Debaran Sembilan
3 Hot Guys
Aku
tak punya keinginan secuil pun untuk tertarik mengetahui gosip sekolah. Aku
bahkan antipati dan menutup kuping soal rumor yang justru akan memusingkan
kepala, karena para siswa hanya akan bergosip mengenai dua hal: Nero dan aku,
si Ketua Kedisiplinan Siswa.
Hanya
saja saat ini, aku mendapati diriku berdiri mematung melihat pemandangan
mencengangkan di Bukit Hijau.
Ada
dua orang jangkung berjalan menuju Pohon Hantu. Mereka adalah Nero dan Devon.
Kedua orang itu tampil begitu mencolok karena berjalan berdua saja, melintasi
rumput hijau yang membentang luas, disinari matahari siang menyilaukan, dan tertawa
bersama seperti teman lama.
“Oh! Cute! Cute! Cute!”
salah seorang cewek di sebelahku terpekik, menutup mulutnya dengan kedua
tangannya yang gemetar.
“Ya
ampun! Mereka pas sekali! Pas!” lanjut yang lain.
“Sejak
kapan mereka akrab?” pertanyaan itu tak jelas ditujukan pada siapa.
“Oh,
coba lihat itu, bukankah mereka manis sekali?”
“Yang
satu bad boy, yang satu lagi prince. Cocok.”
Dan
mereka kembali bergosip.
Hatiku
setuju memberikan julukan “Bad Boy” pada Devon karena dia memang bad boy. Tapi Nero? Heh, tidak sama
sekali. Dia tidak cocok secuil pun menjadi seorang Prince. Anak itu lebih cocok
menjadi tokoh Badut. Ya, Badut!
Aku
kembali melirik kedua cowok yang masih digosipkan. Mereka berdua memang berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Tapi perbedaan itu menjadi magnet yang
saling tarik-menarik. Walau aku tak ingin mengakui, baik Nero maupun Devon
memiliki aura sendiri.
Jika
Devon tampil tenang, sedikit berbicara dan bertampang ganas, maka Nero adalah
radio rusak yang tak pernah berhenti bicara, selalu tertawa dan tampil santai.
Aku bisa melihat bahwa aura “step back
you guys” yang diberikan Devon setiap kali dia lewat luntur begitu saja
terkena sentuhan Nero yang berkata “oh,
dear, I love you!”
“Shut up!”
Devon
tiba-tiba berteriak, membuat siswa terpekik kaget dan terperanjat lalu menoleh
gugup ke arah mereka berdua.
Dari
tempatku, kulihat Nero diam sejenak lalu tertawa keras-keras.
Ada
apa sih dengan Nero? Kenapa dia bisa tertawa lebar walau berhadapan dengan
Devon? Mungkinkah Nero suka melihat wajah jengkel orang? Ataukah Nero tidak
punya rasa takut pada siapapun? Sedikitpun? Semua pertanyaan itu tak tahu akan
kulontarkan pada siapa karena aku yakin hanya Nero sendiri yang bisa menjawab
pertanyaan itu.
Lalu
tiba-tiba saja sesuatu yang mengejutkan terjadi. Kak Vion tiba-tiba muncul di
Bukit Hijau. Pangeranku itu berlari-lari kecil melintasi rumput menuju mereka
bedua. Dan saat dia mencapai mereka, Kak Vion melompat ke punggung Nero dan
mengacak-acak rambutnya. Karena tidak siap dengan kejutan yang diberikan Kak
Vion, mereka berdua terjatuh. Devon geleng-geleng kepala, tapi menyingkirkan
Kak Vion dan cepat-cepat menarik berdiri Nero yang terbahak-bahak.
Mulutku
ternganga. Apa itu barusan???? Apakah mereka berdua saling kenal???
“Loh?
Itu Vion kan?”
“Kok
bisa?”
“Ada
apa sih?”
Gosip
kembali bermunculan. Aku tak mendengarnya lagi karena otakku blank dalam sekejap.
NERO
BARU SAJA MENCURI START!
***The Flower Boy Next Door***
Devon
hanya mampu menghela napas melihat Vion muncul di hadapannya. Nero meliriknya
sambil tersenyum-senyum menyebalkan dan Vion balas tersenyum dengan ramah.
“Apa
ini?” kata Devon, salah satu naiknya alis, meminta penjelasan pada Nero.
“Aku
kan sudah bilang, kami sudah saling mengenal,” Nero menjawab tenang. “Vion, ini
Devon. Devon, dia Vion.”
“Vion,”
katanya sambil mengulurkan tangannya.
Devon
melirik tangan Vion. Lalu pada Nero yang mengangguk. Jengkel, Devon
menyingkirkan tangan Vion dengan malas sambil berkata, “Aku benci padamu.”
