si Preman—bisa tertawa juga ya?
“Kau
benar-benar suka pada Nero ya?” Devon bertanya lagi.
“Aku
tidak suka padanya,” bantahku cepat.
“Kalau
kau tidak suka, kenapa mau repot-repot menjaganya di sini, hmm?”
Sialan.
Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. “Ini tidak seperti yang kau
pikirkan,” kataku.
“Rasa
sukaku padanya juga tidak seperti yang kau pikirkan,” balas Devon
manggut-manggut.
“Maumu
apa sih?” aku benar-benar sebal sekarang. Perkataannya membuatku merinding.
Dari tadi yang dia katakan cuma suka, suka, suka dan suka. Menyebalkan!
“Tidak
ada maksud apa-apa. Kau duluan yang memulai pembicaraan ini kan?” Devon
membalas. Aku sudah tak tahan ingin menyumpal mulutnya.
“Baiklah.
Aku kalah.” Daripada aku terjebak dalam pembicaraan tak bermutu ini, lebih baik
aku menyerah. “Bisa kita hentikan pembicaraan ini?”
“Dengan
senang hati.” Devon manggut-manggut dan kembali mengalihkan perhatiannya pada
Nero. Aku melirik Devon dengan penasaran. Cara dia menatap Nero benar-benar
berbeda, begitu lembut, begitu penuh perasaan. Aku tak mengerti apakah itu cara
yang biasa dilakukan oleh seorang teman pada temannya, apalagi pada teman
laki-lakinya. Apalagi… heloooo, ini Devon yang sedang kita bicarakan. Devon tak
pernah memberikan perhatian sebelumnya pada siapapun, dan kali ini dia
memberikan perhatiannya pada Nero. Nero! Seorang murid baru yang baru saja dia
kenal! Dan… dan tadi dia bilang bahwa dia suka pada Nero.
DEVON
SUKA PADA NERO?
Oh,
tidak! Mungkinkah—
Nero
bergerak, membuat imajinasiku pudar begitu saja.
“Hey, Moron, you made me worry,”
kata Devon saat Nero membuka matanya.
Nero
tersenyum kecil, masih pucat. “Water,”
katanya serak.
“Ok,”
Devon bangkit dengan segera.
“Niken,
kau di sini juga?” kata Nero, menatapku dengan mata coklatnya.
Aku
refleks tersenyum. “Ya. Sudah tidak apa-apa?”
Dia
mengangguk kecil. Devon duduk kembali, membawa air botol dan Pocari. Dia
membuka air dulu, membantu Nero duduk dan memberikan botol itu padanya.
“Habiskan itu, lalu kau habiskan yang ini. Sialan. Padahal kau pernah bilang
bahwa kau tak suka di bawah sinar matahari. Kok aku bisa lupa ya?” Devon
ngomel-ngomel.
Nero
memutar bola matanya dan meminum air botolnya.
“Habiskan,”
kata Devon saat Nero hanya meminum separuh.
“Sudah
cukup,” kata Nero.
“Habiskan,”
ulang Devon jengkel. “Kau akan pingsan lagi jika tak mengisi tubuhmu dengan
cairan yang cukup.”
Nero
mengerang jengkel. Tapi menuruti perkataan Devon. Aku hanya mengamati mereka
berdua dalam diam. Setelah menghabiskan air botolnya, Devon menyodorkan Pocari
padanya.
“Kau
tahu Niken,” kata Nero sebelum meminum Pocarinya. “Devon sering kali bertingkah
seperti Ibuku.”
“Itu
karena kau tak bisa menjaga dirimu sendiri,” balas Devon.
“Kenapa
aku harus melakukannya? Kau jelas-jelas akan mengatur segalanya.”
Aku
mengerjap, melihat bergantian antara Nero dan Devon. Tidak… Devon memang
bena-benar menyukai Nero. Tapi bukan seperti yang kupikirkan. Devon menyukai
Nero sebagai…(aku sendiri tak percaya dengan kesimpulan ini)… anak kecil… dan
Devon bertingkah sebagai seorang nanny…
“Hmmmft…”
aku menutup mulut, berusaha menahan tawa.
“Ada
apa dengannya?” Nero menaikan alis.
Devon
hanya mengangkat bahu.
Ya
ampun… kedua orang ini… benar-benar lucu!!!
