8.
Rencana
Gagal
Derren menghela
napas sambil membaca data-data anggota direksi. Pusing.
Jeff dulunya meniti
karir di dunia tinju. Pantas saja dia punya tubuh yang besar. Kemudian, karena
mengalami cedera parah saat pertandingan daerah, dia berhenti dari dunia itu.
Jeff mulai membuka sebuah kantor kecil sampai kemudian dia bertemu dengan Daris
yang mau membantunya membuka usaha sebuah restoran. Entah bagaimana dia
mendapat banyak uang sehingga bisa memiliki saham di Crystal. Setelah
diselidiki lebih lanjut, Jeff merupakan salah satu anak dari seorang pilot
Amerika.
Willy cukup berbeda
dengan Jeff. Walaupun bisa dikatakan kalau Jeff tidak terlalu menyukai manusia,
tapi dia menyukai Willy—yang dulu merupakan temannya di SMP. Berbeda dengan
Jeff, Willy anak yang tidak terlalu menarik perhatian kecuali tubuhnya yang
kecil. Daris berkenalan dengan Willy ketika mereka sama-sama mendapat beasiswa ke Harvard waktu itu. Daris mengakui kalau Willy anak cerdas. Karena itu,
walaupun Willy tidak memiliki saham, Daris memercayakan keuangan padanya.
Ellena sendiri
adalah pengacara. Gadis yang jatuh cinta pada Daris sejak pertama kali bertemu.
Namun Daris tidak pernah menganggapnya. Masih sendiri dengan harta
bergelimpahan. Dia memiliki Ibu tiri dan Ayah yang baik hati. Wanita yang selalu
serius dengan perusahaan dan sibuk setiap saat.
Robert merupakan
laki-laki yang selalu bekerja sama dengan Nico dan Kolas. Mereka sama-sama
membangun perusahaan yang baik dan saling memberikan kritikan yang baik bagi
Daris. Daris selalu mendengar pendapat mereka, menurut Daris, mereka sudah
seperti penasehat untuknya.
Nico dan Kolas
sendiri saudara kembar yang akur. Kolas selalu saja ada dalam bayangan
Nico—yang selalu tampak lebih hebat darinya. Kolas tidak terlalu menyukai
sesuatu yang bertentangan dengan perkataannya. Kolas masuk ke perusahan Crystal
karena adanya Nico. Bisa dikatakan kalan Kolas bekerja atas perintah Nico. Nico
sendiri pernah bekerja di sebuah perusahaan besar bernama Limit Circle Corporation.
Dia mendapat jabatan manager kala itu. Namun entah kenapa perusahaan itu
bangkrut dan direktur perusahaan itu menghilang entah kemana. Kabarnya dia
meninggal dunia. Nico sangat cerdas dan bertanggung jawab dalam setiap
pekerjaannya.
Rhadist adalah
sahabat Daris. Walaupun begitu dia tidak selalu mengetahui apa yang dilakukan
Daris di luar pekerjaan. Rhadist bukan tipikal orang yang membela satu orang,
bisa dikatakan dia mengenal semua pribadi dari setiap anggota Direksi.
Lalu yang menarik
perhatian Derren adalah Dirsa, orang kepercayaan Daris. Sesudah tamat kuliah
dia menjadi karyawan di Crytal. Salah satu manusia cerdas yang suka bekerja
keras. Daris menyukainya sehingga dia bisa langsung masuk ke dalam jabatan
tinggi. Ide-ide yang dia berikan sungguh sangat luar biasa. Kabarnya Dirsa
adalah salah satu anak direktur. Wajar saja jika dia cerdas. Dia tidak bekerja
di perusahaan Ayahnya karena dia ingin menguji kemampuannya di perusahaan lain.
Ayahnya sudah meninggal setelah bercerai dengan Ibunya. Ibunya sendiri menikah
dengan salah satu orang yang cukup terpandang.
Derren menggiggit
bibir. Mereka semua mencurigakan.
“Derren,” Deva
memunculkan kepalanya dari balik pintu. “Makan siang?”
“Nanti aku akan
menyusul,” kata Derren membalikan kertas yang lain.
“Ada surat
untukmu,” kata Deva lagi. “Dari Agen Mike.”
“Ha?” dahi Derren
mengerut. “Aku akan keluar.”
