Debaran Sepuluh
Victoria’s House
“Abang!”
Ageha berteriak menyambutnya saat Nero memasuki pekarangan rumah. Gadis kecil
itu berlari dan menubruknya.
“Aduh!”
kata Nero, lalu tertawa. “Ageha, pelan-pelan.”
“Abang,
mau piano!”
Nero
menaikan alis. “Nanti ya, Sayang. Abang ganti baju dulu.”
“Nggak
mau! Mau sekarang!”
Nero
menghela napas dan berjongkok untuk melihat wajah bundar adiknya. “Ageha,” kata
Nero lembut, mengelus pipi adiknya. “Abang ganti baju dulu, ya, Sayang. Nanti
setelah Abang ganti baju, baru Abang main piano buat Ageha sampai puas.”
Tapi
Ageha tidak mendengarkan. “Nggak mau! Mau sekarang!” Ageha merengek.
Nero
menghela napas lagi.
“Abang
nggak pernah main sejak di sini.”
Itu
memang benar. Nero belum pernah memainkan piano porselainnya sejak mereka
pindah ke rumah ini. Pertama, karena Nero belum memiliki mood untuk main. Kedua, mungkin saja Niken mendengarnya memainkan
piano dan—Nero tersenyem kecil—sayang sekali jika dia tak menggoda gadis itu
sedikit mengenai keahliannya memainkan piano. Ketiga, karena piano itu ada di
tengah ruangan kosong yang luas sekali sehingga suaranya bergaung nyaring
seperti di atas pentas, membuat Nero malas menjadi bahan tontongan dari
orang-orang yang ada di dekat rumahnya.
“Ayo,
Abang,” Ageha merengek lagi.
Nero
mendesah. “Ya, sudah, yuk.”
Ageha
berteriak kegirangan. Dia memeluk Nero lagi dan menarik tangannya dengan tak
sabar memasuki rumah.
Rumahnya
besar. Itu sudah pasti. Ketika masuk tampak ruangan depan berlantai perak yang
sudah terusun dengan sofa-sofa yang sudah dibeli oleh Jennifer, keramik-keramik
cantik menghiasi di bagian sudut dan lemari-lemari hias, lampu kristal juga
menggantung rendah, nyaris seperti mahkota di langit-langit, menutupi sisi
bagian atas lantai dua. Lukisan-lukisan berkelas juga tak kalah menghiasi
rumah.
Nero
mengikuti Ageha untuk melangkahi dua undakan yang memisahkan ruangan depan,
menuju sebuah piano besar yang dibiarkan berdiri sendiri di antara dua anak
tangga yang mengapitnya dari sisi kiri dan kanan sehingga piano itu tampak
khusus sekali.
Ageha
melepas tangannya dan duduk dengan bersemangat, membuka penutup sementara Nero
berputar menegakan sisi yang lain dari grandpiano miliknya, sehingga piano itu
tampak semakin megah dan indah. Hanya piano ini yang masih bertahan selama
bertahun-tahun dan dia tak akan pernah menjualnya, Matt tahu hal itu dengan
pasti.
“Ok,
Adinda, biarkan Abang menghiburmu kali ini. Tapi hanya satu lagu saja, oke?”
Nero duduk di sebalah Ageha, melemaskan jari-jarinya setelah dia melepas tasnya
ke kaki piano.
Ageha
menunduk dan menunggu dengan mata berbinar tak sabar.
Nero
tersenyum, senang sekali melihat wajah tak sabar Ageha. Setelah
mengibas-kibasnya jarinya ke udara, Nero menggulung lengan bajunya dan
tangannya bersiap di atas tuts-tuts piano.
“Inilah
Rondo alla Turca, Mozart. Piano Sonata No.11 in A major K.331,” kata Nero pelan
dan jari-jari tangannya menyentuh tuts piano dan memainkannya.
Saat
Nero mulai bermain, Ageha menahan napas, menyaksikan jemari Nero yang memainkan
musik dengan gemulai dan lincah, menghasilkan bunyi-bunyi indah yang membuat
Ageha semakin terpesona. Suara piano menggema nyaris di setiap ruangan,
mengeraskan permainan Nero menjadi lebih keren dan berbau fantasi.
