Debaran Dua Puluh Empat
I to U
Berulang
kali aku mondar-mandir di depan jendela kamarku. Kini aktivitas itu sudah
menjadi kegiatan rutin bagiku. Dulu, aku tak mengerti kenapa aku melakukannya
dan sekarang, aku sadar bahwa aku melakukan ini untuk melihat Nero yang ada di
seberang jendela kamarku. Hanya melihat Nero saja, tanpa perlu berbicara
dengannya, rasanya sudah membuatku bahagia dan menghapus segala kerinduan yang
menumpuk di dadaku.
Masalahnya,
sudah dua hari ini Nero menutup jendela kamarnya dan tidak sekalipun dia
berniat membukanya. Sejak kejadian ciuman waktu itu, Nero benar-benar cuek
padaku. Dia tidak melihatku, melewatiku begitu saja seakan aku makhluk tak
terlihat di depan gerbang sekolah tanpa perlu repot-repot mengucapkan “Selamat
Pagi”—hal yang biasa dia lakukan setiap paginya padaku. Bahkan dengan sengaja
memalingkan wajah begitu kami bertatapan. Tanpa rasa bersalah dia mengajak
orang lain mengobrol saat aku hendak berbicara padanya dan dia selalu punya
alasan masuk akal tiap kali aku meminta waktunya untuk bicara empat mata.
Parahnya lagi, seluruh pesan dan teleponku ditolak dan tak dibalasnya.
Ini
lebih buruk dari dugaanku.
Ms. Genius: Nero, kau ada dimana?
Aku
mengirim pesan. Kugenggam ponselku erat-erat sementara aku berpaling melihat
jendela kamarku. Dia sama sekali tak berniat membalas pesanku lagi. Karena itu
aku mencoba sekali lagi.
Ms. Genius: Nero, aku ingin bicara.
Sepuluh
menit kemudian, aku mengirim pesan lain.
Ms. Genius: Jangan cuekin aku.
Well,
terdengar menyedihkan. Tapi memang seperti itulah keadaanku sekarang. Putus
asa, aku mencoba menghubungi Nero karena lagi-lagi, aku tak mendapatkan
jawaban. Satu bunyi “tut” berhasil menandakan bahwa nomor yang kutuju berhasil
kuhubungi, dan detik berikutnya, aku tahu bahwa Nero ada di kamarnya karena ringtone ponselnya bernyanyi berisik.
“… but I set fire to the rain,
watched it pour—”
Tut
tut tut
Nero
menolak panggilanku, membuat mulutku terbuka lebar.
Ini
benar-benar sudah keterlaluan! Berani benar dia melakukan ini padaku! Nyaris
menghancurkan ponselku yang dalam genggaman, aku memencet tombol dengan ganas,
mengirim pesan yang lain.
Ms. Genius: BRENGSEK! KAU ADA DI
KAMAR KAN? BUKA JENDELANYA!
Aku
melotot marah ke jendela kamarnya. Tapi jendela itu tetap bergeming. Rahangku
mengerang jengkel saat mengirim pesan yang lain lagi.
Ms. Genius: KALAU KAU TAK MEMBUKA
JENDELA KAMARMU, AKU AKAN MEMECAHKANNYA!
Dua
detik kemudian, gorden jendela Nero terbuka. Ancamanku membuahkan hasil. Nero
ada di balik jendelanya sana. Dia berdiri di belakang jendelanya yang tertutup
rapat, mengenakan kaos berwarna hijau cerah dengan motif garis-garis. Dia balas
memelototiku, tangan memegang ponsel dengan geram.
Apakah
itu artinya dia marah padaku?
“Aku
mau bicara!” kataku.
Kulihat
Nero mengetik di ponselnya. Satu pesan muncul di ponselku.
Mr. Notion: Tak ada yang harus
dibicarakan.
Haruskah
dia melakukan mogok bicara padaku? Aku tak menyangka dia benar-benar menolak
berbicara padaku. Baiklah, jika itu maunya, aku akan meladeninya. Tidak sulit
untuk mengikuti permainan menyebalkan Nero!
Ms. Genius: Ini tak seperti yang
kau duga!
Mr. Notion: Aku melihat buktinya.
Ms. Genius: Kau salah paham!
Mr. Notion: Itu bukan urusanku.
Aku
mengadah, menatap Nero yang balas menatapku. Gigiku gemertakan. Aku seakan
bertengkar dengan pacarku yang sudah melihatku selingkuh dengan orang lain.
“Aku dan Kak Vion nggak pacaran!” teriakku jengkel.
Nero
menunduk, mengetik di ponselnya.
Mr. Notion: Permainan berakhir dan
kau menang.
“Apa
maksudmu?” kataku tak percaya.
Tapi
Nero memegang gordennya dan menyibakannya menutupi jendela. Mulutku ternganga
melihat Nero menyelesaikan pembicaraan kami secara sepihak. Kulihat jendela
kamar Nero. Air mata menggenak di pelupuk mataku sampai membuat pandanganku
kabur.
Tangisanku
pecah saat itu juga. Kelenjar air mataku memproduksi dengan sangat sukses
karena banjir besar segera memenuhi pipiku, mengucur deras layaknya air terjun.
Aku terduduk lemas di lantai, metapi nasibku dan kejadian hari ini.
Bukan
seperti ini akhir dari hal yang kubayangkan. Aku menyayangi Nero sepenuh hati.
Walau dia tidak membalas perasaanku, setidaknya, aku ingin hubungan kami
kembali seperti dulu, sebagai teman berantam. Atau… biarkan dia berbicara
padaku dan mendengar penjelasanku, sebentar saja.
Ponselku
bergetar pelan di lantai. Terisak-isak, aku menyeka mataku dengan punggung
tangan. Pelan-pelan kuambil ponsel itu dan melihat ada sebuah pesan masuk dari
Nero.
Mr. Notion: I love you so much it
hurts.
Huh?
Aku mengerjap dan terbengong melihat pesan itu. Tangisku reda saat itu pula dan
angin segar dari surga seakan bertiup mendinginkan kulitku, lengkap dengan
alunan lembut dan nyanyian dari para malaikat sebagai iringannya.
I love you so much…
I love
you …
I love you …
I love …
Kakiku
bergerak sendiri tanpa diperintah, berdiri tiba-tiba kemudian berlari sekuat
tenaga.
Nero menyukaiku! Nero menyukaiku!
NERO MENYUKAIKU!
Aku
bisa mengulang kalimat itu ribuan kali dalam satu detik seperti kaset rusak dan
aku tak peduli!
Dan
sekarang dunia seakan menjadi milikku!
***The Flower
Boy Next Door***
Nero
menghela napas. Dia terduduk di bawah jendela kamarnya yang terutup dengan
punggung bersandar pada dinding. Pesan yang baru saja dia kirim pada Niken
seakan tidak berguna lagi. Kini Niken telah menjadi milik orang lain. Milik Vion. Dan rasanya menyakitkan
sekali melihat orang yang kau cintai bersama orang lain. Juga sangat mustahil
sekali membayangkan diri sendiri mencoba untuk berbahagia melihar orang yang
disayangi berbahagia bersama orang lain. Pantas saja ada seorang kekasih yang
membunuh mantannya karena tak rela memberikannya pada orang lain.
Mungkin,
seperti itulah perasaan Nero sekarang: dia ingin membunuh Vion.
Sial.
Patah hati itu rasanya tidak enak.
“Aku
dan Kak Vion nggak pacaran!”
Benarkah
itu? Jika itu benar, apa yang kau harapkan, Nero? Belum tentu Niken juga
membalas perasaanmu. Kau mengharapkan sesuatu yang semu. Sekarang dirimu
sendiri jadi terdengar menyedihkan dan mengejekmu habis-habisan.
Yang
benar saja, Nero. Jangan serakah! Kalian masih enam belas tahun. Jalan masih
panjang. Biarkan Niken bersenang-senang dengan beberapa pria. Kau kan belum
ingin menikah dengannya.