Derren bangkit dari
tempatnya. Dia mengikuti pergerakan Deva menuju pintu depan. Diluar sudah ada
Pak Pos berbaju merah yang menunggu. Sudah tua dan kelihatannya terlalu lelah
untuk naik ke atas sini. Dia memberikan amplop cokelat pada Derren. Berat.
Sepertinya isinya cukup banyak. Derren menandatangani kertas penerimaan dan Pak
Pos segera berlalu.
“Apa isinya?” kata
Deva ingin tahu.
“Sepertinya hanya
kertas,” jawab Derren merobek bagian atas amplop itu. Dia mengambil
berlembar-lembar kertas putih yang ada di dalam. Isinya hanya keterangan
panjang dan tulisan-tulisan hitam di atas kertas putih. Derren membaca sedikit
sebelum mengetahui apa isi kertas itu. “Oh. Ini yang kubutuhkan.”
“Apa itu?” tanya
Deva lagi.
“Data rahasia
Crystal Pertama Group.” Derren menghela napas. “Aku tak makan siang. Kau makan
saja sendirian. Aku mau di kamar seharian ini.”
“Apa? Kau bisa—”
BLAK
Deva menggerutu.
“Ya sudah, berpikir saja di kamar seharian sampai kau mati kelaparan!”
Derren tidak
mendengarkan. Dia membuka kembali robekan amplop itu dan mengeluarkan isinya.
Dia membolak-balik halaman yang akan dia baca.
“Ini dia... Limit
Circle Corporation,” Derren bergumam sambil memperbaiki letak kacamatanya yang
melorot. Entah kenapa dia tiba-tiba jadi bersemangat.
Limit Circle Corporation didirikan seorang diri oleh Vedo
Lenon Syaputra. Perusahaan eksekutif yang maju. Namun fondasi perusahaan
mengalami kepincangan ketika saham perusahaan itu berpindah tangan tanpa
sepengetahuan dari Vedo. Vedo mencoba untuk memperbaiki kesalahan dengan
melakukan investasi besar namun gagal. Perusahaan itu bangkrut dan terjual pada
bank karena hutang yang menumpuk. Kemudian dibeli oleh Daris. Hampir semua
karyawan dari Circle bekerja untuk Crystal. Vedo tidak diketahui lagi
keberadaannya ketika dia menjual seluruh sahamnya yang tersisa pada bank.
Keluarganya juga mengalami kerusakan. Isterinya menikah lagi setelah bercerai
dengannya bersama salah satu orang sukses. Sama halnya dengan Daris, Vedo juga tidak
diketahui kehidupan pribadinya. Saat ini dia diketahui tidak memiliki anak.
“Tunggu dulu,”
Derren mengerutkan dahinya. Dia membolak-balik halaman yang lain. Kali ini dia
mencari daftar nama direksi dan orang-orang yang pernah bekerja sama dengan
Limit Circle serta pernah berhubungan dengan Limit Circle.
Nico, Ellena,
Rhadist...
Derren makin
mengerutkan dahinya. Dia mengambil laptopnya dan cepat-cepat membuka data yang
pernah dikirim Agen Mike padanya. Dying Messagge Nico.
Derren menatap
angka-angka tidak jelas itu beberapa lama. Satu menit... lima menit... sepuluh
menit. Kata-kata Limit Circle dan data-data mengenai Crystal serta hubungan
Daris dengan orang-orang itu berkelebatan di otak Derren. Dia menyusun
pecahan-pecahan puzzle itu di kepalanya dan tiba-tiba mendongak.
“Mungkinkah...”
Derren
mencoret-coret kertas dan tiba-tiba saja tersenyum puas. Ketemu... penjahatnya
ketemu dan uangnya ketemu... kali ini kau tidak bisa lari...
Derren
mengotak-atik laptopnya lagi dan menghubungi salah satu dari daftar nama yang
ada. “Disini Hosea WILDWARE 75403 INA 00726”
Derren menunggu.
“Diterima Gregor,
Mike SKYLIGHT 66021 SPN 33881”
Derren tersenyum
ketika mendengar balasan dari seberang.
“Ada apa, Hosea?”
kata Agen Mike yang ada diseberang. “Kau kelihatan senang sekali. Apa kau
mendapat sesuatu?’
