RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 12 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Sepuluh)


Debaran Sepuluh
Victoria’s House
“Abang!” Ageha berteriak menyambutnya saat Nero memasuki pekarangan rumah. Gadis kecil itu berlari dan menubruknya.
“Aduh!” kata Nero, lalu tertawa. “Ageha, pelan-pelan.”
“Abang, mau piano!”
Nero menaikan alis. “Nanti ya, Sayang. Abang ganti baju dulu.”
“Nggak mau! Mau sekarang!”
Nero menghela napas dan berjongkok untuk melihat wajah bundar adiknya. “Ageha,” kata Nero lembut, mengelus pipi adiknya. “Abang ganti baju dulu, ya, Sayang. Nanti setelah Abang ganti baju, baru Abang main piano buat Ageha sampai puas.”
Tapi Ageha tidak mendengarkan. “Nggak mau! Mau sekarang!” Ageha merengek.
Nero menghela napas lagi.
“Abang nggak pernah main sejak di sini.”
Itu memang benar. Nero belum pernah memainkan piano porselainnya sejak mereka pindah ke rumah ini. Pertama, karena Nero belum memiliki mood untuk main. Kedua, mungkin saja Niken mendengarnya memainkan piano dan—Nero tersenyem kecil—sayang sekali jika dia tak menggoda gadis itu sedikit mengenai keahliannya memainkan piano. Ketiga, karena piano itu ada di tengah ruangan kosong yang luas sekali sehingga suaranya bergaung nyaring seperti di atas pentas, membuat Nero malas menjadi bahan tontongan dari orang-orang yang ada di dekat rumahnya.
“Ayo, Abang,” Ageha merengek lagi.
Nero mendesah. “Ya, sudah, yuk.”
Ageha berteriak kegirangan. Dia memeluk Nero lagi dan menarik tangannya dengan tak sabar memasuki rumah.
Rumahnya besar. Itu sudah pasti. Ketika masuk tampak ruangan depan berlantai perak yang sudah terusun dengan sofa-sofa yang sudah dibeli oleh Jennifer, keramik-keramik cantik menghiasi di bagian sudut dan lemari-lemari hias, lampu kristal juga menggantung rendah, nyaris seperti mahkota di langit-langit, menutupi sisi bagian atas lantai dua. Lukisan-lukisan berkelas juga tak kalah menghiasi rumah.
Nero mengikuti Ageha untuk melangkahi dua undakan yang memisahkan ruangan depan, menuju sebuah piano besar yang dibiarkan berdiri sendiri di antara dua anak tangga yang mengapitnya dari sisi kiri dan kanan sehingga piano itu tampak khusus sekali.
Ageha melepas tangannya dan duduk dengan bersemangat, membuka penutup sementara Nero berputar menegakan sisi yang lain dari grandpiano miliknya, sehingga piano itu tampak semakin megah dan indah. Hanya piano ini yang masih bertahan selama bertahun-tahun dan dia tak akan pernah menjualnya, Matt tahu hal itu dengan pasti.
“Ok, Adinda, biarkan Abang menghiburmu kali ini. Tapi hanya satu lagu saja, oke?” Nero duduk di sebalah Ageha, melemaskan jari-jarinya setelah dia melepas tasnya ke kaki piano.
Ageha menunduk dan menunggu dengan mata berbinar tak sabar.
Nero tersenyum, senang sekali melihat wajah tak sabar Ageha. Setelah mengibas-kibasnya jarinya ke udara, Nero menggulung lengan bajunya dan tangannya bersiap di atas tuts-tuts piano.
“Inilah Rondo alla Turca, Mozart. Piano Sonata No.11 in A major K.331,” kata Nero pelan dan jari-jari tangannya menyentuh tuts piano dan memainkannya.
Saat Nero mulai bermain, Ageha menahan napas, menyaksikan jemari Nero yang memainkan musik dengan gemulai dan lincah, menghasilkan bunyi-bunyi indah yang membuat Ageha semakin terpesona. Suara piano menggema nyaris di setiap ruangan, mengeraskan permainan Nero menjadi lebih keren dan berbau fantasi.
Ageha menatap Nero tak percaya, terkagum melihat sosok di sampingnya yang begitu berkonsentrasi dengan permainannya. Bahunya bergerak seiring musik tiap kali Nero memberikan gerakan lembut pada nada lembut, lalu memberikan sentakan setiap kali permainan musiknya mengeras, membuat perubahan yang signifikan dari nada yang dimainkan Nero.
Nero menatapnya, tersenyum kecil, matanya bercahaya. Ini dunia Nero dan Nero senang membaginya bersama Ageha yang tampak menikmati permainan pianonya.
Plok plok plok
Ageha bertepuk tangan keras sekali saat Nero selesai bermain. Matanya berbinar bahagia.
“Permainan yang cantik,” terdengar suara seseorang di belakang. Mereka berdua menoleh ke belakang, mendapati Jennifer tengah tersenyum pada mereka sambil ikut bertepuk tangan.
“Mom,” kata Nero. “Sejak kapan Mom di sana?”
“Sejak aku mendengar suara pianomu yang indah,” Jennifer mendekat dan mengecup dahi Nero. “Kau main bagus seperti biasa. Tidak biasanya kau memainkan Rondo Alla Turca dengan gaya seperti itu, apakah kau sedang bahagia?”
“Mom,” kata Nero lagi sambil memutar bola matanya. “Apakah aku harus bahagia dulu baru memainkan dengan gaya begitu?”
Jennifer tersenyum kecil. “Tidak, Sayang, hanya saja Mama cuma sedikit tak percaya kalau kau memainkan Rondo Alla Turca sambil tersenyum bahagia.”
“Mom,” kata Nero lagi sambil memutar bola matanya. “Kurasa aku harus naik ke atas dan mengganti baju sebelum Mom mulai bertanya yang tidak-tidak.”
“Oh, tidak. Kau mainkan dulu satu lagu untukku.”
“Yay!” Ageha bertepuk tangan senang. “Satu lagu lagi!”
“Baiklah, My Lady,” Nero tersenyum menggoda. “Kupersembahkan Johann Friendrich Burgmuller - Harmony of The Angels Op. 100, No. 21.”
“Oh, aku suka sekali lagu itu,” kata Jennifer tak sabar.
Nero tersenyum dan memainkan pianonya lagi.
Piano kembali berbunyi, melantunkan nada-nada cantik dan merdu berkat jari-jari terampil Nero dan saat dia selesai, seseorang menutup kedua mata Nero dari belakang, tepat saat Ageha dan Jennifer bertepuk tangan gembira.
“Rasanya aku tahu siapa ini,” kata Nero, memegang tangan orang yang menutupi matanya.
Tidak ada jawaban dari orang yang menutup matanya kecuali fakta bahwa baik Ageha dan Jennifer terkikik di sampingnya.
“Aku mengenali bau parfummu, Dad. Ayolah, aku tahu itu kau.”
Terdengar suara laki-laki di belakangnya, diiringi suara tawa yang mendekapnya dari belakang. “Oh, Nero, kau benar-benar seperti anjing pelacak,” kata Matt mengacak-acak rambutnya.
Nero memutar bola matanya. “Kapan Dad kembali?”
“Sejam yang lalu,” jawab Matt.
Nero menyipit curiga pada Jennifer dan Ageha. “Oh, sekarang aku mengerti kenapa aku tiba-tiba dipaksa memainkan piano. Rupanya ada seseorang yang ingin memberi kejutan.”
Matt tertawa. “Tidak juga, Nak. Aku cuma sedikit cemburu karena kau mulai menggoda dua putri di kediamanku.”
Nero tersenyum. “Wah, itu lain lagi ceritanya. Aku kan memang menawan.”
Matt tertawa lagi. “Dasar kau,” katanya mengacak rambut Nero lagi. “Ngomong-ngomong siapa gadis itu?”
Nero menaikan alisnya. “Maksud Dad?”