***The Flower
Boy Next Door***
Aku
tersenyum otomatis begitu Jennifer membuka pintu rumahnya. Ini pertama kalinya
aku memasuki rumah Victoria Nero dan—demi Tuhan!—rumahnya besar sekali. Selama
ini aku hanya melihat rumahnya dari balkon rumah dan tak menyangka bakal
menginjakan kaki ke rumah Nero.
“Halo,
Niken,” kata Jennifer, memasang senyum manis di wajahnya yang cantik sempurna.
Nero benar-benar memiliki seorang Mama yang cantik. “Ada apa kemari?”
Setelah
satpam mengijinkanku masuk, aku digiring kemari, padahal aku cuma mau
mengembalikan rapor Nero yang tadi dititipkan Pak Julian padaku. Kok bisa Pak
Julian tahu aku tetanggaan sama Nero ya?
“Cuma
mau mengembalikan rapor Nero, Tante,” kataku cepat.
Jennifer
menaikan alisnya. “Loh? Kenapa wali kelasnya tidak langsung memberikannya pada
Nero ya?” katanya terheran.
Nah,
itu juga yang jadi pertanyaanku.
“Masuk
dulu, Niken, kebetulan Tante baru saja memanggang kue,” katanya.
“Oooh,
nggak usah Tante,” kataku lagi.
“Nggak
apa, Niken, temani Tante minum teh. Nero dan yang lain pergi memancing. Tante
ditinggal sendirian.”
Dengan
kata lain tak ada Nero di rumah ini. Bagus. Aku bisa mengorek informasi
mengenai Nero langsung pada Ibunya. Huahahahah! Kesempatan ini jarang ada! Aku
harus memanfaatkannya!
Jennifer
menggiringku masuk ke dalam rumah Nero. Mulutku langsung menganga seperti gua
hantu melihat seberapa luas, mewah, dan antiknya rumah Nero. Napasku tertahan
sejenak melihat cantiknya lampu-lampu kristal, lukisan-lukisan mahal dan
keramik-keramik yang tertata. Kemudian, aku melihat grandpiano porcelain di tengah ruangan, menambah keapikan ruangan
itu menjadi rumah kalangan bangsawan.
Istana.
Rumah Nero seperti istana!
“Kamu
bisa meletakan rapor Nero ke kamarnya kan? Tante siapin teh dan kuenya dulu.”
Huh?
Aku melotot. Tapi tak mengucapkan sepatah katapun karena begitu terkejut.
“Kamar
Nero ada di lantai dua, naik tangga sebelah kanan pintu pertama yang berwarna
perak. Kamarnya biasanya tak terkunci,” ucapnya lagi lalu pergi.
Aku
mengerjap kebingungan. Apakah hal yang biasa bagi orang kaya membiarkan orang
asing berkeliaran sendiri di rumah mereka? Terbengong-bengong, aku cuma bisa
pasrah dan menurut karena Jennifer sendiri sudah menghilang entah kemana.
Karena mungkin saja aku bisa tersesat, maka aku lebih memilih menuruti saran
Jennifer dan naik menuju kamar Nero.
Benarkah
yang kulakukan? Aku sama sekali tak menyangka akan masuk sendiri ke kamar cowok
untuk pertama kalinya dalam hidupku. Untunglah, penghuninya tak ada. Jika
tidak, aku bisa menduga tingkahnya nanti jika aku muncul di kamarnya begitu
saja.
Akhirnya
aku sampai di depan pintu yang dimaksud Jennifer: kamarnya Nero—kamarnya anak
perempuan pasakitan yang masih bergentayangan. Aku bertanya-tanya sendiri
apakah Nero pernah diganggu oleh anak itu apa tidak. Selama ini aku juga belum
pernah berkunjung ke kamar ini, jadi tidak tahu seperti apa bentuk kamar ini.
Saat
aku membuka pintu dan masuk ke kamar Nero, aku ternganga lagi melihat betapa
luasnya kamar Nero. Kamar Nero bagus sekali. Dua kali lebih luas daripada
kamarku. Sebuah tempat tidur ada di depan, tertempel di sudut sebelah kiri—yang
kemungkinan dekat sekali dengan jendela balkon kamarku. Meja belajarnya ada di
sebelah kanan jendela tempat dia biasanya menggodaku. Ada lemari besar di sudut
yang lain dekat pintu yang kuduga pastilah kamar mandi. Di bawah undakan, tepat
di tengah ruangan terdapat karpet dan bantal-bantal tersusun rapi beserta
televisi dan perlatana elektronik lainnya—tempat ini adalah tempat Nero selalu
menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Di belakangnya ada lemari yang
terusun dengan buku-buku.
