RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 26 April 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Puluh Empat)


Debaran Dua Puluh Empat
I to U
Berulang kali aku mondar-mandir di depan jendela kamarku. Kini aktivitas itu sudah menjadi kegiatan rutin bagiku. Dulu, aku tak mengerti kenapa aku melakukannya dan sekarang, aku sadar bahwa aku melakukan ini untuk melihat Nero yang ada di seberang jendela kamarku. Hanya melihat Nero saja, tanpa perlu berbicara dengannya, rasanya sudah membuatku bahagia dan menghapus segala kerinduan yang menumpuk di dadaku.
Masalahnya, sudah dua hari ini Nero menutup jendela kamarnya dan tidak sekalipun dia berniat membukanya. Sejak kejadian ciuman waktu itu, Nero benar-benar cuek padaku. Dia tidak melihatku, melewatiku begitu saja seakan aku makhluk tak terlihat di depan gerbang sekolah tanpa perlu repot-repot mengucapkan “Selamat Pagi”—hal yang biasa dia lakukan setiap paginya padaku. Bahkan dengan sengaja memalingkan wajah begitu kami bertatapan. Tanpa rasa bersalah dia mengajak orang lain mengobrol saat aku hendak berbicara padanya dan dia selalu punya alasan masuk akal tiap kali aku meminta waktunya untuk bicara empat mata. Parahnya lagi, seluruh pesan dan teleponku ditolak dan tak dibalasnya.
Ini lebih buruk dari dugaanku.
Ms. Genius: Nero, kau ada dimana?
Aku mengirim pesan. Kugenggam ponselku erat-erat sementara aku berpaling melihat jendela kamarku. Dia sama sekali tak berniat membalas pesanku lagi. Karena itu aku mencoba sekali lagi.
Ms. Genius: Nero, aku ingin bicara.
Sepuluh menit kemudian, aku mengirim pesan lain.
Ms. Genius: Jangan cuekin aku.
Well, terdengar menyedihkan. Tapi memang seperti itulah keadaanku sekarang. Putus asa, aku mencoba menghubungi Nero karena lagi-lagi, aku tak mendapatkan jawaban. Satu bunyi “tut” berhasil menandakan bahwa nomor yang kutuju berhasil kuhubungi, dan detik berikutnya, aku tahu bahwa Nero ada di kamarnya karena ringtone ponselnya bernyanyi berisik.
“… but I set fire to the rain, watched it pour—”
Tut tut tut
Nero menolak panggilanku, membuat mulutku terbuka lebar.
Ini benar-benar sudah keterlaluan! Berani benar dia melakukan ini padaku! Nyaris menghancurkan ponselku yang dalam genggaman, aku memencet tombol dengan ganas, mengirim pesan yang lain.
Ms. Genius: BRENGSEK! KAU ADA DI KAMAR KAN? BUKA JENDELANYA!
Aku melotot marah ke jendela kamarnya. Tapi jendela itu tetap bergeming. Rahangku mengerang jengkel saat mengirim pesan yang lain lagi.
Ms. Genius: KALAU KAU TAK MEMBUKA JENDELA KAMARMU, AKU AKAN MEMECAHKANNYA!
Dua detik kemudian, gorden jendela Nero terbuka. Ancamanku membuahkan hasil. Nero ada di balik jendelanya sana. Dia berdiri di belakang jendelanya yang tertutup rapat, mengenakan kaos berwarna hijau cerah dengan motif garis-garis. Dia balas memelototiku, tangan memegang ponsel dengan geram.
Apakah itu artinya dia marah padaku?
“Aku mau bicara!” kataku.
Kulihat Nero mengetik di ponselnya. Satu pesan muncul di ponselku.
Mr. Notion: Tak ada yang harus dibicarakan.
Haruskah dia melakukan mogok bicara padaku? Aku tak menyangka dia benar-benar menolak berbicara padaku. Baiklah, jika itu maunya, aku akan meladeninya. Tidak sulit untuk mengikuti permainan menyebalkan Nero!
