RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 28 Februari 2013

Lova Alfa (Kenangan Dua)


Kenangan Dua
First-Last?
Adel, untuk yang kesekian kalinya dalam sehari ini, menghela napas. Saat ini dia sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah, menatap langit kebiruan yang tertutupi awan. Matahari tidak menusuk hari ini sehingga udaranya terasa lebih sejuk.
Matanya tiba-tiba berair saat mengingat kenangan di tempat ini. Kenangan yang terasa begitu indah dan nyata, terasa seperti masa depan yang indah, bersama dengan orang yang dulu pernah menjadi orang yang paling dicintainya, sebelum akhirnya orang itu pergi meninggalkannya. Tempat dimana kekasihnya menyatakan perasaan padanya.
Alfa, kekasihnya, meninggal dua minggu lalu. Tapi jejak-jejak kehidupannya masih begitu nyata pada Adel. Adel masih bisa mengingat dengan jelas seluruh detail wajah Alfa, bagaimana dia berekspresi, bagaimana wangi tubuhnya, bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berdiri dan berjalan, bagaimana dia… dia…
…. meninggal…
Adel mengambil napas lagi, mencoba menenangkan dirinya. Jika dia menangis sekarang, Alfa juga akan sedih. Dia tak ingin Alfa melihatnya begitu terpuruk. Hanya saja, Adel tak bisa berbohong bahwa kepergian Alfa yang tiba-tiba menusuknya, membekukan hatinya, dan merobeknya menjadi bagian paling kecil.
Rasanya dia masih belum bisa menerima kematian Alfa.
“Alfa…” desahnya pelan, “aku mencintaimu. Alfa… please, kembali…”
Air matanya akhirnya menetes juga. Ya, Tuhan, rasanya begitu menyakitkan.
“AAAAARRRRRRRRGHHHH!!”
BRRRRRRRUUUUUUUUUUUGHHHHHHHHHHH
Adel terlonjak kaget. Jantungnya seakan berhenti berdetak begitu saja.
Ada sesuatu yang luar biasa besar yang jatuh dari atas dan menghantam tanah dengan keras. Adel tidak berani berkata bahwa benda itu jatuh dari langit karena memang tidak ada apa-apa selain langit di atas kepalanya. Dan Adel juga merasa bahwa dia sudah gila melihat benda yang tadi jatuh itu adalah manusia.
Manusia! Adel terpaku lagi. Bunuh diri!
Tangan Adel gemetaran. Bagaimana ini? Dia ingin berteriak dan meminta pertolongan. Tapi dia sendiri tak bisa mengeluarkan suara. Kakinya juga tak mau bergerak. Tubuhnya seakan sudah terpaku di tempat itu. Bagaimana jika ada seseorang yang lewat dan menunduh Adel membunuh orang itu?
“Uuuuuh, dasar penjaga gerbang sialan.” Manusia berpakaian itu bersuara. Dia bergerak perlahan. Salah satu tangannya mencoba menegakkan tubuhnya dan dia mencoba duduk dengan susah payah. “Apa kau ingin menghancurkan rohku? Rasanya sakit tahu!” dia meraung marah, memberikan tinjunya pada langit.
Adel tercengang begitu melihat wajah itu.
Dia mengenal wajah itu. Wajah itu adalah wajah yang selama ini menjadi mimpi manis baginya. Dan dua minggu lalu menjadi kenangan paling menyakitkan. Wajah itulah yang membuatnya menangis saat ini. Tapi wajah itulah yang membuatnya terbengong saat ini sampai tak bisa bersuara. Dia tahu bahwa wajah itu seharusnya tidak ada di depannya lagi. Tidak di sini. Karena wajah itu sudah tidur dengan tenang di pelukannya dua minggu lalu.
“… Alfa…”
Mendengar suaranya, wajah itu mengadah lagi. Wajah itu begitu tampan, berkulit caramel dengan rambut coklat lebat yang rambut panjangnya menutupi dahinya. Matanya bulat berwarna hitam jernih. Hidungnya lurus dan tampak lebih mancung dari yang diingat Adel. Tapi Adel tak mungkin salah mengenali bahwa itu adalah Alfa.
“Adel,” kata sosok itu balas memandangnya dengan terkejut.
Dia tidak salah mengenali. Sosok itu memang Alfa.
“Ke… kenapa...” Adel tak tahu harus mengatakan apa.
“Adel!” suara tinggi seseorang tiba-tiba mengejutkan Adel.  Adel menoleh dengan cepat ke belakang, mendapati sosok kecil mungil berambut pendek mendatanginya. “Apa yang kau lakukan di sini? Aku khawatir sekali karena kau tidak muncul. Apa ini? Apa kau sedang menangis? Menangisi Alfa lagi?” gadis mungil itu melipat tangannya di dada, tampak begitu jengkel. “Aku kan sudah melarangmu untuk kemari. Hanya akan membuatmu semakin sedih. Sekarang kita ke kelas. Ayo, cepat.”
Adel menelan ludah, melirik Alfa yang masih terduduk di tanah.
“Rei, Alfa…”
Gadis itu memutar bola matanya. “Lupakan dia. Dia sudah mati, ingat? Tak ada gunanya bagimu mengingatnya lagi. Kau harus mulai memikirkan hidupmu.”
Adel tercengang. Tidak bisakah dia melihat Alfa yang saat ini ada di hadapannya? Tepat di sampingnya?
“Reisha, Alfa…” Adel menunjuk ke arah Alfa.
Reisha menoleh ke arah yang ditunjuk Adel, lalu menaikan alisnya.
“Ada apa sih, Del? Kau ingin aku melihat apa?” kata Reisha tak sabar.
Adel menutup mulutnya. Reisha tak bisa melihat Alfa!
“Ayo, kita harus ke kelas. Sebentar lagi kita akan masuk. Jangan berlama-lama di tempat ini, kau akan semakin tertekan dengan kenangan Alfa,” Reisha menarik tangannya, memaksanya berdiri dan mengikutinya ke kelas.
Adel menoleh ke belakang dengan panik. Alfa terpaku di sana, menatapnya dengan pandangan kosong. Lalu saat Adel berkedip, sosok itu hilang.
Tubuh Adel gemetaran.
Ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.