Nero
mengerang jengkel begitu pikirannya kembali mengingat apa yang dilakukan Vion
pada Niken dan tak yakin apakah dirinya sanggup membiarkan Niken bersama dengan
pria lain selain dirinya. Perasaan untuk membunuh seluruh pria yang mendekati
Niken amatlah kuat dan Nero benci karena dia tak bisa mengendalikan diri.
Mr. Notion: I love you so much it
hurts.
Layar
ponselnya masih menunjukan pesan itu dan sudah lebih dari sepuluh menit
berlalu, tapi Niken tak membalas pesannya.
Dia
tersenyum sedih.
Apakah
ini artinya bahwa aku ditolak lagi? Untuk yang kedua kalinya? Dengan hasil yang
tanpa jawaban pula? Rasanya sakit sekali. Tubuhnya seakan tidak memilih roh.
Seluruh dagingnya seakan terhimpit berton-ton timah yang berat, menempelinya,
memaksanya untuk tetap tinggal dalam perasaan menyebalkan yang disebut orang-orang
putus asa dengan nama “cinta”.
Dan
untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nero menemukan dirinya berdoa dan memohon
pada Tuhan, sepenuh hati.
Tuhan, jika Kau ada—dan aku yakin
bahwa Kau memang ada—di sini, dengarkanlah aku. Aku menyukai gadis ini sepenuh
hati dan aku yakin sekali bahwa aku akan mencintainya seumur hidup. Aku tak
ingin membanginya dengan siapapun. Bila Kau mengijinkan, aku ingin bersamanya
seumur hidup dan tak menginginkan wanita lain.
Tok
tok
Kepala
Nero mengadah, melirik pintu kamar yang tertutup.
Tok
tok tok
Jika
yang mengetuk Jennifer dan Ageha, mereka akan membuka pintu tanpa harus meminta
ijin darinya.
Tok
tok tok
Apakah
yang mengetuk pintu adalah pembantu? Kenapa tidak bersuara sih? Sambil menyeret
kakinya, Nero berjalan pelan-pelan menuju pintu dan membukanya.
“Siapa…”
Suaranya menghilang melihat gadis yang membuatnya jatuh cinta sekaligus patah
hati berdiri di depan pintu kamarnya. “Niken,” desah Nero.
Sebelum
Nero bisa mencerna apa yang terjadi, Niken melangkah ke depan, memegang kedua
pipinya dan mencium bibirnya. Mata Nero membulat kaget, jantungnya seakan
berhenti berdenyut seketika melihat tindakan Niken yang tiba-tiba.
“Niken?”
kata Nero tak percaya begitu Niken melepas ciumannya.
“Aku
menyukaimu.”
Huh?
“Aku
juga menyukaimu.”
Nero
mengerjap. Mimipkah dia? Benarkah dia mendengar NIken mengatakan bahwa gadis
ini juga menyukainya? Saat ini juga? Di sini? Ini bukan ilusi kan?
“Aku
menyukaimu. Kak Vion ternyata bukan orang yang kusukai. Dia hanya orang yang
kukagumi. Hanya kau yang kusukai, Nero. Aku sayang padamu. Kau memasuki
kehidupanku dengan caramu sendiri. Aku tak tahu mengapa jadi seperti ini, tapi
aku sadar satu hal bahwa hanya kau, Nero. Hatiku hanya untukmu, bukan untuk
yang lain.”
Nero
menatap mata Niken. Mata yang begitu jernih itu kini tampak berkaca-kaca,
menunjukan sesuatu yang jujur untuknya, mengungkapkan seluruh perasaan
sekaligus membacanya dengan mudah. Kali ini mata itu memiliki perasaan yang
sama dengan hatinya, sehingga Nero tak tahu apakah saat ini dia ada di sorga
atau tidak, karena dadanya seakan penuh sesak dengan gelembung udara
kebahagiaan, membuatnya tak membutuhkan oksigen untuk bernapas. Beban yang tadi
menghilang dalam seketika, meringankan tubuhnya, membuatnya bisa terbang saat
ini juga, kakinya bahkan seakan tidak menginjak tanah lagi, melainkan melayang
jauh ke atas langit. Pikirannya pun sekarang lebih jernih. Sejernih mata air di
pegunungan.