“Pasti ada alasan kenapa permainan piano anak laki-lakiku yang super dingin menjadi lebih ringan dan menyenangkan.” Matt memberikan lirikan pada Jennifer yang menggeleng tidak tahu sambil tersenyum-senyum. Nero memutar bola matanya. “Siapa dia, Nero? Kenalkan sama Dad.”
“Dad, tidak ada perempuan, oke?” desah Nero.
Alis Matt menaik. “Baiklah, kalau begitu bawa boyfriend-mu kemari.”
“Dad!” Nero jengkel.
Matt tertawa sementara Jennifer mengikik geli.
“Baiklah, baiklah, aku tak akan bertanya lagi,” Matt melepas rangkulannya dan segera menggendong Ageha. “Ganti bajumu, Nero, kita akan makan siang di luar.”
“Ok,” gumam Nero, mengambil tasnya. Saat dia ada di pertengahan tangga menuju kamarnya, Matt memanggilnya sehingga dia terpaksa berhenti. “Ya, Dad?”
“Aku serius mengenai tadi, Nero. Bawa girl/boy-friend-mu kemari dan kenalkan padaku.”
“Dad!” gerutu Nero.
“Sudahlah, Sayang, jangan menggodanya terus,” kata Jennifer menarik tangan Matt.
Matt masih tertawa. “Aku suka sekali menggodanya.”
Nero memutar bola matanya lagi dan masuk ke kamarnya. Dia senang Matt pulang dan memberi kejutan padanya. Tapi, jika Ayahnya itu pulang, Nero kadang suka bingung siapa yang paling dewasa di rumah ini, dia atau justru Ayahnya?
Setelah meletakan tasnya di atas tempat tidur, Nero melepas seragamnya dan menggantungnya di lemari. Saat dia melewati jendela, Niken sedang menyisir rambutnya. Nero tersenyum kecil, tak mau repot-repot memakai baju terlebih dahulu dan menyapa Niken.
“Halo, Niiiiiiiken.”
Gadis itu membeku di tempatnya. “Apa kau sudah berpakaian di sana?”
“Sudah,” kata Nero tersenyum kecil.
Niken mendesah dan menoleh menatapnya. Wajah gadis itu merah padam dalam sekejap. “Kau belum berpakaian!” teriaknya jengkel. Tapi Nero bisa melihat bahwa tatapan Niken tak lepas dari tubuhnya. Gadis malang. Dia sama sekali tak tahu seberapa tertariknya dia padaku—atau pada tubuhku.
Nero berusaha menahan rasa geli. “Kau tak tanya apakah sudah lengkap atau belum.”
“Itu sama saja!” balasnya.
“Tidak. Itu tak sama,” Nero menggeleng kecil, menatapnya dengan sungguh-sungguh walau dia ingin terbahak. “Apa kau mengerjakan ujianmu dengan baik, Niken?”
“Itu bukan urusanmu!” katanya galak.
“Memang sih. Hanya saja…”
“NERO!”
Ups. Itu suara Matt.
Well, sampai besok, Niken, dan cobalah untuk tidur dengan nyenyak,” kata Nero sambil mengedip lucu. “Karena besok, kau sudah dijamin lengser dari jabatan Juara 1.”
“Kau menyebalkan!”
Nero terbahak, menutup jendelanya saat Niken memberikan tinju kecilnya pada jendelanya. Sambil mengambil kaos dan jeketnya, mengenakannya dengan asal, Nero turun mendapati Matt, Jennifer dan Ageha sudah bersiap.
“Siapa itu tadi yang berteriak, Nero?” tanya Matt penasaran.
“Bukan siapa-siapa,” jawabnya.
“Kau tidak menyembunyikan pacarmu di dalam kamarmu kan, Nero? Aku lebih suka kau cepat menikah daripada menyimpan pacarmu di kamar. Setidaknya itu lebih legal.” Matt tersenyum padanya.