Ms. Genius: Ini tak seperti yang kau duga!
Mr. Notion: Aku melihat buktinya.
Ms. Genius: Kau salah paham!
Mr. Notion: Itu bukan urusanku.
Aku mengadah, menatap Nero yang balas menatapku. Gigiku gemertakan. Aku seakan bertengkar dengan pacarku yang sudah melihatku selingkuh dengan orang lain. “Aku dan Kak Vion nggak pacaran!” teriakku jengkel.
Nero menunduk, mengetik di ponselnya.
Mr. Notion: Permainan berakhir dan kau menang.
“Apa maksudmu?” kataku tak percaya.
Tapi Nero memegang gordennya dan menyibakannya menutupi jendela. Mulutku ternganga melihat Nero menyelesaikan pembicaraan kami secara sepihak. Kulihat jendela kamar Nero. Air mata menggenak di pelupuk mataku sampai membuat pandanganku kabur.
Tangisanku pecah saat itu juga. Kelenjar air mataku memproduksi dengan sangat sukses karena banjir besar segera memenuhi pipiku, mengucur deras layaknya air terjun. Aku terduduk lemas di lantai, metapi nasibku dan kejadian hari ini.
Bukan seperti ini akhir dari hal yang kubayangkan. Aku menyayangi Nero sepenuh hati. Walau dia tidak membalas perasaanku, setidaknya, aku ingin hubungan kami kembali seperti dulu, sebagai teman berantam. Atau… biarkan dia berbicara padaku dan mendengar penjelasanku, sebentar saja.
Ponselku bergetar pelan di lantai. Terisak-isak, aku menyeka mataku dengan punggung tangan. Pelan-pelan kuambil ponsel itu dan melihat ada sebuah pesan masuk dari Nero.
Mr. Notion: I love you so much it hurts.
Huh? Aku mengerjap dan terbengong melihat pesan itu. Tangisku reda saat itu pula dan angin segar dari surga seakan bertiup mendinginkan kulitku, lengkap dengan alunan lembut dan nyanyian dari para malaikat sebagai iringannya.
I love you so much…
I     love     you    
I           love          you         
I                       love                 
Kakiku bergerak sendiri tanpa diperintah, berdiri tiba-tiba kemudian berlari sekuat tenaga.
Nero menyukaiku! Nero menyukaiku! NERO MENYUKAIKU!
Aku bisa mengulang kalimat itu ribuan kali dalam satu detik seperti kaset rusak dan aku tak peduli!
Dan sekarang dunia seakan menjadi milikku!
***The Flower Boy Next Door***
Nero menghela napas. Dia terduduk di bawah jendela kamarnya yang terutup dengan punggung bersandar pada dinding. Pesan yang baru saja dia kirim pada Niken seakan tidak berguna lagi. Kini Niken telah menjadi milik orang lain. Milik Vion. Dan rasanya menyakitkan sekali melihat orang yang kau cintai bersama orang lain. Juga sangat mustahil sekali membayangkan diri sendiri mencoba untuk berbahagia melihar orang yang disayangi berbahagia bersama orang lain. Pantas saja ada seorang kekasih yang membunuh mantannya karena tak rela memberikannya pada orang lain.
Mungkin, seperti itulah perasaan Nero sekarang: dia ingin membunuh Vion.
Sial. Patah hati itu rasanya tidak enak.
“Aku dan Kak Vion nggak pacaran!”
Benarkah itu? Jika itu benar, apa yang kau harapkan, Nero? Belum tentu Niken juga membalas perasaanmu. Kau mengharapkan sesuatu yang semu. Sekarang dirimu sendiri jadi terdengar menyedihkan dan mengejekmu habis-habisan.
Yang benar saja, Nero. Jangan serakah! Kalian masih enam belas tahun. Jalan masih panjang. Biarkan Niken bersenang-senang dengan beberapa pria. Kau kan belum ingin menikah dengannya.