“Ya. Aku tahu
pelakunya dan dimana uang itu disimpan selama ini,” kata Derren.
“Benarkah? Wow, itu
luar biasa!” kata Agen Mike tampak tercengang.
“Aku cuma mau
meminta bantuanmu. Kemungkinan besar Pelakunya akan mengincar nyawa lagi. Kalau
bisa aku minta kau mengawal salah satu anggota Direksi yang kemungkinan akan
dibunuh dalam waktu dekat ini.”
“Kenapa kau yakin
dengan hal itu?” Agen Mike mengerutkan dahinya.
“Pelakunya tidak
hanya mengincar Crsytal. Dia juga berniat untuk balas dendam,” kata Derren.
“Karena buktinya belum terlalu cukup aku akan bertaruh dengan yang satu itu.”
“Bertaruh? Bertaruh
apa?”
“Nyawaku untuk
bukti.”
“Derren, kau tidak
bermaksud menyerahkan nyawamu untuk pelakunya kan?”
Derren tersenyum.
“Ini untuk Ayah.”
***
Dua orang di dalam
mobil sedan hitam itu duduk dalam diam entah sudah berapa lama. Yang ada di
balik setir adalah seorang pria dengan tubuh besar dan lengan kokoh. Dia
memiliki rambut-rambut disekitar wajahnya yang belum di cukur beberapa hari
ini. Matanya tajam dan melihat lurus ke depan. Teman yang disampingnya justru
lebih muda. Laki-laki cantik dengan rambut harajuku. Telinganya dipenuhi dengan
anting yang berkilat-kilat. Tubuhnya kurus dan tinggi.
Laki-laki berwajah
cantik itu menggerakan kepalanya sedikit dan melihat jelas kearah bangunan
tinggi tempat mereka parkir sekarang. Di lantai atas bangunan yang masih
dinyalakan lampu, ada sesosok bayangan yang terlihat menyandarkan diri dekat
dengan kaca jendela. Dia mengambil teropong yang menggantung di lehernya dan
melihat ke atas lagi.
“Itu dia anaknya,”
katanya pada teman yang disebelahnya.
“Kau yakin kalau
itu anak Doktor Daris Harryawan?” kata yang lebih besar. Dia masih belum
menggerakan kepalanya.
“Ya. Dia Hosea
Derren Harryawan. Tidak salah lagi,” kata yang muda melihat ke arah foto yang
tertempel di kaca depan kemudi. “Dia kelihatan jauh lebih kurus dari yang
difoto.”
“Ya, dia anak yang
terlalu banyak berpikir sepertinya.”
Ponsel salah
seorang dari mereka berdering. Yang lebih muda melihat nama yang tertulis di
layar dan mengangkatnya. “Halo? Iya. Hm... roger, Bos.” Dia menutup ponselnya
dan tersenyum. “Anak itu harus ditangkap sesegera mungkin.”
“Oh...”
***
Rabu, 17 Desember 2008
Deva memakan kripik
kentang dengan kaki terangkat ke atas meja dan menatap layar televisi. Di atas
meja sudah tergeletak kulit kacang yang berserakan, minuman kaleng, es krim,
teh botol, snack, cake dan berbagai jenis makanan lain.
“Loh? Kau mau
kemana?” perhatian Deva teralih ketika melihat sosok putih Derren yang berdiri
di depan pintu.
“Jalan-jalan.”
“Aku ikut ya?”
“Kau disini saja.”
Derren mengancingkan jeket putihnya. “Jaga markas sebelum Rai pulang dari Diaz
Restaurant. Dia akan khawatir kalau
tidak ada orang di markas,” tambahnya memakai earphone-nya.
“Kau akan cepat
pulang kan?” Deva memutar kepalanya.
“Kalau lampu
laptopku berwarna merah segera aktifkan layarnya ya. Kau ikuti saja perintah
dari program yang sudah aku buat,” Derren mengacuhkan pertanyaan Deva dan sibuk
mengotak-atik iPod miliknya. “Satu lagi, jika kau tidak mengurangi makan, kau
bisa tambah bulat.”
“Sialan!”
Deva melempar
kacang tepat saat Derren menutup pintu. Terdengar suara tawa Derren di balik
pintu.
“Tumben anak itu
bercanda,” gumam Deva dan kembali menonton.
Derren memasukan
tangannya ke dalam kantong celana. Dia berjalan perlahan melewati lorong
panjang gedung tempat tinggalnya. Langkah kakinya menggema. Maaf, Deva, Rai.
Aku tidak bermaksud membohongi kalian, tapi ini masalahku sendiri dan aku ingin
menyelesaikannya seorang diri dengan caraku sendiri.
Derren masuk ke
dalam lift seorang diri dan keluar juga seorang diri. Langit sudah gelap dengan
bintang yang bertaburan dan meredup. Wajar saja bintangnya meredup, lampu
jalanan lebih terang daripada bintang. Sesekali Derren melihat kesekelilingnya.
Beberapa kali
Derren mengangguk-anggukan kepalanya ketika musik di telinganya mengalunkan
musik kesukaannya. Dia terlihat tenang dan tidak terlalu memperhatikan
sekelilingnya. Laki-laki bertubuh besar yang beberapa hari ini mengawasi
kediamannya berada di belakangnya dan mengawasi gerak-geriknya, hanya beberapa
meter dari tempat Derren berada.
Derren merasa kalau
kantongnya bergetar. Ternyata ponselnya. Derren melihat layar ponselnya. Agen
Mike Gregor. Dahi Derren mengerut.
“Halo,” kata Derren
mengangkat teleponnya.
“Hosea, hentikan
saja rencanamu. Itu berbahaya.”
Derren diam
sejenak.
“Agen Mike, kalau
tidak seperi ini, Ayah tidak akan selamat,” kata Derren.
“Ibumu mengorbankan
nyawanya untuk melihatmu hidup. Sekarang kau malah mempertaruhkan nyawamu di
selembar kaca tipis. Ibumu bisa menangis.”
“Aku tahu,” kata
Derren lagi. “Tapi sama seperti Ibu yang begitu mencintai Ayah, aku juga akan
mengorbankan nyawaku untuk cinta Ayah.”
“Tapi—”
“Maaf, Agen Mike.
Ini sudah jadi keputusanku. Kalau tidak seperti ini tidak akan ada bukti.”
Derren mematikan
ponselnya lalu menghela napas. Dia kembali berjalan melewati jalanan yang
ramai. Kepalanya sibuk berpikir. Berpikir tentang masalah Daris; berpikir
tentang data-data direksi; dying messagge, dan entah apa lagi.
“Derren, Kakek cuma
mau bilang satu hal. Kau itu punya saudara kembar. Hanya saja yang satu
lagi...”
Derren memukul
kepalanya sendiri. Dia mencoba mengingat kata-kata itu. Sudah lima tahun.
“Sudah
meninggal...”
“Oh, maaf.”
Derren meminta maaf
pada orang yang dia tabrak.
“Tidak apa,” kata
laki-laki yang Derren tabrak. Dia tersenyum pada Derren. Derren melewatinya
tanpa melihat wajah orang yang dia tabrak. “Tunggu sebentar.”
“Apa?” Derren
berbalik.
“Hosea Derren
Harryawan, mohon bersedia ikut denganku.”
Dahi Derren
mengerut. Dia menatap laki-laki itu. Laki-laki dengan wajah cantik dan rambut
bergaya harajuku. Ada tindik di hidung dan telinganya.
“Kau siapa? Ada
perlu apa denganku? Dari mana kau tahu namaku?”
Laki-laki itu
tersenyum lagi. Derren menyipitkan matanya.
“Hosea Derren
Harryawan, mohon ikut denganku dengan sukarela dan tanpa banyak bertanya atau
aku akan memakai kekerasan.”
Derren menelan
ludah. Walaupun laki-laki itu tersenyum tapi auranya sempat membuat Derren
takut.
“Jawab dulu satu
pertanyaanku,” kata Derren dengan nada datar.
Laki-laki itu diam
sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
“Kenapa aku harus
ikut denganmu?”
“Untuk menolong
Ayahmu, Doktor Daris Harryawan.”
Orang ini pasti
sudah tahu tentangki. Kalau tidak dia mana mungkin tahu identitasku dengan
santainya. Lagipula aku sudah menghapus arsip dan file penting tentang
identitasku, mustahil ada yang bisa mengambilnya kembali. Kalau ada yang bisa
mengambilnya, dia pasti bukan orang biasa.
“Bagaimana, Hosea
Derren Harryawan?”
“Baiklah. Aku ikut.”
Derren melihat
kalau laki-laki itu tersenyum lagi. Dia melangkahkan kakinya mendekati
Derren—yang mundur seiring dengan langkah laki-laki itu.
“Mohon jangan
bergerak, Hosea Derren Harryawan,” katanya mendekati Derren. “Aku tidak akan
menyakitimu,” dia memasukan tangannya ke kantong jeketnya. “Aku hanya mau
menidurkanmu sebentar.”
Derren merasakan
kalau lehernya terasa disengat sesuatu dan dia tidak ingat apa-apa lagi.
Laki-laki itu menangkap tubuh Derren yang hampir jatuh, salah satu tangannya
memegang semacam suntik. Sebuah mobil berhenti di samping mereka. Dia segera
memasukan tubuh Derren ke dalam mobil dan mobil segera berjalan.
“Selama ini kita
menunggunya keluar dan baru sekarang kita mendapatkannya,” kata laki-laki besar
yang mengemudi mobil. Dia memakai pakaian serba hitam.
“Dia sangat waspada
ya?” timpal laki-laki di belakangnya yang memegangi Derren dengan hati-hati.
Dia menelepon seseorang. “Kami sudah mendapatkannya,” dan segera menutup
teleponnya.
“DERREN!”
Laki-laki di depan
kemudi melihat ke kaca spion. Ada pemuda bersepeda yang mengejar mobil mereka.
Tanpa menunggu perintah, laki-laki itu menginjak gas dalam-dalam dan menambah
kecepatan, meninggalkan pemuda itu sedikit demi sedikit.
“Sial!”
Rai berteriak
kesal. Dia memaki sambil berhenti mengayuh sepedanya. napasnya tersenggal. Di
depan matanya dia melihat Derren diculik tanpa adanya perlawanan. Andai saja
dia tidak bersembunyi untuk melihat apa yang terjadi—karena Derren kelihatan
sangat tenang ketika berhadapan dengan laki-laki itu—hal ini tidak akan
terjadi. Rai mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Derren tapi tidak
diangkat, ditolak dan akhirnya tidak aktif. Rai mengumpat dan menghubungi Deva
dengan terburu-buru sehingga tangannya gemetaran.
“Halo, Rai?”
“Apa yang kau
lakukan? Kenapa kau membiarkannya berkeliaran di luar markas tanpa kawalan dan
pakaian mencolok? Apa kau tak ingat kalau saat ini dia sedang diincar?”
“Aku tak mengerti,
apa yang kau katakan? Kenapa kau tiba-tiba saja marah-marah di telepon?”
Rai memegang
kepalanya yang rasanya hampir mau pecah. “Deva, Rai diculik! Dan ini semua
karena salahmu!” Rai tahu harusnya tidak menyalahkan Deva. Tapi saat ini dia
butuh seseorang untuk disalahkan. Seseorang yang bisa dijadikannya objek
pelampiasan rasa kesalnya.
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Harusnya aku yang
bertanya itu padamu! Kenapa kau membiarkannya keluar seorang diri?” Rai
berteriak. “Aku akan segera ke markas dan menceritakan semuanya!”
Tanpa menunggu
jawaban. Rai menutup ponselnya dan berbalik menuju ke arah markas dengan terburu-buru.
Dia tidak tahu kalau ada yang mengawasinya dari dalam mobil yang terpakir tidak
jauh dari tempatnya.
***
Deva menggigit
kuku-kuku jarinya dengan cemas. Berulang kali dia melihat jam dinding. Rasanya
tiap detik jarum jam itu berputar amat lambat. Padahal baru sekitar lima menit
lalu Rai memberitahukan sambil berteriak-teriak kalau Derren diculik dan Rai
bilang kalau dia akan ke markas. Tapi ini terlalu lambat.
“Ya, ampun...
kenapa jadi begini?”
Deva gelisah. Dia
bangkit dari kursi rodanya dan melihat kearah luar jendela. Pikirannya kacau.
Tingkah Derren hari ini memang aneh sekali. Dia bahkan memberikan ancang-ancang
mengenai laptopnya, seakan dia tahu kalau ini akan terjadi.
Derren sialan! Ini
bukan diluar dugaan! Dasar manusia gila!
Deva memukul tembok
dengan kepalannya. Derren tadi bilang kalau lampu laptopnya berwarna merah
segera aktifkan layar. Itu berarti tanda bahaya sudah dipersiapkan Derren
jauh-jauh hari untuk jaga-jaga. Hanya saat ini lampu laptop tidak menyala
merah.
Apa aku aktifkan
saja ya? Ada kemungkinan Derren tidak bisa mengaktifkan benda ini. Mungkin
tangannya diikat atau malah…
Deva menggeleng
kuat-kuat. Dia sama sekali tidak mau memikirkan masalah itu saat ini. Dia tidak
ingin melihat mayat Derren yang berdarah-darah. Jangan sampai itu terjadi. Deva
membuka laptop itu dan mengeluh kecewa.
PROGRAM MODE
You can’t use any
tool before the signal has been actived
SORRY
“Sudah diprogram
ya?” gumam Deva putus asa. “Kalau begitu laptop ini tidak bisa digunakan tanpa
sinyal Derren. Sial!”
Deva bangkit dan
keluar dari markas karena menurutnya percuma saja menunggu Rai di dalam.
Otaknya panas. Lebih baik dia keluar untuk menghirup udara segar sambil
menunggu kedatangan Rai.
Derren, apa kau
sudah bisa membaca pikiran Pelaku? Tapi kalau kau ditangkap begini, bukankah
itu membahayan dirimu sendiri? Jika nyawamu terancam, harusnya kau mengirim
sinyal kan? Apa kau tidak menganggap keberadaan aku dan Rai?
Kring... kring...
Deva menoleh ke
arah suara lonceng dari sepeda Rai. Deva melihat Rai di ujung jalan. Deva bangkit tepat saat ada mobil yang
menghalangi jalan Rai dan—semuanya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba—beberapa
orang keluar dari dalam mobil itu dan mereka memaksa Rai masuk ke dalam mobil
Oh, my God!
Deva baru sadar
kalau itu penculikan ketika yang tertinggal hanya sepeda Rai yang tergeletak di
atas jalan.
“RAI!”
Deva ternganga
melihat mobil itu melaju pergi meninggalkan dia.
Apa yang sebenarnya
terjadi disini?
***
Derren berkutat.
Dia berusaha melepaskan tangannya yang diborgol di salah satu balok kayu yang
mengaitkan kedua tangannya. Dia melihat dua orang yang menangkapnya malam ini.
Dua orang dengan dua rupa yang sangat bertentangan. Mereka sedang main kartu
dengan asyiknya tanpa mempedulikan aksi Derren. Sepertinya mereka yakin kalau
Derren tidak bakal bisa kabur dengan mudah.
“Apa mau kalian
sebenarnya?” kata Derren.
“Joker! Haha, aku
menang lagi,” kata yang paling muda. Dia menoleh pada Derren dan tersenyum.
“Kami hanya ingin kau di sini sampai
ada pemberitahuan kalau kau bisa bebas.”
“Aku mau pergi
sekarang juga!” Derren keras kepala.
“Tidak boleh,” kata
yang bertubuh besar. Suaranya berat dan serak.
“Ada masalah yang
harus aku urus!” kata Derren lagi. “Kalau tidak akan ada yang mati hari ini!”
“Kami sudah
mengurusnya, Hosea Derren,” kata yang muda lagi. “Atau aku yang mengira begitu.
Apalah itu. Pokoknya kau tidak perlu khawatir. Semuanya akan beres dengan
segera.”
Derren menggigit
bibirnya dan mencoba melepas borgol itu lagi.
“Percuma saja,”
kata yang lebih tua. Dia mengambil kunci yang bergerincing. “Kuncinya ada
disini. Kau tidak akan bisa lari. Kami akan menjagamu semalaman.”
“Aku suka
kata-katamu itu,” kata yang lebih muda. “Ayo main lagi.”
“Aku tidak mau main
lagi. Kita main catur saja.”
“Aku tak bisa main
catur.”
Dan mereka berdua sibuk
dengan permainan yang akan mereka lakukan selanjutnya tanpa mempedulikan
Derren.
***
0 komentar:
Posting Komentar