“Oh.”
Vion tak tahu harus menanggapi apa. “Senang bertemu denganmu,” gumamnya.
Nero
mengibaskan tangannya. “Jangan pedulikan dia, Vion. Dia hanya malu.”
Devon
memutar bola matanya. “Bisakah kita segera ke Pohon Hantu? Di sini panas.”
Nero
merangkul Vion dengan akrab dan menariknya bersama-sama menuju Pohon Hantu,
meninggalkan Devon di belakang. Devon melongo sejenak.
“Hey, I’m supposed to be your
friend!” kata Devon jengkel, melangkah panjang-panjang.
“Yes. But he’s my friend too,”
kata Nero sambil memutar bola matanya.
“I hate him more now,”
gerutu Devon, memberikan tatapan tajam hendak membunuh pada Vion.
“Erm?”
Vion menaikan alisnya, kebingungan. “Aku tidak mencoba mengambil temanmu,
Devon.”
Devon
mendengus tak percaya.
“Coba
katakan padaku siapa lagi yang kau benci, Devon?” Nero menoleh padanya.
“Semua
orang,” geramnya.
“Name please.” Suara Nero terdengar
sabar.
“Aku
benci padanya,” Devon menunjuk Vion penuh amarah dan melanjutkan, “pada Niken,
pada Alfon, pada Owen dan pada Julian. Memangnya kenapa?”
Nero
menyeringai. Devon benar-benar tidak suka anak itu melakukannya. “Karena aku
akan berteman pada orang-orang yang kau benci,” ucapnya santai.
“Jangan
coba-coba, Nero,” geram Devon.
“Akan
kucoba karena aku sudah berteman pada Niken.” Nero masih tersenyum.
“Dia
tidak berteman denganmu. Dia membencimu.”
“Oh,
ya, kami berteman, aku masuk ke kamarnya kemarin. Itu artinya kami sangat akrab
kan?”
Sebelum
Devon membalas, Vion memotong cepat, penuh keterkejutan.
“Hah?
Kau masuk ke kamarnya?” Vion terheran-heran.
“Ya.
Kenapa, Vion? Kau tidak sedang cemburu kan?” Nero melepas rangkulannya. Dia
tidak memberikan kesempatan bagi Vion untuk menjawab karena Nero sudah berlari
terlebih dahulu, meninggalkan mereka berdua menuju Pohon Hantu dan segera
merebahkan tubuhnya ke rumput.
“Kuperingkatan
kau, Vion, jangan dekat-dekat dia,” kata Devon menggerakan kepalanya ke tempat
Nero yang sudah tidak bergerak lagi.
Alis
Vion terangkat sebelah. “Dan itu karena?”
“Karena
aku tak suka kau dekat-dekat dia,” jawabnya.
Ini
sedikit membingungkan bagi Vion. Dia memang belum mengenal Devon lebih jauh
tapi tidak menyangka bahwa Devon begitu blak-blakan. Masalahnya hal yang
membuat Devon begitu membencinya justru karena Nero. Dahi Vion mengerut melihat
ke arah Nero. Dan mereka juga belum lama saling kenal, pikir Vion, kenapa
tiba-tiba Devon jadi seperti anjing penjaga begitu? Tapi tiba-tiba Vion
menyadari sesuatu.
Vion
memasukan kedua lengannya ke saku celana. “Jangan katakan kalau kau tak punya
teman selain Nero dan cemburu kalau aku menjadi temannya. Itu sangat kekanakan
dan tak masuk akal tahu.”
Devon
melangkah mendekat. Wajahnya tampak begitu menyeramkan walau tidak berekspresi.
Vion mundur dua langkah dan mencoba mempertahankan keberaniannya.
Menyeramkan, menyeramkan,
menyeramkan, batin Vion.
“Aku
sudah memperingatkanmu dan jangan harap aku akan mengulangnya di masa depan,”
bisik Devon berbahaya.
Vion
menelan ludah.
Mendengus
marah, Devon melewatinya dan berjalan menuju Nero. Dia duduk di sebelah Nero
yang tertidur pulas. Vion menghela napas lega dan ikut duduk mengapit Nero di
sisi yang satunya, lalu merebahkan tubuh.
“Oh,
di sini lumayan juga,” kata Vion tiba-tiba. Udaranya benar-benar sejuk, berbeda
sekali dengan udara di dalam kelas.
“I should put it,”
geram Devon, punggungnya bersandar di batang pohon.
“Put what?”
kata Nero. Ternyata Nero tidak tidur, hanya menutup matanya, menikmati
kesejukan.