Nero mengerang jengkel begitu pikirannya kembali mengingat apa yang dilakukan Vion pada Niken dan tak yakin apakah dirinya sanggup membiarkan Niken bersama dengan pria lain selain dirinya. Perasaan untuk membunuh seluruh pria yang mendekati Niken amatlah kuat dan Nero benci karena dia tak bisa mengendalikan diri.
Mr. Notion: I love you so much it hurts.
Layar ponselnya masih menunjukan pesan itu dan sudah lebih dari sepuluh menit berlalu, tapi Niken tak membalas pesannya.
Dia tersenyum sedih.
Apakah ini artinya bahwa aku ditolak lagi? Untuk yang kedua kalinya? Dengan hasil yang tanpa jawaban pula? Rasanya sakit sekali. Tubuhnya seakan tidak memilih roh. Seluruh dagingnya seakan terhimpit berton-ton timah yang berat, menempelinya, memaksanya untuk tetap tinggal dalam perasaan menyebalkan yang disebut orang-orang putus asa dengan nama “cinta”.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nero menemukan dirinya berdoa dan memohon pada Tuhan, sepenuh hati.
Tuhan, jika Kau ada—dan aku yakin bahwa Kau memang ada—di sini, dengarkanlah aku. Aku menyukai gadis ini sepenuh hati dan aku yakin sekali bahwa aku akan mencintainya seumur hidup. Aku tak ingin membanginya dengan siapapun. Bila Kau mengijinkan, aku ingin bersamanya seumur hidup dan tak menginginkan wanita lain.
Tok tok
Kepala Nero mengadah, melirik pintu kamar yang tertutup.
Tok tok tok
Jika yang mengetuk Jennifer dan Ageha, mereka akan membuka pintu tanpa harus meminta ijin darinya.
Tok tok tok
Apakah yang mengetuk pintu adalah pembantu? Kenapa tidak bersuara sih? Sambil menyeret kakinya, Nero berjalan pelan-pelan menuju pintu dan membukanya.
“Siapa…” Suaranya menghilang melihat gadis yang membuatnya jatuh cinta sekaligus patah hati berdiri di depan pintu kamarnya. “Niken,” desah Nero.
Sebelum Nero bisa mencerna apa yang terjadi, Niken melangkah ke depan, memegang kedua pipinya dan mencium bibirnya. Mata Nero membulat kaget, jantungnya seakan berhenti berdenyut seketika melihat tindakan Niken yang tiba-tiba.
“Niken?” kata Nero tak percaya begitu Niken melepas ciumannya.
“Aku menyukaimu.”
Huh?
“Aku juga menyukaimu.”
Nero mengerjap. Mimipkah dia? Benarkah dia mendengar NIken mengatakan bahwa gadis ini juga menyukainya? Saat ini juga? Di sini? Ini bukan ilusi kan?
“Aku menyukaimu. Kak Vion ternyata bukan orang yang kusukai. Dia hanya orang yang kukagumi. Hanya kau yang kusukai, Nero. Aku sayang padamu. Kau memasuki kehidupanku dengan caramu sendiri. Aku tak tahu mengapa jadi seperti ini, tapi aku sadar satu hal bahwa hanya kau, Nero. Hatiku hanya untukmu, bukan untuk yang lain.”
Nero menatap mata Niken. Mata yang begitu jernih itu kini tampak berkaca-kaca, menunjukan sesuatu yang jujur untuknya, mengungkapkan seluruh perasaan sekaligus membacanya dengan mudah. Kali ini mata itu memiliki perasaan yang sama dengan hatinya, sehingga Nero tak tahu apakah saat ini dia ada di sorga atau tidak, karena dadanya seakan penuh sesak dengan gelembung udara kebahagiaan, membuatnya tak membutuhkan oksigen untuk bernapas. Beban yang tadi menghilang dalam seketika, meringankan tubuhnya, membuatnya bisa terbang saat ini juga, kakinya bahkan seakan tidak menginjak tanah lagi, melainkan melayang jauh ke atas langit. Pikirannya pun sekarang lebih jernih. Sejernih mata air di pegunungan.
Salah satu tangan Nero terangkat ke atas, menutupi wajahnya. Niken mengerutkan dahi, tercengang melihat air mata yang turun di pipi Nero.
“Nero, kau kenapa? Kenapa menangis?” kata Niken. “Ada yang sakit?”
Ya Tuhan, aku bahagia. Terimakasih sudah mengabulkan doaku.
“Nero?”
Nero memeluknya, mendekap gadis itu erat-erat dalam tubuhnya, tak ingin melepaskannya selamanya.
“Nero…”
“Terimakasih, Niken,” bisik Nero. “Karena sudah membalas perasaanku.”
Niken tersenyum, kedua tangannya ikut terangkat, mengalungkannya dengan penuh mesra ke leher Nero, membalas pelukan Nero. “Kau harus mendengarkan orang bicara. Aku tak suka dicuekin.”
Nero mengangguk pelan. “Aku tak akan melakukannya lagi.”
“Bagus, karena jika kau melakukannya lagi, aku akan memecahkan jendela kamarmu,” ancam Niken sambil cemberut.
Nero tertawa, melepas pelukannya dan mencium dahi Niken. “Aku mencintaimu, Niken,” bisik Nero. Wajah Niken merona, mempercantik pipinya. Menurut Nero tidak ada kecantikan wanita manapun yang mampu menandingi atau setara dengan kecantikan Niken. “Aku sangat menyukaimu,” kata Nero lagi, mencium ujung hidungnya.
“Aku juga menyukaimu,” bisik Niken gugup.
Bibir Nero tersenyum lagi, kemudian perlahan dia memegang dagu Niken, mengarahkannya ke bibirnya. Sentuhan pertama bibir NIken mengingatkan Nero betapa berartinya gadis itu dalam hidupnya. Satu-satunya gadis yang mampu membuatnya merasakan perasaan seperti ini, pemenang hatinya dari setiap gadis yang sudah jadi masa lalunya.
Ciuman mereka terasa sangat lembut, manis seperti permen, tidak terburu-buru, seakan inilah momen yang paling ditunggu oleh mereka dan mereka tidak menguatirkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, karena yang terpenting bagi mereka saat ini adalah apa yang terjadi pada hari ini, bagaimana mereka saling menjalin perasaan, bagaimana mereka bisa saling mengerti, bagaimana hangat telapak tangan yang saat ini ada dalam genggaman mereka tak akan pernah terlepas untuk selamanya, menguatkan mereka.
“Niken,” desah Nero di telinga Niken setelah melepas ciumannya. “Kurasa aku bisa mengerti maksud Dad selama ini tentang Romeo dan Juliet.
Niken tertawa kecil, pipinya kembali memerah. “Kupikir juga begitu.”
Nero menatap mata Niken, hendak menciumnya lagi tepat saat ringtone ponselnya menjerit mengerikan, membuat mereka berdua melonjak. Kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu saling pandang gugup, lalu tertawa.
“Dad,” kata Nero setelah dia mengambil ponselnya. “Tunggu ya.”
Niken mengangguk dan Nero segera berjalan mendekati balkon kamarnya saat dia menempelkan telinga ke ponselnya dan berkata, “Halo?”
“Nero, aku lihat statusmu hari ini. Kau baik-baik saja?”
Ya ampun, beginilah rasanya bila kau berteman dengan Ayahmu sendiri di social networking. Tak ada rahasia di antara kita. Tapi ini Matt—Ayahnya yang super protektif padanya—sehingga Nero tak bisa berbuat apa-apa selain berkata, “Aku baik-baik saja.”
“Kau yakin?”
“Sangat yakin.”
Matt rupanya menangkap ada yang berubah dari intonasi suara Nero, sehingga dia menduga ada sesuatu yang terjadi karena itu dia berkomentar, “Sepertinya ada seseorang yang bahagia.”
