RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 05 Februari 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua)


Debaran Dua
First Meet
“I choose this one.”
Nero mengalihkan pandangannya dari luar jendela besar yang menghadap ke pekarangan belakang yang penuh bunga.
“Baiklah. Jika Nero memang menyukai kamar ini, maka Mama akan mengambil kamar utama,” ucap wanita cantik yang berdiri di depan pintu. “Ageha pilih kamar yang mana?”
Ageha, yang berlari-lari di kamar yang masih kosong itu, berhenti mendadak lalu berkata, “This one!”
Nero terbahak-bahak mendengarnya.
“No, no, Darling. This one is your brother’s,” ucap Mamanya sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
Ageha merengut.
“I’ll get another, Mom,” kata Nero.
“It’s okay,” ucap Ageha lagi. Lalu sambil menggandeng tangan Mamanya, mereka keluar mencari kamar lain.
Nero tersenyum kecil, mengamati tubuh kecil Ageha.
“We’ll be seeing you at lunch, Darling,” kata Mama.
“Ok, Mom.”
Kamar yang dipilih Nero benar-benar luas. Lantainya berkeramik putih porselain seperti piano kesayangannya. Dindingnya berwarna putih kebiruan dengan langit-langit berwarna perak. Ada jendela besar menghadap ke balkon yang berkilau dengan penyangga putih yang kokoh. Untuk mencapai balkon, dia harus menuruni undakan kecil yang sengaja dibuat, seolah menunjukan ada ruangan yang terpisah antara ruang tidur dan ruang santai.
Melihat ruangan itu membuat Nero memikirkan seperti apa kamarnya.
Terdengar ketukan ringan dari pintu kamarnya yang terbuka.
“Tuan Muda, barang-barang Anda akan diletakan di mana?”
Ada beberapa pekerja yang menunggu di luar.
Tersenyum kecil, Nero bergerak dari tempatnya dan memerintahkan penempatan barang-barangnya. Tempat tidurnya diletakan di atas undakan dekat jendela panjang kecil yang membebaskannya untuk melihat langit malam. Lemari pakaiannya merapat ke dinding dekat pintu kamar mandi. Meja belajarnya berada di dekat jendela balkon. Lemari-lemari bukunya juga diletakan di pinggiran dinding.
Televisi, loudspeaker, VCD/DVD player dan peralatan elektronik lainnya ada di tengah ruangan, dekat undakan kecil. Di depannya disusun bantak-bantal besar empuk dan sebuah karpet lembut tempat dia biasanya menghabiskan waktu untuk membaca atau hanya sekadar mendengarkan lagi.
Dan ada kotak-kotak kardus lain yang sengaja disusun di sudut ruangannya.
“Tuan Muda tidak ingin dibantu?” tanya salah seorang pekerja yang khawatir melihat banyaknya kardus yang ada di kamarnya.
“Tidak apa. Aku akan menyusunnya sendiri.”
Maka sambil memberikan tatapan khawatir, mereka pun keluar dari kamarnya satu per satu.
Setelah dia ditinggal sendiri, Nero mengganti pakaiannya dengan yang lebih normal: kaos dan celana jeans berpotongan longgar. Dengan cepat dia membuka kardus-kardus yang sudah dilabeli namanya. Kebanyakan barang-barang itu berupa buku-buku favoritnya, CD album dari beberapa musisi dan film, baju-baju resmi dan seragamnya, album-album foto, globe, lukisan-lukisan kecil, jam dinding, kalender meja, bola basket, sepatu dan lain sebagainya.
Semuanya itu dia susun, satu per satu, dengan sabar dan rapi, di tempat yang diinginkannya.
Dia masih menyusun dua kardus bukunya saat mendengar suara langkah kaki kecil Ageha.
“Lunch time!” teriak Ageha.
Nero segera beranjak turun, menggendong Ageha dengan sayang.
“Kita makan di luar , Sayang,” kata Mamanya saat mereka mendekat. “Sekalian kita sapa seluruh tetangga kita.”
Alis Nero menaik. Dia tidak suka mengenai rencana itu.
“Mama mengerti kamu tidak suka, Nero. Tapi kali ini temani Mama ya?” Mamanya buru-buru menambahkan.
“Aku tak harus mengucapkan apapun kan?”
Mamanya menggeleng. “Tidak usah. Biar Mama saja yang bicara dan menangani mereka. Kamu bantu Mama menjaga Ageha saja.”
Nero pun setuju.
Pekerjaan menyapa tetangga merupakan hal yang paling membosankan. Setiap kali melewati acara ritual itu, para orang tua biasanya tak bisa berkedip melihatnya. Dan jika mereka sudah sadar, maka mereka akan berubah menjadi ramah dan sok kenal. Lalu, seakan baru berteman lama yang sudah lima puluh tahun menghilang, mereka akan menjadi cerewet dan banyak tanya.
Nero melirik Ageha di gendongannya. Ageha mengedip padanya. Nero balas mengedip.
“Abang lucu, deh,” kikik Ageha dan Nero menghadiahkannya sebuah ciuman lembut di pipi.
Sang supir yang dipaksa ikut memerhatikan keakraban kedua saudara itu dari belakang sambil tersenyum. Jarang sekali baginya melihat keakraban mereka karena sang Tuan Muda lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Sementara itu Nona Mudanya selalu ikut kemana pun Nero pergi. Itu artinya, mereka lebih sering menghabiskan waktu di kamar.
Nero berusia enam belas tahun. Anak muda itu bertubuh tinggi dengan postur tubuh idaman wanita: tubuh tegak, bahu lebar, dada bidang, pinggang ramping, otot tangan sempurna dan langkahnya tegap dengan tatapan mata lurus ke depan. Wajahnya tampan luar biasa, yang diwariskan oleh Papanya yang memang tampan sekali. Dengan hidung lurus yang berbelok lembut, matanya yang bulat jenaka berwarna coklat dan lesung pipinya saat dia tersenyum, membuat orang tak bisa mengalihkan pandangan darinya. Rambutnya berwarna coklat seperti Mamanya yang cantik jelita, berpotongan pendek, bergaya sederhana, tapi mampu meningkatkan citranya yang rupawan.
Sedangkan sang Nona Muda berusia lima tahun. Tahun ini dia akan berusia enam tahun. Tubuhnya mungil dengan kulit putih bersinar. Bola matanya besar dengan bulu mata panjang dan teduh. Hidungnya kecil dan pipinya penuh seperti buah persik. Rambutnya berwarna hitam pekat bergelombang indah dengan pita-pita yang diikat manis.
Apabila kedua saudara ini bersama maka orang-orang tak akan henti memandangi mereka. Karena sekali keakraban, mereka juga memberikan aura saling sayang antara satu dengan yang lain.
Mama mereka bernama Jennifer. Seorang wanita lembut cantik jelita. Semua kelebihan dan kesempurnaan wanita rasanya berada pada wanita itu. Dia cantik, berambut coklat lurus sepanjang bahu. Tubuhnya tinggi langsing. Senyumnya penuh sopan santun. Matanya selalu lembut menatap. Dan dia seorang wanita berpendidikan tinggi.
Jennifer seorang yang sabar dalam mendidik anak-anaknya dan anak-anaknya juga sangat menyayanginya. Mereka hidup sempurna dan tidak berkekurangan. Ditambah dengan banyaknya uang dan betapa makmur kehidupan mereka, orang-orang hanya berperinsip bahwa itu hanya bonus yang sesuai untuk wanita luar biasa sepertinya.
Papa Tuan Muda Nero dan Nona Muda Ageha bernama Matt. Saat ini beliau sedang sibuk mengurus bisnisnya di Prancis sana dan tidak punya waktu untuk mengurus kepindahan yang tidak terduga ini. Bahkan, beliau sudah tidak pulang selama dua minggu ini. Kabarnya ada sedikit masalah di sana dan dia meminta pengertian pada keluarganya untuk menunggunya di Indonesia.
Benar sekali, keluarga bahagia nan sempurna ini pindah bukan karena rencana yang sudah disusun matang namun karena hal tak terduga. Terjadi sesuatu di Jerman, tempat mereka dulu tinggal—setidaknya sekitar seminggu lalu, dan karena masalah itu, maka Matt memutuskan untuk memindahkan keluarganya ke Indonesia.
Dengan cepat asistennya bekerja: mencari rumah di Indonesia sesuai dengan selera keluarganya, memesan tiket dan mengurus kepindahan—yang jelas-jelas bukan pekerjaan gampang, menjual barang-barang yang ada di rumah mereka di Jerman, lalu membeli barang-barang baru untuk di isi di rumah baru dan mengurus kepindahan sekolah Nero. Semuanya itu dilaksanakan dalam waktu satu minggu.
Tentunya, seorang konglomerat bisa melakukan hal itu dalam waktu singkat.
Jennifer memencet bel saat mereka ada di depan pintu gerbang sebuah rumah. Pintu dibuka tak lama dan setelah berbasa-basi sedikit dan memerkenalkan diri bahwa mereka tetangga baru, Jennifer pun memberikan bingkisan atas kehadiran mereka: sekotak brownies harum.
Ritual seperti ini biasanya memakan waktu lima menit setiap rumah, sehingga Ageha sering menjerit-jerit kepanasan karena terik matahari. Oleh sebab itu, Nero-lah yang bertugas mengamankan Ageha. Kadang Nero mengangkatnya ke bahunya, kadang posisinya berubah memeluk gadis mungil itu, kadang diletakan ke bawah sambil memegangi tangannya, kadang malah sengaja bermain tossing in air. Semuanya dilakukan untuk membuat Ageha bertahan.
Akhirnya, mereka tiba di rumah terakhir, tetangga di sebelah kiri rumah mereka. Berbeda dengan komplek perumahan sekitarnya yang rumah-rumahnya tampak kaya dan memamerkan kemewahan, rumah yang satu ini memang lain sendiri.
Rumah itu tampak sederhana, bertingkat dua dengan desain kotak-kotak berseni. Di bagian kiri ada bangunan bundar layaknya telur, berjaring-jaring hitam. Ada jendela besar di lantai duanya dan tangga menjulur perlahan di bagian belakang telur itu. Di sebelah telur itu ada bangunan memanjang dengan jendela-jendela bundar berkesan rumah Hobbit, di bagian pinggirnya malah sengaja dimiringkan seolah rumah itu Menara Pisa. Sebuah pintu apik perak tertempel di pinggiran miring itu.
Halaman rumah itu luas, walau tak seluas halaman rumah mereka, tapi mampu menampung dua buah mobil ke garasi berbentuk kotak yang sengaja di asingkan di sebelah kanan dan dibentuk seperti sebuah oven. Dua buah pohon beringin besar menjadi penghias unik di depan rumah, dengan tiduran gantung berwarna merah cerah. Lampu tamannya juga tampak unik: sebuah lentera putih yang digantung di pohon.
Rumah ini luar biasa. Untuk sejenak Nero terkesan.
“Mungkin pemilik rumah ini seorang arsitek ya?” kata Jennifer menatap Nero. “Mama suka sekali modelnya.”
Nero tidak menjawab dan memilih menenangkan Ageha yang ingin turun dan memasuki rumah itu karena baru saja ada seekor anjing yang lewat di tamannya.
Jennifer memencet bel. Bel itu berbunyi nyaring ke sekeliling rumah itu dengan lembut laksana lonceng gereja. Tak lama terdengar langkah kaki dan seorang gadis membuka pintu.
Gadis itu berkacamata, berambut panjang hitam yang diikat kepang dua seksi karena dia hanya melilitkan ikatannya pada sedikit bagian rambutnya. Matanya bulat berwarna hitam jernih tapi tampak cerdasr dengan bibir mungil dan wajah yang kecil.
“Ya?” katanya dengan suara serak basah.
“Selamat siang,” Jennifer memulai pidato yang sama. “Kami tetangga sebelah yang tepat pindah di sebelah rumahmu. Kami harap kalian bisa menerima kami di lingkungan ini. Ini ada sedikit oleh-oleh.”
Jennifer mengambil kotak brownies dari tangan sopir dan memberikannya pada gadis itu.
Nero memandangi gadis itu dari atas sampai ke bawah sementara gadis itu bercakap-cakap dengan Jennifer.
Gadis itu mengenakan kaos longgar tipis berwarna hijau sehingga baju dalamnya yang berwarna merah sampai ke pinggang masih bisa dia lihat. Bercelana coklat sepanjang dengkul dengan kancing-kancing dan tali-tali yang modelnya baru pertama kali dia lihat. Dan ada tato kecil di mata kaki gadis itu.
“Namaku Niken, Tante. Papa sama Mama sedang nggak ada di rumah. Abang juga nggak ada di rumah.”
Jennifer menarik Nero. “Ini anak Tante. Namanya Nero. Yang kecil namanya Ageha. Baik-baik sama mereka ya?”
Niken menatap Nero sedetik, lalu berkata, “Halo.” Tapi saat melihat Ageha dia berkata, “Aiiih, lucunya!”
Nero menjauhkan Ageha dari jangkauan Niken. Cewek itu meliriknya dengan jengkel.
“Mom, aku lapar.” Nero memperat gendongannya pada Ageha. Ageha sendiri meletakan kepala mungilnya ke leher Nero.
“Oh, iya, kita belum makan ya,” kata Jennifer. “Niken, apa kamu tahu dimana ada restoran keluarga di dekat sini?”
“Oh, tahu, Tante.”
Niken pun memberikan alamat restoran langganannya, yang katanya bakal menyediakan seluruh makanan di muka bumi dalam waktu singkat dan bisa dipastikan akan menggugah selera sehingga mereka tidak bakal mau mencari restoran lain, dan setelah berterima kasih, Jennifer dan keluarganya meninggalkan tempat itu.
Nero tersenyum kecil padanya saat berbalik dan merasa bahwa pertemuan kecil mereka sepertinya akan berlanjut ke pertemuan-pertemuan besar.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.