RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 11 Februari 2013

Derren dan Rai Eps 8


8.
Rencana Gagal
Derren menghela napas sambil membaca data-data anggota direksi. Pusing.
Jeff dulunya meniti karir di dunia tinju. Pantas saja dia punya tubuh yang besar. Kemudian, karena mengalami cedera parah saat pertandingan daerah, dia berhenti dari dunia itu. Jeff mulai membuka sebuah kantor kecil sampai kemudian dia bertemu dengan Daris yang mau membantunya membuka usaha sebuah restoran. Entah bagaimana dia mendapat banyak uang sehingga bisa memiliki saham di Crystal. Setelah diselidiki lebih lanjut, Jeff merupakan salah satu anak dari seorang pilot Amerika.
Willy cukup berbeda dengan Jeff. Walaupun bisa dikatakan kalau Jeff tidak terlalu menyukai manusia, tapi dia menyukai Willy—yang dulu merupakan temannya di SMP. Berbeda dengan Jeff, Willy anak yang tidak terlalu menarik perhatian kecuali tubuhnya yang kecil. Daris berkenalan dengan Willy ketika mereka sama-sama mendapat beasiswa ke Harvard waktu itu. Daris mengakui kalau Willy anak cerdas. Karena itu, walaupun Willy tidak memiliki saham, Daris memercayakan keuangan padanya.
Ellena sendiri adalah pengacara. Gadis yang jatuh cinta pada Daris sejak pertama kali bertemu. Namun Daris tidak pernah menganggapnya. Masih sendiri dengan harta bergelimpahan. Dia memiliki Ibu tiri dan Ayah yang baik hati. Wanita yang selalu serius dengan perusahaan dan sibuk setiap saat.
Robert merupakan laki-laki yang selalu bekerja sama dengan Nico dan Kolas. Mereka sama-sama membangun perusahaan yang baik dan saling memberikan kritikan yang baik bagi Daris. Daris selalu mendengar pendapat mereka, menurut Daris, mereka sudah seperti penasehat untuknya.
Nico dan Kolas sendiri saudara kembar yang akur. Kolas selalu saja ada dalam bayangan Nico—yang selalu tampak lebih hebat darinya. Kolas tidak terlalu menyukai sesuatu yang bertentangan dengan perkataannya. Kolas masuk ke perusahan Crystal karena adanya Nico. Bisa dikatakan kalan Kolas bekerja atas perintah Nico. Nico sendiri pernah bekerja di sebuah perusahaan besar bernama Limit Circle Corporation. Dia mendapat jabatan manager kala itu. Namun entah kenapa perusahaan itu bangkrut dan direktur perusahaan itu menghilang entah kemana. Kabarnya dia meninggal dunia. Nico sangat cerdas dan bertanggung jawab dalam setiap pekerjaannya.
Rhadist adalah sahabat Daris. Walaupun begitu dia tidak selalu mengetahui apa yang dilakukan Daris di luar pekerjaan. Rhadist bukan tipikal orang yang membela satu orang, bisa dikatakan dia mengenal semua pribadi dari setiap anggota Direksi.
Lalu yang menarik perhatian Derren adalah Dirsa, orang kepercayaan Daris. Sesudah tamat kuliah dia menjadi karyawan di Crytal. Salah satu manusia cerdas yang suka bekerja keras. Daris menyukainya sehingga dia bisa langsung masuk ke dalam jabatan tinggi. Ide-ide yang dia berikan sungguh sangat luar biasa. Kabarnya Dirsa adalah salah satu anak direktur. Wajar saja jika dia cerdas. Dia tidak bekerja di perusahaan Ayahnya karena dia ingin menguji kemampuannya di perusahaan lain. Ayahnya sudah meninggal setelah bercerai dengan Ibunya. Ibunya sendiri menikah dengan salah satu orang yang cukup terpandang.
Derren menggiggit bibir. Mereka semua mencurigakan.
“Derren,” Deva memunculkan kepalanya dari balik pintu. “Makan siang?”
“Nanti aku akan menyusul,” kata Derren membalikan kertas yang lain.
“Ada surat untukmu,” kata Deva lagi. “Dari Agen Mike.”