“Don’t Disturb Sign.”
“Mmmphh,
wahahahahahahaha.”
Nero
dan Vion terbahak-bahak.
“Oh, well, whatever,”
gumam Devon sambil memutar bola matanya dengan bosan. Tapi dia
bersungguh-sungguh mengenai ide itu.
***The Flower Boy Next Door***
Aku
penasaran. Perasaan itu begitu meluap-luap. Keinginanku untuk mengetahui apa yang
terjadi tak terbendung lagi. Untung saja aku berhasil mengalihkan perhatianku
pada hal-hal yang lebih penting dan berguna: belajar karena ujian sekolah sudah
di depan mata—besok, dan aku tak ingin Nero mengambil posisiku.
Gosip
mengenai Hot Three Guys—begitulah nama mereka sekarang, menyebar seperti virus
di udara. Bahkan sampai ke sekolah Putri yang ada dua kilometer dari tempat
ini. Beberapa hari belakangan ini aku harus mengerahkan pasukan Osis untuk
menjaga gerbang, agar cewek-cewek dari sekolah lain tidak masuk ke dalam
lingkungan sekolah.
Semuanya
disebabkan karena mereka bertiga—Nero, Divon dan Kak Vion—berjalan bersama
menuju sekolah. Dan bisa dibayangkan reaksi yang ditimbulkan? Tepat sekali.
Mereka membawa arak-arakan barongsai di belakang mereka setiap pagi.
Dengan
geram, aku memberikan tanda titik sampai bolong di akhir kalimat tugas
mengarang. Mataku mengadah melihat jendela kamar Nero yang sudah tertutup dan
gelap gulita. Lalu aku memberikan tinjuku pada jendela itu.
Esoknya
aku bangun lebih awal dan bergegeas ke sekolah. Seperti yang sudah aku duga,
fans itu sudah menunggu di depan gerbang. Wajah mereka ceria, bergairah, tapi
juga tak sabar.
Tak
lama suara mereka membahana begitu rupa saat 3 Hot Guys muncul dari ujung
jalan.
“Uh,
cakepnya! Cakepnya! Cakepnya!”
“Gosh!
Mereka hari ini cakep banget!”
Aku
cuma bisa memutar bola mataku.
“Selamat
pagi, Niiiiiiiken!” terdengar suara menyebalkan Nero.
“Morning greeting,” gumam
Vion.
“As always,”
sambung Devon memutar bola matanya.
“Cepat
menyingkir dari hadapanku. Aku masih banyak kerjaan!” kataku cepat. “Dan
bisakah kau mengusir mereka?” tambahku menunjuk kerumunan fans mereka.
“Meanie,” kata Nero dan penggemarnya
ikut-ikutan berteriak, “Harsh!’
“SHUT UP!” Devon meraung.
Beginilah
beberapa hari terakhir. Dan hal itu sangat menyebalkan.
“Maaf,
Niken, kau jadi repot,” Kak Vion tersenyum lembut, menatapku dengan
hangat. Untuk sesaat, aku menyadari
keberadaannya dan alasan itu menjadi sangat kuat untuk menahan fansnya yang tak
tahu terima kasih itu jauh-jauh darinya.
“Uh, lovely,” desah Nero tersenyum
menyebalkan.
“NOOOOO!” fans Vion berteriak marah.
“Menyingkir
sana, Jelek!”
“Jelek,
tahu diri!”
“Awas
kau nanti!”
Mereka
mengganas. Aku tak tahan lagi. Mulutku sudah ingin memarahi mereka sampai
kemudian Devon meraung lagi, mengatasi suara protesan. “QUIET!”
Lapangan
sunyi dalam sekejap.
“Scary…” Vion tiba-tiba bergumam.
“Hmft…
huahahahahahahaha,” tawa Nero meledak seiring dengan tawa lain.
“Jeez, let’s go,” Devon merangkul Nero
yang masih terbahak dan menyeretnya masuk ke gerbang sekolah.
Aku
hanya mampu memandangi mereka bertiga memasuki sekolah dan meninggalkan fans
mereka dalam desahan penuh kecewa.
Saat
lonceng sekolah berbunyi, gerbang ditutup dan kerumunan menghilang, menyisakan
beberapa murid yang terlambat.
Jika
ditelaan lebih jauh, kebersamaan Nero, Devon dan Kak Vion sebenarnya mengurangi
sekaligus menimbulkan beberapa masalah. Yang mengurangi masalah adalah semakin
sedikitnya siswa yang terlambat. Pertama karena mereka ingin melihat kebersamaan
ketiga orang itu. Kedua, untuk melakukan misi Pertama, itu artinya harus datang
pagi-pagi sekali. Ketiga, jika tidak dapat melakukan misi Kedua dengan baik,
maka akan sulit menembus dinding pertahanan dari fans 3 Hot Guys dari belakang.
Masalah
yang ditimbulkan karena mereka antara lain: menyangkut fans yang berteriak dan
berkerumun di depan gerbang, harus menjaga para fans mereka agar tidak dapat
masuk ke sekolah. Hal yang menguatirkan adalah jika ada salah satu fans yang
menerobos masuk, itu artinya akan ada pencurian barang-barang pribadi milik
Nero, Devon dan Kak Vion—yang pasti akan dijual kembali di Online Centre. Tapi,
yang bermasalah adalah jika mereka mendapat foto mereka—yang pasti akan segera
menyebar ganas dan diperjualbelikan secara diam-diam. Jika foto close-up sih
tak apa. Tapi jika foto telanjang bagaimana?
Hmph!
Aku membatin jengkel dan dapat membayangkan apa yang bakal terjadi.
Bila
suatu hari nanti ada foto skandal menyebar, aku yakin wajah Nero-lah yang pasti
muncul terlebih dahulu.
“Fuh,”
aku mengambil napas saat soal diserahkan padaku.
Saatnya
berkonsentrasi pada ujian.
…. Aku akan mendepakmu dari Juara
1…
Huh!
Tak akan kubiarkan!
***The Flower Boy Next Door***
Julian
mengawasi Nero dari belakang. Anak muda itu menopang dagunya dengan salah satu
tangannya, sementara pandangan matanya melihat keluar jendela. Nero sedang
sibuk dengan dunianya sendiri.
Gosip
mengenai Nero akan mendepak Niken sudah sampai ke telinganya.
Dan
Julian khawatir bahwa Nero akan melakukannya.
Tidak.
Dia memang akan melakukannya. Julian
tahu bahwa Nero akan mengganti nama Niken di papan pengumuman besok walau
Julian belum melihat hasilnya.
Sambil
melirik sedikit, Julian melewati bangku Nero.
Kertas
jawaban Nero sudah terisi penuh padahal masih ada satu jam lagi sebelum bel
berakhir. Oh, boy…
***The Flower Boy Next Door***
Alfon
menaikan alisnya melihat Julian memberikan selembar buku padanya. Ah, tidak.
Itu bukan buku. Tapi rapor.
“Apa
ini?” dia bertanya keheranan.
“Rapor.”
Alfon
belum menurunkan alisnya.
“Rapor
Nero,” kata Julian lagi.
Kali
ini Alfon mendesah. “Aku tak tahu apakah harus kagum atau ngeri padamu, Julian.
Kau benar-benar keras kepala. Aku sudah bilang padamu jangan ikut campur dengan
urusan orang. Jangan salahkan aku kalau suatu hari nanti kau akan kena
batunya.”
“Dia
jenius,” Julian tidak mendengarkan perkataan Alfon dan malah menarik bangku
terdekat dan duduk di dekat Alfon.
“Aku
tahu,” gumam Alfon. Kehabisan kata-kata.
Julian
membasahi bibirnya. “Yang membuatku bertanya-tanya adalah kenapa Nero sering
pindah sekolah.”
Alfon
mengangkat bahu tak peduli. “Kudengar Ayahnya orang kaya. Sering
dipindahtugaskan mungkin.”
“Itu
semakin mencurigakan.”
“Terserah.”
Alfon
mengambil rapor Nero dan membolak-bolak catatan akademis Nero. Tidak ada
satupun nilai dibawah sembilan puluh pada rapor itu. Seluruh nilainya A+
Mother’s Name : Theressa Illys
Punggung
Alfon menegak melihat nama itu. “Julian, apa kau tahu siapa nama Ibunya Nero?”
tanya Alfon tidak melihat Julian.
“Jika
tak salah Jennifer Cone.” Jennifer menggaruk dagunya mengingat-ingat. “Ya, aku
yakin. Aku sempat melihat namanya saat pendaftaran siswa baru. Wanita yang
cantik Ibunya itu.”
“Setahuku
juga Jennifer,” gumam Alfon dan dia menyodorkan rapor itu ke depan hidung
Julian. “Tapi di sini tertulis Theressa Illys. Apakah Ayahnya menikah lagi?”
Mata
Julian membulat. “Alfon, matamu benar-benar jeli. Aku sama sekali tidak membaca
ini! Theressa Illys?” kemudian kepalanya miring. “Mungkin saja Ayahnya menikah
lagi.”
Alfon
mendesah. “Sudahlah, Julian. Lupakan. Ini sudah kelewatan.” Lalu bangkit dan
pergi.
0 komentar:
Posting Komentar