Nero tertawa kecil, tak tahu apakah harus menggoda Matt atau tidak. Tapi sepertinya Matt perlu diberi sedikit pelajaran. “Aku menyelundupkan selingkuhanku ke kamar.”
“Nero!” Matt meraung. “Aku melarangmu membawa gadis ke kamar dan aku tak suka kau bercanda mengenai hal ini.”
“Tapi aku tak bercanda. Dia ada di sini sekarang. Aku akan mengirim foto kami sebagai bukti untukmu,” kata Nero lagi, membalas Matt. Rasanya menyenangkan sekali menggoda Matt yang saat ini sejauh jangkauan telepon—dan sinyal.
“Apa dia gadis yang waktu itu tidur sekamar denganmu?”
“Silakan penasaran sendiri. Aku mau kencan dulu.” Nero memutuskan hubungan tepat pada waktunya sebelum Matt berkhotbah.
Niken tengah memandangnya sambil tersenyum-tersenyum geli.
“Dad benar-benar terlalu peduli padaku,” kata Nero pada Niken.
Niken tertawa dan kembali memeluk Nero. Betapa indahnya dunia hari ini.
***The Flower Boy Next Door***
“Hmph! My first date with my first love, my heart belongs to her? Apa-apaan status ini? Lengkap dengan fotonya segala lagi. Apa dia mau mengumumkan pada seluruh dunia bahwa dia akan menikah?”
Devon menatap layar ponselnya dengan tak percaya. Di layar ponselnya terpampang wajah Nero dan Niken yang duduk bersebelahan dan tampak mesra satu sama lain. Baru kemarin Nero dan Niken bermusuhan dan perang dingin selama dua hari, sekarang malah: Mr. Notion is in relationship with Ms. Genius. Cepat sekali mereka menyelesaikan masalah mereka.
Ternyata bukan hanya Devon yang terkejut dengan berita ini, seluruh anak di sekolahan juga kaget. Buktinya, ada banyak sekali komentar tidak menyenangkan di foto itu.
Moshroom: Ga setuju!
xxAshekxx: Aaargh! Ga bisa dipercaya!
Ms. Lovely: Congrats, Nero. Kiss + hug you both
_L_T : putus… cepat putus… cepat putus…
O_O: KAGAK COCOK!
Rarapara: Pangeran dan upik kecemplung got
OdaNdy: Tunggu aku pulang. Harus ada penjelasan mengenai ini
LANA: Ceweknya jelek
Vi__on: About the time. Congrats :)
“Kau sudah lihat? Beritanya ramai di internet,” suara Zoe tiba-tiba terdengar di sebelah Devon yang berjalan sendirian sedari tadi.
“Aku tak mau komentar mengenai betapa memalukannya mereka berdua, tapi aku harus mengucapkan selamat,” Devon menekan tombol send setelah menulis pesannya. “Kau?”
Zoe mengetik pesannya. “Sudah. Di bawah pesanmu.”
Mr. Bad: Weird couple but congrats anyway.
Me_Z: Congrats
“Not bad,” gumam Devon.
***The Flower Boy Next Door***
Pak Alfon memasuki kelas pagi hari ini. Murid-murid unggulan yang siap menerima pelajarannya pun segera menegakan tubuh.
“Kalian punya teman baru hari ini,” kata Pak Alfon. Seperti biasa, Pak Alfon tak pernah bertele-tele.
Kami semua mengerutkan dahi mendengar kejutan ini. Bagaimana mungkin ada anak baru di saat seperti ini?
“Masuklah, Nero.”
Mulutku terngaga melihat Nero memasuki kelas kami. Siswa cewek mulai bergairah melihat kehadiran Nero.
“Nilai Nero kemarin mendapat peringkat pertama. Dia sudah tiga kali berturut-turut berada dalam posisi tertinggi pada setiap ujian. Oleh, sebab itu dia berhak untuk duduk di kelas ini. Mulai saat ini, dia jadi teman sekelas kalian.”
Aduh, aku lupa sama sekali mengenai hal itu!
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.