Salah
satu tangan Nero terangkat ke atas, menutupi wajahnya. Niken mengerutkan dahi,
tercengang melihat air mata yang turun di pipi Nero.
“Nero,
kau kenapa? Kenapa menangis?” kata Niken. “Ada yang sakit?”
Ya
Tuhan, aku bahagia. Terimakasih sudah mengabulkan doaku.
“Nero?”
Nero
memeluknya, mendekap gadis itu erat-erat dalam tubuhnya, tak ingin
melepaskannya selamanya.
“Nero…”
“Terimakasih,
Niken,” bisik Nero. “Karena sudah membalas perasaanku.”
Niken
tersenyum, kedua tangannya ikut terangkat, mengalungkannya dengan penuh mesra
ke leher Nero, membalas pelukan Nero. “Kau harus mendengarkan orang bicara. Aku
tak suka dicuekin.”
Nero
mengangguk pelan. “Aku tak akan melakukannya lagi.”
“Bagus,
karena jika kau melakukannya lagi, aku akan memecahkan jendela kamarmu,” ancam
Niken sambil cemberut.
Nero
tertawa, melepas pelukannya dan mencium dahi Niken. “Aku mencintaimu, Niken,”
bisik Nero. Wajah Niken merona, mempercantik pipinya. Menurut Nero tidak ada
kecantikan wanita manapun yang mampu menandingi atau setara dengan kecantikan
Niken. “Aku sangat menyukaimu,” kata Nero lagi, mencium ujung hidungnya.
“Aku
juga menyukaimu,” bisik Niken gugup.
Bibir
Nero tersenyum lagi, kemudian perlahan dia memegang dagu Niken, mengarahkannya
ke bibirnya. Sentuhan pertama bibir NIken mengingatkan Nero betapa berartinya
gadis itu dalam hidupnya. Satu-satunya gadis yang mampu membuatnya merasakan
perasaan seperti ini, pemenang hatinya dari setiap gadis yang sudah jadi masa
lalunya.
Ciuman
mereka terasa sangat lembut, manis seperti permen, tidak terburu-buru, seakan
inilah momen yang paling ditunggu oleh mereka dan mereka tidak menguatirkan apa
yang akan terjadi di masa yang akan datang, karena yang terpenting bagi mereka
saat ini adalah apa yang terjadi pada hari ini, bagaimana mereka saling
menjalin perasaan, bagaimana mereka bisa saling mengerti, bagaimana hangat
telapak tangan yang saat ini ada dalam genggaman mereka tak akan pernah
terlepas untuk selamanya, menguatkan mereka.
“Niken,”
desah Nero di telinga Niken setelah melepas ciumannya. “Kurasa aku bisa
mengerti maksud Dad selama ini tentang Romeo dan Juliet.
Niken
tertawa kecil, pipinya kembali memerah. “Kupikir juga begitu.”
Nero
menatap mata Niken, hendak menciumnya lagi tepat saat ringtone ponselnya
menjerit mengerikan, membuat mereka berdua melonjak. Kedua pasangan yang sedang
dimabuk asmara itu saling pandang gugup, lalu tertawa.
“Dad,”
kata Nero setelah dia mengambil ponselnya. “Tunggu ya.”
Niken
mengangguk dan Nero segera berjalan mendekati balkon kamarnya saat dia
menempelkan telinga ke ponselnya dan berkata, “Halo?”
“Nero,
aku lihat statusmu hari ini. Kau baik-baik saja?”
Ya
ampun, beginilah rasanya bila kau berteman dengan Ayahmu sendiri di social networking. Tak ada rahasia di
antara kita. Tapi ini Matt—Ayahnya yang super protektif padanya—sehingga Nero
tak bisa berbuat apa-apa selain berkata, “Aku baik-baik saja.”
“Kau
yakin?”
“Sangat
yakin.”
Matt
rupanya menangkap ada yang berubah dari intonasi suara Nero, sehingga dia
menduga ada sesuatu yang terjadi karena itu dia berkomentar, “Sepertinya ada
seseorang yang bahagia.”
Nero
tertawa kecil, tak tahu apakah harus menggoda Matt atau tidak. Tapi sepertinya
Matt perlu diberi sedikit pelajaran. “Aku menyelundupkan selingkuhanku ke
kamar.”
“Nero!”
Matt meraung. “Aku melarangmu membawa gadis ke kamar dan aku tak suka kau
bercanda mengenai hal ini.”
“Tapi
aku tak bercanda. Dia ada di sini sekarang. Aku akan mengirim foto kami sebagai
bukti untukmu,” kata Nero lagi, membalas Matt. Rasanya menyenangkan sekali
menggoda Matt yang saat ini sejauh jangkauan telepon—dan sinyal.
“Apa
dia gadis yang waktu itu tidur sekamar denganmu?”
“Silakan
penasaran sendiri. Aku mau kencan dulu.” Nero memutuskan hubungan tepat pada
waktunya sebelum Matt berkhotbah.
Niken
tengah memandangnya sambil tersenyum-tersenyum geli.
“Dad
benar-benar terlalu peduli padaku,” kata Nero pada Niken.
Niken
tertawa dan kembali memeluk Nero. Betapa indahnya dunia hari ini.
***The Flower
Boy Next Door***
“Hmph!
My first date with my first love, my
heart belongs to her? Apa-apaan status ini? Lengkap dengan fotonya segala
lagi. Apa dia mau mengumumkan pada seluruh dunia bahwa dia akan menikah?”
Devon
menatap layar ponselnya dengan tak percaya. Di layar ponselnya terpampang wajah
Nero dan Niken yang duduk bersebelahan dan tampak mesra satu sama lain. Baru
kemarin Nero dan Niken bermusuhan dan perang dingin selama dua hari, sekarang
malah: Mr. Notion is in relationship with
Ms. Genius. Cepat sekali mereka menyelesaikan masalah mereka.
Ternyata
bukan hanya Devon yang terkejut dengan berita ini, seluruh anak di sekolahan
juga kaget. Buktinya, ada banyak sekali komentar tidak menyenangkan di foto
itu.
Moshroom: Ga setuju!
xxAshekxx: Aaargh! Ga bisa
dipercaya!
Ms. Lovely: Congrats, Nero. Kiss +
hug you both
_L_T : putus… cepat putus… cepat
putus…
O_O: KAGAK COCOK!
Rarapara: Pangeran dan upik
kecemplung got
OdaNdy: Tunggu aku pulang. Harus
ada penjelasan mengenai ini
LANA: Ceweknya jelek
Vi__on: About the time. Congrats :)
“Kau
sudah lihat? Beritanya ramai di internet,” suara Zoe tiba-tiba terdengar di
sebelah Devon yang berjalan sendirian sedari tadi.
“Aku
tak mau komentar mengenai betapa memalukannya mereka berdua, tapi aku harus
mengucapkan selamat,” Devon menekan tombol send
setelah menulis pesannya. “Kau?”
Zoe
mengetik pesannya. “Sudah. Di bawah pesanmu.”
Mr. Bad: Weird couple but congrats
anyway.
Me_Z: Congrats
“Not bad,”
gumam Devon.
***The Flower
Boy Next Door***
Pak
Alfon memasuki kelas pagi hari ini. Murid-murid unggulan yang siap menerima
pelajarannya pun segera menegakan tubuh.
“Kalian
punya teman baru hari ini,” kata Pak Alfon. Seperti biasa, Pak Alfon tak pernah
bertele-tele.
Kami
semua mengerutkan dahi mendengar kejutan ini. Bagaimana mungkin ada anak baru
di saat seperti ini?
“Masuklah,
Nero.”
Mulutku
terngaga melihat Nero memasuki kelas kami. Siswa cewek mulai bergairah melihat
kehadiran Nero.
“Nilai
Nero kemarin mendapat peringkat pertama. Dia sudah tiga kali berturut-turut
berada dalam posisi tertinggi pada setiap ujian. Oleh, sebab itu dia berhak
untuk duduk di kelas ini. Mulai saat ini, dia jadi teman sekelas kalian.”
Aduh,
aku lupa sama sekali mengenai hal itu!
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar