RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 04 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Sembilan)


Debaran Sembilan
3 Hot Guys
Aku tak punya keinginan secuil pun untuk tertarik mengetahui gosip sekolah. Aku bahkan antipati dan menutup kuping soal rumor yang justru akan memusingkan kepala, karena para siswa hanya akan bergosip mengenai dua hal: Nero dan aku, si Ketua Kedisiplinan Siswa.
Hanya saja saat ini, aku mendapati diriku berdiri mematung melihat pemandangan mencengangkan di Bukit Hijau.
Ada dua orang jangkung berjalan menuju Pohon Hantu. Mereka adalah Nero dan Devon. Kedua orang itu tampil begitu mencolok karena berjalan berdua saja, melintasi rumput hijau yang membentang luas, disinari matahari siang menyilaukan, dan tertawa bersama seperti teman lama.
“Oh! Cute! Cute! Cute!” salah seorang cewek di sebelahku terpekik, menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang gemetar.
“Ya ampun! Mereka pas sekali! Pas!” lanjut yang lain.
“Sejak kapan mereka akrab?” pertanyaan itu tak jelas ditujukan pada siapa.
“Oh, coba lihat itu, bukankah mereka manis sekali?”
“Yang satu bad boy, yang satu lagi prince. Cocok.”
Dan mereka kembali bergosip.
Hatiku setuju memberikan julukan “Bad Boy” pada Devon karena dia memang bad boy. Tapi Nero? Heh, tidak sama sekali. Dia tidak cocok secuil pun menjadi seorang Prince. Anak itu lebih cocok menjadi tokoh Badut. Ya, Badut!
Aku kembali melirik kedua cowok yang masih digosipkan. Mereka berdua memang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tapi perbedaan itu menjadi magnet yang saling tarik-menarik. Walau aku tak ingin mengakui, baik Nero maupun Devon memiliki aura sendiri.
Jika Devon tampil tenang, sedikit berbicara dan bertampang ganas, maka Nero adalah radio rusak yang tak pernah berhenti bicara, selalu tertawa dan tampil santai. Aku bisa melihat bahwa aura “step back you guys” yang diberikan Devon setiap kali dia lewat luntur begitu saja terkena sentuhan Nero yang berkata “oh, dear, I love you!”
“Shut up!”
Devon tiba-tiba berteriak, membuat siswa terpekik kaget dan terperanjat lalu menoleh gugup ke arah mereka berdua.
Dari tempatku, kulihat Nero diam sejenak lalu tertawa keras-keras.
Ada apa sih dengan Nero? Kenapa dia bisa tertawa lebar walau berhadapan dengan Devon? Mungkinkah Nero suka melihat wajah jengkel orang? Ataukah Nero tidak punya rasa takut pada siapapun? Sedikitpun? Semua pertanyaan itu tak tahu akan kulontarkan pada siapa karena aku yakin hanya Nero sendiri yang bisa menjawab pertanyaan itu.
Lalu tiba-tiba saja sesuatu yang mengejutkan terjadi. Kak Vion tiba-tiba muncul di Bukit Hijau. Pangeranku itu berlari-lari kecil melintasi rumput menuju mereka bedua. Dan saat dia mencapai mereka, Kak Vion melompat ke punggung Nero dan mengacak-acak rambutnya. Karena tidak siap dengan kejutan yang diberikan Kak Vion, mereka berdua terjatuh. Devon geleng-geleng kepala, tapi menyingkirkan Kak Vion dan cepat-cepat menarik berdiri Nero yang terbahak-bahak.
Mulutku ternganga. Apa itu barusan???? Apakah mereka berdua saling kenal???
“Loh? Itu Vion kan?”
“Kok bisa?”
“Ada apa sih?”
Gosip kembali bermunculan. Aku tak mendengarnya lagi karena otakku blank dalam sekejap.
NERO BARU SAJA MENCURI START!
***The Flower Boy Next Door***
Devon hanya mampu menghela napas melihat Vion muncul di hadapannya. Nero meliriknya sambil tersenyum-senyum menyebalkan dan Vion balas tersenyum dengan ramah.
“Apa ini?” kata Devon, salah satu naiknya alis, meminta penjelasan pada Nero.
“Aku kan sudah bilang, kami sudah saling mengenal,” Nero menjawab tenang. “Vion, ini Devon. Devon, dia Vion.”
“Vion,” katanya sambil mengulurkan tangannya.
Devon melirik tangan Vion. Lalu pada Nero yang mengangguk. Jengkel, Devon menyingkirkan tangan Vion dengan malas sambil berkata, “Aku benci padamu.”
“Oh.” Vion tak tahu harus menanggapi apa. “Senang bertemu denganmu,” gumamnya.
Nero mengibaskan tangannya. “Jangan pedulikan dia, Vion. Dia hanya malu.”
Devon memutar bola matanya. “Bisakah kita segera ke Pohon Hantu? Di sini panas.”
Nero merangkul Vion dengan akrab dan menariknya bersama-sama menuju Pohon Hantu, meninggalkan Devon di belakang. Devon melongo sejenak.
“Hey, I’m supposed to be your friend!” kata Devon jengkel, melangkah panjang-panjang.
“Yes. But he’s my friend too,” kata Nero sambil memutar bola matanya.
“I hate him more now,” gerutu Devon, memberikan tatapan tajam hendak membunuh pada Vion.
“Erm?” Vion menaikan alisnya, kebingungan. “Aku tidak mencoba mengambil temanmu, Devon.”
Devon mendengus tak percaya.
“Coba katakan padaku siapa lagi yang kau benci, Devon?” Nero menoleh padanya.
“Semua orang,” geramnya.
Name please.” Suara Nero terdengar sabar.
“Aku benci padanya,” Devon menunjuk Vion penuh amarah dan melanjutkan, “pada Niken, pada Alfon, pada Owen dan pada Julian. Memangnya kenapa?”
Nero menyeringai. Devon benar-benar tidak suka anak itu melakukannya. “Karena aku akan berteman pada orang-orang yang kau benci,” ucapnya santai.
“Jangan coba-coba, Nero,” geram Devon.
“Akan kucoba karena aku sudah berteman pada Niken.” Nero masih tersenyum.
“Dia tidak berteman denganmu. Dia membencimu.”
“Oh, ya, kami berteman, aku masuk ke kamarnya kemarin. Itu artinya kami sangat akrab kan?”
Sebelum Devon membalas, Vion memotong cepat, penuh keterkejutan.
“Hah? Kau masuk ke kamarnya?” Vion terheran-heran.
“Ya. Kenapa, Vion? Kau tidak sedang cemburu kan?” Nero melepas rangkulannya. Dia tidak memberikan kesempatan bagi Vion untuk menjawab karena Nero sudah berlari terlebih dahulu, meninggalkan mereka berdua menuju Pohon Hantu dan segera merebahkan tubuhnya ke rumput.
“Kuperingkatan kau, Vion, jangan dekat-dekat dia,” kata Devon menggerakan kepalanya ke tempat Nero yang sudah tidak bergerak lagi.
Alis Vion terangkat sebelah. “Dan itu karena?”
“Karena aku tak suka kau dekat-dekat dia,” jawabnya.
Ini sedikit membingungkan bagi Vion. Dia memang belum mengenal Devon lebih jauh tapi tidak menyangka bahwa Devon begitu blak-blakan. Masalahnya hal yang membuat Devon begitu membencinya justru karena Nero. Dahi Vion mengerut melihat ke arah Nero. Dan mereka juga belum lama saling kenal, pikir Vion, kenapa tiba-tiba Devon jadi seperti anjing penjaga begitu? Tapi tiba-tiba Vion menyadari sesuatu.
Vion memasukan kedua lengannya ke saku celana. “Jangan katakan kalau kau tak punya teman selain Nero dan cemburu kalau aku menjadi temannya. Itu sangat kekanakan dan tak masuk akal tahu.”
Devon melangkah mendekat. Wajahnya tampak begitu menyeramkan walau tidak berekspresi. Vion mundur dua langkah dan mencoba mempertahankan keberaniannya.
Menyeramkan, menyeramkan, menyeramkan, batin Vion.
“Aku sudah memperingatkanmu dan jangan harap aku akan mengulangnya di masa depan,” bisik Devon berbahaya.
Vion menelan ludah.
Mendengus marah, Devon melewatinya dan berjalan menuju Nero. Dia duduk di sebelah Nero yang tertidur pulas. Vion menghela napas lega dan ikut duduk mengapit Nero di sisi yang satunya, lalu merebahkan tubuh.
“Oh, di sini lumayan juga,” kata Vion tiba-tiba. Udaranya benar-benar sejuk, berbeda sekali dengan udara di dalam kelas.
“I should put it,” geram Devon, punggungnya bersandar di batang pohon.
“Put what?” kata Nero. Ternyata Nero tidak tidur, hanya menutup matanya, menikmati kesejukan.
“Don’t Disturb Sign.”
“Mmmphh, wahahahahahahaha.”
Nero dan Vion terbahak-bahak.
“Oh, well, whatever,” gumam Devon sambil memutar bola matanya dengan bosan. Tapi dia bersungguh-sungguh mengenai ide itu.
***The Flower Boy Next Door***
Aku penasaran. Perasaan itu begitu meluap-luap. Keinginanku untuk mengetahui apa yang terjadi tak terbendung lagi. Untung saja aku berhasil mengalihkan perhatianku pada hal-hal yang lebih penting dan berguna: belajar karena ujian sekolah sudah di depan mata—besok, dan aku tak ingin Nero mengambil posisiku.
Gosip mengenai Hot Three Guys—begitulah nama mereka sekarang, menyebar seperti virus di udara. Bahkan sampai ke sekolah Putri yang ada dua kilometer dari tempat ini. Beberapa hari belakangan ini aku harus mengerahkan pasukan Osis untuk menjaga gerbang, agar cewek-cewek dari sekolah lain tidak masuk ke dalam lingkungan sekolah.
Semuanya disebabkan karena mereka bertiga—Nero, Divon dan Kak Vion—berjalan bersama menuju sekolah. Dan bisa dibayangkan reaksi yang ditimbulkan? Tepat sekali. Mereka membawa arak-arakan barongsai di belakang mereka setiap pagi.
Dengan geram, aku memberikan tanda titik sampai bolong di akhir kalimat tugas mengarang. Mataku mengadah melihat jendela kamar Nero yang sudah tertutup dan gelap gulita. Lalu aku memberikan tinjuku pada jendela itu.
Esoknya aku bangun lebih awal dan bergegeas ke sekolah. Seperti yang sudah aku duga, fans itu sudah menunggu di depan gerbang. Wajah mereka ceria, bergairah, tapi juga tak sabar.
Tak lama suara mereka membahana begitu rupa saat 3 Hot Guys muncul dari ujung jalan.
“Uh, cakepnya! Cakepnya! Cakepnya!”
“Gosh! Mereka hari ini cakep banget!”
Aku cuma bisa memutar bola mataku.
“Selamat pagi, Niiiiiiiken!” terdengar suara menyebalkan Nero.
“Morning greeting,” gumam Vion.
“As always,” sambung Devon memutar bola matanya.
“Cepat menyingkir dari hadapanku. Aku masih banyak kerjaan!” kataku cepat. “Dan bisakah kau mengusir mereka?” tambahku menunjuk kerumunan fans mereka.
Meanie,” kata Nero dan penggemarnya ikut-ikutan berteriak, “Harsh!
SHUT UP!” Devon meraung.
Beginilah beberapa hari terakhir. Dan hal itu sangat menyebalkan.
“Maaf, Niken, kau jadi repot,” Kak Vion tersenyum lembut, menatapku dengan hangat.  Untuk sesaat, aku menyadari keberadaannya dan alasan itu menjadi sangat kuat untuk menahan fansnya yang tak tahu terima kasih itu jauh-jauh darinya.
Uh, lovely,” desah Nero tersenyum menyebalkan.
NOOOOO!” fans Vion berteriak marah.
“Menyingkir sana, Jelek!”
“Jelek, tahu diri!”
“Awas kau nanti!”
Mereka mengganas. Aku tak tahan lagi. Mulutku sudah ingin memarahi mereka sampai kemudian Devon meraung lagi, mengatasi suara protesan. “QUIET!
Lapangan sunyi dalam sekejap.
Scary…” Vion tiba-tiba bergumam.
“Hmft… huahahahahahahaha,” tawa Nero meledak seiring dengan tawa lain.
Jeez, let’s go,” Devon merangkul Nero yang masih terbahak dan menyeretnya masuk ke gerbang sekolah.
Aku hanya mampu memandangi mereka bertiga memasuki sekolah dan meninggalkan fans mereka dalam desahan penuh kecewa.
Saat lonceng sekolah berbunyi, gerbang ditutup dan kerumunan menghilang, menyisakan beberapa murid yang terlambat.
Jika ditelaan lebih jauh, kebersamaan Nero, Devon dan Kak Vion sebenarnya mengurangi sekaligus menimbulkan beberapa masalah. Yang mengurangi masalah adalah semakin sedikitnya siswa yang terlambat. Pertama karena mereka ingin melihat kebersamaan ketiga orang itu. Kedua, untuk melakukan misi Pertama, itu artinya harus datang pagi-pagi sekali. Ketiga, jika tidak dapat melakukan misi Kedua dengan baik, maka akan sulit menembus dinding pertahanan dari fans 3 Hot Guys dari belakang.
Masalah yang ditimbulkan karena mereka antara lain: menyangkut fans yang berteriak dan berkerumun di depan gerbang, harus menjaga para fans mereka agar tidak dapat masuk ke sekolah. Hal yang menguatirkan adalah jika ada salah satu fans yang menerobos masuk, itu artinya akan ada pencurian barang-barang pribadi milik Nero, Devon dan Kak Vion—yang pasti akan dijual kembali di Online Centre. Tapi, yang bermasalah adalah jika mereka mendapat foto mereka—yang pasti akan segera menyebar ganas dan diperjualbelikan secara diam-diam. Jika foto close-up sih tak apa. Tapi jika foto telanjang bagaimana?
Hmph! Aku membatin jengkel dan dapat membayangkan apa yang bakal terjadi.
Bila suatu hari nanti ada foto skandal menyebar, aku yakin wajah Nero-lah yang pasti muncul terlebih dahulu.
“Fuh,” aku mengambil napas saat soal diserahkan padaku.
Saatnya berkonsentrasi pada ujian.
…. Aku akan mendepakmu dari Juara 1…
Huh! Tak akan kubiarkan!
***The Flower Boy Next Door***
Julian mengawasi Nero dari belakang. Anak muda itu menopang dagunya dengan salah satu tangannya, sementara pandangan matanya melihat keluar jendela. Nero sedang sibuk dengan dunianya sendiri.
Gosip mengenai Nero akan mendepak Niken sudah sampai ke telinganya.
Dan Julian khawatir bahwa Nero akan melakukannya.
Tidak. Dia memang akan melakukannya. Julian tahu bahwa Nero akan mengganti nama Niken di papan pengumuman besok walau Julian belum melihat hasilnya.
Sambil melirik sedikit, Julian melewati bangku Nero.
Kertas jawaban Nero sudah terisi penuh padahal masih ada satu jam lagi sebelum bel berakhir. Oh, boy
***The Flower Boy Next Door***
Alfon menaikan alisnya melihat Julian memberikan selembar buku padanya. Ah, tidak. Itu bukan buku. Tapi rapor.
“Apa ini?” dia bertanya keheranan.
“Rapor.”
Alfon belum menurunkan alisnya.
“Rapor Nero,” kata Julian lagi.
Kali ini Alfon mendesah. “Aku tak tahu apakah harus kagum atau ngeri padamu, Julian. Kau benar-benar keras kepala. Aku sudah bilang padamu jangan ikut campur dengan urusan orang. Jangan salahkan aku kalau suatu hari nanti kau akan kena batunya.”
“Dia jenius,” Julian tidak mendengarkan perkataan Alfon dan malah menarik bangku terdekat dan duduk di dekat Alfon.
“Aku tahu,” gumam Alfon. Kehabisan kata-kata.
Julian membasahi bibirnya. “Yang membuatku bertanya-tanya adalah kenapa Nero sering pindah sekolah.”
Alfon mengangkat bahu tak peduli. “Kudengar Ayahnya orang kaya. Sering dipindahtugaskan mungkin.”
“Itu semakin mencurigakan.”
“Terserah.”
Alfon mengambil rapor Nero dan membolak-bolak catatan akademis Nero. Tidak ada satupun nilai dibawah sembilan puluh pada rapor itu. Seluruh nilainya A+
Mother’s Name : Theressa Illys
Punggung Alfon menegak melihat nama itu. “Julian, apa kau tahu siapa nama Ibunya Nero?” tanya Alfon tidak melihat Julian.
“Jika tak salah Jennifer Cone.” Jennifer menggaruk dagunya mengingat-ingat. “Ya, aku yakin. Aku sempat melihat namanya saat pendaftaran siswa baru. Wanita yang cantik Ibunya itu.”
“Setahuku juga Jennifer,” gumam Alfon dan dia menyodorkan rapor itu ke depan hidung Julian. “Tapi di sini tertulis Theressa Illys. Apakah Ayahnya menikah lagi?”
Mata Julian membulat. “Alfon, matamu benar-benar jeli. Aku sama sekali tidak membaca ini! Theressa Illys?” kemudian kepalanya miring. “Mungkin saja Ayahnya menikah lagi.”
Alfon mendesah. “Sudahlah, Julian. Lupakan. Ini sudah kelewatan.” Lalu bangkit dan pergi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.