Ageha
menatap Nero tak percaya, terkagum melihat sosok di sampingnya yang begitu
berkonsentrasi dengan permainannya. Bahunya bergerak seiring musik tiap kali
Nero memberikan gerakan lembut pada nada lembut, lalu memberikan sentakan
setiap kali permainan musiknya mengeras, membuat perubahan yang signifikan dari
nada yang dimainkan Nero.
Nero
menatapnya, tersenyum kecil, matanya bercahaya. Ini dunia Nero dan Nero senang
membaginya bersama Ageha yang tampak menikmati permainan pianonya.
Plok
plok plok
Ageha
bertepuk tangan keras sekali saat Nero selesai bermain. Matanya berbinar
bahagia.
“Permainan
yang cantik,” terdengar suara seseorang di belakang. Mereka berdua menoleh ke
belakang, mendapati Jennifer tengah tersenyum pada mereka sambil ikut bertepuk
tangan.
“Mom,”
kata Nero. “Sejak kapan Mom di sana?”
“Sejak
aku mendengar suara pianomu yang indah,” Jennifer mendekat dan mengecup dahi
Nero. “Kau main bagus seperti biasa. Tidak biasanya kau memainkan Rondo Alla
Turca dengan gaya seperti itu, apakah kau sedang bahagia?”
“Mom,”
kata Nero lagi sambil memutar bola matanya. “Apakah aku harus bahagia dulu baru
memainkan dengan gaya begitu?”
Jennifer
tersenyum kecil. “Tidak, Sayang, hanya saja Mama cuma sedikit tak percaya kalau
kau memainkan Rondo Alla Turca sambil tersenyum bahagia.”
“Mom,”
kata Nero lagi sambil memutar bola matanya. “Kurasa aku harus naik ke atas dan
mengganti baju sebelum Mom mulai bertanya yang tidak-tidak.”
“Oh,
tidak. Kau mainkan dulu satu lagu untukku.”
“Yay!”
Ageha bertepuk tangan senang. “Satu lagu lagi!”
“Baiklah,
My Lady,” Nero tersenyum menggoda.
“Kupersembahkan Johann Friendrich Burgmuller - Harmony of The Angels Op. 100,
No. 21.”
“Oh,
aku suka sekali lagu itu,” kata Jennifer tak sabar.
Nero
tersenyum dan memainkan pianonya lagi.
Piano
kembali berbunyi, melantunkan nada-nada cantik dan merdu berkat jari-jari
terampil Nero dan saat dia selesai, seseorang menutup kedua mata Nero dari
belakang, tepat saat Ageha dan Jennifer bertepuk tangan gembira.
“Rasanya
aku tahu siapa ini,” kata Nero, memegang tangan orang yang menutupi matanya.
Tidak
ada jawaban dari orang yang menutup matanya kecuali fakta bahwa baik Ageha dan
Jennifer terkikik di sampingnya.
“Aku
mengenali bau parfummu, Dad. Ayolah, aku tahu itu kau.”
Terdengar
suara laki-laki di belakangnya, diiringi suara tawa yang mendekapnya dari
belakang. “Oh, Nero, kau benar-benar seperti anjing pelacak,” kata Matt
mengacak-acak rambutnya.
Nero
memutar bola matanya. “Kapan Dad kembali?”
“Sejam
yang lalu,” jawab Matt.
Nero
menyipit curiga pada Jennifer dan Ageha. “Oh, sekarang aku mengerti kenapa aku
tiba-tiba dipaksa memainkan piano. Rupanya ada seseorang yang ingin memberi
kejutan.”
Matt
tertawa. “Tidak juga, Nak. Aku cuma sedikit cemburu karena kau mulai menggoda
dua putri di kediamanku.”
Nero
tersenyum. “Wah, itu lain lagi ceritanya. Aku kan memang menawan.”
Matt
tertawa lagi. “Dasar kau,” katanya mengacak rambut Nero lagi. “Ngomong-ngomong
siapa gadis itu?”
Nero
menaikan alisnya. “Maksud Dad?”
“Pasti
ada alasan kenapa permainan piano anak laki-lakiku yang super dingin menjadi
lebih ringan dan menyenangkan.” Matt memberikan lirikan pada Jennifer yang
menggeleng tidak tahu sambil tersenyum-senyum. Nero memutar bola matanya.
“Siapa dia, Nero? Kenalkan sama Dad.”
“Dad,
tidak ada perempuan, oke?” desah Nero.
Alis
Matt menaik. “Baiklah, kalau begitu bawa boyfriend-mu
kemari.”
“Dad!”
Nero jengkel.
Matt
tertawa sementara Jennifer mengikik geli.
“Baiklah,
baiklah, aku tak akan bertanya lagi,” Matt melepas rangkulannya dan segera
menggendong Ageha. “Ganti bajumu, Nero, kita akan makan siang di luar.”
“Ok,”
gumam Nero, mengambil tasnya. Saat dia ada di pertengahan tangga menuju
kamarnya, Matt memanggilnya sehingga dia terpaksa berhenti. “Ya, Dad?”
“Aku
serius mengenai tadi, Nero. Bawa girl/boy-friend-mu
kemari dan kenalkan padaku.”
“Dad!”
gerutu Nero.
“Sudahlah,
Sayang, jangan menggodanya terus,” kata Jennifer menarik tangan Matt.
Matt
masih tertawa. “Aku suka sekali menggodanya.”
Nero
memutar bola matanya lagi dan masuk ke kamarnya. Dia senang Matt pulang dan memberi
kejutan padanya. Tapi, jika Ayahnya itu pulang, Nero kadang suka bingung siapa
yang paling dewasa di rumah ini, dia atau justru Ayahnya?
Setelah
meletakan tasnya di atas tempat tidur, Nero melepas seragamnya dan
menggantungnya di lemari. Saat dia melewati jendela, Niken sedang menyisir
rambutnya. Nero tersenyum kecil, tak mau repot-repot memakai baju terlebih
dahulu dan menyapa Niken.
“Halo,
Niiiiiiiken.”
Gadis
itu membeku di tempatnya. “Apa kau sudah berpakaian di sana?”
“Sudah,”
kata Nero tersenyum kecil.
Niken
mendesah dan menoleh menatapnya. Wajah gadis itu merah padam dalam sekejap.
“Kau belum berpakaian!” teriaknya jengkel. Tapi Nero bisa melihat bahwa tatapan
Niken tak lepas dari tubuhnya. Gadis
malang. Dia sama sekali tak tahu seberapa tertariknya dia padaku—atau pada
tubuhku.
Nero
berusaha menahan rasa geli. “Kau tak tanya apakah sudah lengkap atau belum.”
“Itu
sama saja!” balasnya.
“Tidak.
Itu tak sama,” Nero menggeleng kecil, menatapnya dengan sungguh-sungguh walau
dia ingin terbahak. “Apa kau mengerjakan ujianmu dengan baik, Niken?”
“Itu
bukan urusanmu!” katanya galak.
“Memang
sih. Hanya saja…”
“NERO!”
Ups.
Itu suara Matt.
“Well, sampai besok, Niken, dan cobalah
untuk tidur dengan nyenyak,” kata Nero sambil mengedip lucu. “Karena besok, kau
sudah dijamin lengser dari jabatan Juara 1.”
“Kau
menyebalkan!”
Nero
terbahak, menutup jendelanya saat Niken memberikan tinju kecilnya pada
jendelanya. Sambil mengambil kaos dan jeketnya, mengenakannya dengan asal, Nero
turun mendapati Matt, Jennifer dan Ageha sudah bersiap.
“Siapa
itu tadi yang berteriak, Nero?” tanya Matt penasaran.
“Bukan
siapa-siapa,” jawabnya.
“Kau
tidak menyembunyikan pacarmu di dalam kamarmu kan, Nero? Aku lebih suka kau
cepat menikah daripada menyimpan pacarmu di kamar. Setidaknya itu lebih legal.”
Matt tersenyum padanya.
“Tampaknya
aku lupa membawa obat sakit kepala dan obat sakit jiwa. Aku ambil dulu di
kamar.” Nero bergumam pelan, hendak naik lagi ke tangga.
Matt
terbahak. “Dasar kau, Nero! Sini! Aku tak akan menggodamu lagi. Janji!”
Nero
nyengir dan cepat-cepat ke samping Matt. Mereka berempat keluar dari rumah dan
masuk ke dalam mobil untuk makan siang bersama.
Inilah
keluarga Nero. Dan Nero mencintai keluarganya.
***The
Flower Boy Next Door***
Devon
menunggu di depan gerbang rumahnya. Seperti biasa, menunggu Nero untuk muncul
menjemputnya. Dari rumahnya hanya lima belas menit menuju sekolah. Dan nanti di
perjalanan, mereka akan menjemput Vion. Jika bisa memilih, Devon ingin sekali
menyingkirkan Vion, selamanya jika perlu. Karena sejak dia mengenal Nero, Nero
rajin sekali datang menjemputnya. Untungnya, hal itu berpengaruh positif
terhadap berkurangnya keterlambatannya.
Mendesah,
Devon melirik arlojinya. Tak lama lagi Nero akan muncul.
“Yo,”
Nero berteriak di ujung jalan dan berlari mendekatinya. “Morning!”
“Yeah, morning,”
gumam Devon. Devon menatap wajah Nero dan mengerutkan dahi keheranan.
“What?”
Nero balik menatapnya. “Do we have
staring contest now?”
“As if,”
Devon memutar bola matanya. “You look
happy and energetic today.”
Nero
menaikan alisnya. “Excuse me, but I
definetly am happy and energetic everyday.”
“No. Last day and the other days was
a fake.”
Nero
menaikan alisnya. “Whatever, Devon. Come
on, we should run, Vion’s waiting for us.”
“Do we have to do this? I hate that
guy.”
“I like him. Come on.”
Mendesah
pasrah, Devon mengikuti Nero menjemput Vion yang hanya dua blok dari rumahnya.
Vion juga sudah menunggu mereka di depan gerbang dan tersenyum melihat mereka
muncul.
“Pagi,”
sapa Vion.
“Pagi,”
kata Nero dan sengaja menyikut Devon untuk membalas ucapan paginya.
“Pagi,”
gerutu Devon.
Mereka
berjalan menuju sekolah bersama-sama, sambil bercakap-cakap. Devon kadang
menengahi dengan “Hmmm” atau “ya” setiap kali ditanya dan harus berkata “Ouch”
atau “Terserah” jika Nero menyikut atau memelototinya untuk peduli pada Vion.
Kenapa
sih Nero peduli sekali pada Vion? Devon tak habis pikir. Apa tak cukup baginya
berteman dengan orang asing? Sekarang dia malah mempersulit diri dengan orang
asing seperti Vion—yang jelas-jelas tak cocok dengannya. Kenapa malah
memaksakan diri mengobrol dengan Vion? Apa sebenarnya yang direncakanannya?
Begitu
mereka memasuki gerbang, kerumunan sudah muncul di depan gerbang. Devon memutar
bola matanya, bosan melihat manusia yang berkumpul di depannya. Tapi Nero dan
Vion tampak tak terganggu sedikit pun. Kedua orang itu malah mengobrol dengan
seru tentang entah apa itu, karena Devon sama sekali tidak tertarik, dan tidak
melihat kerumunan sedikitpun.
Lalu,
terjadi sesuatu yang mencengangkan. Salah seorang bawahan Niken, jika tak salah
namanya Lisa, berlari menghampiri Niken dan suaranya yang panik terdengar
nyaris di telinga seluruh siswa yang masih berkumpul di depan gerbang.
“Niken,
Nero mendapat nilai sempurna di seluruh mata pelajaran!”
Aku
berhenti melangkah, begitu pula dengan Nero dan Vion. Kami bertiga menatap
Niken yang tampak pucat dan terkejut dengan pemberitahuan yang tiba-tiba ini.
“Bang!”
kata Nero, tangan kanannya membentuk sebuah pistol seolah menembak mati Niken
di tempat. “Knock you out, Niken.”
Oh, boy…
Niken seperti ingin membunuh Nero.
0 komentar:
Posting Komentar