Kamar
ini tidak seperti kamarku. Aku bisa merasakan aura Nero di kamar ini. Tapi aku
tak menyangka bakal serapi ini. Aku hanya melihat sedikit dari celah jendelaku
yang sempit jadi aku hanya menebak-nebak. Kali ini aku tahu bahwa Nero
benar-benar sangat teliti, pembersih sekali dan disiplin. Sangat berbeda dengan
sifat aslinya. Aku tak tahu apakah dia memiliki dua kepribadian atau tidak, itu
masih jadi tanda tanya besar.
Dan
lagi-lagi, aku membayangkan wajahnya yang menangis waktu itu, dan… dan…
“Goblok!”
aku memukul kepalaku sendiri. Aku jadi mengingat yang tidak-tidak. Wajahku
memanas setiap kali aku mengingat adegan itu.
Buru-buru
aku meletakan rapor Nero ke atas meja belajarnya dan saat itulah aku melihat
ada sebuah surat, terselip di celah buku. Surat itu mencurigakan sekali karena
di simpan di tempat seperti itu. Mungkinkah surat cinta? Kalau memang surat
cinta, dari siapa? Memangnya ada gadis yang dekat dengan Nero? Kalau ada siapa
gadis itu? Apa dia tak tahu Nero seperti apa? Para cewek itu buta ya tak bisa
melihat bahwa Nero—
Tunggu
sebentar. Memangnya aku punya urusan apa jika itu surat cinta apa bukan! Dia
mau punya segunung surat cinta, setumpuk cewek dan mencium siapa saja itu bukan
urusanku! Kenapa justru aku yang marah-marah?
Menghela
napas, aku berbalik, hendak meninggalkan kamar Nero. Tapi belum lagi aku
melangkah, aku berbalik lagi, mengambil surat itu dengan kecepatan yang
mengejutkan dan membacanya.
Dendam
ini akan terbalas! Kau dan keluargamu akan merasakan apa yang kurasakan! Tak
akan kubiarkan kalian hidup tenang! Tak akan pernah! Kalian mungkin bisa kabur,
tapi kalian tak akan bisa lari dariku! Dasar manusia-manusia tidak punya
perasaan! Aku bersumpah kalian akan mendapatkan balasannya!
Aku
menelan ludah. Surat itu terbuat dari
tulisan merah penuh dendam. Jantungku berdegup-degup tak karuan. Siapa yang
mengirim surat mengerikan ini? Siapa yang dendam pada Nero? Apa yang dilakukan
Nero sampai-sampai dia mendapat surat seperti ini? Mungkinkah Nero sudah
melakukan hal yang diluar kebiasaan?
Well,
jika dilihat dari cara dia bersikap selama ini, ada kemungkinan Nero melakukan
hal-hal yang membuatku ngeri. Tapi, apa?
“Niken!
Kenapa lama sekali?”
Aku
melonjak dan terpekik. Surat di tanganku buru-buru kuselipkan kembali ke dalam
amplop dan meletakannya dengan segera ke tempatnya. Jantungku berdegup-degup
saat keluar dari kamar Nero menuju Jennifer yang sudah menunggu di bawah.
Wanita
itu tersenyum. Apakah dia tahu mengenai surat ancaman itu?
“Kamu
kenapa, Niken? Wajahmu pucat sekali,” kata Jennifer.
Aku
menelan ludah dengan gugup. “Tidak apa-apa kok, Tante.”
Mata
Jennifer menyipit. “Kamu tidak menyentuh barang Nero kan? Nero sangat sensitif
terhadap barang-barangnya.” Oh, tidak. Tapi karena Jennifer melihat ekspresi
panikku, maka dia menenangkanku dengan cepat. “Aku tak akan mengatakan apa-apa,
Niken. Ini akan jadi rahasia kita berdua. Oke?”
“Terimakasih,
Tante,” kataku sedikit lega. Aku masih khawatir dengan surat berdarah itu.
Benarkah Nero yang menerima surat itu?
“Ayo,
Niken, duduk dulu dan minum teh.”
Aku
mengangguk pelan dan duduk di sofa empuk. Jika Nero melakukan sesuatu, aku
harus meyakinkan diri bahwa Jennifer dan keluarganya tahu. Tapi, apa yang akan
terjadi pada Nero? Kurasa mereka akan membantu Nero keluar dari situasi ini
karena aku tahu bahwa surat berdarah itu tidak main-main.
“Niken,
sebenarnya ada yang ingin Tante tanyakan,” suara Jennifer mengalihkan
perhatianku.
“Apa
itu Tante?” kataku penasaran.
“Apakah
Nero bahagia di sekolahnya?” tanyanya dan hal itu membuat dahiku mengerut
dalam. Pertanyaan macam apa itu? Bagaimana keadaan anak Tante di sekolah itu
wajar. Apakah anak Tante, Nero, sangat nakal, bisa ditolerir. Tapi, apakah Nero
bahagia di sekolah bukannya sangat aneh? Sejak kapan ada orang yang bahagia di
sekolah?
“Ermmm.”
“Nero
kami sangat tertutup dan sangat dingin terhadap orang asing,” katanya.
Huh?
Tertutup? Nero? Dengan begitu banyaknya orang-orang yang selalu berbicara di
dekatnya, dia bilang tertutup dan dingin?
“Saat
kami pindah kemari, Nero sempat bertengkar dengan Daddy-nya. Dia menjadi
pendiam sekali dan susah diajak bicara. Tapi, saat dia pindah kemari, dia jadi
lebih sering tersenyum.”
Huh,
benarkah itu? Bukankah Nero selalu tersenyum seperti orang bodoh? Setiap hari?
Setiap waktu? Selalu…
“Coba
katakan pada Tante, apakah dia punya pacar?”
“Aku
tak tahu apakah dia punya pacar… tapi kalau teman sih ada.”
“Siapa?”
“Devon,”
kataku cepat. Kak Vion rasanya tidak cukup dekat dengan Nero.
“Laki-laki?”
Jennifer tampak kecewa. “Kupikir dia memiliki teman wanita. Aku ingin tahu
selera gadis yang dia inginkan seperti apa.”
“Memangnya
Nero tidak pernah punya pacar, Tante?” godaku.
“Nero?
Punya pacar? Haha, kami mengharapkannya, tapi tak pernah kejadian,” kata
Jennifer lagi, melipat tangannya. “Setiap kali membahas soal wanita, Nero
pura-pura tak memiliki kuping. Tapi, si Devon ini, apakah benar-benar dekat
dengannya?”
“Jika
mengingat cara Devon yang perhatian, kurasa ya.”
Jennifer
menutup bibirnya dengan kedua tangannya, tampak terkejut. “Devon perhatian dan
Nero tidak menyingkirkannya?”
“Maksud
Tante?” aku kebingungan.
“Kau
tahu, seperti berkata kasar pada Devon jika Devon dekat-dekat?”
Aku
mengerutkan dahi. Rasanya, Nero-lah yang dekat-dekat Devon terlebih dahulu.
Tapi, karena aku menduga jawabanku akan mengarah ke hal yang tidak-tidak dan
berbahaya, aku menjawab, “Tidak.” Tanpa penjelasan.
“Devon
pastilah sangat penyabar menghadapi pribadi seperti Nero,” kata Jennifer lagi.
Huh?
Devon penyabar? Aku mengingat kejadian di UKS. Sepertinya sih iya.
“Tante
ini gimana sih, masa anak sendiri dikata-katai,” kataku berusaha bercanda.
Jennifer
tersenyum lembut. “Nero anak tiri Tante, Niken.”
Aku
melongo. “Hah?” kataku.
Jennifer
mengambil tehnya dan meneguk sedikit. Matanya menerawang saat bercerita. “Tante
dan Ayahnya Nero menikah dua tahun lalu.”
“Jadi,
Ageha…”
“Ageha
bukan adik kandung Nero.”
HAAAAAAAAAAAAAH?
“Tapi
Nero menyayangi Ageha sepenuh hati,” kata Jennifer tersenyum bahagia. “Dan
Ageha juga menyayanginya. Apalagi yang kurang jika keluargaku kembali utuh?
Bukankah itu yang namanya surga, Niken?”
Aku
mengangguk dalam diam, sama sekali tak tahu harus menanggapi apa.
Ini
berita yang sangat mengejutkan.
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar