Kenangan Dua
First-Last?
Adel,
untuk yang kesekian kalinya dalam sehari ini, menghela napas. Saat ini dia
sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah, menatap langit kebiruan yang
tertutupi awan. Matahari tidak menusuk hari ini sehingga udaranya terasa lebih
sejuk.
Matanya
tiba-tiba berair saat mengingat kenangan di tempat ini. Kenangan yang terasa
begitu indah dan nyata, terasa seperti masa depan yang indah, bersama dengan
orang yang dulu pernah menjadi orang
yang paling dicintainya, sebelum akhirnya orang itu pergi meninggalkannya.
Tempat dimana kekasihnya menyatakan perasaan padanya.
Alfa,
kekasihnya, meninggal dua minggu lalu. Tapi jejak-jejak kehidupannya masih
begitu nyata pada Adel. Adel masih bisa mengingat dengan jelas seluruh detail
wajah Alfa, bagaimana dia berekspresi, bagaimana wangi tubuhnya, bagaimana dia
berbicara, bagaimana dia berdiri dan berjalan, bagaimana dia… dia…
….
meninggal…
Adel
mengambil napas lagi, mencoba menenangkan dirinya. Jika dia menangis sekarang,
Alfa juga akan sedih. Dia tak ingin Alfa melihatnya begitu terpuruk. Hanya
saja, Adel tak bisa berbohong bahwa kepergian Alfa yang tiba-tiba menusuknya,
membekukan hatinya, dan merobeknya menjadi bagian paling kecil.
Rasanya
dia masih belum bisa menerima kematian Alfa.
“Alfa…”
desahnya pelan, “aku mencintaimu. Alfa… please,
kembali…”
Air
matanya akhirnya menetes juga. Ya, Tuhan, rasanya begitu menyakitkan.
“AAAAARRRRRRRRGHHHH!!”
BRRRRRRRUUUUUUUUUUUGHHHHHHHHHHH
Adel
terlonjak kaget. Jantungnya seakan berhenti berdetak begitu saja.
Ada
sesuatu yang luar biasa besar yang jatuh dari atas dan menghantam tanah dengan
keras. Adel tidak berani berkata bahwa benda itu jatuh dari langit karena
memang tidak ada apa-apa selain langit di atas kepalanya. Dan Adel juga merasa bahwa
dia sudah gila melihat benda yang tadi jatuh itu adalah manusia.
Manusia!
Adel terpaku lagi. Bunuh diri!
Tangan
Adel gemetaran. Bagaimana ini? Dia ingin berteriak dan meminta pertolongan.
Tapi dia sendiri tak bisa mengeluarkan suara. Kakinya juga tak mau bergerak.
Tubuhnya seakan sudah terpaku di tempat itu. Bagaimana jika ada seseorang yang
lewat dan menunduh Adel membunuh orang itu?
“Uuuuuh,
dasar penjaga gerbang sialan.” Manusia berpakaian itu bersuara. Dia bergerak
perlahan. Salah satu tangannya mencoba menegakkan tubuhnya dan dia mencoba
duduk dengan susah payah. “Apa kau ingin menghancurkan rohku? Rasanya sakit
tahu!” dia meraung marah, memberikan tinjunya pada langit.
Adel
tercengang begitu melihat wajah itu.
Dia
mengenal wajah itu. Wajah itu adalah wajah yang selama ini menjadi mimpi manis
baginya. Dan dua minggu lalu menjadi kenangan paling menyakitkan. Wajah itulah
yang membuatnya menangis saat ini. Tapi wajah itulah yang membuatnya terbengong
saat ini sampai tak bisa bersuara. Dia tahu bahwa wajah itu seharusnya tidak
ada di depannya lagi. Tidak di sini. Karena wajah itu sudah tidur dengan tenang
di pelukannya dua minggu lalu.
“…
Alfa…”
Mendengar
suaranya, wajah itu mengadah lagi. Wajah itu begitu tampan, berkulit caramel
dengan rambut coklat lebat yang rambut panjangnya menutupi dahinya. Matanya
bulat berwarna hitam jernih. Hidungnya lurus dan tampak lebih mancung dari yang
diingat Adel. Tapi Adel tak mungkin salah mengenali bahwa itu adalah Alfa.
“Adel,”
kata sosok itu balas memandangnya dengan terkejut.
Dia
tidak salah mengenali. Sosok itu memang Alfa.
“Ke…
kenapa...” Adel tak tahu harus mengatakan apa.
“Adel!”
suara tinggi seseorang tiba-tiba mengejutkan Adel. Adel menoleh dengan cepat ke belakang,
mendapati sosok kecil mungil berambut pendek mendatanginya. “Apa yang kau
lakukan di sini? Aku khawatir sekali karena kau tidak muncul. Apa ini? Apa kau
sedang menangis? Menangisi Alfa lagi?” gadis mungil itu melipat tangannya di
dada, tampak begitu jengkel. “Aku kan sudah melarangmu untuk kemari. Hanya akan
membuatmu semakin sedih. Sekarang kita ke kelas. Ayo, cepat.”
Adel
menelan ludah, melirik Alfa yang masih terduduk di tanah.
“Rei,
Alfa…”
Gadis
itu memutar bola matanya. “Lupakan dia. Dia sudah mati, ingat? Tak ada gunanya
bagimu mengingatnya lagi. Kau harus mulai memikirkan hidupmu.”
Adel
tercengang. Tidak bisakah dia melihat Alfa yang saat ini ada di hadapannya?
Tepat di sampingnya?
“Reisha,
Alfa…” Adel menunjuk ke arah Alfa.
Reisha
menoleh ke arah yang ditunjuk Adel, lalu menaikan alisnya.
“Ada
apa sih, Del? Kau ingin aku melihat apa?” kata Reisha tak sabar.
Adel
menutup mulutnya. Reisha tak bisa melihat Alfa!
“Ayo,
kita harus ke kelas. Sebentar lagi kita akan masuk. Jangan berlama-lama di
tempat ini, kau akan semakin tertekan dengan kenangan Alfa,” Reisha menarik
tangannya, memaksanya berdiri dan mengikutinya ke kelas.
Adel
menoleh ke belakang dengan panik. Alfa terpaku di sana, menatapnya dengan
pandangan kosong. Lalu saat Adel berkedip, sosok itu hilang.
Tubuh
Adel gemetaran.
Ini
tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar