RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 09 Februari 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga)


Debaran Tiga
Di Balik Tirai
Aku deg-degan. Tentu saja seperti itu, karena aku baru saja melihat sosok Pangeran Tampan—empat jam lalu—dalam jarak begitu dekat. Dalam sekejap aku bisa melihat kembali ketampanan wajahnya, bagaimana dia tersenyum menawan, sinar matanya yang lembut, lesung pipinya yang menggemaskan dan bau tubuhnya yang terasa begitu dekat.
Bibirku tersenyum lagi.
“… potong bebek angsa… masak di kuali… nona minta dansa… dansa empat kali…”
Lagu jelek dari ringtone ponselku merusak segalanya. Merengut, aku meraba-raba kantung celana dan mengeluarkan ponselku.
Vion calling…
Dalam sekejap, bibirku kembali tersenyum. Terbayang segera wajah ganteng senior kelas tiga yang cakep dan manis, sopan dan santun, lembut dan bersahaja, lalu berkharisma dan bijaksana. Si Ketua Osis yang aku taksir sejak Ospek tahun lalu: Kak Vion.
Tanpa menunggu lama, aku segera mengangkat teleponnya.
“Halo?”
Cepat-cepat aku berbicara dan tanpa sadar tanganku buru-buru merapikan rambutku sendiri walau aku tahu kalau Kak Vion nggak mungkin bisa melihat penampilanku di tempatnya sana.
“Niken,” kata suara lembut Vion di seberang. “Aku mau mengingatkan lagi soal proposal yang harus kamu siapkan buat rapat bulan ini. Sudah kamu kerjakan kan?”
Sambil mengangguk semangat, aku menjawab, “Sudah.”
“Sekalian jangan lupa juga di-copy, ya, Nik. Nanti pertinggalnya jangan lupa kamu kasih sama aku. Oh, ya, kamu datang jam berapa besok? Besok kamu kan yang menjaga bagian gerbang depan sekolah?”
Sebagai anggota Osis Koordinator Kedisiplinan Siswa, aku bertugas mencatat siswa yang terlambat masuk sekolah, menggantikan tugas guru BP dalam batas-batas tertentu, sekaligus menasehati mereka bahkan berhak memberikan hukuman. Jika siswa telambat sampai lima belas kali, maka bukan lagi pihak Osis yang menangani siswa itu, tapi guru. Dengan begitu, pekerjaan Osis jadi lebih banyak dari pada yang seharusnya.
“Iya, Kak.”
“Kalo gitu, kita ketemu besok aja di depan gerbang ya. Sekalian aku mau lihat apa proposal itu masih ada yang salah atau nggak. Tapi kayaknya itu nggak perlu, deh. Niken kan bisa diandalkan ya?”
Aku benar-benar terbang. TERBANG! Tinggi… tinggi dan semakin tinggi…
Pujian Kak Vion membuatku tak menginjak Bumi lagi.
“Udah ya, Nik.”
Eeeeh? Tunggu…
Trek. Tut. Tut. Tut.
Begitulah Kak Vion. Dia hanya mengucapkan hal-hal yang penting saja dan sama sekali tak ingin mengobrol panjang.
Aku merengut, memonyongkan bibirku dan berjalan menuju meja belajarku.
Di atas meja belajarku tertumpuk buku-buku pelajaranku: kamus bahasa Inggris, KBBI, matematika, fisika, kimia, biologi, kewarganegaraan, novel-novel dan sebuah globe kecil di letakan di atas sana sebagai penghias kecilnya. Ada kaktus kecil juga di sana. Kaktus adalah tanaman yang mudah sekali dirawat karena tidak terlalu butuh perhatian penuh. Oleh sebab itu aku suka merawatnya.
Kamarku tidak terlalu besar. Well, jika dibandingkan dengan kamar teman-temanku, kamarku cukup besar juga sih.
Tempat tidurku ada di tengah ruangan, dengan bagian kepalanya tertempel manis di dinding, berselimut putih, berkayu coklat. Jendela balkonku bertirai putih besar, lembut dan terbang perlahan setelah ditiup semilir angin. Di dekat tempat tidurku juga ada jendela besar—tidak sebesar jendela yang ada di balkon, tapi menghadap ke jendela tetangga yang baru pindah.
Kamar di sebelah sana itu, dulu, ditinggali oleh seorang anak perempuan pesakitan yang akhirnya meninggal dunia. Lalu seluruh keluarganya pindah dari sana. Kadang, jika aku terbangun pada malam hari, aku melihat ada bayang-bayang yang bergerak perlahan di depan jendela. Mungkin saja si anak pesakitan itu masih menghantui kamarnya. Jadi aku bertanya-tanya siapa yang tahan tinggal di kamar berhantu itu.
Belum lagi aku membayangkan itu, jendela kamar itu sudah terbuka dan Nero, si Pangeran Tampan, muncul dari balik jendela sebelah di seberang sana dengan tubuh dan rambut basah sempurna. Posisi tubuhnya condong ke depan, membuka jendela kamar dengan tangan kanannya masih memegangi jendela dan tangan yang satunya memegangi rambutnya yang basah.
Mata coklatnya berkedip saat melihatku dan aku juga melongo bengong melihatnya.
 Well, itu karena cowok itu hanya memakai selembar handuk saja di sana.
Bagian atasnya tidak terbalut selembar kain apapun, menunjukan tubuhnya yang benar-benar atletis, dengan otot-otot sempurna di bagian perut. Dadanya bidang dan basah, dengan tetes-tetes air meluncur turun perlahan bak oasis di padang pasir, jernih sekali. Kulit cowok itu ternyata benar-benar bagus: pucat lembut, bersinar mengalahkan kulitku yang sawo matang—kulitnya Indonesia punya—dengan warna yang sama dari ujung rambut sampai—karena aku hanya melihat sampai sebatas lutut—lututnya dan tidak ada kulit yang tampak belang. Karena baru selesai mandi, wangi dari shampoo-nya menguar ke arahku karena angin menghembusnya dengan lembut.
Aku terlalu terkejut melihatnya. Dan terlalu terpesona melihat makhluk menganggumkan yang sekarang berdiri di depanku dalam jarak kurang lebih setengah meter.
Kemudian, Nero, si Dewa Yunani itu, bergerak perlahan dan tersenyum manis sekali, sehingga aku bisa melihat pesona seksinya seakan dia model yang sering tampil di cover majalah dan diteriaki namanya oleh gadis-gadis cantik yang tergila-gila padanya.
“Geeeeenit,” katanya dari seberang.
Lalu muncullah kesadaranku dalam sekejap. Apa yang kulakukan? Melihat seorang cowok setengah telanjang yang ada di depanku tanpa berkedip! Apa aku sudah gila? Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan kendali seperti itu?
Jantungku berdegup cepat tak karuan sementara aku buru-buru berbalik, memunggungi Nero. Wajahku memanas dan tanganku dengan cepat memegang kedua pipiku. Napasku terasa sesak karena bayangan tubuh Nero tak hilang juga dari kepalaku.
“Niken ternyata suka ngintip ya?” kata Nero lagi.
Tuduhan itu tidak beralasan sebenarnya. Kejadian itu sama sekali tak terduga. Aku sama sekali tak menduga kalau dia adalah orang yang akan tinggal di kamar berhantu itu. Menggerutu, aku berbalik dan mengecak pinggang.
“Ini kamarku!”
“Ini juga kamarku,” balas Nero tenang, sengaja menyisir rambutnya yang basah dan mengedip jenaka lagi. “Kalo gitu ada kesempatan juga melihatmu bertelanjang dada ya?”
Ini sudah sangat kurang ajar. Beraninya tetangga baru itu berkata seperti itu kepadaku! Kuambil buku terdekat yang terjangkau oleh tanganku dan kulempar padanya.
Sayangnya, cowok itu menunduk cepat dan kembali tertawa lagi saat kepalanya muncul.
“Ambil bukunya ke kamarku kalo mau ya?” kata Nero dan dia menghilang di balik jendelanya.
Menyebalkan!
Tanganku mengepal. Ternyata tingkahnya tidak semanis wajahnya. Apa-apaan bergaya seperti itu di kamarnya? Memangnya tak ada kamar mandi ya sampai dia harus berpenampilan seperti itu?
Aku memelototi jendela kamarnya yang masih terbuka dengan kebencian.
“Masih ngintip juga?” kepala Nero muncul dari balik sisi jendela.
“Aku nggak ngintip!” balasku jengkel.
“Kalo gitu balik badan sana,” kata Nero. “Aku mau lepas handuk. Kau mau lihat?”
GRRRRRR! Baru kali ini aku mendapati kebencian seperti ini pada cowok! Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendapati diriku disuruh-suruh di kamarku sendiri, oleh seorang cowok yang baru dikenal. Parahnya, baru saja pindah di sebelah rumahku pula!
“Ups!” kata Nero, dengan sengaja melepas handuknya.
Aku tak tahan lagi. Sambil berteriak jengkel, aku menutup wajah dan berlari keluar kamar sambil memaki-maki dia.
Tawa Nero juga masih menggiringku saat aku kabur menyelamatkan diri.
***The Flower Boy Next Door***
Mungkin, ini perkataan klise. Tapi baru kali ini aku mengalami hal yang seperti ini.
DUNIA INI TERLALU SEMPIT!
Mataku terbelalak sementara mulutku terbuka lebar ketika melihat Nero—si anak tetangga baru brengsek yang tampan dan penuh pesona, berkeliaran di pekarangan sekolah, dengan seragam sekolahku.
Rambut coklatnya disisir rapi penuh gaya, dasinya dilonggarkan, dengan sengaja dia menggulung lengan bajunya, sehingga mau tak mau aku melihat jam tangan Bvlgari-nya yang mahal dan berkilat, begitu pula dengan tattoo kecil yang aku tak tahu bentuknya karena tattoo itu sangat kecil dan ada di bagian dalam pergelangan tangan kirinya sehingga tertutupi dengan rantai jam tangannya.
Semua yang ada pada cowok ini benar-benar bersinar. Wajahnya, pakaiannya, asesorisnya, gayanya, bahkan cara dia berjalan sungguh menarik perhatian.
Senyumnya penuh kemenangan saat melihatku dan matanya berkilat-kilat jahil.
Aku hanya diam membisu melihatnya lewat dari gerbang sekolah.
“Selamat pagi, Niiiiken,” katanya.
Tersadar, aku bertanya setengah takjub. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Dia mengedip saat menjawab, “Aku murid baru di sini.”
Murid baru? Aku sama sekali tak mendengar kabar soal murid baru. Biasanya masalah ini akan dibahas di Osis. Paling tidak ada gosip mengenai kepindahannya. Apalagi yang pindah adalah seorang anak konglomerat, yang kebetulan tampan pula—dan sialnya tinggal di sebelah rumahnku. Ini benar-benar mimpi buruk.
“Bisakah kau mengantarku ke ruang Kepsek? Dia bilang aku harus melapor padanya dulu. Aku tak tahu arahnya, nih.”
Aku baru mengenalnya kemarin. Dan sekarang dia berani menyuruh-nyuruhku lagi? Aku memelototinya dengan kebencian yang tanggung-tanggung sambil mengingat kejadian menyebalkan kemarin. Malam itu aku tidur dengan mimpi buruk mengerikan untuk pertama kalinya walau aku sudah menutup jendela kamarku rapat-rapat.
Wajah Nero mendekat dan aku tak mundur. Dia menunduk menatapku yang hanya sedadanya, lalu tersenyum menawan lagi. “Kenapa? Masih ingat soal kemarin itu, Nona Genit?” bisiknya perlahan.
“Ap—”
“Niken!”