“Ha?” dahi Derren mengerut. “Aku akan keluar.”
Derren bangkit dari tempatnya. Dia mengikuti pergerakan Deva menuju pintu depan. Diluar sudah ada Pak Pos berbaju merah yang menunggu. Sudah tua dan kelihatannya terlalu lelah untuk naik ke atas sini. Dia memberikan amplop cokelat pada Derren. Berat. Sepertinya isinya cukup banyak. Derren menandatangani kertas penerimaan dan Pak Pos segera berlalu.
“Apa isinya?” kata Deva ingin tahu.
“Sepertinya hanya kertas,” jawab Derren merobek bagian atas amplop itu. Dia mengambil berlembar-lembar kertas putih yang ada di dalam. Isinya hanya keterangan panjang dan tulisan-tulisan hitam di atas kertas putih. Derren membaca sedikit sebelum mengetahui apa isi kertas itu. “Oh. Ini yang kubutuhkan.”
“Apa itu?” tanya Deva lagi.
“Data rahasia Crystal Pertama Group.” Derren menghela napas. “Aku tak makan siang. Kau makan saja sendirian. Aku mau di kamar seharian ini.”
“Apa? Kau bisa—”
BLAK
Deva menggerutu. “Ya sudah, berpikir saja di kamar seharian sampai kau mati kelaparan!”
Derren tidak mendengarkan. Dia membuka kembali robekan amplop itu dan mengeluarkan isinya. Dia membolak-balik halaman yang akan dia baca.
“Ini dia... Limit Circle Corporation,” Derren bergumam sambil memperbaiki letak kacamatanya yang melorot. Entah kenapa dia tiba-tiba jadi bersemangat.
Limit Circle Corporation didirikan seorang diri oleh Vedo Lenon Syaputra. Perusahaan eksekutif yang maju. Namun fondasi perusahaan mengalami kepincangan ketika saham perusahaan itu berpindah tangan tanpa sepengetahuan dari Vedo. Vedo mencoba untuk memperbaiki kesalahan dengan melakukan investasi besar namun gagal. Perusahaan itu bangkrut dan terjual pada bank karena hutang yang menumpuk. Kemudian dibeli oleh Daris. Hampir semua karyawan dari Circle bekerja untuk Crystal. Vedo tidak diketahui lagi keberadaannya ketika dia menjual seluruh sahamnya yang tersisa pada bank. Keluarganya juga mengalami kerusakan. Isterinya menikah lagi setelah bercerai dengannya bersama salah satu orang sukses. Sama halnya dengan Daris, Vedo juga tidak diketahui kehidupan pribadinya. Saat ini dia diketahui tidak memiliki anak.
“Tunggu dulu,” Derren mengerutkan dahinya. Dia membolak-balik halaman yang lain. Kali ini dia mencari daftar nama direksi dan orang-orang yang pernah bekerja sama dengan Limit Circle serta pernah berhubungan dengan Limit Circle.
Nico, Ellena, Rhadist...
Derren makin mengerutkan dahinya. Dia mengambil laptopnya dan cepat-cepat membuka data yang pernah dikirim Agen Mike padanya. Dying Messagge Nico.
Derren menatap angka-angka tidak jelas itu beberapa lama. Satu menit... lima menit... sepuluh menit. Kata-kata Limit Circle dan data-data mengenai Crystal serta hubungan Daris dengan orang-orang itu berkelebatan di otak Derren. Dia menyusun pecahan-pecahan puzzle itu di kepalanya dan tiba-tiba mendongak.
“Mungkinkah...”
Derren mencoret-coret kertas dan tiba-tiba saja tersenyum puas. Ketemu... penjahatnya ketemu dan uangnya ketemu... kali ini kau tidak bisa lari...
Derren mengotak-atik laptopnya lagi dan menghubungi salah satu dari daftar nama yang ada. “Disini Hosea WILDWARE 75403 INA 00726”
Derren menunggu.
“Diterima Gregor, Mike SKYLIGHT 66021 SPN 33881”
Derren tersenyum ketika mendengar balasan dari seberang.
“Ada apa, Hosea?” kata Agen Mike yang ada diseberang. “Kau kelihatan senang sekali. Apa kau mendapat sesuatu?’
“Ya. Aku tahu pelakunya dan dimana uang itu disimpan selama ini,” kata Derren.
“Benarkah? Wow, itu luar biasa!” kata Agen Mike tampak tercengang.
“Aku cuma mau meminta bantuanmu. Kemungkinan besar Pelakunya akan mengincar nyawa lagi. Kalau bisa aku minta kau mengawal salah satu anggota Direksi yang kemungkinan akan dibunuh dalam waktu dekat ini.”
“Kenapa kau yakin dengan hal itu?” Agen Mike mengerutkan dahinya.
“Pelakunya tidak hanya mengincar Crsytal. Dia juga berniat untuk balas dendam,” kata Derren. “Karena buktinya belum terlalu cukup aku akan bertaruh dengan yang satu itu.”
“Bertaruh? Bertaruh apa?”
“Nyawaku untuk bukti.”
“Derren, kau tidak bermaksud menyerahkan nyawamu untuk pelakunya kan?”
Derren tersenyum. “Ini untuk Ayah.”
***
Dua orang di dalam mobil sedan hitam itu duduk dalam diam entah sudah berapa lama. Yang ada di balik setir adalah seorang pria dengan tubuh besar dan lengan kokoh. Dia memiliki rambut-rambut disekitar wajahnya yang belum di cukur beberapa hari ini. Matanya tajam dan melihat lurus ke depan. Teman yang disampingnya justru lebih muda. Laki-laki cantik dengan rambut harajuku. Telinganya dipenuhi dengan anting yang berkilat-kilat. Tubuhnya kurus dan tinggi.
Laki-laki berwajah cantik itu menggerakan kepalanya sedikit dan melihat jelas kearah bangunan tinggi tempat mereka parkir sekarang. Di lantai atas bangunan yang masih dinyalakan lampu, ada sesosok bayangan yang terlihat menyandarkan diri dekat dengan kaca jendela. Dia mengambil teropong yang menggantung di lehernya dan melihat ke atas lagi.
“Itu dia anaknya,” katanya pada teman yang disebelahnya.
“Kau yakin kalau itu anak Doktor Daris Harryawan?” kata yang lebih besar. Dia masih belum menggerakan kepalanya.
“Ya. Dia Hosea Derren Harryawan. Tidak salah lagi,” kata yang muda melihat ke arah foto yang tertempel di kaca depan kemudi. “Dia kelihatan jauh lebih kurus dari yang difoto.”
“Ya, dia anak yang terlalu banyak berpikir sepertinya.”
Ponsel salah seorang dari mereka berdering. Yang lebih muda melihat nama yang tertulis di layar dan mengangkatnya. “Halo? Iya. Hm... roger, Bos.” Dia menutup ponselnya dan tersenyum. “Anak itu harus ditangkap sesegera mungkin.”
“Oh...”
***
Rabu, 17 Desember 2008
Deva memakan kripik kentang dengan kaki terangkat ke atas meja dan menatap layar televisi. Di atas meja sudah tergeletak kulit kacang yang berserakan, minuman kaleng, es krim, teh botol, snack, cake dan berbagai jenis makanan lain.
“Loh? Kau mau kemana?” perhatian Deva teralih ketika melihat sosok putih Derren yang berdiri di depan pintu.
“Jalan-jalan.”
“Aku ikut ya?”
“Kau disini saja.” Derren mengancingkan jeket putihnya. “Jaga markas sebelum Rai pulang dari Diaz Restaurant.  Dia akan khawatir kalau tidak ada orang di markas,” tambahnya memakai earphone-nya.
“Kau akan cepat pulang kan?” Deva memutar kepalanya.
“Kalau lampu laptopku berwarna merah segera aktifkan layarnya ya. Kau ikuti saja perintah dari program yang sudah aku buat,” Derren mengacuhkan pertanyaan Deva dan sibuk mengotak-atik iPod miliknya. “Satu lagi, jika kau tidak mengurangi makan, kau bisa tambah bulat.”
“Sialan!”
Deva melempar kacang tepat saat Derren menutup pintu. Terdengar suara tawa Derren di balik pintu.
“Tumben anak itu bercanda,” gumam Deva dan kembali menonton.
Derren memasukan tangannya ke dalam kantong celana. Dia berjalan perlahan melewati lorong panjang gedung tempat tinggalnya. Langkah kakinya menggema. Maaf, Deva, Rai. Aku tidak bermaksud membohongi kalian, tapi ini masalahku sendiri dan aku ingin menyelesaikannya seorang diri dengan caraku sendiri.
Derren masuk ke dalam lift seorang diri dan keluar juga seorang diri. Langit sudah gelap dengan bintang yang bertaburan dan meredup. Wajar saja bintangnya meredup, lampu jalanan lebih terang daripada bintang. Sesekali Derren melihat kesekelilingnya.
Beberapa kali Derren mengangguk-anggukan kepalanya ketika musik di telinganya mengalunkan musik kesukaannya. Dia terlihat tenang dan tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya. Laki-laki bertubuh besar yang beberapa hari ini mengawasi kediamannya berada di belakangnya dan mengawasi gerak-geriknya, hanya beberapa meter dari tempat Derren berada.
Derren merasa kalau kantongnya bergetar. Ternyata ponselnya. Derren melihat layar ponselnya. Agen Mike Gregor. Dahi Derren mengerut.
“Halo,” kata Derren mengangkat teleponnya.
“Hosea, hentikan saja rencanamu. Itu berbahaya.”
Derren diam sejenak.
“Agen Mike, kalau tidak seperi ini, Ayah tidak akan selamat,” kata Derren.
“Ibumu mengorbankan nyawanya untuk melihatmu hidup. Sekarang kau malah mempertaruhkan nyawamu di selembar kaca tipis. Ibumu bisa menangis.”
“Aku tahu,” kata Derren lagi. “Tapi sama seperti Ibu yang begitu mencintai Ayah, aku juga akan mengorbankan nyawaku untuk cinta Ayah.”
“Tapi—”
“Maaf, Agen Mike. Ini sudah jadi keputusanku. Kalau tidak seperti ini tidak akan ada bukti.”
Derren mematikan ponselnya lalu menghela napas. Dia kembali berjalan melewati jalanan yang ramai. Kepalanya sibuk berpikir. Berpikir tentang masalah Daris; berpikir tentang data-data direksi; dying messagge, dan entah apa lagi.
“Derren, Kakek cuma mau bilang satu hal. Kau itu punya saudara kembar. Hanya saja yang satu lagi...”
Derren memukul kepalanya sendiri. Dia mencoba mengingat kata-kata itu. Sudah lima tahun.
“Sudah meninggal...”
“Oh, maaf.”
Derren meminta maaf pada orang yang dia tabrak.
“Tidak apa,” kata laki-laki yang Derren tabrak. Dia tersenyum pada Derren. Derren melewatinya tanpa melihat wajah orang yang dia tabrak. “Tunggu sebentar.”
“Apa?” Derren berbalik.
“Hosea Derren Harryawan, mohon bersedia ikut denganku.”
Dahi Derren mengerut. Dia menatap laki-laki itu. Laki-laki dengan wajah cantik dan rambut bergaya harajuku. Ada tindik di hidung dan telinganya.
“Kau siapa? Ada perlu apa denganku? Dari mana kau tahu namaku?”
Laki-laki itu tersenyum lagi. Derren menyipitkan matanya.
“Hosea Derren Harryawan, mohon ikut denganku dengan sukarela dan tanpa banyak bertanya atau aku akan memakai kekerasan.”
Derren menelan ludah. Walaupun laki-laki itu tersenyum tapi auranya sempat membuat Derren takut.
“Jawab dulu satu pertanyaanku,” kata Derren dengan nada datar.
Laki-laki itu diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
“Kenapa aku harus ikut denganmu?”
“Untuk menolong Ayahmu, Doktor Daris Harryawan.”
Orang ini pasti sudah tahu tentangki. Kalau tidak dia mana mungkin tahu identitasku dengan santainya. Lagipula aku sudah menghapus arsip dan file penting tentang identitasku, mustahil ada yang bisa mengambilnya kembali. Kalau ada yang bisa mengambilnya, dia pasti bukan orang biasa.
“Bagaimana, Hosea Derren Harryawan?”
“Baiklah. Aku ikut.”
Derren melihat kalau laki-laki itu tersenyum lagi. Dia melangkahkan kakinya mendekati Derren—yang mundur seiring dengan langkah laki-laki itu.
“Mohon jangan bergerak, Hosea Derren Harryawan,” katanya mendekati Derren. “Aku tidak akan menyakitimu,” dia memasukan tangannya ke kantong jeketnya. “Aku hanya mau menidurkanmu sebentar.”
Derren merasakan kalau lehernya terasa disengat sesuatu dan dia tidak ingat apa-apa lagi. Laki-laki itu menangkap tubuh Derren yang hampir jatuh, salah satu tangannya memegang semacam suntik. Sebuah mobil berhenti di samping mereka. Dia segera memasukan tubuh Derren ke dalam mobil dan mobil segera berjalan.
“Selama ini kita menunggunya keluar dan baru sekarang kita mendapatkannya,” kata laki-laki besar yang mengemudi mobil. Dia memakai pakaian serba hitam.
“Dia sangat waspada ya?” timpal laki-laki di belakangnya yang memegangi Derren dengan hati-hati. Dia menelepon seseorang. “Kami sudah mendapatkannya,” dan segera menutup teleponnya.
“DERREN!”
Laki-laki di depan kemudi melihat ke kaca spion. Ada pemuda bersepeda yang mengejar mobil mereka. Tanpa menunggu perintah, laki-laki itu menginjak gas dalam-dalam dan menambah kecepatan, meninggalkan pemuda itu sedikit demi sedikit.
“Sial!”
Rai berteriak kesal. Dia memaki sambil berhenti mengayuh sepedanya. napasnya tersenggal. Di depan matanya dia melihat Derren diculik tanpa adanya perlawanan. Andai saja dia tidak bersembunyi untuk melihat apa yang terjadi—karena Derren kelihatan sangat tenang ketika berhadapan dengan laki-laki itu—hal ini tidak akan terjadi. Rai mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Derren tapi tidak diangkat, ditolak dan akhirnya tidak aktif. Rai mengumpat dan menghubungi Deva dengan terburu-buru sehingga tangannya gemetaran.
“Halo, Rai?”
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membiarkannya berkeliaran di luar markas tanpa kawalan dan pakaian mencolok? Apa kau tak ingat kalau saat ini dia sedang diincar?”
“Aku tak mengerti, apa yang kau katakan? Kenapa kau tiba-tiba saja marah-marah di telepon?”
Rai memegang kepalanya yang rasanya hampir mau pecah. “Deva, Rai diculik! Dan ini semua karena salahmu!” Rai tahu harusnya tidak menyalahkan Deva. Tapi saat ini dia butuh seseorang untuk disalahkan. Seseorang yang bisa dijadikannya objek pelampiasan rasa kesalnya.
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Harusnya aku yang bertanya itu padamu! Kenapa kau membiarkannya keluar seorang diri?” Rai berteriak. “Aku akan segera ke markas dan menceritakan semuanya!”
Tanpa menunggu jawaban. Rai menutup ponselnya dan berbalik menuju ke arah markas dengan terburu-buru. Dia tidak tahu kalau ada yang mengawasinya dari dalam mobil yang terpakir tidak jauh dari tempatnya.
***
Deva menggigit kuku-kuku jarinya dengan cemas. Berulang kali dia melihat jam dinding. Rasanya tiap detik jarum jam itu berputar amat lambat. Padahal baru sekitar lima menit lalu Rai memberitahukan sambil berteriak-teriak kalau Derren diculik dan Rai bilang kalau dia akan ke markas. Tapi ini terlalu lambat.
“Ya, ampun... kenapa jadi begini?”
Deva gelisah. Dia bangkit dari kursi rodanya dan melihat kearah luar jendela. Pikirannya kacau. Tingkah Derren hari ini memang aneh sekali. Dia bahkan memberikan ancang-ancang mengenai laptopnya, seakan dia tahu kalau ini akan terjadi.
Derren sialan! Ini bukan diluar dugaan! Dasar manusia gila!
Deva memukul tembok dengan kepalannya. Derren tadi bilang kalau lampu laptopnya berwarna merah segera aktifkan layar. Itu berarti tanda bahaya sudah dipersiapkan Derren jauh-jauh hari untuk jaga-jaga. Hanya saat ini lampu laptop tidak menyala merah.
Apa aku aktifkan saja ya? Ada kemungkinan Derren tidak bisa mengaktifkan benda ini. Mungkin tangannya diikat atau malah…
Deva menggeleng kuat-kuat. Dia sama sekali tidak mau memikirkan masalah itu saat ini. Dia tidak ingin melihat mayat Derren yang berdarah-darah. Jangan sampai itu terjadi. Deva membuka laptop itu dan mengeluh kecewa.
PROGRAM MODE
You can’t use any tool before the signal has been actived
SORRY
“Sudah diprogram ya?” gumam Deva putus asa. “Kalau begitu laptop ini tidak bisa digunakan tanpa sinyal Derren. Sial!”
Deva bangkit dan keluar dari markas karena menurutnya percuma saja menunggu Rai di dalam. Otaknya panas. Lebih baik dia keluar untuk menghirup udara segar sambil menunggu kedatangan Rai.
Derren, apa kau sudah bisa membaca pikiran Pelaku? Tapi kalau kau ditangkap begini, bukankah itu membahayan dirimu sendiri? Jika nyawamu terancam, harusnya kau mengirim sinyal kan? Apa kau tidak menganggap keberadaan aku dan Rai?
Kring... kring...
Deva menoleh ke arah suara lonceng dari sepeda Rai. Deva melihat Rai di ujung jalan. Deva bangkit tepat saat ada mobil yang menghalangi jalan Rai dan—semuanya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba—beberapa orang keluar dari dalam mobil itu dan mereka memaksa Rai masuk ke dalam mobil
Oh, my God!
Deva baru sadar kalau itu penculikan ketika yang tertinggal hanya sepeda Rai yang tergeletak di atas jalan.
“RAI!”
Deva ternganga melihat mobil itu melaju pergi meninggalkan dia.
Apa yang sebenarnya terjadi disini?
***
Derren berkutat. Dia berusaha melepaskan tangannya yang diborgol di salah satu balok kayu yang mengaitkan kedua tangannya. Dia melihat dua orang yang menangkapnya malam ini. Dua orang dengan dua rupa yang sangat bertentangan. Mereka sedang main kartu dengan asyiknya tanpa mempedulikan aksi Derren. Sepertinya mereka yakin kalau Derren tidak bakal bisa kabur dengan mudah.
“Apa mau kalian sebenarnya?” kata Derren.
“Joker! Haha, aku menang lagi,” kata yang paling muda. Dia menoleh pada Derren dan tersenyum. “Kami hanya ingin kau di sini sampai ada pemberitahuan kalau kau bisa bebas.”
“Aku mau pergi sekarang juga!” Derren keras kepala.
“Tidak boleh,” kata yang bertubuh besar. Suaranya berat dan serak.
“Ada masalah yang harus aku urus!” kata Derren lagi. “Kalau tidak akan ada yang mati hari ini!”
“Kami sudah mengurusnya, Hosea Derren,” kata yang muda lagi. “Atau aku yang mengira begitu. Apalah itu. Pokoknya kau tidak perlu khawatir. Semuanya akan beres dengan segera.”
Derren menggigit bibirnya dan mencoba melepas borgol itu lagi.
“Percuma saja,” kata yang lebih tua. Dia mengambil kunci yang bergerincing. “Kuncinya ada disini. Kau tidak akan bisa lari. Kami akan menjagamu semalaman.”
“Aku suka kata-katamu itu,” kata yang lebih muda. “Ayo main lagi.”
“Aku tidak mau main lagi. Kita main catur saja.”
“Aku tak bisa main catur.”
Dan mereka berdua sibuk dengan permainan yang akan mereka lakukan selanjutnya tanpa mempedulikan Derren.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.