“Tampaknya aku lupa membawa obat sakit kepala dan obat sakit jiwa. Aku ambil dulu di kamar.” Nero bergumam pelan, hendak naik lagi ke tangga.
Matt terbahak. “Dasar kau, Nero! Sini! Aku tak akan menggodamu lagi. Janji!”
Nero nyengir dan cepat-cepat ke samping Matt. Mereka berempat keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil untuk makan siang bersama.
Inilah keluarga Nero. Dan Nero mencintai keluarganya.
 ***The Flower Boy Next Door***
Devon menunggu di depan gerbang rumahnya. Seperti biasa, menunggu Nero untuk muncul menjemputnya. Dari rumahnya hanya lima belas menit menuju sekolah. Dan nanti di perjalanan, mereka akan menjemput Vion. Jika bisa memilih, Devon ingin sekali menyingkirkan Vion, selamanya jika perlu. Karena sejak dia mengenal Nero, Nero rajin sekali datang menjemputnya. Untungnya, hal itu berpengaruh positif terhadap berkurangnya keterlambatannya.
Mendesah, Devon melirik arlojinya. Tak lama lagi Nero akan muncul.
“Yo,” Nero berteriak di ujung jalan dan berlari mendekatinya. “Morning!”
“Yeah, morning,” gumam Devon. Devon menatap wajah Nero dan mengerutkan dahi keheranan.
“What?” Nero balik menatapnya. “Do we have staring contest now?”
“As if,” Devon memutar bola matanya. “You look happy and energetic today.”
Nero menaikan alisnya. “Excuse me, but I definetly am happy and energetic everyday.”
“No. Last day and the other days was a fake.”
Nero menaikan alisnya. “Whatever, Devon. Come on, we should run, Vion’s waiting for us.”
“Do we have to do this? I hate that guy.”
“I like him. Come on.”
Mendesah pasrah, Devon mengikuti Nero menjemput Vion yang hanya dua blok dari rumahnya. Vion juga sudah menunggu mereka di depan gerbang dan tersenyum melihat mereka muncul.
“Pagi,” sapa Vion.
“Pagi,” kata Nero dan sengaja menyikut Devon untuk membalas ucapan paginya.
“Pagi,” gerutu Devon.
Mereka berjalan menuju sekolah bersama-sama, sambil bercakap-cakap. Devon kadang menengahi dengan “Hmmm” atau “ya” setiap kali ditanya dan harus berkata “Ouch” atau “Terserah” jika Nero menyikut atau memelototinya untuk peduli pada Vion.
Kenapa sih Nero peduli sekali pada Vion? Devon tak habis pikir. Apa tak cukup baginya berteman dengan orang asing? Sekarang dia malah mempersulit diri dengan orang asing seperti Vion—yang jelas-jelas tak cocok dengannya. Kenapa malah memaksakan diri mengobrol dengan Vion? Apa sebenarnya yang direncakanannya?
Begitu mereka memasuki gerbang, kerumunan sudah muncul di depan gerbang. Devon memutar bola matanya, bosan melihat manusia yang berkumpul di depannya. Tapi Nero dan Vion tampak tak terganggu sedikit pun. Kedua orang itu malah mengobrol dengan seru tentang entah apa itu, karena Devon sama sekali tidak tertarik, dan tidak melihat kerumunan sedikitpun.
Lalu, terjadi sesuatu yang mencengangkan. Salah seorang bawahan Niken, jika tak salah namanya Lisa, berlari menghampiri Niken dan suaranya yang panik terdengar nyaris di telinga seluruh siswa yang masih berkumpul di depan gerbang.
“Niken, Nero mendapat nilai sempurna di seluruh mata pelajaran!”
Aku berhenti melangkah, begitu pula dengan Nero dan Vion. Kami bertiga menatap Niken yang tampak pucat dan terkejut dengan pemberitahuan yang tiba-tiba ini.
“Bang!” kata Nero, tangan kanannya membentuk sebuah pistol seolah menembak mati Niken di tempat. “Knock you out, Niken.”
Oh, boy… Niken seperti ingin membunuh Nero.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.