Itu suara Kak Vion. Si Ketua Osis itu berjalan ke arahku. Alisnya menaik saat melihat Nero. Tapi dia cepat-cepat kembali bicara padaku.
“Proposalnya?” kata Vion.
“Oh, itu ada di kelas, Kak,” jawabku cepat. “Nanti aku kasih ke kelas Kakak aja.” Dan dengan begitu aku punya alasan buat bertemu Kak Vion lagi, tambahku dalam hati. Nyaris berbunga-bunga dan tersenyum sendiri seperti orang bodoh.
“Oh, ya udah deh. Sampai jumpa waktu istirahat ya? Aku harus siap-siap buat upacara bendera,” kata Vion. Cowok itu pun melambai dan masuk ke sekolah.
Mataku masih mengikuti sosoknya saat sebuah suara menyebalkan terdengar di dekat telingaku.
“Hmm, boleh juga cowok taksiranmu.”
Jantungku langsung berdetak cepat tak karuan dan keringat dingin membasahi keningku. Dengan cepat aku menjauhi Nero yang dengan tepat bisa membaca perasaanku dan juga tingkahku. Aku tak ingin cowok itu sok tahu dengan kehidupanku. Aku tak ingin Nero masuk ke dalam kehidupanku. Dan aku tak ingin dia ada di dekatku!
Tapi aku melirik was-was padanya.
Cowok itu tampak senang, seolah mendapatkan lotre dengan harga yang begitu tinggi. Dia tersenyum penuh kemenangan, matanya berkedip-kedip dan tangannya digosok bersemangat.
“Sok tahu!” kataku.
Alisnya menaik. “Jadi kau tak naksir dia?”
“Aku nggak—”
“Masa? Kau menatapnya seperti ini tahu nggak?” dan Nero menunjukan ekspresi bahagia layaknya seorang malaikat.
Aku menganga lagi, terlalu terkejut untuk membalas. Apa aku memang bertampang seperti itu saat melihat Kak Vion? Memasang tampang orang bodoh begitu?
Tapi, karena Nero tertawa nyaris menangis, aku seketika menghapus pikiran itu.
Aku, Niken, gadis paling pintar seangkatanku, tak mungkin bertampang seperti itu saat melihat Kak Vion. Itu hanya salah satu tingkah menyebalkan dari cowok tak tahu diri, yang sering bertingkah bodoh karena sering tertawa sendiri, yang ada di sebelahku ini.
Maka, dengan penuh harga diri, aku menarik dasinya.
Nero berhenti tertawa dan menatapku keheranan.
“Aku akan menghapus tawa dari wajahmu yang menyebalkan itu,” bisikku ganas.
Nero mengerjap sesaat dan diam dalam beberapa detik.
Bagus. Kurasa dia mulai merasakan “aura”-ku. Aku, yang merupakan Koordinator Kedisiplinan Siswa, memiliki reputasi tinggi yang sangat kubanggakan dalam mengubah cecunguk tidak tahu diri menjadi orang baik. Tidak ada seorang pun siswa di sekolah ini yang tidak takluk padaku. Dan aku punya integritas tinggi membuat si Flower Boy ini menyesal karena berani menertawakanku dan membalas perbuatannya kemarin.
Tapi, dia akan kuampuni jika meminta maaf.
Masalahnya, Nero seorang murid baru. Dia tidak tahu soal reputasi dan julukanku. Dia juga tak tahu soal sepak terjangku.
Dia tak tahu apapun soal aku.
Jadi, ketika aku menantangnya seperti itu, dia hanya melihat auraku saja dan malah tersenyum nakal dan tidak takut apapun seolah berkata “Emang lo siapa sih?” padaku. Walau para anak buah dan siswa di sekitar kami mundur saat melihat auraku, si Flower Boy baru ini tampak biasa-biasa saja dan tidak tertekan aura hitamku. Lalu, sesuatu hal terjadi, dia berkata dengan nada genit penuh manja yang membuat bulu kudukku merinding.
“Kita lihat saja nanti.”
Nero sudah menantangku berperang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.